19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Impulsive Buying
1. Pengertian impulsive buying
Impulsive buying (pembelian impulsif) adalah suatu pembelian yang tidak
terencana, yang dicirikan dengan keputusan pembelian yang relatif cepat dan
keinginan untuk segera memiliki barang tersebut. Tipe pembelian ini juga
diikuti dengan adanya dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut
terkait dengan adanya perasaan yang intens, yang ditujukan dengan melakukan
pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan
segera, merasakan kepuasan dan mengabaikan konsekuensi negatif (Rook,
1987).
Solomon (2009) menyatakan bahwa impulsive buying adalah suatu
kondisi yang terjadi ketika individu mengalami perasaan terdesak secara tiba-
tiba yang tidak dapat dilawan. Keputusan membeli dalam impulsive buying
sangatlah cepat, karena waktu yang dibutuhkan dari melihat produk sampai
membeli sangatlah pendek (Beatty & Ferrell, 1998). Menurut Beatty & Ferrell
(1998) impulsive buying sebagai suatu pembelian yang tiba-tiba dan mendesak
dimana kecepatan dalam mengambil keputusan menghalangi berbagai
pertimbangan bijaksana dan pencarian alternatif lain.
Cobb & Hayer (dalam Semuel, 2007), berpendapat bahwa impulsive
buying terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau
kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Selanjutnya Loudon
20
& Bitta (1993) juga menambahkan bahwa impulsive buying merupakan salah
satu jenis perilaku konsumen, dimana hal tersebut terlihat dari pembelian
konsumen yang tidak mempunyai rinci secara terencana. Kecenderungan untuk
membeli secara spontan ini umumnya dapat menghasilkan pembelian ketika
konsumen percaya bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar.
Verplanken & Herabadi (2001) mendefinisikan impulsive buying sebagai
pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat
dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan
emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang
intens yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan
untuk membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negatif,
merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran.
Pada awalnya kegiatan belanja yang dilakukan oleh konsumen dimotivasi
oleh motif yang bersifat rasional, yakni berkaitan dengan manfaat yang
diberikan oleh suatu produk. Akan tetapi, saat ini kebanyakan konsumen lebih
berorientasi pada nilai hedonis dimana konsumen banyak yang mementingkan
aspek kesenangan, kenikmatan dan hiburan saat berbelanja. Sebagian orang
menganggap kegiatan belanja dapat menjadi alat untuk menghilangkan stres
dan dapat mengubah suasana hati (Semuel, 2005). Fenomena tersebut berkaitan
dengan impulsive buying.
Berdasarkan beberapa pengertian impulsive buying menurut para ahli di
atas, maka penulis menggunakan pendapat Rook (1987) yaitu pembelian tidak
terencana melalui keputusan dengan relatif cepat dan keinginan untuk segera
21
memiliki barang tersebut, yang ditandai dengan perilaku spontan, intens,
bergairah, kuatnya keinginan membeli dan biasanya pembeli mengabaikan
konsekuensi dari pembelian yang dilakukan. Pendapat Rook (1987) tersebut dapat
menjelaskan arti impulsive buying dengan jelas sehingga mudah untuk dipahami.
2. Aspek- aspek impulsive buying
Menurut Rook (1987) impulsive buying memiliki beberapa aspek sebagai
berikut :
a. Spontanitas. Perilaku impulsive buying pada karakter ini terjadi secara
tidak terduga yang memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga,
seringkali karena respon terhadap stimuli visual point-of sale. Misalnya
konsumen yang melihat model baru produk Jeans yang terlihat berbeda dari
model sebelumnya, sehingga menarik perhatian konsumen untuk tergiur
membeli produk Jeans baru tersebut padahal sudah memilikinya.
b. Kekuatan, dorongan/tekanan, dan perasaan hebat. Pada konsumen yang
cenderung impulsive buying memiliki motivasi untuk mengesampingkan
semua yang lain dan bertindak seketika. Adanya motivasi untuk
mengesampingkan hal-hal lain dan bertindak secepatnya. Biasanya hal ini
dapat terjadi karena terdapat stimulus-stimulus dari luar, seperti pengaruh
iklan, promosi, serta diskon.
c. Perasaan senang dan terangsang. Desakan mendadak untuk membeli
sering disertai emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”,
”menggetarkan” atau “liar”. Tidak dapat dipungkiri bahwa barang yang
sedang dilihat oleh konsumen terlalu banyak menggiurkan, sehingga yang
22
muncul pada saat kejadian yaitu emosi positif. Ketika emosi postif dan
adanya stimulus (seperti pengaruh iklan, promosi dan diskon) terhadap
barang sudah muncul maka sulit bagi konsumen untuk mengelakkan
perilaku impulsive buying.
d. Mengabaikan konsekuensi. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu
sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan. Di saat
impulsive buying terjadi, konsumen hanya mementingkan kejadian atau
barang di satu masa saja, tanpa menimbang barang tersebut memang adanya
penting bagi masa yang akan datang atau tidak. Dengan demikian banyak
konsumen yang bahkan tidak mengetahui akibat (rugi) setelah ia membeli
barang tersebut.
Selanjutnya Verplanken & Herabadi (2001) mengatakan terdapat dua aspek
dalam impulsive buying yaitu kognitif dan emosi.
a. Kognitif. Kognitif adalah pikiran dan persepsi konsumen, yang diperoleh
melalui pengalaman dengan suatu objek sikap dan informasi dari berbagai
sumber. Pengetahuan dan persepsi ini biasanya berbentuk kepercayaan
(belief), yaitu keyakinan konsumen bahwa produk memiliki sejumlah
atribut. Kognitif ini sering disebut sebagai pengetahuan dan kepercayaan
konsumen. Aspek ini fokus pada konflik kognitif individu yang meliputi:
1) Kegiatan yang tidak mempertimbangan harga versus kegunaan suatu
produk. Seringkali konsumen yang cenderung impulsive buying tidak
mempedulikan harga barang yang akan ia beli. Demikian pula dasar
pertimbangan rasional baik dalam hal sisi psikologis maupun ekonomis
23
tidak menyertainya, sehingga beberapa ahli bahkan menyatakannya
sebagai perilaku yang bersifat mindless, dimana perilaku tersebut tanpa
dilandasi oleh kontrol kesadaran untuk berpikir rasional yang kuat.
2) Kegiatan yang tidak didasarkan evaluasi terhadap suatu pembelian
produk. Engel & Blackwell (2013) menyatakan konsumen dianggap
sebagai pemikir logis dan rasional disertai evaluasi kognitif saat
memutuskan pembelian. Namun tidak demikian pada perilaku impulsive
buying, konsumen justru tidak menggunakan elemen kognitifnya secara
tajam untuk mengkalkulasikan untung rugi yang akan diperoleh dari
tindakan pembelian yang dilakukan.
3) Kegiatan yang tidak didasarkan pada perbandingan produk yang akan
dibeli dengan produk yang mungkin lebih berguna. Kebiasaan konsumen
yang cenderung impulsive buying seringkali menganggap bahwa tidak
ada waktu lagi untuk mempertimbangkan antara barang yang akan dibeli
dengan barang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena impulsive buying
tersebut bersifat spontan, sehingga tidak sedikit konsumen mengabaikan
konsekuensi dari pembelian yang dilakukan.
b. Emosional. Aspek emosional menggambarkan perasaan konsumen,
menunjukkan penilaian langsung terhadap suatu produk, apakah suatu
produk itu disukai atau tidak disukai, dan apakah produk itu baik atau
buruk. Elemen ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi
timbulnya dorongan perasaan untuk segera melakukan pembelian dan
timbul perasaan senang serta puas setelah melakukan pembelian.
24
Akibat lebih lanjut dari tindakan-tindakan emosional ini adalah
munculnya perasaan penyesalan (regret) yang merujuk pada perasaan rugi
atau sedih atas tindakan pembelian yang belum tentu benar dan tepat. Meski
demikian Dittmar (1995) menjelaskan bahwa konteks penyesalan ini
sifatnya sangat individual, dalam arti dapat menyesal pada satu aspek,
namun belum tentu pada aspek yang lain.
Dapat penulis simpulkan bahwa aspek impulsive buying menurut Rook
(1987) adalah: 1) spontanitas, yaitu tindakan tidak terduga yang memotivasi
konsumen untuk membeli saat itu juga, 2) kekuatan, dorongan/tekanan, dan
perasaan yang hebat, yaitu perilaku yang terdapat motivasi untuk
mengesampingkan hal-hal lain dan bertindak secepatnya, 3) perasaan senang dan
terangsang, yaitu desakan mendadak untuk membeli yang disertai dengan emosi
menggairahkan dan menggetarkan, dan 4) mengabaikan konsekuensi, yaitu
desakan untuk membeli dapat mejadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang
mungkin negatif diabaikan.
Berbeda dengan Rook, Verplanken & Herabadi (2001) mengungkapkan
terdapat dua aspek dalam impulsive buying yaitu: 1) aspek kognitif, meliputi
pikiran dan persepsi konsumen yang diperoleh melalui pengalaman dengan suatu
objek sikap serta informasi dari berbagai sumber, dan 2) aspek emosional, yaitu
aspek yang menggambarkan perasaan konsumen dan menunjukkan penilaian
langsung terhadap suatu produk.
Berdasarkan dua pendapat ahli mengenai aspek impulsive buying di atas,
maka penulis memutuskan untuk mengambil aspek impulsive buying pendapat
25
Rook (1987) pada penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan aspek impulsive buying
ini lebih menjelaskan secara detail bagaimana perilaku konsumen dalam impulsive
buying dan aspek tersebut juga menggambarkan bagaimana ciri-ciri perilaku
impulsive buying pada konsumen. Pada aspek impulsive buying menurut
Verplanken & Herabadi (2001) menggunakan salah satu aspek yaitu emosional
yang menggambarkan perasaan dan penilaian langsung konsumen, dimana
menurut penulis akan lebih tepat jika digunakan untuk penelitian kualitatif.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi impulsive buying
Menurut Loudon & Bitta (1993) faktor-faktor yang dapat memengaruhi
munculnya impulsive buying, di antaranya yaitu: karakteristik produk,
karakteristik pemasaran, dan karakteristik konsumen.
a. Karakteristik produk, setiap produk memiliki karakteristik yang berbeda-
beda, dan setiap produsen selalu berusaha menciptakan produk yang memiliki
karakteristik tersendiri sehingga konsumen memiliki persepsi khusus terhadap
produk tersebut. Karakteristik produk ini meliputi: 1) memiliki harga yang
rendah, 2) ukurannya kecil dan ringan, serta 3) mudah disimpan.
b. Karakteristik pemasaran, merupakan serangkaian tindakan menuju
keunggulan kompetitif yang dirancang oleh pemasar dengan tujuan agar
konsumen merasa puas. Hal-hal yang mempengaruhi impulsive buying adalah:
1) Distribusi massa pada self service outlet terhadap pemasangan iklan besar-
besaran dan material yang akan didiskon. Hawkins, Best, & Coney (2004)
juga menambahkan mengenai ketersediaan informasi dimana hal ini
meliputi suatu format yang secara langsung berhubungan dengan
26
penggunaan informasi. Bagaimanapun juga, terlalu banyak informasi dapat
menyebabkan informasi yang berlebihan dan penggunaan informasi
berkurang. Pemasangan iklan, pembelian barang yang dipamerkan, website,
penjaga toko, paket-paket, konsumen lain, dan sumber yang bebas seperti
laporan konsumen adalah sumber utama dari informasi konsumen.
2) Posisi barang yang dipamerkan dan lokasi toko yang menonjol turut
mempengaruhi impulsive buying. Hawkins, Best, & Coney (2004) juga
menambahkan bahwa jumlah, lokasi, dan jarak antara toko barang eceran di
pasar mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum
pembelian. Karena kunjungan ke toko membutuhkan waktu, energi, uang,
dan jarak kedekatan dari toko seringkali akan meningkatkan aspek ini dari
pencarian di luar.
c. Karakteristik konsumen, merupakan ciri individu yang berperan sebagai
pembentukan sikap dan merupakan petunjuk penting mengenai nilai-nilai yang
dianut oleh seorang konsumen. Hal-hal yang mempengaruhi impulsive buying
adalah:
1) Kepribadian konsumen, yang dimaksud disini yaitu bagaimana kepribadian
konsumen dalam hal pengambilan keputusan, seperti konsumen yang
cenderung ekstraversi, neurotisme dan psikotik. Hawkins, Best, & Coney
(2004) menyatakan bahwa kepribadian konsumen mengarahkan dirinya
pada perilaku yang berbeda dalam setiap hal sehingga setiap individu
cenderung memilih produk yang sesuai dengan kepribadiannya. Kepribadian
27
konsumen akan mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan dalam
membeli.
Allport (dalam Suryabrata, 1998) menyatakan bahwa kepribadian
merupakan organisasi dinamis dalam diri individu sebagai suatu sistem
psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungannya. Setiap orang memiliki kepribadian yang unik yang
membedakannya dengan orang lain sehingga individu dapat digolongkan
kedalam tipe kepribadian tertentu. Maenpa & Dittmar (dalam Buendicho,
2003), berpendapat bahwa identitas kepribadian dapat dihubungkan dengan
impulsive buying.
Melihat pertimbangan-pertimbangan yang mendasari munculnya perilaku
membeli spontan ataupun yang tidak terkendali, maka hal itu tidak terlepas
dari konsep ataupun variabel-variabel psikologis. Konsep yang paling
mendekati fenomena tersebut adalah konsep locus of control (Widawati,
2011).
2) Demografis, yaitu data yang secara keseluruhan akan membahas tentang
ukuran penduduk, struktur penduduk, distribusi penduduk, dan bagaimana
jumlah penduduk berubah setiap harinya akibat adanya kelahiran, kematian,
migrasi serta penuaan (Hauser & Duncan, 1999). Faktor demografis disini
berupa jenis kelamin, usia, kelas sosial ekonomi, status perkawinan,
pekerjaan, dan pendidikan. Pada penelitian ini akan menggunakan jenis
kelamin sebagai variabel moderator, mengingat jenis kelamin merupakan
variabel yang ditetapkan berdasarkan atas proses penggolongan. Variabel ini
28
bersifat diskret dan saling pilah antara kategori satu dengan kategori lain,
yaitu perempuan dan laki-laki. Selain ini jenis kelamin juga menunjukkan
variabel yang tepat untuk melihat tingkat impulsive buying seseorang.
3) Karakteristik sosio-ekonomi yang dihubungkan dengan tingkat impulsive
buying. Faktor ini mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap sikap atau perilaku seseorang, seperti kelompok referensi
seseorang diantaranya keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja. Pilihan
produk konsumen sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonominya. Keadaan
ekonomi seseorang terdiri dari pendapatan yang dapat dibelanjakan
(tingkatnya, stabilitasnya, dan polanya), tabungan dan hartanya, kemampuan
untuk meminjam dan sikap terhadap belanja atau kegiatan menabung.
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi impulsive buying: 1) karaktristik produk, yaitu
karakteristik tersendiri pada produk sehingga konsumen memiliki persepsi khusus
terhadap produk tersebut, 2) karakteristik pemasar, yaitu serangkaian tindakan
menuju keunggulan kompetitif yang dirancang oleh pemasar dengan tujuan agar
konsumen merasa puas, 3) karakteristik konsumen, yaitu ciri individu yang
berperan sebagai pembentukan sikap dan merupakan petunjuk penting mengenai
nilai-nilai yang dianut oleh seorang konsumen, meliputi kepribadian konsumen,
demografis dan sosio-ekonomi.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut peneliti memilih karakteristik konsumen,
yaitu kepribadian konsumen sebagai faktor munculnya impulsive buying. Terkait
pada sifat kepribadian yang menyangkut pengendalian diri, locus of control
29
merupakan salah satu faktor yang cukup besar mempengaruhi inividu dalam
impulsive buying (Hausman, 2000). Menurut Widawati (2011) bila dikaitkan
dengan munculnya perilaku impulsive buying yang tinggi, maka mereka yang
memiliki kecenderungan secara spontan, emosional dan melakukan keputusan
pembelian yang tinggi tanpa perencanaan merupakan cerminan dari ciri atau
karakter orang-orang yang memiliki locus of control eksternal. Alasan penulis
memilih locus of control eksternal sebagai variabel bebas dalam penelitian ini
karena konsumen dengan kontrol tingkah laku eksternal cenderung terstimulasi
oleh faktor diluar dirinya. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lefcourt (1982)
konsumen yang memiliki kontrol tingkah laku eksternal lebih mudah terstimulusi
oleh faktor luar dirinya, sehingga peran keluarga, teman, saran ahli, iklan,
tampilan kemasan produk, dan sampel produk menjadi determinan tingkah laku
pembeliannya.
Faktor lain yang penulis pilih sebagai variabel moderator dalam penelitian
ini adalah faktor demografis. Demografis dalam perilaku konsumen ada beberapa
kategori, yaitu struktur kependudukan, sosial, ekonomi, status, umur, dan jenis
kelamin. Dalam kaitannya locus of control, terkait kepribadian konsumen,
ternyata wanita lebih didominasi oleh emosi sedangkan laki-laki cenderung untuk
rasional dalam pengambilan keputusan (Coley, 2003). Emosionalitas memiliki
hubungan yang erat dengan konsep impulsive buying yang dipaparkan oleh Rook
(dalam Engel 2013). Sesuai dengan hasil penelitian Harviona (2010) bahwa
perempuan cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengontrol
30
diri dibandingkan laki-laki sehingga lebih besar kemungkinan melakukan
impulsive buying.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis memilih faktor locus of control
eksternal dan jenis kelamin sebagai variabel yang diteliti dalam penelitian ini.
Alasan peneliti memilih kedua faktor ini adalah peneliti ingin melihat dan menguji
sejauh mana faktor tersebut dapat mempengaruhi perilaku impulsive buying pada
mahasiswa.
B. Locus Of Control Eksternal
1. Pengertian locus of control eksternal
Menurut Rotter (dalam Phares, 1978) locus of control eksternal adalah letak
kendali diri yang menfokuskan bahwa keberhasilan atau kegagalannya berasal
dari luar dirinya. Locus of control eksternal juga memberikan gambaran pada
keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya ditentukan oleh
faktor luar dirinya. Ditambahkan pula bahwa locus of control eksternal adalah
suatu cara dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap perilaku yang
terjadi di luar control dirinya (Jaya & Rahmat, 2005).
Menurut Levenson (1981) locus of control eksternal merupakan persepsi
seseorang terhadap sumber luar dirinya yang mengontrol kejadian-kejadian dalam
hidupnya. Ditambahkan pula bahwa locus of control eksternal adalah keyakinan
individu bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam dirinya ditentukan oleh
kekuatan yang berada di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau kekuatan
lain (Larsen & Buss, 2002).
31
Selanjutnya Robbins (2007) berpendapat bahwa locus of control eksternal
mengacu pada derajat dimana individu memandang peristiwa-peristiwa dalam
kehidupannya sebagai konsekuensi perbuatannya, dengan demikian peristiwa
tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya
sehingga di luar kontrol pribadinya. Menurut Zimbardo (1985) locus of control
eksternal yaitu keyakinan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-
peristiwa yang dialaminya, dimana ia berkeyakinan bahwa faktor nasib,
kesempatan, dan keberuntungan mempunyai pengaruh besar dalam hidupnya.
Berdasarkan beberapa pengertian locus of control eksternal menurut para
ahli di atas, maka penulis menggunakan pendapat Rotter yaitu letak kendali dari
luar diri individu, dimana individu merasa yakin bahwa hasil dari perilaku dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya tergantung dari pengaruh luar diri
mereka. Seseorang yang merasa bahwa nasib, keberuntungan, atau kebetulan
mempengaruhi apa yang terjadi padanya. Seseorang yang berorientasi pada locus
of control eksternal melihat kekuatan bukan berasal dari diri sendiri, melainkan
dari peristiwa yang berada di luar kemampuan dirinya.
2. Aspek-aspek locus of control eksternal
Rotter (dalam Phares, 1987) seseorang yang memiliki locus of control
eksternal percaya bahwa hasil dan perilakunya disebabkan faktor dari luar dirinya.
Faktor dalam aspek eksternal antara lain nasib, keberuntungan dan pengaruh
orang lain.
32
a. Nasib, seseorang akan menganggap kesuksesan dan kegagalan yang dialami
telah ditakdirkan dan mereka tidak dapat merubah kembali peristiwa yang telah
terjadi. Mereka percaya akan firasat baik dan buruk.
b. Keberuntungan, seseorang yang memiliki tipe eksternal sangat mempercayai
adanya keberuntungan, mereka menganggap bahwa setiap orang memiliki
keberuntungan.
c. Pengaruh orang lain, seseorang yang memiliki tipe eksternal menganggap
bahwa orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi
mempengaruhi perilaku mereka dan sangat mengharapkan bantuan orang lain.
Berbeda dengan konsep Rotter yang memandang locus of control sebagai
unidimensional (eksternal ke internal), Levenson (1981) menyatakan bahwa locus
of control eksternal mencakup dua aspek, yaitu: 1) aspek powerful others
(kekuatan orang lain) yang mana mencakup keyakinan seseorang bahwa kejadian-
kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kekuatan orang yang berkuasa, dan 2)
aspek chance (kesempatan) yang mana mencakup keyakinan seseorang bahwa
kejadian-kejadian dalam hidupnya sangat ditentukan oleh nasib, peluang dan
keberuntungan.
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahawa aspek locus of
control eksternal menurut Rotter (dalam Phares, 1987) terbagi menjadi tiga, yaitu
nasib, keberuntungan dan pengaruh orang lain. Pendapat lain dari Hannah
Levenson (1981) mengatakan bahwa aspek locus of control eksternal terbagi
menjadi dua yaitu aspek powerful others (kekuatan orang lain), dan aspek chance
(kesempatan). Pada penelitian ini penulis mengacu pada teori Rotter dalam
33
menentukan aspek-aspek locus of control eksternal, yaitu meliputi aspek nasib,
keberuntungan, dan pengaruh orang lain. Adapun alasan penulis memilih aspek
tersebut, karena penjelasannya lengkap dan dapat digunakan untuk
mengungkapkan variabel locus of control eksternal.
C. Jenis Kelamin
Membahas permasalahan gender berarti membahas permasalahan
perempuan dan juga laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam Women’s
Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat. Konsep gender secara sosial telah melahirkan
perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Secara umum
adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan
bahkan ruang tempat dimana manusia beraktifitas. Ketika perbedaan gender
sangat melekat pada cara pandang masyarakat, sering kali masyarakat
berpendapat bahwa gender merupakan sesuatu yang permanen dan abadi
sebagaimana permanen dan abadinya ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh
perempuan dan laki-laki (Sumijah, 2015).
Coley (2003) menghasilkan temuan yaitu, antara perempuan dan laki-laki
memiliki perbedaan yang signifikan sehubungan dengan komponen proses afektif
termasuk dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi positif, dan pengelolaan
suasana hati dan komponen proses kognitif termasuk musyawarah kognitif,
34
pembelian yang tidak direncanakan. Zhang (dalam Wathani 2009) menghasilkan
temuan bahwa secara kolektif, perbedaan gender memiliki hubungan terhadap niat
untuk melakukan pembelian online, impulsifitas pada konsumen dan frekuensi
pembelian selama berada dalam bursa jual-beli online. Chien (2010) menemukan
hasil bahwa gender, usia, dan sikap berpengaruh terhadap impulsive buying.
Wathani (2009) menemukan hasil bahwa impulsive buying pada produk pakaian
dipengaruhi oleh salah satu faktor demografis yaitu gender dimana impulsive
buying yang lebih tinggi ditunjukkan oleh subjek penelitian perempuan dan
impulsive buying yang lebih rendah ditunjukkan oleh subjek penelitian pria.
Menurut Coley (dalam Gusti, 2000) perempuan cenderung untuk
menggunakan dua otak secara bersamaan sehingga perempuan berpikir secara
menyeluruh dan penuh pertimbangan. Pada hakikatnya cara kerja otak kanan dan
otak kiri pada perempuan dipengaruhi oleh nuansa emosi yang tinggi. Hal ini
menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil perempuan pada umumnya
memiliki warna emosional didalamnya. Berdasarkan sistem hormonal, laki-laki
memerlukan testosterone (hormon yang berkaitan dengan kekuatan tubuh) ketika
menghadapi persoalan, dan perempuan lebih memerlukan oxytocin (hormon yang
berkaitan dengan kelekatan sosial) saat menghadapi masalah.
Berdasarkan uraian menurut Coley di atas dapat penulis simpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam komponen proses afektif
dan kognitif. Dimana pada sistem pikiran, perempuan cenderung menggunakan
dua otak secara bersamaan sehingga perempuan berfikir secara menyeluruh dan
penuh pertimbangan, sedangkan laki-laki cenderung berfikir dengan otak kanan
35
sehingga laki-laki cenderung mengambil keputusan dan tidak terlalu
memusingkan hal-hal sekunder. Kemudian pada sistem hormonal, perempuan
lebih memerlukan oxytocin yaitu hormon yang berkaitan dengan kelekatan sosial,
sedangkan laki-laki lebih membutuhkan testosterone yaitu hormon yang berkaitan
dengan kekuatan tubuh ketika menghadapi persoalan.
D. Pengaruh Locus of Control Eksternal terhadap Impulsive Buying
Ada keterkaitan antara locus of control eksternal dengan impulsive buying
seperti yang diungkapkan oleh hasil penelitian dari Widawati (2011) bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara locus of control eksternal terhadap
impulsive buying. Konsumen dengan locus of control eksternal lebih mudah
terstimulasi oleh faktor diluar dirinya, sehingga peran keluarga, teman, saran ahli,
iklan, tampilan kemasan produk, dan sampel produk menjadi faktor yang penting
dalam memunculkan tingkah laku impulsive buying, dikarenakan individu dengan
locus of control eksternal meyakini bahwa dirinya dikendalikan oleh hal-hal diluar
dirinya. Berikut ini diuraikan penjelasan mengenai keterkaitan antara masing-
masing aspek locus of control eksternal dengan masing-masing aspek impulsive
buying.
Aspek pertama dari locus of control eksternal ialah nasib. Seorang
konsumen menghadiri pameran pakaian yang diselenggarakan oleh salah satu
perusahaan distributor pakaian ternama di Indonesia. Ketika masuk ke acara
pameran, konsumen diharuskan membeli tiket masuk agar dapat menghadiri acara
pameran tersebut. Tanpa disadari oleh konsumen, tiket masuk seluruh konsumen
36
dan peserta pameran yang hadir diundi untuk mendapatkan doorprize (hadiah
kejutan) berupa 1 merk pakaian desainer ternama diakhir acara pameran tersebut.
Secara kebetulan hanya konsumen tersebut yang mendapatkan doorprize di acara
pameran pakaian tersebut. Peristiwa ini bisa dikategorikan nasib baik sedang
dialami oleh konsumen tersebut, namun di sisi lain agar doorprize tersebut dapat
dibawa pulang, maka konsumen harus membeli minimal satu barang yang
dipamerkan dari outlet. Hal ini membuat konsumen secara spontan mau menuruti
permintaan penyelenggara acara untuk melakukan impulsive buying pada 1 stelan
pakaian yang ditawarkan di outlet, agar doorpirze bisa dibawa pulang oleh
konsumen. Setelah doorprize dibawa pulang, konsumen merasa menyesal dalam
hatinya karena telah membeli 1 stelan pakaian, yang sebenarnya pakaian tersebut
tidak dibutuhkannya. Hal ini berarti konsumen telah mengabaikan penyesalan
dalam hatinya demi mendapatkan doorprize tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek nasib dari locus
of control eksternal konsumen berhubungan dengan aspek spontanitas dan
mengabaikan konsekuensi dari impulse buying. Pernyataan tersebut sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Rotter (dalam Phares, 1987) bahwa individu yang
memiliki locus of control eksternal percaya terhadap nasib baik dan buruk.
Mereka menganggap kesuksesan dan kegagalan mereka sudah ditakdirkan dan
mereka tidak dapat merubah kembali peristiwa yang terjadi, dan yakin bahwa
kejadian yang dialami di bawah kontrol kemampuan yang lebih berkuasa atau
hal-hal di luar dirinya yang sebagian besar mempengaruhi peritiwa apapun yang
terjadi pada dirinya. Seseorang yang merasa bahwa nasib, atau kebetulan
37
mempengaruhi apa yang terjadi padanya. Seseorang yang berorientasi pada locus
of control eksternal melihat kekuatan bukan berasal dari diri sendiri, melainkan
dari peristiwa yang berada di luar kemampuan dirinya. Berdasarkan peristiwa
yang telah diuraikan tersebut maka dapat diketahui bahwa perilaku impulsive
buying yang diwakili aspek spontanitas dan mengabaikan konsekuensi
dipengaruhi oleh aspek nasib dari variabel locus of control eksternal.
Aspek kedua adalah keberuntungan. Seorang konsumen tiba-tiba
mendapatkan hadiah berupa satu unit sepeda gunung yang diperoleh dari undian
yang diselenggarakan oleh salah satu toko/gerai pakaian olahraga di mall, namun
agar sepeda gunung (hadiah) tersebut dapat segera dibawa pulang, maka
konsumen diharuskan membeli satu paket aksesoris olahraga dari toko pakaian
tersebut. Peristiwa ini membuat seorang konsumen segera membeli satu paket
aksesoris olahraga tersebut, karena terdorong oleh perasaan senang dan
terangsang agar segera membawa pulang hadiah berupa sepeda gunung yang sama
sekali tidak terpikirkan maupun tidak diharapkan sebelumnya. Hal inilah yang
dianggap oleh seorang konsumen sebagai suatu keberuntungan yang
menyebabkan perilaku impulsive buying. Peristiwa tersebut memperlihatkan
bahwa aspek keberuntungan dari locus of control eksternal berhubungan dengan
aspek perasaan senang dan terangsang dari impulsive buying. Pernyataan tersebut
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Cobb & Hayer (dalam Semuel,
2007) yang mengungkapkan bahwa impulsive buying terjadi apabila tidak terdapat
tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke
dalam toko, serta peristiwa impulsive buying yang dialaminya tersebut diyakini
38
dan disebabkan oleh faktor keberuntungan dalam hidupnya (Zimbardo, 1985).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek keberuntungan
berhubungan dengan aspek perasaan senang dan terangsang dari impulse buying.
Aspek ketiga locus of control eksternal ialah pengaruh dari orang lain.
Impulsive buying yang timbul karena adanya dorongan atau stimulus berupa
adanya saran atau bujukan dari orang lain misalnya sales personal (pelayan toko),
keluarga atau teman berbelanja. Menurut Weitz dalam Park & Lennon (2006)
mengatakan bahwa pelayan toko yang memiliki orientasi tinggi pada konsumen
akan berupaya melayani kebutuhan dan keinginan konsumen dengan baik
sehingga konsumen yang semula tidak ingin membeli menjadi tertarik membeli
dengan segera, karena pengaruh dari bujukan pelayan toko tersebut. Penyataan ini
sejalan dengan pendapat Diba (2014) yang menyatakan bahwa konsumen dengan
locus of control eksternal tinggi sangat mudah untuk terpengaruh pada ucapan
orang lain yang menyuruhnya untuk melakukan pembelian, termasuk ajakan atau
rayuan dari sales, keluarga, maupun teman. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa aspek pengaruh orang lain dari locus of control eksternal berhubungan
dengan aspek kekuatan, dorongan/tekanan dan perasaan hebat dari impulsive
buying.
E. Pengaruh Locus Of Control Eksternal terhadap
Impulsive Buying pada Perempuan
Konsumen pada umumnya membeli barang di toko dikarenakan adanya
suatu kebutuhan yang harus dipuaskan. Namun seringkali perilaku membeli yang
ditampilkan belum tentu dilandasi oleh adanya kebutuhan tersebut sehingga apa
39
yang diputuskan menjadi tidak efektif atau tidak tepat sasaran. Pembelian yang
tidak efektif, meski secara personal memberi kesan memenuhi kebutuhan dan
kepuasan sesaat, namun efek jangka panjang adalah peningkatan anggaran
ataupun pemborosan biaya belanja. Bila dikaitkan dengan variabel psikologis,
menurut Verplanken dan Herabadi (2001) faktor personal merupakan salah satu
faktor yang menentukan munculnya perilaku pembelian konsumen. Locus of
control sebagai salah satu aspek kepribadian yang menjadi faktor personal yang
berarti dalam menentukan munculnya perilaku pembelian konsumen.
Lebih lanjut, mengacu pada konsep locus of control yang dikemukakan oleh
Rotter (1966) terdapat perbedaan-perbedaan antara locus of control eksternal dan
internal. Konsumen dengan kontrol tingkah laku eksternal lebih mudah
terstimulasi oleh faktor diluar dirinya, sehingga peran keluarga, teman, saran ahli,
iklan, tampilan kemasan produk, dan sampel produk. Menjadi faktor yang penting
dalam memunculkan tingkah laku pembelian, dikarenakan individu dengan locus
of control eksternal meyakini bahwa dirinya dikendalikan oleh hal-hal diluar
dirinya. Gambaran di atas menggambarkan adanya keterkaitan dari kedua variabel
tersebut.
Aspek pertama dalam locus of control eksternal adalah nasib. Indikator
aspek nasib dalam locus of control eksternal yaitu: bergantung pada situasi,
keyakinan bahwa sesuatu terjadi tidak sesuai dengan yang diramalkan. Jika
konsumen sangat percaya apa yang terjadi pada dirinya merupakan sesuatu yang
ditakdirkan maka meskipun pada awalnya konsumen tersebut tidak memiliki
rencana untuk membeli suatu produk, namun sulit bagi konsumen tersebut untuk
40
mengelakkan pembelian produk tersebut dikarenakan bahwa ia menganggap apa
yang terjadi merupakan sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan sudah ditakdirkan.
Seperti yang diungkapkan Aroma dan Suminar (2012) jika individu memiliki
locus of control eksternal yang tinggi maka tidak akan mampu menahan
kebutuhan kesenangan sesaat dan cenderung kurang mampu saat menghadapi
tekanan meskipun akan menimbulkan resiko bagi dirinya. Berdasarkan penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara individu yang sangat
bergantung pada nasib tidak dapat mengelakkaan salah satu aspek pada impulsive
buying yaitu kekuatan, dorongan/tekanan dan perasaan yang hebat saat berbelanja.
Hal tersebut dapat terjadi karena konsumen dengan locus of control eksternal
dicirikan dengan individu yang cenderung tidak berdaya saat menghadapi
tekanan, rangsangan dan stimulus dari luar dirinya.
Selanjutnya aspek dari locus of control eksternal adalah keberuntungan.
Salah satu indikator keberuntungan yaitu persepsi bahwa ada kemungkinan
sesuatu terjadi karena untung-untungan. Konsumen yang terlalu percaya bahwa
segala sesuatu yang terjadi pada dirinya berdasarkan keberuntungan, akan
mengenyampingkan hal-hal penting dalam pengambilan keputusan saat
berbelanja. Dimana ketika berbelanja konsumen perlu mengacu pada pengalaman
sebelumnya, mengevaluasi produk yang akan dibeli, melihat produk yang menarik
namun tidak terlalu dibutuhkan maka akan melakukan pertimbangan-
pertimbangan dahulu sebelum membeli, seperti memikirkan apakah masih ada
produk lain yang lebih penting untuk dibeli terlebih dahulu, menyesuaikan dengan
kondisi keuangan, mencari lebih banyak informasi mengenai produk tersebut.
41
Sehingga konsumen tidak terlalu bergantung dengan pemikiran bahwa pembelian
yang dilakukan hari ini terjadi karena memang ia sedang beruntung mendapatkan
produk tersebut, karena jika demikian maka sulit bagi konsumen untuk mahahan
diri dari perasaan senang dan rangsangan mengenai produk yang menarik
perhatiannya.
Jika konsumen yang awalnya tidak memiliki rencana untuk membeli suatu
produk namun ketika melihat suatu produk sesuai dengan warna favoritnya sulit
untuk menahan diri dari pembelian yang didasarkan pada perasaan senang dan
terangsang terhadap produk tersebut. Dengan demikian berdasarkan penjelasan di
atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat hubungan ketika konsumen yang
sangat percaya akan keberuntungan dirinya terhadap perasaan senang dan
terangsang pada suatu produk. Hal tersebut dapat memicu munculnya impulsive
buying. Sesuai dengan ungkapan Diba (2014) jika individu terlebih dahulu
berpikir dan menilai tentang kegunaan dari barang yang ingin dibelinya, serta
menilai dan memikirkan kondisi keuangan sebelum melakukan pembelian, serta
menimbang dampak positif dan negatif saat melakukan pembelian tanpa terlalu
cepat mengambil keputusan bahwa pembelian yang dilakukan berdasarkan faktor
keberuntungan semata, hal tersebut dapat menjauhkan individu dari impulsive
buying.
Pengaruh orang lain merupakan aspek terakhir dalam locus of control
eksternal. Konsumen yang cenderung membeli produk ketika berbelanja sangat
mudah untuk tergiur dengan diskon terumatama barang atau produk yang tidak
dibutuhkan. Ketika ada dorongan mendesak untuk membeli barang di luar
42
perencanaan maka tidak dapat mengalihkan dorongan tersebut dengan
memikirkan hal-hal yang dapat dilakukan nanti jika uangnya ditabung, karena jika
tidak mampu menahan diri dari dorongan untuk segera membeli produk tanpa
pertimbangan tentunya konsumen membeli tanpa memikirkan konsekusi setelah
melakukan pembelian. Hal ini sejalan dengan Diba (2014) yaitu konsumen dengan
locus of control eksternal tinggi sulit untuk mengacuhkan potongan harga dan
contoh gratis yang ditawarkan, sangat mudah untuk terpengaruh pada omongan
orang lain yang menyuruhnya untuk melakukan pembelian, termasuk ajakan dari
keluarga, teman, dan rayuan sales.
Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh gambaran bahwa sejalan dengan sifat
perempuan yang menyenangi belanja, maka dibanding sampel laki-laki,
konsumen wanita tetap memiliki kecenderungan impulsive buying tinggi yang
lebih banyak dibanding konsumen laki-laki. Sisi emosi yang cenderung
mendominasi perasaan dan pikiran wanita menjadi sumber mengapa mereka
menjadi mudah tergugah oleh stimulasi dari lingkungan yang ditawarkan,
sekalipun mereka menyadari bahwa barang-barang tersebut belum tentu
dibutuhkan (Widawati, 2011).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat
pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada perempuan.
Perempuan merupakan figur yang didominasi oleh emosionalitas, sesuai dengan
hal tersebut bahwa locus of control eksternal memiliki hubungan dengan
impulsive buying yang mana impulsive buying merupakan salah satu pembelian
yang didasarkan oleh emosionalitas.
43
F. Pengaruh Locus Of Control Eksternal terhadap
Impulsive Buying pada Laki-Laki
Menurut Inman, Winer, & Ferarro (2009) stimulus yang ada di dalam
sebuah toko dapat memicu munculnya needs atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak disadari sebelumnya dan berkeinginan atau memaksa memori untuk
melupakan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sebelumnya. Berdasarkan hasil
penelitian Widawati (2011) bahwa terdapat pengaruh atribut kepribadian terhadap
impulsive buying, dimana atribut kepribadian yang dimaksudkan adalah locus of
control. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pengaruh
locus of control eksternal maka semakin tinggi pula impulsive buying dan
sebaliknya.
Kontinum dimensional locus of control bergerak dari derajat eksternal ke
internal, dimana pemahaman locus of control eksternal mengarah pada keyakinan,
perilaku, hasil atau kejadian tertentu disebabkan oleh nasib, keberuntungan serta
ditentukan oleh kekuatan dari luar atau lainnya. Individu yang mempunyai locus
of control eksternal cenderung menyimpulkan bahwa sesuatu yang terjadi pada
dirinya karena adanya kekuatan dari luar dirinya, sehingga individu tersebut tidak
bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya (Rotter, 1966), sehingga
individu tersebut cenderung untuk terikat dengan pola perilaku maladaptif yang
dapat mengarah pada kepuasan diri yang tidak mau dikaitkan antara perilaku dan
pencapaian hasil. Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya
bahwa terdapat hubungan antara masing-masing aspek locus of control eksternal
terhadap aspek-aspek impulsive buying.
44
Dapat penulis jelaskan kembali bahwa jika dikaitkan dengan salah satu
aspek impulsive buying yang mengabaikan konsekuensi, maka ada kaitan antara
konsumen yang cenderung berorientasi pada locus of control eksternal, dimana
individu tersebut akan mudah untuk melakukan pembelian karena adanya rayuan
dari sales, ajakan teman, keluarga dan stimulus-stimulus lainnya.
Ditemukan bahwa laki-laki cenderung mengarah pada keyakinan bahwa ada
konsekuensi hasil atas perbuatan diri sendiri. Laki-laki cenderung percaya bahwa
hasil baik yang diperoleh dan kegagalan yang diperoleh merupakan hasil dari
perilakunya sendiri, sehingga ia percaya bahwa yang mengontrol berhasil
tidaknya suatu tujuan adalah dirinya sendiri, laki-laki juga biasanya proaktif dan
prilakunya cenderung adaptif (Basgall & Snyder, 1988). Laki-laki cenderung
dengan kontrol tingkah laku yang lebih selektif dalam menerima stimulasi dari
luar dirinya (Lefcourt, 1982), sehingga usaha, ingatan, dan motif menjadi faktor
yang penting dalam tingkah laku membelinya. Konsumen laki-laki juga dianggap
akan selektif terhadap stimulus, mampu menunda kepuasan dan tidak mudah
terpengaruhi, mampu menahan keinginan dan perasaan sesaat, lebih mampu
mengontrol keinginan atau impulsive-nya, serta lebih tahan pengaruh sosial (Petri,
dalam Lina 1997). Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa laki-laki
cenderung memiliki locus of control eksternal yang rendah maka sedikit mudah
untuk mengabaikan stimulus-stimulus dalam pembelian yang tidak
direncanakannya.
45
G. Impulsive Buying Ditinjau dari Jenis Kelamin
Impulsive buying yang dipengaruhi oleh aspek-aspek locus of control
eksternal cenderung berbeda antara laki-laki dan perempuan. Coley (dalam Gusti,
2000) menghasilkan temuan yaitu, antara laki-laki dan perempuan memiliki
perbedaan yang signifikan sehubungan dengan komponen proses afektif termasuk
dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi positif, dan pengelolaan suasana
hati serta komponen proses kognitif termasuk pembelian yang tidak direncanakan.
Pada laki-laki letak emosi umumnya terletak di sebelah kanan yang berarti
perasaan dapat bekerja secara terpisah dari fungsi-fungsi otak yang lain. Contoh
laki-laki berdebat dengan kata-kata di otak kiri tanpa emosional. Pada perempuan,
titik emosi tersebar pada kedua belahan otak. Perasaannya menjadi lebih aktif
serempak bersamaan dengan fungsi otak lain. Contoh perempuan bisa menangis
saat tidak mendapatkan baju yang diinginkannya. Oleh sebab itu tidak
mengherankan jika perempuan menggunakan emosi saat berbelanja, sedangkan
laki-laki tidak terlalu menekankan emosi saat berbelaja (Harviona, 2010).
Pada saat berbelanja di mall tentunya orang-orang akan berinteraksi dengan
penjaga toko, pramuniaga, sales dan kasir. Telah dijelaskan bahwa perempuan
cenderung memerlukan oxytocin, yaitu hormon yang berkaitan dengan kelekatan
sosial termasuk saat berbelanja di mall. Tidak mengherankan jika saat sales
menawarkan produk pakaian maka perempuan cenderung menaggapi penawaran
tersebut dan memiliki sifat spontanitas terhadap penawaran karena memiliki
perasaan yang hebat dan mudah terangsang dengan tawaran yang diberikan.
Berbeda dengan laki-laki yang memiliki hormon oxytocin lebih sedikit dibanding
46
perempuan, sehingga ketika ada penawaran diskon dari sales laki-laki cenderung
untuk mengabaikan. Hal inilah yang membuat perempuan cenderung memiliki
tingkat impulsive buying lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Harviona, 2010).
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ditemukan perbedaan
perilaku yang signifikan antara konsumen wanita dengan konsumen pria. Menurut
Bakshi (dalam Sumartono & Subroto, 2002) dari keseluruhan faktor-faktor yang
berkenaan dengan perilaku pengambilan keputusan konsumen faktor yang
terpenting adalah jenis kelamin. Hal ini di sebabkan oleh hubungan sosial atau
aturan dan tanggung jawab yang berbeda antara wanita dan pria. Berdasarkan
sebuah survei diketahui bahwa wanita meluangkan waktu yang lebih lama untuk
belanja makanan dan pakaian. Selama satu tahun, wanita pergi ke toko yang
menjual kebutuhan sehari-hari sebanyak 84 kali, dan belanja hingga 94 jam lebih.
Mereka menghabiskan 100 jam lebih untuk belanja di toko baju. Itu tidak
termasuk belanja sepatu, asesoris, ataupun sekadar melihat-lihat, yang
menghabiskan sekitar 25 jam atau sekitar 1 hari lebih. Total perjalanan yang
dilakukan untuk berbelanja demi penampilan pun fantastis, yakni 90 kali
perjalanan. Detilnya, 30 kali untuk baju, 15 kali untuk sepatu, 18 kali untuk
perhiasan, dan 27 kali untuk kebutuhan kamar mandi.
Konsumen perempuan menjadi figur pelaku yang berpeluang besar untuk
melakukan impulsive buying jika dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan
cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh sisi emosionalitas dibandingkan
rasionalitas. Emosionalitas memiliki hubungan yang erat dengan konsep impulsive
buying yang dipaparkan oleh Rook (dalam Engel, 2013). Perempuan juga
47
cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengontrol diri
dibandingkan konsumen laki-laki sehingga lebih besar kemungkinan melakukan
impulsive buying (Rook dalam Engel, 2013), sehingga perempuan dinilai
cenderung impulsive buying dibandingkan laki-laki.
H. Locus Of Control Eksternal Ditinjau dari Jenis Kelamin
Locus of control eksternal merupakan salah satu atribut kepribadian dalam
diri individu, yang berfungsi sebagai tingkat keyakinana individu mengenai
penentu nasib mereka sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Individu yang cenderung memiliki locus of control eksternal diidentifikasikan
lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan
lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan (Kreitner &
Kinichi, 2003).
Biaggio (2004) mengungkapkan bahwa seiring bertambahnya usia,
seseorang cenderung berorientasi pada locus of control internal, mengingat masa
pertumbuhan perempuan lebih cepat dibanding laki-laki maka perempuan dinilai
memiliki locus of control internal yang tinggi dibandingkan laki-laki. Akan tetapi
pada literatur lain ditemukan bahwa seharusnya laki-laki lebih berorientasi pada
locus of control internal. Pendapat tersebut didasarkan karena laki-laki lebih
independen dibandingkan perempuan.
Menurut Archer (dalam Sumijah 2015) sejauh ini terlalu sedikit
penelitian/temuan tentang locus of control eksternal ditinjau dari jenis kelamin.
Begitu pula menurut Chubb (dalam Biaggio, 2004) yang mengatakan bahwa
banyak penelitian mengenai locus of control eksternal yang ditinjau dari jenis
48
kelamin, tapi penelitian-penelitian tersebut tidak relevan lagi karena dilakukan
sebelum tahun 1980-an. Temuan yang tidak konsisten ini, dapat terjadi karena
mempunyai faktor-faktor yang beragam, salah satunya karena dewasa ini setiap
individu (baik perempuan maupun laki-laki) memiliki pandangan yang bervariasi
mengenai locus of control. Pada zaman sekarang perempuan dan laki-laki masih
terlihat dalam konteks yang berbeda tetapi sejauh mana perbedaan tersebut tidak
lagi besar. Masyarakat terus melihat bahwa antara perempuan dan laki-laki
semakin memiliki banyak persamaan, oleh karena itu dibutuhkan populasi yang
lebih besar untuk memperoleh hasil yang sesuai. Berdasarkan hasil penelitian
Cairns (dalam Youn & Faber, 2000) yang menggunakan sampel penelitian yang
lebih besar ditemukan hasil bahwa perempuan cenderung memiliki locus of
control eksternal yang tinggi dibanding laki-laki.
I. Landasan Teori
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1966 locus of
control merupakan salah satu faktor individual yang mengendalikan peristiwa
kehidupan seseorang yang ada dalam dirinya. Rotter (dalam Phares, 1978)
menjelaskan aspek locus of control eksternal lebih terperinci, terdapat tiga aspek
dalam locus of contol eksternal yaitu meliputi aspek nasib, keberuntungan, dan
pengaruh orang lain.
Aspek locus of control eksternal yang pertama yaitu nasib. Orang-orang
dengan locus of control eksternal dianggap kurang memiliki usaha untuk mencari
informasi, untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang mereka hadapi. Hal
tersebut juga berpengaruh saat konsumen membeli produk pakaian. Hakikatnya
49
orang akan mencari informasi yang lengkap terlebih dahulu sebelum menentukan
pemilihan produk terbaik, maka konsumen yang hanya mengandalkan nasib
ketika berbelanja cenderung membeli produk tanpa mencari informasi terlebih
dahulu. Setiap individu dapat membuat pertimbangan terhadap suatu pilihan.
Setiap individu dihadapkan dengan beragam pilihan dimana individu harus
memiliki informasi yang lengkap dalam menentukan pilihannya yang dianggap
baik, positif dan tidak merugikan baginya. Untuk itu perlu bagi konsumen
mencari informasi yang lengkap sebelum memutuskan untuk membeli suatu
produk (Gusti, 2000).
Selanjutnya aspek locus of control yang kedua yaitu keberuntungan.
Maksudnya yaitu konsumen yang menganggap bahwa pembeliannya terhadap
suatu produk didasarkan karena factor keberuntungan, bukan melalui usaha.
Perilaku pembelian ini dapat dimotivasi oleh adanya informasi yang tersimpan
dalam ingatan seseorang ataupun stimulus apa saja secara keseluruhan sehingga
membentuk kekuatan untuk bertindak segera dan menganggap bahwa itu
merupakan keberuntungan (Gusti, 2000).
Aspek locus of control yang terakhir yaitu pengaruh orang lain. Konsumen
menganggap bahwa pilihan-pilihannya terhadap produk bukanlah didasarkan pada
pertimbangan akan kebutuhannya melainkan adanya rayuan atau ajakan dari
lingkungan sekitarnya, seperti keluarga, temansaran ahli, sales, bahakan termasuk
pengaruh iklan. Konsumen yang mudah terpengaruh orang lain ketika berbelanja
akan cenderung tidak menyadari bahwa akibat dari pembelian produk tersebut
dapat menimbulkan konsekuensi negatif di masa yang akan datang (Gusti, 2000).
50
Minat beli pelanggan merupakan data yang sangat dibutuhkan oleh setiap
perusahaan terutama untuk data pemasaran perusahaan. Minat beli konsumen
yang dikaji berdasarkan jenis kelamin dapat dimanfaatkan menjadi strategi
pemasaran bagi perusahaan yang menciptakan produk berbasis gaya hidup
(lifestyle) seperti pakaian. Menurut Utami & Sumaryono (2008), pada proses
pembelian yang bersifat rasional, konsumen melakukan pertimbangan yang
cermat dan mengevaluasi sifat produk secara fungsional. Tidak selamanya
konsumen melakukan pembelian secara rasional, terkadang muncul pembelian
yang lebih didasari oleh faktor emosi.
Konsumen seringkali membeli suatu produk karena dorongan emosional
yang sangat kuat dan tiba-tiba. Hal ini tergolong impulsive buying atau pembelian
yang tidak terencana (Rahmasari, 2010). Konsumen perempuan menjadi figur
pelaku yang berpeluang besar untuk melakukan impulsive buying. Jika
dibandingkan dengan laki-laki, perempuan cenderung lebih banyak dipengaruhi
oleh sisi emosionalitas dibandingkan rasionalitas. Emosionalitas memiliki
hubungan yang erat dengan konsep impulsive buying yang dipaparkan oleh Rook
(dalam Engel, 2013). Perempuan juga cenderung memiliki kemampuan yang lebih
rendah dalam mengontrol diri dibandingkan konsumen laki-laki sehingga lebih
besar kemungkinan melakukan impulsive buying (dalam Engel,1995).
Menurut hasil riset Nielsen (2011) mengatakan 10% konsumen yang
mengunjungi toko biasanya tidak pernah merencanakan apa yang ingin dibeli
sebelum berbelanja. 13% biasanya merencanakan apa yang ingin dibeli, tetapi
selalu membeli item tambahan. Sedangkan 61% biasanya merencanakan apa yang
51
ingin dibeli dan terkadang membeli item tambahan. Hal ini menunjukkan sebesar
84% konsumen yang datang ke toko modern terkadang atau selalu membeli
barang yang tidak direncanakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sebagian besar konsumen di Indonesia ketika berbelanja cenderung melakukan
impulsive buying.
Penulis menyimpulkan impulsive buying merupakan bentuk perilaku
ketergesaan kosumen untuk memutuskan pembelian segera suatu produk atau jasa
yang didorong oleh keinginan yang tidak terkontrol. Dengan kata lain semakin
sensitif emosional seseorang semakin kuat kecenderungan impulsive buying, dan
sebaliknya. Dorongan yang demikian tersebut bisa timbul dari sifat kepribadian
seseorang antara lain locus of control yaitu kecenderungan seseorang mengontrol
persepsi kinerjanya, apakah didasarkan keberuntungan dukungan lingkungan luar
(eksternal) atau berdasar pada objektivitas kemampuannya (internal). Semakin
peka seseorang pada nasib keberuntungannya, semakin rendah control
rasionalnya, semakin tinggi locus of control eksternal-nya maka semakin tinggi
ketergesaan membeli sesuatu (impulsive buying.) Dengan kata lain kecenderungan
impulsive buying seseorang dipengaruhi oleh seberapa lemahnya individu
mengontrol emosinya, dan sebaliknya. Dengan demikian antara variabel impulsive
buying dan locus of control eksternal terjadi hubungan sebab akibat atau pengaruh
mempengaruhi.
Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam kehidupan emosinya
yang memberi konsekuensi perbedaan impulsivitas dalam memutuskan membeli
produk maupun jasa. Emosi perempuan lebih peka dibanding laki-laki, dan
52
sebaliknya rasio laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Oleh karenanya
dimungkinkan adanya perbedaan tingkat impulsive buying antara perempuan dan
laki-laki. Selain impulsive buying, jika locus of control eksternal ditinjau dari jenis
kelamin maka perempuan cenderung lebih berorientasi pada locus of control
eksternal dibanding laki-laki. Hubungan variabel impulsive buying dengan jenis
kelamin dan hubungan variabel locus of control ekternal dengan jenis kelamin
merupakan hubungan komparasi atau perbandingan.
Dengan demikian, hubungan antara variabel independen yaitu locus of
control eksternal (X) dan jenis kelamin (variabel moderator) dengan variabel
dependen yaitu impulsive buying (Y) menjadi fokus penulis dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat penulis gambarkan kerangka berfikir
penelitian ini sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
53
Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian
Keterangan gambar :
Variabel bebas : Locus of control eksternal
Variabel tergantung : Impulsive buying
1. Pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying.
2. Pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada
perempuan.
3. Pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada laki-laki.
4. Impulsive buying ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa.
5. Locus of control eksternal ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa.
Variabel Bebas
Locus of Control Eksternal
- Nasib
- Keberuntungan
- Pengaruh orang lain
Variabel Tergantung
Impulsive Buying
- Spontanitas.
- Power/paksaan/ tekanan
dan perasaan yang hebat.
- Perasaan senang dan
terangsang.
- Mengabaikan
konsekuensi.
Variabel Moderator
Perempuan
Laki-laki
1
2
4
3
5
54
J. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini yaitu:
1. Terdapat pengaruh yang positif antara locus of control eksternal terhadap
impulsive buying.
2. Terdapat pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada
perempuan.
3. Terdapat pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada
laki-laki.
4. Terdapat perbedaan impulsive buying antara mahasiswa perempuan dan laki-
laki.
5. Terdapat perbedaan locus of control eksternal antara mahasiswa perempuan
dan laki-laki.
Top Related