BAB II LANDASAN TEORI KECERDASAN...
-
Upload
vuongxuyen -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI KECERDASAN...
12
BAB II
LANDASAN TEORI KECERDASAN EMOSIONAL DAN
PENGEMBANGANNYA DI SEKOLAH
A. Tinjauan Wacana Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Emosi
Pemaknaan terhadap emosi sering kali salah, sebab emosi pada
umumnya dimaknai sebagai rasa marah. Pada dasarnya emosi merupakan
cara yang muncul pada diri individu sebagai respon terhadap fenomena
yang dihadapinya seperti emosi marah.
Sebenarnya kadang mengalami kesulitan untuk membedakan
antara emosi dengan perasaan, namun dapat diberi gambaran bahwa
emosi itu mengandung watak dan situasi yang lebih jelas dari pada
perasaan.
Perasaan merupakan pernyataan tentang jiwa seseorang atau
individu pada waktu tertentu baik senang maupun tidak senang..1
Dalam sebuah kamus besar Bahasa Indonesia, emosi diartikan
sebagai luapan perasaan yang dapat berkembang dan surut dalam waktu
relatif singkat 2.
Crow and Crow (1958) mengartikan emosi sebagai berikut : An
emotion is an effective that accompanies generalized inner adjustmentand
mental an physiological stived up states in the invidual and that shows it
self.3 Emosi diartikan sebagai pengalaman efektif yang disertai
penyesuaian dari dalam individu tentang keadaan mental, fisik dan
berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Menurut Goleman bahwa akar kata emosi adalah berasal dari kata
“movere”, kata kerja bahasa latin yang berarti menggerakkan, bergerak,
1 Sardjoe, Psikologi Umum, (Pasuruan : Garoeda, 1994), Cet. I, hlm. 169. 2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
Cet. III, hlm. 261. 3 Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta : Rineka Cipta,
1999), Cet. I, hlm. 150.
13
ditambah awalan “e”, untuk memberi arti bergerak menjauh, menyeratkan
bahwa kecenderungan untuk bertindak merupakan hal mutlak dalam
emosi.4 Hal tersebut sebagai akibat dari suatu stimulan yang menyebabkan
munculnya suatu keinginan untuk bertindak .
Emotion are the affektive states of feeling we ecperience when our
needs are satisfied or frustated and as such, they influence all other
aspects of our behavior.5 Emosi diartikan sebagai perasaan atau perkataan
efektif yang kita alami manakala kebutuhan kita tercukupi atau terhalang
dan hal tersebut mempengaruhi aspek yang lain.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perasaan
dan emosi merupakan suasana batin yang dihayatin oleh seseorang pada
suatu saat. Perasaan berkenaan dengan suasana batin yang tenang,
tersembuyi, dan tertutup sedangkan emosi menunjukan suasana batin yang
lebih dinamis, bergejolak, nampak dan terbuka karena lebih
termanifestasikan dalam perilaku fisik.
2. Macam-macam Emosi
Untuk memudahkan dalam memahami dan membahas emosi
secara mendalam, Sejumlah para ahli mengelompokkan emosi kedalam
kelompok tertentu. Diantaranya pendapat Goleman dalam bukunya
“Emotional Intelligence”, dijelaskan dalam beberapa golongan emosi,
antara lain:
a. Amarah, mencakup beringas, mengamuk, benci, marah besar, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan tindak kekerasan dan kebencian patologis.
b. Kesedihan, mencakup pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, dan kalau menjadi patologis menjadi depresi berat.
c. Rasa takut, mencakup cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, takut sekali, ngeri, kecut sebagai patologi, fobia dan panik
4 Daniel Goleman (a), Emotional Intelligence, Terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia,
2001), cet. X, hlm. 7. 5 Roger H. Hermanson, (ed), Programed Learnig Aid For Developmental Psychology,
(Amerika: United States Of Amerika, 1972), hlm. 84.
14
d. Kenikmatan, mencakup bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luas biasa, senang, senang sekali dan batas ujungnya mania.
e. Cinta, mencakup penerimaan, kepercayaan, kabaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
f. Terkejut, mencakup terkejut, terkesiap, takjub, dan terpana. g. Jengkel, mencakup hina, jijik, muak, mual, benci, dan tidak
suka. h. Malu mencakup, rasa salah, malu hati, kesel hati, sesal, hina
dan hati hancur lebur. 6
Abdul Aziz berpendapat bahwa emosi terbagi dalam dua golongan,
antara lain:
a. Emosi yang bersifat materiil, yakni emosi yang berkisar pada sesuatu
yang dapat dirasakan seperti orang atau barang tertentu.
b. Emosi yang bersifat idiil, yakni emosi yang berkisar pada hal-hal yang
abstrak seperti cinta akan keindahan, kebencian akan kerusakan.7
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya “Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja”, emosi dikelompokkan menjadi dua
bagian, antara lain :
a. Emosi Sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari
luar terhadap tubuh seperti rasa dingin, manis, sakit, lemah dan lapar.
b. Emosi Psikis (kejiwaan) yakni emosi yang mempunyai alasan
kejiwaan seperti perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan susila,
perasaan keindahan dan perasaan ketuhanan.
1) Perasaan intelektual mempunyai hubungan dengan ruang lingkup kebenaran. Dalam hal ini perasaan dapat diwujudkan dalam bentuk sikap ragu-ragu, rasa pasti atau tidak, yakin dan tidak yakin dalam ruang lingkup berfikir ilmiyah misalnya rasa ingin belajar, rasa ingin mengetahai dan sebagainya.
2) Perasaan sosial yakni perasaan yang menyangkut orang lain baik sebagai individu maupun kelompok. Misalnya rasa persaudaraan, cinta dan benci, permusuhan dan persahabatan, simpati dan anti pati, dan sebagainya.
6 Ibid., hlm. 411-412. 7 Abdul Aziz El-Qusy, Pokok-Pokok Kesehatan Mental, Jilid I, Zakiah Daradjat, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1974), hlm. 131-132.
15
3) Perasaan susila yakni perasaan yang berhubungan dengan hal-hal yang baik menurut norma kesusilaan yang berlaku. Misalnya rasa bersalah apabila melanggar norma dan rasa tentram dalam mentaati norma.
4) Perasaan keindahan adalah perasaan yang timbul apabila orang mengadakan pengamatan atau mendengar sesuatu yang indah atau jelek.
5) Perasaan ketuhanan adalah perasaan terhadap Tuhan dengan segala sifat-Nya yang sempurna. misalnya beriman, tawakal, rendah hati dan sebagainya.8
Dari beberapa pendapat di atas pada dasaranya para praktisi dalam
mengelompokkan emosi sependapat, namun berbeda dalam
penjabarannya.
Pendapat Goleman dalam menjelaskan penggolongan emosi lebih
terinci sedangkan pendapat Abdul Aziz lebih ditekankan pada sifat-sifat
emosi yang berkisar antara emosi yang dapat dilihat dengan emosi yang
tidak dapat dilihat. Namun emosi-emosi yang termasuk dalam dua sifat
tersebut tercermin dalam pendapatnya Goleman. Demikian juga
pendapatnya Syamsu Yusuf, mengenai macam-macam emosi
menitikberatkan faktor penyebab timbulnya emosi yakni emosi yang
berasal dari luar individu dan emosi yang disebabkan dari dalam individu
sendiri. Dengan demikian emosi pada dasarnya memiliki dua bagian yakni
emosi yang positif dan emosi negatif. Adapun emosi muncul faktor dari
dalam dan luar individu.
Apapun bentuk emosi dan faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya emosi tertentu mempunyai peran yang penting dalam
kehidupan. Oleh karena itu penting diketahui perkembangan dan pengaruh
emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Adapun yang
mempengaruhi perkembangan emosi tergantung pada faktor pematangan
dan faktor belajar.9
8 Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandug : Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 114-115. 9 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid I, terj., Meitasari T. dan Muslikhah Z.,
(Jakarta: Erlangga, 1995), hlm.213.
16
a. Peran pematangan
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk
memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan
suatu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama dan
memutuskan ketegangan emosi pada satu obyek. Demikian pula
kemampuan mengingat dan manduga mempengaruhi reaksi emosional.
b. Peran belajar
Metode belajar apapun yang digunakan, dari segi perkembangan usia
harus siap untuk belajar sebelum tiba saatnya belajar, apapun metode
belajar yang dapat menunjang perkembangan emosi antara lain:
1) Belajar secara coba-coba dan ralat 2) Belajar dengan cara meniru 3) Belajar dengan cara mempersamakan diri 4) Belajar dengan cara pengkondisian 5) Belajar dengan cara pelatihan.10
Peran pematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam
mempengaruhi perkembangan emosi, sehingga sulit menentukan dampak
relatifnya. Namun belajar merupakan faktor yang labih dapat
dikendalikan. Dalam belajar segala kekurangan atau kelebihan individu
dapat terlihat sehingga mudah dievaluasi dalam perbaikan.
3. Pengertian Kecerdasan Emosional
Berdasarkan kajian sejumlah teori Inteligensi Emosi, Davies dan
Rekan-rekannya menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang dalam mengelola diri sendiri dan orang lain,
mampu membedakan antar emosi dan kemampuan tersebut diwujudkan
dalam perilaku.11
Menurut Patricia Patton, Kecerdasan emosional adalah kekuatan
dibalik singgasana kecerdasan intelektual dan yang merupakan dasar-dasar
pembentukan emosi mencakup ketrampilan-ketrampilan untuk :
10 Ibid., hlm. 214. 11 Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan , (Jakarta : Pustaka
Populer Obor, 2003), hlm. 27.
17
a. Menunda kepuasaan dan mengendalikan impuls b. Tetap optimis terhadap kemalangan dan ketidakpastian c. Menyalurkan emosi yang kuat secara efektif d. Mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam
usaha mencapai tujuan e. Menangani kelemahan-kelemahan diri f. Menunjukkan rasa empati pada orang lain g. Membangun kesadaran diri dan pemahaman diri12
Pendapat Patricia di atas, bahwa kecerdasan emosional diartikan
sebagai kemampuan individu selain IQ yang didalamnya berupa
pengungkapan emosi secara efektif.
Kecerdasan emosional dikatakan sebagai suatu kemampuan khusus
memahami yang diungkapkan secara langsung apa yang diharapkan
sendiri dan orang lain dengan berusaha memberikan terbaik tanpa merasa
terbebani.13
Sedangkan Goleman menjelaskan kecerdasan emosional adalah
kemampuan mengenali perasan sendiri dan orang lain, kemampuan
memotivasi sendiri dan kmampuan mengelola emosi dengan baik pada
diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.14 Kecerdasan
emosional diartikan sebagai kemampuan mengenali perasaan sendiri dan
orang lain serta mampu mengelola emosi tersebut dengan memotivasi diri
sendiri.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
EQ merupakan segenap kemampuan untuk memahami perasaan sendiri
dan oranglain, kemampuan untuk memotivasi dirinya dan menata dengan
baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan
dengan oranglain.
4. Dimensi-Dimensi Kecerdasan Emosional (EQ)
12 Patricia Patton, EQ Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, Terj. Hermes, (Jakarta :
Mitra Media, 2002), hlm. 1. 13 Steven J. Stein Ph. D.dan howard E. Book, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasa
Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda RJ.dan Yudhi M. (Bandung: Kaifa, 2002), cet.I, hlm. 3. 14 Daniel Goleman (b), Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Prestasi, Terj. Alex Tri
Kanjana W., (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2000), cet. III, hlm. 512.
18
Untuk mengetahui EQ yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari
sikap dan perilakunya. Sekilas dapat terlihat unsur-unsur EQ melalui
penjelasan pengertian EQ di atas. Namun hal tersebut dibahas lebih
mendalam oleh para para pakar psikologi, diantaranya pendapat Goleman
juga Salovey dan Mayer menjelaskan bahwa EQ mencakup lima dasar,
namun Goleman mengelompokkan menjadi dua bagian , antara lain :
a. Kecakapan pribadi, kecakapan ini menentukan bagaimana mengelola diri sendiri. Adapun kecakapan ini mencakup: 1) Kesadaran diri, yakni mengetahui keadaan diri sendiri
kesukaan, sumber daya, dan intuisi dengan ciri-cirinya : - Kesadaran diri : mengenali emosi diri dan efeknya. - Penilaian diri secara teliti : mengetahui kekuatan dan
batas-batas diri. - Percaya diri : keyakinan tentang harga diri dan
kemampuan sendiri. 2) Pengaturan diri, yakni kemampuan mengelola kondisi,
impuls dan sumber daya diri, dengan bercirikan : - Kendali diri : mengelola emosi-emosi dan desakan-
desakan hati. - Sifat dapat dipercaya : memelihara norma kejujuran dan
integritas. - Kewaspadaan : bertanggungjawab atas kinerja pribadi. - Adabtibilitas : keluwesan dalam menghadapi perubahan. - Inovasi : mudah menerima dan terbuka terhadap
gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru. 3) Motivasi, yakni kecenderungan emosi yang mengantar
atau memudahkan pencapaian sasaran, dengan ciri-ciri sebagai berikut : - Dorongan prestasi: dorongan untuk menjadi lebih baik
atau memenuhi standar keberhasilan. - Komitmen: menyesuiakan diri dengan sasaran
kelompok. - Inisiatif : kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. - Optimis : kegigihan dalam memperjuangkan sasaran
kendati ada halangan dan kegagalan. b. Kecakapan sosial
Kecakapan ini menentukan menangani suatu hubungan kecapakan sosial yang terdiri dari dua dimensi, antara lain : 1) Empati, yakni kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan
kepentingan orang lain dengan ciri-cirinya : - Memahami orang lain : mengindera perasaan dan
prespektif dan menunjukan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
19
- Orientasi pelayanan : mengantisipasi, mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
- Mengembangkan orang lain : merasakan perkembangan kebutuhan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
- Mengatasi keragaman : mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.
2) Ketrampilan sosial, yakni ketrampilan untuk menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain, dengan ciri-cirinya : - Komunikasi : mengirimkan pesan yang jelas dan
meyakinkan. - Kepemimpinan : membangkitkan inspirasi dan
membantu kelompok dan orang lain. - Katalisator Perubahan : Memulai dan mengelola
perubahan. - Manajemen konflik : negosiasi dan pemecahan
pendapat. - Kolaborasi dan kooperasi : kerjasama dengan orang lain
demi tujuan bersama. - Pengaruh : memiliki teknik untuk melakukan persuasi. - Kemampuan Tim : menciptakan sinergi kelompokdalam
memperjuangkan tujuan bersama.15
Dari bahasan diatas menggambarkan pada dasarnya dalam EQ
mencakup lima aspek yakni kesadaran diri, pengelolaan diri, motivasi,
empati dan hubungan sosial. Antara kelima aspek tersebut,
mempunyai hubungan yang saling berkaitan satu sama lain:
- Kesadaran diri
Kesadaran diri merupakan dasar kecerdasan emosional
yang melandasi terbentuknya kecakapan-kecakapan lain dalam EQ.
Seseorang yang mempunyai EQ akan berusaha menyadari
emosinya, ketika emosi itu hanyut sehingga suasana hati
menguasai diri sepenuhnya. Sebaliknya kesadaran diri adalah
keadaan ketika seseorang dapat menyadari emosi yang sedang
menghinggapi pikiran akibat permasalahan-permasalahan yang
15 Daniel Goleman (b), Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, Terj. Alex
Tri Kantjana W., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. III, hlm. 512.
20
dihadapi untuk selanjutnya dapat menguasainya. Orang yang
mempunyai keyakinan lebih dan menguasai perasaannya dengan
baik, maka akan mempunyai kepekaan yang tinggi atas perasaan
yang sesungguhnya.
Kesadaran emosi diri dimulai dengan penyelarasan diri
terhadap aliran perasaan, kemudian mengenali bagaimana emosi
membentuk persepsi, pikiran dan perbuatan. Dari kesadaran ini
muncullah kesadaran lain bahwa perasaan kita berpengaruh
terhadap mereka yang berhubungan dengan kita. Tanpa danya
kesadaran diri terhadap perasaan dan apa yang menjadi
penyebabnya, mustahil baginya untuk mencapai kebahagiaan
hidup.
- Pengelolaan diri
Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali
merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.16 Menangani
perasaan agar terungkap secara tepat adalah kecakapan yang
bergantung dengan kesadaran diri.
Mengelola emosi bukan berarti menekan perasaan bukan
pula berarti langsung mengungkapkannya. Pendapat Aristoteles
yang dikutip oleh Harry Alder, mengatakan bahwa setiap orang
dapat menjadi marah itu mudah, tetapi untuk kepada orang yang
tepat, pada tingkat yang tepat, waktu, tujuan, dan dengan cara yang
tepar tidaklah mudah.17 Emosi muncul secara tiba-tiba dan cepat
tanpa diduga ketika mendapat rangsangan emosi, seperti apabila
merasa disakiti secara fisik atau psikis. Dalam keadaan ini
mempunyai waktu yang sangat terbatas untuk dapat
mengendalikan emosi. Semakin cepat dapat menentukan dan
menidentifikasikan emosi ini, maka akan semakin berpeluang
untuk dapat mengendalikannya. Sehingga emosi akan tersalurkan
16 Daniel Goleman (a), Op. Cit., hlm. 77.
21
secara tepat dan akan terhindar dari melampiaskan emosi itu secara
berlebihan.
- Motivasi
Motivation as the processof arousing action, sustaining the
activity in progress and regulating the pattern of activity.18
Motivasi berarti sebagai proses membangkitkan tindakan,
menopoang aktivitas dalam proses dan mengatur pola aktivitas.
Motivasi diri adalah dorongan hati untuk bangkit. Ia
merupakan inti secercah harapan dalam diri seseorang yang
membawa orang itu mempunyai cita-cita yang mendorongnya
untuk meraih yang lebih tinggi. Motivasi merupakan kepercayaan
bahwa sesuatu dapat dilakukan bahkan ketika masalah
menghadangnya.
Emosi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan prestasi
pikiran positif dengan cara tertentu. Diantaranya dengan
menumbuhkan harapan dalam diri seseorang. Menurut peneliti-
peneliti modern, harapan merupakan sebuah kekuatan dalam
berfikir positif dan lebih bermanfaat dari pada memberikan hiburan
di tengah kesengsaraan.19
Dari sudut pandang EQ, orang yang mempunyai harapan,
berarti ia tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah
atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan.
Dalam kecerdasan emosional mengenal dengan istilah flow
yng merupakan puncak dari EQ. Flow adalah keadan ketika
seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakan, pikirannya hanya terfokus kepekerjaan itu, kesadaran
menyatu dengan tindakan. Dalam flow emosi tidak hanya
17 Harry Alder, Boost Your Intelligence, terj. Cristina P., (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm.
125 18 John Wiley and sons, Motivation: Theory and Research, (Amerika: United States Of
Amerika, 1967), cet. IV, hlm. 8. 19 Daniel Goleman (b), Loc.Cit., Hlm.121.
22
ditampung dan disalurkan, tetapi juga bersifat mendukung,
memberi tenaga dan selaras dengan tugas yang dihadapi.20
Untuk mencapai keadaan flow, seseorang harus
memberikan perhatian sepenuhnya dan membutuhkan konsentrasi
yang tinggi terhadap apa yang dilakukan. Pada tingkatan ini emosi
diarahkan menjadi tenaga positif dan produktif. Emosi menjadi
satu unsur motivasi menghadapi emosi yang negatif melalui
kecakapan-kecakapan tertentu.
- Empati
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin
terbuka terhadap emosi diri sendiri maka akan semakin terampil
dalam membaca perasaan.21 Pada tingkat paling rendah, empati
mensyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain pada
dataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan kita meningindera
sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang lewat
kata-kata. Sedangkan pada dataran yang paling tinggi empati
adalah menghayati masalah-masalah atau kebutuhan yang tersirat
dibalik perasaan seseorang.22
Kemampuan empati sangat bergantung pada kemampuan
seseorang dalam merasakan perasaan sendiri dan menidentifikasi
perasaan tersebut. Apabila seseorang tidak dapat merasakan
perasaan tertentu, maka akan sulit bagi orang itu untuk memahami
perasaan orang lain. Untuk itu semakin tinggin kemampuan
memahami emosi diri, maka akan lebih mudah untuk menjelajahi
dan memasuki emosi orang lain. Empati berbeda dengan simpati.
Empati merupaka kecenderungan merasakan apa yang dirasakan
oranglain apabila berada dalam kondisi oranglain tersebut.
20 Daniel Goleman (a), Loc. Cit., hlm. 127. 21 Ibid., hlm.135. 22 Daniel Goleman (b), Loc.Cit., hlm.215.
23
Sedangkan simpati merupakan kecenderungan turut merasakan apa
yang dirasakan orang lain.23
- Hubungan sosial
Salah satu kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau
buruk seseorang dalam mengungkapkan perasaannya sendiri. Paul
Ekman menggunakan istilah “tata krama” tampilan untuk
konsensus sosial mengenai perasaan apa saja yang dapat
diperlihatkan secara wajar pada saat yang tepat.24
Kecakapan jenis ini sangat membantu seseorang untuk
berkomunikasi dan menjalin hubungan serta kepercayaan dengan
orang lain. Mengenali emosi orang lain apabila memiliki
kemampuan mengendalikan emosi diri atau pengaturan diri dan
empati. Dua kemampuan ini membentuk kecakapan antar pribadi.
Kecakapan antar pribadi dapat menghasilkan hubungan yang
positif dengan orang lain dan dapat membantu orang lain
mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan.
B. Pengembangan Kecerdasan Emosional di Sekolah
1. Tujuan
Kecerdasan intelektual yang sering dinyatakan dengan istilah IQ,
bukan merupakan jaminan keberhasilan seseorang. Faktor lain yang perlu
diperhatikan adalah kecerdasan emosional. Salah satu aspeknya adalah
ketrampilan kecerdasan sosial, dalam arti memiliki kemampuan untuk
memahami orang lain serta bertindak bijaksana dalam hubungan antar
manusia. Hal ini penting untuk dikembangkan dalam lingkungan
pendidikan
Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana
kelas adalah penentu psikologis utama yang mempengaruhi belajar, hal ini
dapat dimengerti bahwa suasana, keadaan ruangan menunjukan tempat
23 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), cet. II, hlm. 110. 24 Daniel Goeman (a), Loc.Cit., hlm. 159.
24
belajar yang dipengaruhi emosi25. Dengan demikian emosi mempengaruhi
dalam KBM.
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang menghasilkan
perubahan tingkah laku meliputi bentuk kemampuan yang menurut
taksonomi Bloom mengklasifikasikan dalam bentuk kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotorik.26 Perasaan atau merasa merupakan salah satu
dari aspek afektif, mengetahui merupakan aspek kognitif dan gerakan
yang menyangkut kegiatan oto dan fisk merupakan aspek psikimotorik.
Ketiganya merupakan hal yang berbeda namun saling berhubungan satu
sama lain. Mengetahui dilakukan melalui penginderaan dan hasil dari
mengetahui diperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh individu
atau siswa dapat memberi rasa senang atau tidak senang. Gerakan motorik
merupakan salah satu intraksi individu dengan lingkungannya dan
diarahkan pada pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan tersebut dapat
menimbulkan kepuasan atau sebaliknya dan rasa tersebut dapat menjadi
pendorong dan untuk mengetahui dan melakukan gerakan motorik
lainnya.Dengan demikian kecerdasan emosional tercerman dalam tujuan
pendidikan itu sendiri. Nanum keberhasilan mencapai keseimbangan tiga
aspek tersebut sering kurang maksimal, bahkan cenderung pada aspek
kognitif saja.
Tujuan mengasuh atau mendidik anak dengan kecerdasan
emosional adalah menjadikan anak pemikir yang kompeten, mampu
membuat keputusan yang jernih, ketika orangtua atau guru tidak dapat
membantu bahkan ketika ada tekanan dalam pergaulan anak mampu
menghadapinya sendiri.27
Penanaman kecerdasan emosional di sekolah menitikberatkan
pada peran guru sebagai pengganti orangtua di rumah. Usia dini
25 Dobby DePorter, dkk, Quatum Teaching, terj. Ari N., (Bandung: Kaifa, 2000), cet.I,
hlm. 19 26 Burhanudin Salam, Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik), (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), cet. I, hlm. 108. 27 Maurice J.Elias, dkk. Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak Dengan EQ, terj. M. Jauharul
Fuad, (Bandung: Kaifa, 2002), cet.IV, hlm. 98.
25
merupakan ketepatan dalam menanamkan kecerdasan emosional, dengan
demikian sekolah dasar merupakan tingkat usia yang baik untuk diajarkan
kecerdasan emosional.
Sekolah yang menerapkan kecerdasan emosional
dilingkungannya, diharapkan akan mengubah pandangan bahwa
kecerdasan intelektual adalah penentu utama atau sebutan orang yang
cerdas dan akan ada jaminan keberhasilan dalam hidupnya. Orang tersebut
berubah sesuai dengan reliatas bahwa antara IQ dan EQ mempunyai peran
dan saling keterkaitan, namun EQ lebih tinggi perannya dalam menggapai
kesuksesan. Dengan demikian tidak ada cerita seseorang siswa yang
pandai secara IQ, mempunyai rasa dendam pada gurunya, lantaran
mendapatkan nilai akademik yang jelek.
2. Sasaran-sasaran
Sekolah sebagai oganisasi pembelajaran akan mampu membangun
tatanan yang cerdas secara emosi jika sumber daya manusia yang ada di
dalamnya mampu membangun intraksi sosial. Proses kerja mereka harus
dipandu oleh pengetahuan disertai dengan penanaman antusiasme dan
komitmen yang kuat untuk berhasil pada setiap tatanan pekerjaan.
Kesadaran akan hal itu akan menjadi wahana bagi tumbuhnya kecerdasan
emosional di lingkungan sekolah.28 Dengan demikian dalam penerapan
kecerdasan emosional dapat mencapai sasaran-sasaran, karena didukung
dari kesadaran akan pentingnya EQ sehingga dalam pelaksanaannya
mempunyai kemampuan yang keras dan tujuan yang jelas.
Kecerdasan emosional guru akan mendorong lahirnya etos sekolah
sebagai organisasi pembelajaran dan komunitas sekolah sebagai manusia
pembelajar. Pada sekolah-sekolah unggul, kecerdasan emosional
komunitas sekolah itu berkembang, meski mereka tidak mengetahuinya
bahkan tidak mnyadarinya.
28 Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003),
cet.1, hlm. 250.
26
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa EQ mempunyai
peran yang penting dalam kehidupan. Untuk itu perlu ditanamkan kepada
anak-anak sejak dini. Upaya penanaman EQ dapat dilakukan oleh orangtua
juga para guru disekolah dengan cara-cara tertentu. Untuk itu harus
mengetahui dan memahami sasaran yang terkandung dalam kecakapan
emosional terkait dengan sumber daya manusia yang dijelaskan di atas.
Dengan demikian arah dan tujuannya akan menjadi jelas dan terancang.
Adapun sasaran-sasaran didalam lima komponen utama kecakapan
emosional, sebagaiman yang dikemukakan Goleman, sebagai berikut:
a. Kesadaran diri - Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri. - Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul. - Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan.
b. Mengelola emosi - Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan
amarah. - Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan gangguan di luar
kelas. - Berkurangnya perilaku agresif dan merusak diri. - Perasaan lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan
keluarga. - Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa. - Berkurangnya kecemasan dan kesepian dalam pergaulan.
c. Motivasi - Lebih bertanggung jawab. - Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang
dikerjakan dan menaruh perhatian. - Kurang impulsif dan lebih menguasai diri.
d. Empati - Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain. - Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang
lain. - Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
e. Membina hubungan - Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami
hubungan - Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan. - Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam
hubungan. - Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat
dengan teman sebaya.
27
- Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya. - Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa. - Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam
kelompok. - Lebih suka berbagi rasa, bekerja keras dan suka menolong. - Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.29
Sasaran-sasaran dalam lima komponen utama EQ itu jelas
mengarah pada pembentukan EQ. Kecakapan-kecakapan tersebut tidak
mudak diperoleh kecuali dengan adanya pendidikan dan pelatihan emosi
sejak dini. Dalam hal ini adalah tugas utama guru untuk mewujudkannya.
Pendidikan emosi yang teratur dan terancang dengan baik akan dapat
membina anak untuk memiliki kecakapan-kecakapan emosional
sebagaimana yang tersebut di atas.
3. Metode-metode
Pada dasarnya kecerdasan emosional (EQ) merupakan
ketrampilan-ketrampilan dari pada potensi, dan ketrampilan ini semestinya
diajarkan oleh masyarakat tempat individu tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian kecerdasan emosional dipandang sebagai hasil belajar
dari bawaan. Oleh karena itu kecerdasan emosional dapat ditingkatkan
melalui proses belajar dan proses belajar yang saling berpengaruh adalah
proses belajar sosial. Dalam belajar sosial faktor keluarga dan lingkungan
merupakan lingkungan utama individu akan tetapi sekolah mempunyai
peran tersendiri.
Dalam pengembangan kecerdasan emosional banyak diusulkan
para peneliti diantaranya pendapat Claude Steiner dan John Gottman yang
dikutip oleh Agus Nggermanto.
Tiga langkah utama dalam kecerdasan emosional menurut Claude
Steiner yakni membuka hati, menjelajahi emosi dan tanggung jawab.
a. Membuka hati
29 Daniel Goleman (a), Op.Cit., hlm. 404-405.
28
Membuka hati merupakan langkah pertama karena hati adalah simbul
pusat emosi. Hati yang akan merasakan damai saat berbahagia dalam
kasih sayang, cinta dan hati merasa tidak nyaman ketika sedih atau
marah. Dengan demikian kita akan memulai membebaskan pusat
perasaan kita dari impuls dan pengaruh yang membatasi untuk
menunjukkan cinta pada orang lain.
b. Menjelajahi dataran emosi
Dengan memebuka hati maka melihat kenyataan dan menemukan
peran emosi dalam kehidupan secara singkat dapat lebih bijak dalam
menanggapi perasaan sendiri dan orang lain.
c. Mengambil tanggung jawab
Tidak cukup hanya membuka hati, memahami dataran emosional
orang lain namun etika menghadapi masalah dengan orang lain, maka
harus melakukan perbaikan dan tindakan lebih jauh.30
Dalam keadaan emosi apapun namun berusaha untuk membuka
hati apapun emosi yang sedang dirasakan maka akan mengerti arti penting
emosi dalam kehidupan. Pada akhirnya menjadikan mampu menanggapi
perasaan sendiri dan orang lain.
Kemudian suatu hubungan kadang mengalami masalah maka dapat
dilakukan dengan berusaha menyelesaikan secara objektif apapun
permasalahannya dan diakhiri dengan perdamaian.
Selanjutnya John Gottman juga merumuskan cara
mengembangkan kecerdasan emosional yang dianggap sangat praktis dan
efektif terutama untuk membina kerjasama dan saling pengertian dengan
30Agus Nggermanto, Quantum Quetient: Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ secara
Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2002), cet. IV, hlm.100-102.
29
teman, siswa, anak-anak dan lain-lain. Adapun rumusannya antara lain :
menyadari emosi anak, mengakui emosi sebagai kesempatan,
mendengarkan dengan empati, mengungkapkan nama emosi dan
membantu menemukan solusi.
a. Menyadari emosi anak
Guru ataupun oarang tua yang sadar terhadap emosi mereka sendiri
dengan menggunakan kepekaan mereka untuk menyelaraskan diri
denghan perasaan anak atau murid dengan menyadarinya betapa tulus
dan hebatnya. Ketika seorang guru merasa bahwa hatinya berpihak
pada murid maka dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh
murid itu.31
b. Mengakui emosi sebagai kesempatan
Ketika murid mengalami kegagalan dalam mencapai nilai baik
pelajaran tertentu atau terjadi pertengkaran dengan temannya maka
pengalaman-pengalaman negatif itu dapat digunakan sebagaipeluang
untuk berempati. Dengan rasa empati amaka akan terbangun kedekatan
dan berusaha menangani masalah atau perasaan-perasaan mereka.32
c. Mendengarkan dengan empati
Setelah mampu melihat bahwa situasi merupakan suatu kesempatan
untuk menjalin keakraban dan mengajarkan pemecahan masalah, maka
berusaha mendengarkan keluhan anak dengan bahasa hati untuk dapat
merasakan apa yang sedang dirasakan anak, maka akan merasa
diperhatikan.33
d. Mengungkapkan nama emosi
Salah satu langkah yang mudah dan penting dalam pelatihan emosi
adalah menolong anak memberi nama emosi mereka sewaktu
31 John Gottman, Ph.D. dan Jean Declaire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia, 2001), cet.V, hlm. 90.
32 Ibid., hlm. 94. 33 Ibid., hlm. 95.
30
mengalaminya. Mengusulkan kepada anak untuk mengungkapkan
perasaan-perasaannya. Jika perasaan-perasaan itu diungkapkan lewat
kata-kata maka akan semakin baik34
e. Membantu menemukan solusi
Setelah meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan anak dan
membantunya memberi nama serta memahami emosinya maka kita
akan berusaha untuk memecahkan permasalahannya. Proses ini
memiliki lima tahap yakni menentukan batas-batas, sasaran,
pemecahan yang mungkin, mengarahkan pemecahan yang dirasakan
dan menolong untuk memilih satu pemecahan.35
Agus Nggermanto memperkuat pendapatnya Gottman di atas,
namun dengan menambah yakni metode menjadi teladan dan senada
dengan gagasannya Lawrence. Keteladanan dapat mempengaruhi perilaku
dan tindakan.36Apabila siswa menyaksikan guru dengan tenang membahas
sebuah masalah, menguraikan segala sesuatunya dan menimbang semua
pemecahan yang mugkin, maka mereka dengan sendirinya mulai
menghargai dan meniru perilaku tersbut. Sebaliknya jika guru merasa
terterkan dengan permasalahannya atau beranggapan bahwa masalah-
masalah itu akan hilang dengan sendirinya, maka mungkin akan
menirunya.
Menurut Jeane Segal, ada beberapa cara untuk meningkatkan
kecerdasan emosional dan pencapaian EQ melalui tahapan sebuah
perjalanan jenjang sekolah.
a. Merasakan perasaan-perasaan tubuh bagaikan tahapan sekolah dasar.
34 Ibid., hlm.101. 35 Ibid., hlm. 104. 36 Agus Nggermanto, Op. Cit., hlm. 105 dan Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan
Emotional Intelligence Pada Anak, Terj. Alex Tri K., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet.VI, hlm. 143.
31
Tahapan ini mengajarkan cara merasakan emosi dengan menggunakan
seluruh tubuh tidak hanya hati. Jadi kurikulum dasar kita terdiri dari
pelajaran untuk mengenali perasaan-perasaan di tubuh kita. 37
b. Menerima perasaan bagaikan sekolah menengah
Orang yang tidak dapat merasakan emosi karena dirinya sendiri saling
mencari orang lain untuk menyalahkan kemarahannya dan
menyakinkan dirinya bahwa kesedihan dan kecemasan itu memalukan,
tidak hanya membuang waktu dan energi tetapi juga dapat
menumpulkan indera yang kita butuhkan untuk tetap waspada secara
emosional di dunia nyata. Dimana hambatan datang dari segala
jurusan, tanpa sepenuhnya menerima perasaan kita kehilangan
kebijakan untuk membuat keputusan yang tepat, kekuatan pengandali
di balik bafsu kita untuk bertindak.38
Ketika menolak atau menerima perasaan maka perasaan itu cenderung
bertumpuk di amygdala (struktur rimbik yang berfungsi sebagai
pengatur emosi di otak) seperti jika tidak merasakan apapun sehingga,
meninggalkan kenangan emosional dapat menghambat kemajuan 39
c. Menjaga kesadaran atau mempertahankannya bagaikan perguruan
tinggi
Anda menjaga kepekaan dan kebugaran tubuh sehingga tubuh tetap
reseptif. ketika pikiran mencatat perkembangn emosi dan tubuh, anda
semakin cerdas. Salah satu cara untuk untuk tetap berhubungan dengan
emosi pada saat mengerjakan kegiatan sehari-hari adalah menjaga
kesadaran tubuh agar tetap konstan tentunya memerlukan kepekaan
yang sangat kuat.40
d. Menumbuhkan empati bagaikan setingkat pasca sarjana.
37 Jeane Segal, Raising Your Emotional Intelligence, Meningkatkan Kecerdasan
Emosional, Terj. Dian paramesti bahar, (Jakarta: Citra Aksara, 1997), hlm. 57 38 Ibid., hlm. 87 39 Ibid., hlm. 89 40 Ibid., hlm. 114
32
Empati merupakan bumbu penting untuk pesona, sukses sosial bahkan
kharisma.41 Dengan menumbuhkan empati akan membuat kita
bijaksana dan kebijaksanaan optimal pada tingkat pasca sarjana.
Pada dasarnya pengembangan kecerdasan emosional (EQ),
pembahasan fokusnya terletak pada metode-metode dalam
pengembangannya. Metode-metode yang ditawarkan sejumlah praktisi,
masih bersifat umum. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
mengetahui ketepatan dalam menerapkan metode tertentu, salah satunya
dengan faktor usia.
Enam tahun pertama kehidupan seorang anak dimulai terutama
dengan perkembangan jasmani. Enam tahun berikutnya sampai kira-kira
usia 12 tahun menandai masa alami untuk mengembangkan kepekaan
emosi.Dari usia 12 hingga 18 tahun sifat suka menentang adalah suatu
gejala yang wajar dari kekuatan kehendak yang sedang berkembang.42
Dengan demikian, sekitar usia 6 tahun anak sudah siap untuk diajari
melalui medium kesadaran emosi. Ini bukan berarti dia secara emosi
belum sadar sampai saat itu, namun selama 6 tahun pertamanya kesadaran
subjektifnya belum tampak. Setelah usia 6 tahun anak sudah mampu
memusatkan perhatian pada emosinya. Oleh karena itu, pengembangan
kecerdasan emosional yang dimulai dari sekolah tingkat dasar awal
merupakan langkah yang tepat, karena usia anak sudah mencapai sekitar 6
tahun.
Terkait dengan metode-metode di atas, terdapat kelebihan dan
kekurangannya didalamnya. Metode Steiner merupakan metode yang
bertahap di satu tingkat ke tingkat selanjutnya. Ketika siswa mampu
membuka hatinya terhadap segala emosi yang dialami, maka siswa akan
mengetahui peran dari setiap emosi, baik emosi yang melibatkan orang
lain maupun terhadap diri sendiri. Namun, ketika tahap pertama tidak
dapat terwujud maka kesulitan untuk menerapkan tahap selanjutnya. Hal
41 Ibid., hl. 143
33
ini disebabkan karena ketiga tahap tersebut merupakan suatu urutan yakni
ketika seorang mampu menerima segala emosi yang terjadi maka akan
merasakan makna dan peran dari emosi tersebut dan pada akhirnya mampu
membina hubungan dengan orang lain. Dalam metode Steiner, peran guru
sangat menentukan keberhasilannya. Guru harus mampu menilai tingkat
keberhasilan dari setiap tahapan metode Steiner.
Metode Gottman bersifat lebih mendasar, apabila guru dan siswa
menggunakan kelima langkah pelatihan emosi secara teratur, maka akan
menjadi semakin mahir. Guru dan siswa akan menjadi lebih sadar terhadap
perasaan dan makin bersedia untuk mengungkapkannya. Siswa juga dapat
belajar untuk memahami manfaat kerjasama dengan pelatih emosi (guru)
untuk menyelesaikan masalah. Namun, ini tidak berarti bahwa pelatihan
emosi terjamin kelancarannya. Guru akan menjumpai sekurang-
kuarangnya beberapa hambatan. Ketika guru menginginkan untuk
bersentuhan dengan emosi-emosi siswa, tetapi karena berbagai macam
alasan, guru tidak mampu mendapatkan isyarat yang jelas. Dapat pula
timbul ketika guru mengatakan atau mengerjakan tetapi pesan guru tidak
sampai kepada siswa.
Gagasan Lawrence dan Agus Nggermanto, yakni menawarkan
metode keteladanan merupakan metode yang baik untuk diterapkan.
Aspek-aspek teladan guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan
pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Keteladanan merupakan metode
yang bersifat alami, tidak ada pemaksaan. Semakin banyak guru memberi
teladan maka siswa akan semakin tertarik dan mencontoh. Hal ini
disebabkan karena mereka merasa kesebangunan dan kecocokan antara
keyakinan dan perkataan dengan perbuatan guru.
Metode Jeane Segal merupakan metode yang melibatkan unsur
tubuh dan emosi. Salah satu ketrampilan kunci untuk membantu anak-anak
yang lebih besar mengendalikan perilaku marah adalah mengajarkan cara
42 J. Donald Walters, Education For Life, terj. Agnes Widyastuti, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 120.
34
mengendalikan perasaan. Dengan menyadari sensasi tubuh mereka, seperti
wajah memerah atau ketegangan otot ketika marah, membantu mereka
berhenti dan memikirkan apa yang harus dikerjakan selanjutnya dan tidak
ototmatis meledek marah. Bahkan setelah kita mempelajari pola perilaku
yang sulit, kita dapat mengubah pola tersebut dengan memberi perhatian
pada pengalaman perasaan. Namun pelatihan metode ini memerlukan
kesabaran. Meskipun mendatangkan manfaat latihan ini sulit untuk
dijalankan sesuai keinginan, selain berat, membutuhkan waktu dan sulit
untuk mengetahui di dalam prosesnya.
Melihat dari kelebihan dan kekurangan dari setiap metode di atas,
menitik beratkan pada kemampuan guru untuk menyesuaikan dengan
keadaan siswa. Menyadari atau tidak sebenarnya guru terkadang
menerapkan metode yang ditawarkan Gottman. Namun tidak mengetahui
akan tingkat keberhasilan yang dicapai dari metode tersebut. Oleh karena
itu dalam menerapkan metode apapun dibutuhkan pelatih (guru) yang
mempunyai kecerdasan emosional tinggi sehingga menyadari pentingnya
kecerdasan emosional untuk diajarkan kepada siswanya. Dari metode-
metode di atas, metode keteladanan yang dipandang lebih efektif untuk
diterapkan. Seorang guru harus mampu menjadi teladan bagi siswanya.
Metode ini siswa dapat menyaksikan langsung dan mengartikan sendiri
kemudian akan meniru secara pribadi. Dalam arti, proses peniruan
merupakan hasil dari pengamatannya sendiri terhadap sosok teladannya
yakni guru. Kemampuan guru dalam menyelesaikan masalahnya secara
bijak ataupun dengan ungkapan yang keliru dapat dilihat secara langsung.
Oleh karena itu, semakin guru memberikan teladan baik, maka siswa akan
semakin menirunya. Dan seharusnya guru adalah seorang teladan bagi
siswanya, karena guru merupakan pemimpin di dalam lingkup ruang kelas.
Bahkan menjadi seorang teladan merupakan cerminan dari pribadi
Rasulullah SAW, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab
ayat 21 sebagai berikaut :
35
موالياهللا و وجركان ي نة لمنسة حول اهللا أسوسفى ر كان لكم لقد )21: االحزاب (االخر وذكر اهللا كثيرا
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suru tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. (QS Al-Ahzab : 21)43
Menurut Musthafa Al-Maraghi, ayat di atas menjelaskan sesungguhnya norma-norma yang tinggi dan teladan yang baik ada pada Rosulullah didalam amal perbuatannya dan hendaknya berjalan sesuai petunjuknya apabila menghendaki pahala dari Allah serta takut akan azab-Nya di hari semua orang memikirkan dirinya sendiri serta pelindung dan penolong ditiadakan, kecuali amal sholeh. Dan Kalian orang yang selalu ingat kepada Allah dengan ingatan yang banyak, maka sesungguhnya ingat kepada Allah itu seharusnya membimbing kamu untuk taat kepadanya dan mencontoh perbuatan Rosul-Nya.44
Keteladanan merupakan cara-cara yang efektif untuk membantu
anak mengembangkan ketrampilan berpikir realistis dan penanggulangan
masalah, yang pada gilirannya akan membantu meraka dalam menghadapi
bermacam-macam masalah. Pokok pikiran dibalik kisah keteladanan ini
adalah menujukan kepada anak cara-cara berpikir realistis dan sesuai
dengan usia tentang suatu masalah kemudian memilih tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan potensi manusia, Al-Ghozali memperkenalkan
istilah “Al-nafs”, “Al-qolb”, “Al-ruh” dan ” Al-aql”.45 Istilah-istilah
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an.
“Nafs” menunjukan manusia sebagai mahluk hidup yang berasal
dari satu, kemudian berkembang biak, bekerja dan merasa.46 Dalam
filsafat Islam “al-nafs” diartikan sebagai jiwa. Jiwa mencakup jiwa
43 RHA Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag R.I., 1971), hlm.
670 44 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: Toha Putra, 1992), cet.II, hlm. 277. 45 Ibid., hlm. 126.
36
rasional dan jiwa irrasional. Jiwa irrasional dimiliki oleh semua mahluk
hidup sedangkan jiwa rasional hanya dimiliki oleh manusia yakni daya
pikir.47 Sedangkan dalam Al-Qur’an penggunaan kata nafs menunjukan
dalam diri sisi manusia yakni berhubungan dengan nafsu, kehidupan, jiwa,
dan berhubungan dengan diri manusia.48
“Al-Aql” bermakna “Al-Hijr” atau “Al-Nuha” berarti kecerdasan
(intelektual) dan berasal dari kata kerja aqala yang berarti mengikat atau
menawan. Oleh karena itu, orang yang menggunakan akalnya disebut aqil
yaitu orang yang dapat mengikat atau menawan hawa nafsunya.49
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa orang yang
menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu menahan
hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya.
“Al-Qolb” berkisar pada arti perasaan (emosi) dan intelektual pada
manusia dan merupakan dasar dari fitrah, tempat petunjuk, iman,
kemauan, kontrol dan pemahaman.50 Kata “Qolb” merupakan bentuk
masdar dari qolaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik Namun
kata “qolb” juga berarti hati atau jantung.51 Hal ini disebabkan hati selalu
berubah-ubah seperti kerja dari jantung.
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari
Tuhan adalah dimensi “ruh”. Dimensi “ruh” membawa sifat dan daya
yang dimiliki sumbernya yaitu Allah. Perwujudan dari sifat dan daya
Allah tersebut memberikan potensi manusia sebagai khalifah Allah.52
Tegasnya bahwa dimensi “ruh” merupakan daya potensial internal
manusia yang akan diaktualisasikan sebagai khalifah Allah.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa pada dasarnya manusia
mempunyai potensi kecerdasan yang sudah tersusun dalam susunan saraf
46 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna, 1992), cet. II, hlm. 271. 47 Baharudin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), cet. I,
hlm. 93. 48 Ibid., hlm. 101. 49 Ibid., hlm. 115 50 Hasan Langgulung, OP. Cit., 51 Bahrudin, Op.Cit., hlm. 124.
37
yakni pada otak dan dari segi psikis, manusia dapat mengembangkan
potensi kecerdasannya melalui “ruh”, “aql”, “qolb”, dan “nafs”.
52 Ibid., hlm. 136.