18
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
A. Anak
1. Anak sebagai Pelaku tindak Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Pasal 1 butir 1 merumuskan bahwa:
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin.
Dari rumusan yang telah ada tersebut, Wagiati Soetodjo
menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah mempunyai
ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di
bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi
menerapkan perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.1
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai
orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang
yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid /
inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah
pengawasan wali (minderjarige under voordij). Kemudian jika dilihat
1 Wagiati Soetodjo, Oo.Cit. hal. 5
19
dari peraturan perundang-undangan yang ada maka terlihat perbedaan
misalnya:2
1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin.3
2) Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan
sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan
hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang
belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan
tertentu mental, fisik masih belum dewasa)
3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang
Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia
18(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam
kandungan.
5) Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam
2 Thesis Novie Amalia Nugraheni “System Pemidaan Eduatif Terhadap Anak sebagai Pelaku
tindak pidana”, FH UNDIP hal 27. 3 Abdussalam, Hukum perlindungan anak, Restu Agung, Jakarta. 2007. hal.5.
20
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum pernah kawin.
6) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Pasal 330 ayat (1)
memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan
telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak
tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan
(venia aetetis, Pasal 419 KUHPer) Pasal ini senada dengan Pasal
1 Angka 2 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak.
7) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).KUHP tidak
merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi
dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 "Dalam hal penuntutan
pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun........"
8) Jika dilihat dari dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak
memilih dalam Pemilu misalnya seseorang dianggap telah
mampu bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang
dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17 (tujuh belas)
tahun.
Jika melihat perbedaan umur dari peraturan perundang-
undangan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan umur
tersebut adalah relatif tergantung pada kepentingan masing-masing,
kemudian jika dilihat dari tingkatan usia diberbagai negara di
21
duniapun memiliki perbedaan tentang seseorang dikatagorikan sebagai
anak dalam kaitan pertanggungjawaban pidana, antara lain:4
1) Di Australia, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 –
18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur
antara 8 – 17 tahun, sementara ada pula negara bagian yang lain
menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun;
2) Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12 – 16 tahun;
3) Di Australia, kebanyakan negara bagian menentukan batas umur
antara 8 – 16 tahun;
4) Di Belanda, menentukan batas umur antara 12 – 18 tahun;
5) Di Iran, menentukan batas umur antara 6 – 18 tahun;
6) Di Jepang dan Korea, menentukan batas umur antara 14 – 20
tahun;
7) Di Negara-negara ASEAN lain, antara lain : Filipina (antara 7 –
16 tahun); Malaysia (antara 7 – 18 tahun); Singapura (antara 7 –
18 tahun).5
Menyangkut pengertian tentang anak nakal yaitu anak- anak
yang dapat diajukan ke sidang anak merumuskan :6
1) Anak yang melakukan tindak pidana;
2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi
anak, baik menurut peraturan perungang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Menyangkut anak yang melakukan kenakalan (anak nakal7), Pada
hakekatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana – yang berarti
melingkupi pengertian anak nakal – menurut Maulana Hasan Wadong8
meliputi dimensi pengertian sebagai berikut :
ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;
4 Penelitian Mandiri Nashriana, Op. Cit., hal 14.
5 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan wanita dalam hukum, LP3ES, Jakarta. 1989. hal.10-
11 6 Lihat Undang-Undang RI No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (2).
7 Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
8 Maulana Hasan Wadong, Pengantar advokasi dan hukum perlindungan anak, PT. Grasindo,
Jakarta. 2000. hal. 22
22
pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak
anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara,
dengan maksud untuk mensejahterakan anak;
rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental
spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu
sendiri;
hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;
hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus
berhadapan dengan hukum, yaitu :9
1) Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukannoleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,
seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum.
Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile Deliquency.10
Tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksut dalam Pasal
489 KUHP ayat (1)
“Kenakalan terhadap orang atau barang, yang dapat
menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam
dengan denda paling banyak lima belas rupiah”
Juvenile artinya young,anak-anak, anak muda, cirri
karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja,
sedangkan Deliquency artinnya doing wrong terabaikan/mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinnya menjadi jahat,a-sosial, criminal,
9 Ibid.,
10 Ibid.,
23
pelanggaran aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat
diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.11
Para Ilmuwan mendevinisikan Juvenile delinquency sebagai berikut:
1) Paul Moedikno merumuskan Juvenile delinquency yaitu sebagai
berikut:12
“Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa
merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan
deliquency. Jadi semua perbuatan yang dilarang hukum pidana
seperti mencuri, membunuh dan sebagainnya”
2) menurut Romli Atmasasmita adalah : setiap perbuatan atau
tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum
kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma
hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
pribadi si anak yang bersangkutan13
2. Tugas Dan Kewajiban Hakim
Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8) Hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok
di bidang judisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam
mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai
kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya
11
Ibid., 12
Ibid., 13
Romli Atmasasmita, Problem kenakalan anak-anak remaja, Armico, Jakarta. 2983. hal.40.
24
tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan
makmur.14
Tugas Hakim secara Normatif diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman
yaitu:
1) Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang (Pasal 4 ayat (1))
2) membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2))
3) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat (Pasal 5 ayat (1))
4) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1))
5) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa (Pasal 8 ayat (2)
14
Rusli Muhammad, Op.Cit. hal. 49.
25
Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga
mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili
suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu:15
1) Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa
konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang
disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit,
peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa
pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan
suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir
berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.
2) Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa
hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-
benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana.
Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan
hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada
peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada
undangundangnya, sebaliknya undang-undangnya harus
disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit.
3) Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim
menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak
yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari
adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor
(peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu
memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara
proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Hakim mempunyai peranan menentukan sehingga
kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan
tidak adanya direktiva/campur tangan dari pihak manapun terhadap
para hakim ketika sedang menangani perkara.16
15
Thesis Agustina Wati Nainggolan ” Analisis terhadap putusan hakim dalam tindak pidana
penyalagunaan narkoba (Studi terhadap putusan pengadilan negeri medan). Pascasarjana
universitas Sumatra Utara Medan 2009 hal
16
Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana normative,teoritis, praktik dan permasalahannya, Alumni,
Bandung. 2007. hal 75.
26
Hakim akan tetap bekerja dan berusaha untuk mewujudkan
keadilan meskipun kasus yang dihadapi tidak ada hukumnya. Bila
menemukan kasus yang tidak ada hukumnya, hakim berusaha mencari
dengan menggali dan menemukan hukumnya dengan bersandarkan
pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini harus dilakukan
sebab sudah merupakan suatu kewajiban menurut undang-undang
tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009. Adapun
kewajiban Hakim adalah:
1) Wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal
Pasal 5 ayat (3))
2) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3)
3) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara ( Pasal 17 ayat (5)).
27
3.) Beberapa pendapat/kritikan terhadap Pidana Penjara
Pendek17
Menurut Rekomendasi Kongres Kedua Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders” tahun 1960 di London yang menyatakan antara lain:18
1) Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek
mungkin berbahaya karena pelanggar dapat terkontaminasi dan
sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani
pelatihan yang konstruktif, tetapi kongres mengakui bahwa
dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek
mungkin diperlukan untuk tujuan keadilan.
2) Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka
pendek tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat
dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya.
3) Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan
bentuk-bentuk pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat,
pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga
atau pidana kerja sosial dan tindakan-tindakan lain yang tidak
mengandung perampasan kemerdekaan.
4) Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat
dihindarkan, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari
narapidana penjara jangka panjang, dan pembinaannya harus
bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open
institution).
Menurut Wolf Middendorf mengemukakan bahwa:19
1) Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap
juvenile delinquency, pidana penjara jangka pendek dapat
menghasilkan residivis sama dengan pidana penjara dalam
jangka waktu yang lama untuk semua tipe anak dalam kelompok
umur yang sama.
2) Pidana jangka pendek misalnya enam bulan ke bawah tidak
mempunyai reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini
lebih baik dan tidak dapat dihindari.
3) Di banyak negara kebanyakan dijatuhkan dalam perkara lalu
lintas, khususnya drinken driving (mengemudi dalam keadaan
mabuk).
17
Barda Nawawi Arief, Kapita selekta hukum pidan, Citra Aditya Bakti, bandung.2010. hal 38 18
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm.38-39 19
Ibid., hal.39-40
28
4) Penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya
dikenakan untuk white collar crime dimana pidana denda sering
tidak berpengaruh.
5) Di beberapa negara misalnya Belanda, pidana penjara jangka
pendek dilaksanakan dalam lembaga minimum security dengan
keberhasilan yang memadai.
6) Narapidana pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari
narapidana penjara dalam jangka waktu yang lama, dan
seharusnya dikirim ke open camp dimana mereka dipekerjakan
untuk keuntungan atau kepentingan masyarakat.
Adapun Johannes Andenaes20
mengemukakan pendapatnya
mengenai pidana penjara jangka pendek adalah sebaga berikut:
1) Walaupun telah menjadi dogma di dalam penologi bahwa pidana
penjara jangka pendek merupakan pemecahan yang buruk karena
tidak memberikan kesempatan untuk melakukan rehabilitasi,
tetapi sedikit bukti bahwa pidana penjara yang lama memberikan
hasil yang lebih baik dari pidana penjara jangka pendek (there is
little evidence that longer prison sentences give better results
than short ones).
2) Pidana penjara jangka pendek yang tidak memberi kemungkinan
untuk merehabilitasi pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan
stigma penjara dan membuat atau menetapkan kontak-kontak
yang tidak menyenangkan.
Pendapat ahli lainnya yaitu Barnes and Teeters21
menjelaskan
pidana penjara jangka pendek adalah sebagai berikut:
Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru
oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari,
sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru
di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulan dengan penjahat-
penjahat kronis. Sekalipun pidana penjara itu berjangka pendek,
maka justru akan sangat merugikan sebab di samping
kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak
dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak
mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi
20
Ibid., hal 40-41 21
Barnes and Teeters dalam buku Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, hlm.142
29
narapidana di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan
apa yang disebut stigma atau cap jahat.
B. Prosedur Peradilan Anak
Prosedur peradilan Anak dapat dilihat dalam undang-undang-
undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak,
khususnya pada Pasal 5, Pasal 8, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44, 45, Pasal 53 ayat (1), Pasal 56 ayat(1), Pasal 57, Pasal 58, Pasal
59, adapun penjelasan dari Pasal-Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam Pasal Pasal 5 menjelaskan mengenai pemeriksaan
oleh penyidik, penjelasan lebih lengkapnnya sebagai berikut:
1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka
terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh
Penyidik
2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat
bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih
dapat dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuh, Penyidik
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali,
atau orangtua asuhnya.
3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat
bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat
dibina lagi oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya,
penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen
Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing
Kemasyarakatan.
Adapun Pasal 8 menjelaskan mengenai siapa saja yang bias
hadir dalam proses persidangan anak, dan tata cara dalam
persidangan, adapun penjelasan lengkapnya adalah sebagai
berikut:
30
(1) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
dalam sidang terbuka.
(2) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat
dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orangtua, wali,
atau orangtua asuh, penasihat hukum, dan Pembimbing
Kemasyarakatan.
(3) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3) orang-orang
tertentu atas ijin hakim atau mejelis hakim dapat menghadiri
persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemberitaan mengenai perkara anak melalui sejak penyidikan
sampai saat sebelum mengucapkan putusan pengadilan
menggunakan sidang singkatan dari nama anak, orangtua,
wali, atau orangtua asuhnya.
(5) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapakan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Pasal 41
(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik
yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam Pasal Pasal 42 menjelaskan mengenai tata cara
penyidakan,penjelasannyaadalah sebagai berikut:
(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan.
(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik
wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing
Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan
jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
(3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib
dirahasiakan.
Dalam Pasal 43 disini menjelaskan mengenai tata cara
penangkapan Anak yang melakukan tindak pidana
31
(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan
Kitab Undangundang Hukum acara Pidana
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Dalam Pasal Pasal 44 sampai Pasal 45 menerangkan
bagaimana jangka waktu penahanan terhadap anak yang
melakukan Tindak Pidana tetapi dalam penahan yang dilakukan
oleh penyidik, penyidik juga harus tetap memperhatikan
kepentingan Anak dan tentunya tempat penahan Anak harus
terpisah dari orang dewasa, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
45.
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a,
berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut
Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus
menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada
Penuntut Umum.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka
tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum
(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan ditempat khusus untuk
anak dilingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah
Tahanan Negara, atau ditempat tertentu.
Pasal 45
32
(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan
masyarakat.
(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan
orang dewasa.
Pasal 53 menerangkan bahwa tuntutan terhahadap Anak
dilakukan oleh Penuntut Umum,
(1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh penuntut
Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
Adapun Pasal 56, Pasal 57 Pasal 58 dan Pasal 59
menerangkan bagaimana proses persidangan yang harus dilakukan
oleh Hakim dalam ruang Sidang. bagimana Hakim membuka
sidang dengan mempersilahkn terdakwa masuk beserta orang tua,
wali Penasihat Hukum dan tentunnya beserta pembimbing
Kemasyarakatan.
(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar
Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil
penelitian Kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.
Pasal 57
(1) Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang
tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta
orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat Hukum, dan
Pembimbing Kemasyarakatan.
(2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orangtua,
wali, atau orangtua asuh, penasihat Hukum, dan Pembimbing
Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan
agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang.
(2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), orangtua, wali, atau orangtua asuh, penasihat Hukum,
dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.
33
Pasal 59
(1) Sebelum mengucapkan putusannya Hakim memberikan
kesempatan kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh untuk
mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat bagi anak.
(2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari
pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
Inilah Proses Peradilan Pidana yang dapat menjadi pedoman bagi
para Petugas dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.
C. Pemidanaan bagi Anak Menurut Undang-Undang RI No.3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak
Pedoman pemidanaan Bagi anak dapat dilihat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak .
Pengadilan anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di
lingkungan peradilan Umum.22
Sidang Pengadilan anak yang selanjutnya
disebut Sidang Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak.23
Secara garis besar, sanksi yang dapat
dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan, terdiri dari dua yaitu
: sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Pasal 22). Perumusan kedua jenis
sanksi ini menunjukkan bahwa UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak
telah menganut apa yang disebut dengan Double Track System. Dengan kata
22
Undang-undang Ri No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak Pasal 2. 23
Ibid., Pasal 3.
34
lain, UU ini telah secara eksplisit mengatur tentang jenis sanksi Pidana dan
Sanksi Tindakan sekaligus. Menurut Muladi,24 penggunaan sistim dua jalur
(Zweipurigkeit) merupakan konsekuensi dianutnya Aliran Neo Klasik25.
Pemikiran bahwa pendekatan tradisional seolah-olah sistim Tindakan hanya
dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus ditinggalkan.
Kemudian Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa: Anak adalah orang yang
dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Dengan diaturnya batasan ini, Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa
pembentuk undang-undang telah mempunyai ketegasan tentang usia
berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur, sehingga berhak
mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan khusus bagi
kepentingan psikologi anak.26
Selanjutnya Pedoman pemidanaan bagi anak dapat dilihat dalam
Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1997
Tentang pengadilan Anak yaitu sebagai berikut:
Dalam Pasal 4 ini menjelaskan tentang usia Anak yang dapat
diajukan ke sidang Anak
24
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistim Peradilan Pidana, Cetakan II, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang. 2002. hal. 156 25
Dalam Aliran Neo Klasik, berusaha untuk memanfaatkan kelebihan kedua aliran sebelumnya
(aliran Klasik dan aliran Modern) dan meninggalkan kelemahan yang ada. Asas pembalasan
diperbaiki dengan teori kesalahan yang bertumpu pada usia, patologi, dan pengaruh lingkungan.
Dikembangkan alasan-alasan yang memperingan dan memperberat pemidanaan; kesaksian ahli
(expert testimony) ditonjolkan; diaturnya sistim dua jalur (Double Track System).
Ibid, hal. 153 26
Wagiati Soetodjo, Loc.Cit.
35
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang
pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas
umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun tetap diajukan ke Sidang
Pasal 7 menjelaskan bagaiman tata cara persidangan ketika
anak melakukan Tindak Pidana bersama-sama dengan Orang
dewasa
(1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan
orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang
dewasa ke sidang bagi orang dewasa.
(2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan
anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke
Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.
Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 menjelaskan pidana yang
dapat dijatuhkan kepada Anak yang melakukan Tindak Pidana dan
menguraikan mengenai pidana yang dapat dijatuhkan, misalanya
Pidana Pokok, dan Tindakan penjelasannya adalah sebagai
berikut:
(1) Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau
tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana
pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah
:
b. pidana penjara;
c. pidana kurungan;
d. pidana denda; atau
e. pidana pengawasan.
36
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan,
berupa perampasan barangbarang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. mengembalikan kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh
Hakim.
Kemudian Berkaitan dengan putusan anak nakal perlu
dikemukakan penjelasan Pasal 25 UU No. 3 tahun 1997 yang
menegaskan:
Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan
kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana
atau kenakalan anak yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan.
Disamping itu, hakim juga wajib memperhatikan keadaan
anak,keadaan rumah orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan
antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya.Demikian pula
hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Berdasarkan pada penjelasan Pasal 25 Undang-Undang
Pengadilan anak diisyaratkan bahwa dalam menjalani proses
peradilan anak, anak nakal tidak ditempatkan pada suatu keadaan
sebagaimana pelaku tindak pidana yang di kelompokkan sebagai
orang dewasa. Selain itu, dalam penjatuhan sanksi terhadap anak
nakal, diperlukan suatu kajian yang melindungi dan memperhatikan
anak nakal dari segi sosial budaya. Hak ini tentunya menjadi
pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana.
37
Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 30 menjelaskan
mengenai banyaknya atau lamannya pidana yang harus dijalankan
oleh Anak baik itu Pidan penjara, Pidana Kurungan Atupun
benyaknya denda yang harus dibayarkan Oleh Anka, ketika Anak
melakukan Tindak Pidana
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau
tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap
Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27
(1) Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling
banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda
bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan
kerja.
38
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling
lama 90(sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja
tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada
malam hari.
Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling
singkat 3 tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
Pada hakikatnya anak dalam persidangan anak dapat
dijatuhi Sanksi Pidana atau Sanksi Tindakan. Pidana tersebut
adalah pidana pokok yang berupa pidana penjara, kurungan,
denda, dan pengawasan; pidana tambahan berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Sementara
Tindakan yang dapat diberikan adalah pengembalian kepada
orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, menyerahkan kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja,
atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, latihan kerja.27
Inilah pedoman pemidaan yang dapat membantu hakim dalam
menjatuhkan putusan dan juga pedoman pemidaan tersebut dapat
diterapkan kepada Anak yang melakukan tindak pidana.
27
Lihat Pasal 22, 23 ayat (1), (2), (3) , 24 ayat (1) huruf a,b,c Undang-Undang RI No 3 tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak
39
D. Tujuan Pemidanaan terhadap Anak
Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa
diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang
tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar
tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L.
Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-
masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian
(utilitarian view). 28
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan
sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan
hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar
tanggungjawab moralnya masing-masing.
Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang
(backwardlooking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi
manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau
keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu
pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah
laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk
mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatanyang serupa.
28
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California.
1968. hlm.9.
40
Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan
sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).29
Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3
(tiga) kelompok yaitu:30
1) Teori absolut (retributif)
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.31
Pidana tidak usah
mempunyai tujuan lain selain dari pada pidana saja. Karena kejahatan
tidak diperbolehkan, dan tidak diijinkan menurut susila dan hukum,
maka tidak boleh terjadi, maka kejahatan itu seharusnya dipidana.
Pidana mempunyai fungsi sendiri yaitu bantahan terhadap kejahatan.
Hanya dengan membalas kejahatan itu dengan penambahan
penderitaan, dapat dinyatakan bahwa perbuatan itu tidak dapat
dihargai.32
Teori memandang sanksi pidana yang dijatuhkan semata-
mata karena orang telah melakukan kejahatan yang merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagi suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan sehingga sanksi ditujukan untuk memuaskan
adanya tuntutan keadilan.
2) Teori relatif atau teori tujuan Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih
lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah
sebagai berikut:
Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-
nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik
terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif
umum).
Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan
mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik
dalam masyarakat (preventif khusus)33
29
Herbert L. Packer,Op.Cit.,hal 10. 30
Bambang Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 teori pemidanaan sebagaimana
yang dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relatieve
theorien) dan teori gabungan atau (verenigings theorien). Lihat Bambang Poernomo, Asas-asas
Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 27. 31
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Op., Cit., Hal. 10 32
Van Bemmelen, Hukum pidana 1, Terjemahan, Bina Cipta, Bandung. 1987. hal. 25. 33
Ruslan Saleh, Stelsel pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983. hal. 26.
41
Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah
pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi
perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana
pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian
masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh
karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk
tujuan kemasyarakatan.
3) Teori retributive-teleologis
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai
sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih
dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang
tercapainya tujuan tersebut. Atas dasar itu kemudian baru dapat
ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.
Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk
mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat
utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang
kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu
rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka
perangkat tujuan pemidanaan adalah : a) Pencegahan umum dan
khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas
masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan atas suatu tujuan yang
titik berat bersifat kasusistis.
E. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan terhadap
anak
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara
terhadap anak Tindak pidana anak merupakan tindak pidana yang khas
apabila dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa pada umumnya menginagt sifat-sifat emosional anak masih belum
stabil serta masih belum dapat membedakan perbuatan mana yang baik
dan yang buruk oleh karena itu perlu ditangani secara khusus dalam
42
rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan anak.34
Salah satu
aspek yang terkait dalam peranan hakim dalam peradilan pidana adalah
terkait dengan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak.
35Untuk itu hakim dalam memutus perkara pidana anak perlu mengetahui
faktor-faktor yang melatarbelakanginya termasuk masa lalu si anak,
sehingga dalam hal ini hakim harus benar-benar bijaksana dalam
bertindak untuk itu dibutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam bagi
seorang hakim agar putusan yang dijatuhkan dapat mecerminkan
keadilan, terhindar dari kesewenang-wenangan dan sesuai dengan
kebutuhan anak.36
Di Indonesia, dengan diberlakukannya UU No. 3 tahun 1997
tentang pengadilan anak , telah membawa perubahan baru terakait dengan
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak sebagai pelaku
kejahatan sperti yang terdapat dalam Pasal 6, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 8,
Pasal 23, dan Pasal 24, secara otomatis ketentuan didalam Pasal 10, Pasal
45, 46 dan 47 KUHP tidak lagi digunakan untuk anak.
Untuk memberikan jenis pidana yang sesuai bagi anak maka
hendaknya hakim harus memperhatikan beberapa hal yaitu:37
1. Keadaan dan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan
2. Keadaan dan kebutuhan fisik serta kejiwaan anak
34
Elfa Murdiana” Efektifitas Pidana Penjara Dalam Upaya Untuk Menanggulangi Kejahatan
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan”artikelku
(http://elfamurdiana.blogspot.com/2009_02_01_archive.html) selasa, 03 feburuari 2009 35
Ibid. 36
Peran Hakim Dalam Peradilan Pidana Untuk Mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan
anak, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum UNIBRAW, 1998, Malang hal 4 37
Elfa Murdiana” Op.Cit selasa, 03 feburuari 2009
43
3. Keadaan dan kebutuhan masyarakat
Pidana penjara merupakan bagian dari penegakan hukum pidana
terhadap anak sebagai konsekwensi atas tindak pidana yang dilakukan dan
dalam penjatuhan putusan pidana penjara sepenuhnya menjadi
kewenangan hakim. Adapun yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi
hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak adalah :38
1. Anak tersebut melakukan tindak pidana lebih dari satu kali
2. Anak tersebut melakukan suatu tindak pidana yang
tergolong dalam kejahatan berat
3. Dipandang bahwa nak tersebut sudah tidak dapat
diperbaiki lagi dengan upaya lainnya
4. Anak tersebut membahayakan masyarakat.39
Dasar pertimbangan Hakim menurut Hakim di Pengadilan Negeri
Salatiga yaitu pada intinnya Hakim harus membuktikan unsure perbuatan,
apakah unsure-unsur terpenuhi, dalam arti secara Hukum perbuatan
terpenuhi, danakalau tidak terpenuhi hakim juga harus melihat kondisi
anak, apakah kondisi anak tersebut orang tua memperhatikan, apakah ada
peran serta orang tua dalam perkembangan pendidikan si anak, kalau
perhatian orang tua kurang tentunnya itu sangat mempengaruhi Isi
Putusan yang akan dijatuhkan kepada si Anak, dan pada pokoknya jika
peran orang tua kurang maka kemungkinan anak tidak akan dikembalikan
kepada orang tua, Hakim juga memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
38
Ibid. 39
Madhe Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP,
Malang. 1997. hal 117
44
Dalam perkembangan hukum pidana khususnya terkait dengan
penjatuhan pidana terhadap anak hendaklah memiliki landasan
Doelmatigheid (kegunaan) dan Rechmatigheid (landasan hukumnya)40
sehingga perlu mendapatkan tempat yang layak agar dapat memenuhi
tuntutan rasa keadilan masyarakat sekalipun masih dalam upaya kerja
keras baik dari pemerintah, kalangan akademisi, organisasi masyarakat
maupun tokoh masyarakat untuk menemukan solusi terbaik tanpa
mengabaikan kebijakan dan keputusan-keputusan kongres internasional
yang ada.41
Kita ketahui bahwa pidana penjara dan kurungan merupakan
bentuk pidana perampasan kemerdekaan dimana pidana penjara ini
merupakan pidana utama diantara pidana-pidana yang lainnya, Namun
dalam prakteknya ternyata hakim lebih cenderung untuk menjatuhkan
pidana penjara terhadap anak yang terbukti bersalah.42
Dalam jurnal
Crime and Delliquency , terkait dengan penjatuhan pidana penjara
terhadap anak, Pama L, Griset mengatakan bahwa perlu adanya
pembaharuan dalam penjatuhan pidana terhadap anak sebagai pelaku
kejahatan.43
Karena menurut Frank E Hartung dalam individual rights and
the rehabilitative ideal bahwa penahanan pada suatu rumah pada seorang
anak sebagai pelaku tindak pidana akan membawa dampak yang buruk
40
Elfa Murdiana” Op. Cit selasa, 03 feburuari 2009 41
Ibid.,hal 1-2 42
Ibid., hal 1-2 43
Ibid.,hal 1 -2.
45
bagi perkembangan jiwa si anak selain itu pula hal tersebut dapat
memberikan stigma buruk terhadap anak.44
Menurut Speiser bahwa pemberian hukuman terhadap anak
hendaknya dijadikan sarana untuk merehabilitasi anak nakal tersebut dan
melindunginya dari stigma buruk terhadapnya untuk itu negara harus
tampil sebagai pelindung dan teman bagi sang anak bukannya sebagai
pelaksana pembalasan masyarakat yang marah atas perbuatan jahat yang
dilakukan oleh sianak.
Penjatuhan pidana penjara menimbulkan dampak negatif dan
kerugian khususnya terhadap terpidana anak, Adapun dampak dari
penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan diantaranya adalah:45
1. Anak akan akan terpisah dari keluarganya sehingga akan
berdampak pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti
terlalu singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan
yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak
2. anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan
adanya pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini
membuka kemungkinan bagi terpidana untuk mempelajari prilaku
kriminal terpidana yang lainnya sehingga anak akan menjadi lebih ahli
tentang kejahatan
3. anak tersebut diberi cap oleh masyarakat , hal ini dapat kita
kaitkan dengan teori labeling yang dikemukakan oleh Matza dimana
memandang para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat
tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus
jahat sebagai pemberian system peradilan pidana maupun masyarakat
luas46
4. masyarakat menolak kehadiran mantan terpidana anak, terkait
dengan stigma yang diberikan masyarakat dimana anak yang pernah
menjalani hukuman penjara maka anak tersebut tetap disebut sebagai anak
yang nakal dan memiliki peringai buruk sehingga masyarakat menolak
kehadirannya sebab masyarakat khawatir kalau anak tersebut akan
mengulangi kejahatan sama dan akan memberikan pelajaran yang tidak
44
Ibid., hal 1-2. 45
Ibid.,hal 1-2. 46
Topo santoso, Eva Achjani, Kriminologi, PT.Radja Grafindo Persada, Jakarta. 2003. hal
46
baik terhadap anak-anak yang lain , padahal belum tentu demikian
adanya.
5. masa depan anak menjadi lebih suram.
Dan Pada kenyatannya anak yang telah dijatuhi pidana penjara
mereka justru tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi justru akan
melakukan kembali tindak pidana, maka dari sini dapat dikatakan bahwa
ternyata penjatuhan pidana penjara tidaklah efektif dalam upaya
menanggulangi kejahatan yang terjadi tetapi justru menimbulkan dampak-
dampak yang merugikan bagi anak.47
F. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak
1. Declaration The Right Of The Child Jo Keputusan Presiden
No 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak
Anak (Keppres No 36/1990)48
Hak anak merupakan bagian intergral dari hak asasi
manusia dan konvensi hak anak (KHA) merupakan bagian integral
dari instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Konvensi
hak anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-
prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak-hak
anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai
hak asasi manusia yang memasukan unsur-unsur hak anak sipil
politik serta hak-hak ekonomi dan budaya.
47
Elfa Murdiana” Efektifitas Pidana Penjara Dalam Upaya Untuk Menanggulangi Kejahatan
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan”artikelku
(http://elfamurdiana.blogspot.com/2009_02_01_archive.html) selasa, 03 feburuari 2009 48
Saraswati Rika. (2009). Hukum perlindungan anak di Indonesia. Bnadung:Citra Aditya Bakti,
hal 16
47
Perumusan naskah KHA dimulai sejak 1979 dan dalam
waktu sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 20 november 1989,
naskah akhir konvensi dapat diterima dan disetujui dengan suara
bulat oleh majelis umum PBB. Sesuai ketentuan Pasal 49 ayat (1),
KHA diberlakukan sebagai hukum HAM internasional pada 2
september 1990.
Deklarasi jenewa tahun 1924 tentang hak-hak asasi anak
menyatakan perlunya perluasan pelayanan khusus bagi anak. Ini
disetujui oleh majelis umum PBB pada tahun 1959 dan diakui
dalam deklarasi HAM sedunia,perjanjian internasional tentang
hak-hak sipil dan politik.
Indonesia meratifikasi KHA melalui keputusan president
nomor 36 tahun 1990 tertanggal 25 agustus 1990. Dengan
ratifikasi itu, indonesia secara teknis telah dengan sukarela
mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam KHA. Sesuai dengan Pasal 49 ayat (2), konvensi hak anak
dinyatakan berlaku di indonesia sejak tanggal 5 oktober 1990.
Selanjutnya , ketentuan hukum mengenai hak-hak anak
dalam konvensi hak anak jo Keputusan Presiden No. 36 tahun
1990 adalah sebagai berikut:
1. Hak hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk
48
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan
yang sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut konvensi
hak anak Negara harus menjamin kelangsungan hak hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6).
Disamping itu, Negara berkewajiban untuk menjamin hak
atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan
melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan,
khususnya perawatan kesehatan primer (Pasal 24 )
2. Hak perlindungan, yaitu perlindungan anak dari
diskriminasi, tindak kekerasan, dan ketelantaran bagi anak
yang tdiak mempunyai keluarga dan bagi anak pengungsi.
Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk
perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh
pendidikan, perawatan, dn pelatihan khusus, serta hak anak
dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli
dalam kehidupan masyarakat Negara.
a. Larangan diskriminasi anak:
Non diskriminasi terhadap anak (Pasal 2)
Hak mendapat nama dan kewarganegaraan (Pasal 7)
Hak anak cacat (Pasal 23)
Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30)
b. Larangan eksploitasi anak
Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10)
49
Kewajban Negara melindungi anak dari pekerjaan
yang mengancam kesehatan, pendidikan, dan
perkembangan anak (Pasal 32)
Hak perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang
belum tercantum dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34
dan Pasal 35
Larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang
kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan
penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan
terhadap anak (Pasal 37)
Kewajiban Negara menjamin anak korban konflik
bersenjata, penganiayaan, penelantaran salah perlakuan
atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang
layak demi penyembuhanreintegrasi sosial mereka
(Pasal 39)
Hak anak yang telah didakwa ataupun yang telah
diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap
dihargai hak asasinya dan khususnya untuk tetap
menerima manfaat dari segala proses hukum atau
bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan
pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan
institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40)
50
Kekerasan dan penelantaran bagi anak yang tidak
mempunyai keluarga.
c. Perlindungan anak dalam keadaan krisis dan darurat
a. Anak yang berkonflik dengan hukum (children in
conflict in the law)
Prosedur peradilan anak (Pasal 40)
Anak –anak yang berada dalam penekanan
kebebasan (Pasal 37)
Reintegrasi sosial anak-anak dalam penyembuhan
fisik dan psikologis anak (Pasal 39)
2. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang
maha esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya. Kedudukan anak sebagai generasi muda yang
akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin
bangsa dimasa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi
generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani ,
jasmani dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan
kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan
dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan
51
bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan
fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya
menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan
untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak
secara wajar baik fisik,mental, dan sosial.
UUPA Pasal 1 ayat 1 memberikan pengertian bahwa anak
adalah seorang yang belum berusia delapan belas (18) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
UUPA Pasal 1 ayat 2 memberikan pengertian bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
UUPA Pasal 1 ayat 12 memberikan pengertian bahwa hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuh oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan Negara.
UUPA Pasal 4 , Pasal 14, Pasal 16 ayat (3) penjelasannya
antara lain sebagai berikut:
52
Pasal 4 mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 14 menjelaskan setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orang tua sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau tindakan aturan
hukum yang sah yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah
demi kepentingan terbaik baik anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.
Pasal 16 ayat (3) menjelaskan bahwa penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Menurut Pasal 25 UU no 23 tahun 2002, kewajiban dan
tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak di
laksankan melalui kegiatan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Sedangkan menurut Pasal 72
masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk
berperan dalam perlindungan anak. Peran masyarakat tersebut
dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak,
lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media
massa. Peran masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Top Related