11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Mangrove Avicennia marina
Hutan mangrove merupakan sumberdaya terbarukan (renewable
resources) yang mempunyai keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang cukup
tinggi. Diantara berbagai jenis tumbuhan tersebut, jenis pohon api-api (Avicennia
marina) yang merupakan jenis mangrove sejati dan pionir, berperan penting
dalam menghasilkan berbagai jenis produk (kayu dan hasil hutan non kayu) yang
menunjang ketahanan pangan dan obat-obat tradisional bagi masyarakat pesisir
serta menjaga keutuhan ekosistem mangrove (Wibowo dkk 2009).
Kalsifikasi Avicennia marina, menurut (Linnaeus, 1759)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Family : Acanthaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia marina
Pohon api-api (Avicennia marina) (Gambar 2) telah dimasukkan dalam
suku tersendiri yaitu Avicenniaceae, setelah sebelumnya dimasukkan dalam suku
Verbenaceae, karena Avicennia memiliki perbedaan mendasar dalam bentuk
organ reproduksi dan cara berkembang biak dengan anggota suku Verbenaceae
lainnya. (Tomlinson, 1996 dalam Trianto dkk dkk 2004). Pohon api-api
(Avicennia marina) memiliki akar napas (peneumatofora) yang merupakan akar
percabangan yang tumbuh dengan jarak teratur secara vertikal dari akar horizontal
yang terbenam di dalam tanah. Reproduksinya bersifat kriptovivipar, yaitu biji
tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman induk, tetapi
tidak tumbuh keluar menembus buah sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk
seperti mangga, ujung buah tumpul dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips
dengan ujung tumpul dan panjang daun sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm,
permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawah berwarna
hijau abu-abu dan suram.
12
Gambar 2. Avicennia marina Sumber : Dokumentasi Pribadi
Beberapa penelitian dimasa lalu telah melaporkan adanya aktivitas
antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antivirus dari ekstrak berbagai spesies
mangrove (Withanawasam 2002 dalam Wibowo dkk 2009). Jenis Avicennia
marina, dilaporkan digunakan untuk mengobati sakit rematik, cacar, borok,
hepatitis, lepra, dan antitumor (Bandarayanake 1995 dalam Wibowo dkk 2009).
2.2 Potensi Antibiotik dari Mangrove Avicennia marina
Menurut Boer dan Zahran (1993) dalam Trianto dkk (2004), zat antibiotik
dapat menghambat bahkan membunuh mikroorganisme patogen, tetapi pemakaian
antibiotik ternyata menimbulkan masalah baru karena sifatnya yang tidak ramah
lingkungan. Zat-zat antibiotik tersebut dapat meningkatkan resistensi hama yang
ingin ditanggulangi sehingga semakin tidak mempan atau dosis yang digunakan
akan terus meningkat.
13
Tumbuhan mangrove di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia,
baik dari segi kuantitas area (± 42.550 Km2) maupun jumlah spesies (± 45
spesies) (Spalding et al, 2001 dalam Purnobasuki 2004). Sebagian besar dari
tumbuhan mangrove digunakan sebagai bahan obat. Ekstrak dan bahan mentah
dari tumbuhan mangrove telah digunakan oleh masyarakat pesisir untuk keperluan
pengobatan alamiah.
Tumbuhan mangrove Avicennia marina mengandung senyawa seperti
alkaloid, flavonoid, fenol, terpenoid, steroid dan saponin (Tabel 1). Golongan
senyawa ini merupakan bahan obat-obatan modern (Eryanti 1999). Akan
dilakukan pengujian produksi antibiotik dari ekstrak ini terhadap bakteri Vibrio
marina dan diharapkan antibiotik yang dihasilkan dapat digunakan dalam
menanggulangi penyakit kunang-kunang dan vibriosis pada ikan dan udang yang
bernilai ekonomis pada usaha-usaha budidaya.
Tabel 1. Kandungan Fitokimia dalam Mangrove Avicennia marina
Sumber : Wibowo dkk 2009
Senyawa kimia dari tumbuhan yang berperan sebagai antimikrobial yaitu
dari golongan alkaloid, fenolik, tanin, flavonoid, isoprenoid, dan fitoelaksin.
Senyawa alkaloid biasanya dikenal sebagai berberina, emitina, kuinina dan
tetrametil pirazina. Senyawa yang berasal dari golongan fenolik biasanya pada
jaringan kayu terdapat senyawa asam amino aromatik, yang berasal dari jalinan
14
asam sikimatnya dapat berperan sebagai herbisida. Sedangakan senyawa tanin
yang biasanya dikenal untuk menyamak kulit, senyawa ini dapat memotong dan
mendenaturasi protein serta mencegah proses pencernaan bakteri. Flavonoid yang
mudah larut dalam air pada tumbuhan berfungsi untuk kerja antimikroba dan
antivirus; serta isoprenoid dengan turunannya saponin, triterpenoid merupakan
irritan yang kuat dan berperan sebagai antimikrobial. Sebagian besar fitoaleksin
adalah fenil propanoid yang merupakan produk dari asam sikimat, beberapa
diantaranya merupakan senyawa isoprenoid dan poliasetilena (Rowe 1989).
Flavonoid ditemukan hampir pada semua tumbuhan tingkat tinggi.
Sedikitnya terdapat 4000 struktur flavonoid yang telah dilaporkan. Kelas
flavonoid lainnya adalah flavon, flavonol, flavanon, flavanonol yang kurang
begitu berwarna terutama pada tumbuhan berkayu (Harborne 1987).
Salah satu sifat yang dimiliki oleh suatu antibiotik adalah mempunyai
kemampuan untuk merusak atau menghambat mikroorganisme patogen spesifik.
Selanjutnya Efendi (1998), menambahkan bahwa patogenitas merupakan salah
satu ciri utama mikroorganisme. Mikroba dapat menimbulkan penyakit,
kemampuannya untuk menimbulkan penyakit merupakan ciri khas organisme
tersebut. Beberapa jenis mangrove telah diketahui memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Vibrio sp. (Tabel 2).
Tabel 2. Daya Hambat Beberapa Spesies Mangrove terhadap Bakteri Vibrio sp.
No. Spesies Mangrove Zona bebas Bakteri
1 Rhizoopra apiculata 1,5 – 3 mm
2. Nypa fruticans 2,5 – 4,5 mm
3. Bruiuiera gymnorrhiza 1,5 – 3, 5 mm
4. Aviciennia alba 3,5 – 5,5 mm
Sumber : Feliatra 2000
2.3 Mikroba Endofit
Mikroba endofit adalah organisme hidup yang berukuran mikroskopis
(bakteri dan jamur) yang hidup di dalam jaringan tanaman (xylem dan phloem),
daun, akar, buah, dan batang. Mikroba ini hidup bersimbiosis saling
menguntungkan, dalam hal ini mikroba endofitik mendapatkan nutrisi dari hasil
15
metabolisme tanaman dan memproteksi tanaman melawan herbivora, serangga,
atau jaringan yang patogen sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan
senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya (Tanaka dkk 1999 dalam
Simamarta dkk 2007).
Mikroba endofit yang hidup dalam tanaman dapat menghasilkan senyawa
metabolit sekunder sama dengan yang dihasilkan inangnya akibat adanya
pertukaran genetis dan hubungan evolusi yang panjang (Tan and Zou 2001; Radji
2005 dalam Pujiyanto dan Ferniah 2010). Eksplorasi mikroba endofit diharapkan
dapat menghasilkan metabolit sekunder penting yang memiliki khasiat sama
dengan metabolit yang dihasilkan tanaman inangnya. (Pujiyanto dan Ferniah
2010).
Ada beberapa ketentuan untuk dapat mengisolasi mikroba endofit yang
mampu menghasilkan senyawa bioaktif yang potensial, diantaranya yaitu:
1. Tumbuhan inang endofit merupakan tumbuhan yang tumbuh pada lingkungan
yang khas.
2. Tumbuhan tersebut memiliki sejarah ethnobotani yang berhubungan erat
dengan penggunaan spesifik tumbuhan tersebut oleh penduduk asli suatu
daerah.
3. Tumbuhan inang merupakan tumbuhan endemik pada suatu daerah.
4. Tumbuhan inang fungi endofit tumbuh pada daerah yang memiliki
biodiversitas yang tinggi
Dengan demikian, usaha penemuan mikroba endofit yang spesifik sebagai
penghasil antibiotik tidak dapat dilakukan secara random. Tumbuhan sebagai
inang fungi endofit harus memiliki proses seleksi tertentu berdasarkan pengaruh
lingkungannya, umur dan sejarah tumbuhan inang, serta berdasarkan penggunaan
tumbuhan inang secara etnobotani (Castillo dkk 2002 dalam Prihainingtias dan Sri
2011).
Mikroba endofit yang diisolasi dari jaringan tanaman ditumbuhkan pada
medium fermentasi dengan komposisi tertentu. Di dalam medium fermentasi,
mikroba endofit menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti yang
terkandung pada tanaman dengan bantuan aktivitas enzim. (Petrini dkk 1992
16
dalam Simanjutak dkk 2004). Salah satu pemanfaatan alternatif dari mikroba
endofit yaitu mendapatkan sumber rendemen arteminisin dan turunannya secara
lebih ekonomis dan mencukupi dalam jumlah besar (Simanjutak dkk 2004).
Mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif yang
sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obat. Hal ini karena mikroba
merupakan organisme yang mudah ditumbuhkan, memiliki siklus hidup yang
pendek dan dapat menghasilkan jumlah senyawa bioaktif dalam jumlah besar
dengan metode fermentasi (Prihatiningtias dan Sri 2011)
Beberapa mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa - senyawa bioaktif
sebagai senyawa metabolit sekunder yang memiliki daya antimikroba,
antimalaria, antikanker dan sebagainya. Kemampuan mikroba endofit
memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya
merupakan peluang yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi
metabolit sekunder dari mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya
tersebut. Mikroba endofit menjanjikan dalam penemuan obat-obat baru, karena
senyawa-senyawa bioaktif yang dikandungnya (Strobel, 1996 dalam
Prihainingtias dan Sri 2011). Mikroba endofit mampu menghasilkan senyawa
metabolit sekunder seperti alkaloid, terpen, steroid, flavonoid, kuinon, fenol dan
lain sebagainya. Senyawa-senyawa ini sebagian besar mempunyai potensi yang
besar sebagai senyawa bioaktif (Tan & Zou, 2001 dalam Pujiyanto dan Ferniah
2010).
Pengendalian biologi menggunakan bakteri endofit merupakan salah satu
alternatif pengendalian nematode parasit tanaman. Keunggulan bakteri endofit
sebagai agens pengendali hayati yaitu mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi,
menghasilkan hormon pertumbuhan, dan mengendalikan penyakit tumbuhan, serta
dapat menginduksi ketahanan tanaman (Kloepper et al 1992; Hallmann 2001
dalam Harni dkk 2006).
Bakteri endofit membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa
membahayakan inangnya. Dalam satu jaringan tanaman kemungkinan ditemukan
beberapa jenis mikroba endofit (Strobel et al 2003 dalam Tarigan dan Kuswandi
2012). Bakteri endofit mempunyai potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai
17
penghasil metabolit sekunder seperti yang terkandung di dalam tanaman inangnya
(Simanjuntak et al, 2002 dalam Tarigan dan Kuswandi 2012).
Sejauh ini belum ada penelitian khusus tentang cara metabolisme bakteri
endofit dan kemampuan bakteri endofit menetap selamanya di tanaman. Masih
belum ada penelitian yang membuktikan apakah endofit memiliki spesifikasi
tertentu, misalnya apakah satu endofit selalu muncul pada jenis tumbuhan yang
sama di tempat yang berbeda. Banyak faktor luar seperti curah hujan dan polusi
yang mempengaruhi populasi endofit dalam tanaman. (Prasetyoputri & Ines, 2006
dalam Diana 2012).
Bakteri endofit dapat berpengaruh pada kesehatan tanaman dalam hal: (1)
antagonisme langsung atau penguasaan niche atas patogen, (2) menginduksi
ketahanan sistemik dan (3) meningkatkan toleransi tanaman terhadap lingkungan.
Sifat-sifat tersebut yang menyebabkan bakteri endofit dapat dimanfaatkan sebagai
pengendali hayati penyakit tanaman bahkan dapat mengurangi serangan hama
tanaman.
2.3.1 Mekanisme Kerja Mikroba Endofit
Mekanisme mikroba endofit dalam menginduksi ketahanan pada tanaman
adalah dengan mengkolonisasi jaringan dalam tanaman sehingga menstimulasi
tanaman untuk meningkatkan produksi senyawa metabolit yang berperan dalam
ketahanan tanaman, di antaranya enzim peroksidase, peningkatan aktifitas
kitinase, β-1,3 glucanase, dan penghambatan pembentukan protein, fitoaleksin
(Press dkk 1997 dalam Widiastuti 2012). Enzim peroksidase dibutuhkan oleh
tanaman untuk menghasilkan senyawa-senyawa pertahanan tanaman seperti
lignin, kitin, dan beberapa senyawa penyusun dinding sel (Hallman, 2001).
Sturz (2006) dalam Widiastuti (2012), menyatakan bahwa mikroba endofit
ditemukan mampu melawan invasi pitopatogen. Adapun lima mekanisme
penghambatan patogen oleh mikroba endofit yang sering disebutkan adalah :
1. Kompetisi sumber daya ( unsur hara ).
2. Menghasilkan antibiosis
3. Aktivitas enzim litik
18
4. Sistem resistensi pada tanaman
5. Kamuflase akar. Hal ini berarti bahwa beberapa bakteri yang bersifat resisten
pada beberapa jenis penyakit meminimalkan “ketertarikan alami” pada sistem
akar inang dengan meningkatkan kepadatan populasi untuk menghindari
kehadiran patogen tanaman.
Menurut Pelczar dan Chan (2005) cara kerja zat antimikroba dalam
melakukan efeknya terhadap mikroorganisme adalah sebagai berikut :
1. Merusak dinding sel
Pada umumnya bakteri memiliki suatu lapisan luar yang kaku disebut
dinding sel. Dinding sel ini berfungsi untuk mempertahankan bentuk dan
menahan sel, dinding sel bakteri tersusun atas lapisan peptidoglikan yang
merupakan polimer komplek yang terdiri atas rangkaian asam N-asetil
glukosaminm dan asam N-asetilmuramat yang tersusun secara bergantian.
Keberadaan lapisan peptidoglikan ini menyebabkan dinding sel bersifat kaku dan
kuat sehingga mampu menahan tekanan osmotik dalam sel yang kaku. Struktur
dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat pembentukannya atau dengan
mengubahnya setelah selesai dibentuk. Pada konsentrasi rendah, bahan
antimikroba yang ampuh akan menghambat pembentukan ikatan glikosida
sehingga pembentukan dinding sel baru tergangu. Selanjutnya dijelaskan bahwa
pada konsentrasi tinggai bahan antimikroba akan memyebabkan ikatan glikosida
menjadi terganggu dan pembentukan dinding sel terhenti.
2. Mengubah protein dan asam nukleat
Kelangsungan hidup sel sangat tergantung pada molekul – molekul protein
dan asam nukleat. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada
pembentukan atau fungsi zat – zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total
pada sel. Bahan antimikroba yang dapat mendenaturasi protein dan asam nukleat
dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki lebih lanjut.
19
3. Mengubah permeabilitas sel
Sitoplasma dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel yang
mempunyai permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas fosfolipid dan
protein. Membran sitoplasma berfungsi mengatur keluar masuknya bahan – bahan
tertentu dalam sel. Proses pengangkutan zat – zat yang lebih diperlukan baik ke
dalam maupun keluar sel kemungkinan karena di dalam membran sitoplasma
terdapat enzim protein untuk mensintesis peptidoglikan komponen membran luar.
Apabila fungsi membran sel terganggu oleh adanya bahan antimikroba, maka
permeabilitas sel bakteri akan mengalami perubahan, sehingga akan
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau kematian sel .
4. Menghambat kerja enzim
Di dalam sel terdapat enzim protein yang membantu kelangsungan proses
– proses metabolisme, banyak zat kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi
biokimia misalnya logam berat, golongan tembaga, perak, air raksa dan senyawa
logam berat lain, umumnya efektif sebagai bahan antimikroba pada konsentrasi
relatif rendah. Dengan demikian kerja enzim yang terhambat akan menyebabkan
proses metabolisme terganggu, sehinga aktifitas sel bakteri akan terganggu, hal ini
dapat menyebabkan sel bakteri hancur dan akan mati.
5. Menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein
DNA, RNA, dan protein memegang peranan penting dalam proses
kehidupan normal sel, beberapa bahan antimikroba dalam bentuk antibiotik dapat
menghambat sintesis protein. Apabila keberadaan DNA, RNA dan protein
mengalami gangguan atau hambatan pada pembentukan atau fungsi zat tersebut
dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga proses kehidupan sel terganggu.
2.3.2 Potensi Antibiotik dari Bakteri Endofit
Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman
pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan
20
tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi dapat
mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa
biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau
transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba
endofit (Tan RX dkk 2001 dalam Radji 2005).
Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder
sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat
diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikroba endofit yang
diisolasi dari tanaman inangnya tersebut. Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang
tersebar di muka bumi ini, masing-masing tanaman mengandung satu atau lebih
mikroba endofit yang terdiri dari bakteri dan jamur (Strobel GA., dkk 2003 dalam
Radji 2005). Sehingga apabila endofit yang diisolasi dari suatu tanaman obat
dapat menghasilkan alkaloid atau metabolit sekunder sama dengan tanaman
aslinya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, maka kita tidak perlu
menebang tanaman aslinya untuk diambil sebagai simplisia, yang kemungkinan
besar memerlukan puluhan tahun untuk dapat dipanen (Radji 2005).
Beberapa contoh bakteri endofit yang bersifat antagonis terhadap patogen
diantaranya: Bacillus subtilis, mampu menekan penyakit layu bakteri oleh
Ralstonia solanacearum; Pseudomonas fluorescens; Pseudomonas putida,
mampu menekan pertumbuhan patogen tular tanah; Agrobacterium radiobacter,
mampu mengendalikan Agrobacterium tumifaciens secara efektif; Erwinia
Herbicola, untuk mengendalikan penyakit pascapanen; Serratia marcescens,
menghasilkan prodigiosin yang efektif untuk mengendalikan nematoda
Caenorhabditis elegans (Soesanto 2008 dalam Darmayanti 2010).
Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan
telah berhasil dibiakkan dalam media perbenihan yang sesuai. Beberapa jenis
mikroba endofit yang telah berhasil diisolasi dan dimurnikan serta telah
dielusidasi struktur molekulnya sebagai penghasil antibiotik, diantaranya (Tabel
3) :
21
Tabel 3. Potensi Mikroba Endofit (Radji 2005)
Asal
Tanaman
Mikroba
endofit
Nama Zat aktif Fungsi Peneliti
Tripterigeum
wilfordii
(tumbuhan dari
Cina)
Cryptomarinaor
iopsis quercina
Cryptocandin Antifungi Strobel.,et.al.
1999
- Pseudomonas
viridiflava
Ecomycin Menghambat
pertumbuhan
Cryptococcus
neoformans dan
C.albicans
Miller., et.al.
1998
-
Pseudomonas
Syringae
Pseudomycin Harrison.,et.al.
1991
- Pestalotiopsis
micrimarinaora
ambuic acid antifungi Li., et al. 2001
-
Phomopsis
marinap.
Phomopsichalasin Antibakteri Bacillus
subtilis, Salmonella
enterica,
Staphylococcos
aureus; Antijamur
Candida tropicalis
Horn.,et.al.
1995
Kennedia
nigriscans
(tanaman
snakevine )
Streptomyces
marinap.
Munumbicin Bacillus anthracis,
dan Mycobacterium
tuberculosis yang
multiresisten
terhadap berbagai
obat anti tbc
Castillo.et.al.
2002
22
Tabel 3. Lanjutan...
Grevillea
pteridifolia.
(tanaman dari
Australia)
Kakadumycin antibakterinya sama
seperti munumbicin
D, dan kakadumycin
ini juga berkhasiat
sebagai anti malaria
Castillo.,et.al.
2003).
2.3.3 Kurva Pertumbuhan Bakteri Endofit
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah atau volume
serta ukuran sel. Pada organisme prokariot seperti bakteri, pertumbuhan
merupakan pertambahan volume dan ukuran sel dan juga sebagai pertambahan
jumlah sel. Pertumbuhan sel bakteri biasanya mengikuti suatu pola pertumbuhan
tertentu berupa kurva pertumbuhan sigmoid (Gambar 3).
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Bakteri, dimana a= fase lag; b=fase eksponensial;
c=fase stasioner dan d=fase kematian populasi (Sumber: Pelczar dan Chan 2005)
Perubahan kemiringan pada kurva tersebut menunjukkan transisi dari satu
fase perkembangan ke fase lainnya. Fase-fase tersebut mencerminkan keadaan
bakteri dalam kultur pada waktu tertentu. Di antara setiap fase terdapat suatu
23
periode peralihan dimana waktu dapat berlalu sebelum semua sel memasuki fase
yang baru. Kurva pertumbuhan bakteri dapat dipisahkan menjadi empat fase
utama :
Fase lag (fase lamban atau lag phase)
Setelah inokulasi, terjadi peningkatan ukuran sel, mulai pada waktu sel tidak
atau sedikit mengalami pembelahan. Fase ini, ditandai dengan peningkatan
komponen makromolekul, aktivitas metabolik, dan kerentanan terhadap zat kimia
dan faktor fisik. Fase lag merupakan suatu periode penyesuaian yang sangat
penting untuk penambahan metabolit pada kelompok sel, menuju tingkat yang
setaraf dengan sintesis sel maksimum.
Fase pertumbuhan eksponensial (fase pertumbuhan cepat atau log phase)
Pada fase eksponensial atau logaritmik, sel berada dalam keadaan
pertumbuhan yang seimbang. Selama fase ini, masa dan volume sel meningkat
oleh faktor yang sama dalam arti rata-rata komposisi sel dan konsentrasi relatif
metabolit tetap konstan. Selama periode ini pertumbuhan seimbang, kecepatan
peningkatan dapat diekspresikan dengan fungsi eksponensial alami. Sel membelah
dengan kecepatan konstan yang ditentukan oleh sifat intrinsik bakteri dan kondisi
lingkungan.
Fase stationer (fase statis atau stationary phase)
Pada saat digunakan kondisi biakan rutin, akumulasi produk limbah,
kekurangan nutrien, perubahan pH, dan faktor lain yang tidak diketahui akan
mendesak dan mengganggu biakan, mengakibatkan penurunan kecepatan
pertumbuhan. Selama fase ini, jumlah sel yang hidup tetap konstan untuk periode
yang berbeda, bergantung pada bakteri, tetapi akhirnya menuju periode penurunan
populasi.
Fase penurunan populasi (decline).
Pada saat medium kehabisan nutrien maka populasi bakteri akan menurun
jumlahnya, Pada saat ini jumlah sel yang mati lebih banyak daripada sel yang
hidup.
24
2.4 Bakteri Vibrio harveyi
Klasifikasi bakteri Vibrio harveyi
Divisi : Protophyta
Class : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio harveyi
V. harveyi memiliki dinding sel yang kaku, berbentuk sel tunggal, koma
atau batang terpilin, motil karena flagela kutub tunggal (monotoric flagel), bersifat
Gram negatif, hidup pada habitat lingkungan akuatik, organ-organ reproduktif,
saluran pencernaan, dan rongga mulut hewan (termasuk manusia), patogenetik
bagi binatang (termasuk manusia). ukuran sel 1-4 μm, tidak membentuk spora,
oksidase positif, katalase positif, serta proses fermentasi karbohidratnya tidak
membentuk gas. (Akhyar 2010)
Vibrio merupakan penyebab utama penyakit udang menyala dan dapat
berperan sebagai patogen primer ataupun patogen sekunder. Sebagai patogen
primer, Vibrio masuk melalui kontak langsung dengan organisme, sedangkan
sebagai patogen sekunder, Vibrio menginfeksi organisme yang telah terlebih
dahulu terinfeksi penyakit lain. Menurut Rheinheimer (1985) dalam Agung (2007)
Vibrio menyerang dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung kitin
dikarenakan Vibrio memiliki enzim kitinase, protease, dan lipase. Penyakit udang
menyala ini pada umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal
pasca larva (Taslihan 1988 dalam Agung 2007).
Penanganan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi penyakit udang
menyala akibat infeksi Vibrio harveyi adalah dengan menggunakan bahan-bahan
kimia seperti : Chloramphenicol 1,9 ppm, Oxytetracycline 2 ppm, Furazalidon 2-
4 ppm, dan Prefuran 1,5-2,0 ppm. Akan tetapi sebagian besar obat-obatan yang
digunakan tersebut pada akhirnya tidak efektif dan dapat mengakibatkan kelainan
(deformities) pada larva udang serta dapat juga berakibat berkembangnya
resistensi bakteri terhadap obat (Rukyani 1999 dalam Agung 2007).
25
2.5 Bakteri Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 370C, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-250C). Koloni pada perbenihan padat berwarna
abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan
berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai
kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri
(Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000 dalam Kusuma 2009).
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai
abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial,
keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994
dalam Kusuma 2009). Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok
merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar
keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi
fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang
membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui
pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada
vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya
endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru
(Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995 dalam Kusuma 2009).
Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka
pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah
fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab
infeksi nosokomial (Jawetz et al., 1995 dalam Kusuma 2009). Keracunan
makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset
dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh
26
dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan
keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual,
muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et al., 1994 ;
Jawetz et al., 1995 dalam Kusuma 2009).
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari
permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-
anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi
dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan
dalam aliran darah (Jawetz et al., 1995 dalam Kusuma 2009).
Top Related