BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TALAS
Talas adalah nama untuk berbagai macam tumbuhan yang lazim ditanam
untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan
yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia, dari famili Araceae. Keladi, dasheen,
taro, sato imo dan eddo merupakan Colocasia, sedangkan kimpul, yautia, tannia dan
malanga termasuk Xanthosoma, dan sente serta birah adalah Alocasia. Semua
tanaman tersebut dinamakan talas (Nur, 1956).
Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat sebagian besar di
dunia ini. Di dalam famili Araceae, talas yang sesungguhnya dikenal dengan nama
Colocasia esculenta. Habitat tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah tropis
antara India dan Indonesia. Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat
daerah Pasifik, seperti New Zealand dan Australia (Matthews, 2004). Talas
mempunyai beberapa nama umum yaitu Taro, Old cocoyam, ‘Dash(e)en’ dan ‘Eddo
(e)’. Di beberapa negara dikenal dengan nama lain, seperti: Abalong (Philipina),
Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaysia), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol)
dan Yu-tao (China).
Gambar 1. Beberapa jenis talas asal Bogor
Asal mula tanaman ini berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke China
dalam abad pertama, Jepang dan daerah Asia Tenggara lainnya juga ke beberapa
5
pulau di Samudra Pasifik, terbawa oleh migrasi penduduk (Terry, 1981). Di Indonesia
talas bisa dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai
pegunungan di atas 1000 m dpl, baik liar maupun di budidaya.
Talas diklasifikasikan dalam tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji
tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas merupakan
tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang
dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air (Rukmana, 1998).
Tanaman talas bereproduksi secara vegetatif, yaitu dengan anakan, sulur,
umbi anak, atau pangkal umbi serta sebagian pelepahnya. Karena itulah tanaman ini
memiliki kecendrungan untuk membentuk kultivar dengan ciri–ciri serta syarat
tumbuh yang berbeda – beda ( sastrahidajat dan soemarno 1991).
Menurut Kay (1973), tanaman talas memiliki tinggi sekitar 40-200 cm,
sementara menurut Oschse et al. (1961) bentuk dan ukuran tanaman talas bervariasi,
umumnya memiliki tinggi sekitar 50–150 cm. Tanaman talas umumnya memiliki
jumlah bunga 2-5 buah yang muncul secara bersama–sama, dan tumbuh di antara
sudut daun (leaf axil ) dengan panjang 15 – 30 cm. Bunga jantan biasanya memiliki
benang sari sebanyak 2–3 buah, sedangkan bunga betina jarang terdapat pada
tanaman.
Talas merupakan tanaman umbi–umbian yang dapat mengeluarkan getah
berwarna putih seperti susu. Tanaman ini memiliki daun berbentuk perisai dan warna
daun yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Pada setiap permukaan daun dan
pelepah tanaman ini dilapisi oleh lapisan lilin untuk melindungi diri. Bentuk umbi
talas (colocasia escluenta ) adalah lonjong sampai agak membulat dan berdiameter
sekitar 10 cm. kulitnya berwarna kemerah – merahan dan dagingnya berwarna putih
keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Umbi talas dapat dipanen setelah berumur 6–18 bulan, namun hal ini
bergantung pula pada varietasnya. Saat panen yang tepat ditandai dengan daun yang
mulai menguning sampai kering (Soesarsono, 1976 ).
Talas tumbuh tersebar di daerah tropis, sub tropis dan di daerah beriklim
sedang. Pembudidayaan talas dapat dilakukan pada daerah beriklim lembab (curah
6
hujan tinggi) dan daerah beriklim kering (curah hujan rendah). Curah hujan optimum
untuk pertumbuhan tanaman talas adalah 175 cm pertahun. Tanaman ini mudah
tumbuh pada lingkungan dengan suhu 25-300C, PH 5,5 – 6,5, kelembaban tinggi dan
drainase tanah yang baik. Tanaman talas umumnya dapat tumbuh pada ketinggian 0-
1300 m dpl.
Talas tidak memerlukan pengairan dalam pertumbuhannya, sehingga dapat
tumbuh dengan baik pada daerah kering dan basah. Ketersediaan air yang lebih
dominan dan aerasi tanah yang baik akan menunjang pertumbuhan tanaman ini
menjadi lebih baik lagi. Talas umumnya dapat tumbuh sepanjang tahun di sekitar
daerah dataran rendah sampai dataran tinggi (Onwueme, 1978).
Talas telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan untuk
membuat makanan kecil seperti talas goreng ataupun talas rebus. Di Indonesia,
provinsi Jawa barat merupakan salah satu daerah yang mengembangkan budidaya
talas. Tanaman talas di Jawa barat umumnya tumbuh pada ketinggian 400- 500 m
dari permukaan laut.
Tempat pengembangan talas di pulau Jawa antara lain Bogor dan Malang. Dua
daerah ini menghasilkan beberapa kultivar yang enak rasa umbinya. Tingkat produksi
tanaman talas tergantung pada kultivar, umur tanaman dan kondisi lingkungan tempat
tumbuh. Pada kondisi optimal, produktivitas talas dapat mencapai 30 ton/hektar.
Bogor merupakan salah satu daerah yang menjadi produsen talas di Indonesia.
Daerah ini memiliki berbagai jenis talas yang dibudidayakan, di antaranya ialah Talas
Sutera, Talas Bentul, Talas Padang, Talas Pandan dan Talas Ketan. Menurut
Sukendro dan Setiadireja (1950), berbagai varietas talas yang ada di bagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:
1. Talas Pandan : Varietas ini mempunyai ciri berpohon pendek, bertangkai
daun agak keunguan, pangkal batang warna merah atau kemerahan dengan
umbi lonjong berkulit coklat dan daging buah berwarna keunguan. Talas
jenis ini memiliki aroma pandan yang khas saat di rebus.
7
2. Talas Ketan : talas ini lebih dikenal dengan sebutan talas mentega. Varietas
ini mempunyai ciri daun dan pelepah daun berwarna kuning keunguan,
umbi berwarna kuning dan besar.
3. Talas sutra : Varietas ini mempunyai ciri berdaun halus yang berwarna hijau
muda, pelepah daun hijau dengan pangkal berwarna putih dan umbi memiliki
warna putih dengan rasa yang sangat enak. Ciri –ciri varietas talas
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Ciri – ciri beberapa varietas talas yang terdapat di Jawa barat.
Ciri – ciri Varietas talas
Pandan Lampung Sutra Ketan Bentul Padang
Warna :
- Daun
- Pangkal daun
- Pelepah daun
- Tangkai daun
- Daging umbi
Hijau
Kemerahan
Hijau
kemerahan
Keunguan
Keunguan
Kuning
keunguan
-
Kuning
keunguan
-
Kuning
Hijau
Putih
-
-
Putih
Hijau
-
Hijau
-
Putih
Hijau
-
Hijau
keunguan
-
Putih
Hijau
-
Hijau
keunguan
-
Putih
Ukuran umbi Sedang Besar Besar Kecil Kecil sedang
Aroma Pandan - - - - -
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), komposisi kimia umbi talas
tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas
mengandung Ca, P, dan Fe yang jumlahnya masih lebih besar dibandingkan umbi –
umbian lainnya seperti ubi kayu dan ubi jalar.
Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup
tinggi. Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin A,B1 (Thiamin) dan sedikit
8
vitamin C. Umbi talas memiliki kandungan mineral Ca dan P yang cukup tinggi.
Mineral – mineral ini penting bagi pembentukan tulang dan gigi yang kuat. Untuk
kandungan gizi pada talas dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kandungan gizi talas
Sumber : (1) Payne et al., 1941
(2) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1972
(3) Rangai, 1977
Umbi talas memiliki nilai gizi yang cukup baik, nilai kandungan pati yang
tinggi pada talas menjadikan umbi talas bermanfaat sebagai sumber kalori tubuh dan
Kandungan Gizi Jumlah
(1) (2) (3)
Kalori (kal) - 98,00 85,00
Air (g) 75,1 73,00 77,50
Karbohidrat (g) 18,2 23,70 19,00
Protein (g) 2,00 1,90 2,50
Gula (g) 1,42 - -
Abu (g) 1,17 - -
Serat Kasar (g) 0,80 - -
Lemak (g) 0,20 0,20 0,20
Fosfor (mg) - 61,0 64,00
Kalsium (mg) - 28,00 32,00
Besi (mg) - 1,00 1,00
Natrium (mg) - - 7,00
Vitamin C (mg) - 4,00 10,00
Vitamin B1 (mg) - 0,13 0,18
Vitamin A (mg) - 20,00 Trace
Niacin (mg) - - 0,90
Riboflavin (mg) - - 0,04
9
juga sebagai bahan baku industri. Selain itu kandungan kadar karbohidrat, pati, gula,
serat, dan abu umbi talas lebih tinggi dibandingkan kentang, namun dibandingkan
dengan ubi jalar kandungannya lebih kecil (Direktorat Gizi Depkes RI, 1972).
Perbandingan persentase kadar zat –zat gizi dari umbi talas, kentang, dan ubi jalar
dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan persentase kadar zat – zat gizi umbi talas, kentang, dan
ubi jalar.
Kandungan Komposisi (%)
Talas Kentang Ubi jalar
Air 75,10 77,80 68,50
Protein 2,00 2,00 1,80
Lemak 0,20 0,20 0,70
Karbohidrat 21,50 19,10 27,90
Gula 1,42 0,87 5,35
Pati 18,20 14,70 20,20
Serat 0,80 0,40 1,00
Abu 1,17 0,99 1,07
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI,1972.
Talas merupakan jenis tanaman yang hampir seluruh bagian tanamannya dapat
dikonsumsi. Umbi talas, helaian daun dan tangkai daun dapat dimakan bila dimasak
terlebih dahulu. Di beberapa daerah Indonesia dimana padi tidak dapat tumbuh,
antara lain di Kepulauan Mentawai dan Papua, talas dimakan sebagai makanan
pokok, dengan cara dipanggang, dikukus atau dimasak dalam tabung bambu.
Di Jawa, dodol dapat dibuat dari talas yang beraroma semerbak dicampur
dengan kelapa dan gula; sedangkan potongan talas berukuran kecil yang digoreng
sangat terkenal sebagai makanan ringan. Daunnya dapat digunakan untuk
membungkus`buntil`, dan tangkai daun juga dapat dimasak.
Umbi talas dapat dimakan dengan cara dikukus dan digoreng lebih dulu atau
dibuat menjadi dodol. Di Hawai dan beberapa bagian Polynesia, umbi dikukus dan
2
10
ditumbuk untuk dibuat pasta yang selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan
puding. Puding dapat dibuat dari talas yang diparut dan dicampur kelapa.
Pengolahan talas menjadi tepung talas belum banyak dilakukan, padahal
pengolahan talas menjadi tepung talas akan dapat meningkatkan nilai jual tanaman
ini. Umbi talas yang diolah menjadi tepung talas dapat dimanfaatkan lebih lanjut
sebagai bahan baku industri makanan seperi biscuit, dan makanan sapihan (weaning
food ). Pemanfaatan tepung talas juga dapat diaplikasikan dalam pembuatan makanan
bagi orang yang sakit dan orang tua yang merupakan campuran tepung talas dan susu
skim. Tepung talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet dikarenakan daya
mengikat air yang tinggi (Greenwell, 1947; Payne et al., 1941; Winarno, 1986).
B. OKSALAT
Penyebab kegatalan pada talas hingga kini belum dapat dipastikan dari mana
asalnya. Banyak yang mengatakan bahwa rasa gatal yang timbul pada talas
disebabkan oleh senyawa yang berbentuk jarum (raphide), yakni kalsium oksalat
yang menyebabkan iritasi bagi yang mengkonsumsinya. (Bradbury dan Nixon, 1998 ;
paul et al., 1999).
Pendugaan oksalat sebagai penyebab rasa gatal pada talas hingga kini masih
menjadi pertanyaan, penelitian yang dilakukan terhadap jenis talas giant swamp yang
memiliki kandungan oksalat yang tinggi ternyata tingkat kegatalannya sangat rendah
sekali. Pengujian mikrostruktur yang dilakukan terhadap raphide menunjukkan
bahwa adanya zat lain yang berupa protein yang menyelimuti raphide, dalam hal ini
raphide hanya berperan sebagai pembawa dalam penetrasi senyawa penyebab gatal
pada kulit ( Bradbury dan Nixon, 1998 ; Paul et al., 1999).
Oksalat dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut dalam air (asam oksalat)
dan tidak larut air (garam oksalat ataupun kalsium oksalat). Asam oksalat adalah
senyawa kimia yang memiliki rumus molekul H2C2O4 dengan nama sistematis asam
etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini biasa digambarkan dengan rumus
HOOC-COOH, merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat
daripada asam asetat. Di-anionnya, dikenal sebagai oksalat, juga agen pereduktor.
11
Kalsium oksalat merupakan bahan tanaman berlimpah yang diproduksi dalam
bentuk kristal mikroskopis yang tajam dan telah diketahui terdapat dalam lebih dari
200 famili tanaman, meliputi spesies Medicago truncatula. Kristal-kristal kalsium
oksala ini dikenal mengakibatkan iritasi bagi manusia. Persenyawaan kalsium oksalat
berasal dari ion kalsium dengan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk
kristal padat nono-volatil, bersifat tidak larut dalam air namun dapat larut dalam asam
kuat. Bentuk kalsium oksalat yang terdapat pada berbagai jenis tanaman umumnya
berbentuk raphide (jarum), druse (bulat), prisma dan rhomboid (Arnoot dan Pautard,
1970).
(a) (b) (c)
Gambar 2. Bentuk raphide dalam Talas (a) Kalsium oksalat berbentuk raphide (Paull et al., 1999); (b) Raphide dengan deposit pada permukaannya (Paull et al., 1999); (c) Kalsium oksalat berbentuk druse (Bradbury dan Nixon, 1998).
Menurut Bradbury and Nixon (1998), banyak varietas umbi talas memiliki rasa
yang tajam dan dapat membengkakkan bibir, mulut, dan tenggorokan ketika
dikonsumsi dalam keadaan mentah. Pembengkakan ini dapat terjadi dikarenakan
adanya kalsium oksalat yang berbentuk raphid, yang dapat menusuk jika bersentuhan
dengan kulit yang lembut.
Proses pemanasan dapat mengurangi kelarutan oksalat, namun proses
pemanasan tidak dapat menghilangkan keseluruhan kandungan oksalat dalam
makanan. Perebusan dapat mengurangi kandungan oksalat dalam makanan pada saat
perebusan dengan membuang air perebusan. Pada saat perendaman, proses
12
kecambahan, dan proses fermentasi juga dapat mengurangi kandungan oksalat
(Noonan and Savage, 1999).
Metode yang sering digunakan untuk mengurangi rasa gatal pada talas adalah
dengan perendaman air hangat. Perendaman irisan umbi dalam air hangat suhu 38-
48oC selama kurang dari 4 jam diklaim dapat menurunkan kadar komponen penyebab
gatal tanpa menyebabkan gelatinisasi pati (Huang dan Hollyer, 1995). Perebusan
hanya akan mengurangi kadar oksalat terlarut, namun tidak untuk garam oksalat,
Penurunan kadar oksalat dengan perebusan ini disebabkan oleh pelarutan dan
degradasi panas (Iwuoha et al, 1995). Sebaliknya, pemanggangan makanan akan
meningkatkan efektivitas kandungan oksalat dalam makanan dikarenakan hilangnya
kadar air dalam bahan makanan yang disebabkan oleh proses pemanggangan tersebut
(Noonan dan Savage, 1999).
Oksalat bebas yang terlarut dan oksalat yang tidak dapat larut (berbentuk garam
oksalat) dapat diekstrak dari tanaman. Untuk oksalat yang terlarut dapat diekstrak
menggunakan air panas, sedangkan untuk oksalat berbentuk garam oksalat dapat
diekstrak menggunkan larutan asam. Larutan asam juga dapat digunakan untuk
mengekstrak oksalat bebas yang terlarut. Selain dengan menggunakan air panas dan
asam, proses ekstraksi juga dapat dianalisis dengan menggunakan metode HPLC
(High performance liquid chromatography), penambahan enzim dan capilary
electrophoresis (Chai dan Liebman, 2005).
Seluruh bagian tanaman talas mengandung senyawa kristal kalsium oksalat
mulai dari daun, umbi sampai pada akar umbi. Senyawa tersebut diduga kuat
menyebabkan iritasi pada mulut dan tenggorokan (Lee, 1999).
Menurut Lazenby (1998), timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh
raphide yang tidak dikelilingi atau ditutupi semacam getah, sehingga dapat
melakukan kontak secara langsung dengan lidah, bibir dan langit-langit mulut ketika
dikunyah. Sementara itu raphide yang terkurung dalam getah tidak menimbulkan rasa
gatal. Raphide yang terkurung dalam kapsul getah terletak dalam daerah di antara
dua vakuola. Ujung dari kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola – vakuola
pada dinding sel. Vakuola – vakuola yang menghimpit kapsul tersebut berisi air,
13
sehingga jika ada perlakuan mekanis dengan menggunakan air maka akan adanya
tekanan dalam kapsul yang menekan raphide di dalam kapsul untuk menusuk keluar
kapsul.
Metode fisis yang paling umum diterapkan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat adalah dengan
pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dapat dilakukan melalui penjemuran,
pemasakan (Lee, 1999). Menurut Smith (1997), proses penghilangan kalsium oksalat
dapat dilakukan dengan proses fermentasi. Fermentasi diduga mendekomposisi
kalsium oksalat menjadi asam karboksilat yang kemudian terdehidrasi menjadi
alkohol.
Proses pemanasan yang dilakukan secara intensif akan mereduksi kandungan
oksalat dalam bahan. Dengan cara tersebut diduga oksalat dalam bahan diubah
menjadi bahan yang gampang menguap (volatil) dan mungkin menjadi suatu basa
nitrogen (Plowman, 1969). Selain itu, menurut Greenwell (1947) proses pemanasan
yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap kalsium oksalat secara kimia, tetapi
dengan pemanasan akan dapat mengeliminasi penyebab iritasi ataupun disintegrasi
kristal menjadi bentuk – bentuk yang “non – irritating”.
C. GELATINISASI PATI
Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan α -1, 4 – glikosidik dan α -1, 6–
glikosidik. Molekul pati terdiri dari dua jenis, yaitu amilosa dan amilopektin.
Perbedaan antara amilosa dan amilopektin ini ditentukan oleh jenis ikatan yang
terjadi. Ikatan antar molekul glukosa dalam amilosa berupa ikatan α -1, 4 –
glikosidik, sedangkan pada molekul amilopektin berupa ikatan α -1, 4 – glikosidik
dan α -1, 6– glikosidik.
Pati pada berbagai jenis bahan pangan memiliki beberapa perbedaaan yang
meliputi perbedaan berat molekul rata – rata dan perbandingan antara amilosa dan
amilopektin yang terdapat dalam bahan. Perbedaan – perbedaan yang ada ini akan
menjadikan adanya perbedaan pada viskositas dan kekuatan gel yang terbentuk pada
bahan (Matz,1962).
14
Menurut Whistler dan Daniel (1984), pati bersifat tidak larut dalam air dingin,
tetapi granulanya mampu menyerap air sampai sedikit membengkak. Peningkatan
suhu yang dilakukan akan mngakibatkan pengikatan air yang jauh lebih banyak
dikarenakan molekul akan bervibrasi dengan cepat sampai akhirnya ikatan antar
molekuler pecah dan sisi hidrogennya akan mampu mengikat air dalam jumlah yang
lebih banyak.
Peningkatan suhu yang dilakukan pada pati akan mengakibatkan adanya
pembengkakan pada granula. Pembengkakan pada awalnya terjadi secara reversibel,
namun dengan adanya peningkatan suhu yang diberikan akan mengakibatkan
pembengkakan bersifat tidak reversibel kembali. Perubahan sifat kimiawi pati dari
reversibel menjadi irreversibel dikenal dengan nama gelatinisasi pati. Pada saat
proses gelatinisasi terjadi, suhu yang tercatat dinamakan suhu gelatinisasi.
Pada proses gelatinisasi, suhu gelatinisasi akan berbeda untuk setiap jenis
bahan, perbedaan ini dipengaruhi juga oleh ukuran granula pati. Ukuran granula
setiap jenis pati akan mempengaruhi kebutuhan energi pada proses pembengkakan
granula. Perbedaan energi inilah yang akan mengakibatkan terjadinya selang suhu
gelatinisasi. Pati yang memiliki ukuran granula yang lebih besar akan membengkak
pada suhu yang lebih rendah dari pada granula dengan ukuran yang lebih kecil
(Hodge dan Osman, 1976).
Pembengkakan granula yang terjadi pada saat proses gelatinisasi terjadi karena
adanya energi kinetik molekul–molekul air yang lebih besar daripada daya kohesi
antar sel–sel pati. Molekul–molekul air yang ada akan mnerobos masuk ke dalam sel–
sel pati dengan memecah ikatan antar molekulnya. Penampakan proses gelatinisasi ini
dapat diamati secara fisik. Suspensi pati sebelum tergelatinisasi akan berwarna putih
keruh, suspensi ini akan berubah menjadi jernih pada saat proses gelatiniasasi
berlangsung (Winarno, 1984).
Proses gelatinisasi dilakukan dengan beberapa tahapan, pemberian air pada
tahap awal akan memisahkan kristal amilosa dan menggangu struktur heliksnya
dalam granula. Penetrasi air ini ke dalam granula akan mengakibatkan granula
bersifat reversibel (Mc. Cready, 1970). Peristiwa ini akan mengakibatkan 15
pembengkakan granula hingga 20- 30 kalinya. Apabila penambahan dan pemanasan
air terus dilakukan, maka amilosa akan mulai keluar dari granula. Proses yang
berlanjut akan mengakibatkan granula pecah dan pati akan keluar membentuk
struktur gel koloid.
Umbi talas mengandung pati sekitar 18,2%, sedangkan kandungan gulanya
sekitar 1,42%. Karbohidrat pada umbi talas sebagian besar merupakan komponen
pati, sedangkan komponen lainnya adalah pentosan, serat kasar, dekstrin, sukrosa dan
gula pereduksi (Onwueme, 1978).
Table 5. Persentase kandungan karbohidrat pada umbi talas
Kandungan Persentase
Pati 18,20
Pentosan 2,60
Serat kasar 1,40
Dekstrin 0,50
Gula pereduksi 0,50
Sukrosa 0,10
Sumber : Onwueme, 1978.
Pati talas mengandung 17-28% amilosa, dan sisanya adalah amilopektin.
Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22 unit
glukosa per molekul. Granula pati talas berukuran antara 1-4 µm (Onwueme, 1978).
Pati talas tersimpan dalam granula yang berdiameter 3-4 µm dan mengandung
amilosa sekitar 7-10%. Komposisi kimia umbi talas tergantung pada varietas, iklim,
kesuburan tanah, dan umur panen (Gakaishi, 1978).
16
D. PENGERINGAN
Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengurangi kadar air suatu bahan,
proses ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dari bahan agar tidak cepat
rusak selama penyimpanan. Dalam prosesnya, pengeringan dapat dikatakan sebagai
suatu proses pindah panas dan pindah massa. Pindah panas berlangsung melalui suatu
permukaan yang padat, dimana panas dipindahkan ke dalam bahan melalui alat
pemanas sehingga akan mengeluarkan kandungan air yang terdapat pada bahan
(Desrosier, 1963).
Dalam proses pengeringan ada dua cara yang biasa dilakukan, yakni
pengeringan dengan cara penjemuran dan pengeringan dengan emnggunakan alat
pengering. Pengeringan dengan menggunakan alat pengering buatan akan
memudahkan pengontrolan bahan selama proses pengeringan, pengeringan yang
dilakukan dengan menggunakan alat pengering akan lenih cepat dan mampu
mmpertahankan warna bahan yang akan dikeringkan.
Proses pengeringan yang dilakukan dengan penjemuran akan membutuhkan
waktu yang relatif lama, selain itu pengeringan dengan penjemuran akan
mengakibakan kesulitan dalam hal pengontrolan kontaminasi mikroba, suhu dan
kelembaban udara.
Menurut Setijahartini (1976), penggunaan dan pemilihan alat pengering
buatan harus mempertimbangkan beberapa hal, yakni jenis bahan, mutu hasil akhir
yang diinginkan, dan pertimbangan ekonomi. Setiap alat pengering digunakan untuk
jenis bahan tertentu, misalnya tray dryer untuk mengeringkan bahan padat atau
lempengan dengan sistem batch. Pengeringan dengan sistem kontinyu menggunakan
drum dryer, spray dryer, tunnel dryer dan rotary dryer.
Pengaruh pengeringan terhadap warna dari produk kering di antaranya
disebabkan oleh reaksi karamelisasi dan reaksi Mailard yang menyebabkan adanya
perubahan warna menjadi coklat. Pengeringan dan perlakuan pendahuluan akan
mempengaruhi aktivitas enzim terutama enzim yang menimbulkan “browning”. Pada
umumnya enzim peka terhadap keadaan panas yang lembab, terutama pada suhu
diatas maksimum aktivitas enzim tersebut (Muchtadi, et, al. 1979).
17
E. TEPUNG TALAS
Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau
penepungan. Pada proses penggilingan ukuran bahan diperkecil dengan cara diremuk
yaitu bahan ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Tepung mekanis pada
proses penggilingan diikuti dengan peremukan bahan dan energy yang dikeluarkan
sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk
dihancurkan (Hubeis, 1984).
Menurut Lingga (1986) bahwa proses pembuatan tepung dapat dilakukan
dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses
pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan umbi segar, yang
kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan.
Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses
pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Kemudian
dilakukan pengeringan pada suhu sekitar 50-60oC yaitu pada saat kadar air mencapai
12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya umbi yang dikeringkan
tersebut dibolak-balik agar keringnya merata. Hasil dari pengeringan yang diperoleh
berupa keripik talas yang kemudian digiling untuk menghasilkan tepung talas. Untuk
menyeragamkan ukuran dari tepung yang dihasilkan perlu dilakukan pengayakan.
Tepung merupakan salah satu produk pengolahan yang sangat fleksibel.
Dalam penggunaannya, tepung sangat mudah untuk digunakan, penggunaan tepung
sebagai bahan makanan hampir dapat diimplementasikan pada semua proses
pengolahan makanan. Pemilihan produk akhir talas dalam bentuk tepung memiliki
nilai tambah tersendiri, pengolahan talas menjadi tepung talas akan memudahkan
talas untuk di campur ataupun ditambahkan ke dalam bahan makanan lainnya dalam
pengolahan produk.
Konversi umbi segar talas menjadi bentuk tepung yang siap pakai terutama
untuk produksi makanan olahan disamping mendorong munculnya produk-produk
yang lebih beragam juga dapat mendorong berkembangnya industri berbahan dasar
tepung atau pati talas sehingga dapat meningkatkan nilai jual komoditas talas.
18
Penepungan talas juga diharapkan dapat menghindari kerugian akibat tidak
terserapnya umbi segar talas di pasar ketika produksi panen berlebih
v
Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung berbahan umbi
Umbi talas segar
Pengupasan kulit
Pengirisan dengan ketebalan 5 mm
Perendaman dalam air hangat suhu 40 oC selama 4 jam
Pengeringan 50-600C, 5-6 jam
Kripik talas
Penggilingan
Tepung Talas
19
F. HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY
HPLC merupakan suatu bentuk kromatografi kolom yang sering digunakan
dalam biokimia dan kimia analitik untuk memisahkan, mengidentifikasi, dan
menghitung senyawa. HPLC menggunakan kolom kromatografi yang menyimpan
material kemasan (fase diam),dilengkapi sebuah pompa yang bergerak selular fase (s)
melalui kolom, dan detektor yang menunjukkan retensi molekul.
Pada HPLC komposisi fase gerak memberikan suatu dimensi untuk
memanipulasi eksperimen yang tidak dijumpai dalam kromatografi gas. Pemisahan
senyawa yang sempurna dalam HPLC dipengaruhi oleh fase gerak yang
digunakannya. Penggunaan pelarut campuran sebagai fase gerk sering kali
menghasilkan pemisahan yang lebih baik dibandingkan menggunakan cairan murni
sebagi fase gerak. Namun, hal ini bukan berarti bahwa selalu dibutuhkan campuran
pelarut kompleks. Umumnya penggunaan fase gerak berair yang sederhana disertai
dengan larutan penyangga jika komponen yang dimiliki sampel sensitif terhadap pH,
atau mengandung elektrolit jika kelarutan sampel sensitive terhadap kekuatan ionik.
Sama halnya dengan GC, HPLC dilengkapi dengan detektor yang merupakan
suatu bagian internal dari sebuah peralatan analitik. Ada beberapa jenis detektor yang
digunakan, dengan pemilihan yang umumnya didasarkan pada persyaratan
sensitivitas, jenis senyawa dalam sampel, dan factor lainnya seperti biaya. Detektor
yang paling umum digunakan didasarkan pada indeks bias dari eluat kolom. Beberapa
macam detektor yang bisa digunakan dalam HPLC, yakni detektor Spectrofotometrik,
detektor Fluorometrik, dan detektor Elektrokimia.
20
Top Related