digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Tentang Autis
Jumlah penyandang autisme dari waktu ke waktu tampaknya semakin
meningkat pesat. Autis seolah-olah mewabah keberbagai belahan dunia. Di
beberapa negara terdapat kenaikan angka kejadian penyandang autisme yang
cukup tajam. Jumlah tersebut di atas angat menghawatirkan mengingat sampai
saat ini penyebab autisme masih misterius dan masih menjadi perdebatan
diantara pakar kesehatan didunia.
1. Pengertian Autis
Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia modern, “autismetik”
yaitu terganggu jika berhubungan dengan orang lain. “autisme” yaitu
gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat
berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan
keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.1
Kate Wall mendefinisikan tentang definisi autis sebagai berikut:
Autism is a lifelong disability that affects the way a person
communicates and relates to people around them. Children with autism
have difficulty in relating to others in a meaningful way. Their ability to
develop friendship is generally limited as is their capacity to understand
other people‟s emotional expressions. Some children, but not all, have
accompanying learning disabilities. All children with autism have
impairments in social interaction, social communication and
imagination. This is known as the triad of impairments.2
1 Tim bahasa PAH, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Surabaya: CV. Pustaka Agung
Harapan, 2003), 59. 2 Kate Wall, Autism and Early Years Practice (London: Sage Publications LTD, 2010), 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
Penjelasan tentang definisi dari Kate Wall dapat diartikan sebagai
berikut, Autisme adalah cacat seumur hidup yang mempengaruhi cara
seseorang berkomunikasi dan berhubungan dengan orang-orang di sekitar
mereka. Anak-anak dengan autisme mengalami kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain. Kemampuan mereka untuk
mengembangkan persahabatan umumnya terbatas karena kapasitas mereka
untuk memahami ekspresi emosi orang lain. Hal tersebut berlaku pada
beberapa anak saja dan semua anak dengan autisme memiliki gangguan
dalam interaksi sosial, komunikasi sosial dan imajinasi . Hal ini dikenal
sebagai tiga serangkai gangguan.
Dari pendapat Y. Handojo, pengertian autisme berasal dari kata
“Auto” yang berarti sendiri, yaitu anak yang menyandang autisme seakan-
akan hidup di dunianya sendiri.3
Adapun menurut David Smith, autism adalah suatu kelainan
ketidakmampuan interaksi komunikasi dan sosial.4
Menurut Badrut Tamam, anak autisme adalah anak yang dalam
proses pertumbuhan dan perkembangannya secara signifikan (bermakna)
mengalami kelainan atau penyimpangan, kelainan itu bisa terjadi pada
fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional.5
Autis spectrum disorder atau yang sering digambarkan sebagai
anak yang hidup dalam dunianya sendiri. Mereka tidak menyukai bila
3 Y. Handojo, Autisma Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal Autis
dan Perilaku Lain (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2003), 12. 4 J. David Smith, Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua (Bandung: Nuansa, 2006), 150.
5 Badrut Tamam, Pelita Jukbil Untuk Anak Autis (Jawa Pos: 28 Pebruari, 2008), 37.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
orang lain menganggu dunia hayalannya. Anak dengan autis menunjukkan
prilaku aneh, seperti suka melihat benda-benda berputar, suka bermain
dengan jarinya sendiri, melihat orang lain dengan tatapan tajam, dan
bahasa komunikasi yang digunakan oleh anak autis ini sangat terbatas juga
malu saat saling pandangan mata saat bicara.6
Autisme ( autisme ) adalah cacat mental yang mempengaruhi
kemampuan individu untuk melakukan pemahaman yang meliputi,
memahami bahasa , bermain , dan berkomunikasi dengan orang lain atau
Anak autis adalah anak yang memiliki cacat perkembangan atau gangguan
dibeberapa fungsi otak yang bisa mempengaruhi fungsi komunikasi sosial.
Sebuah sindrom perilaku autis ini didasarkan pada bentuk perilaku yang
dikeluarkan oleh seorang individu. Hal ini telah dikonfirmasikan bahwa
autis bukanlah penyakit melainkan sindrom yang tidak menular hanya
dengan melalui interaksi dengan lingkungannya dan keberadaannya di
bawah sejak sejak lahir, sindrom ini muncul sebelum usia tiga dan bisa
mempengaruhi fungsi otak .7
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengertian
autis adalah sebutan kepada orang atau nama dari sekelompok kelainan
kebiasaan atau tingkah laku dengan ciri-ciri penyimpangan interaksi sosial,
khususnya bahasa yang diucapkannya, kontak mata, bahasa tubuh dan
6 Melly Budiman, Gangguan Perkembangan pada Anak (Jakarta: Yayasan Autism Indonesia,
1997), 1. 7 Sa’ad Riya>d}, Al- T{ifl al-Tawh}idy: Asra>r al-T{ifl al-Dha>tawy> wa kayfa Nataa<’mal Maa’hu (Mesir:
Da>r al-Qahirah lilja>mia>’t, 2008), 14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
pendekatan sosial, terutama kekurangan hubungan sosial dengan orang
lain.
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Autis
Faktor yang menyebabkan autis sendiri masih belum jelas benar
dan bagaimana terjadinya gejala dari autisme ini, akan tetapi banyak pakar
dalam bidang ini telah sepakat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
anak autisme adalah pada otak anak autisme dijumpai suatu kelainan. Ada
tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan neuro-anatomis atau
fungsi otak.
Berikut beberapa penyebab autis, diantaranya: Pertama, faktor
genetik, kurang lebih dua puluh persen kasus autis itu disebabkan oleh
faktor genetik. Penyakit genetik ini sering dihubungkan dengan autis atau
biasa disebut dengan sindrom fragile-x karena penyakit ini ditandai dengan
kerapuhan yang terjadi pada ujung lengan kromosom x.8 Kedua, gangguan
pada sistem saraf, banyak penelitian yang melaporkan tentang anak autis
yang memiliki kelainan pada struktur otaknya dan kelainan yang paling
sering terjadi yaitu pada otak kecil. Laporan yang diberikan oleh peneliti
menyebutkan bahwa berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada anak
autis dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin sehingga
terjadi pertumbuhan otak yang abnormal.9
8 Lorna Wing, Autistik Children a Guide for Parents and Professionals (New Jersey: The Chitadel
Press, 1974), 67. 9 Richard P. Halgin, Autism from Theoritical Underestanding to Educational Interventation
(London: Whure Publisher Ltd, 1998), 235.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
Sedangkan menurut Y. Handojo, Faktor-faktor yang menyebabkan
autis antara lain adalah:
a. Genetika (faktor keturunan) ditengarai adanya kelainan kromosom
pada anak autisme, namun kelainan ini tidak berada pada kromosom
yang selalu sama.
b. Infeksi virus dan jamur yang terdiri dari toksoplasmosis, rubella,
candida yang menyebabkan tingkah laku yang tidak pantas dan
masalah kesehatan pada anak autismem
c. Kekurangan nutrisi dan oksigenasi.
d. Polusi udara, air dan makanan.
e. Sensory interpretation errors yaitu rangsangan yang berasal dari
reseptor visual, auditori, dan taktil yang mengalami proses yang kacau
pada otak anak sehingga timbul persepsi yang semrawut, kacau atau
berlebihan yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan
ketakutan pada anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan
yang “menakutkan“ tersebut.10
Dari faktor-faktor penyebab anak autisme yang telah dijelaskan di
atas, maka anak autisme dapat sembuh atau menjadi normal kembali
dengan cara membutuhkan penggunaan terapi-terapi khusus atau metode-
metode khusus dalam belajar mengajar. Akan tetapi hal ini akan
membutuhkan waktu yang relatif tidak singkat dan penanganannya tidak
sesederhana yang diperkirakan.
10
Handojo, Autisma Petunjuk Praktis, 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
Banyak para profesi yang perlu dilibatkan, seperti ahli
laboratorium tertentu, ahli keracunan logam berat, ahli gizi tertentu dan
sebagainya. Yang paling disorot dari faktor yang menyebabkan autismem
adalah paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan.
Oleh karena itu, apabila di dalam proses terapi perilaku dijumpai
keterlambatan yang menyolok, maka perlu diwaspadai kemungkinan
penyebab gejala yang lebih komplek.
3. Gejala-Gejala Autis
Masalah komunikasi yang paling sering ditemui oleh anak
autismem yaitu anak terlambat bicara. Sementara kekerapan pada masalah
interaksi sosial adalah tidak adanya kontak mata. Untuk minat yang
terbatas, masalah yang sering ditemukan adalah stimulasi diri seperti jalan
jinjit, berputar-putar, membentur-benturkan tubuh atau kepala berulang
kali serta masalah sensitifitas pada lima indra.
Menurut Y. Handojo, anak autisme memiliki karakteristik atau
ciriciri khusus antara lain:
a. Selektif berlebihan terhadap rangsang.
b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru.
c. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial.
d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan
dari stimulasi diri.11
11
Ibid., 13.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
Untuk menegakkan sebuah diagnosa bahwa seorang anak
mengidap autisme, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Selama ini
panduan yang dipakai dokter, psikiater, atau psikolog biasanya merujuk
pada ICD-10 (International Clasification of Disease) 1993, atau
menggunakan rumusan dalam DSM-IV (Diagnostic Statistical
Manual)1994 yang disusun oleh kelompok Psikiatri di Amerika Serikat
sebagai panduan untuk menegakkan diagnosa. Pada dasarnya diagnosa
autisme yang ditegakkan berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV menunjukkan
kriteria yang sama. Orang tua sebenarnya dapat mencoba mengecek
sendiri apakah anaknya termasuk kategori autisme atau tidak dengan
memperhatikan kriteria autisme yang ada di dalam DSM-IV, berikut
panduannya :12
a. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3) dengan minimal 2
gejala dari (1) dan masing-masing1 gejala dari (2) dan (3).
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.
Minimal 2 gejala dari gejala-gejala di bawah ini :
a) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai:
kontak mata sangat kurang, ekspresi mata yang kurang hidup,
gerak-gerik yang kurang tertuju.
b) Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya.
c) Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
d) Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
12
Yurike Fauziah Wardhani, Autisme Terapi Medis Alternatif (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2009), 13.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal 1 dari
gejala-gejala di bawah ini :
a) Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang
(tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara
lain tanpa bicara).
b) Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
c) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
d) Cara bermain yang kurang variatif, kurang imajinatif, dan
kurang bisa meniru.
3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku,
minat, dan kegiatan sedikitnya harus ada 1 dari gejala-gejala di
bawah ini:13
a) Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang
sangat khas dan berlebih-lebihan.
b) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang
tidak berguna.
c) Ada gerakan-gerakan yang aneh dan diulang-ulang.
d) Seringkali terpaku pada bagian-bagian benda.
b. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan
dalam bidang:
1) Interaksi sosial,
2) Bicara dan berbahasa,
13
Ibid., 14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
3) Cara bermain yang kurang variatif.
c. Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau gangguan Disintegratif
Masa Kanak.
Tanda-tanda autisme biasanya muncul pada tahun pertama dan
selalu sebelum anak berusia 3 tahun. Autisme 2-4 kali lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.14
Selain itu dapat juga dipakai checklist deteksi autisme berdasarkan
ICD-10 dari WHO berikut. Kelompok satu merupakan gejala interaksi
sosial, kelompok dua gejala komunikasi dan kelompok, kelompok tiga
gejala prilaku tak wajar. Bila anda menemukan minimal total ada 6 gejala
secara keseluruhan, dengan ketentuan masing-masing minimal 2 gejala
dikelompok satu,1 gejala di kelompok dua, dan 1 gejala di kelompok tiga,
pada seorang anak, maka diagnosa autisme dapat ditegakkan.15
Tabel II
Deteksi Autisme Berdasarkan
(International Clasification of Disease)
Ke
l
N
O Gejala √ Jml KET
1 A Interaksi sosial tidak memadahi
a. Kontak mata sangat kurang
b. Ekspresi muka kurang hidup
c. Gerak-gerik yang kurang tertuju
d. Menolak untuk dipeluk Min 2
e. Tidak menengok bila dipanggil (cuek) ........... Gejala
14
Christopeh Sunu, Unlocking Autism (Yogyakarta : Lintang terbit, 2012), 13-14. 15
Wardhani, Autisme, 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
..
f. Menangis atau tertawa tanpa sebab
g. Tidak tertarik pada mainan
h. Bermain dengan bendayang bukan mainan
B Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
C
Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang
lain
D Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang
timbal balik
2 A Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak
berkembang (dan tak ada usaha mengimbangi
komunikasi dengan cara lain tanpa bicara),
menarik tangan bila ingin sesuatu bahasa isyarat
tak berkembang
Min 1
Gejala
B
bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk
komunikasi
...........
..
C
sering menggunakan bahasa yang aneh dan
diulang-ulang
D Cara bermain kurang variatif,kurang imajinatif,
dan kurang bisa meniru
3 A Mempertahankan satu minat atau lebih dengan
cara yang sangan khas dan berlebih-lebih
Min 1
Gejala
B Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau
rutinitas yang tak ada gunanya, misalnya
makanan dicium dulu
...........
.
C Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan
diulang-ulang
D sering kali sangat terpaku pada bagian-bagian
benda
JUMLAH
...........
.
...........
..
DIAGNOSA AUTISME DAPAT DITEGAKKAN BILA JUMLAH:GEJALA
SEMUANYA MINIMAL 6
Menurut Derek Wood dkk. Gejala-gejala autisme mulai tampak
sejak masa yang paling awal dalam kehidupan mereka, gejala-gejala
tersebut tampak ketika bayi menolak sentuhan orangtuanya, tidak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
merespon kehadiran orangtuanya, melakukan kebiasaan-kebiasaan lainnya
yang tidak dilakukan oleh bayi-bayi normal pada umumnya. Ketika
memasuki umur dimana mereka seharusnya mulai mengucapkan beberapa
kata, misalnya ayah, ibu, dan seterusnya. Di samping itu, ia juga
mengalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan
yang lainnya.16
Menurut pandapatnya Delay & Deinaker dan Marholin & Philips
dalam buku Bandi Delphie, mengatakan bahwa gejala-gejala anak autis
antara lain:17
a. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan
tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke
bawah.
b. Selalu diam sepanjang waktu.
c. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan
nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan
mengucapkan atau menceritakan dirinya dengan beberapa kata,
kemudian diam menyendiri lagi.
d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya
keinginan bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya.
e. Tidak tampak ceria.
f. Tidak perduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang
disukainya, misalnya boneka.
16
Derek Wood dkk, Kiat Mengatasi Gangguan Belajar (Yogyakarta: Kata Hati, 2005), 235. 17
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Refika Aditama, 2006),
121.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Dari pendapat-pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa ciri-ciri khusus dan gejala-gejala yang timbul pada anak autismem
sangat komplek dan tergantung dari tingkat parah tidaknya anak autisme.
Salah satu ciri dan gejala yang timbul pada umumnya yaitu tidak adanya
kontak mata, bergerak berulang-ulang, suka dengan dunianya sendiri dan
lain-lain. Pada intinya anak autisme mengalami masalah gangguan pada
perkembangan perilaku dan berbicaranya sehingga mereka tidak mampu
mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya
sendiri.
4. Perlunya Perhatian Khusus bagi Siswa Autis
Perlu diingat bahwa pada anak kita yang normal pun, kita tidak
mungkin menentukan dengan pasti apakah pendidikan yang kita berikan
kepadanya akan berhasil memenuhi harapan kita. Banyak anak normal
yang mendapat kesempatan menempuh pendidikan yang normal dan
canggih, setelah dewasa dia tidak berhasil memanfaatkannya.
Sangat perlu dipahami oleh para orang tua yang anaknya
menyandang autisme bahwa terapi harus dimulai sedini mungkin sebelum
usia 5 tahun, karena perkembangan paling pesat dari otak manusia terjadi
pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya pada usia 2-3 tahun. Oleh sebab itu,
penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat.
Pada usia 5-7 tahun perkembangan otak melambat menjadi 25% dari usia
sebelum 5 tahun.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
Meskipun anak autisme ini mempunyai kelainan perilaku, kita
berikan kesempatan untuk belajar kepada anak autisme ini, sehingga
walaupun perkembangan perilakunya tidak secepat anak normal, dia masih
dapat menguasai beberapa kemampuan yang mungkin dapat menyebabkan
timbulnya kemandirian pada dirinya setelah dia dewasa kelak.
Menurut Y. Handojo, adapun perhatian-perhatian khusus atau
jenis-jenis terapi yang bisa diberikan pada anak autisme ini sebagai
berikut:18
a. Terapi perilaku.
Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mendidik anak-
anak dengan kebutuhan khusus, termasuk penyandang autisme
mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku
yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku sangat untuk
membantu para anak-anak ini untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam
masyarakat. Bukan saja pendidiknya yang harus menerapkan terapi
perilaku pada saat belajar mengajar, namun setiap anggota keluarga di
rumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi anakanak
dengan kebutuhan khusus ini. Terapi perilaku terdiri dari terapi okupasi,
terapi wicara, dan menghilangkan perilaku yang asosial.
1) Terapi okupasi.
Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama anak autisme,
juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik.
18
Handojo, Autisma Petunjuk Praktis, 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
Gerakgeriknya kasar dan kurang luwes bila dibandingdengan anak-
anak seumurnya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi
okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan
keterampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting
dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua
hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya, seperti
menunjuk, bersalaman, memegang pensil, memetik gitar dan
sebagainya.
Para terapis okupasi jika sering memakai sensory integeration
(SI) untuk menterapi kelainan sensoris pada anak autisme. Namun dari
banyak penelitian yang dilakukan, dibuktikan bahwa SI saja tidak
dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan
kemunduran perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun
mengurangi perilaku-perilaku aneh dari anak.19
2) Terapi wicara.
Bagi anak dengan Speech delay atau keterlambatan bicara, maka
terapi wicara merupakan pilihan utama. Untuk memporoleh hasil yang
optimal, materi speech therapy sebaiknya dilaksanakan dengan metode
ABA (Applied Behaviour Analysis) atau metode Lovaas. Bagi semua
penyandang autisme yang mempunyai keterlambatan bicara dan
kesulitan berbahasa, speech therapy adalah suatu keharusan, tetapi
pelaksanaannya harus dengan metode ABA tersebut. Penerapan terapi
19
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
wicara pada anak penyandang autisme berbeda dengan anak lain.
Terapis harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup mendalam
tentang gejala dan gangguan bicara yang khas bagi penyandang
autisme.
3) Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar.
Untuk menghilangkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat umum, perlu dimulai dari kepatuhan dan kontak mata,
kemudian diberikan pengenalan konsep atau kognitif melalui bahasa
reseptif dan ekspresif. Setelah itu barulah anak dapat diajarkan hal-hal
yang bersangkutan dengan tata krama. Agar seluruh perilaku asosial
itu dapat ditekan, maka penting sekali diperhatikan bahwa anak jangan
dibiarkan sendirian tetapi harus selalu ditemani secara interaktif.
Seluruh waktu pada saat anak bangun, perlu diisi dengan kegiatan
interaktif, baik yang bersangkutan dengan akademik, bina diri,
keterampilan motorik, sosialisasi, dan jangan lupa, disediakan dan
diberikan imbalan yang efektif.20
b. Terapi biomedik (obat, vitamin, mineral, food suplement).
Obat-obatan juga dipakai terutama untuk anak penyandang
autisme. tetapi sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan
jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami
dan mempelajari autisme. Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan
secara berhati-hati, karena baik obat maupun vitamin dapat memberikan
20
Ibid., 30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
efek yang tidak dikehendaki. Jenis obat, food supplement dan vitamin
yang sering dipakai saat ini untuk anak autisme adalah risperidone
(risperdal), ritalin, haloperidol, pyridoksin (vit B6), DMG (vit B15),
TMG, magnesium, omega-3, dan omega-6. Sebaiknya tiap obat dan
vitamin diberikan kepada penyandang autisme dengan tujuan efek yang
sudah diketahui. Efek serta efek sampingnya perlu secara cermat diamati,
sehingga diperoleh manfaat yang optimal.21
c. Sosialisasi ke sekolah reguler.
Anak dengan kelainan perilaku, terutama penyandang autisme
yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik, dapat
dicoba untuk memasuki sekolah „normal‟ sesuai dengan umurnya. Namun
perlu diingat bahwa terapi perilakunya jangan ditinggalkan, karena sangat
besar kemungkinan terjadi regresi yaitu perkembangan perilaku anak yang
mundur kembali. Sebaiknya keikutsertaan di sekolah normal tetap
diimbangi dengan penanganan perilaku yang tetap terus dikembangkan
dan dipelihara. Perlu diingat pula bahwa bagi anak dengan autisme yang
masuk sekolah normal harus dipantau terus (oleh shadower dan helper).
Di lingkungan sekolah normal, anak-anak ini dapat dilatih untuk
kemampuan komunikasi dan sosialisasi dengan anak-anak sebayanya.
Sedangkan materi akademiknya bila terjadi kesulitan, tetap dapat diajarkan
secara One on One.
21
Ibid., 31.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
d. Sekolah (pendidikan) khusus.
Di dalam pendidikan khusus ini, biasanya telah diterapkan terapi
perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi. Dan bila perlu dapat ditambah
dengan terapi obat-obatan, vitamin dan nutrisi yang memadai. Pendidikan
anak dengan kebutuhan khusus ini tidak dapat disamakan dengan
pendidikan normal, karena kelainannya sangat bervariatif dan usia mereka
juga berbeda-beda. Cara penatalaksanaannya sangat jauh berbeda dengan
pendidikan normal. Kalau di pendidikan normal seorang pendidik dapat
menangani beberapa anak sekaligus, maka untuk anak dengan kebutuhan
khusus ini, biasanya seorang terapis hanya mampu menangani seorang
anak pada saat yang sama (One on One).
Dengan deteksi dini ini, diharapkan para orang tua anak autismem
dapat segera mengambil keputusan dan langkah-langkah penaggulangan
yang tepat. Diharapkan pula para pendidik profesional yang mengatasi
anak autisme ini dapat menyediakan fasilitas layanan terpadu sehingga
memudahkan anak autisme dalam proses belajar mengajar dan orang tua
sebagai pendorong bagi anaknya untuk bisa normal kembali.22
22
Handojo, Autisma Petunjuk Praktis, 33.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
B. Tinjauan tentang Problematika Pembelajaran Remaja Autis
1. Problematika Pembelajaran
Problematika mempunya arti masalah, persoalan atau hal-hal yang
menimbulkan masalah yang belum bisa terpecahkan23
. Dalam undang-
undang tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.24
Jadi dapat disimpulkan
bahwa problematika pembelajaran adalah suatu rintangan yang harus
dipecahkan oleh pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan.
Problematika atau Kendala pembelajaran adalah hambatan yang
menjadikan pelaksanaan pembelajaran tidak efektif. Kendala disini juga
meliputi problem-problem yang sering dikeluhkan oleh peserta didik
maupun guru selaku pelaksana kurikulum. Kendala-kendala dalam
pembelajaran PAI dapat berasal dari guru, peserta didik, kepala sekolah,
ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya. Kendala-kendala itu
sebagai berikut:25
a. Guru dan Peserta Didik
Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran peran guru
sebagai pelaksana kurikulum dan peserta didik sebagai subjek
pembelajaran sangat berpengaruh. Kurangnya keterampilan guru
melaksanakan pembelajaran yang mendidik terkait erat dengan
23
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 701. 24
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. 25
Muhaimin, Paradigma pengertian Pendidikan Islam (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004),
54.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
kebiasaan yang sudah lama melekat dalam sistem sentralisasi
pendidikan, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pencapaian
target materi dan ranah kognitif (menghafal, memindahkan
pengetahuan dari otak ke otak) yang disampaikan secara verbal.
Padahal, sesungguhnya pembelajaran PAI menuntut porsi yang lebih
besar pada aspek afektif. Namun kenyataannya, justru aspek ini yang
menjadi kelemahan pembelajaran PAI selama ini.
Responden lain mengeluhkan masih adanya sebagian peserta
didik yang menganggap bahwa PAI merupakan mata pelajaran yang
kurang penting, yaitu sebagai mata pelajaran pelengkap disbanding
dengan mata pelajaran lain yang diujikan secara nasional. Anggapan
seperti ini menjadikan motivasi belajar mereka rendah. Kondisi
demikian seharusnya menjadi tantangan oleh guru PAI untuk mencari
strategi yang mampu mengajak peserta didik memiliki etos dan
tanggung jawab belajar sebagai kebutuhannya sendiri. Dalam
pembelajaran, guru PAI harus punya niat untuk membimbing peserta
didik selamat didunia dan akhirat. Untuk itu, guru PAI harus bisa
menjadi teladan bagi peserta didiknya.
b. Kepala Sekolah
Komponen pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap
keberhasilan maupun keberlangsungan proses pendidikan di sekolah
adalah kepala sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah berkewajiban
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
membantu guru-guru dalam usaha mereka mengembangkan
keterampilan mengajarnya.
c. Sarana dan Prasarana
Pelaksanaan pembelajaran PAI tidak akan optimal tanpa adanya
dukungan sarana prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Data menunjukan bahwa problem yang dihadapi guru PAI
adalah terbatasnya sarana prasarana yang dibutuhkan.
Dalam proses belajar atau dalam melaksanakan pendidikan perlu
diperhatikan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran, dan faktor-faktor tersebut ikut menentukan berhasil dan
tidaknya pembelajaran. problematika yang timbul dalam pembelajaran
pendidikan agama Islam bila dilihat dari faktor-faktor pembelajarannya
antara lain:
a. Tujuan
Pendidikan agama Islam diajarkan bertujuan untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman peserta didik
tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak
ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama
Islam, yaitu :
1) Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
2) Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan
peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
3) Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan
peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam
4) Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang
telah diimani, dipahami, dan dihayati atau diinternalisasi oleh
peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya
untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama
dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadinya serta merealisasikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan sehari-
hari.26
Tujuan pembelajaran adalah pernyataan tentang hasil
pembelajaran apa yang diharapkan. Adapun yang menjadi problem
tujuan adalah :27
1) Tujuan pembelajaran tidak dirumuskan dengan jelas, baik tujuan
yang bersifat umum maupun khusus, hasil pencapaian
pembelajaran bagaimanakah yang diharapkan, sehingga dapat
timbul pertanyaan dalam diri siswa untuk apakah saya belajar
pendidikan agama Islam dan apa gunanya.
2) Tujuan pembelajaran yang terlalu tinggi sehingga tujuan tidak
akan pernah tercapai karena tujuan tersebut tidak sesuai dengan
26
Muhaimin, Paradigma, 78. 27
Irfan Abdul Gafar dan Muhammad Jamil, Re-Formulasi Rancangan Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), 32.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
kemampuan siswa maupun guru dan keadaan pembelajaran yang
ada.
b. Materi
Menurut Rusdinah dalam Paradigma Pendidikan Agama Islam
mengemukakan beberapa kelemahan dari pendidikan agama Islam,
baik dalam pemahaman materi Pendidikan Agama Islam maupun
dalam pelaksanaannya, yaitu:
1) Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham
fatalistik.
2) Bidang akhlak yang berorientasi pada urusan sopan santun dan
belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama.
3) Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang
ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian.
4) Dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata
aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang
memahami dinamika dan jiwa hukum Islam.
5) Agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma kemajuan ilmu
pengetahuan.
6) Orientasi mempelajari Al-Qur'an masih cenderung pada
kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti
dan penggalan makna.28
28
Muhaimin, Paradigma, 89.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
c. Guru
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana dikutip di atas, ditegaskan agar proses
pembelajaran diselenggarakan dengan menyenangkan, motivatif,
inspiratif agar terjadi proses pengambangan kreatifitas. Dengan
demikian model-model sekolah feodal yang memberi ruang pada
hukuman fisik kini sudah tidak memperoleh ruang dalam pendidikan
dan proses pembelajaran. Guru memperoleh ruang dalam pendidikan
dan pembelajaran. Guru dengan demikian harus mendefinisi tentang
pengembangan proses pembelajarandari proses mengubah perilaku
anak dengan dengan memfasilitasi anak untuk berubah.
Pendidikan sebagai ilmu (paedagogik), sebagaimana ilmu yang
lain memiliki objek material dan objek formal. Objek material dari
pendidikan, sebagaimana objek material dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora yang lain adalah manusia. Sedangkan objek formal dari
pendidikan adalah problem-problem yang menyangkut apa, siapa,
mengapa, dan bagaimana dalam hubungannya dengan usaha membawa
anak didik pada suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, objek formal
dari pendidikan adalah kegiatan manusia dalam upayanya
membawa/membimbing manusia lain ke arah kedewasaan dalam artian
mampu mandiri, yaitu terlepas dari kebergantungan penuh kepada
orang lain.29
29
Abu Ahmadi dan Nur Uhbayati, Ilmu Pendidikan (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective Teaching sebagaimana
dikutip oleh Dede menyatakan bahwa guru yang baik itu harus
memenuhi tujuh kriteria, antara lain:30
1) Sifat; guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif,
mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada tugas dan
pekerja keras, toleransi, sopan dan bijaksana, bisa dipercaya,
fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri, demokratis, penuh
harapan bagi siswa, tidak semata mencuri reputasi pribadi, mampu
mengatasi strereotype siswa, bertanggungjawab terhadap kegiatan
belajar siswa, mampu menyampaikan perasaannya, dan memiliki
pendengaran yang baik.
2) Pengetahuan; Guru yang baik juga memiliki pengetahuan yang
memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus
mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu.
3) Apa yang disampaikan; Guru yang baik juga mampu memberikan
jaminan bahwa materi yang diharapkan mencakup semua unit
bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal.
4) Bagaimana mengajar; Guru yang baik mampu menjelaskan
berbagai infomasi secara jelas dan terang, memberikan layanan
yang variatif, menciptakan dan memelihara memonetum,
menggunakan kelompok kecil secara efektif, memandang semua
siswa untuk berpartisipasi, memonitor, dan bahkan sering
30
Dede Rosyada, Paradigama Pendidikan Demokratis (Jakarta: Prenada Media, 2004), 15-17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
mendatangi siswa, mampu mengambil keuntungan dari kejadian-
kejadian yang tidak diharapkan, memonitor tempat duduk siswa,
senantiasa melakuskan formatif test dan post test, melibatkan siswa
dalam tutorial atau pengajaran sebaya, menggunakan kelompok
besar untuk pengajaran instruktional, menghindari kesukaran yang
kompleks dengan menyederhanakan saja informasi, menggunakan
beberapa bahan tradisional, menunjukkan pada siswa tentang
pentingnya bahan-bahan yang mereka punyai, menunjukkan proses
berfikir yang penting untuk belajar, berpartisipasi dan mampu
memberikan perbaikan terhadap kesalahan konsepsi yang
dilakukan siswa.
5) Harapan; Guru yang baik mampu memberikan harapan pada siswa,
mampu membuat siswa akuntabe, dan mendorong partisipasi orang
tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
6) Reaksi guru terhadap siswa; Guru yang baik biasa menerima
berbagai masukan, resiko, dan tantangan konsistensi dalam
kesepakatankesepakatan dengan siswa, bijaksana terhadap kritik
siswa, menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan siswa,
pengajaran yang memperhatikan individu, mampu memberikan
jaminan atas kesetaraan partisipasi siswa, mempu menyediakan
waktu yang pantas untuk siswa bertanya, cepat dalam memberikan
pengarahan/pengajaran bagi siswa dalam membantu mereka
belajar, peduli dan sensitif terhadap perbedaan-perbedaan latar
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
belakang sosial ekonomi dan kultur siswa, dan menyesuaikannya
pada kebijakan menghadapi berbagai perbedaan.
7) Managemen; Guru yang baik juga harus mampu menunjukkan
keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan
mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, mampu
merancang kelas multi dimensional sebagaimana dia juga mampu
menyusun bangku belajar siswa secara dinamis dan sesuai dengan
suasana belajar yang akan dikembangkannya, cepat memulai kelas,
melewati masa transisi dengan baik, memiliki kemampuan dalam
mengatasi dan/atau pembelajaran kelas dalam satu waktu yang
sama, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya
secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan,
dapat menerima suasana kelas yang ribut dengan kegiatan
pembelajaran, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, memberi
hukuman dengan bentuk yang paling ringan, dapat memelihara
suasana tenang dalam belajar, dan tetap dapat menjaga siswa untuk
tetap belajar menuju sukses.
d. Peserta Didik
Peserta didik adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang.
Mereka merupakan individu dinamis yang memiliki karakteristik
tertentu pada setiap perkembangannya. Pertumbuhan dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
perkembangann ini merupakan proses alami yang terjadi dalam
kehidupan manusia.31
Perkembangan peserta didik memiliki konsekuensi kepada
perlakuan pendidikan. Pada masa bayi pendidikan yang dilaksanakan
oleh orang dewasa lebih banyak memberikan bantuan pada
perkembangan fisik, seperti bantuan orang tua kepada anak agar dapat
menfungsikan kakinya untuk berjalan. Hal ini terus dilakukan sampai
anak memiliki kemampuan mengendalikan dan menfungsikan organ
tubuhnya. Menginjak usia sekolah taman kanak-kanak proses
pendidikan bukan hanya sekadar melatih organ tubuhnya agar
berfungsi lebih sempurna, akan tetapi juga mengembangkan
kemampuan psikologis yang mulai berkembang, misalnya
memgembagkan keberanian melalui permainan-permainan32
.
Mempelajari perkembangan peserta didik merupakan suatu
keharusan bagi setiap pendidik. Ada beberapa alasan mengapa
pendidik perlu memahami faktor problem perkembangan peserta didik,
yaitu:33
1) Kemampuan atau kecerdasan siswa yang kurang, cara mengatasi
problem ini yaitu dengan mempelajari dan memahami karakteristik
perkembangan peserta didik.
31
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 39. 32
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2008), 255-
256. 33
Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), 5-6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
2) Motivasi mempelajari pendidikan agama Islam yang rendah dan
tidak ada kesungguhan dalam mempelajari pendidikan agama
Islam, cara mengatasi problem ini yaitu dengan melalui
pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan peserta didik baik di lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Disamping itu, dapat diantisipasi juga tentang
upaya untuk mencegah berbagai kendala atau penghambat yang
mungkin akan mengontaminasi perkembangan mereka.
3) Siswa tidak suka terhadap pelajaran pendidikan agama Islam atau
guru mata pelajaran tersebut, cara mengatasi problem ini yaitu
dengan menanamkan presepsi kepada guru bahwa Peserta didik
memiliki potensi yang multidimensi yang meliputi
biopsikososiospiritual (fisik/biologis, psikologis, sosial, dan moral-
spiritual). Pemahaman terhadap keragaman dimensi potensi ini
memberikan implikasi terhadap kebijakan pendidikan, baik
menyangkut penentuan arah atau tujuan, kompetensi guru, model
kurikulum, maupun penyiapan fasilitas (sarana dan prasarana
pendidikan).
e. Media
Secara bahasa kata media berasal dari bahasa Latin medius yang
berarti tengah, perantara atau pengantar.34
Selaras dengan pendapat
Heinich, Molenda dan Russel yang dikutip oleh Wina Sanjaya,
34
Azhar Arsyad. Media Pembelajaran (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2007), 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
mengungkapkan bahwa media is a channel of communication. Derived
from the Latin word for “between”, the term refers to “anything that
carries information between a source and a receiver. Media adalah
sebuah alat komunikasi. Berasal dari bahasa Latin yang berarti
“antara”, maksud term tersebut adalah apapun yang menyampaikan
informasi antara sumber dan penerimanya.35
Zakiah Daradjat dkk memberikan definisi bahwa media pendidikan
adalah suatu benda yang dapat diindra, khususnya penglihatan dan
pendengaran, baik yang terdapat di dalam maupun di luar kelas, yang
digunakan sebagai alat bantu penghubung dalam proses interaksi
belajar-mengajar untuk meningkatkan efektifitas hasil belajar peserta
didik.36
Secara umum, manfaat media dalam proses belajar mengajar
adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga
pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. Tetapi secara lebih khusus
ada beberapa manfaat media yang lebih rinci, Selain itu media dalam
proses belajar mengajar mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1) Media dapat megatasi berbagai keterbatasan pengalaman yang
dimiliki peserta didik. Pengalaman masing-masing individu
beragam karena dipengaruhi lingkungan tempatnya berada. Dalam
hal ini media dapat mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut.
35
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran (Jakarta:Kencana, 2009), 204. 36
Zakiah Daradjat,dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),
226.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
2) Media dapat mengatasi ruang kelas. Banyak hal yang sukar
dialami oleh peserta didik di dalam kelas, seperti objek yang
terlalu besar atau terlalu kecil, gerakan-gerakan yang diamati
terlalu cepat atau terlalu lambat. Melalui media kesukaran-
kesukaran tersebut dapat diatasi.
3) Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta
didik dengan lingkungan.
4) Media menghasilkan keseragaman pengamatan. Pengamatan
peserta didik dapat secara bersama-sama diarahkan kepada hal-hal
yang dianggap penting sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
5) Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan
realistis. Penggunaan media seperti gambar, film, grafik dan
lainnya dapat memberikan konsep yang benar.
6) Media dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru.
Melalui media, pengalaman peserta didik semakin luas, persepsi
semakin tajam, dan konsep-konsep dengan sendirinya makin
lengkap, sehingga keinginan dan minat baru untuk belajar akan
timbul.
7) Media dapat membangkitkan motivasi dan merangsang peserta
didik untuk belajar.
8) Media dapat memberikan pengalaman yang integral dari suatu
yang konkrit sampai pada yang abstrak.37
37
Asnawir, Basyirudin Usman, Media Pembelajaran (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 14-15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
Media adalah faktor yang sangat penting bagi tercapainya tujuan
pembelajaran, akan tetapi yang menjadi problem adalah media yang
tersedia dan yang sering digunakan hanyalah media tradisional,
misalnya buku-buku dan alat tulis. Sedangkan laboratorium /
perpustakaan, audio visual, LCD proyektor dan alat peraga belum
dapat terpenuhi secara maksimal.
f. Strategi
Abdul Majid menjelaskan bahwa strategi adalah suatu ilmu atau
seni perintah militer yang diterapkan dalam suatu rencana pertempuran
besar atau kemampuan menggunakan strategi untuk mengejutkan
musuh. Semakin luasnya pengertian strategi Abdul Majid mengutip
pendapat dari Mintzberg dan Waters yang menjelaskan strategi adalah
pola umum tentang keputusan atau tindakan atau strategi dapat
dipahami sebagai rencana atau kehendak yang mendahului dan
mengendalikan kegiatan.38
Strategi juga bisa diartikan sebagai suatu pola yang direncanakan
dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tidak.
Strategi mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan,
isi kegiatan, proses kegiatan dan sarana penunjang kegiatan.39
Dick dan Carey dalam Sanjaya menjelaskan bahwa strategi
pembelajaran terdiri atas seluruh komponen materi pembelajaran dan
prosedur atau tahapan kegiatan belajar yang digunakan oleh guru
38
Abdul Majid, Strategi Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013), 3. 39
Ibid., 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
dalam rangka membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran
tertentu. Menurut mereka strategi pembelajaran bukan hanya terbatas
pada prosedur atau tahapan kegiatan belajar saja, melainkan termasuk
juga pengaturan materi atau paket program pembelajaran yang akan
disampaikan kepada peserta didik.40
Dalam proses belajar mengajar guru mampu menggunakan strategi
aktif, sehingga siswa dapat belajar dengan penuh semangat dan
antusias untuk mengikuti pembelajaran di kelas. Penggunaan strategi
aktif dalam proses pembelajaran merupakan suatu keharusan dalam
kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu strategi merupakan
komponen yang menentukan terhadap keberhasilan kegiatan belajar
mengajar di samping tujuan, materi, dan evaluasi. Strategi yang
digunakan adalah betul-betul dapat melayani kebutuhan peserta didik,
baik secara individu maupun kelompok merupakan suatu hal yang
diharapkan saat ini. Penggunaan strategi yang tepat dapat berpengaruh
terhadap efektifitas kegiatan belajar mengajar
g. Evaluasi
Evaluasi dapat diartikan sebagai upaya sistematik untuk
menghimpun, menyusun, dan memperoleh data serta informasi yang
dapat diolah dan dianalisa menjadi kesimpulan yang berguna bagi
landasan pengelolaan program. Evaluasi dilaksanakan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan kegiatan pengajaran
40
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2008), 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi juga
dimaksudkan untuk mengetahui hambatan- hambatan dan kelemahan
yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan pengajaran. Evaluasi
belajar yang baik berdasarakan acuan patokan untuk mengetahui
apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai. Bila
kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat teridentifikasi dan
dapat terukur target pencapaian pembelajaran dan dapat terukur target
pencapaian pembelajaran, sehingga evaluasi belajar yang diadakan
mampu mempetakan kemampuan siswa.41
Data evaluasi belajar diperoleh melalui evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif lebih diarahkan kepada pertanyaan
sampai dimanakah guru telah berhasil menyampaikan bahan pelajaran
kepada siswanya. Evaluasi formatif pada umumnya dilakukan pada
akhir satuan pelajaran maupun dalam bentuk ulangan harian.
Sedangkan evaluasi sumatif langsung diarahkan kepada keberhasilan
siswa mempelajari suatu program pengajaran. Biasanya dilakukan
pada akhir program pengajaran yang relatif besar, misalnya: triwulan,
tengah semester atau akhir semester.42
Lembaga pendidikan adalah sebuah wadah yang digunakan untuk
proses pembelajaran, adapun menurut Islam, tujuan pendidikan ialah
membentuk manusia supaya sehat, cerdas, patuh dan tunduk kepada
perintah Tuhan serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Namun dalam
41
Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2010), 76. 42
Ainurrahman, Belajar dan Pembelajaran (Bandung: Alfabet, 2010), 54.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
menyukseskan tujuan pendidikan tersebut tidaklah mudah. Pasti ada
kendala di dalamnya. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati, problematika atau
kendala dalam proses pembelajaran pendidikan itu menyangkut 5 W dan 1
H, yaitu:43
a. Problematika Who (Siapa)
Problematika Who (Siapa) yaitu menguraikan kendala dari
pendidik dan anak didik sebagai subjek pendidikan.
1) Problem Pendidik
Masalah yang berkaitan dengan pendidik antara lain: Problem
kemampuan ekonomi, Problem kemampuan pengetahuan dan
pengalaman, Problem kemampuan, Problem kewibawaan, Problem
kepribadian, Problem attitude (sikap), Problem sifat, Problem
kebijaksanaan, Problem kerajinan, Problem tanggung jawab,
Problem kesehatan dan sebagainya.
Masalah yang berkaitan dengan pendidik antara lain rendahnya
kualitas guru dan rendahnya kesejahteraan guru. Kedua masalah ini
saling berkaitan. Kualitas guru yang rendah dipengaruhi oleh
kesejahteraan guru yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Rendahnya penghasilan yang diterima para guru memaksa mereka
untuk mencari pekerjaan sampingan. Hal ini tentunya membuat
kualitas para guru menurun karena perhatian mereka tidak hanya
tertuju pada tugas mereka sebagai guru
43
Ahmadi dan Nur Uhbayati, Ilmu Pendidikan, 255.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
2) Problem Anak Didik
Problem yang berkaitan dengan anak didik juga tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan, dipikirkan dan dipecahkan, karena
anak didik adalah pihak yang digarap untuk dijadikan manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan baik
dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Adapun problem-
problem yang ada pada anak didik antara lain: a) Problem
kemampuan ekonomi keluarga, b) Problem intelegensi, c)
Problem bakat dan minat, d) Problem pertumbuhan dan
perkembangan, e) Problem kepribadian, f) Problem sikap, g)
Problem sifat, h) Problem kerajinan dan ketekunan, i) Problem
pergaulan, j) Problem kesehatan.
Selain masalah di atas, ada lagi satu masalah yang sering di
alami oleh para siswa yaitu rendahnya prestasi yang dimiliki oleh
para siswa. Berdasarkan teori di atas, faktor penyebab masalah
yang dihadapi oleh peserta didik dapat digolongkan menjadi dua
macam yaitu faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik itu
sendiri dan faktor yang berasal dari luar diri peserta didik, seperti
faktor lingkungan dan faktor keluarga44
.
44
Ibid., 256.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
b. Problem Why (Mengapa)
Dalam proses pendidikan, tidak semua pelaksanaannya bisa
berjalan dengan lancar, tetapi dijumpai rintangan-rintangan atau
hambatan-hambatan. Kesulitan-kesulitan tersebut bisa terdapat pada
semua faktor pendidikan yang menghambat jalannya proses
pendidikan. Hambatan-hambatan yang dapat dijumpai dalam proses
pendidikan antara lain:
1) Mengapa anak-anak sulit bekerja sama sesama mereka.
2) Mengapa masyarakat tidak menghargai jasa guru yang mendidik
putra-putri mereka.
3) Mengapa masyarakat sulit dimintai sumbangan tenaga, pikiran dan
dana dalam pembangunan prasarana, pendidikan untuk
kepentingan anak-anak mereka
4) Mengapa orang tua anak-anak menghalangi kegiatan ekstra
kurikuler putra-putranya.
5) Mengapa pejabat setempat mengizinkan mendirikan pabrik
disebelah sekolah yang mengganggu jalanya proses belajar
mengajar.
6) Mengapa penyaluran buku-buku paket tidak sampai atau selalu
terlambat datang di sekolah.
7) Mengapa kasus amoral terjadi di kalangan guru, murid, dan orang
tua anak.45
45
Ibid., 258.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
salah satu hal yang sering menjadi hambatan dalam pendidikan
adalah rendahnya kualitas sarana fisik. Untuk sarana fisik misalnya,
banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan
masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan dipandang sebagai suatu
pemborosan; pemborosan waktu, tenaga dan materi. Hal ini terlihat
sangat jelas pada masyarakat pedesaan yang lebih suka anaknya
bekerja daripada bersekolah. Jadi, problematika why sangat berkaitan
dengan masih kurangnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan
bagi anak.
c. Problem Where (Dimana)
Pada umumnya pendidikan itu biasanya dapat dilaksanakan pada
yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat (Ahmadi, Uhbiyati,
1991:258). Sistem pendidikan pada masing-masing tempat tersebut
tidak sama dan metodenya pun juga berbeda. Pendidikan di
sekolahsekolah merupakan pendidikan formal yang diselenggarakan
pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan
yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai
pendidikan tinggi.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
Problem pendidikan keluarga sebagai tempat pendidikan
anakanak antara lain adalah situasi keluarga itu sendiri dan letak
keluarga yang berbeda di tengah-tengah lingkungan yang tidak
menguntungkan. Demikian pula sekolah sebagai tempat pendidikan
murid-murid, bila letak sekolah itu di tengah-tengah lingkungan yang
tidak menguntungkan, juga akan menjadi problema.
Apabila tempat pendidikan itu di masyarakat, yang menjadi
problem tempat di masyarakat adalah jika kebudayaan dan peradaban
masyarakat itu bertentangan dan norma-norma agama atau
normanorma pancasila.46
Berdasarkan uraian di atas, setiap tempat pembelajaran memiliki
karakteristik sendiri-sendiri. Karakteristik tersebut dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap peserta didik dan ada pula yang
memberikan pengaruh negatif pada anak didik. Oleh karena itu, para
orang tua harus bisa mempertimbangkan lokasi mana yang sesuai
dengan kondisi anak mereka
d. Problem When (Kapan)
Problema when (bilamana/kapan) banyak menyangkut tentang
penyiapan sesuatu kepada anak didik, sehingga akan timbul beberapa
pertanyaan yaitu: 1) Kapan sesuatu materi itu disampaikan 2) Kapan
sesuatu hukuman itu dijatuhkan 3) Kapan sesuatu ganjaran itu
diberikan 4) Kapan sesuatu kewajiban itu dibebankan 5) Kapan sesuatu
46
Ibid., 259.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
perintah itu dilaksanakan. Masalah when (kapan) tidak hanya
berkenaan dengan sesuatu yang diberikan, tetapi juga berkenaan usia
anak, seperti: 1) Pada usia berapa anak mulai dididik 2) Pada usia
berapa pendidikan berakhir.47
Anak dari segi pertumbuhan dan perkembangan mengalami
perubahan dengan standar periodesasi usia, baik usia kronologis,
psikologis, biologis, kejasmanian, dan pengalaman. Yang menjadi
problem adalah berkenaan dengan anak penyandang cacat seperti
halnya anak autis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran harus
dilaksanakan secara bertahap mulai dari pendidikan untuk anak usia
dini, pendidikan untuk anak sekolah dasar, dan pendidikan untuk anak
sekolah menengah. Selain itu, diperlukan pendidikan khusus bagi
anak–anak yang memiliki kebutuhan khusus yang mana semua aspek
pembelajarannya harus dibedakan dengan anak-anak pada umumnya
sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai.
e. Problem What (Apa)
Problem what (apa) menyangkut dasar, tujuan, bahan atau materi,
sarana, prasarana, dan media. Masalah materi erat hubungannya
dengan kurikulum, silabi dan SAP. Apakah kurikulum, silabi dan SAP
sesuai dengan situasi saat itu dan kondisi anak. Masalah sarana adalah
47
Ibid., 260.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
bila tidak lengkap sarana pendidikan hal ini akan mengganggu
jalannya pendidikan, seperti kurangnya kursi, meja dan buku.
Perubahan sistem pendidikan secara otomatis juga mempengaruhi
perubahan kurikulum, silabi, dan SAP. Apabila kurikulum selalu
berubah maka pendidik dan anak didik di sekolah akan terombang-
ambing. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
Berdasarkan urain tersebut, terlihat bahwa pemerintah belum
begitu memperhtikan pendidikan secara kesuluruhan. Kurikulum yang
selama ini dipakai mungkin tidak sesuai dengan semua kondisi siswa.
Di saat siswa baru bisa beradaptasi dengan kurikulum yang lama,
sudah muncul lagi kurikulum yang baru. Ini tentunya akan sangat
mengganggu proses pembelajaran karena butuh waktu yang lama agar
siswa mampu menyesuaikan dengan kurikulum yang baru.48
f. Problem How (Bagaimana)
Masalah how (bagaimana) berkenaan dengan metode atau cara
yang akan digunakan dalam proses pendidikan. Anak didik
mempunyai sifat dan bakat yang berbeda-beda dan pendidik harus
mengakui adanya perbedaan tersebut. Problematika how sangat
berkaitan dengan problem pendidik. Di sinilah pendidik diuji
48
Ibid., 263.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
kualitasnya dalam mengelola pembelajaran. Akan tetapi, banyak guru
yang masih memiliki kualitas pengelolaan pembelajaran yang rendah.
Oleh karena itu, diperlukan pelatihanpelatihan yang berkenaan dengan
peningkatan kualitas dan kompetensi pendidik agar kegiatan
pembelajaran terlaksana dengan baik.49
2. Problematika Remaja Autis
Permasalahan yang dihadapi oleh anak autis dalam usia remaja yang
mungkin dimulai 10-15 tahun yang ditandai dengan permasalahan seputar
Kemandirian, Identitas diri (perubahan fisik, hormon dan sebagainya),
Pergaulan sosial, Pendidikan seks, dan Tuntutan akademis yang semakin
tinggi. Saat usia 15 hingga 20 tahun, orang tua dari anak penyandang
autis mulai disibukkan dengan persiapan masa depan bagi anak terutama
mengenai kemandirian anak dari segi fisik, sosial maupun nafkah hidup
(lapangan kerja). Di usia ini, anak mulai semakin sadar bahwa dirinya
berbeda dengan teman-teman sebayanya. Norma-norma sosial tentang apa
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, juga merupakan
salah satu isu yang kuat terutama dari segi pendidikan seks.50
Robin L. Gabriels dalam bukunya menjelaskan tentang problem
siswa autis yang akan dihadapi pada saat usia sekolah dan remaja.
Beberapa permasalahnnya yaitu51
49
Ibid., 265. 50
Gayatri Pamoedji, 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme (Jakarta: Yayasan MPATI
Masyarakat Peduli Autis Indonesia, 2010), 138. 51
Robin L. Gabriels dan Dina E. Hill, Growing Up with Autis; Working with School-Age Children
and Adolescent (New York: The Guliford Press, 2007), 229-233.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
a. Communication Abilities
Mengajari siswa autis untuk berkomunikasi sangatlah berdampak
besar pada dirinya. Siswa autis dimungkinkan ada yang kurang dalam
memahami bahasa dan ada yang sangat cepat dalam mengembangkan
bahasa yang diajarkan oleh gurunya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sigman dan Ruskin,
mereka membagi anak autis dalam 2 grup (pertama grup umur 3 tahun
11 bulan, grup kedua 12 tahun 10 bulan). Grup pertama masih bisa
berkomunikasi dalam 18 bulan dari umurnya dan grup kedua masih
bisa berkomunikasi setelah umur 8-9 tahun. Dan dalam penelitiannya
pada autis berumur 18-39 tahun mereka mendiagnosis bahwa mereka
masih kesulitan dan lemah pada saat berkomunikasi dan masalah ini
akan terus berlanjut sampai remaja.
b. Social Skills
Lemahnya kemampuan remaja autis dalam berinteraksi sosial
mempunyai dampak yang sangat beragam seperti kurangnya kualitas
berinteraksi dengan sesama temannya dan kelemahan ini kedepannya
akan berdampak pada kemampuannya untuk bisa mencapai dan
mendapatkan informasi tambahan dalam kehidupan sosialnya.
Kurangnya kemampuan bersosialisasi ini berdampak pada remaja
autis tentang kurang bisanya bersikap bijaksana dengan sesama,
rendahnya sifat sosial dan rendahnya respot remaja autis terhadap
sesama.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
c. Behavior Problems
Problem-problem yang dilakukan oleh remaja autis meliputi sifat
marah, merusak sesuatu, dan agresif kepada dirinya maupun orang
lain. Sifat-sifat di atas ini mempunyai beberapa rintangan yang akan
dialami oleh penghuni rumah, sekolah, dan grup belajar.
Problem tingkah laku remaja autis ini bisa menjadi sumber yang
sangat signifikan terhadap prilaku stress yang dihadapi oleh keluarga
autis, pengasuh anak, guru autis dan kesetresan ini akan menjadi luas
seiring dengan bertambahnya umur, kekuatan, dan besar anak autis.
d. Adaptive Living Skills
Ada beberapa fakta yang terdapata pada beberapa remaja autis
yaitu terdapatnya kemampuan penyesuaian diri pada remaja autis
untuk menolak atau tidak adanya sifat adaptasi sama sekali pada diri
remaja autis.
Kurangnya kemajuan dalam beradaptasi ini bisa memperburuk
keadaannya. Oleh karena itu, anggota keluarga autis harus membantu
dan mendukung guna untuk memaksimalkan dan menyeimbangkan
antara sifat bebas dan ketergantungan yang dihadapi oleh remaja
autis.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
Lorna Wing menuliskan dua kelompok besar yang menjadi
masalah pada anak autis yaitu:52
a. Masalah dalam memahami lingkungan (problem in understanding the
world)
1) Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to
sounds). Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung
mengabaikan suara yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun
ada yang menjatuhkan benda di sampingnya. Anak autis dapat
juga sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel,
tetapi ada anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara
tertentu, sehingga ia akan menutup telinganya.
2) Sulit dalam memahami pembicaraan (dificulties in understanding
speech). Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan
memiliki makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal,
mendengar peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi
(scolded). Menjelang usia lima tahun banyak autis yang
mengalami keterbatasan dalam memahami pembicaraan.
3) Kesulitan ketika bercakap-cakap (difiltuties when talking).
Beberpa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis
belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka
mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain, mereka memiliki
52
Wing, Autistik Children, 37.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat
menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.
4) Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (poor pronunciation
and voice control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam
membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka
kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, memiliki
kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka
biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan
(loudness) suara.
5) Masalah dalam memahami benda yang dilihat (problems in
understanding things that are seen). Beberapa anak autis sangat
sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu
kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau benda dengan
gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak.
6) Masalah dalam pemahaman gerak isyarat (problem in
understanding gesturs). Anak autis memiliki masalah dalam
menggunakan bahasa komunikasi; seperti gerakan isyarat, gerakan
tubuh, ekspresi wajah.
7) Indra peraba, perasa dan pembau (the senses of touch, taste and
smell). Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera
peraba, perasa dan pembau mereka. Beberapa anak autis tidak
sensitif terhadap dingin dan sakit.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
8) Gerakan tubuh yang tidak biasa (unusually bodily movement).
Ada gerakan-gerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa
dilakukan oleh anak-anak yang normal seperti mengepak-
ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan menyeringai.
9) Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled
movements). Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun,
mampu memanjat dan seimbang seperti kucing, namun yang
lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki bebrapa kesulitan
dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati
memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan
dan berlari atau sebaliknya.
b. Masalah gangguan perilaku dan emosi (dificult behaviour and
emotional problems).
1) Sikap menyendiri dan menarik diri (aloofness and withdrawal).
Banyak anak autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak
ada. Anak autis tidak merespon ketika dipanggil atau seperti tidak
mendengar ketika ada orang yang berbicara padanya, ekspresi
mukanya kosong.
2) Menentang perubahan (resistance to change). Banyak anak autis
yang menuntut pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak
autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti mengetuk-ngetuk
kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek dalam garis yang
panjang.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
3) Ketakutan khusus (special fears). Anak-anak autis tidak
menyadari bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka tidak
memahami kemungkinan konsekuensinya.
4) Prilaku yang memalukan secara sosial (socially embarrassing
behaviour). Pemahaman anak autis terhadap kata-kata terbatas
dan secara umum tidak matang, mereka sering berperilaku dalam
cara yang kurang dapat diterima secara sosial. anak-anak autis
tidak malu untuk berteriak di tempat umum atau berteriak dengan
keras di senjang jalan.
5) Ketidakmampuan untuk bermain (inability to play). Banyak anak
autis bermain dengan air, pasir atau lumpur selam berjam-jam.
Mereka tidak dapat bermain pura-pura. Anak-anak autis kurang
dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak dapat bersama-sama
dalam permainan denga anak-anak yang lain.
Masalah pubertas yang ditandai dengan pertumbuhan dan perubahan
penampilan fisik yang cepat disertai timbulnya hasrat seksusal, seringkali
menimbulkan kecemasan pada orang muda penderita autis. Terdapat tiga
masalah utama yang secara kebetulan dibicarakan dalam diskusi-diskusi
tentang seksualitas yang biasa dihadapi oleh remaja autis, diantaranya :
1. Mereka cenderung bermastrubasi di depan umum.
2. Mereka menunjukkan prilaku seksual yang tidak pantas terhadap orang
lain.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
3. Kebanyakan dari mereka melakukan mastrubasi dengan cara yang
menyakiti diri.53
C. Tinjauan Tentang Pendidikan Agama Islam.
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi tentang pembahasan Pendidikan
Agama Islam, maka penulis akan memaparkan beberapa definisi pendidikan
antara lain :
Pendidikan secara garis besar menurut UU RI No. 2 tahun 1989, Bab I
pasal 1 yaitu “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di
masa yang akan datang”.54
Menurut Hamdani Ali, Secara umum pengertian pendidikan mencakup
segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan
pengalamannya, kecakapannya, keterampilannya, kepada generasi muda
untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan sebaik-
baiknya.55
Menurut pendapatnya Amin, bahwasannya Pendidikan adalah suatu
usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang
yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat
dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Dengan kata lain bahwa
53
Bugi Rustamadji dan Sri Sudaryati, Suka Duka Orang Tua Penyandang Autis (Yogyakarta:
Kosudgama Press, 2008), 59. 54
Depdikbud, Sistem Pendidikan Nasional, UU RI No. 2 Th. 1989 (Jakarta: PT. Armas Duta Jaya,
1989), 20. 55
Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), 8.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak,
dalam pertumbuhan jasmani maupun rohani untuk mencapai tingkat
dewasa.56
Adapun pengertian pendidikan menurut Oemar Hamalik yakni “Suatu
proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menguasai
diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan
menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk
berfungsi secara adekwat dalam kehidupan masyarakat”.57
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengertian
pendidikan merupakan suatu bagian integral dalam pembangunan. Adapun
yang dimaksud dengan “usaha sadar” adalah bahwa pendidikan
diselenggarakan berdasarkan rencana yang matang, jelas, lengkap,
menyeluruh, dan berdasarkan pemikiran rasional-objektif. Jadi, pendidikan
tidak dapat diselenggarakan dengan secara tidak sengaja, atau bersifat
insidental dan seenaknya.
Adapun pengertian Pendidikan Agama Islam secara garis besar akan
dikemukakan oleh beberapa ahli di bawah ini:
Menurut Arifin dalam buku Filsafat Pendidikan Islam menyatakan
bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan usaha mengubah tingkah laku
individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan
56
Amin, Pengantar Ilmu Pendidikan (Pasuruan: Garuda Buana Indah, 1992), 1. 57
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan yang dilandasi
dengan nilai-nilai Islami.58
Dari pendapatnya Ahmad D. Marimba, Pendidikan Agama Islam
adalah “Bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama
Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut Islam”.59
Pengertian lain yang dikemukakan oleh Syahminan Zaini, beliau
mengartikan Pendidikan Agama Islam sebagai suatu usaha untuk
mengembangkan fitrah manusia yang makmur dan bahagia”. Oleh karena itu,
seluruh umat Islam haruslah memikirkan dan melaksanakan Pendidikan
Agama Islam ini, kalau Pendidikan Agama Islam ini telah mereka fikirkan
dan dilaksanakan dengan mantap, maka ada harapan bahwa kehidupan
mereka akan meningkat dari kehinaan menuju kejayaan.60
Sedangkan menurut Zakiah Daradjat dkk, pengertian Pendidikan
Agama Islam adalah “Pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam,
yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya,
setelah selesai dari pendidikan mereka dapat memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara
menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu
pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
di akhirat kelak”.61
58
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 14. 59
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung,: Al-Ma'arif, 1989), 23. 60
Syahminan Zaini, Dasar Konsepsi Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
1990), 12. 61
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 86.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
Pendidikan Agama Islam memiliki pengertian bahwa Pendidikan
Agama Islam dipandang dari sudut yang berbeda-beda. Perbedaan sudut
pandang disebabkan adanya pemahaman tertentu yang disesuaikan dengan
ruang lingkup yang menjadi pokok ajarannya, walaupun pada dasarnya ada
kesamaan pengertian yang mendasar. Hal ini sesuai dengan apa yang telah
diungkapkan oleh Muhaimin bahwa, Pendidikan Agama Islam adalah: “Suatu
usaha membelajarkan peserta didik agar dapat belajar, mau belajar, dan
tertarik untuk terus menerus mempelajari agama Islam, baik untuk
kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar maupun
mempelajari Islam sebagai pengetahuan”.62
Jadi pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan
mutlak yang harus dipenuhi sepanjang masa, tanpa pendidikan sama sekali
mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan
aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep
pandangan hidup mereka.
Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu sektor yang paling penting
dalam pembangunan nasional, dijadikan andalan utama untuk berfungsi
semaksimal mugkin dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia.
Dimana iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber
motivasi kehidupan dalam segala bidang.
Bardasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat dimengerti
bahwa Pendidikan Agama Islam adalah suatu ikhtiyar yang dilakukan oleh
62
Muhaimin dkk, Strategi Belajar Mengajar (Surabaya: Citra Media, 1996), 183.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
pendidik secara sadar, sistematis, dan pragmatis untuk membimbing dan
mengarahkan peserta didik agar mereka dapat hidup sesuai dengan ajaran
agama Islam. Untuk itu, Pendidikan Agama Islam bukan hanya merupakan
materi yang harus dipelajari sebagai pengetahuan, tetapi dituntut setelah
mendapatkan Pendidikan Agama Islam kelak untuk mempersiapkan peserta
didik mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari berdasarkan ajaran-
ajaran agama Islam.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam.
a. Dasar Yuridis
Dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam mempunyai status
yang sangat kuat. Adapun dasar Yuridis yang dimaksud adalah peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan Pendidikan Agama
Islam. Dasar pendidikan Agama Islam dari segi Yuridis di Indonesia
adalah:
1) Pancasila
Dasar Pendidikan Agama Islam secara idiil bersumber pada
Pancasila khususnya sila pertama. Ini mengandung pengertian bahwa
bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan YME. Untuk
merealisasikan sila pertama ini diperlukan adanya Pendidikan Agama
Islam, karena tanpa Pendidikan Agama Islam akan sulit mewujudkan
sila pertama tersebut.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
2) UUD 1945
Dasar strukturil Pendidikan Agama Islam yaitu UUD 1945.
Mengenai Pendidikan Agama Islam ini sebagaimana tertera dalam
pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang 31 Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.63
Berdasarkan UUD 1945 tersebut, maka bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang menganut suatu agama dan kepercayaan
adanya Tuhan YME, artinya negara melindungi umat beragama untuk
menunaikan ajaran agamanya dan beribadah menurut agamanya
masing-masing.
3) Garis-Garis Besar Haluan Negara
Dari segi operasionalnya Pendidikan Agama Islam tertera
Dalam Tap MPR RI No IV/MPR/1999 tentang GBHN yang
menyatakan bahwa: Melakukan pembaharuan Sistem Pendidikan
termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum
untuk melayani keberagamaan peserta didik, penyusunan kurikulum
yang berlaku nasional dan local sesuai dengan kepentingan setempat
serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional. Hal ini
diperkuat lagi dengan UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada bab X Pasal 37 Ayat 2 yang menyatakan:
63
UUD 1945, Tahun 2003, 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
Kurikulum Pendidikan wajib memuat: (1) Pendidikan Agama, (2)
Pendidikan Kewarganegaraan, dan (3) Bahasa.64
b. Dasar religius
Dasar Pendidikan Agama Islam sudah jelas dan tegas ditetapkan,
yaitu terdapat di dalam firman Allah SWT. dan sunnah Rosulullah SAW.
Pendidikan diibaratkan sebagai bangunan, maka isi Al-Qur'an dan
Hadistlah yang menjadi dasarnya. Al-Qur'an adalah sumber kebenaran
dalam Islam, kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Sedangkan sunnah
Rosulullah yang dijadikan landasan Pendidikan Agama Islam adalah
berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan Rosulullah SAW dalam
bentuk isyarat. Bentuk isyarat ini adalah suatu perkataan yang dilakukan
oleh Sahabat atau orang lain dan Rosulullah membiarkan saja dan
Ayat Al-Qur’an dan Hadist di atas juga menyatakan bahwa apabila
manusia telah mengatur seluruh aspek kehidupannya (termasuk
Pendidikan) dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya akan bahagia,
apabila mereka tidak berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah
mereka akan binasa.
Dari uraian tentang dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam di
atas, maka dapat dipahami bahwa disamping Pendidikan merupakan pusat
kebudayaan bangsa, bahkan pendidikan itu adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kebudayaan bangsa kita. Oleh karena itu, pelestarian
ataupun pengembangan budaya bangsa hendaknya bersamaan dengan
64
UU RI No.20. Tahun 2003, 19-20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
usaha-usaha memajukan dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama
Islam bagi anak yang berkebutuhan khusus yaitu anak autisme. Sehingga
pendidikan Agama Islam untuk anak autisme ini sebagai bagian dari
pendidikan nasional kita, tentu tidak akan dikecualikan atau dilupakan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dasar Pendidikan Agama Islam
adalah yang terpenting bersumber pada dasar yuridis dan religius. Adapun
dari dasar Pendidikan Agama Islam secara yuridis terdiri dari pancasila,
UUD 1945, dan GBHN, sedangkan dasar Pendidikan Agama Islam yang
sumbernya dari religius terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist yang telah
dijelaskan di atas. Antara dasar Pendidikan Agama Islam secara yuridis
dan religius sangat berkaitan erat, karena negara kita menganut ideology
yaitu pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara sekaligus falsafah
hidup bangsa, sehingga dasar Pendidikan Agama Islam tidak terlepas dari
aturan-aturan negara maupun aturan-aturan dari agama Islam yang
sebagian besar dianut oleh penduduk Indonesia.
Tujuan dari Pendidikan Agama Islam adalah agar anak didik dapat
memahami ajaran Islam secara elementer (sederhana) dan bersifat
menyeluruh, sehingga dapat dijadikan pedoman hidup dan amalan
perbuatannya serta membentuk pribadi yang berakhlak mulia.
Adapun tujuan dari pada Pendidikan Agama Islam itu sendiri
menurut Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa tujuan
Pendidikan Agama Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di
dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat. Islam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
menganjurkan agar manusia dididik supaya mereka dapat merealisasikan
tujuan hidupnya sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Allah SWT
yaitu kepada-Nya.65
Di samping beribadah kepada Allah SWT, tujuan dari pendidikan
agama Islam yaitu untuk beribadah dan menyembah hanya kepada-Nya.
Adapun kaitannya antara dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam
dengan proses belajar mengajar bagi anak autisme yaitu untuk membekali
peserta didik beragama di dalam kehidupannya dan mengembangkan
kehidupan emosionalnya, karena kehidupan emoional ini merupakan salah
satu faktor yang terpenting di dalam membentuk kepribadian peserta
didik khususnya anak autisme tersebut.
Menurut Zakiah Daradjat, ada beberapa tujuan pendidikan agama
Islam yang telah dikemukakannya antara lain:
1) Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan, baik dengan pembelajaran atau dengan cara lain. Tujuan
ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah
laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan.
2) Tujuan akhir adalah pendidikan Islam itu berlangsung selama
hidupnya, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu ia hidup di dunia
ini telah berakhir pula.
65
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung:: CV.
Diponegoro, 1992), 163.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
3) Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
4) Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan
jumlah kegiatan pendidikan tertentu.66
Dari tujuan-tujuan di atas, maka tujuan inilah yang diharapkan oleh
para pendidik, orang tua didik, dan terutama bagi peserta didik yang
menyandang autisme agar tercapai setelah sesuatu usaha dan kegiatan
yang telah dilakukan dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu,
tujuan pendidikan agama Islam ini adalah seperangkat hasil pendidikan
yang tercapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan
pendidikan, serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehariharinya baik bagi Agama, Nusa, dan Bangsa.
c. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani Pendidikan Agama Islam
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta
didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan
keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan
keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam
keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut
dalam diri anak melalui bimbingan, pembelajaran dan pelatihan agar
66
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, 30.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2) Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.
3) Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan dari dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan
dapat mengubah lingkungannya sesuai ajaran agama Islam.
4) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,
kekurangankekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam
keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam
kehidupan seharihari.
5) Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan
dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia
Indonesia seutuhnya. Pembelajaran, tentang ilmu pengetahuan
keagamaan secara umum (alam nyata dan tidak-nyata), sistem dan
fungsionalnya.
6) Penyaluran, untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus dibidang Agama Islam agar dapat berkembang secara optimal
sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang
lain.67
67
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan
Implementasi Kurikulum 2004) (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 134-135.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
Sedangkan menurut Zakiyah Daradjat, Pendidikan Agama Islam
mempunyai peranan yang penting yaitu: agama merupakan motivasi
hidup dan kehidupan serta merupakan alat pengembangan dan
pengendalian diri yang amat penting. Maka, fungsi dari Pendidikan
Agama Islam adalah agama perlu diketahui, dipelajari serta dipahami, dan
diamalkan oleh manusia agar dapat menjadi dasar kepribadian sehingga
peserta didik dapat menjadi manusia yang utuh.68
Mansur berpendapat bahwa fungsi Pendidikan Agama Islam secara
macro dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1) Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri
manusia, alam sekitarnya, dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga
tumbuh kreatifitas yang benar.
2) Mensucikan diri manusia dari syirik dan berbagai sikap hidup dan
perilaku yang dapat mencemari fitrah kemanusiaannya, dengan
menginternalalisasikan nilai-nilai insani dan Ilahi pada subjek didik.
3) Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan
kehidupan baik individu maupun sosial.
Fungsi dari Pendidikan Agama Islam pada dasarnya memelihara
dan mengembangkan fitrah atau sumber daya insani yang terdapat pada
diri peserta didik menuju terbentuknya manusia yang seutuhnya (insan
kamil) sesuai dengan norma Islam yang diridhai Allah yaitu yang dapat
mengembangkan wawasannya, jati dirinya, kreatifitasnya,
68
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, 86.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
menginternalalisasikan nilai-nilai insaniyah yang dapat menopang dan
memajukan kehidupannya baik individu maupun sosial di dunia dan
akhirat.69
Berangkat dari fungsi-fungsi Pendidikan Agama Islam menurut
para ahli di atas, maka dapat dipahami bahwa Pendidikan Agama Islam
berfungsi untuk membimbing dan mengasuh terhadap peserta didik agar
kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya,
menjadikannya sebagai pandangan hidupnya, serta demi keselamatan dan
kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
Di samping itu, dengan adanya fungsi Pendidikan Agama Islam,
dapat menumbuhkan pembentukan kebiasaan dalam melakukan amal
ibadat serta akhlak yang mulia, mendorong tumbuhnya iman yang kuat,
dan menumbuhkan semangat untuk mengolah alam sekitar sebagai
anugerah Allah SWT kepada manusia serta diharapkan peserta didik
dapat menyadari menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa serta
berilmu pengetahuan.
d. Pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi Peserta Didik
Sejak dahulu kita telah mengetahui bahwa anak perlu pendidikan.
Dalam masyarakat yang belum berkembangpun, anak itu memerlukan
suatu pendidikan agar dia berkembang sebagai manusia yang wajar.
69
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 334.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
Sebagai anak manusia, mereka membutuhkan pendidikan karena
pendidikan sudah menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia.
Pada dasarnya, orang masih menganggap sepele dan mudah
mengenai pendidikan. Hal ini terlihat dari banyaknya orang tua dalam
mendidik anaknya hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya
saja. Misalnya mereka beranggapan bahwa mendidik itu sudah dengan
sendirinya akan dipunyai oleh setiap orang dari pergaulannya dengan
anak-anak, sehingga dengan sendirinya akan mendapatkan sikap dan
tindakan yang tepat. Akan tetapi, lebih baiknya dalam pendidikan
berdasarkan dari hasil penyelidikan secara teori dan prakteknya.
Menurut Zakiyah Daradjat, pendidikan Agama Islam merupakan
pendidikan yang amat penting bagi peserta didik yang berkenaan dengan
aspek-aspek sikap dan nilai, antara lain, akhlak dan keagamaan. Jadi
sudah jelas bahwa Pendidikan Agama Islam mempunyai peranan penting
dalam kehidupan manusia khususnya peserta didik yang menyandang
autisme, karena agama merupakan motivasi dalam hidup yang berfungsi
sebagai alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting.
Adapun Pendidikan Agama Islam bagi peserta didik khususnya anak
autisme ini, merupakan sebagai bekal utama untuk penanaman akhlak
maupun pengenalan keagamaannya agar menjadi manusia yang
berkepribadian utuh serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pencipta alam semesta.70
70
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, 87.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
Begitu pentingnya pendidikan Agama Islam bagi setiap warga
negara Indonesia, menurut pendapat Ngalim Purwanto secara paedagogis:
Pendidikan Agama Islam harus sudah dimulai sedini-dininya, sejak anak
masih kecil. Ini terbukti dengan adanya peraturan pemerintah yang
mengharuskan Pendidikan Agama Islam itu diberikan kepada anak-anak
sejak anak itu bersekolah di Taman Kanak-kanak sampai dengan
Perguruan Tinggi. Bahkan, Pendidikan Agama Islam dimulai dari anak
masih dalam kandungan ibunya sampai akhir hayatnya.71
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1
dan 2 dan pencasil sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia,
maka Pendidikan Agama Islam merupakan segi pendidikan yang utama
yang mendasari semua segi pendidikan lainnya.
Lebih lanjut, menurut Ngalim Purwanto Pendidikan Agama Islam
penting bagi peserta didik karena menyangkut tiga aspek yaitu aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Ini berarti bahwa Pendidikan Agama
Islam bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan tentang keagamaan,
tetapi justru yang lebih utama adalah membiasakan anak taat dan patuh
menjalankan ibadah dan berbuat serta bertingkah laku di dalam kehidupan
sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan dalam agama Islam.72
Dari ketiga aspek di atas, maka Pendidikan Agama Islam bukan
hanya menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik agama saja, tetapi
71
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktek (Bandung: Remadja Karya, 1985),
196. 72
Ibid., 197.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
merupakan tanggung jawab pendidik bersama. Pendidik yang bukan
dalam bidang agamapun juga turut ikut bertanggung jawab, terutama
mengenai aspek afektifnya. Hal ini dapat diajarkan melalui contoh
teladan dalam tingkah laku serta perbuatannya.
Jadi, Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang sangat
penting bagi peserta didik sebagai ihktiar manusia dengan jalan
bimbingan dan pimpinan untuk membantu dan mengarahkan fitrah agama
anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran
agama Islam. Disamping itu, semua Pendidikan Agama Islam
dimaksudkan untuk membawa si anak atau peserta didik agar selalu
berbakti kepada Tuhannya, selalu menuruti dan sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh agamanya. Anak dididik bukan untuk hidup di dunia
ini dan sekarang, tetapi dengan bekal Pendidikan Agama Islam itu
pendidik hendak mempersiapkan anak untuk hidup di lingkungan
sekitarnya dan juga di akhirat nanti.
Secara praktisnya, pentingnya Pendidikan Agama Islam bagi
peserta didik yang menyandang autisme ini sebagai suatu pengenalan
dasar dalam ajaran keagamaan sebagai bekal pegangan untuk
pengembangan potensi-potensi selanjutnya.
Top Related