21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Konstruksi berpikir dalam kajian pustaka yang peneliti kembangkan dalam
penelitian ini terpetakan menjadi tiga bagian, yakni Grand Theory, Middle Theory
dan Applied Theory. Secara konseptual Grand Theory merupakan teori umum yang
menjadi basis atau dasar dari teori yang akan digunakan. Dengan bahasa lain, Grand
Theory ini adalah teori yang menjadi kerangka besar dan melandasi teori-teori yang
akan digunakan. Adapun Grand Theory yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
Gambar 2.1 Grand Theory
22
Grand theory dalam penelitian ini adalah manajemen strategik. Manajemen
strategik adalah suatu rangkaian langkah, tindakan dan serta keputusan suatu
perusahaan yang dapat menentukan kinerja jangka panjang suatu perusahaan.
Dalam hal ini, perusahaan dapat membawa organisasi untuk dapat
mengimplementasikan langkah strategik yang akan dia ambil melalui perencanaan
program, pembuatan budgeting, sistem manajemen kinerja, perubahan pada stuktur
organisasi yang ada, dan manajemen program dan proyek (Wheelen & Hunger,
2011).
Gambar 2. 2 Gambar strategic Management Process
23
(Sumber: Wheelen T.L and Hunger, J.D. Hunger, 2011)
Proses manajemen strategik adalah satu keputusan dan tindakan manajerial
yang menentukan performasi jangka panjang perusahaan. Di dalamnya termasuk
pemindaian lingkungan (eksternal dan internal), formulasi strategik (strategik atau
rencana jangka panjang), implementasi strategik serta evaluasi dan kontrol.
Proses manajemen strategik menjadi sangat penting untuk dilakukan semua
organisasi, tidak tergantung dari jenisnya berorientasi profit maupun non-profit/
nirlaba, karena memungkinkan organisasi memiliki kemampuan untuk mencapai
tujuannya dan secara berkala berkelanjutan memperbaiki performasinya sehingga
dapat bertahan dan bertumbuh. Berdasarkan definisi Wheelen dan Hunger di atas,
terdapat 4 (empat) tahap dalam manajemen strategik yaitu enviromentals
scanning (pemindai lingkungan), strategy formulation (formulasi strategi), strategy
implementation (implementasi strategi) serta evaluation and control (evaluasi dan
control ).
Manajemen strategik adalah suatu rangkaian langkah, tindakan dan serta
keputusan suatu perusahaan yang dapat menentukan kinerja jangka panjang suatu
perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan dapat membawa organisasi untuk dapat
mengimplementasikan langkah strategik yang akan diambil melalui perencanaan
program, pembuatan budgeting, sistem manajemen kinerja, perubahan pada stuktur
organisasi yang ada, dan manajemen program dan proyek (Wheelen & Hunger,
2011).
Menurut (Hedley, White, Roche, & Banerjea, 2006), bank menciptakan
kondisi yang diperlukan untuk pengembangan inovasi. Ada empat keharusan
24
strategi yang harus diikuti oleh bank untuk menumbuhkan inovasi dan
memposisikan diri untuk pertumbuhan berkelanjutan:
1. Fokus pada kekuatan inti dan pasangan untuk segala sesuatu yang lain -
Memimpin bank akan mengoptimalkan kinerja mereka dengan menjadi
perusahaan khusus, hanya mengelola strategi, membedakan komponen bisnis
secara internal dan bermitra dengan spesialis terbaik di kelasnya bagi mereka
kemampuan yang tidak mendorong keunggulan kompetitif.
2. Optimalkan potensi masing-masing hubungan pelanggan - Daripada mencoba
untuk menjadi segalanya bagi semua orang, pemimpin industri akan
menggunakan wawasan pelanggan yang unggul untuk menawarkan yang
paling sesuai dan menguntungkan produk, peralatan dan jasa untuk segmen
yang ditargetkan.
3. Memanfaatkan potensi tenaga kerja melalui manajemen kinerja yang efektif -
Bank akan perlu untuk meluruskan kembali keterampilan dan mengatur metrik
kinerja yang tepat untuk memotivasi tenaga kerja berubah untuk terus
mengejar inovasi.
4. Kenali teknologi yang akan menjadi elemen penting dari kesuksesan dengan
membuat teknologi komponen utama dari proses pengambilan keputusan
strategi, bank akan dapat erat menyelaraskan bisnis dan teknologi inisiatif
mereka, dan akan dapat membedakan penawaran mereka dan merebut pasar
peluang dengan kelincahan yang lebih besar.
Middle theory dalam penelitian ini adalah manajemen operasi. Manajemen
operasi adalah serangkaian kegiatan yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang
25
dan jasa dengan mengubah input menjadi output (Heizer & Render, 2008). Ada
beberapa aspek yang saling berhubungan erat dalam ruang lingkup manajemen
operasi, antara lain:
a. Aspek Struktural, merupakan aspek mengenai pengaturan komponen yang
membangun suatu sistem manajemen operasional yang saling berinteraksi
antara satu sama lainnya.
b. Aspek Fungsional, yaitu aspek yang berkaitan dengan manajerial dan
pengorganisasian seluruh komponen struktural maupun interaksinya mulai
dari perencanaan, penerapan, pengendalian maupun perbaikan agar
diperoleh kinerja optimal.
c. Aspek Lingkungan, sistem dalam manajemen operasional yang berupa
pentingnya memperhatikan perkembangan dan kecenderungan yang
berhubungan erat dengan lingkungan. Applied dalam penelitian ini adalah
teori penerimaan teknologi.
2.1.1 Konsep Penerimaan Teknologi
Saat ini, mengetahui alasan diterima atau ditolaknya teknologi baru oleh
konsumen telah menjadi kajian penting dalam ranah pengembangan teknologi
informasi dan manajemen strategi (Momani & Jamous, 2017). Hal ini sejalan
dengan penelitian Davis, et al. yang menyatakan bahwa adaptasi teknologi yang
baik dapat meningkatkan produktivitas organisasi, memberi keunggulan
kompetitif, meningkatkan pemrosesan layanan, dan memberi kesiapan yang baik
terkait penyedian informasi (Davis, 2017).
26
Turban, et al. kemudian merinci bahwa teknologi, inovasi teknologi, ide
baru, sistem baru akan sukses apabila diterima oleh pengguna dan disebarkan ke
populasi pengguna (Turban, King, Lee, & Liang, 2012). Penerimaan teknologi
bergantung oleh beberapa variabel, diantaranya:
1) Persepsi terhadap teknologi itu sendiri, bahwa teknologi tersebut
memberikan keuntungan yang lebih baik.
2) Kesesuaian teknologi dengan nilai dan kebutuhan penggunanya.
3) Kesulitan dari penggunaan teknologi.
4) Hasil observasi mengenai teknologi tersebut.
Teori dan model mengenai penerimaan teknologi juga telah banyak
dikembangkan sejak dekade 1980-an dengan beragam variabel (Momani & Jamous,
2017). Secara umum, variabel-variabel dalam berbagai model yang telah digunakan
tersebut menjelaskan bahwa motivasi intrinsik, pengalaman, dan kondisi sosial
berperan besar pada penerimaan suatu teknologi, sehingga dapat digeneralisir
bahwa perilaku (behavior) pengguna berperan penting dalam pengambilan
keputusan pengguna dalam menggunakan teknologi.
2.1.2 Teori Penerimaan Teknologi
(Kotler & Armstrong, 2010) mendefinisikan penerimaan teknologi sebagai
kemauan yang tampak dalam kelompok pengguna untuk menerapkan sistem
teknologi informasi tersebut dalam pekerjaannya.
(Turban et al., 2012) menyatakan bahwa teknologi, inovasi teknologi, ide
baru, sistem baru akan sukses apabila diterima oleh pengguna dan disebarkan ke
27
populasi pengguna. Penerimaan teknologi bergantung oleh beberapa variabel,
diantaranya:
1) Persepsi terhadap teknologi itu sendiri, bahwa teknologi tersebut
memberikan keuntungan yang lebih baik.
2) Kesesuaian teknologi dengan nilai dan kebutuhan penggunanya.
3) Kesulitan dari penggunaan teknologi.
4) Hasil observasi mengenai teknologi tersebut.
Penggunaan teknologi bagi suatu perusahan ditentukan banyak faktor adalah
pengguna teknologi informasi dipengaruhi oleh aspek perilaku. Perilaku ini
dipengaruhi oleh persepsi pengguna teknologi informasi yang secara teoritis dapat
dideskripsikan pengembangan teknologi informasi sebagai pengguna dan
berpengaruh terhadap pengguna computer (DeLone, 1988).
Ada tiga hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi informasi yang
berbasis komputer yaitu: perangkat keras (hardware), Perangkat lunak (software)
dan Pengguna (Brainware). Pengguna sistem adalah manusia (Man) yang secara
psikologi memiliki suatu karekteristik tertentu yang melekat pada dirinya, membuat
aspek perilaku manusia sebagai pengguna (brianware) teknologi informasi
menjadi penting sebagai faktor penentu pada setiap orang yang menggunakan
teknologi informasi (Pratt, 2010).
Teori penerimaan berakar dari teori sistem informasi, psikologi dan sosiologi
(Venkatesh, Morris, Davis, & Davis, 2003). Berikut ini adalah teori yang digunakan
untuk menginvestigasi penerimaan sebuah teknologi atau sistem:
28
2.1.3 Theory of Reasoned Action (TRA)
TRA (theory of reasoned action) di perkenalkan dalam phycologycal social
yang melihat tahapan manusia dalam melakukan perilaku. Tahapan pertama
dimulai dengan minat , dengan ada minat maka dapat dijelaskan sikap dan norma
subyektif, didalam model TRA sikap (behavior beliefs) sedangkan subjective
norm akan berhubungan mengeneai bagaimana seorang berfikir tentang
penilaian oran lain (Ajzen, 1991), Teori penerimaan berakar dari teori sistem
informasi, psikologi dan sosiologi (Venkatesh et al., 2003). Berikut ini adalah teori
yang digunakan untuk menginvestigasi penerimaan sebuah teknologi atau sistem:
Dalam Model TRA yang dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen
dapat dijelaskan lebih lanjut yaitu perilaku suatu individu bergantung dari beberapa
model yang berhubungan antara lain yaitu keyakinan (belief), sikap (attidudes),
norma (norms) niat (intention). Dalam model ini perilaku yang aktual dari suatu
invidu (actual Intention) ditentukan dari niat untuk berperilaku (behavirol
intention).
TRA juga menjelaskan mengenai internet banking behavior dimana
berkorelasi tinggi antara niat dan perilaku yang ditemukan dimana terdapat
temporary gap dan terdapat kesenjangan antara tingakah laku dan niat sikap
obyektif hal ini dapat mengukur niat dan perilaku secara bersamaan untuk
memastikan model ini dapat memprediksi masa depan (Shumaila, Foxall, &
Pallister, 2010).
29
Dalam pengukuran TRA harus dilakukan diam-diam, tanpa sinyal dengan
cara apapun koneksi ke tahap pengukuran niat sebelummnya, persyaratan lebih
lanjut TRA adalah bahwa perilaku harus berada di bawah kehendak kontrol.
Gambar 2.3 Model Theory of Reasoned Action
Sumber: Icek Ajzen and Fishbein (1974)
2.1.4 Technology Acceptance Model (TAM and TAM 2)
Dalam Model Teori Acceptance Model (TAM) adalah adaptasi atau
perkembangan dari Theory Reasoned Action (TRA) yang di kembangkan oleh
(Fred D Davis, 1989) untuk konteks penerimaan pengguna terhadap suatu system
informasi. Tujuan dari pengembangan teori TAM adalah mengambarkan
faktor-faktor penerimaan computer yang bersifat lebih umum, sehingga dapat
menjelaskan perilaku pengguna dari berbagai macam teknologi komputansi
dan pengguna. Sehingga dapat menjadi dasar untuk melihat factor-faktor
eksternal (Eksternal Variabel ) pada keyakinan (Belief), sikap (attitudes) dan niat
(Intensions) dalam penggunaan suatu sistem informasi.
30
Gambar 2.4 Model Technology Acceptance Model
Sumber: Davis,F,D., Bagozzi,R,P. (1989)
2.1.5 Motivation Model (MM)
Dalam teori model ini (Fred D Davis, Bagozzi, & Warshaw, 1992) meneliti
motivasi apa yang mendorong seseorang untuk menggunakan komputer di
tempat kerjanya. Penelitian ini dilakukan kepada 200 orang responden untuk
menggunakan program pengolah kata WriteOne yang berbasis pada PC (Personal
Computer).
Menurut para pakar motivasi, ada dua macam motivasi yang mempengaruhi
perilaku seseorang, yaitu pertama, Extrisnsic Motivation, didefinisikan sebagai
persepsi dimana pengguna mau melakukan suatu kegiatan karena dipersepsikan
sebagai alat dalam pencapaian hasil, namun berbeda dari kegiatan itu sendiri,
misalnya dalam hal peningkatan kinerja, penghasilan serta promosi jabatan.
Kedua, adalah instrinsic motivation, didefiniskan sebagai persepsi dimana
pengguna mau melakukan suatu kegiatan karena tidak adanya alasan kuat yang
jelas selain proses dalam melakukan kegiatan itu sendiri.
Dalam studi model MM ini disimpulkan bahwa minat seseorang untuk
menggunakan computer ditempat kerja pertama dipengaruhi oleh dua faktor.
31
Faktor pertama adalah persepsi mereka terhadap sejauhmana manfaat komputer
dapat meningkatkan kinerja pekerjaan mereka, dan faktor kedua adalah
sejauhmana dapat memberikan perasaan yang menyenangkan (enjoyment) pada
saat menggunakan komputer itu sendiri.
Gambar 2.5 Theory Motivation Model
Sumber: Davis,F,D., Bagozzi,R,P. (1989)
2.1.6 Theory of Planned Behavior (TPB)
Theory Plannned Behavior adalah suatu teori perilaku perencanaan dimana teori ini
adalah pengembangan lebih lanjut dari Theory Reason Action (TRA). (Ajzen, 1991)
mengembangkan teori TPB ini dengan memasukkan sebuah variabel yang tidak
ada dalam TRA, yaitu variabel pengendali perilaku (Perceived Behavioral control)
yang menjadikan ada niat individu dalam melakukan perilaku tertentu, yang mana
sikap terhadap perilaku dan norma subjektif tak akan mempengaruhi terhadap niat
perilaku, dan melakukan tambahan yaitu kontrol perilaku persepsi juga dapat
mempengaruhi terhadap minat perilaku (Bartholomew C. Emecheta, 2012).
Sehingga TPB dapat menunjukkan bahwa tindakan manusia diarahkan menjadi tiga
macam kepercayaan yaitu kepercayaan perilaku (behavioral belief), kepercayaan
32
normatif (normative belief), dan kepercayaan kontrol (control belief) (Ajzen I. ,
2014).
Dalam hal ini TPB mempuyai suatu kelemahan yaitu teori juga tidak
sepenuhnya memperhitungkan varian dalam niat. Di bagian ini dihubungkan
dengan fakta bahwa langkah-langkah dari teori ini dalam membangun konstruksi
variabel tidak sempurna baik sehubungan dengan validitas dan reabilitas,
reliabilitas jarang melebihi 0,80 menunjukkan bahwa validitas prediktif untuk niat
dapat semakin dekat dengan teoritis membatasi. Masalah ini dapat diatasi dengan
mengoreksi pelemahan karena tidak dapat diandalkan, karena kadang-kadang
dilakukan dalam sintesis meta-analisis dari penelitian TPB dan seperti yang terjadi
secara rutin dipemodelan persamaan struktural. Sebaliknya, masalah validitas yang
tidak sempurna tidak begitu mudah dipecahkan. Dalam aplikasi khas dari TPB,
sejumlah kecil item, mungkin tiga atau empat, digunakan untuk langsung menilai
masing-masing konsep TPB utama. Karena kecil seperti jumlah item biasanya
tidak mampu benar-benar menangkap konstruk yang mendasari, validitas ukuran
ini terganggu. Keadaan ini tidak hanya dapat membantu untuk menjelaskan tidak
sempurna validitas prediktif, tetapi juga dapat membantu menjelaskan temuan
bahwa menambahkan lebih banyak variabel untuk model dapat meningkatkan
prediksi niat. Temuan ini jenis biasanya ditafsirkan sebagai merusak asumsi
kecukupan teori dan mereka telah menyebabkan kritik lain, yaitu bahwa 'beberapa
teori ini proposisi yang terang-terangan palsu' (Sniehotta, Presseau, & Araújo-
Soares, 2014).
33
Gambar 2.6. Model Theory of Planned Behavior (TPB)
Sumber (Ajzen, 1991)
2.1.7 Combine TAM and TPB (C-TAM-TPB)
Dalam hal ini Teori antara TAM dan TPB di kombinasikan yang disebut dengan
combined theory acceptance model and theory planned behavior atau yang paling
sering dikatakan adalah decomposed theory of planned behavior yang menjelaskan
perilaku seseorang dengan kontruktuksi dimensional. Dimana teori ada
penambahan indikator dari teori TRA yang menunjukkan pada teori ini penentuan
sikap (attitude) tidak tergantung pada persepsi kegunaan (Perceived usefulness) dan
persepsi kemudahan (easeof use) disini terdapat penambahan indikator kecocokan
(compability) yang mengakibatkan sejauh mana inovasi cocok dengan nilai adopter
saat ini termasuk dari pengalaman dan kebutuhan saat ini (Taylor & Todd, 1995).
Dalam hal ini perbedaan dengan Theory Plannned Behavior (TPB) adalah norma-
norma subjektif (subjective norm) yang dipengaruhi dengan rekan sejawat (peer
influence) dan pengaruh atasan (superior influence).
34
Selanjutnya persepsi kontrol dari sikap (perceived behavirol control) maka
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: kemampuan diri sendiri (self efficacy), kondisi
sumber daya pendukung (resource facilitating condition) misalnya: waktu dan
kondisi teknologi pendukung (technology facilitating conditions) seperti, cocokan
(compability) dengan teknologi yang digunakan. Dengan tidak ada faktor-faktor
pendukung tersebut maka akan menghasilkan hambatan seseorang dalam menerima
penggunaan teknologi dan sebaliknya dengan adanya faktor tersebut tidak secara
otomitis individu untuk menerima penggunaan teknologi (Venkatesh et al., 2003)
Gambar 2.7. Model Combine TAM dan TPB
Sumber: Taylor and Tood (1995)
35
2.1.8 Model of PC Utilization (MPCU)
Model teori Model of PC Utilitazation adalah sebuah teori yang menggunakan
pendekatan dari bagiamana berpengaruh terhadap sebuah perilaku (Trianidis, 1990)
didalam pengamatan sistem informasi dengan mengunakan PC (personal
computer) maka teori dari triadisi menggunakan pendekatan dengan sosiologi dan
psikologi yang menggambarkan bahwa perilakukan sesorang ditentukan dengan
apa yang orang inginkan (attiitudes), apa yang mereka pikirkan harus dilakukan
(social norm), apa yang biasa mereka lakukan (habists) dan apa yang saja
konsekuensi yang diharapkan atas tindakan yang dilakukan (expected
consequences). Dalam teori MPCU dikembangkan sehingga pemanfaatan
(utilization) komputer sangat dipengaruhi oleh norma sosial (social norm)
(Thompson, Higgins, & Howell, 1991).
Norma sosial itu mencakup antara lain social factors, affecte toward use dan
facilitating condition. Affecte toward use adalah perasaaan gembira (enjoy), bangga
(elation) atau nikmat (pleasure) atau murung (depression), kurang suka (disgust),
tidak senang (displeasure) atau benci (hate) yang berasosiasi dengan suatu tindakan
seseorang.
Facilitating condition adalah suatu sistem informasi terdapat unsur-unsur
objektif dimana penggunaan sistem mendapatkan kemudahan dari yang
diperolehnnya.
Expected consequences mencakup kekomplekan dalam penggunaan PC
(complexitiy of pc use).
36
Job fit with pc use di maksudkan adalah kecocokan anatra pekerjaaan
dengan alat atau kemampuan PC dalam menyelesaikan pekerjaan
Log term consequences of pc use dimana adalah konsekuensi dalam
menggunakan PC dalam periode jangka panjang
Gambar 2.8 Model Of PC Utilization (MPCU)
Sumber: (Thompson, Higgins, & Howell, 1994)
2.1.9 Innovation Diffusion Theory (IDT)
Model ini dikembangkan oleh (Rogers, 2010) dengan mempelajari berbagai
macam inovasi dari peralatan yang sederhana pertanian sampai kepada inovasi
organisasi yang ada. Yang dikenal dengan innovation diffusion theory (IDT).
Dalam menentukan inovasi teknologi baru menurut Rogger ada 5 kategori
antara lain Innovators, Early Adopters, Early Majority, Late majority dan
Laggrads.
37
Pertama, adalah innovators adalah sekumpulan orang yang pertama kali
mengadopsi suatu inovasi. Ciri-ciri dari innovators tersebut adalah mereka bisa
mengambil resiko, berusia muda, memiliki kelas sosial yang tinggi, mampu dalam
financial, berjiwa sosial, memiliki akses ke sumber pengetahuan dan dapat
berinterkasi dengan innovator lainnya
Kedua, adalah early adopters adalah kelompok kedua yang dapat
mengadopsi inovasi teknologi baru. Dan mempunyai kesamaan dengan innovator,
yang membuat berbeda adalah early adopter ini harus memiliki opinion leadership
yang tinggi.
Ketiga, adalah early majority adalah kelompok orang yang memerlukan
waktu lebih lama di bandingkan kelompok sebelumnya dalam menghadapi
mengadopsi inovasi teknologi baru. Yang ditandai dengan dengan kelas sosial yang
diatas rata-rata yang berhubungan dengan early adopters dan jarang memiliki
opinion leadership dalam suatu sistem.
Keempat, adalah late majority yang mempunyai arti adalah kelompok yang
mengadopsi inovasi setelah rata-rata anggota masyarakat mau mengadopsi
teknologi baru. Kelompok ini mempunyai keragu-raguan atau skeptical dalam
menghadapi teknologi baru sampai mereka menerima teknologi tersebut.
Kelima, adalah laggards yaitu dimana kelompok tersebut mau mengadopsi
inovasi teknologi yang baru dalam hal ini kelompok ini mempunyai ciri-ciri adalah
memiliki golongan sosial yang rendah, kemampuan finansial yang rendah, tidak
memiliki opinion leadership, berusia relatif lebih tua dan memiliki pola pikir yang
konservatif.
38
Gambar 2.9. Model Innovation Diffusion Theory (IDT)
Sumber Roger (Rogers, 2010)
2.1.10 Social Cognitive Theory (SCT)
Social Cognitive Theory adalah teori yang menerangkan teori perilaku manusia
dimana faktor sosial dan kognitif memainkan peranan penting dalam proses
pembelajaran (Bandura, 2011). Dalam hal ini penerapan dan pengembangan teori
SCT dalam konteks penggunaan komputer (Compeau & Higgins, 1995)
mengembangkan dalam penelitiannya suatu model kontruksi untuk menerangkan
peranan self-efficacy yaitu penilaian tentang kemampuan seseorang untuk
mengunakan suatu teknologi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas
tertentu. Penilaian ini mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan dimasa yang
akan datang dalam hal ini tidak hanya mempertimbangkan unsur-unsur
pengorperasian komputer yang sederhana tapi juga mampu mengaplikasikan
keterampilan komputer untuk tugas-tugas yang lebih kompleks sifatnya.
39
Gambar 2.10. Model Social Cognitive Theory (SCT)
Sumber (Bandura, 1989)
2.1.11 Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT)
Unified theory of Acceptance and use of Technology (UTAUT) dikembangkan oleh
(Venkatesh et al., 2003) yang merupakan penggabungan kedelapan model teori
yang dibahas diatas. Di teori UTAUT ini dirumuskan 4 penentu inti mengenai niat
dan penggunaannya, ditambahakan dengan empat moderator dari hubungan pokok
tersebut.
Keempat, inti penentu (Core Determinant) yang dimaksud yaitu, pertama adalah
Ekspektasi terhadap kinerja (Performance Expectancy), yaitu dimana individu
percaya bahwa menggunakan sistem akan membantunya untuk mencapai hasil-
hasil dalam kinerja pekerjaannya. Yang kedua, ekpektasi terhdap upaya (Effort
Expectancy) yaitu sejauhmana tingkat kemudahan yang terkait dengan penggunaan
sistem. Ketiga, adalah pengaruh sosial (Social Infuance) yaitu bagaimana persepsi
dari invidu akan keyakinan orang lain dalam menggunakan sistem yang baru.
Keempat, adalah kondisi yang mendukung (Facilitating Conditions) yaitu sejauh
mana dari individu percaya dari infrastruktur organisasi dan teknis harus ada untuk
mendukung penggunaan sistem.
40
Dan Keempat Modeling Varibel adalah pertama Jenis kelamin (Gender), Usia
(Age), Pengalaman (experience) dan kesukarelaan dalam mengunakan (Voluntaries
of Use).
Dalam Model teori ini juga dijelaskan bahwa faktor penentu niat (intention) dan
perilaku (behavior) akan berevolusi dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan
teori mempunyai keterbatasan seperti dari asumsi teknologi yang relatif sederhana.
Profil responden yang tidak merata. Waktu penelitian (timing) yang kurang tepat,
perbedaan pengalaman dan penggunaan dan konteks yang berdasarkan
kesukarelaan. diantaranya Teori penerimaan teknologi berakar dari teori sistem
informasi, psikologi dan sosiologi (Venkatesh et al., 2003). Tabel 2.1 menunjukkan
telaah atas delapan model penerimaan teknologi Pra-UTAUT yang menjadi
konstruk model penerimaan teknologi UTAUT.
Tabel 2.1 Konsep Model Penerimaan Teknologi UTAUT
Model Definisi Diemensi Indikator
Theory of
Reasoned Action
(TRA)
Teori ini secara umum
dikembangkan
berdasarkan temuan-
temuan riset psikologi
sosial. Davis, et al.
telah menelaah
penggunaan model
TRA dalam berbagai
studi kasus
penerimaan teknologi,
dan menemukan
bahwa TRA relatif
konsisten untuk
banyak studi kasus
(F.D. Davis, Bagozzi,
& Warshaw, 1989)
Attitude Toward
Behavior (Sikap
yang mempengaruhi
Perilaku)
Persepsi baik-buruk
(faktor afektif)
seseorang di saat
mengevaluasi suatu hal
berpengaruh terhadap
perilaku seseorang
(Fishbein & Ajzen,
1974)
Subjective Norm
(Norma Subjektif)
Norma-norma yang
mengatur boleh
tidaknya seseorang
bersikap, berpengaruh
terhadap pengambilan
keputusan (Fishbein &
Ajzen, 1974)
Technology
Acceptance Model
(TAM)
TAM secara khusus
dirancang sebagai
model analisis
Perceived
Usefullness
Perceived of
Usefullness dapat
diartikan sebagai
41
Model Definisi Diemensi Indikator
prediktif penerimaan
teknologi informasi,
khususnya penerapan
teknologi tersebut
dalam lingkungan
kerja.
Berbeda dengan TRA,
TAM justru
membuang konsep
‘attitude’ dalam TRA
untuk memberi ruang
pada intensi, atau
kesengajaan user
(pengguna teknologi)
dalam menerima suatu
teknologi baru.
Sementara TAM versi
2 (TAM2),
dikembangkan dengan
menyertakan
Subjective Norm pada
TRA sebagai
prediktor pada
lingkungan kerja yang
memiliki standar
operasional ketat
(penerimaan teknologi
bersifat dipaksakan).
Baik TAM maupun
TAM2 telah
digunakan dalam
berbagai studi kasus
penerimaan teknologi
(Venkatesh et al.,
2003)
(Persepsi
Kebergunaan)
tingkat keyakinan
seseorang terhadap
suatu teknologi dimana
teknologi tersebut dapat
diandalkan untuk
membantu pekerjaannya
(Davis, 1988).
Perceived Ease of
Use (Persepsi
Kemudahan
Penggunaan)
Perceived of Ease of
Use dapat diartikan
sebagai tingkat
keyakinan seseorang
terhadap suatu
teknologi dimana
teknologi tersebut
mudah digunakan
bahkan tidak perlu
dipelajari/less effort
((Fred D Davis, 1989)
Subjective Norm Adaptasi dari TRA.
Hanya digunakan
sebagai prediktor pada
lingkungan kerja yang
memiliki standar
operasional ketat
(penerimaan teknologi
bersifat dipaksakan)
Motivational
Model (MM)
Secara umum model
ini dikembangkan
dengan dasar beberapa
temuan riset psikologi
terkait motivasi.
Dalam konteks
penerimaan teknologi
informasi, Venkatesh
dan Speier telah
menelaah penggunaan
model ini dalam
berbagai studi kasus
Extrinsic Motivation
(Motivasi
Ekstrinsik)
Persepsi atas value
ekstrinsik yang dapat
diperoleh seseorang
setelah melakukan suatu
tindakan. Seperti gaji,
dan promosi jabatan
dalam konteks
pekerjaan (Fred D
Davis et al., 1992)
Intrinsic Motivation
(Motivasi Intrinsik)
Persepsi atas value
intrinsik yang dapat
diperoleh seseorang
42
Model Definisi Diemensi Indikator
dan menemukan
bahwa model ini
berhasil menjelaskan
penerimaan teknologi-
teknologi
tersebut(Venkatesh &
Speier, 1999).
setelah melakukan suatu
tindakan. Seperti
kepuasaan, dan
kebahagiaan (Fred D
Davis et al., 1992)
Theory of Planned
Behavior (TPB)
TPB merupakan
pengembangan TRA
pada konteks perilaku
terkontrol. TPB juga
sering disebut
perluasan TRA yang
bercorak dimensional.
TPB menambahkan
Perceived Behavioral
Control sebagai
tambahan prediktor.
Attitude Toward
Behavior
Senada dengan definisi
Attitude Toward
Behavior pada TRA
dengan tambahan
dimensi Compatibility
Value, atau kecocokan
nilai seseorang terhadap
suatu teknologi.
Subjective Norm Pada model TPB,
indikator Subjective
Norm diperluas dalam
dua dimensi yaitu
pengaruh rekan sejawat
(peer influence) dan
pengaruh atasan
(superior influence).
Perceived
Behavioral Control
Persepsi user (pengguna
teknologi) akan sulit
atau mudahnya
penguasaan suatu
teknologi berdasarkan
kebiasaannya saat ini
(Ajzen, 1991). Pada
konteks penerimaan
teknologi informasi,
dapat dinyatakan
sebagai persepsi atas
hambatan apa saja yang
mungkin ditemui user
dalam menggunakan
produk teknologi
informasi tersebut
(Taylor & Todd, 1995c)
Combined TAM
and TPD (C-TAM-
TPB)
Model ini
menggabungkan
prediktor-prediktor
pada TPB dengan
Perceived of
Usefulness pada TAM
menjadi suatu model
Attitude Toward
Behavior
Senada dengan definisi
Attitude Toward
Behavior pada TRA dan
TPB.
Subjective Norm Senada dengan definisi
Subjective Norm pada
TPB.
43
Model Definisi Diemensi Indikator
hybrid penerimaan
teknologi (Taylor &
Todd, 1995c)
Model ini juga
memperluas definisi
Perceived Behavioral
Control dalam tiga
dimensi yaitu persepsi
kemampuan diri
sendiri (self efficacy),
kondisi sumber daya
pendukung (resource
facilitating condition),
dan kondisi teknologi
pendukung
(technology
facilitating conditions)
Perceived
Behavioral Control
Senada dengan definisi
Perceived Behavioral
Control pada TPB,
namun diperluas dalam
tiga dimensi yaitu
persepsi kemampuan
diri sendiri (self
efficacy), kondisi
sumber daya pendukung
(resource facilitating
condition), dan kondisi
teknologi pendukung
(technology facilitating
conditions)
Perceived
Usefulness
Senada dengan definisi
Perceived Usefulness
pada TAM.
Model of PC
Utilization
(MPCU)
Model ini
dikembangkan
Thompson, et al.
terhadap perilaku
penggunaan PC
(Personal Computer)
berdasarkan temuan
riset psikologis
perilaku manusia oleh
Triandis pada tahun
1977, terutama
mengenai norma
sosial (social norm),
kebiasaan (habit), dan
harapan terkait
konsekuensi tindakan
(expected
consequences).
Meskipun dirancang
untuk mengamati
perilaku penggunaan
PC, MPCU juga
masih relevan untuk
riset penerimaan
teknologi informasi
secara umum
((Venkatesh et al.,
2003)
Job-fit (Kecocokan
dengan Pekerjaan)
“Keyakinan seseorang
bahwa penggunaan
teknologi tersebut
mampu membantu dan
meningkatkan performa
kerja. (Thompson et al.,
1991)
Complexity
(Kompleksitas)
Berdasarkan Roger
Shoemaker (1971)
dalam Thompon, et al.
“persepsi atas tingkat
kemudahan suatu
teknologi dapat
dipahami dan
digunakan.(Thompson
et al., 1991)
Long-term
Consequences
(Konsekusensi
Jangka Panjang)
“Berkaitan dengan hasil
yang akan diperoleh di
masa depan
((Thompson et al.,
1991)
Affect Towards Use
(Dorongan Afektif
untuk
Menggunakan)
Berdasarkan Triandis,
Affect Towards Use
dapat diartikan sebagai
“perasaan riang,
gembira, nikmat, atau
sebaliknya seperti
depresi, galau, tak
nikmat bahkan benci
yang dapat
44
Model Definisi Diemensi Indikator
diasosiasikan dengan
keputusan spesifik
seseorang melakukan
tindakan (Thompson et
al., 1991).
Social Factors
(Faktor Sosial)
Berdasarkan Triandis,
social factors
merupakan “internaliasi
seseorang terhadap
beberapa pendapat
subjektif, dan secara
spesifik dapat berupa
persetujuan
interpersonal seseorang
dengan orang lain,
dalam situasi sosial
spesifik (Thompson et
al., 1991)
Facilitating
Conditions (Kondisi-
kondisi Pendukung)
Faktor-faktor seperti
layanan atau fungsi
dalam produk yang
membuat produk
tersebut menjadi mudah
diterima. Seperti
layanan gratis
pembelian jika produk
mengecewakan dalam
transaksi online.
Thompson, et al. sendiri
mengkonstruk indikator
ini pada studi kasus PC
sebagai “Bentuk
dukungan layanan
kepada user PC
(pengguna PC) yang
dharapkan mampu
memberi kepuasan
kepada penggunanya
(Thompson et al.,
1991)).” Bukti bahwa
konstruk ini dapat
diperbaharui dengan
konteks saat ini, seperti
layanan pengembalian
barang pada kasus
transkasi online di atas.
45
Model Definisi Diemensi Indikator
Innovation
Diffusion Theory
(IDT)
IDT dikembangkan
lewat metode
Grounded Theory
dalam riset sosiologi.
Rogers dalam
Tomatzky dan Klein
meneliti bahwa IDT
telah digunakan sejak
1960an sejak untuk
meneliti berbagai
macam inovasi
teknologi, mulai dari
pertanian sampai
perusahaan
(Tornatzky & Klein,
1982). Di mana dalam
konteks sistem
informasi, Moore dan
Benbasat
mengadaptasi
karakteristik paparan
Rogers untuk
konstruksi model yang
cocok untuk riset
oenerimaan teknologi
individual, terutama
dalam aspek prediktif
yang valid (G. Moore
& Benbasat, 1991).
Relative Advantage
(Keunggulan Relatif)
Persepsi bahwa
teknologi baru yang
ditawarkan lebih unggul
secara relatif
dibandingkan teknologi
sebelumnya (G. C.
Moore & Benbasat,
1991)
Ease of Use
(Kemudahan
Penggunaan)
Persepsi tingkat
kesulitan penggunaan
suatu teknologi (G. C.
Moore & Benbasat,
1991).
Image (Citra) Persepsi bahwa
penggunaan teknologi
tersebut dapat
meningkatkan citra
(image) penggunanya
(G. Moore & Benbasat,
1991)
Visibility
(Visibilitas)
Persepsi bahwa
teknologi sudah
menjadi hal umum atau
digunakan secara
massal oleh publik (G.
Moore & Benbasat,
1991)
Compatibility
(Kecocokan Nilai)
Persepsi bahwa suatu
teknologi konsisten
dengan nilai,
kebutuhan, hingga
pengalaman masa lalu
pemakai (adopter)
potensialnya (G. C.
Moore & Benbasat,
1991)
Results
Demonstrability
(Manfaat Nyata dan
Meyakinkan)
Manfaat nyata dan
dirasa menyakinkan
dari penggunaan
teknologi, baik saat
digunakan sendiri
secara langsung,
maupun tidak langsung,
seperti baru sebatas
iklan demonstratif, atau
pendapat orang yang
sudah menggunakan (G.
46
Model Definisi Diemensi Indikator
Moore & Benbasat,
1991)
Voluntariness of Use
(Kerelaan
Penggunaan)
Persepsi bahwa
penggunaan teknologi
itu terasa tidak
dipaksakan, atau
berdasar kehendak
bebas (G. Moore &
Benbasat, 1991).
Social Cognitive
Theory (SCT)
Dikembangkan
berdasarkan riset
psikologi Social
Cognitive Theory oleh
Albert Bandura.
Compeau dan Higgins
kemudian
mengembangkan
model SCT dalam
konteks penerimaan
teknologi komputer
(Compeau & Higgins,
1995).
Sama halnya dengan
MPCU dan IDT,
meskipun Compeau
dan Higgins pada
awalnya hanya
mengembangkan
model ini dalam
konteks penerimaan
teknologi komputer,
namun model ini
masih relevan untuk
konteks penerimaan
teknologi informasi
secara umum
(Venkatesh et al.,
2003)
Outcome
Expectation
Performace
(Ekspektasi Hasil
Seiring Kebiasaan
Penggunaan)
Performa yang dapat
dicapai seiring
kebiasaan pemakaian.
Secara spesifik dapat
diartikan juga sebagai
performa teknologi
yang diharapkan sesuai
dengan semakin
terlatihnya user,
khususnya dalam
menyelasaikan tugas
pekerjaan (Compeau &
Higgins, 1995b)
Outcome
Expectations
Personal
(Ekspektasi Personal
Akan Penggunaan
Teknologi)
Ekspektasi personal
akan penggunaan
teknologi, seperti
kepuasan (Compeau &
Higgins, 1995)
Self-efficacy
(Pengujian Pribadi)
Hasil penilaian
seseorang atas
pengujian mampu-
tidaknya suatu
teknologi memvantu
menuntaskan pekerjaan
(Venkatesh et al.,
2003).
Affect (Penilaian
Pribadi Berdasar
Afeksi)
Penilaian pribadi
seseorang berdasarkan
afeksi atau suka-
tidaknya ia atas
penggunaan suatu
teknologi (Compeau &
Higgins, 1995).
Anxiety
(Kegelisahan)
Reaksi kegelisahan saat
akan kebiasaan
(Compeau & Higgins,
1995)
47
Berdasarkan kedelapan model UTAUT dalam tabel 2.1.1 di atas, tujuh
variabel dipilih oleh Venkatesh, et al. sebagai determinan langsung yang signifikan
terhadap behavior intention dalam satu atau lebih dimasing-masing model.
Variabel-variabel tersebut adalah performance expectancy, effort expectancy social
influence, facilitating conditions, attitude toward using technology dan self
efficacy. Setelah melalui pengujian lebih lanjut Venkatesh, et al. menemukan empat
variabel utama yang memainkan peranan penting sebagai determinan langsung dari
behavioral intention dan use behavior yaitu performance expectancy, effort
expectancy, social influence dan facilitating conditions. Sedangkan tiga variabel
lainnya tidak signifikan sebagai deteminan langsung dari behavioral intention.
Konstruk model UTAUT dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Sumber Konsep Model UTAUT
Konsep UTAUT Indikator Model Sumber
Performance Expectancy
Perceived Usefulness TAM
Extrinsic Motivation MM
Job Fit MPCU
Relative Advantage IDC
Outcome Expectations SCT
Effort Expectancy
Perceived Ease of Use TAM
Complexity MPCU
Ease of Use IDT
Social Influence
Subjective Norm TRA, TPB, C-TAM-TPB
Social Factors MPCU
Image IDT
Facilitating Conditions
Perceived Behavior Control TPB, C-TAM-TPB
Facilitating Conditions MPCU
Compatibility IDT
Disamping keempat variabel itu terdapat empat variabel moderator meliputi
gender, age, voluntariness, dan experience yang diposisikan untuk memoderisasi
dampak dari empat konstruk utama pada behavior intention dan use behavior.
Berikut ini konstruk keempat variabel moderator berdasarkan delapan model
48
penerimaan teknologi Pra-UTAUT (Venkatesh et al., 2003), disajikan dalam Tabel
2.3 berikut:
Tabel 2.3 Sumber Konsep Moderator UTAUT
Variabel Moderator Utaut Sumber Konsep
Experience TRA, TAM, TPB, C-TAM-TPB, MPCU, dan IDT
Voluntariness TRA, TAM, TPB, dan IDT
Gender TAM, dan TPB
Age TPB
Berdasarkan Tabel 2.2 tentang sumber konsep model UTAUT dan Tabel 2.3
tentang sumber konsep moderator UTAUT, Venkatesh (2003) menggambarkan
model penerimaan teknologi UTAUT sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.13
berikut:
Gambar 2.11 Model Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT)
Sumber: (V. Venkates. M. G., 2003)
49
2.1.12 Modified UTAUT
UTAUT adalah model penerimaan dan penggunaan teknologi yang
menyatukan prediktor-prediktor terbaik dari delapan model penerimaan teknologi
lainnya. UTAUT dikembangkan oleh (Venkatesh et al., 2003). Model UTAUT
dipengaruhi langsung oleh empat konsep utama yaitu ekpektasi kinerja, ekspektasi
usaha, faktor sosial dan kondisi yang memfasilitasi.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi menjadi salah satu alasan
diperlukannya pengembangan baru dari model UTAUT. Hasil dari pengembangan
model UTAUT ini dinamakan model UTAUT2. Tiga konstruk tambahan yang
diperkenalkan Venkatesh untuk memperluas model UTAUT menjadi UTAUT2
yaitu: hedonic motivation (motivasi hedonis), price value (nilai berbanding harga),
habit (Venkatesh, Thong, & Xu, 2012a). Namun, seiring berkembangnya zaman
dan pengujian model UTAUT, model ini ikut ‘berevolusi’ menyesuaikan konteks
penelitian penerimaan teknologi berikut variabel-variabel unik pembentuk
behavioral intention dan use behavior. Tabel 2.4 menunjukkan beberapa modifikasi
UTAUT (Modified/Extended UTAUT) yang telah dikembangkan beberapa tahun
terakhir ini, beserta konstruk unik pembeda UTAUT versi Venkatesh:
Tabel 2.4 Beberapa Model Modified UTAUT
(Keunikan Model Terhadap UTAUT Default Venkatesh Dicirikan dengan Huruf Kapital)
Author Judul dan Tahun
Penerbitan Jurnal Variabel Independen Variabel Dependen
(Rahi, Ghani, &
Ngah, 2018)
A structural equation
model for evaluating
user’s intention to
adopt internet
banking and
1. Performance
Experience
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
Condition
1. INTENTION TO
ADOPT
2. PERCEIVED TO
RECOMMEND
50
Author Judul dan Tahun
Penerbitan Jurnal Variabel Independen Variabel Dependen
intention to
recommend
technology (2018)
5. Hedonic
Motivation
6. Price Value
7. Habit
8. PERCEIVED
TECHNOLOGY
SECURITY
(S. Singh &
Srivastava, 2018)
Predicting the
intention to use
mobile banking in
India (2018)
1. Social Influence
2. PERCEIVED
EASE OF USE
3. COMPUTER
SELF
EFFICACY
4. TRUST
5. SECURITY
6. PERCEIVED
FINANCIAL
COST
1. Behavioral
intention to use
mobile banking
(Aboobucker & Bao,
2018)
What obstruct
customer acceptance
of internet banking?
Security and privacy,
risk, trust and website
usability and the role
of moderators (2018)
1. SECURITY
AND PRIVACY
2. PERCEIVED
TRUST
3. PERCEIVED
RISK WEBSITE
USABILITY
1. INTERNET
BANKING
ACCEPTANCE
(Liebenberg, Benade,
& Ellis, 2018)
Acceptance of ICT:
Applicability of the
Unified Theory of
Acceptance and Use
of Technology
(UTAUT) to South
African Students
(2017)
Performance
Expectancy, Effort
Expectancy,
Facilitating
Conditions, Self
Efficacy, Anxiety
Dan Attitute Towards
Using Technology
Behavioural Intention
Sumber: Olah data peneliti
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, peneliti mengajukan security
sebagai konstruk baru pada UTAUT default Venkatesh menjadi UTAUT-S untuk
meneliti penerimaan e-banking pada bank pemerintah di Jakarta. Penambahan
konstruk security diajukan peneliti karena diyakini security berperan penting pada
penerimaan nasabah terhadap teknologi e-banking bank pemerintah di Jakarta
51
melalui behavioral intention dan use behavior. Pengaruh Security sebagai konstruk
modified UTAUT-S dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab 2.1.3.1.
2.1.13 Security
Persepsi konsumen terkait keamanan (perceived security) merupakan salah
satu konsep penting dalam perilaku konsumen (Patel & Patel, 2018)). Perceived
security, dapat diartikan sebagai tingkat kepercayaan konsumen terhadap keamanan
layanan web internet banking yang di dalamnya terdapat aktivitas pengelolaan
transaksi informasi sensitif atau rahasia (Patel & Patel, 2018), Hal senada
diungkapkan (S. Singh & Srivastava, 2018) pada layanan mobile banking, serta
Haslan, et al. (2018) pada smartphone banking. Berdasarkan pengertian tersebut,
faktor security dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai persepsi nasabah terkait
keamanan layanan e-banking terhadap suatu perbankan yang telah dipercaya
konsumen untuk mengelola transaksi serta informasi rahasia didalamnya, sehingga
dengan adanya jaminan security dapat meningkatkan penerimaan teknologi e-
banking melalui behavioral intention dan akhirnya use behavior seperti ditunjukkan
pada Gambar 2.12 berikut:
Gambar 2.12 Konstruk Security Terhadap Behavioral Intention dan Use Behavior
dalam Model UTAUT-S Peneliti
Beberapa penelitian mengenai pengaruh security terhadap behavioral
intention menunjukkan bahwa faktor keamanan berpengaruh signifikan terhadap
behavioral intention pengguna internet banking dan mobile banking (Patel & Patel,
Security Behavioral
Intention Use Behavior
52
2018); Singh dan Srivastava, 2018; Aboobucker dan Bao, 2018; Chiu, et al. 2017).
Tabel 2.1.3 berikut ini menunjukkan beberapa penelitian sebelumnya terkait
pengaruh variabel security terhadap variabel behavioral intention.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya terkait perceived security,
dapat disimpulkan bahwa security dapat dipersepsi dengan berbagai cara, dan
secara umum mempengaruhi penerimaan teknologi perbankan oleh nasabah.
Rahi, et al. (2018) menjelaskan indicator Perceived Technology Security 1)
tingkat keamanan saat input informasi rahasia/sensitive pada saat menggunakan
internet banking. 2) Persepsi bahwa Internet banking mana secara keseluruhan.
Chiu, et al (2017) menggambarkan indikator Security yaitu 1) Persepsi keamanan
saat melakukan transfer uang. 2) Persepsi keamanan tentang tidak adanya third
party (hacker) yang akan mencuri informasi sesnsitif (PIN, password, nomor
rekening). Singh dan Srivastava (2018) menjelaskan indikator security 1) Jaminan
bahwa informasi yang di input dalam mobile banking aman dari pencurian/hilang.
2) Jaminan bahwa transaksi aman sampai rekening bank yang dituju. 3)
Kenyamanan saat bertransaksi dengan mobile banking.
Peneliti mengajukan empat buah indikator security yang terakit erat dengan
mekanisme transaksi dan diduga berpengaruh kuat terhadap behavioral intention
yaitu Privacy adalah semua data pengguna e-banking harus mempunyai akses
khusus yang tidak bisa orang lain gunakan karena ini bersifat pribadi.,
Autentification adalah validasi semua pengguna sehingga pada proses transaksi
hanya yang bersangkutan saja yang bisa melakukan proses tersbut., Integrity
adalah semua data atau transaksi tidak bisa dirubah bila dikirim atau mengikuti
53
transaksi pertama yang di lakukan pada sender dan sama yang diterima oleh
receiver dan Non-repudiation apabila orang tersebut mengirim transaksi dia tidak
dapat menyangkal transaksi terbebut atau transaksi tersebut tidak dapat berulang.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya terkait perceived security,
dapat disimpulkan bahwa security dapat dipersepsi dengan berbagai cara, dan
secara umum mempengaruhi penerimaan teknologi perbankan oleh nasabah.
Peneliti mengajukan empat buah indikator security yang terakit erat dengan
mekanisme transaksi dan diduga berpengaruh kuat terhadap behavioral intention
yaitu Privacy, Autentification, Integrity dan Non-repudiation.
Tabel 2.5 Pengaruh Varibel Security Terhadap Variabel Behavioral Intention dan
Indikator Pembentuknya
Nama DEFINISI
SECURITY INDIKATOR
(Rahi, Ghani, &
Ngah, 2018)
Rahi, et al.
mengembangkan
model UTAUT
Venkatesh dengan
perubahan variabel
dependen Behavioral
Intention menjadi
Intention to Adopt
dan Use Behavior
menjadi Perceived to
Recommend untuk
meniliti penerimaan
teknologi internet
banking.
Penelitian ini
menambahkan faktor
security yang diduga
berpengaruh terhadap
intensi nasabah untuk
mengadopsi
teknologi internet
banking dan akhirnya
Perceived
Technology Security
didefinisikan sebagai
persepsi nasabah
terkait keamanan
transaksi saat
menggunakan
internet banking.
1. Keamanana saat
input informasi
rahasia/sensitive
pada saat
menggunakan
internet banking.
2. Persepsi bahwa
Internet banking
mana secara
keseluruhan.
54
Nama DEFINISI
SECURITY INDIKATOR
merekomendasikan
produk tersebut
kepada nasabah
lainnya.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
persepsi nasabah
terkait security dapat
mempengaruhi
penerimaan internet
banking bahkan
merekomendasikan
teknologi tersebut
kepada nasabah
lainnya.
(Chiu, Bool, & Chiu,
2017)
Chiu, et al
menambahkan
sebuah variabel
mediasi initial trust
untuk memoderasi
persepsi keamanan
berupa infrastructure
quality, disposition of
trust, perceived costs,
privacy, dan security
untuk penelitian
adopsi mobile
banking di Filipina
menggunakan model
penerimaan teknologi
Technology Planned
Behavior (TPB).
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
initial trust dapat
memoderasi variabel
independen
infrastructure
quality, disposition of
trust, perceived costs,
privacy, dan security.
Penelian ini juga
menunjukkan bahwa
Security atau
lengkangpnya Online
Security dalam
penelitian Chiu, et al
didefinisikan sebagai
persepsi keamanan
atas data pribadi yang
bersifat privasi,
seperti PIN,
password, dan nomor
rekening saat
melakukan transaksi,
khususnya transfer
uang.
1. Persepsi
keamanan saat
melakukan
transfer uang.
2. Persepsi
keamanan
tentang tidak
adanya third
party (hacker)
yang akan
mencuri
informasi
sesnsitif (PIN,
password, nomor
rekening).
55
Nama DEFINISI
SECURITY INDIKATOR
variabel-variabel
independen tersebut
berpengaruh terhadap
behavioral intention.
(M. Singh & Matsui,
2018)
Penelitian ini
bertujuan untuk
meneliti faktor-faktor
yang berpengaruh
terhadap intensi
pemakaian mobile
banking di India
menggunakan
Modified UTAUT.
Penelitian ini
menunjukkan bahwa
perceived ease of use,
computer
self-efficacy,
perceived financial
cost, and security
berpengaruh terhadap
intensitas pemakaian
mobile banking di
India.
Security didefinisikan
sebagai mekanisme
perbankan untuk
menjamin keamanan
transaksi nasabah
melalui mobile
banking.
1. Jaminan bahwa
informasi yang
diinput dalam
mobile banking
aman dari
pencurian/hilang.
2. Jaminan bahwa
transaksi aman
sampai rekening
bank yang dituju.
3. Kenyamanan saat
bertransaksi
dengan mobile
banking.
Efraim Turban (2016) Penelitian yang
dilakukan pada
perbankan sehingga
security dalam suatu
transakasi bisa
dilakukan
Secuirty yang
didefinisikan disini
adalah proses
transaksi di lakukan
authentifikasi
sehingga aman buat
para pengguna
1. Persepsi
pengguna
terhadap
kerahasiaan data
yang ada Privacy
2. Persepsi
pengguna hanya
pengguna saja
yang bisa
memakai pin
tersebut Authorit
3. Persepsi
pengguna bahwa
keamanan
tersebut tidak
dapat di pisahkan
Integrity
4. Untuk
penggunaan
password yang
ada tidak dapat
56
Nama DEFINISI
SECURITY INDIKATOR
berulang ulang
Non Repudation
Konstruk Penelitian ini
menunjukan bahwa
security mempunyai
hubungan terhadap
persepsi pengguna.
Semakin complex
tingkat security
semakin banyak
orang tidak ingin
menggunakan sistem
tersebut
Security didefinisikan
sebagai mekanisme
perbankan untuk
menjamin keamanan
transaksi nasabah
melalui mobile
banking.
1. Privacy
2. Authority
3. Integrity
4. Non Repudation
Sumber: Analisis Peneliti
2.1.14 Performance Expectancy
Performance expectancy adalah tingkat dimana seseorang percaya bahwa
penggunaan sistem akan membantu dia untuk mendapatkan dan meningkatkan
keuntungan dalam pekerjaannya (Ahmad, 2014). Menurut (Rahi, Ghani, & Ngah,
2018) mendefiniskan performance expectancy sebagai sejauh mana persepsi
pengguna kinerja unggul dengan penggunaan internet banking pada tugas-
tugasnya, serta percaya akan membantu untuk mencapai manfaat dalam
melaksakan operasional perbankan. Sementara itu (Liebenberg et al., 2018)
menyatakan performance expectancy dapat dilihat sebagai tingkat yang seseorang
percaya bahwa menggunakan sistem e-Book Specialist learning management
System (SLMS) di Afrika Selatan akan membantu meningkatkan kualitas
pekerjaannya. Dengan indikator Persepsi terhadap pengguna, Motivasi Ekstinsik
Pengguna, Kesuaian Dengan Pekerjaan, Keuntungan Relatif, Hasil dalam
mengunakan e-bok dapat meningkatkan kualitas pekerjaan. Sedangkan menurut
(Martins, Oliveira, & Popovič, 2014) Performance expenctancy dilihat
57
keterampilan dari menggunakan internet banking. Dengan indikator Persepsi
pengguna dalam mengoperasikan internet banking. Motivasi dari pengguna untuk
menangung biaya pengunaan internet banking. Pengunaan internet banking sesuai
dengan pekerjaan. Pengguna akan mempunyai keuntungan dalam waktu melakukan
transaksi Hasil yang diharapkan akan memudahkan transaksi dalam internet
banking.
Definisi Performance Expectancy menurut (Ahmad, 2014) adalah Tingkat
dimana seseorang percaya bahwa penggunaan sistem akan membantu dia untuk
mendapatkan dan meningkatkan keuntungan dalam pekerjaannya. Dengan
Indikator Persepsi terhadap pengguna, Motivasi Ekstinsik, Kesesuaian Pekerjaan
Pengguna, Keuntungan Relatif, Ekspektasi Hasil. Sedangkan menurut (Rahi,
Ghani, Alnaser, & Ngah, 2018) Performance Expectancy adalah sejauh mana
persepsi pengguna kinerja unggul dengan penggunaan internet banking pada tugas-
tugasnya, serta percaya akan membantu untuk mencapai manfaat dalam
melaksanakan operasional perbankan. Dengan Indikator Persepsi terhadap
pengguna internet banking, Motivasi Ekstinsik pengguna internet banking,
Kesuaian pekerjaan pengguna internet banking, Keuntungan Relatif menggunakan
e-banking.
Konsep ini berakar dari perceived usefullness pada TAM, relative
advantage pada IDT dan outcome expectations pada SCT. Dalam konsep ini
terdapat gabungan indikator-indikator yang diperoleh dari model penelitian
sebelumnya tentang model penerimaan dan penggunaan teknologi. Adapun
indikator-indikator tersebut menurut (Ahmad, 2014) diantaranya:
58
1. Persepsi Terhadap Kegunaan (perceived usefulness) didefinisikan sebagai
seberapa jauh seseorang percaya bahwa menggunakan suatu sistem tertentu
akan meningkatkan kinerjanaya.
2. Motivasi Ekstrinsik (extrinsic motivation) didefinisikan sebagai persepsi
yang diinginkan pemakai untuk melakukan suatu aktivitas karena dianggap
sebagai alat dalam mencapai hasil-hasil bernilai yang berbeda dari aktivitas
itu sendiri, semacam kinerja pekerjaan, pembayaran, dan promosi-promosi.
3. Kesesuaian Pekerjaan (job fit) didefinisikan bagaimana kemampuan-
kemampuan dari suatu sistem meningkatkan kinerja pekerjaan individual.
4. Keuntungan Relatif (relative advantage) didefinisikan sebagai seberapa
jauh menggunakan sesuatu inovasi yang dipersepsikan akan lebih baik
dibandingkan menggunakan pendahulunya.
5. Ekspektasi-ekspektasi Hasil (outcome expectations) berkaitan dengan
konsekuensi-konsekuensi dari perilaku. Berdasarkan pada bukti empiris,
mereka dipisahkan ke dalam ekspektasi-ekspektasi kinerja (performance
expectations) dan ekspektasi-ekspektasi personal (personal expectations).
Penelitian tentang pengembangan model UTAUT untuk penerimaan
teknologi bagi pengguna internet banking di Lebanon telah dilakukan, hasil
penelitian menyatakan bahwa performance expectancy merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh secara signifkan terhadap use behavior melalui behavior
intention (Tarhini, El-Masri, Ali, & Serrano, 2016) Hal senada diungkapkan oleh
(Ahmad, 2014) dalam penelitiannya tentang validasi dan pengembangan
penerimaan teknologi menggunakan model UTAUT, hasil validasi terhadap model
59
UTAUT yang dikembangkan Venkantesh bahwa performance expextancy
berpengaruh secara signifikan terhadap behavior intention.
Peneliti lain yang dilakukan oleh (Afonso, Schwarz, State, & Rouge, 2015)
tentang penerimaan teknologi pengguna Electronic Document Management System
(EDMS) di Portugal, menyatakan bahwa performance expectancy memiliki
pengaruh positf terhadap behavior intention. Selain itu, penambahan gender dan
age sebagai moderating varibel dari performance expectancy memberikan
pengaruh yang berbeda. Laki-laki memberikan pengaruh yang lebih besar atau
sesuai harapan kerja dibandingkan kelompok perempuan, sedangkan age
memberikan pengaruh postif yang signifikan kepada kedua kelompok laki-laki dan
perempuan.
Kemanfaatan (usefulness) sebagai suatu tingkatan dimana seseorang
percaya bahwa penggunaan suatu subjek tertentu akan dapat meningkatkan prestasi
kerja orang tersebut (Ahmad, 2014). Selanjutnya, (Afonso et al., 2015) memberikan
dimensi tentang kemanfaatan TI, yaitu menjadikan pekerjaan lebih mudah,
bermanfaat, menambah produktivitas, mempertinggi efektivitas, dan meningkatkan
kinerja pekerjaan. Dari beberapa penjelasan yang telah disampaikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa seseorang mempercayai dan merasakan dengan menggunakan
suatu teknologi informasi akan sangat berguna dan dapat meningkatkan kinerja dan
prestasi kerja. Variabel Performance Expectancy Pada Penelitian Sebelumnya
disajikan dalam Tabel Tabel 2.1.3.1.
Menurut (Liebenberg et al., 2018) pengukuran performance expectancy
dapat diukur berdasarkan faktor-faktor berikut ini:
60
1. Persepsi terhadap pengguna
2. Motivasi Ekstinsik pengguna
3. Kesuaian dengan pekerjaan
4. Keuntungan Relatif
Sementara itu (Rahi, Ghani, & Ngah, 2018) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa performance expectancy dapat diukur berdasarkan faktor-faktor berikut
ini:
1. Persepsi terhadap pengguna internet banking
2. Motivasi Ekstinsik pengguna internet banking
3. Kesuaian pekerjaan pengguna internet banking
4. Keuntungan Relatif menggunakan e-banking
Sedangkan indikator variabel performance expectancy dalam penelitian ini
diukur dari 5 indikator yaitu:
1. Persepsi terhadap pengguna e-banking
2. Motivasi Ekstinsik pengguna e-banking
3. Kesuaian pekerjaan pengguna e-banking
4. Keuntungan Relatif menggunakan e-banking
5. Ekspektasi Hasil menggunakan e-banking
Beberapa definisi dan indikator performance expectancy lainnya dapat
diamati pada tabel 2.6 berikut:
61
Tabel 2.6. Definisi Performance Expectancy dan Indikator yang Digunakan
Menurut Beberapa Peneliti
PENELITI
DEFINISI
PERFORMANCE
EXPECTANCY
INDIKATOR
(Ahmad, 2014) Tingkat dimana seseorang
percaya bahwa penggunaan
sistem akan membantu dia
untuk mendapatkan dan
meningkatkan keuntungan
dalam pekerjaannya
1. Persepsi terhadap
pengguna
2. Motivasi Ekstinsik
3. Kesuaian pekerjaan
pengguna
4. Keuntungan Relatif
5. Ekspektasi Hasil
(Rahi, Ghani, Alnaser, et al.,
2018)
Mendefiniskan performance
expectancy sebagai sejauh
mana persepsi pengguna
kinerja unggul dengan
penggunaan internet banking
pada tugas-tugasnya, serta
percaya akan membantu
untuk mencapai manfaat
dalam melaksanakan
operasional perbankan.
1. Persepsi terhadap
pengguna internet
banking
2. Motivasi Ekstinsik
pengguna internet
banking
3. Kesuaian pekerjaan
pengguna internet
banking
4. Keuntungan Relatif
menggunakan e-banking
(Liebenberg et al., 2018) Menyatakan performance
expectancy dapat dilihat
sebagai tingkat yang
seseorang percaya bahwa
menggunakan sistem e-Book
Specialist learning
management System (SLMS)
di Afrika Selatan akan
membantu meningkatkan
kualitas pekerjaannya
1. Persepsi terhadap
pengguna
2. Motivasi Ekstinsik
pengguna
3. Kesuaian dengan
pekerjaan
4. Keuntungan Relatif
Konstruk Menyatakan Performance
Expectancy dapat dilihat
sejauh mana pengguna
internet banking dalam
melakukan tugas pekerjaan
yang akan meningkat
keuntungan dalam pekerjaan
tersebut
1. Persepsi terhadap
pengguna Electronik
Banking
2. Motivasi Ekstinsik
pengguna Elektronik
banking
3. Kesuaian dengan
pekerjaan elektronik
banking
4. Keuntungan Relatif
elektronik banking
Sumber: Adopsi Ahmad (2015), Rahi, et al (2018) dan (Lienbenberg at al., 2018)
62
2.1.15 Effort Expectancy
Effort expectancy adalah tingkat kemudahan di dalam penggunaan sistem.
Konstruk ini berakar dari konstruk perceived ease of use pada TAM dan easy of use
pada IDT. Dari model TAM, kompleksitas dari model of PC utilization (MPCU),
dan kemudahan penggunaan dari teori difusi inovasi (IDT) (Ahmad, 2014).
Sementara itu, (Liebenberg et al., 2018) menyatakan effort expectancy didefinisikan
sebagai tingkat kemudahan yang terkait dengan penggunaan sistem tertentu. Hal
ini, mengidentifikasikan bahwa kemudahan pemakaian mempunyai pengaruh
terhadap penggunaan teknologi informasi.
Definisi Effort Expectancy dan Indikator yang digunakan Menurut beberapa
Peneliti. Ahmad, 2014 menyatakan Effort Expectancy adalah tingkat kemudahan di
dalam penggunaan sistem, dengan indikator Kemudahan pengguna, Kemudahan
pengguna untuk mengoperasikan, Kemudahan pengguna untuk mengerjakan.
Sedangkan menurut (Liebenberg et al., 2018) Effort Expectancy sebagai tingkat
kemudahan yang terkait dengan penggunaan sistem tertentu, dengan indikator
Kemudahan pengguna untuk memahami e-book, Kemudahn interaksi dengan e-
book, Kemudahan pengguna untuk mengerjakan e-book, Kemudahan pengguna
untuk mengoperasikan e-book. Dan definisi Effort Expectancy menurut
(Phichitchaisopa & Naenna, 2013) adalah tingkat kemudahan yang terkait dengan
penggunaan teknologi informasi. Dengan indikator, Kemudahan penggunaan,
Tersedianya layanan bantuan meningkatkan pelayanan, Kemudahan penanganan
saat muncul kesalahan berpengaruh terhadap penerimaan teknologi dan Up to-date.
63
Definisi lain diungkapkan oleh (Phichitchaisopa & Naenna, 2013) effort
expectancy adalah tingkat kemudahan yang terkait dengan penggunaan teknologi
informasi. Banyak study yang menyatakan bahwa effort expectancy mempengaruhi
penggunaan sistem serta memiliki dampak positif yang signifikan untuk
menggunakan teknologi informasi. Kemudahan penggunaan teknologi informasi
akan menimbulkan perasaan dalam diri seseorang bahwa sistem itu mempunyai
kegunaan dan karenanya menimbulkan rasa yang nyaman bila bekerja dengan
menggunakannya (Ahmad, 2014).
Dari beberapa penjelasan yang telah disampaikan di atas, pengguna
teknologi informasi mempercayai bahwa teknologi informasi yang lebih fleksibel,
mudah dipahami dan mudah dalam hal pengoperasiannya akan menimbulkan minat
dalam menggunakan teknologi informasi tersebut dan seterusnya akan
menggunakan teknologi informasi tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya tentang pengembangan model UTAUT
untuk penerimaan teknologi diantaranya diungkapkan oleh (Ahmad, 2014) dalam
penelitiannya tentang validasi dan pengembangan penerimaan teknologi
menggunakan model UTAUT, hasil validasi terhadap model UTAUT yang
dikembangkan Venkantesh bahwa effort expextancy berpengaruh secara signifikan
terhadap behavior intention. Hal senada diungkapkan oleh (Liebenberg et al.,
2018), menyatakan bahwa effort expectancy dapat meningkatkan behavior
intention, penelitian ini menggunakan sistem e-Book Specialist Learning
Management System (SLMS) dalam membantu meningkatkan kualitas pekerjaan
siswanya di kawasan Afrika Selatan. Penelitian lain menyatakan hal yang sama
64
bahawa effort expectancy berpengaruh terhadap behavior intention adalah (Tarhini
et al., 2016)) dan Alfonso (2015). Variabel Effort Expectancy pada penelitian
terdahulu tercatat dalam Tabel 2.1.3.1.
Beberapa indikator pengukuran effort expectancy menurut (Ahmad, 2014)
adalah sebagai berikut:
1. Kemudahan pengguna
2. Kemudahan pengguna untuk mengoperasikan
3. Kemudahan pengguna untuk mengerjakan
Menurut (Liebenberg et al., 2018)pengukuran effort expectancy dapat
diukur menggunakan beberapa indikator berikut ini:
1. Kemudahan pengguna untuk memahami e-book
2. Kemudahan interaksi dengan e-book
3. Kemudahan pengguna untuk mengerjakan e-book
4. Kemudahan pengguna untuk mengoperasikan e-book
Sementara itu, Rahi at. al (2018) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
effort expectancy dapat diukur berdasarkan faktor-faktor berikut ini:
1. Kemudahan pengguna untuk memahami internet banking
2. Kemudahan interaksi dengan internet banking
3. Kemudahan pengguna untuk mengerjakan internet banking
4. Kemudahan pengguna untuk mengoperasikan internet banking
Phichitchaiso dan Naenna (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
effort expectancy dapat diukur berdasarkan faktor-faktor berikut ini:
1. Kemudahan penggunaan
65
2. Tersedianya layanan bantuan meningkatkan pelayanan
3. Kemudahan penanganan saat muncul kesalahan berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
4. Up to-date
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, maka peneliti menetapkan
variabel effort expectancy diukur dari 4 indikator, yaitu:
1. Kemudahan pengguna untuk memahami e-banking
2. Kemudahan interaksi dengan e-banking
3. Kemudahan pengguna untuk mengerjakan e-baking
4. Kemudahan pengguna untuk mengoperasikan e-banking
Beberapa definisi dan indikator effort expectancy lainnya dapat diamati
pada tabel 2.7 berikut:
Tabel 2.7 Definisi Effort Expectancy dan Indikator yang Digunakan
Menurut Beberapa Peneliti
PENELITI DEFINISI
EFFORT EXPECTANCY INDIKATOR
(Ahmad, 2014) Tingkat kemudahan di dalam
penggunaan sistem
1. Kemudahan pengguna
2. Kemudahan pengguna
untuk mengoperasikan
3. Kemudahan pengguna
untuk mengerjakan
(Liebenberg et al., 2018) Sebagai tingkat kemudahan
yang terkait dengan
penggunaan sistem tertentu
1. Kemudahan pengguna
untuk memahami e-book
2. Kemudahn interaksi
dengan e-book
3. Kemudahan pengguna
untuk mengerjakan e-
book
4. Kemudahan pengguna
untuk mengoperasikan e-
book
Phichitchaiso dan Naenna
(2013)
Tingkat kemudahan yang
terkait dengan penggunaan
teknologi informasi
1. Kemudahan penggunaan
2. Tersedianya layanan
bantuan meningkatkan
pelayanan
66
PENELITI DEFINISI
EFFORT EXPECTANCY INDIKATOR
3. Kemudahan penanganan
saat muncul kesalahan
berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
4. Up to-date
Konstruk Tingakat kemudahan dalam
pengunaan sistem electronic
banking
1. Kemudahan pengguna
untuk memahami
Electronik banking
2. Kemudahn interaksi
dengan Electronik
banking
3. Kemudahan pengguna
untuk mengerjakan
elektronik banking
4. Kemudahan pengguna
untuk mengoperasikan
elektronik banking
Sumber: Adopsi Ahmad (2015), (Lienbenberg at al., 2018) dan Phichitchaiso dan Naenna (2013)
2.1.16 Social Influence
Relasi sosial mempengaruhi bagaimana pengambilan keputusan termasuk
dalam konteks adopsi teknologi. Social Influence adalah salah satu konstruk model
UTAUT yang cukup sering diteliti pengaruhnya, mengingat sifat sosial manusia
yang sering mempertimbangkan pendapat orang lain untuk membuat suatu
keputusan (S. Singh & Srivastava, 2018). Social influence dapat didefinisikan
sebagai suatu tindakan, atau kebiasaan tertentu (particular behavior) orang lain
yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang (S. Singh & Srivastava, 2018).
Dalam konteks penelitian penerimaan internet banking, social influence
dapat didefinisikan sebagai persepsi seseorang atas banyak orang yang dianggap
penting, baik itu keluarga, kolega, grup sosial, atau rekan sejawat, yang dapat
mempengaruhinya untuk menggunakan layanan internet banking (Patel & Patel,
2018). Social Influence akan digunakan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi adopsi media sosial sebagai platform bisnis.
67
Singh & Srivastava, 2018 mengungkapkan Social Influence adalah suatu
tindakan, atau kebiasaan tertentu (particular behavior) orang lain yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang. Konsep social influence Rahi, et al (2018)
dikembangkan dari konsep subjective norm, social factors, dan image. Social
influence dapat berbeda relatif terhadap lingkungan user, jika di tempat kerja
hampir pasti kolega, sedang di rumah, kemungkinan keluarga. Menurut Isa et al.,
2017 Social influence adalah Social influence dapat di definisikan konsumen
percaya bahwa mereka akan dipengaruhi orang lain yang mengunakan internet
banking.
Berdasarkan atas telaah beberapa definisi di atas, terutama relativitas social
influence terkait lingkungan dan konsep image dari (Rahi, Ghani, Alnaser, et al.,
2018) social influence dalam konteks penelitian penulis dapat didefinisikan sebagai
faktor sosial, baik itu pendapat orang lain, lingkungan dan kebijakan tempat kerja,
saran pihak bank, maupun simbol prestise yang dapat mempengaruhi keputusan
seseorang dalam menggunakan teknologi e-banking.
Pengaruh sosial menggambarkan adanya relasi individu dengan yang lain.
Pengambilan keputusan mengandaikan bahwa seseorang dipengaruhi oleh dimensi
sosial. Hal ini menggambarkan bahwa para pelanggan adalah mahluk relasional.
Singh & Srivastava, 2018 menjelaskan indikator Teman dan orang terdekat dapat
mempengaruhi keputusan menggunakan mobile banking. Media massa (TV, Koran,
artikel, radio) dapat mempengaruhi keputusan menggunakan mobile banking.
Keputusan menggunakan mobile banking dipengaruhi oleh banyaknya circle
68
terdekat yang sudah menggunakan Penggunaan internet banking akan miningkatka
status sosial dalam komunitas tersebut.
Rahi, et al (2018) menjelaskan indikator social influence yaitu Status orang
terdekat yang sudah menggunakan internet banking dapat mempengaruhi
keputusan menggunakan internet banking. Bank yang di tunjuk dalam tempat kerja
dapat mempengaruhi keputusan menggunakan internet banking. Teman yang di
tempat kerja yang dianggap memiliki profil baik (ahli, dapat dipercaya) dapat
mempengaruhi keputusan menggunakan internet banking. Prestige yang
diasosiakan kepada orang yang menggunakan internet banking mempengaruhi
keputusan menggunakan internet banking.
Indikator social influence menurut (Acheampong et al., 2018) adalah Media
akan mempengaruhi orang dalam mengunakan internet banking. Pengaruh dari
rekan sejawat akan mempengaruhi internet banking. Tempat kerja akan melakukan
akan mengsosialkan pengunaan internet banking. Internet banking sangat
berpangaruh positif dan dianggap penting/prestise dalam pergaulan teman sekantor.
Tabel 2.8 Definisi Social Influence dan Indikator yang Digunakan
Menurut Beberapa Peneliti
PENELITI DEFINISI
SOCIAL INFLUENCE INDIKATOR
Singh dan Srivastava (2018)
Social influence dapat
didefinisikan sebagai suatu
tindakan, atau kebiasaan
tertentu (particular behavior)
orang lain yang dapat
mempengaruhi persepsi
seseorang
1. Teman dan orang terdekat
dapat mempengaruhi
keputusan menggunakan
mobile banking.
2. Media massa (TV, Koran,
artikel, radio) dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan mobile
banking.
3. Keputusan menggunakan
mobile banking
dipengaruhi oleh
banyaknya circle terdekat
yang sudah menggunakan
69
PENELITI DEFINISI
SOCIAL INFLUENCE INDIKATOR
Rahi, et al. (2018) Konsep social influence Rahi,
et al dikembangkan dari
konsep subjective norm,
social factors, dan image.
Social influence dapat
berbeda relatif terhadap
lingkungan user, jika di
tempat kerja hamper pasti
kolega, sedang di rumah,
kemungkinan keluarga.
1. Status orang terdekat yang
sudah menggunakan
internet banking dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan internet
banking.
2. Saran orang terdekat dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan internet
banking.
3. Orang yang dianggap
memiliki profil baik (ahli,
dapat dipercaya) dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan internet
banking.
4. Prestige yang diasosiakan
kepada orang yang
menggunakan internet
banking mempengaruhi
keputusan menggunakan
internet banking.
(Acheampong et al., 2018) Kelas Social influence dapat
didefinisikan sebagai suatu
tindakan, atau kebiasaan
tertentu orang lain yang dapat
mempengaruhi persepsi
seseorang
1. Media akan
mempengaruhi orang
dalam mengunakan
internet banking.
2. rekan sejawat akan
mempengaruhi internet
banking.
3. Tempat kerja akan
melakukan akan
mengsosialkan pengunaan
internet banking
4. Internet banking sangat
berpangaruh positive dan
dianggap penting/prestise
dalam pergaulan teman
sekantor
Konstruk Social Influence dapat
didefinisikan adalah tindakan
yang berasal dari orang lain
yang dapat mempengaruhi
keadaan persepsi seoarng
pemakai elektronik banking
1. Pengaruh orang lain
Pendapat orang lain
dapat mempengaruhi
keputusan menggunakan
e-banking.
2. Pengaruh manajemen
bank
3. Pengaruh tempat kerja
4. Pengaruh psikografi
(prestise)
Sumber: Singh dan Srivastava (2018) dan Rahi, et al (2018),(Acheampong et al., 2018)
70
2.1.17 Facilitating Conditions
Facilitating conditions merupakan salah satu variabel yang mendapat
perhatian khusus Venkatesh, et al saat mengembangkan UTAUT2 (Venkatesh,
2012). Alasannya, banyak modifikasi UTAUT (modified UTAUT) yang tidak
menyertakan variabel ini sebagai konsep model penerimaan teknologi. Beberapa
peneliti seperti Yoo, et al. mengusulkan bahwa facilitating conditions diubah
konsepnya menjadi bagian dari faktor eksternal, sedangkan effort expectancy
sebagai faktor internal (Yoo, et al, 2012). Meski demikian, akhirnya Venkatesh, et
al. tetap menggunakan facilitating conditions sebagai salah satu konstruk
UTAUT2. Alasannya, facilitating conditions dapat dikategorikan sebagai faktor
organisasi atau bahkan individu yang dapat mempercepat pembelajaran user,
sehingga berperan penting dalam meningkatkan penerimaan teknologi (Venkatesh,
et al. 2012).
Senada dengan Venkatesh, et al., Rahi, et al., menyatakan bahwa
facilitating conditions berperan penting dalam mendukung penerimaan teknologi.
Facilitating conditions dalam konteks penelitian penerimaan internet banking Rahi,
et al. dapat didefinisikan sebagai efek organisasi dan dukungan infrastruktur untuk
menggunakan internet banking, dalam bentuk pelatihan, knowledge sharing, dan
dukungan infrastruktur lainnya (Rahi, et al. 2018).
Konsep facilitating conditions Rahi, et al (2018) dikembangkan dari konsep
perceived behavioural control dan compatibility. Facilitating conditions
didefinisikan sebagai efek organisasi dan dukungan infrastruktur untuk
71
menggunakan internet banking, dalam bentuk pelatihan, knowledge sharing, dan
dukungan infrastruktur lainnya (Rahi, et al. 2018).
Sedangkan menurut (Salimon, Yusoff, & Mohd Mokhtar, 2017)
Facilitating conditions dapat di definisikan sebagai persepsi user atas tersedianya
dukungan dan sumber daya yang memadai untuk menggunakan teknologi yang
diajukan kepadanya. Facilitating conditions adalah faktor yang relatif dipengaruhi
oleh lingkungan adopsi teknologi yang bersangkutan, jika itu hanya membutuhkan
pengetahuan user, maka desain user interface yang nyaman atau familiar dengan
aplikasi sejenis sudah cukup disebut sebagai facilitating conditions, namun bila
konteksnya sebesar logistik pada e-commerce, dukungan infrastruktur logistik
merupakan facilitating conditions bagi adopsi e-commerce tersebut.
(Liebenberg et al., 2018) mengatakan Facilitating conditions adalah
Persepsi atas kemudahan penggunaan teknologi dengan adanya dukungan ekternal
berupa asistansi, dan internal berupa pengalaman, pengetahuan, tersedianya sumber
daya. Senada dengan Venkatesh (2003), Ahmad (2014) menyatakan bahwa
Facilitating Conditions dapat didefinsikan sebagai tingkat kepercayaan seseorang
terhadap dukungan organisasi maupun infrastruktur pendukung teknologi ada dan
siap untuk membantunya beradaptasi dengan teknologi baru. Namun, Ahmad
(2014) mengkritisi bahwa Facilitating Confitions sebenarnya tidak kuat sebagai
prediktor jika Experience (pengalaman) responden sudah mumpuni, sedangkan
Facilitating Conditions akan kuat sebagai prediktor saat responden dibagi menjadi
kelompok umur dengan kategori relatif tanggap atau ‘melek teknologi’, dan
kelompok umur yang relatif tidak tanggap atau ‘kurang melek teknologi’. Beberapa
72
definisi dan indikator facilitating conditions lainnya dapat diamati pada tabel 2.9
berikut:
Tabel 2.9 Definisi Facilitating Conditions dan Indikator yang Digunakan
Menurut Beberapa Peneliti
PENELITI DEFINISI FACILITATING
CONDITIONS INDIKATOR
(Rahi, Ghani, Alnaser, et al.,
2018)
Konsep facilitating conditions
Rahi, et al dikembangkan dari
konsep perceived behavioural
control dan compatibility.
Facilitating conditions dalam
konteks penelitian
penerimaan internet banking
Rahi, et al. dapat
didefinisikan sebagai efek
organisasi dan dukungan
infrastruktur untuk
menggunakan internet
banking, dalam bentuk
pelatihan, knowledge sharing,
dan dukungan infrastruktur
lainnya (Rahi, et al. 2018)
1. Sumber daya yang
dimiliki saat ini
berpengaruh pada
penerimaan teknologi
internet banking.
2. Pengetahuan yang dimiliki
saat ini berpengaruh pada
penerimaan teknologi
internet banking.
3. Kompatibilitas internet
banking dengan teknologi
lain yang digunakan saat
ini berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
internet banking.
4. Tersedianya rekan sejawat
atau kolega yang siap
membantu adaptasi
internet banking
berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
internet banking.
(Salimon et al., 2017) Facilitating conditions dapat
di definisikan sebagai
persepsi user atas tersedianya
dukungan dan sumber daya
yang memadai untuk
menggunakan teknologi yang
diajukan kepadanya.
Facilitating conditions adalah
faktor yang relatif
dipengaruhi oleh lingkungan
adopsi teknologi yang
bersangkutan, jika itu hanya
membutuhkan pengetahuan
user, maka desain user
interface yang nyaman atau
1. Infrastruktur internet,
termasuk kecepatan
internet yang memadai,
berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
online banking.
2. Tersedianya bantuan
teknis seperti layanan
konsumen berpengaruh
terhadap penerimaan
teknologi online banking.
3. Kemampuan dan
pengetahuan saat ini
berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
online banking.
73
PENELITI DEFINISI FACILITATING
CONDITIONS INDIKATOR
familiar dengan aplikasi
sejenis sudah cukup disebut
sebagai facilitating
conditions, namun bila
konteksnya sebesar relatif
pada e-commerce, dukungan
infrastruktur relatif
merupakan facilitating
conditions bagi adopsi e-
commerce tersebut.
4. Dukungan saat terjadi
masalah kegagalan teknis
terhadap transaski
berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
online banking.
(Liebenberg et al., 2018) Persepsi atas kemudahan
penggunaan teknologi dengan
adanya dukungan eksternal
berupa asistansi, dan internal
berupa pengalaman,
pengetahuan, tersedianya
sumber daya.
1. Persepsi bahwa teknologi
baru cocok dengan
kebiasaan
2. Tersedianya sumber daya
pendukung untuk
menggunakan teknologi
baru.
3. Ilmu dan pengalaman
mencukupi untuk
menggunakan teknologi
baru.
4. Adanya bantuan atau
asistansi jika terjadi
kesulitan
Ahmad (2015) Senada dengan Venkatesh
(2003), Ahmad menyatakan
bahwa Facilitating
Conditions dapat didefinsikan
sebagai tingkat kepercayaan
seseorang terhadap dukungan
organisasi maupun
infrastruktur pendukung
teknologi ada dan siap untuk
membantunya beradaptasi
dengan teknologi baru.
Namun, Ahmad mengkritisi
bahwa Facilitating
Conditions sebenarnya tidak
kuat sebagai prodiktor jika
Experience (pengalaan)
responden sudah mumpuni,
sedangkan Facilitating
Conditions akan kuat sebagai
indikator saat responden
dibagi menjadi kelompok
umur dengan kategori relatif
1. Perceived Behavioral
Control (persepsi atas
kontrol perilaku), persepsi
seseorang akan adanya
bantuan sumber daya,
dukungan teknologi, dan
tidak adanya paksaan
dalam menggunakan
teknologi.
2. Facilitating Conditions
(kondisi-kondisi yang
mempengaruhi), yaitu
situasi lingkungan
percobaan teknologi yang
memungkinkannya secara
mudah menggunakan
teknologi tersebut.
Misalnya menggunakan
Microsoft Office pada
kantor tempat seseorang
magang..
74
PENELITI DEFINISI FACILITATING
CONDITIONS INDIKATOR
tanggap atau ‘melek
teknologi’, dan kelompok
umur yang relatif tidak
tanggap atau ‘kurang melek
teknologi’.
3. Compatibility
(kompetibilitas), yaitu
tingkat kepercayaan
seseorang bahwa inovasi
teknologi yang ditawarkan
cocok dengan nilai-nilai,
kebutuhan, dan
pengalaman responden.
Konstruk Dukungan infrastruktur
teknologi akan sangat
membantu pekerjaan seorang
baik dari dalam perusahaan
maupun dari luar perusahaan
yang akan mendorong
seseorang tersebut akan
melakukan adopsi teknologi
1. Infrastruktur internet
dapat mempengaruhi
perilaku sesoerang
2. Kondisi-kondisi yang
memepangaruhi
lingkungan yang berada
dalam suatu organisasi
3. Kompatiblitas peralatan
yang ada dengan yang ada
dikantor akan membuat
pekerjaan akan lebih cepat
Sumber: Adopsi Rahi, et al (2018), Liebenberg, et al (2017), Ahmad (2015), dan Salimon, et al.
(2016)
2.1.18 Behavioral Intenttion
Manusia dapat dinyatakan sebagai mahluk bebas dan tidak bebas. Dalam
perspektif tidak bebas, ada determinasi psikologis sosial maupun teknologi yang
mengarahkan niat dan tindakan seseorang. Disisi lain pelanggan memiliki
kebebasan untuk menentukan penggunaan teknologi sebagai bagian dari eksistensi
kebebasan yang memiliki arti penting.
Teori penerimaan teknologi berakar dari teori sistem informasi, psikologi dan
sosiologi (Venkatesh et al., 2003). Saat ini, mengetahui alasan diterima atau
ditolaknya teknologi baru oleh konsumen telah menjadi kajian penting dalam ranah
pengembangan teknologi informasi dan manajemen strategi (Momani & Jamous,
2017). Hal ini sejalan dengan penelitian Davis, et al. yang menyatakan bahwa
75
adaptasi teknologi yang baik dapat meningkatkan produktivitas organisasi,
memberi keunggulan kompetitif, meningkatkan pemrosesan layanan, dan memberi
kesiapan yang baik terkait penyediaan informasi (Fred D Davis et al., 1992)
Behavioral intention adalah salah satu konsep kunci dalam memahami
model penerimaan teknologi UTAUT. Minat atau intensi penggunaan teknologi
informasi (behavioral intention) dapat didefinisikan sebagai tingkat keinginan atau
niat seseorang menggunakan teknologi secara terus menerus dengan asumsi faktor-
faktor yang mempengaruhinya terpenuhi (Venkatesh, Thong, & Xu, 2012b). Secara
umum, seseorang akan berminat menggunakan suatu teknologi informasi yang
diajukan kepadanya apabila ia meyakini bahwa dengan menggunakan teknologi
informasi tersebut dapat meningkatkan kinerjanya, penggunaannya relatif mudah,
dan ia mendapatkan pengaruh dari lingkungan sekitar (social influence) untuk
menggunakan teknologi informasi tersebut.
Tingkat penerimaan suatu teknologi informasi oleh user juga dapat
diprediksi dari sikap dan persepsi pengguna terhadap teknologi tersebut, misalnya
keinginan menambah alat pendukung atau mencari pendukung seperti layanan
konsumen, motivasi untuk tetap menggunakan, serta keinginan untuk
mempengaruhi pengguna lain. Beberapa indikator behavioral intention pada
penelitian sebelumnya dapat diamati pada tabel 2.10 dibawah.
Teori dan model mengenai penerimaan teknologi juga telah banyak
dikembangkan sejak dekade 1980-an dengan beragam variabel (Momani & Jamous,
2017). Secara umum, variabel-variabel dalam berbagai model yang telah digunakan
tersebut menjelaskan bahwa motivasi instrinsik, pengalaman, dan kondisi sosial
berperan besar pada penerimaan suatu teknologi, sehingga dapat digeneralisir
76
bahwa perilaku (behavior) pengguna berperan penting dalam pengambilan
keputusan pengguna dalam menggunakan teknologi.
Konsep lain yang terkait dengan penerimaan teknologi ditinjau dari aspek
psikologis (determinan psikologis) yaitu dikemukakan Theory of Reasoned Action
(TRA). Teori ini secara umum dikembangkan berdasarkan temuan-temuan riset
psikologi sosial. Davis, et al. telah menelaah penggunaan model TRA dalam
berbagai studi kasus penerimaan teknologi, dan menemukan bahwa TRA relatif
konsisten untuk banyak studi kasus (F.D. Davis et al., 1989).
Technology Acceptance Model (TAM), TAM secara khusus dirancang
sebagai model analisis prediktif penerimaan teknologi informasi, khususnya
penerapan teknologi tersebut dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan TRA, TAM
justru membuang konsep ‘attitude’ dalam TRA untuk memberi ruang pada intensi,
atau kesengajaan user (pengguna teknologi) dalam menerima suatu teknologi baru.
Sementara TAM versi 2 (TAM2), dikembangkan dengan menyertakan Subjective
Norm pada TRA sebagai prediktor pada lingkungan kerja yang memiliki standar
operasional ketat (penerimaan teknologi bersifat dipaksakan). Baik TAM maupun
TAM2 telah digunakan dalam berbagai studi kasus penerimaan teknologi
(Venkatesh et al., 2003).
Model lain yang dapat menjelaskan tentang perilaku ditinjau dari
determinasi psikologis yaitu Motivational Model (MM). Secara umum model ini
dikembangkan dengan dasar beberapa temuan riset psikologi terkait motivasi.
Dalam konteks penerimaan teknologi informasi, Venkatesh dan Speier telah
menelaah penggunaan model ini dalam berbagai studi kasus dan menemukan
77
bahwa model ini berhasil menjelaskan penerimaan teknologi-teknologi tersebut
(Venkatesh & Speier, 1999).
Konsep lain tentang penerimaan teknologi adalah Theory of Planned
Behavior (TPB). TPB merupakan pengembangan TRA pada konteks perilaku
terkontrol. TPB juga sering disebut perluasan TRA yang bercorak dimensional.
TPB menambahkan Perceived Behavioral Control sebagai tambahan prediktor.
Untuk memahami perilaku yang bersifat multidimensi diperlukan
pendekatan yang menyeluruh yang dapat menjelaskan dimensi determinan dari
perilaku. Combined TAM and TPD (C-TAM-TPB) adalah salah satu pendekatan
tersebut. Model ini menggabungkan prediktor-prediktor pada TPB dengan
Perceived of Usefulness pada TAM menjadi suatu model hybrid penerimaan
teknologi (Taylor & Todd, 1995).
Model of PC Utilization (MPCU) yaitu Model yang dikembangkan
Thompson, et al. terhadap perilaku penggunaan PC (Personal Computer)
berdasarkan temuan riset psikologis perilaku manusia oleh Triandis pada tahun
1977, terutama mengenai norma sosial (social norm), kebiasaan (habit), dan
harapan terkait konsekuensi tindakan (expected consequences). Meskipun
dirancang untuk mengamati perilaku penggunaan PC, MPCU juga masih relevan
untuk riset penerimaan teknologi informasi secara umum (Venkatesh et al., 2003)
Innovation diffusiaon theory IDT dikembangkan lewat metode Grounded
Theory dalam riset sosiologi. Rogers dalam Tomatzky dan Klein meneliti bahwa
IDT telah digunakan sejak 1960an untuk meneliti berbagai macam inovoasi
teknologi, mulai dari pertanian sampai perusahaan (Tornatzky & Klein, 1982). Di
78
mana dalam konteks sistem informasi, Moore dan Benbasat mengadaptasi
karakteristik paparan Rogers untuk konstruksi model yang cocok untuk riset
penerimaan teknologi individual, terutama dalam aspek prediktif yang valid (G. C.
Moore & Benbasat, 1991).
Social Cognitive Theory (SCT) dikembangkan berdasarkan riset psikologi
Social Cognitive Theory oleh Albert Bandura. Compeau dan Higgins kemudian
mengembangkan model SCT dalam konteks penerimaan teknologi komputer
(Compeau & Higgins, 1995). Sama halnya dengan MPCU dan IDT, meskipun
Compeau dan Higgins pada awalnya hanya mengembangkan model ini dalam
konteks penerimaan teknologi komputer, namun model ini masih relevan untuk
konteks penerimaan teknologi informasi secara umum (Venkatesh et al., 2003).
Beberapa indikator behavioral intention menurut Liebenberg et al., 2018
yang meneliti tentang Acceptance of ICT: Applicability of the Unified Theory of
Acceptance and Use of Technology (UTAUT) to South African Students, yaitu
Tersedianya kesempatan dan minat mencoba, dapat mempengaruhi penerimaan e-
Book dan SLMS. Penggunaan suatu eBook dapat mempengaruhi penggunaan e-
Book lainnya efisiensi dan efektivitas. Terseidianya paket buku/modul e-learning
yang mirip, dapat mempengaruhi kinerja dalam penerimaan e-Book atau modul e-
learning lainnya kinerja layanan.
Phichitchaisopa & Naenna, 2013 yang meneliti tentang Factors Affecting
The Adoption of Healthcare Information Technology, menjelaskan behavioral
intention dengan indikator tersedianya teknologi terbaru yang lebih baik dapat
mempengaruhi minat penerimaan teknologi baru bidang health care. Tersedianya
teknologi baru yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pekerjaan
79
mempengaruhi penerimaan teknologi baru bidang health care. Peningkatan kinerja
layanan dalam helath care tersebut.
Ahmad, 2014 meneliti tentang Unified Theory of Acceptance and Use of
Technology (UTAUT): A Decade of Validation and Development, Ahmad menelaah
bahwa secara umum dalam satu dekade validasi behavioral intention pada UTAUT
telah diterima secara luas, namun memiliki respon yang berbeda dalam penggunaan
konstruk maupun istilah. Sehingga, indikator seperti minat, efektivitas, efisiensi,
dan kinerja yang lebih baik dapat menjadi indikator behavioral intention. Rahi,
Ghani, Alnaser, et al., 2018 meneliti tentang A structural equation model for
evaluating user’s intention to adopt internet banking and intention to recommend
technology, Pendapat Ahmad (2015) di atas, sesuai dengan penerapan konsep
Behavioral Intention pada Rahi, et al. bahwa sebenarnya konsep ini diterima,
namun alih-alih masih menelaah tentang penerimaan (acceptance) teknologi, Rahi,
et al justru mengajukan hipotesis dalam wujud konsep minat untuk
merekomendasikan (intention to recommend). Indikator dalam penelitian ini juga
sejalan dengan UTAUT2 karya Venkatesh, et al dimana adanya tawaran efektivitas,
efisiensi, dan kompatibilitas dengan pengalaman, serta peningkatan kinerja layanan
kesempatan untuk menyampaikan pendapat terkait produk teknologi
mempengaruhi minat untuk menggunakan hingga merekomendasikan suatu
teknologi.
Berdasarkan telaah atas beberapa penelitian di atas, behavioral intention
dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi
nasabah untuk terus menggunakan layanan e-banking. Sehingga dapat dirumuskan
empat indikator behavioral intention sebagai berikut:
80
1. Minat pemanfaatan e-banking
2. Peningkatan efisinsi
3. Peningkatan efektivitas
4. Peningkatan kinerja layanan
Tabel 2.10 Indikator Behavioral Intention pada Penelitian Sebelumnya
AUTHOR DAN TAHUN
PENELITIAN PENELITIAN INDIKATOR
Liebenberg, et al (2018) Acceptance of ICT:
Applicability of the Unified
Theory of Acceptance and
Use of Technology (UTAUT)
to South African Students
1. Tersedianya kesempatan
mencoba, dapat
mempengaruhi
penerimaan eBook dan
SLMS.
2. Penggunaan suatu eBook
dapat mempengaruhi
penggunaan eBook
lainnya.
3. Terseidianya paket
buku/modul e-learning
yang mirip, dapat
mempengaruhi
penerimaan eBook atau
modul e-learning lainnya.
Phichitchaiso dan Naenna
(2013)
Factors Affecting The
Adoption of Healthcare
Information Technology
1. Tersedianya teknologi
terbaru yang lebih baik
dapat mempengaruhi
penerimaan teknologi baru
bidang healthcare
2. Tersedianya teknologi
baru yang dapat
meningkatkan efisiensi
pekerjaan mempengaruhi
penerimaan teknologi baru
bidang healthcare
Ahmad (2015) Unified Theory of Acceptance
and Use of Technology
(UTAUT): A Decade of
Validation and Development
1. minat,
2. efektivitas,
3. efisiensi,
4. kinerja
Rahi, et al (2018) A structural equation model
for evaluating user’s
intention to adopt internet
banking and
1. Efektivitas
2. Efisiensi
3. kompatibilitas dengan
pengalaman, serta
kesempatan untuk
81
AUTHOR DAN TAHUN
PENELITIAN PENELITIAN INDIKATOR
intention to recommend
technology
menyampaikan pendapat
terkait produk teknologi
mempengaruhi minat
untuk menggunakan
hingga merekomendasikan
suatu teknologi.
Konstruk 1. Minat pemanfaatan e-
banking
2. Peningkatan efisinsi
3. Peningkatan efektivitas
4. Peningkatan kinerja
layanan
Sumber: Adopsi Liebenberg, et al (2018); Phichitchaiso dan Naenna (2013); Ahmad (2015); dan
Rahi, et al (2018)
2.1.19 Use Behavior
Use behavior juga merupakan salah satu konsep kunci dalam memaham
model penerimaan teknologi UTAUT. Use behavior dalam UTAUT dapat di
definisikan sebagai tingkat intensitas dan atau frekuensi pemakaian suatu teknologi
informasi. Perilaku penggunaan teknologi informasi sangat bergantung pada
evaluasi pengguna terhadap sistem tersebut.
Perilaku pengguna sistem (use behavior) didefinisikan sebagai intensitas
atau frekuensi pemakai dalam menggunakan sistem informasi. Perilaku seseorang
merupakan ekspresi dan keinganan atau minat seseorang (intention). Perilaku
pengguna sistem sangat bergantung pada evaluasi pengguna dari sistem tersebut
(Venkatesh et al., 2003).
Menurut (Alalwan, Dwivedi, & Rana, 2017) Faktor-faktor yang
memengaruhi adopsi mobile banking oleh pelanggan bank Yordania. Dengan
mengunakan UTAUT2 with Trust. (i)Teknologi akan dipakai setiap saat dalam
setiap transakasi yang dilakukan. (ii) Faktor lingkungan akan mempengaruhi dalam
82
melakukan transaksi perbankan.(iii) Perasaan dalam membutuhkan mobile akan
membuat pekerjaan lebih mudah.(iv) Kepuasan dalam transaksi yang cepat akan
membuat pekerjaan lebih mudah.
Menurut (Jewer, 2018) yang melakukan penelitian dilakukan pada rumah
sakit kepada perilaku pasien dalam menggunakan aplikasi online waktu tunggu
Emergency Department dengan menggunakan model UTAUT. (i) Pasien
menggunakan aplikasi dalam menunggu panggilan untuk diperiksa. (ii) Faktor
sosial yang menyebabkan pasien menggunkan teknologi dalam waktu menunggu
pangilan tesebut. (iii) Dengan penggunaan aplikasi perasaan pasien lebih
menyenangkan dalam waktu menunggu. (iv) Kepuasan pasien mengenai pelayanan
terhadap menunggu akan lebih puas dengan mengunakan aplikasi
Menurut (Martins et al., 2014) sesorang menggunakan layanan
perbankankan internet dilihat dari frekuensinya, seberapa aktual mereka dalam
menggunakan layanan perbankan Internet? (i) Belum pernah digunakan; (ii)
setahun sekali; (iii) enam bulan sekali; (iv) tiga bulan sekali; (v) sebulan sekali; (vi)
seminggu sekali; (vii) sekali dalam 4-5 hari; (viii) sekali dalam 2-3 hari; (ix) hampir
setiap hari.
Menurut peneliti, Use behavior dapat diukur dari beberapa indikator sebagai
berikut:
1. Frekuensi pemakai dalam menggunakan teknologi informasi
2. Faktor-faktor sosial
3. Perasaan (affect)
4. Tingkat Kepuasan
83
Tabel 2.11 Indikator Use Behavior pada Penelitian Sebelumnya
AUTHOR DAN TAHUN
PENELITIAN PENELITIAN INDIKATOR
(Venkatesh et al., 2003) User acceptance of
information technology:
Toward a unified view
1. Penggunaan sistem akan
dipakai pada waktu yang
ditentukan
2. Faktor sosial akan
membuat sistem tersebut
digunakan.
3. Tingkat kepuasan dari
sistem yang digunakan
(Alalwan et al., 2017) Factors influencing adoption
of mobile banking by
Jordanian bank customers:
Extending UTAUT2 with trust
1. Teknologi akan dipakai
setiap saat dalam setiap
transakasi yang
dilakukan.
2. Faktor lingkungan akan
mempengaruhi dalam
melakukan transaksi
perbankan
3. Perasaan dalam
membutuhkan mobile
akan membuat pekerjaan
lebih mudah
4. Kepuasan dalam transaksi
yang cepat akan membuat
pekerjaan lebih mudah.
(Jewer, 2018) Patients’ intention to use
online postings of ED wait
times: A modified UTAUT
model
1. Pasien menggunakan
aplikasi dalam menunggu
panggilan untuk diperiksa
2. Faktor sosial yang
menyebabkan pasien
menggunkan teknologi
dalam waktu menunggu
pangilan tesebut.
3. Dengan penggunaan
aplikasi perasaan pasien
lebih menyenangkan
dalam waktu menunggu.
4. Kepuasan pasien mengenai
pelayanan terhadap
menunggu akan lebih puas
dengan mengunakan
aplikasi
(Martins et al., 2014) Understanding the Internet
banking adoption: A unified
1. Belum pernah digunakan
2. Setahun Sekali
84
AUTHOR DAN TAHUN
PENELITIAN PENELITIAN INDIKATOR
theory of acceptance and use
of technology and perceived
risk application
3. Enam bulan sekali
4. Tiga bulan sekali
5. Sebulan sekali
6. Sekali dalam 4-5 hari
7. Sekali dalam 2-4 hari
8. Setiap hari
Konstruk Tingkat pemakaian serta
intensitas pemakaian dalam
mengunakan e-banking
sehingga terjadi pengulangan
dalam pemakaian dan
kepuasan dalam penggunaan
teknologi tersebut
1. Frekuensi pemakai dalam
menggunakan teknologi
informasi
2. Faktor-faktor sosial
3. Perasaan (affect)
4. Tingkat Kepuasan
Sumber: Adopsi Liebenberg, et al (2018); Phichitchaiso dan Naenna (2013); Ahmad (2015); dan
Rahi, et al (2018)
2.1.20 Gender
Penelitian yang bertujuan mengetahui faktor penghalang penerimaan
internet banking pada nasabah bank di Sri Lanka, menunjukkan bahwa gender
sebagai moderating variable dari kepercayaan dan persepsi atas risiko e-commerce
terhadap adoption internet banking behavior, memiliki pengaruh yang relatif kecil,
akan tetapi hasil pengujian lebih lanjut menunjukkan laki-laki lebih mudah
menerima internet banking dibanding perempuan (Aboobucker dan Bao, 2018).
Hasil penelitian senada diungkapkan oleh Tarhini (2016) pada peneiltiannya
yang menunjukkan bahwa penggunaan internet banking di Lebanon tidak hanya
dipengaruhi oleh pihak bank atau pemerintah, tetapi dipengaruhi juga oleh persepsi
dan pengalaman pengguna. Deskripsi data menunjukkan bahwa pengguna internet
banking di Lebanon lebih banyak laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Pengguna internet banking jenis kelamin laki-laki sebesar 55.88% sedangkan
perempuan 44.12%. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan tidak melihat
85
layanan internet banking berguna sebagaimana laki-laki. Hal terjadi karena
preferensi mereka lebih pada cara tradisional.
Penelitian berikutnya tentang penerimaan internet banking di Gujarat,
menyebutkan bahwa perempuan kurang tertarik menggunakan internet banking di
Gujarat. Mereka tidak berani untuk mencoba internet banking karena takut
menggunakan komputer. Sebaliknya, laki-laki tidak menyatakan kecemasan
menggunakan komputer sebagai alasan untuk tidak menggunakan internet banking,
meskipun beberapa dari mereka memiliki tingkat kecemasan tertentu dalam
mencoba teknologi baru. Mayoritas laki-laki menunjukkan kenyamanan sebagai
manfaat utama penerimaan internet banking (Patel dan Patel, 2017).
Konstruksi tentang gender didasarkan pada jenis kelamin. Pengelompokan tersebut
didasarkan pada atribut biologis laki-laki dan perempuan. Pengelompokan berdasarkan
gender yang ada di masyarakat menghasilkan suatu tuntutan identitas yang disematkan
berdasarkan pandangan mengenai laku-laki dan perempuan seperti disampaikan oleh
(Venkatesh et al., 2003) bahwa: ‘Gender identity or gender-role identity is our perception
of the self as psychologically female or male’ Berdasarkan beberapa penelitian di atas,
peneliti mempertimbangkan menggunakan Gender sebagai moderating variable.
Penggunaan gender sebagai moderating variable pada penelitian sebelumnya dapat
diamati tabel 2.12 berikut:
Tabel 2.12 Penggunaan Gender sebagai Moderating Variable
pada Penelitian Sebelumnya No. Author dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Indikator
1. Aboobucker dan Bao (2018) What obstruct customer acceptance of
internet banking? Security and privacy,
risk, trust and website usability and the
role of moderators
1. Laki Laki
2. Perempuan
2. Tarhini (2016) Extending the UTAUT model to
understand the customers’ acceptance
1. Laki -Laki
2. Perempuan
86
No. Author dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Indikator
and use of internet banking in Lebanon: A
structural equation modeling approach
3. Patel dan Patel (2017) Adoption of internet banking services in
Gujarat: an extension of TAM with
perceived security and social
Influence
1. laki -laki
2. Perempuan
4. Liebenberg, et al (2017) Acceptance of ICT: Applicability of the
Unified Theory of Acceptance and Use of
Technology (UTAUT) to South African
Students
1. Laki Laki
2. Perempuan
Konstruk 1. Laki Laki
2. Perempuan
Sumber: Olah data peneliti
2.1.21 Age
Usia mempengaruhi bagaimana perkembangan seseorang termasuk
kognitif, afeks maupun perilaku. Usia mempengaruhi bagaimana pilihan produk
dan jasa yang dikonsumsi termasuk interaksinya dengan teknologi. Pelanggan
mengubah konsumsi barang dan jasa selera makan, interaksi dengan teknologi
berkaitan dengan usia. Pemasar sering mendefinisikan target pasar mereka dalam
hal tahap siklus hidup dan mengembangkan produk dan rencana pemasaran yang
tepat untuk setiap tahap rentang kehidupan.
Perkembangan kognitif merupakan proses mental yang mencakup
pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan, pembuatan perbandingan,
berfikir dan mengerti tentang realitas. Proses mental yang dimaksud adalah proses
pengolahan informasi yang menjangkau kegiatan kognisi, intelegensi, belajar,
pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Hal ini juga menjangkau kreativitas,
imajinasi dan ingatan. Meskipun teori perkembangan ini banyak di kritik, namun
Kohlberg (1977) telah memberikan arah bagi perkembangan pemahaman tentang
bagaimana proses perkembangan berlangsung sepanjang rentang kehidupan.
87
Pengelompokan usia merupakan salah satu moderating variable yang sering
dipakai dalam penelitian penerimaan teknologi (Aboobucker dan Bao, 2018).
Penelitian Aboobucker tentang faktor penghambat penerimaan teknologi internet
banking pada nasabah bank di Sri Lanka, menunjukkan bahwa pengelompokan usia
signifikan sebagai moderating variable bagi perceived risk, perceived trust, web
usability, dan security terhadap adoption internet banking behavior (Aboobucker
dan Bao, 2018). Pengujian lebih lanjut menunjukkan grup usia muda (dengan range
usia 18-30 tahun) lebih mudah menerima teknologi internet banking berdasarkan
perceived trust dan web usability dibanding grup usia dewasa (>30 tahun).
Sementara itu, grup usia dewasa lebih unggul atas usia muda dalam penerimaan
teknologi terkait perceived risk dan security.
Selanjutnya, pada penelitian adopsi e-banking di Finlandia, Laukkanen
menunjukkan bahwa pengelompokan usia juga signifikan sebagai moderating
variable dari intensi adopsi e-banking (Laukkanen, 2016). Berdasarkan kedua
uraian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pengelompokan usia dapat
digunakan sebagai moderating variable bagi security, performace expectancy,
effort expectancy, social influence, serta facilitating condition terhadap behavior
intention.
Pertimbangan untuk mengadopsi teknologi tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh usia yang menggambarkan karakteristik generasi seperti dikemukakan
oleh Kotler & Amstrong (2012) tentang pengelompokan usia berdasarkan generasi
antara lain genX (1964-1978) atau Millenials (1979-1994) untuk masyarakat
Amerika. Generasi millennial dibesarkan dalam kemakmuran, kecerdasan
88
teknologi, kekebalan yang dirasakan dari pemasaran berbeda dengan generasi baby
boomers atau silent generation yang lahir 1945-an
Ringkasan pengelompokan usia sebagai moderating variable pada
penelitian Aboobucker dan Bao disajikan pada Tabel 2.13 berikut:
Tabel 2.13 Pengelompokan Usia Sebagai Moderating Variable
Kelompok Usia Usia
Muda 18-30 Tahun
Dewasa >30 tahun
Sumber: Aboobucker dan Bao, 2018
Selanjtnya, pengelompokan usia sebagai moderating variable pada
penelitian (Laukkanen, 2016) tercatat pada Tabel 2.14 berikut:
Tabel 2.14 Pengelompokan Usia sebagai Moderating Variable
Kelompok Usia Usia
1 18-30 Tahun
2 31-55 Tahun
3 > 55 tahun
Sumber: Laukkanen, 2016
Sedangkan age dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua kelompok
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.15 Pengelompokan ini diselaraskan dengan teknik
analisis Multigroup Analysis (MGA) serta mengadopsi pengelompokkan yang
dilakukan oleh Aboobucker dan Bao.
Tabel 2.15 Pengelompokan Usia sebagai Moderating Variable Peneliti
Grup Usia Usia
Muda ≤ 25 tahun
Dewasa > 25 tahun
Sumber: Adopsi Aboobucker dan Bao 2018
2.1.22 Experience
Aspek pengalaman tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu unsur penting
yang berkaitan dengan perilaku. Pengalaman berinteraksi dengan teknologi yang
89
direfleksikan oleh pelanggan memberikan sejumlah pengetahuan tentang interaksi
dan relasi individu dengan teknologi. Pengalaman mempengaruhi bagaimana cara
berpikir maupun berinteraksi dengan teknologi. Mengacu pada kerucut
pengalaman yang dikemukakan oleh Edgar Dale (1960) memberikan gambaran
bahwa pengalaman sebagai bagian dari proses untuk lebih memahami bagaimana
realita.
Experience atau pengalaman, merupakan pengalaman individu dalam
menggunakan teknologi sebelumnya. Ketika seorang pengguna pernah
menggunakan teknologi sebelumnya, maka dia akan dapat mengevaluasinya
sehingga pengguna dapat memutuskan apakah dia akan berminat untuk
menggunakan teknologi di masa depan(Venkatesh et al., 2003).
Tabel 2.16 Pengelompokan Experience ebagai Moderating Variable
Berpengalaman dalam
menggunakan teknologi
Responden
Mempunyai Pengalamam
Tidak Mempunyai Pengalaman
Sumber (Venkatesh et al., 2003)
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan teknologi
oleh perantara sebagai distributor makanan dari pemerintah kepada masyarakat di
India, menyatakan bahwa moderating variabel experience merupakan salah satu
faktor peningkatan penerimaan teknologi oleh perantara yang dapat meningkatkan
kepuasan masyarakat. Dengan kata lain experience merupakan faktor utama untuk
penelitian dan praktik pada intermediasi di e-government (Chopra & Rajan, 2016).
Hal senada diungkapkan (Tarhini et al., 2016) bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara experience sebagai moderating variabel dari effort expectancy dan
90
social influence terhadap behavior intetntion serta facilitating condition terhadap
use behavior.
Tabel 2.17 Pengelompokan Experience sebagai Moderating Variable
Berpengalaman dalam
menggunakan internet
Responden
Mempunyai Pengalamam
Tidak Mempunyai Pengalaman
Sumber : (Tarhini et al., 2016)
Berdasarkan beberapa definisi diatas dan hasil penelitian diatas, peneliti
memberikan pemahaman experience sebagai peristiwa-peristiwa atau kejadian-
kejadian yang memiliki kesan pribadi, yang terjadi sebagai tanggapan atau hasil
dari adanya rangsangan atau stimulus. Experience melibatkan seluruh dalam setiap
peristiwa kehidupan dan sering merupakan hasil dari observasi langsung atau
partisipasi dalam suatu kejadian baik secara nyata, mimpi maupun virtual.
Experience biasanya tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disebabkan oleh pemicu
atau rangsangan. Konstruk Pengalaman dalam penelitian ini merupakan peristiwa
pribadi yang dialami nasabah dalam menggunakan e-banking berkartu sebelumnya.
Tabel 2.18 Pengelompokan Experience ebagai Moderating Variable
Berpengalaman dalam
menggunakan E-banking
Responden
Mempunyai Pengalamam
Tidak Mempunyai Pengalaman
Sumber: Olah data peneliti
2.1.23 Voluntariness of Use
Experience melibatkan setiap peristiwa dalam kehidupan dan sering
merupakan hasil dari observasi langsung atau partisipasi dalam suatu kejadian baik
secara nyata, mimpi maupun virtual. (DeLone, 1988) memberikan gambaran
tentang pengalaman yaitu (i) enactive (pengalaman langsung), (ii) Iconic
91
(pengalaman umtuk menggambarkan/mengilustrasikan) dan (iii) pengalaman
simbolik (Pengalaman yang sangat abstrak) memberikan landasan bagi seseorang
untuk memahami realitas dan merefleksikan diri.
Pengalaman enactive dalam konteks system e-banking atau langsung
melibatkan cara berlatih berinteraksi teknologi saat berinteraksi dengan system
perbankan. Pengalaman enactive melibatkan tindakan segera dan penggunaan indra
dan tubuh. Pengalaman ikonik melibatkan kemampuan untuk menafsirkan gambar.
Pengalaman ikonik terbatas untuk dua atau tiga indera. Sedangkan pengalaman
Simbolis melibatkan pengalaman membaca atau mendengar simbol contoh
mendengar kata "simpul" dan membentuk sebuah gambar dalam pikiran. Dalam
pengalaman simbolis, tindakan dihapus hampir sama sekali dan Pengalaman
terbatas pada pikiran dan ide-ide. (Hedley, White, Petit dit de la Roche, & Banerjea,
2006) menghubungkan refleksi pengalaman dengan otonomi. Hal ini semakin
menjelaskan bagaimana penjelasan penalaran berbasis kognitif untuk memahami
individu menggambarkan pengalaman untuk memahami situasi yang tidak pasti,
baru dan kompleks termasuk tentang teknologi sistem perbankan saat ini.
Para pelanggan belajar dari pengalamannya berinteraksi dengan sistem
layanan perbankan. Melalui panca indera, atau seperti dikemukakan Dale disebut
"pengalaman lengkap," para pelanggan menghasilkan kekayaan pengetahuan dan
perasaan bermakna tentang realitas dirinya, dunia layanan produk dan jasa
perbankan termasuk perkembangan teknologi Voluntariness of use merupakan
tingkat kesukarelaan individu dalam menggunakan teknologi. Kesukarelaan
menggunakan teknologi berasal dari dalam diri masing-masing individu, bukan
92
paksaan pihak lain (Ahmad, 2014). Selanjutnya, menyatakan bahwa kesukarealaan
akan meningkatkan minat dalam penggunaan suatu sistem. Kesukarelaan akan
memudahkan pengguna dalam menggunakan teknologi.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa poin penting dari
Voluntariness of use adalah kesukarelaan. Unsur kesukarelaan dapat mempermudah
pengguna dalam mengoprasikan penerimaan teknologi karena dorongan dari
keinginan sendiri.
Berdasarkan model UTAUT, pengaruh antar variabel adalah sebagai
berikut:
1. Pengaruh performance expectancy pada behavioral intention di pengaruhi
oleh moderator variabel gender dan age, dengan pengaruh lebih kuat pada
laki-laki, khususnya laki-laki berusia lebih muda.
2. Pengaruh effort expectancy pada behavioral intention dipengaruhi oleh
moderator variabel gender, age, dan experience, dengan pengaruh yang
lebih kuat pada wanita, khususnya wanita berusia lebih tua dan mempunyai
sedikit pengalaman dalam penggunaan sistem (early stage of experience).
3. Pengaruh social influence pada behavioral intention dipengaruhi moderator
variabel gender, age, voluntariness of use, dan experience, dengan pengaruh
lebih kuat pada wanita khususnya wanita berusia lebih tua, penggunaan
sistem secara mandatory dan memiliki sedikit pengalaman tentang
penggunaan sistem (early stage of experience).
4. Pengaruh facilitating conditions pada behavior intention dipengaruhi oleh
moderator variabel age dan experience, dengan pengaruh yang lebih kuat
93
pada pekerja dengan usia lebih tua khususnya dengan peningkatan
pengalaman.
5. Pengaruh security pada behavior intention dipengaruhi oleh moderator
variabel gender, age, experience dan voluntaries of use yang merupakan
variabel baru dalam menentukan model UTAUT tersebut
6. Behavioral intention berpengaruh terhadap use behavior.
Berdasarkan publikasi yang ada, UTAUT banyak digunakan oleh peneliti
sebagai model dasar yang diaplikasikan untuk penelitian di berbagai teknologi baik
pada konteks organisasi maupun non organisasi, sehingga menghasilkan
pengembangan maupun integrasi dari UTAUT (Venkatesh et al., 2003) Ada tiga
tipe dasar pengembangan maupun integrasi dari UTAUT hingga saat ini, yaitu:
1. Aplikasi UTAUT pada konteks yang baru, misalnya aplikasi untuk
teknologi baru, populasi pengguna yang baru, dan kondisi sosial budaya
yang baru.
2. Penambahan konstruk baru untuk memperluas cakupan UTAUT.
3. Memasukan eksogenus prediktor ke dalam variabel UTAUT.
Hasil kajian yang dilakukan oleh (Venkatesh et al., 2012) terhadap
penelitian yang dipublikasi secara resmi juga memberikan kesimpulan bahwa
kebanyakan penelitian hanya mengeluarkan bagian kecil dari kesatuan model
UTAUT, yaitu mengeluarkan moderator variabel melakukan pengembangan teori
UTAUT ke dalam konteks yang spesifik yaitu consumer context.
94
2.2 Penelitian Sebelumnya
Berikut ini adalah rangkuman beberapa penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya dan erat kaitannya dengan penelitian ini.
Tabel 2.19 Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
1 (Emad
AbuShanab &
Pearson, 2007)
Internet banking
in Jordan The
unified theory of
acceptance and
use of
technology
(UTAUT)
perspective
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Gender
5. Age
6. Experience
7. Voluntaries of
use
Multiple
Regression
Ada perubahan
variabel dari
Utaut
2 (Tarhini et al.,
2016)
Extending the
UTAUT model
to
understand the
customers’
acceptance and
use of internet
banking in
Lebanon A
structural
equation
modeling
approach
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Perceived
credibility
5. Task technology
6. Facilitation
condition
Structural
equational
model dengan
menggunakan
AMOS 20.0
Ada Penambahan
variabel security
3 (Tan & Leby
Lau, 2016)
Behavioral
intention to
adopt mobile
banking among
the millennial
generation
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Gender
5. Age
6. Experience
7. Voluntaries of
use
Multiple
Regression
Ada Penambahan
variabel security
4 (Celik, 2016) Customer online
shopping
1. Performance
Expectancy
2. Anxiety
Partial least
Square
Ada Penambahan
variabel security
95
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
anxiety within
the Unified
Theory of
Acceptance and
Use
Technology
(UTAUT)
framework
3. Effort
Expectancy
4. Social Influence
5. Gender
6. Age
7. Experience
5 (Alalwan,
Dwivedi,
Rana, &
Williams,
2016)
Consumer
adoption of
mobile banking
in Jordan
Examining the
role of
usefulness,ease
of use,
perceived risk
and self-efficacy
1. Perceived
Usefulness
2. Perceived Ease
of Use
3. Perceived Risk
4. Perceived of
usefulness
5. Behavioral
Intention
6. Adoption
Structural
equational
model dengan
menggunakan
AMOS 20.0
Ada
perkembangan
variabel baru
6 (Teo, Tan, Ooi,
Hew, & Yew,
2015)
The effects of
convenience and
speed in m-
payment
1. Social Influence
2. Performance
Expectancy
3. Effort
Expectancy
4. Facilitating
Condition
5. Perceived
transaction
convenience
6. Perceived
Transaction
speed
7. Behavioral
intention
Partial least
Square
Ada Penambahan
variabel security
7 (Carter,
Christian
Shaupp,
Hobbs, &
Campbell,
2011)
The role of
security and
trust in the
adoption of
online tax filing
1. Social Influence
2. Performance
Expectancy
3. Effort
Expectancy
4. Intention to use
5. Trust of
Independent
intermediary
6. Web Self-
efficacy
7. Perceived
security control
Multiple
Regression
Ada Penambahan
variabel security
96
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
8 (Madan &
Yadav, 2016)
Behavioural
intention to
adopt mobile
wallet:a
developing
country
perspective
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
Condition
5. Perceived Value
6. Perceived Risk
7. Perceived Trust
8. Perceived
Regulatory
Support
9. Promotional
Benefit
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
9 (Upadhyay &
Jahanyan,
2016)
Analyzing user
perspective on
the factors
affecting use
intention of
mobile based
transfer
payment
1. System and task
Fit
2. Technical
Perpective
3. User Chateristic
4. Perceived
Usefulness
5. Perceived ease of
Use
6. Use intention
Path Analysis Ada
perkembangan
variabel baru
10 (Engwanda,
2014)
Factor affecting
mobile banking
adoption in the
united states
1. Perceived
usefulness
2. Perceived ease of
use
3. Perceived
compablility
4. Perceived trust
5. Perceived
credibility
6. Perceived risk
7. Perceived cost
Path Analysis Ada Penambahan
variabel security
11 (Pratt, 2010) Factors
Affecting use of
Instant
Massaging
software by
information
technology
professionals
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence,
4. Faciltating
Condition
5. User
Statisfaction
6. Behavioral
intent to use
7. use behavior.
Multiple
Regression
Ada Penambahan
variabel security
97
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
12 (McCracken,
2011)
Factor in the
decision of
information
technology
manager to
recommend
server
virtualization
1. Perceived Ease
of use
2. Perceived
Usefulness
3. Perceived
Complicity
4. Perceived Cost
5. Effectiveness
6. Behavioral
Intent TO use,
7. Actual System
to Use
Multiple
Regression
Ada Penambahan
variabel security
13 (Hailu, 2012)) Factor
influencing
cloud-
computing
technology
adoption in
developing
countries
1. Attitudes and
perception of
need, reliability
2. cost
effectiveness
3. security-
effectiveness of
cloud computing
Multiple
Regression
Ada
perkembangan
variabel baru
14 (Breward,
2009)
Factor
Influencing
consumer
attitudes
towards
biometric
identity
authentication
technology
within the
Canadian
banking
industry
1. User Traits, User
Perception
2. Contextual
Variables
3. Model Outcome
Multiple
Regression
Ada
perkembangan
variabel baru
15 (Wolfenden,
2012)
Factor
Predicting
Oncology care
providers’
behavioral
intention to
adopt clinical
decision
support systems
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
Conditions
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
16 (Lamp,
Hargiss, &
Howard, 2012)
Information
technology
process
improvement
decision-
Making: an
exploratory
study from the
perpective of
1. IT Process,
Process Aligned
IT
2. Benefit
Improvement Of
IT.
Path Analysis Ada
perkembangan
variabel baru
98
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
process owner
and process
owner and
process
managers
17 (Demissie,
2011)
Investigating
users’ cceptance
of a learning
community
management
system (lcms) in
the
commonwealth
of the bahamas:
the unified
theory of
acceptance and
use of
technology
(utaut)
framework
approach
1. Performance
expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
Conditions
5. Behavioral
Intention
6. Use Behavior
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
18 (AlAjmi,
2011)
Participatory
action research:
an exploration
of electronic
banking
adoption in
Saudi Arabia
1. Social Influence
2. Awareness Of
Services
3. Performance
Expectancy
4. Effort
Expectancy
5. Self Efficacy
6. Facilitating
Conditions
7. Attitude Towards
Use
8. Behavioral
intention
9. Online Banking
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
19 (Kijsanayotin,
2007)
Penetration,
Acceptance and
Use of Health
Information
Technology in
Thailand’s
Community
Health Center
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. IT Knowledge
5. Facilitating
Condition
Intention to Use
6. Voluntariness
7. IT Use
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
99
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
20 (Zecca, 2010) Predicting the
use of paired
programming:applying the
attitudes of
application
development
managers
through the
technology
acceptance
mode
1. Perceived
Usefulness
2. Perceived Ease
of Use
3. Behavior Toward
Usage
4. Actual Usage
Structural
equational
model
Ada
perkembangan
variabel baru
21 (Birch, 2009) Preservice
teachers’
acceptance of
information and
communication
technology
integration in
the
classroom: Ap
plying the
Unified Theory
of Acceptance
and Use of
Technology
model
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. IT Knowledge
5. Facilitating
Condition
Intention to Use
6. Voluntariness
7. IT Use
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
22 (Guardado,
2012)
Process
acceptance and
adoption by it
software project
practitioners
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
condition
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
23 (Donaldson,
2011)
Student
acceptance of
mobile learning
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
Conditions
5. Perceived
Playfulness
6. Self
Management of
Learning
Structural
equational
model
Ada
perkembangan
variabel baru
24 (Seal, 2006) Veterinarian
acceptance of
distance
learning
technologies for
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
100
No Peneliti Judul
Penelitan
Variabel Analisis Perbedaan
dengan
Penelitian ini
continuing
education: An
Application of
unified theory of
acceptance and
use of
technology
model
4. Facilitating
Conditions.
25 (Chea, 2006) Understanding
the roles of
emotion in
technology
acceptance
1. Performance
Expectancy
2. Effort
Expectancy
3. Social Influence
4. Facilitating
condition
Structural
equational
model
Ada Penambahan
variabel security
Dalam hal ini Peneliti memakai penelitian terdapat beberapa kesamaan variabel
yang digunakan untuk melihat penentu behavioral intention yaitu performance
expectancy, effort expectancy, social influence, facilitating conditions dan security
Tabel 2.20 Penelitian Terdahulu Variabel Independen
PENELITI DEFINISI SECURITY INDIKATOR
SECURITY
(Rahi, Ghani,
Alnaser, et al.,
2018))
Perceived Technology
Security didefinisikan
sebagai persepsi nasabah
terkait keamanan transaksi
saat menggunakan internet
banking.
1. Keamanan saat input informasi
rahasia/sensitif pada saat
menggunakan internet banking.
2. Persepsi bahwa Internet banking mana
secara keseluruhan.
(Chiu et al., 2017) Security atau lengkapnya
Online Security dalam
penelitian Chiu, et al
didefinisikan sebagai
persepsi keamanan atas
data pribadi yang bersifat
privasi, seperti PIN,
password, dan nomor
rekening saat melakukan
transaksi, khususnya
transfer uang.
1. Persepsi keamanan saat melakukan
transfer uang.
2. Persepsi keamanan tentang tidak
adanya third party (hacker) yang akan
mencuri informasi sensitif (PIN,
password, nomor rekening).
101
PENELITI DEFINISI SECURITY INDIKATOR
(S. Singh &
Srivastava, 2018)
Security didefinisikan
sebagai mekanisme
perbankan untuk
menjamin keamanan
transaksi nasabah melalui
mobile banking.
1. Jaminan bahwa informasi yang diinput
dalam mobile banking aman dari
pencurian/hilang.
2. Jaminan bahwa transaksi aman sampai
rekening bank yang dituju.
3. Kenyamanan saat bertransaksi dengan
mobile banking.
PERFORMANCE EXPECTANCY
(Ahmad, 2014) Tingkat dimana seseorang
percaya bahwa
penggunaan sistem akan
membantunya untuk
mendapatkan dan
meningkatkan keuntungan
dalam pekerjaannya
1. Persepsi terhadap pengguna
2. Motivasi Ekstrinsik
3. Kesesuaian pekerjaan pengguna
4. Keuntungan Relatif
5. Ekspektasi Hasil
(Rahi, Ghani,
Alnaser, et al., 2018)
Mendefiniskan
performance expectancy
sebagai sejauh mana
persepsi pengguna kinerja
unggul dengan
penggunaan internet
banking pada tugas-
tugasnya, serta percaya
akan membantu untuk
mencapai manfaat dalam
melaksakan operasional
perbankan.
1. Persepsi terhadap pengguna internet
banking
2. Motivasi Ekstrinsik pengguna
internet banking
3. Kesesuaian pekerjaan pengguna
internet banking
4. Keuntungan Relatif menggunakan e-
banking
(Liebenberg et al.,
2018)
menyatakan performance
expectancy dapat dilihat
sebagai tingkat seseorang
percaya bahwa
menggunakan sistem
eBook Specialist learning
management System
(SLMS) di Afrika Selatan
akan membantu
meningkatkan kualitas
pekerjaannya
1. Persepsi terhadap pengguna
2. Motivasi Ekstrinsik pengguna
3. Kesesuaian dengan pekerjaan
4. Keuntungan Relatif
EFFORT EXPECTANCY
(Ahmad, 2014) tingkat kemudahan di
dalam penggunaan sistem
1. Kemudahan pengguna
2. Kemudahan pengguna untuk
mengoperasikan
3. Kemudahan pengguna untuk
mengerjakan
(Liebenberg et al.,
2018)
sebagai tingkat
kemudahan yang terkait
dengan penggunaan sistem
tertentu
1. Kemudahan pengguna untuk
memahami eBook
2. Kemudahan interaksi dengan eBook
3. Kemudahan pengguna untuk
mengerjakan eBook
4. Kemudahan pengguna untuk
mengoperasikan eBook
102
PENELITI DEFINISI SECURITY INDIKATOR
Phichitchaiso dan
Naenna (2013)
tingkat kemudahan yang
terkait dengan penggunaan
teknologi informasi
1. Kemudahan penggunaan
2. Tersedianya layanan bantuan
meningkatkan pelayanan
3. Kemudahan penanganan saat muncul
kesalahan berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi
4. Up to-date
SOCIAL INFLUENCE
Singh dan Srivastava
(2018)
Social influence dapat
didefinisikan sebagai
suatu tindakan, atau
kebiasaan tertentu
(particular behavior)
orang lain yang dapat
mempengaruhi persepsi
seseorang
1. Teman dan orang terdekat dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan mobile banking.
2. Media massa (TV, Koran, artikel,
radio) dapat mempengaruhi
keputusan menggunakan mobile
banking.
3. Keputusan menggunakan mobile
banking dipengaruhi oleh banyaknya
circle terdekat yang sudah
menggunakan
Rahi, et al. (2018) Konsep social influence
Rahi, et al dikembangkan
dari konsep subjective
norm, social factors, dan
image.
Social influence dapat
berbeda relatif terhadap
lingkungan user, jika di
tempat kerja hampir pasti
kolega, sedang di rumah
kemungkinan keluarga.
1. Status orang terdekat yang sudah
menggunakan internet banking dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan internet banking.
2. Saran orang terdekat dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan internet banking.
3. Orang yang dianggap memiliki profil
baik (ahli, dapat dipercaya) dapat
mempengaruhi keputusan
menggunakan internet banking.
4. Prestige yang diasosiasikan kepada
orang yang menggunakan internet
banking mempengaruhi keputusan
menggunakan internet banking.
FACILITATING CONDITION
Rahi, et al. (2018) Konsep facilitating
condition Rahi, et al
dikembangkan dari konsep
perceived behavioral
control dan compatibility.
Facilitating condition
dalam konteks penelitian
penerimaan internet
banking Rahi, et al. dapat
didefinisikan sebagai efek
organisasi dan dukungan
infrastruktur untuk
menggunakan internet
banking, dalam bentuk
pelatihan, knowledge
1. Sumber daya yang dimiliki saat ini
berpengaruh pada penerimaan
teknologi internet banking.
2. Pengetahuan yang dimiliki saat ini
berpengaruh pada penerimaan
teknologi internet banking.
3. Kompatibilitas internet banking
dengan teknologi lain yang digunakan
saat ini berpengaruh terhadap
penerimaan teknologi internet
banking.
4. Tersedianya rekan sejawat atau
kolega yang siap membantu adaptasi
internet banking berpengaruh
terhadap penerimaan teknologi
internet banking.
103
PENELITI DEFINISI SECURITY INDIKATOR
sharing, dan dukungan
infrastruktur lainnya
(Rahi, et al. 2018)
Salimon, et al
(2016)
Facilitating condition
dapat didefinisikan
sebagai persepsi user atas
tersedianya dukungan dan
sumber daya yang
memadai untuk
menggunakan teknologi
yang diajukan kepadanya.
Facilitating condition
adalah faktor yang relatif
dipengaruhi oleh
lingkungan adopsi
teknologi yang
bersangkutan, jika itu
hanya membutuhkan
pengetahuan user, maka
desain user interface yang
nyaman atau familiar
dengan aplikasi sejenis
sudah cukup disebut
sebagai facilitating
condition, namun bila
konteksnya sebesar
logistik pada e-commerce,
dukungan infrastruktur
logistik merupakan
facilitating condition bagi
adopsi e-commerce
tersebut.
1. Infratruktur internet, termasuk
kecepatan internet yang memadai,
berpengaruh terhadap penerimaan
teknologi online banking.
2. Tersedianya bantuan teknis seperti
layanan konsumen berpengaruh
terhadap penerimaan teknologi online
banking.
3. Kemampuan dan pengetahuan saat ini
berpengaruh terhadap penerimaan
teknologi online banking.
4. Dukungan saat terjadi masalah
kegagalan teknis terhadap transaksi
berpengaruh terhadap penerimaan
teknologi online banking.
Tabel 2.21 Penelitian Terdahulu Variabel Dependen
AUTHOR DAN
TAHUN
PENELITIAN
PENELITIAN INDIKATOR
BEHAVIOR INTENTION
Liebenberg, et al
(2018)
Acceptance of ICT:
Applicability of the
Unified Theory of
Acceptance and Use of
Technology (UTAUT) to
South African Students
1. Tersedianya kesempatan mencoba,
dapat mempengaruhi penerimaan
eBook dan SLMS.
2. Penggunaan suatu eBook dapat
mempengaruhi penggunaan eBook
lainnya.
104
AUTHOR DAN
TAHUN
PENELITIAN
PENELITIAN INDIKATOR
3. Tersedianya paket buku/modul e-
learning yang mirip, dapat
mempengaruhi penerimaan eBook
atau modul e-learning lainnya.
Phichitchaiso dan
Naenna (2013)
Factors Affecting The
Adoption of Healthcare
Information Technology
1. Tersedianya teknologi terbaru yang
lebih baik dapat mempengaruhi
penerimaan teknologi baru bidang
healthcare.
2. Tersedianya teknologi baru yang dapat
meningkatkan efisiensi pekerjaan
mempengaruhi penerimaan teknologi
baru bidang healthcare.
Tabel 2.22 Penelitian Terdahulu Gender, Age, Experiance dan Voluntaries of Use
AUTHOR DAN
TAHUN
PENELITIAN
PENELITIAN GROUP
GENDER
(Aboobucker &
Bao, 2018))
What obstruct customer
acceptance of internet
banking? Security and
privacy, risk, trust and
website usability and the
role of moderators
1. Laki-laki
2. Perempuan
(Tarhini et al.,
2016)
Extending the UTAUT
model to understand the
customers acceptance and
use of internet banking in
Lebanon: A structural
equation modelling
approach
1. Laki-laki
2. Perempuan
(Patel & Patel,
2018)
Adoption of internet
banking services in
Gujarat: an extension of
TAM with perceived
security and social
Influence
1. Laki-laki
2. Perempuan
AGE
(Aboobucker &
Bao, 2018)
What obstruct customer
acceptance of internet
banking? Security and
privacy, risk, trust and
website usability and the
role of moderators
1. Muda (18-30 tahun)
2. Dewasa (> 30 tahun)
105
AUTHOR DAN
TAHUN
PENELITIAN
PENELITIAN GROUP
(Laukkanen, 2016) Consumer adoption versus
rejection decisions in
seemingly similar service
inovations:
The case of the Internet
and mobile banking
1. 18-30 tahun
2. 31-55 tahun
3. > 55 tahun
EXPERIENCE
(Chopdar, Korfiatis,
Sivakumar, &
Lytras, 2018)
Modelling Intermediary
Satisfaction with
Mandatory Adoption of E-
government
Technologies for Food
Distribution
1. Memiliki pengalaman
2. Tidak memiliki pengalaman
(Ahmad, 2014) Unified Theory of
Acceptance and Use of
Technology (UTAUT): A
Decade of Validation and
Development
1. Memiliki pengalaman
2. Tidak memiliki pengalaman
VOLUNTARINESS OF USE
(Ahmad, 2014) Unified Theory of
Acceptance and Use of
Technology (UTAUT): A
Decade of Validation and
Development
1. Sukarela
2. Terpaksa
2.2.1 STATE OF THE ART
Berdasarkan hasil kajian terdahulu dengan penelitian ini yang membedakan
antara lain :
Variabel yang dipakai adalah sesuai dengan variabel UTAUT menurut (Venkatesh
et al., 2003) dengan menambahkan security sebagai variabel yang terbaru yang
mana varibel security ini belum pernah diteliti sebelumnya dengan perbankan di
Indonesia.
Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan PLS MGA (Partial
Least Square Multi Group Analysis) yang mana semua faktor dari moderator
variabel bisa dihitung. Persamaan dan perbedaan akan terlihat dengan
menggunakan metode ini. Metode ini baru dikembangkan pada tahun 2016.
106
Objek Penelitian peneliti ini dilakukan di bank Pemerintah yang pertama
kali menggunakan sistem electronic banking di Indonesia, sedang penelitian lain
sistem electronic banking di luar Indonesia sudah dilakukan tetapi indikator teori
tidak sama dengan penelitian yang dilakukan sekarang. Oleh sebab itu, dengan hasil
pengamatan ini dapat dilihat perbedaan yang menggunakan UTAUT di dalam
maupun di luar negeri.
2.3 Kerangka Pemikiran
Penerimaan e-banking diinvestigasi melalui model UTAUT. Variabel-
variabel yang mempengaruhi penerimaan e-banking variabel yang berpengaruh
terhadap behavioral intention. Ada beberapa alasan dalam pemilihan model
UTAUT. Pertama adalah model UTAUT merupakan penyempurnaan dari berbagai
model penerimaan adopsi teknologi. Kedua adalah model UTAUT didasarkan pada
consumer context. Penelitian ini mengkaji penerimaan e-banking dengan responden
adalah nasabah bank pemerintah (consumer content). Responden tidak hanya
berperan sebagai orang yang difasilitasi oleh sebuah sistem dari pihak bank tetapi
juga sebagai individu diluar konteks nasabah bank. Penelitian ditujukan kepada
nasabah pengguna e-banking.
Model UTAUT pada Gambar 2.15, variabel habit dan use behavior
merupakan hasil dari pengamatan penggunaan secara longitudinal. Penelitian ini
adalah penelitian cross sectional, sehingga variabel yang terkait dengan
longitudinal research tidak relevan untuk di observasi.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Venkantesh (2012) memberikan
kesimpulan bahwa, sebagian besar penelitian hanya mengeluarkan bagian kecil dari
107
kesatuan model UTAUT, yaitu dengan mengeluarkan variabel moderator dalam
konstruk model penelitian. Tujuan Venkatesh et al (2012) memasukkan moderator
variabel pada model UTAUT adalah memberikan implikasi kepada berbagai pihak
agar dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan terkait segmentasi khususnya
dalam menentukan strategi pasar. Terkait dengan objek penelitian ini, moderator
variabel age merupakan variabel yang homogen dalam konteks penerimaan sebuah
sistem di sebuah universitas, yang siswanya memiliki selisih umur tidak terpaut
jauh. Berbeda konteks, pada saat berbicara penerimaan sistem di sebuah perusahaan
dengan umur yang sangat bervariasi. Sedangkan untuk moderator variabel
experience harus dilakukan pengamatan secara longitudinal. Penelitian lain yang
tidak mengikutsertakan moderator variabel, terkait penerimaan sebuah sistem dan
siswa sebagai respondennya, juga dilakukan oleh Jong et al (2009), Wang et al
(2009), dan Nassuora (2012). Atas dasar berbagai paparan tersebut, moderator
variabel yang ada pada model UTAUT yaitu gender, age, dan experience
diobservasi dalam penelitian ini.
Kerangka pemikiran pada penelitian ini disusun berdasarkan hubungan
beberapa variabel pada model UTAUT yang relevan untuk diobservasi.
2.3.1 Hubungan antara Performance Expectancy dan Behavioral Intention
Menurut V. Venkatesh (2012), performance expectancy adalah tingkat
kepercayaan bahwa penggunaan sebuah teknologi akan memberikan keuntungan di
dalam melakukan kegiatan tertentu. Variabel ini berpengaruh terhadap behavioral
intention. Performance expectancy pada penelitian ini mencerminkan tingkat
108
kepercayaan bahwa penggunaan e-banking akan meningkatkan keuntungan di
dalam transaksi perbankan.
Gambar 2.13 Hubungan performance expectancy dan behavioral intention
Sumber(Venkatesh et al., 2003), (Zhou, Lu, & Wang, 2010a), (Gounaris &
Koritos, 2008), (Henderson, 1995), (Turban et al., 2012), (Shaikh & Karjaluoto,
2014)
Ekspektasi kinerja dalam penggunaan e-banking akan meningkatkan
efisiensi dan efektifitas dalam jasa bank. Dengan kata lain penggunaan internet
banking akan menghasilkan peningkatan ekspektasi kinerja, yang akan
mempengaruhi niat dari perilaku (Zhou, Lu, & Wang, 2010).
Bank adalah salah satu industri yang paling efisien dalam memanfaatkan
teknologi internet, terutama karena sifat informatif yang berwujud layanan
perbankan yang disediakan (Gounaris & Koritos, 2008). Electronic banking telah
menjadi strategi jangka panjang, dikarenakan memungkian biaya penghematan,
meningkatkan produktivitas, meningkatkan pelayanan perbankan, Customises
layanan perbankan dan meminimalkan kesalahan dari staf perbankan dalam
melakukan tugas-tugas rutin operasi bank tersebut, sehingga akan meningkatkan
ekspektasi kinerja terhadap niat perilaku dalam menggunakan electronic banking
(Henderson, 1995). Dengan menawarkan layanan electronic banking, bank yang
tidak harus menjaga cabang mereka buka 24 jam sehari untuk memberikan layanan
perbankan, sehingga biaya rendah akan masuk ke sektor perbankan (Turban, Lee,
King, & and Chung, 2012).
Behavioral Intention Performance
Expectancy
109
Ekspektasi kinerja adalah flow control yang membuat internet banking lebih
otonomi yang memungkinkan pengguna untuk fokus pada transaksi keuangan
mereka. Dimana otonomi akan memberikan pengaruh positif terhadap niat perilaku
pada penggunan electronic banking (Shaikh & Karjaluoto, 2014).Disini peneliti
mendefiniskan ekspektasi kinerja dalam electronic banking akan mempengaruhi
niat perilaku melakukan transaksi dalam penggunaan teknologi bertransaksi.
2.3.2 Hubungan antara Effort Expectancy dan Behavioral Intention
Menurut V. Venkatesh (2012), effort expectancy adalah tingkat kemudahan
di dalam penggunaan teknologi. Variabel ini berpengaruh terhadap behavioral
intention. Effort expectancy pada penelitian ini mencerminkan tingkat kemudahan
di dalam penggunaan e-banking. Tingkat kemudahan ini akan berpengaruh
terhadap tingkat keinginan untuk terus menggunakan e-banking.
Gambar 2.14 Hubungan effort expectancy dan behavioral intention
Sumber (Venkatesh et al., 2003), (Doll & Torkzadeh, 1988), (Lee, 2009),
(Ganapathy, Ranganathan, & Sankaranarayanan, 2004), (Aboobucker & Bao,
2018), (Celik, 2016),
Indikator lain yang penting adalah keinginan pengguna dalam berusaha
yang mengacu ke dalam persepsi niat perilaku pengguna yang membutuhkan usaha
yang minimal dalam penerapan pengunaan teknologi (Doll, 1988). Keinginan
pengguna dalam kemudahaan mengadaptasi teknologi tertentu ke dalam rutinitas
kerja yang ada. Contohnya keinginan pengguna akan meningkat dengan mudah
Effort Expectancy Behavioral Intention
110
apabila memakai teknologi yang sesuai dengan apa yang diinginkan dalam perilaku
niat pengguna (Lee, 2009).
Mengukur dari keinginan pengguna akan mempengaruhi niat perilaku,
dalam hal ini akan memungkinkan lembaga keuangan untuk mendesain ulang
rencana bisnis e-banking untuk meningkatkan operasi dan desain situs mereka
(Ganapathy et al., 2004) hal senada di maksud oleh (Aboobucker & Bao, 2018)
dalam kemudahan memakai internet banking hal kemudahan pemakaian
merupakan faktor yang utama dalam menentukana niat perilaku (behavioral
intention) selain security juga mendapat perhatian yang khusus.
Selain itu peneliti (Celik, 2016) menjelaskan betapa penting niat perilaku
terhadap kemudahan suatu teknologi dalam belanja online. Pada saat dilakukan
penelitian tersebut hubungan antara dua variabel tersebut sangat kuat dan significat
Pada penelitian ini, peneliti mendefinisikan tingkat kemudahan di dalam
penggunaan teknologi e-banking akan mempengaruhi niat perilaku dalam
mengunakan teknologi dalam melakukan transaksi tersebut.
2.3.3 Hubungan antara Social Influence dan Behavioral Intention
Menurut V. Venkatesh (2012), social influence adalah persepsi pengguna
terhadap orang yang penting baginya meyakinkan bahwa ia harus menggunakan
teknologi. Variabel ini berpengaruh terhadap behavioral intention (tingkat minat
untuk menggunakan teknologi) e-banking.
111
Gambar 2.15 Hubungan Social Influence dan Behavioral Intention
Sumber (Venkatesh, Thong, & Xu, 2012), (Gounaris & Koritos, 2008), (Lee,
2009), (Celik, 2016),(Teo, Tan, Ooi, & Lin, 2015)
Penggunaan teknologi di dalam lingkungan sosial seseorang akan
berpengaruh terhadap reputasi seseorang tersebut. Pengguna akan mengikuti
langkah orang yang menggunakan internet dikalangannya sesuai dengan niat
perilakunya (Gounaris & Koritos, 2008).
Dukungan pengaruh sosial dari lingkungan sangat penting untuk
memperkenalkan e-banking kepada pengguna none-banking dalam suatu
organisasi. Tingginya tingkat saling ketergantungan diantara pekerja dalam
melaksanakan tugas tertentu, dukungan sosial dari rekan-rekan sangat penting
untuk pencapaian tujuan tertentu seperti peningkatan produktivitas dalam suatu
organisasi sesuai dengan niat perilaku pekerja tersebut dalam penggunaan e-
banking (Lee, 2009). Peneliti lain (Celik, 2016) menyatakan pengaruh yang sosial
merupakan salah satu faktor seorang tersebut dalam niat perilaku seseorang dalam
belanja online hal ini ditunjukkan dengan pengaruh yang signifikan antara dua
variabel tersebut. Sedang (Teo, Tan, Ooi, & Lin, 2015) menyatakan dengan ada
pengaruh sosial akan mempercepat pembayaran yang dilakukan seperti yang
dilihat dengan ada pembayaran elektronik akan memudah pembayaran tanpa harus
melakukan antrian dalam pembelanjaan tersebut. Pada penelitian ini, peneliti
mendefinisikan pengaruh sosial akan memiliki efek yang lebih kuat pada pengguna
Social Influence Behavioral Intention
112
teknologi dimana pengaruh sosial sangat penting dalam tahap awal penerimaan
teknologi.
2.3.4 Hubungan antara Facilitating Condition dan Behavioral Intention
Menurut V. Venkatesh (2012) Facilitating Condition adalah persepsi
pengguna terkait ketersediaan sumber daya dan dorongan untuk melakukan
penggunaan. Variabel ini berpengaruh terhadap Behavioral Intention (tingkat
keinginan untuk terus menggunakan teknologi). Facilitating Condition pada
penelitian ini, mencerminkan bahwa persepsi pengguna terkait ketersediaan sumber
daya dan dorongan untuk melakukan penggunaan e-banking. Tingkat persepsi ini
akan mempengaruhi tingkat keinginan untuk terus menggunakan e- banking.
Gambar 2.16 Hubungan Facilitating Condition dan Behavioral Intention
Sumber (Venkatesh et al., 2012), (Ajzen, 1991), (Pratt, 2010), (Madan & Yadav,
2018)
Kondisi memfasilitasi adalah indikator selanjutnya yang memiliki pengaruh
langsung kepada penerimaan e-banking. Hal ini mengacu kepada ketersedian
sumber daya seperti dokumen tertulis dan infrastruktur teknologi dalam mendukung
penggunaan teknologi yang baru (Ajzen, 1991). Menurut peneliti (Pratt, 2010)
dengan ada infrastructur atau jaringan akan mendorong seseorang atau niat perilaku
dalam menggunakan penerimaan pesan yang instant. Peneliti lainya (Madan &
Yadav, 2018) menyatakan telah terjadi lonjakan dalam jumlah perusahaan yang
menawarkan solusi pembayaran berbasis seluler kepada pelanggan mereka di pasar
yang berbeda. Semakin banyak bisnis sekarang mengirim informasi mengenai
Facilitating Conditions Behavioral Intention
113
penagihan, peluncuran produk baru, konfirmasi pembayaran, dan detail lainnya
langsung ke ponsel pelanggan. Dirasakan bahwa karena kelebihan yang tertanam,
teknologi e-wallet akan memiliki kemampuan dan potensi untuk tumbuh sebagai
saluran pembayaran alternatif oleh sebab itu semakin baik infrastructure atau
fasilitas akan mempengaruhi minat perilaku seorang.
2.3.5 Hubungan antara Security dan Behavioral Intention
Venkatesh (2012) menyatakan bahwa security adalah keamanan yang
berasal dari penggunaan sebuah teknologi. Variabel ini berpengaruh terhadap
Behavioral Intention. Security pada penelitian ini mencerminkan keamanan yang
berasal dari penggunaan e-banking. Security ini akan mempengaruhi tingkat
keinginan untuk terus menggunakan e-banking.
Gambar 2.17 Hubungan Security dan Behavioral Intention
Sumber (Mauro C. Hernandez & Afonso Mazzon, 2007), (Chellappa &
Pavlou, 2002), (Lebek, Uffen, Neumann, Hohler, & H. Breitner, 2014), (Jin, Yong
Park, & Kim, 2008), (Komatsu, Takagi, & Takemura, 2013)
Security tidak bisa lepas dari privasi. Masalah privasi telah terbukti secara
langsung menjadi hambatan penting untuk layanan online (Mauro C. Hernandez &
Afonso Mazzon, 2007). Para peneliti mengusulkan, keamanan dalam e-banking
didefinisikan sebagai ancaman yang menciptakan “keadaan, kondisi atau acara
dengan potensi untuk menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan data atau sumber
daya jaringan yang membuat perusakan, pengungkapan, modifikasi data, penipuan
Security Behavioral Intention
114
dan penyalahgunaan”. Persepsi konsumen dari keamanan online menimbulkan
persepsi yang berbeda. Pengukuran tingkat keamanan yang objektif dalam setiap
transaksi tidak mudah sesuai dengan persepsi konsumen terhadap keamanan
(Chellappa & Pavlou, 2002).
Menurut (Lebek et al., 2014) ada enam teori yang menghubungkan security
terhadap behavioral intention dalam penelitian terhadulu yaitu; Theory of
Reasoned Action/Theory of Planned Behavior (TRA/TPB), General Deterrence
Theory (GDT), Protection Motivation Theory (PMT) and Technology Acceptance
Model (TAM)] and learning theories [Constructivism, social cognitive theory
(SCT) and social learning theory (SLT). Sehingga teori tersebut membuat security
menjadi penting, sedangkan dalam penelitian UTAUT faktor security belum
menjadi faktor yang dominant dalam menilai perilaku sesorang terhadap
teknologi.
Menurut (Jin et al., 2008) Namun, baru-baru ini, para peneliti telah mulai
menyadari bahwa keamanan komputer bukan hanya masalah alat teknologi dan
perilaku pengguna (behavioral intention) terkait keamanan pengguna sangat
penting untuk mencegah insiden keamanan komputer agar tidak dimasuki para
hacker dalam pencurian data atau password pengguna sistem tersebut
Hal senada menurut (Komatsu et al., 2013) keamanan informasi seperti
fenomena individu yang bersedia mengambil tindakan dalam keamanan, tetapi
tidak adanya penelitian yang terkait dengan perilaku individu dalam pengambilan
keputusan. Penelitian ini adalah untuk menganalisis survei tentang perilaku
115
individu (behavioral intention) yang menerapkan langkah-langkah keamanan
informasi
2.3.6 Hubungan antara Behavioral Intention dan Use Behavioral
Perilaku penggunaan teknologi informasi (use behavior) didefinisikan
sebagai intensitas dan atau frekuensi pemakai dalam menggunakan teknologi
informasi. menyatakan bahwa perilaku seseorang perilaku seseorang merupakan
ekspresi dari keinginan atau minat seseorang (intention), dimana keinginan tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, perasaan (affect), dan konsekuensi-
konsekuensi yang dirasakan (perceived consequences).
Gambar 2.18 Hubungan Behavioral Intention dan Use Behavior
Sumber(Thompson et al., 1991), (Venkatesh et al., 2003), (Yu, 2012),
(Khalilzadeh, Ozturk, & Bilgihan, 2017)
Perilaku penggunaan teknologi informasi sangat bergantung pada evaluasi
pengguna dari sistem tersebut. Jadi, penggunaan sistem adalah indikator dari
penilaian kinerja terhadap pemanfaatan dan penerimaan sebuah teknologi
informasi. Baik atau buruknya sebuah teknologi informasi sangat tergantung dari
apa yang dirasakan oleh pengguna.Secara empiris, hubungan minat penggunaan
dengan perilaku penggunaan teknologi telah terbukti dibeberapa penelitian.
(Thompson et al., 1991) dalam penelitiannya telah menguji dan menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan positif antara minat pemanfaatan dengan penggunaan
teknologi informasi dan keyakinan seseorang akan kegunaan teknologi informasi
akan meningkatkan minat pengguna. (Venkatesh et al., 2003) juga menemukan hal
Behavioral Intention Use Behavior
116
yang sama, bahwa terdapat adanya hubungan langsung dan signifikan antara minat
pemanfaatan teknologi informasi (Behavioral Intention) terhadap penggunaan
teknologi informasi (Use Bahavior). Hal senada juga diungkapkan oleh (Yu, 2012)
niat perilaku sangat berhungan dengan jumlah pemakaian yang dilakukan
seseorang dalam memakai mobile banking dengan makin seringnya jumlah
pemakaian akan semakin signifikan behavioral intentention. Sedangkan pada
penelitian (Khalilzadeh et al., 2017) menyatakan NFC (Near Field
Communication) teknologi dipakai di restaurant industri dimana semakin sering
pelanggan mempergunakan semakin cepat sistem dalam menindai pesanaan yang
ada yang mempunyai hubungan dengan niat perilaku.
2.3.7 Hubungan antara moderating variabel Gender Terhadap Security,
Performance Expectancy, Effort Expectancy dan Facilitating Condition
melalui Behavioral Intention
Pada variabel ini (Venkatesh et al., 2003) menyatakan pengambilan dari
technological acceptance model (TAM) dan Theory Plan Behavior (TPB) yang
menunjukan ke semua variabel kecuali kepada social influence yang mana social
influence bukan faktor utama dalam menilai moederating varaiabel Gender. Hal
senada juga di berikan oleh berapa para ahli dengan menggunakan Gender sebagai
moderating variabelnya (Celik, 2016) pada penelitian customer online dengan
menggunakan metode UTAUT, (E. AbuShanab & Pearson, 2007) sedangan
penelitian internet banking di Jordan juga mengggunakan model UTAUT dalam
penelitian.
117
Gambar 2.19 Moderating Variabel Gender
Sumber: (Venkatesh et al., 2003), (Celik, 2016), (E. AbuShanab & Pearson, 2007)
2.3.8 Hubungan antara moderating variabel Age terhadap Security,
Performance Expectancy, Effort Expectancy, Social Influence dan
Facilitating Condition melalui Behavioral Intention.
Pada variabel Age (Venkatesh et al., 2003) menunjukkan kepada semua
variabel dengan menggunakan Theory Plan Behavior (TPB) hal yang sama juga
ditunjukkan pada penelitian internet banking di Jordan juga mengunakan variabel
age sebagai moderatornya hal yang sama juga di teliti para ahli (Celik, 2016), (E.
AbuShanab & Pearson, 2007)
118
Gambar 2.20 Moderating Variabel Age
Sumber: (Venkatesh et al., 2003), (Celik, 2016), (E. AbuShanab & Pearson, 2007)
2.3.9 Hubungan antara moderating variabel Experience terhadap Security,
Performance Expectancy, Social Influence dan Facilitating Condition
melalui Behavioral Intention
Hubungan antara moderating variabel Experience dengan variabel lainnya
ada enam theori yang melatar belakangi yaitu: TRA, TAM, TPB, C-TAM-TPB,
MPCU, dan IDT sehingga (Venkatesh et al., 2003) menyatakan semua berhubungan
dengan variabel endogen kecuali effort expectancy yang bukan variabel yang dominan
untuk diteliti. Hal ini diakui oleh peneliti (Owusu Kwateng, Osei Atiemo, & Appiah, 2018)
juga menyatakan bahwa Experience juga melatar belakangi pembentukan UTAUT pada
penelitian mereka dengan unit analysis adalah mobile banking. Sedangkan (Bhatiasevi,
2016) juga menyatakan dalam meta anlaysis di berbagai negara experience merupakan
faktor yang dominant dalam pembetukan konsep UTAUT
119
Gambar 2.20 Moderating Variabel Experience
Sumber: (Venkatesh et al., 2003), (Owusu Kwateng et al., 2018), (Bhatiasevi,
2016)
2.3.10 Hubungan antara moderating variabel Volunetaries of Use terhadap
Security dan Social Influence dan melalui Behavioral Intention
Moderating variabel Volunataries of Use dilatar belakangi oleh dari teori TRA,
TAM, TPB, dan IDTsehingga dengan ini menyatakan pengunaan suatu sistem dilandasi
keterpaksaan atau suka rela pengguna sistem tersebut. Menurut (Gharaibeh, Arshad, &
Gharaibeh, 2018) hubungan antara kerelaaan pemakai suatu sistem sangat
dipengaruhi oleh Social Influence melalui Behavioral Intention didalam penelitian
mereka adopsi mobile banking service. Hal ini juga diakui oleh (Warsame & Ireri,
2018) dalam penelitian mereka pada bidang microfinance service dengan
menggunakan moderation efek dalam penelitian mereka. (Owusu Kwateng et al.,
2018) juga menyatakan bahwa meniliti electronic banking service dengan
menggunakan model UTAUT, Mobile banking (m-banking) dapat didefinisikan
120
sebagai layanan yang ditawarkan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya yang
memungkinkan pelanggan dari perusahaan tersebut untuk melakukan berbagai
operasi perbankan melalui perangkat mobile, seperti ponsel, tablet atau Asisten
digital pribadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji faktor-faktor yang
mempengaruhi pelanggan untuk mengadopsi dan selanjutnya menggunakan
layanan m-banking di Ghana menggunakan UTAUT.untuk tingkat security
dikemukan oleh (Komatsu et al., 2013) menyatakan security tersebut berpengaruh
kepada behavioral intentention yang dipengaruhi oleh faktor kesukarealaan
pengguna
Gambar 2.21 Moderating Variabel Voluntariness of Use
Sumber: (Gharaibeh et al., 2018), (Warsame & Ireri, 2018),(Owusu Kwateng et
al., 2018)
121
2.4 Kerangka pemikiran
Gambar 2.22 Paradigma Penelitian
Sumber: Dari Berbagai Sumber Diolah oleh Penulis
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan pada sub bab
sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Ada pengaruh signifikan Performance Expectancy, Effort Expectancy,
Social Influence, Facilitating Condition, terhadap Behavioral Intention
122
2. Ada pengaruh signifikan Performance Expectancy, Effort Expectancy,
Social Influence, Facilitating Condition, Security terhadap Behavioral
Intention
3. Ada pengaruh signifikan Behavioral Intention terhadap Use Behavior.
4. Ada pengaruh signifikan Performance Effectancy, Effort Expectancy Social
Influence, Facilitating Condition, Security terhadap Use Behavioral melalui
Behavioral Intention pada nasabah bank pemerintah.
5. Gender merupakan moderating variabel dari Performance Expectancy,
Effort Expectancy, Security terhadap Behavioral Intention pada nasabah
bank pemerintah.
6. Age merupakan moderating variabel dari Performance Expectancy, Effort
Expectancy, Social Influence, Facilitating Condition dan Security terhadap
Behavioral Intention pada nasabah bank pemerintah.
7. Experience merupakan moderating variabel dari Effort Expectancy, Social
Influence dan Social Facilitating Condition terhadap Behavioral Intention
pada bank pemerintah.
8. Voluntary of use merupakan moderating variabel dari Social Influence
terhadap Behavioral Intention pada nasabah bank pemerintah.
Top Related