6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Oksigen
1. Pengertian
Oksigenasi adalah proses penambahan oksigen ke dalam sistem
(Kimia atau fisika). Oksigen merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak
berbau yang sangat dibutuhkan dalam peroses metabolisme sel. Sebagai
hasilnya, terbentuklah karbon dioksida, energi, dan air (Mubarak &
Chayatin, 2007). Oksigen merupakan gas yang sangat vital dalam
kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh karena oksigen diperlukan
untuk proses metabolisme tubuh secara terus menerus. Oksigen diperoleh
dari atmosfer melalui proses bernapas (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Respirasi adalah suaru proses pertukaran gas antara organisme
dengan lingkungan, yaitu pengambilan oksigen dan eliminasi
karbondioksida (Darmanto Djojodibroto, 2009). Pernapasan atau respirasi
adalah masuknya oksigen kedalam aliran darah dan secara bersamaan
memungkinkan terbuangnya karbon dioksida. System respirasi harus
mempunyai kemampuan untuk merespon dengan cepat berbagai
kebutuhan tubuh dan memainkan peran penting dalam memperbaiki dan
mempertahankan homeostatis di dalam jaringan. Peran penting dan krusial
ini termasuk membantu dan mempertahankan keseimbangan asam basa
tubuh, metabolisme senyawa senyawa tertentu, menyaring bahan-bahan
yang tidak di inginkan dari sirkulasi, mencegah dan menurunkan infeksi,
dan berperan sebagai reservoir darah (Caia Francis,2011).
2. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Menurut (Drs. H. Syaifuddin, 3013) struktur sistem pernapasan dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Sistem pernapasan atas
Sistem pernapasan atas terdiri atas mulut, hidung, faring, dan laring.
1) Hidung
7
Pada hidung, udara yang masuk akan mengalami proses
penyaringan, humidiikasi, dan penghangatan.
2) Faring
Faring merupakan saluran yang terbagi menjadi dua untuk udara
dan makanan. Faring terdiri atas nasofaring dan orofaring yang
kaya akan jaringan limfoid yang berfungsi menangkap dan
menghancurkan kuman patogen yang masuk bersama udara.
3) Laring
Laring merupakan struktur menyerupai tulang rawan yang biasa
disebut jakun. Selain berperan dalam menghasilkan suara, laring
juga berfungsi mempertahankan kepatenan jalan napas dan
melindungi jalan napas bawah dari air dan makanan yang masuk.
b. Sistem pernapasan bawah
Sistem pernapasan bawah terdiri dari trakea dan paru-paru yang
dilengkapi dengan bronkus, bronkiolus, alveolus, jaringan kapiler paru
dan membran pleura.
1) Trakea
Trakea merupakan pipa membran yang dikosong oleh cincin-cincin
kartilago yang menghubungkan laring dengan bronkus utama
kanan dan kiri. Di dalam paru, bronkus utama terbagi menjadi
bronkus-bronkus yang lebih kecil dan berakhir di bronkiolus
terminal. Keseluruhan jalan napas tersebut membentuk pohon
bronkus.
2) Paru
Paru ada dua buah, terletak di sebelah kanan dan kiri. Masing-
masing paru terdiri dari beberapa lobus (paru kanan tiga lobus dan
paru kiri dua lobus) dan dipasok oleh dua bronkus. Jaringan paru
sendiri terdiri atas serangkaian jalan napas yang bercabang-cabang,
yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan jaringan ikat elastis.
Permukaan luar paru dilapisi oleh kantung tertutup berdinding
ganda yang disebut pleura. Pleura parietal membatasi toraks dan
8
permukaan diafragma, sedangkan pleura viseral membatasi
permukaan luar paru. Diantara kedua lapisan tersebut terdapat
cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas guna mencegah
friksi selama gerakan bernapas.
3. Fisiologi pernapasan
a. Mekanismes pernapasan
paru dan dinding dada adalah struktur yang elastic, dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru dan dinding dada. Paru
dengan mudah bergeser pada dinding dada.Tekanan ruangan antara
paru dan dinding dada di bawah tekanan atmosfer.
Pada waktu menarik nafas dalam , otot berkontraksi tetapi pengeluaran
pernapasan dalam proses yang pasif. Difragma menutup ketika
penarikan napas, rongga dada kembali memperbesar paru, dinding
badan bergerak , diapragma dan tulang dada menutup ke posisi semula.
b. Inspirasi
Inspirasi adalah proses aktif kontraksi otot-otot inspirasi yang
menaikan volume intratoraks. Selama bernapas tenang tekanan
intrapleura kira-kira 2,5 mmHg (relatif terhadap atmosfer). Pada
permulaaan inspirasi menurun sampai 6 mmHg dan paru di tarik ke
atas posisi yang lebih mengembang, di jalan udara menjadi sedikit dan
udara mengalir kedalam paru.Akhir inspirasi recoil menarik dada
kembali keposisi ekspresi karena tekanan recoil paru dan dinding dada
seimbang.Tekanan dalam jalan pernapasan seimbang menjadi sedikit
positif, udara mengalir dari luar ke paru.
Pada saat inspirasi, pengaliran udara ke rongga pleura dan paru
berhenti sebentar ketika tekanan dalam paru bersamaan bergerak
mengelilingi atmosfer.Pada waktu penguapan pernafasan, volume
sebuah paru berkurang karena naiknya tekanan udara untuk
memperoleh dorongan keluar pada sistem pernapasan.
9
c. Ekspirasi
Pernapasan tenaga bersifat pasif.Tidak ada otot-otot yang
menurunkan volume untuk toraks berkontraksi.Permulaan ekspirasi ini
menimbulkan kerja yang menahan kekuatan recoil dan melambatkan
ekspirasi.Inspirasi yang kuat bedrusaha mengurangi tekanan intrafleura
sampai serendah 30 mmHg, ini menimbulkan pengembangan paru
dengan derajat yang lebih besar.
4. Faktor yang mempengaruhi fungsi pernapasan
Menurut (Tarwoto & Wartonah,2010)faktor yang mempengaruhi
fungsi pernapasan ada lima, yaitu :
a. Faktor fisiologi
Ganggua pada fungsi fisiologi akan berpengaruh terhadap kebutuhan
oksigen seseorang. Kondisi ini lambat laun dapat mempengaruhi
fungsi pernapasanya.
1) Penurunan kapasitas angkut oksigen secara fisiologis, daya angkut
hemoglobin untuk membawa oksigen ke jaringan adalah 97%.
Akan tetapi, nilai tersebut dapat berubah sewaktu-waktu apabila
terdapat gangguan pada tubuh. Misalnya, pada penderita anemia
atau saat terpapar zat beracun. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan penurunan kapasitas pengikatan oksigen.
2) Penurunan konsentrasi oksigen inspirasi. Kondisi ini dapat terjadi
akibat penggunaan alat terapi pernapasan dan penurunan kadar
oksigen lingkungan.
3) Hipovolemia, kondisi ini disebabkan oleh penurunan volume
sirkulasi darah akibat kehilangan cairan ekstraselular yang
berlebihan (mis; pada penderita syok atau dehidrasi berat)
4) Peningkatan laju metabolik, kondisi ini dapat terjadi pada kasus
infeksi dan demam yang terus menerus yang mengakibatkan
peningkatan laju metabolik. Akibatnya, tubuh mulai memecah
persediaan protein dan menyebabkan penurunan masa otot.
10
5) Kondisi lainnya. Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding
dada seperti kehamilan, obesitas, abnormalitas muskuloskeletal
(mis; pectus exapatum dan kifosis), trauma, penyakit otot, penyakit
susunan saraf, ganguan saraf pusat, dan penyakit kronis.
b. Faktor perkembangan
Tingkat perkembangan menjadi salah satu faktor penting yang
mempengaruhi sistem pernapasan individu.
1) Bayi prematur. Bayi yang lahir prematur beresiko menderita
penyakit membran hialin yang ditandai dengan berkembangnya
membran serupa hialin yang membatasi ujung saluran pernapasan.
Kondisi ini disebabkan oleh produksi surfaktan yang masih sedikit
karena kemampuan paru dalam menyintesis surfaktan baru
berkembang pada trimester akhir.
2) Bayi dan anak-anak. Kelompok usia ini beresiko mengalami
infeksi saluran napas atas, seperti faringitis, influenza, tonsilitis,
dan aspirasi benda (mis. makanan, permen, dll).
3) Anak usia sekolah remaja. Kelompok usia ini beresiko mengalami
infeksi saluran pernapasan akut akibat kebiasaan buruk, seperti
merokok.
4) Dewasa muda dan paruh baya. Kondisi stress, kebiasaan merokok,
diet yang tidak sehat, kurang berolahraga merupakan faktor yang
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dan paru pada
kelompok usia ini.
5) Lansia. Proses penuaan yang terjadi pada lansia menyebabkan
perubahan pada fungsi normal pernapsan, seperti penurunan
elastisitas paru, pelebaran alveolus, dilatasi saluran bronkus, dan
kifosis tulang belakang yang menghambat ekspansi paru sehingga
berpengaruh pada penurunan kadar oksigen.
c. Faktor prilaku
Prilaku keseharian individu dapat berpengaruh terhadap fungsi
pernapasannya. Status nutrisi, gaya hidup, kebiasaan berolahraga,
11
kondisi emosional, dan pengunaan zat-zat tertentu secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen
tubuh.
1) Nutrisi. Kondisi berat badan berlebih (obesitas) dapat menghambat
ekspansi paru, sedangkan malnutrisi berat dapat mengakibatkan
pelisutan otot pernapsan yang akan mengurangi kekuatan kerja
pernapasan.
2) Olahraga. Latihan fisik akan meningkatkan aktivitas metabolik,
denyut jantung, dan kedalaman serta frekuensi pernapasan yang
akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
3) Ketergantungan zat adiktif. Penggunaan alkohol dan obat-obatan
yang berlebihan dapat menggangu proses oksigenasi. Hal ini
terjadi karena :
a) Alkohol dan obat-obatan dapat menekan pusat pernapasan dan
susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan penurunan laju
dan kedalaman pernapasan.
b) Penggunaan narkotika dan obat analgesik, terutama morpin dan
meperidin, dapat mendepresi pusat pernapasan sehingga
menurunkan laju dan kedalaman pernapasan.
4) Emosi, perasaan takut, cemas, dan marah yang tidak terkontrol
akan merangsang aktivitas saraf simpatis. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan frekuensi
pernapasan sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Selain itu,
kecemasan juga dapat meningkatkan laju dan kedalaman
pernapasan.
5) Gaya hidup. Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi kebutuhan
oksigen seseorang. Merokok dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi perifer dan penyakit jantung. Selain itu, nikotin yang
terkandung dalam rokok bisa mengakibatkan vasokontriksi
pembuluh darah periper dan koroner.
12
d. Lingkungan
1) Suhu. Faktor suhu (panas atau dingin) dapat berpengaruh terhadap
afinitas atau kekuatan ikatan Hb dan oksigen. Dengan kata lain
suhu lingkungan juga bisa mempengaruhi kebutuhan oksigen
seseorang.
2) Ketinggian. Pada dataran yang tinggi akan terjadi penurunan pada
tekanan udara sehingga tekanan oksigen juga ikut menurun.
Akibatnya orang yang tinggal di dataran tinggi cenderung
mengalami peningkatan frekuensi pernapasan dan denyut jantung.
Sebaliknya, pada dataran rendah akan terjadi peningkatan tekanan
oksigen.
3) Polusi. Polusi udara seperti asap atau debu seringkali menyebabkan
sakit kepala, pusing, batuk, tersedak dan berbagai gangguan
pernapasan lain pada orang yang menghisapnya. Para pekerja yang
bekerja di pabrik asbes atau bedak tabur beresiko tinggi menderita
penyakit paru akibat terpapar zat-zat berbahaya.
5. Gangguan Pada Fungsi Pernapasan
a. Perubahan Pola Napas
Pola napas mengacu pada frekuensi, volume, irama, dan usaha
pernapasan. Pola napas yang normal (apnea) ditandai dengan
pernapasan yang tenang, berirama dan tanpa usaha. Perubahan pola
napas yang umum terjadi adalah takipne, bradipnea, hipervetilasi,
napas kussmaul, hipoventilasi, dispnea dan orthopnea.
1) Takipnea : frekuensi pernapasan yang cepat. Biasanya ini terlihat
pada kondisi demam, asidosis metabolik, nyeri, dan pada kasus
hiperkapnea atau hipoksemia.
2) Bradipnea : frekuensi pernapasan yang lambat dan abnormal.
Biasanya ini terlihat pada orang baru menggunakan obat-obatan
seperti morfin, pada kasus alkalosis metabolik, atau peningkatan
TIK.
3) Apnea : henti napas
13
4) Hiperventilasi : peningkatan jumlah udara yang memasuki paru.
Kondisi ini terjadi saat kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan
metabolik untuk pembuangan karbon dioksida. Biasanya,
hiperventilasi disebabkan oleh asidosis, infeksi, dan kecemasan.
Lebih lanjut, kondisi ini bisa menyebabkan alkalosis akibat
pengeluaran CO2 yang berlebihan.
5) Hipoventilasi : penurunan jumlah udara yang memasuki paru-paru.
Kondisi ini terjadi saat ventilasi alveolar tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolik untuk penyaluran oksigen dan
pembuangan karbon dioksida. Biasanya ini disebabkan oleh
penyakit otot pernapasan, obat-obatan, anastesia.
6) Pernapasan kussmaul : salah satu jenis hiperventilasi yang
menyertai asidosis metabolik. Pernapasan ini merupakan upaya
tubuh untuk mengompensasi asidosis dengan mengeluarkan karbon
dioksida melalui pernapasan yang cepat dan dalam.
7) Orthopnea : ketidakmampuan untuk bernapas, kecuali dalam posisi
berdiri atau tegak.
8) Dispnea : kesulitan atau ketidaknyamanan saat bernapas.
b. Hipoksia
Hipoksia adalah kondisi ketika kadar oksigen dalam tubuh (sel)
tidak adekuat akibat kurangnya penggunaan atau pengikatan oksigen
pada tingkat sel. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan, kecemasan,
pusing, penurunan tingkat kesadaran, penurunan konsentrasi,
kelemahan, peningkatan tanda-tanda vital, disritmia, pucat, sianosis,
clubbing, dan dispnea. Penyebabnya antara lain, penurunan Hb dan
kapasitas angkut oksigen dalam darah, penurunan konsentrasi oksigen
inspirasi, ketidakmampuan sel mengikat oksigen, penurunan difusi
oksigen dari alveoli ke dalam darah, dan peurunan perfusi jaringan.
c. Obstruksi Jalan Napas
Obstruksi jalan napas, baik total ataupun sebagian, dapat terjadi
diseluruh tempat di sepanjang jalan napas atas atau bawah. Obstruksi
14
pada jalan napas atas (hidung, faring, laring) dapat disebabkan oleh
benda asing seperti makanan, akumulasi sekret, atau lidah yang
menyumbat orofaring pada orang yang tidak sadar. Sedangkan
obsruksi jalan napas bawah meliputi sumbatan total atau sebagian pada
jalan napas bronkus dan paru.
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riawayat Keperawatan
Riwayat keperawatan untuk status oksigenasi meliputi pengkajiann
tentang masalah pernapasan dulu dan sekarang, gaya hidup, adanya
batuk, sputum, nyeri, medikasi, dan adanya faktor resiko untuk
gangguan status oksigenasi.
1) Masalah pada pernapasan (dulu dan sekarang)
2) Riwayat penyakit atau pernapasan
a) Nyeri
b) Paparan lingkungan atau geografi
c) Batuk
d) Bunyi napas mengi
e) Faktor resiko penyakit paru
f) Frekuensi infeksi pernapasan
g) Masalah penyakit paru masa lalu
h) Penggunaan obat
3) Adanya batuk dan penanganan
4) Kebiasaan merokok
5) Masalah pada fungsi sistem kardiovaskulern (kelemahan dispneu)
6) Faktor resiko yang memperberat masalah oksigenasi
a) Riwayat hipertensi, penyakit jantung, atau penyakit CVA
b) Merokok
c) Usia paruh baya atau lanjut
d) Obesitas
e) Diet tinggi lemak
15
f) Peningkatan kolestrol
7) Riawayat penggunaan medikasi
8) Stresor yang dialami
9) Status atau kondisi kesehatan
b. Pemeriksaan fisik
Untuk menilai status oksigenasi klien, perawat menggunakan
keempat teknik pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi,
dan perkusi
1) Inspeksi. Pada saat inspeksi perawat mengamati tingkat kesadaran
klien, penampilan umum, postur tubuh, kondisi kulit dan membran
mukosa, dada (kontur rongga interkosta, diameter anteroposterior,
struktur toraks, pergerakan dinding dada), pola napas, (frekuensi
dan kedalaman pernapasan, durasi inspirasi dan ekspirasi),
ekspirasi dada secara umum, adanya sianosis, adanya deformitas,
dan jaringan parut pada dada.
2) Palpasi. Palpasi dilakukan dengan meletakkan tumit tangan
pemeriksa mendatar di atas dada passien. Saat palpasi, perawat
menilai adanya fremitus taktil pada dada punggung pasien dengan
memintanya menyebutkan “tujuh-tujuh” secara berulang. Jika klien
mengikuti instruksi tersebut secara tepat, perawat akan merasakan
adanya getaran pada telapak tanganya. Normalnya, fremitus taktil
akan terasa pada individu yang sehat, dan akan meningkat pada
kondisi konsolidasi. Selain itu palpasi juga dilakukan untuk
mengkaji temperatur kulit, pengembangan dada, adanya nyeri
tekan, thrill, titik impuls maksimum, abnormalitas massa dan
kelenjar, sirkulasi perifer, denyut nadi, pengisian kapiler.
3) Perkusi. Secara umum, perkusi dilakukan untuk menentukan
ukuran dan bentuk organ dalam serta untuk mengkaji adanya
abnormalitas, cairan atau udara di dalam paru. Perkusi sendiri
dilakukan dengan menekan jari tengah (tangan non dominan)
pemeriksa mendatar di atas dada pasien. Kemudian jari tersebut
16
diketuk-ketuk dengan menggunakan jari tengah atau jari telunjuk
tangan sebelahnya. Normalnya, dada menghasilkan bunyi resonan
atau gaung perkusi. Pada penyakit tertentu, (mis. pneumonia
toraks, emfisema), adanya udara pada dada atau paru-paru
menimbulakan bunyi hipersonan atau bunyi drum. Sedangkan
bunyi pekak atau kempis terdengar apabila perkusi dilakukan
diatas area yang mengalami ateletaksis.
4) Asukulutasi. Auskultasi adalah proses mendengarkan suara yang
dihasilakan di dalam tubuh. Auskultasi dapat dilakukan langsung
atau dengan menggunakan stetoskop. Bunyi yang terdengar
biasanya digambarkan berdasarkan nada, intensitas, durasi, dan
kualitasnya. Untuk mendapatkan hasil yang lebih valid dan akurat,
auskultasi sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali. Pada
pemeriksaan fisik paru, auskultasi dilakukan untuk mendengarkan
bunyi napas vesikular, bronkial, bronkovesikuler, rales, ronkhi,
juga untuk mengetahui adanya perubahan bunyi napas serta lokasi
dan waktu terjadinya.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengkaji status, fungsi,
dan oksigenasi pernapasan klien. Beberapa jenis pemeriksaan
penunjang antara lain :
1) Penilaian ventilasi dan oksigenasi : uji fungsi paru, pemeriksaan
gas darah arteri, oksimetri, pemeriksaan darah lengkap
2) Tes struktur pernapasan lengkap : sinar-X dada, bronkoskopi, scan
paru.
3) Deteksi abnormalitas sel dan infeksi saluran pernapasan : kultur
kerongkongan, sputum, uji kulit, toraksintesis.
2. Penetapan diagnosa keperawatan
Penetapan diagnosa menurut Standar Dokumentasi Keperawatan
Indonesia(SDKI, 2016)
17
1) Bersihan jalan napas tidak efektif
a. Definisi
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas
untuk mempertahankan jalan napas tetap paten.
b. Etiologi
1. Sepasme jalan napas
2. Hipersekresi jalan napas
3. Disfungsi neuromuskuler
4. Benda asing dalam jalan napas
5. Adanya jalan napas buatan
6. Sekresi yang tertahan
7. Hiperplasia dinding jalan napas
8. Proses infeksi
9. Respon infeksi
10. Efek agen farmakologi
c. Situasiologi
1. Merokok aktif
2. Merokok pasif
3. Terpajan polutan
d. Gejala dan tanda mayor
1. Subjektif (tidak tersedia)
2. Objektif
a) Batuk tidak efektif
b) Tidak mampu batuk
c) Sputum berlebih
d) Mengi, wheezing dan/ ronki kering
e) Mekonium di jalan napas (pada neonatus)
e. Gejala dan tanda minor
1. Subjektif
a) Dispnea
b) Sulit bicara
18
c) Ortopnea
2. Objektif
a) Gelisah
b) Sianosis
c) Bunyi napas menurun
d) Pola napas berubah
f. Kondisi klinis terkait
1. Gullian barre syndrome
2. Sklerosis multipel
3. Myasthenia gravis
4. Prosedur diagnostik ( mis. Bronkospi, transesophageal
echocardiography [TEE])
5. Depresi sistem saraf pusat
6. Cedera kepala
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Sindrom aspirasi mekonium
10. Infeksi saluran napas
2) Pola Napas Tidak Efektif
a. Definisi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat
b. Etiologi
1. Depresi pusat pernapasan
2. Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan
otot pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuskular
6. Gangguan neurologis (mis. Elektroensefalogram [EGG] posirif,
cidera kepala, gangguan kejang)
19
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energi
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan intervensi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
13. Cedera pada madula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan
c. Gejala dan tanda mayor
1. Subjektif
a) dispnea
2. objektif
a) penggunaan obat bantu pernapasan
b) fase ekspirasi memanjang
c) pola napas abnormal (mis. Takipnea, bradipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stoke)
d. gejala dan tanda minor
1. subjektif
a) ortopnea
2. objektif
a) pernapasan pursed-lip
b) pernapasan cuping hidung
c) diameter thoraks anterior-posterior meningkat
d) ventilasi semenit menurun
e) kapasital vital menurun
f) tekanan ekspirasi menurun
g) tekanan inspirasi menurun
h) ekskrusi dada menurun
e. kondisi klinis terkait
1. Depresi sistem saraf pusat
20
2. Cidera kepala
3. Trauma thoraks
4. Gullian balle syndrome
5. Multiple sclerosis
6. Myasthenia gravis
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Intoksikasi alkohol
3. Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan Kebutuhan Oksigenasi Menurut Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI, 2018)
Tabel 2.1 Rencana Keperawatan Kebutuhan Oksigenasi
Diagnosa keperawatan
Intervensi utama
Intervensi pendukung
1. Bersihan jalan
napas tidak
efektif
a. Tujuan
1. Latihan batuk efektif
a. Definisi
Melatih pasien yang tidak
memiliki kemampuan
batuk secara efektif untuk
membersihkan laring,
trakea dan bronkiolus dari
sekret atau benda asing di
jalan napas
b. Tindakan
1) Observasi
a) Identifikasi
kemampuan batuk
b) Monitor adanya
retensi sputum
c) Monitor tanda dan
gejala infeksi
saluran napas
d) Monitor input dan
output cairan (mis.
Jumlah dan
karakteristik)
2) Terapeutik
5. Dukungan
kepatuhan
program
pengobatan
6. Edukasi edukasi
fisoterapi dada
7. Edukasi
pengukuran
respirasi
8. Fisioterapi dada
9. Konsultasi via
telepon
10. Manajemen
asma
11. Manajemen
alergi
12. Manajemen
anafilaksis
13. Manajemen
isolasi
14. Manajemen
ventilasi
mekanik
15. Manajemen
jalan napas
21
a) Atur posisi semi-
fowler atau fowler
b) Pasang perlak dan
bengkok di
pangkuan pasien
c) Buang sekret pada
tempat sputum
3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan
dan prosedur
batuk efektif
b) Anjurkan tarik
napas dalam
melalui hidung
selama 4 detik, di
tahan selama 2
detik, kemudian
keluarkan dari
mulut dengan
bibir mecucu (di
bulatkan) selama 8
detik
c) Anjurkan
mengulangi tarik
napas dalam
hingga 3 kali
d) Anjurkan batuk
dengan kuat
langsung setelah
tarik napas dalam
yang ke-3
kolaborasi
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi
pemberian
mukolitik, jika
perlu
2. Manajemen jalan napas
a. Definisi
Mengidentifikasi dan
mengelola kepatenan jalan
napas.
b. Tindakan
1. Observasi
a) Monitor pola napas
buatan
16. Pemberian obat
inhalasi
17. Pemberian obat
interpleura
18. Pemberian obat
intradenal
19. Pemberian obat
nasal
20. Pencegahan
aspirasi
21. Pengaturan
posisi
22. Penghisapan
jalan napas
23. Penyapihan
ventilasi
mekanik
24. Perawatan
trakheostomi
25. Skrining
tuberkulosis
26. Stabilisasi jalan
napas
27. Terapi oksigen
22
(frekuensi,
kedalaman, usaha
napas)
b) Monitor bunyi napas
tambahan ( mis.
Gurgling, mengi,
wheexing, ronki
kering)
c) Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
a) Pertahankan jalan
napas dengan dengan
head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika
dicurigai trauma
servikal)
b) Posisikan semi-
fowler atau fowler
c) Berikan minum
hangat
d) Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
e) Lakukan
penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
f) Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
indotrakeal
g) Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forcep mcGill
h) Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a) Anjurkan asupan
cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b) Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
espektoran,
23
mukolitik, jika perlu
3. Pemantauan respirasi
a. Definisi
Mengumpulkan dan
menganalisis data untuk
memastikan kepatenan
jalan napas dan keefektifan
pertukaran gas
b. Tindakan
1. Observasi
a) Monitor frekuensi,
irama, kedalaman,
dan upaya napas
b) Monitor pola
napas ( seperti
bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
kussmaul, cheyne
stokes, biot,
ataksik)
c) Monitor
kemampuan batuk
efektif
d) Monitor adanya
produksi sputum
e) Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
f) Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
g) Auskultasi bunyi
napas
h) Monitor saturasi
oksigen
i) Monitor AGD
j) Monitor hasil x-ray
toraks
2. Terapeutik
a) Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
b) Dokumentasikan
hasil pemantauan
3. Edukasi
a) Jelaskan tujuan
ada prosedur
24
pemantauan
b) Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
2. Pola napas tidak
efektif
a. Definisi
1. Manajemen jalan napas
a. Definisi
Mengidentifikasi dan
mengelola kepatenan jalan
napas.
b. Tindakan
1. Observasi
a) Monitor pola
napas (frekuensi,
kedalaman, usaha
napas)
b) Monitor bunyi
napas tambahan
(mis. Gurgling,
mengi, wheexing,
ronki kering)
c) Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
2. Terapeutik
a) Pertahankan jalan
napas dengan dengan
head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika
dicurigai trauma
servikal)
b) Posisikan semi-
fowler atau fowler
c) Berikan minum
hangat
d) Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
e) Lakukan
penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
f) Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
1. Dukungan
emosional
2. Dukungan
kepatuhan
program
pengobatan
3. Dukungan
ventilasi
4. Edukasi
pengukuran
respirasi
5. Konsultasi via
telepon
6. Menejemen
nenergi
7. Menejemen
jalan napas
buatan
8. Menejemen
medikasi
9. Pemberian obat
inhalasi
10. Pemberian obat
interpleura
11. Pemberian obat
intradenal
12. Pemberian obat
intravena
13. Pemberian obat
oral
14. Pencegahan
aspirasi
15. Pengaturan
posisi
16. Perawatan
selang dada
17. Menejemen
ventilasi
25
indotrakeal
g) Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forcep mcGill
h) Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a) Anjurkan asupan
cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b) Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
espektoran,
mukolitik, jika perlu
2. Pemantauan respirasi
a. Definisi
Mengumpulkan dan
menganalisis data untuk
memastikan kepatenan
jalan napas dan keefektifan
pertukaran gas
b. Tindakan
1. Observasi
a) Monitor frekuensi,
irama, kedalaman,
dan upaya napas
b) Monitor pola
napas ( seperti
bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
kussmaul, cheyne
stokes, biot,
ataksik)
c) Monitor
kemampuan batuk
efektif
d) Monitor adanya
produksi sputum
e) Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
f) Palpasi kesimetrisan
mekanik
18. Pemantauan
neurologis
19. Pemberian
analgesik
20. Pemberian obat
21. Perawatan
trakheostomi
22. Reduksi
ansietas
23. Stabilisasi jalan
napas
24. Terapi relaksasi
otot progresif
26
ekspansi paru
g) Auskultasi bunyi
napas
h) Monitor saturasi
oksigen
i) Monitor AGD
j) Monitor hasil x-ray
toraks
2. Terapeutik
a) Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
c) Dokumentasikan
hasil pemantauan
3. Edukasi
a) Jelaskan tujuan
ada prosedur
pemantauan
b) Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
C. Tinjauan konsep penyakit asma
1. Pengertian
Istilah asma berasal fari kata Yunani asli yang artinya “terengah-
engah” dan berarti serangan napas pendek. Hippocrates menggunakan
kata asma untuk menggambarkan sesak episodik napas. Namun,
definisi klinis rinci pertama pada pasien asma di buat oleh Aretaeus
pada abad kedua (wells, et a, 2009). Penyakit ini merupakan gangguan
inflamasi kronik primer pada saluran napas di paru-paru yang di
kategorikan oleh sel T-helped tipe 2 (Th-2), respon imun dimediasi
limfosit sebagai pertahanan natural pertama dari tbuh.
Batasan asma yang lengkap di kelurkan oleh Global Initative For
Asthma (GINA, 2016) di definisikan sebagai penyakit heterogen
ditandai inflamasi kronik saluran napas dengan gejala sesak napas
mengi, ada terasa berat, batuk semakin memberat dan keterbatasan
27
aliran udara ekspirasi. Keadaan tersebuat beralngsung dalam intensitas
waktu yang lama dan sering berulang yang dipicu oleh berbagai faktor,
seperti pajanan alergen, perubahan cuaca, latihan fisik dan infeksi
virus.
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA, 2015) mendefiniskan
asma sebagai penyakit saluran respiratori dnegan dasar inflamasi
kronik yang melibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran
respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinisnya dapat
berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara
kronik atau berulang, cenderung memberat pada malam/dini hari
(nokturnal), reversibel dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat
penyempitan saluran napas yang sifatnya reversibel (penyempitan
dapat hilang dengan sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi
pernapasan diantara dua interval asimtomatik. Namun, ada kalanya
sifat reversibel ini berubah menjadi kurang reversibel (penyempitan
baru hilang setelah mendapat pengobatan). Penyumbatan saluran napas
yang menilbulkan manifestasi klinis asma adalah akibat terjadinya
bronkokontriksi, pembengkakan mukosa bronkus dan hipersekresi
lendir karena hiperreaktivitas saluran pernapasan terhadap beberapa
stimulus (Darmanto Djojodibroto, 2009).
Menurut (Caia Francis, 2011) asma adalah gangguan inflamasi
kronik pada jalan napas dimana banyak sel memainkan peranan,
terutama sel mest, eosinofil, dan limfosit T. Pada individu yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode rekuren dari mengi, sulit bernapas
dada terasa sesak, dan batuk terutama pada malam atau dini hari.
Gejala-gejala ini biasanya berubungan dengan terbatasnya aliran udara
yang meluas tetapi bervariasi, yang reversibel setidaknya sebagian
baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
menyebabkan peningkatan responsivitas jalan napas terhadap beberapa
28
rangsangan (Internatinal Consensus Report On The Diagnosis And
Management Of Asthma).
2. Etiologi
Pada penyebab asma, tampak terdapat hubungan antara asma
dengan alergi. Pada sebagian besar penderita asma , ditemukan riwayat
alergi, selain itu serangan asma juga sering di picu oleh pemajanan
terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi, jika
di telusuri ternayata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada
keluarganya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor
genetik yang menyebabkan seseorang menderita asma. Faktor genetik
yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi antibodi jenis
igE yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai predisposisi
memproduksi igE berlebihan disebut mempunyai sifat atopik,
sedangkan keadaannya disebut atopi. Namun, ada penderita asma yang
tidak atopik dan juga serangan asmanya tidak dipicu oleh pemajanan
terhadap alergen (Darmanto Djojodibroto, 2009).
3. Fatofisiologi
Gambar 2.1 Fatofisiologi Asma Bronkhial
Pencetus serangan
(alergen, emosi/stres, obat-obatan dan infeksi)
29
Pencetus-pencetus serangan tersebut di tambah dengan pencetus
lainnya dari internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi
antigen dan antibodi. Reaksi antigen-antibodi ini akan mengeluarkan
Reaksi antigen dan antibodi
Dikeluarkannya subtansi vasoaktif
(histamin, bradikinin, dan anafiiaktosin)
Sekresi mukus meningkat Permeabilitas kapiler Kontraksi otot polos
Produksi mukus
bertambah bronkospasme ➢ Kontraksi otot
polos
➢ Edema mukosa
➢ hipertensi
Obstruksi saluran napas
Bersihan jalan napas tidak
efektif
Hipoventilasi
distribusi ventilasi tidak merata dengan sirkulasi
darah paru-paru
gangguan difusi gas di alveoli
Kerusakan pertukaran
gas
Hipoksemia
hiperkapnea
30
subtansi pereda alergi yangsebelumnya merupakan mekanisme tubuh
dalam menghadapi serangan. Zat yang di keluarkan dapat berupa
histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Hasil dari reaski tersebut
adalah timbulnya tiga gejala yaitu, berkontraksinya otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekret mukus,
seperti terlihat pada gambar di atas (Irman Somantri, 2009).
4. Manifestasi Klinik
Asma bukan suatu penyakit spesifik tetapi merupakan sindrom
yang dihasilkan mekanisme multipel yang akhirnya menghasilkan
kompleks gejala klinis termasuk obstruksi jalan napas reversibel.
Sebagai sindrom episodik, terdapat interval asimtomatik di antara
kejadian serangan asma. Ciri-ciri yang sangat penting dari sindrom ini,
seperti dispnea, suara mengi, obstruksi jalan napas reversibel terhadap
bronkodilato, bronkus yang hiperresponsif terhadap berbagai stimulus
baik yang spesifik maupun nonspesifik dan peradangan saluran
pernapasan.
Serangan asma ditandai dengan batuk, mengi serta sesak napas.
Gejala yang sering terlihat jelas adalah penggunaan otot napas
tambahan, timbulnya pulpus paradoksus, timbulnya kussmaul’s sign.
Pasien akan mencari posisi yang nyaman, yaitu duduk tegak dengan
tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil, biasanya
berpegangan pada lengan kursi, dengan demikian otot napas tambahan
dapat bekerja dengan baik. Takikardi akan timbul di awal serangan,
kemudian diikuti sianosis sentral.
Gejala asma dapat dibedakan dengan gejala penyakit obstruksi
jalan napas lainnnya seperti bronkitis kronik, emfisema dan fibrosis
kistik (Darmanto Djojobroto, 2009).
5. Klasifikasi Asma Bronkhial
Menurut (Irman Somantri, 2009) Asma bronkhial di klasifikasikan
berdasarkan penyebabnya
31
1. Asma Alergi/Ekstrinsik merupakan suatu bentuk asma dengan
alergen seperti bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan
dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan musiman
(seasonal). Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai
riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan
eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergia akan
mencetuskan serangan asma. Bentuk asama seperti ini biasanya di
mulai sejak kanak-kanak.
2. Idiopatik atau nonalergik asma / instrinsik merupakan penyakit
asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan alergen
spesifik. Faktor-fakor seperti common cold, infeksi saluran napas
atas, aktivitas, emosi atau stres dan polusi lingkungan akan
mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti bahan
sulfat (penyedap makanan) juga menjadi faktor penyebab.
Serangan dari asma adioptik atau nonalergik menjadi lebih berat
dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang
menjadi bronkitis dan emfisema. Pada beberapa kasus dapat
berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya
dimulai dari usia 35 tahun keatas.
3. Asma campuran (mixed asma) merupakan bentuk asma yang
paling sering. Dikarakteristikan dengan bentuk kedua jenis asma
alergi dan idioptik atau nonalergi.
Kondisi yang perlu di pertimbangkan saat melakukan anamnesis
asma
Tabel 2.2 Kondisi Saat Asma
32
Gejala Batuk, mengi, napas pendek,
dada terasa sesak, dan
produksi sputum.
Ko-eksistensi dengan kondisi
lain yang berhubungan
dengan asma : hay fever,
rinitis, sinusitis, dermatitis
atopik.
Pola gejala Tahunan, musiman, atau
tahunan dengan eksaserbasi
musiman.
Kuntinu, episodik, atau
keduanya.
Onset, frekuensi dan durasi
gejala.
Variasi diurnal dari gejala,
gejala nokturnal.
Faktor pretisipasi/faktor yang
memburuk
Infeksi saluran napas atas.
Pejanan : alergen virus,
tungau debu rumah, serbuk
sari, bulu hewan.
Pejanan zat kimia atau alergen
okupasional.
Pejanan iritan, misalnya asap
rokok tembakau, polutan
udara.
Pengaruh keadaan emosional
dan stres.
Obat-obatan, aspirin, atau
obat anti-inflamasi nonsteroid,
33
beta-bloker.
Olahraga
Perubahan cuaca.
Riwayat perkembangan penyakit Usia saat onset atau siagnosis.
Evolusi penyakit.
Tata laksana penyakit
sebelumnya dan saat ini serta
respon terhadap pengobatan.
Profil eksaserbasi situasi sosial Kecepatan serangan, tata
laksana, dan hasil akhir.
Situasi sosial Kondisi rumah, pejanan
alergen, hewan didalam
rumah, pejanan asap rokok
tembakau, kelembapan,
pemanasan.
Beratnya penyakit Jumlah pengobatan darurat,
termasuk perawatan di rumah
sakit, rangkaian steroid oral.
Jumlah episode yang
mengancam nyawa.
Jumlah tidak masuk sekolah
atau kerja.
Terbatasnya asktivitas.
Freuensi terbangun di malam
hari.
Efek pada pertumbuhan,
tingkah laku, pencapaiaan di
sekolah atau kerja.
34
6. Penatalaksanaan Terapi
Menurut (Caia Francis, 2011) penatalaksanaan terapi pada
penderita asma di bagi menjadi dua, yaitu :
1. Penatalaksanaan terapi farmakologi
Tujuan tata laksana farmakologi adalah untuk mengontrol
gejala termasuk gejala nokturnal dan asma yang di induksi oleh
olahraga. Secara keseluruhan tujuannya adalah untuk mencapai
kontrol dini dan efektif dari asma dan mempertahankan kontrol
fleksibel dengan melangkah naik atau turun pada terapi sesuai
keperluan.
Adapu beberapa langkah dalam penatalaksanaan terapi
farmakologis
1. Langkah pertama bronkodilator kerja-singkat harus diresepkan
sebagai pereda gejala pada semua pasien dengan asma
simtomatik. Frekuensi pasien menggunakan bronkodilator ini
dapat menjadi ukuran beratnya asma pasien dan / atau
kebutuhan mereka terhadap pengobatan lain.
2. Langkah kedua pengenalan terapi pencegah steroid inhalasi
merupakan terapi pencegah yang direkomendasikan baik pada
orang dewasa maupun anak-anak. Obat ini harus di resepkan
pada pasien dengan eksaserbasi yang baru terjadi, asma
nokturnal atau gangguan fungsi paru, atau mereka yang
menggunakan inhalasi lebih dari sekali sehari. Jika terdapat
alasan klinis atau alasan yang berpusat pada pasien untuk tidak
meresepkan steroid inhalasi, maka natrium kromoglikat,
antagonis reseptor lekotrien, atau teofilin dapat diresepkan.
3. Langkah ketiga terapi tambahan sebelum melakukan langkah
ini semua parameter lain perlu diperiksa seperti kepatuhan
35
pasien terhadap pengobatan, kemampuan menggunakan inhaler
secara tepat dan menghindari faktor pemicu. Terapi tambahan
termasuk dosis steroid yang di tingkatkan, antagonis reseptor,
teofilin.
4. Langkah keempat diindikasikan pada kontrol gejala asma yang
buruk.
5. Langkah kelima pada kasus ini di rekomendasikan pemantauan
reguler seluruh fungsi fisiologis pasien karena pemberian
steroid oral telah menunjukkan efek samping bermakna dengan
yang berhubungan dengannya. Pemantauan ini termasuk
pemantauan pertumbuhan pada anak-anak dan observasi
munculnya diabetes, osteoporosis, hipertensi, dan
perkembangan katarak.
2. Penatalaksanaan terapi nonfamakologis
Alergen dapat memicu serangan asma dan meningkatkan
morbiditas asma. hal ini harus di pertimbangkan pada setiap
peninjauan ulang tatalaksana asma seorang pasien. Indentifikasi
alergen putatif harus di lakukan dnegan menggali riwayat medis
yang terinci, dan melakukan uji alergi jika mungkin.
Pemberian ASI eksklusif selama empat bulan pertama atau
lebih telah terbukti menurunkan peluang munculnya asma setelah
anak tersebut mencapai usia enam tahun. Efek ini lebih bermakna
pada anak yang memiliki riwayat atopi tinggi pada keluarga.
Sama halnya dengan penyakit respirasi lainnya, merokok
tembakau bersifat merusak tata laksana asma. walaupun ada bukti-
bukti yang telah tersedia selama beberapa dekade bahwa “merokok
pasif” berkontribusi terhadap beratnya asma pada anak-anak,
pekerja kesehatan tetap harus mencari kesempatan untuk
mendukung orang tua berhenti merokok.
36
Terapi komplementer untuk tatalaksana asma di perhatikan
secara rinci pada bantuan BTS 2003, dan didalamnya termasuk
akupuntur, homeopati, hipnosis, dan latihan pernapasan.
Top Related