63
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Apabila dalam Uraian diatas dalam BAB II Penulis telah melakukan suatu
tinjauan pustaka yang tidak lain tujuannya adalah untuk menjawab perumusan
masalah: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa
Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau
Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, maka dalam Bab III ini pembahasan
tentang jawaban atas pertanyaan yang sama akan dikemukakan melalui deskripsi
hasil penelitian terhadap dua Putusan Pengadilan.
Adapun kedua Putusan Pengadilan yang dikemukakan dalam bagian hasil
penelitian ini adalah Putusan No: 48/G/2009/PTUN.SMG dan Putusan No:
10/G/2010/PTUN-SMD.
Bab III ini otomatis memuat analisis atas kedua Putusan Pengadilan
tersebut dengan tujuan yang sama yaitu untuk menjawab perumusan masalah:
bagaimanakah kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan
Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta.
64
3.1. Penguasa Eksekutif (Ambtenaar/Priyayi) Hasil Imajinasi
Putusan yang pertama melibatkan Penggugat yaitu Drs. Aloysius Lukas
Soenarjo Soesilo, MA dengan Tergugat yaitu Rektor Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) Salatiga.
Penggugat merupakan Dosen Tetap Fakultas Psikologi UKSW Salatiga,
terhitung tanggal 3 Pebruari 1988 sesuai SK Rektor UKSW Salatiga
Nomor:280/UP?T.Ed./II/1988 tentang Pengangkatan Penggugat sebagai Pegawai
Edukatif Tetap pada Pusat Bimbingan UKSW.
Sengketa antara Penggugat Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA
dengan Tergugat Rektor UKSW Salatiga bermula dari terbitnya Surat Keputusan
Rektor Nomor: 098/Kep./Rek/1991 tanggal 4 Juli 1991 tentang Studi Lanjut Drs.
Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA pada program Ph.D di Fuller Theologycal
Seminary USA. Dalam Surat itu, Rektor UKSW menugaskan Penggugat untuk
berangkat ke USA untuk Studi Lanjut. Menyusul tibanya di Indonesia di awal Januari
2009, tanggal 12 Januari 2009 Penggugat membuat surat memohon untuk dapat aktif
kembali sebagai Dosen Tetap di UKSW Salatiga.
Berdasarkan surat permohonan Penggugat tanggal 12 Januari 2009
tersebut, Dekan Fakultas Psikologi UKSW membuat surat No: 007/DEAN/I/2009
tanggal 16 Januari 2009, menindaklanjuti permohonan Penggugat untuk menjadi staf
pengajar di Fakultas Psikologi UKSW.
Atas dasar Surat Dekan Fakultas Psikologi itu, terbit dua Surat Keputusan
Rektor yaitu SK Nomor: 014/Pengam.MK/Rek/1/III/2009 tanggal 2 Maret 2009 dan
65
SK Nomor: 015/Pengam.MK/Rek/1/III/2009 tanggal 3 Maret. Kedua surat itu berisi
Tugas Mengampu Mata Kuliah Program Magister Sains Psikologi dan Tugas
Mengampu Mata Kuliah Fakultas Psikologi bagi Penggugat.
Berdasarkan kedua SK ini Penggugat menganggap bahwa Penggugat
masih diakui oleh Tergugat sebagai Dosen Tetap di Fakultas Psikologi UKSW.
Namun kenyataannya tidak demikian. Pada tanggal 29 Mei 2009 Penggugat
menerima Surat Keputusan Tergugat Nomor: 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009
tentang status Kepegawaian Penggugat yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
Tergugat. Isi surat keputusan itu adalah: “memutuskan menerima Penggugat sebagai
Dosen Kontrak Universitas Kristen Satya Wacana terhitung 1 Pebruari 2009”.
Penggugat memaknai Surat Keputusan Nomor: 158/Rek./5/2009 tanggal
26 Mei 2009 merupakan Surat Keputusan (beschikking), dan dengan demikian
Penggugat1 menempatkan Rektor UKSW unsur dari Yayasan suatu Perguruan Tinggi
Swasta, pembuat Surat Keputusan tersebut, sebagai ambtenaar/priyayi,2 unsur
Penguasa Eksekutif di jajaran Pemerintahan (publik), dalam perspektif Triaspolitika.
Penggugat kemudian menanggapi Surat Keputusan itu dengan surat
Nomor : 03/TGP/A/VI/2009 tanggal 2 Juni 2009 tentang Tanggapan Surat Rektor
UKSW. Dalam surat tanggapan itu, Penggugat mempertanyakan dasar apa Rektor
1Tanpa bermaksud merendahkan Penggugat, namun supaya obyektif, Ilmiah, dalam kenyataannya
Penggugat diwakili oleh Profesional di bidang hukum, yaitu: Hj. Asih Budiastuti, S.H., C.N.
2 Ada yang mengatakan, sama dengan Penguasa.
66
menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak3, padahal Penggugat adalah Dosen
Tetap dan telah mengampu 4 (empat) Mata Kuliah pada Semester Genap 2008/2009
dan perkuliahan telah dimulai sejak 19 Januari 2009.
3.2. Bukan Surat Keputusan Tergolong Beschikking
Dari eksepsi yang terdapat di dalam Putusan tersebut terlihat bahwa
Obyek gugatan tersebut merupakan Surat Rektor UKSW No.158/Rek./5/2009 tanggal
26 Mei 2009. Pihak Tergugat sebetulnya telah berusaha untuk menyakinkan
Penggugat dan para Hakim bahwa surat keputusan itu bukan beschikking, hanya surat
biasa yang bersifat belum final karena masih menunggu tanggapan dari pihak
Penggugat untuk selanjutnya akan ditindaklanjuti ke Yayasan Pendidikan Tinggi
Kristen (YPTK) Satya Wacana.
Menurut pendapat Penulis, meskipun eksepsi pihak Tergugat memiliki
nilai kebenaran menurut Tergugat, dari sudut hukum, namun hal itu belum
memerlihatkan keteguhan Tergugat bahwa Tergugat bukan Badan atau Pejabat TUN,
sehingga PTUN tidak berwenang secara absolut untuk mengadili dan memutus
sengketa itu. Argumentasi Tergugat tersebut seolah-olah masih menyiratkan
“harapan” dalam imajinasi pihak Tergugat bahwa apabila surat “biasa” Rektor
tersebut telah ditindaklanjuti ke YPTK Satya Wacana, maka barulah Penggugat dan
3Telah terjadi penyesatan yang sangat luar biasa terhadap konsep kontrak, bahkan oleh mereka yang
tergolong intelektual. Dalam Ilmu Hukum, Dosen tetap atau Dosen kontrak, kedua-duanya adalah
kontrak-kontrak (contracts). Penulis menyarankan agar mereka yang tidak mau disesat, membaca Buku
“Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum” oleh Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Fakultas Hukum
UKSW Salatiga.
67
para Hakim PTUN Semarang memandangnya sebagai obyek sengketa yang secara
absolut merupakan kewenangan PTUN untuk mengadili dan memutus sengketa itu.
Surat Rektor UKSW No. 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009
merupakan jawaban atas surat permohonan dari Penggugat tertanggal 12 Januari 2009
tentang permohonan untuk aktif kembali sebagai Dosen pada Fakultas Psikologi
UKSW dan Surat Dekan Fakultas Psikologi UKSW No: 007/DEAN/I/2009 tanggal
16 Januari 2009. Tergugat juga berpendapat bahwa surat keputusan itu bukan
beschikking sebab surat itu baru tawaran dari pihak Rektor kepada Penggugat
dan/atau Fakultas Psikologi mengenai status kepegawaian Penggugat di UKSW.
3.3. Hubungan Hukum Ketenagakerjaan
Bukti bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi untuk mengadili dan
memutus sengketa yang pertama itu juga dapat dilihat dari argumen Tergugat bahwa
tawaran yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat, karena secara hukum antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada hubungan hukum ketenagakerjaan lagi sejak
1997 berdasarkan ketentuan Pasal 11ayat (1) Angka (1) dan Angka (3), Pasal 12 ayat
(2) Angka (2) butir (1) Peraturan Studi Lanjut No: 78/KEP./REK./1989 jo Pasal 12
ayat (3) Ketentuan Studi Lanjut No.019/SK/BPH-UKSW/III/2003 serta Pasal 11 ayat
(1) Angka (3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Angka (2) butir (1) Peraturan
Studi Lanjut No. 78/KEP./Rek./1989.
Sehingga, memerhatikan eksepsi Tergugat di atas, Surat Rektor UKSW
No. 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 yang menjadi obyek gugatan tidak
68
memenuhi syarat dan kapasitas (beschikking) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 53
ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 jo Pasal 1 Angka (9) UU No.51 Tahun 2009.
Namun demikian, di dalam Putusan tersebut, ternyata, bahwa menurut
Majelis Hakim, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN disebutkan
bahwa “Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Padahal Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) adalah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola dan
diselenggarakan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW)
yang berupa Badan Hukum Swasta, bukan suatu Badan Hukum Publik. Para Hakim
dalam kasus itu telah menjungkirbalikan tatanan yang ditetapkan oleh hukum.
3.4. Ambifalensi Hakim?
Kemudian apabila dianalisi dari perspektif ketentuan Pasal 31 ayat (3)
UUD 1945 jo UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
Konsiderans bagian menimbang huruf (b) secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Ketentuan
pasal 1 Angka (30) UU No.20 Tahun 2003 juga secara tegas menyebutkan bahwa
Menteri bertanggung jawab dalam sitem pendidikan nasional. Pada ketentuan Pasal 1
Angka (3) disebutkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai
69
tujuan pendidikan nasional. Oleh sebab itu, Majelis Hakim yang memutus perkara itu
tetap bersikeras dan berpendapat bahwa kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang
dilakukan oleh badan hukum swasta/perdata yang mengelola suatu Perguruan Tinggi
atau Universitas seperti UKSW yang dikelola oleh YPTKSW termasuk urusan yang
bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan seperti maksud Pasal 1 Angka (7) UU
No.51 Tahun 2009, sepanjang badan hukum swasta tersebut memperoleh
kewenangan dari Menteri yang berhak untuk itu seperti maksud Pasal 1 Angka (12)
UU No.51 Tahun 2009.
Hanya saja dalam uraian selanjutnya pada Putusan di atas mungkin hal ini
dapat dikatakan sebagai suatu ambifalensi Hakim? Hakim kemudian mengaitkan
dengan Pasal 1 Angka (27) beserta penjelasannya UU No.20 tahun 2003
menyebutkan masyarakat adalah mitra Pemerintah yang dapat ikut serta dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional dan kedudukan mereka adalah sama. Hakim
nampaknya tidak memahami konsep masyarakat dan lalai melihat bahwa dalam kasus
itu, yang di maksud dengan masyarakat adalah satu badan hukum atau subyek hukum
yang bersifat Swasta atau partikelir dan bukan publik.
Atas dasar itu Majelis Hakim menilai UKSW yang notabene adalah LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat/Non Governmental Organization) adalah suatu
Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta yang dikelola oleh YPTKSW, dimana syarat dan
tata cara pendiriannya telah memenuhi peraturan perundangan yang berlaku termasuk
di dalamnya persetujuan tertulis dari Menteri Pendidikan Nasional untuk
menyelenggarakan suatu bidang pendidikan berpendapat, sejak mendapat persetujuan
70
tertulis dari Menteri Pendidikan Nasional selaku wakil Pemerintah, berdasarkan
peraturan perundangan secara atribusi, YPTKSW mendapat wewenang dari
Pemerintah untuk berperan serta dan bertindak sebagai mitra Pemerintah untuk
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, dengan demikian suatu organ/lembaga harus
disebut sebagai Badan TUN, sebagaimana maksud ketentuan Pasal 1 Angka (7), jo
Pasal 1 Angka (8) dan Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun 2009.
Majelis Hakim kemudian berpendapat mengenai obyek gugatan yaitu
Surat Rektor UKSW Nomor: 158/Rek./5/2009 tentang status Kepegawaian atas nama
Penggugat tersebut telah dapat diklasifikasikan sebagai obyek sengketa TUN yaitu
Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yaitu Rektor UKSW
Salatiga. Mengenai kepada siapa tulisan itu ditujukan yaitu ditujukan kepada
Penggugat yang berisi status kepegawaian Penggugat sebagai Dosen Kontrak tidak
digubris Majelis Hakim.
Selanjutnya mengenai surat keputusan tersebut Majelis Hakim
berpendapat bahwa surat keputusan itu tidak diperlukan lagi suatu persetujuan, baik
dari atasan Tergugat ataupun instansi lain. Sehingga, menurut Majelis Hakim, surat
keputusan tersebut telah bersifat final dan karenanya telah dapat menimbulkan akibat
hukum bagi penggugat yaitu memutuskan menerima Penggugat sebagai Dosen
Kontrak Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga terhitung tertanggal 1 Februari
2009.
Memerhatikan hal ini, Penulis berpendapat bahwa Hakim “nampaknya”
terjebak pada konstruksi yang sengaja dibangun oleh Tergugat, bahwa keputusan
71
Tergugat tersebut belum final? Jebakan Para Profesional yang mewakili Tergugat
tersebut ternyata efektif untuk “menjerumuskan” Para Hakim yang kurang berilmu?
Akibatnya, dengan terbitnya keputusan PTUN itu, UKSW hingga detik ini,
memeroleh semacam “ablessing in disguise” ambifalensi hakim, dan berstatus
sebagai badan hukum publik, Pegawainya jadi priyayi atau Badan/Pejabat TUN hasil
konstruksi imajinatif.
3.5. Rektor Universitas Swasta bukan bagian Hierarki Pemerintahan
Berbeda dengan Putusan PTUN dalam kasus yang pertama di atas, dalam
rangka melihat bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek
sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen
atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, maka berikut ini kasus kedua.
Kasus kedua bermula dari adanya pengaduan tertulis kepada Rektor Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda selaku (Tergugat) dari beberapa orang yang mengaku
orangtua dan saudara kandung seorang perempuan bernama Maya Astriyani.
Alikuddin Saragih, SH., M.Hum selaku (Penggugat) yang juga Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Untag 1945 Samarinda, diduga
telah melakukan perbuatan asusila terhadap seorang perempuan bernama Maya
Astriyani yang merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Samarinda.
Sejalan dengan itu, kemudian, Rektor Universitas 17 Agustus 1945
Samarinda mengeluarkan Surat Keputusan, yaitu SK nomor: 055/UN.17/KP/II/2011,
72
tanggal 01 Pebruari 2011, memberhentikan sementara Penggugat sebagai Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas Tujuh Belas Agustus
(Untag) 1945 Samarinda.
Majelis Hakim berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 47 UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
yaitu kewenangan PTUN adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
TUN, dan Pasal 1 Angka (9) memberikan penekanan, maka menurut para Majelis
Hakim “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Majelis Hakim juga mendasarkan argumen mereka kepada Pasal 1 Angka
(10) bahwa yang dimaksud dengan sengketa TUN adalah “sengketa yang timbul
dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya KTUN
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan untuk mendapatkan putusan”.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 Angka (8) disebutkan bahwa Badan
atau Pejabat TUN adalah “badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, yang
kemudian menurut penjelasan UU No.5 Tahun 1986 disebutkan “adalah kegiatan
yang bersifat eksekutif dengan pembatasan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
73
Sementara itu dalam Pasal 34 Statuta Universitas 17 Agustus 1945
Samarinda Nomor 01 tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009 bahwa : “Rektor diangkat
dan diberhentikan oleh Ketua Umum Yayasan/BP PTS, setelah mendapat persetujuan
Senat Universitas dan dilaporkan kepada Menteri melalui Dirjen Dikti”.
Selanjutnya pada Pasal 1 Angka (28) dalam Statuta Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda diatur bahwa :“Yayasan Pendidikan 17 Agustus 1945
Samarinda adalah Lembaga pendiri pendidikan tinggi Universitas 17 Agustus 1945
Samarinda, yang sekaligus sebagai pemilik, pengelola, dan pembina.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Dosen/Karyawan Staf Pengajar di
lingkungan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda diangkat dan diberhentikan oleh
Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Sedangkan Rektor Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda selaku penanggung jawab/pemimpin Universitas diangkat
dan diberhentikan oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Universitas 17 Agustus
1945 Samarinda.
Statuta tersebut, dipahami oleh Majelis Hakim bahwa pembinaan
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, secara teknis operasional dilakukan melalui
Badan Pelaksana Harian Yayasan (BPH) atau Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi
Swasta (BP-PTS), sedang pembinaan akademik dilakukan oleh Dirjen Dikti melalui
Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan. Hal ini tidaklah berarti bahwa
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda berada dalam hierarki Pemerintahan tetapi
peranan KOPERTIS hanyalah dalam rangka pengawasan agar Perguruan Tinggi
Swasta dapat selalu berada dibawah koordinasi Pemerintah. Sehingga, tidak berarti
74
Rektor Universitas Swasta bagian dari hierarki Pemerintahan. Hakim menilai bahwa
dalam melaksanakan tindakan administrasi hierarkinya terhadap Ketua Umum
Yayasan Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
3.6. Rektor Universitas Swasta bukan Priyayi/Badan/Pejabat TUN
Penerbitan Surat Keputusan yang menjadi obyek sengketa tersebut,
menurut Majelis Hakim Tergugat tidaklah dapat dianggap melaksanakan urusan
pemerintahan. Sebab Tergugat sebagai Rektor, dalam pengangkatan dan
pemberhentiannya ditentukan oleh Ketua Umum Yayasan Universitas 17 Agustus
1945 Samarinda. Akibatnya Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidak
dapat dianggap sebagai bagian dari hierarki pemerintahan, dalam artian sebagai
Badan atau Pejabat TUN.
Pada Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, diatur bahwa Badan atau Pejabat TUN
adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila menangkap isi Pasal itu, maka
menurut Majelis Hakim, urusan pendidikan merupakan urusan Pemerintah, dan ini
yang menjadi sesat dikalangan sarjana hukum yang mengkaitkan Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta menjadi Badan atau Pejabat TUN.
Misalnya saja ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa yang termasuk
Badan atau Pejabat TUN adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan
dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN yang bukan kegiatan legislatif dan
75
yudikatif.4 Masalahnya adalah Pemerintah atau Badan/Pejabat TUN dalam
mensejahterahkan rakyat bukankah semua urusan Pemerintahan, terkecuali bidang
ajudikatif dan legislasi. Apabila pendapat seperti itu diikuti nantinya semua badan
hukum swasta akan menjadi Badan atau Pejabat TUN.
Pikiran bahwa negara hukum yang menurut dikte hukum adalah juga
negara kesejahteraan (welfare state) yang hakikatnya Pemerintah memiliki monopoli
dalam mengatur setiap aktifitas penyelenggaraan Pemerintahan, tidak serta merta
urusan pemerintahan yang dikelola swasta akan diklasifikasikan sebagai Badan atau
Pejabat TUN. Ada sebuah teori yang dikemukakan oleh Indroharto yaitu teori
melebur. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang
dilakukan oleh Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke
dalam tindakan hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah
dilakukan). Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin
pentingnya adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut.5
Lahirnya teori melebur ini, menjadikan Pemerintah setara Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta dalam melakukan perjanjian, tidak ada yang istimewa di kedua pihak. Ini
akan menjadi argumen dasar perbedaan publik dengan privat.
Patokan bahwa suatu badan hukum merupakan Badan TUN karena
melaksanakan urusan pemerintahan adalah salah. Tidak dapat dipungkiri pengertian
4Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.
67. 5 Ibid, hlm. 117.
76
akan Badan atau Pejabat pada Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN menimbulkan
pemahaman yang berbeda dikalangan ahli hukum. Bahkan, akan menjadi suatu cara
untuk pembenaran dalam kasus yang ditangani dengan berpedoman bahwa badan
hukum swasta yang melakukan urusan Pemerintahan akan menjadi Badan atau
Pejabat TUN.
Disamping itu, perdebatan mengenai urusan pendidikan yang
dilaksanakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dimasukkan sebagai Badan atau
Pejabat TUN, disebabkan oleh adanya suatu pemahaman bahwa urusan pendidikan
tersebut merupakan suatu pendelegasian dari Pemerintah. Sudah dijelaskan Penulis
bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melaksanakan pendidikan bukan
pelimpahan wewenang dari Pemerintah, hanya memeroleh ijin dari Pemerintah untuk
menyelenggarakan pendidikan.6
Pemerintah hanya melakukan sebatas pembentukan, pengawasan, dan
memberikan pembiayaan. Harus dipisahkan pemahaman akan pendelegasian dengan
proses pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan, untuk tidak
mencampur adukkan keduanya. Pemisahan ini penting, yang tentunya berdampak
juga terhadap peraturan perundang-undangan yang akan dipakai bilamana terjadi
suatu perselisihan di dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau
Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tersebut.
6Lihat kembali dalam Bab I Latar Belakang Masalah.
77
Itu sebabnya, ada pendapat bahwa Putusan unsur Yayasan Perguruan
Tinggi Swasta tunduk pada hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan
Hubungan Industrial, maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh
dan majikan adalah di PHI, suatu Badan Peradilan khusus di lingkungan Peradilan
umum di Indonesia. Hal ini merupakan pendapat Majelis Hakim yang mengadili dan
memutus kasus yang kedua tersebut.
3.7. Rektor Universitas Swasta adalah Badan Hukum Perdata
Menurut Majelis Hakim dalam Putusan tersebut, Rektor Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda tidaklah melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan bertindak
sebagai badan hukum perdata.
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Rektor menerbitkan objek
sengketa tersebut adalah termasuk dalam ruang lingkup Hukum Perdata dan bukanlah
dalam lingkup hukum TUN.
Menurut Majelis Hakim, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
baru dapat dianggap melaksanakan urusan pemerintahan bilamana telah mendapatkan
pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN. Sementara, dalam proses
pembuktian dalam persidangan, tidak ada yang menyebutkan bahwa Tergugat Rektor
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dalam menjalankan tugasnya selaku Rektor
dalam menerbitkan objek sengketa tersebut mendapat limpahan wewenang, baik itu
yang bersifat atributif maupun delegasi dari Badan atau Pejabat TUN (Pemerintah).
78
3.8. SK Rektor Universitas Swasta bukan Beschikking
Menurut hemat Majelis Hakim itu, objek sengketa berupa yaitu Surat
Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Nomor:
055/UN.17/KP/II/2011, tanggal 01 Pebruari 2011 perihal Pemberhentian Sementara
sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas 17
Agustus 1945 Samarinda atas nama Alikuddin Saragih, SH., M.Hum, yang
diterbitkan oleh Tergugat bukanlah KTUN (Beschikking), sehingga sengketa yang
timbul dalam perkara juga tidak dapat digolongkan sebagai sengketa TUN.
Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidak memenuhi
persyaratan Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN.
Tergugat bukanlah merupakan Badan atau Pejabat TUN disebabkan
karena tidak melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hubungan hukum antara Rektor Universitas 17 Agustus
1945 Samarinda dengan para Dekan/Dosen serta Pejabat struktural di lingkungan
Universitas yang bersangkutan, dalam hal ini Penggugat bukanlah dalam arti hukum
kepegawaian yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik melainkan termasuk
dalam lingkup hukum perdata.
79
3.9. Lingkup Perdata Rektor Universitas Swasta – Dosen Swasta
Dengan mempedomani ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang No.2
Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial disebutkan bahwa: “Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus yakni di
tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan, ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja, serta di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”, maka apabila dikaitkan dengan
sejatinya tujuan paling hakiki dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah
untuk menciptakan kepastian hukum,7 UU No.2 Tahun 20004 tentang PHI tentunya
sudah memberikan kepastian hukum. Artinya tidak ditumpangtindihkan sengketa
hubungan indsutrial dengan sengketa PTUN.
Menurut pendapat Majelis Hakim dalam kasus tersebut di atas, apabila,
Penggugat merasa pemberhentian tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka Penggugat dapat menggugat pada Pengadilan Hubungan
Industrial.
Itu menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa dalam rangka menjawab
perumusan masalah penelitian dan penulisan skripsi ini, yaitu: bagaimanakah
kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa hubungan industrial antara
Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan
7Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H., Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, hlm.
49.
80
Tinggi Swasta maka Penulis berpendapat bahwa “Kompetensi Absolut PTUN dalam
memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi
Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta” maka
kompetensi absolut PTUN itu sebatas hanya untuk menyatakan bahwa gugatan tidak
dapat diterima.
Top Related