30
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian tentang Jabatan Notaris
2.1.1. Pengertian Notaris
Menurut pendapat G.H.S. Lumban Tombing, Notaris merupakan salah
satu pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam hal pembuatan suatu
akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian serta
penetapan yang telah diharuskan oleh peraturan umum atau yang oleh pihak-
pihak yang mempunyai kepentingan ingin dinyatakan ke dalam akta otentik,
memberi jaminan terkait dengan kepastian tanggal, menyimpan aktanya dan
memberikan grossenya, salinan serta kutipannya, hal ini semua sepanjang
pembuatan akta itu tidak dikecualikan ataupun ditugaskan pada pejabat
lainnya ataupun orang lainnya.35
Sedangkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, Notaris
diartikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat suatu akta
otentik dan kewenangan lainnya. Definisi tersebut di atas, tentu terkait
dengan tugas dan wewenang yang dilaksanakan oleh seorang Notaris. Hal ini
memiliki arti bahwa Notaris mempunyai tugas sebagai pejabat umum dan
berwenang dalam pembuatan suatu akta-akta otentik beserta kewenangan-
kewenangan lain yang telah diatur dalam UUJN.36 Notaris mempunyai tugas
untuk mengkonstantir adanya suatu hubungan hukum antara pihak-pihak
yang menghadap kemudian dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan suatu
35G.H.S Lumban Tombing, Op.cit., hlm. 30. 36Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia persfektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 14.
31
format tertentu, sehingga tergolong sebagai suatu akta yang otentik. Notaris
merupakan pembuat dokumen yang dapat dijadikan alat bukti yang bersifat
kuat dalam proses hukum.37
Jabatan Notaris bukanlah merupakan suatu profesi melainkan suatu
jabatan. Jabatan Notaris termasuk ke dalam jenis pelaksanaan jabatan luhur
seperti yang dimaksud oleh C. S. T. Kansil dan Christine S. T, yaitu:
“Suatu pelaksanaan jabatan yang pada hakekatnya merupakan
suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat. Orang yang
menjalankan jabatan luhur tersebut juga memperoleh nafkah dari
pekerjaannya, tetapi hal tersebut bukanlah motivasi utamanya.
Adapun yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan yang
bersangkutan untuk melayani sesamanya.”38
2.1.2. Pengertian Jabatan
Pengertian Jabatan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah pekerjaan atau tugas dalam suatu pemerintahan atau suatu organisasi.
Sedangkan arti jabatan dalam hal ini merupakan arti secara umum, dan untuk
tiap suatu bidang pekerjaan atau tugas yang dengan sengaja telah dibuat atau
dibentuk guna kebutuhan yang berkaitan baik dengan pemerintahan ataupun
dengan organisasi yang bisa saja dirubah sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Jabatan dalam arti sebagai suatu ambt39 adalah merupakan
fungsi, tugas, dan kedudukan wilayah kerja pemerintahan pada umumnya
atau badan perlengkapan pada khususnya. Istilah Jabatan merupakan istilah
yang digunakan sebagai suatu fungsi atau tugas ataupun wilayah kerja dalam
pemerintahan.
37Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, (Jakarta: PT. Iktiar
Baru Van Hoeve, 2000), hlm. 159. 38C. S. T. Kansil dan Christine S. T, Pokok-Pokok Etika Jabatan Hukum, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1979), hlm. 5. 39Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai
Pustaka, 1994) , hlm. 392.
32
Menurut pendapat E. Utrecht, jabatan (ambt) merupakan suatu
lingkungan pekerjaan yang tetap yang ada dan dilakukan untuk kepentingan
umum. Jabatan itu sendiri merupakan suatu subjek dalam hukum, yang dalam
hal ini sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam ranah Hukum Tata
Negara (HTN) kekuasaan itu sendiri tidaklah diberikan pada penjabat atau
(orang), tapi diberikan pada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai suatu
subjek hukum maka suatu Jabatan itu sendiri dapat menjamin pelaksanaan
hak dan kewajiban. Pejabat dalam hal ini menduduki suatu jabatan dan selalu
berganti-ganti, sedangkan untuk suatu jabatan hal ini dilakukan terus-
menerus.40 Contohnya jabatan presiden, yang akan tetap ada selama
dibutuhkan dalam suatu pemerintahan. Jabatan tersebut dijabat oleh subjek
hukum yang telah terpilih yang kemudian diangkat selama kurun waktu yang
telah ditentukan. Jabatan itu sendiri merupakan pekerjaan yang secara sengaja
telah dibuat oleh suatu aturan hukum guna kepentingan dan pelaksanaan
fungsi tertentu, selain itu juga yang mempunyai sifat berkesinambungan dan
merupakan lingkungan pekerjaan yang sifatnya tetap.41
Agar jabatan itu sendiri dapat berjalan dengan baik, maka jabatan itu
sendiri disandang oleh seseorang (subjek hukum), yakni orang perorangan.
Orang yang telah diangkat untuk menjalankan suatu jabatan tertentu disebut
dengan Pejabat. Suatu jabatan tanpa pejabatnya, maka jabatan tersebut
tidaklah dapat berjalan.42
40E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1963),
hlm. 159. 41Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), (Surabaya: Reflika Aditama, 2007), hlm. 10. 42Ibid.
33
2.1.3. Pengertian Pejabat
Terdapat dua istilah dalam Bahasa Indonesia, yang pertama istilah
penjabat dan istilah pejabat. Kedua istilah tersebut memiliki arti yang
berbeda, dalam hal ini penjabat diartikan sebagai pemegang jabatan orang
lain yang diberikan kepadanya untuk sementara waktu, sedangkan pejabat
adalah sebagai seorang pegawai pemerintah yang memegang suatu jabatan
tertentu atau merupakan unsur pimpinan atau merupakan orang yang
menduduki suatu jabatan tertentu.43
Suatu jabatan agar dapat berjalan haruslah dilaksanakan oleh manusia
yang merupakan subjek hukum sebagai pelaksana hak dan kewajiban.
Sedangkan pihak yang menjalankan hak dan kewajiban dan juga didukung
oleh suatu jabatan disebut sebagai Pejabat. Jabatan itu sendiri dalam hal
bertindak tentu melalui perantara Pejabatnya.44
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
jabatan dan pejabat adalah bahwa setiap jabatan itu memiliki lingkungan
pekerjaan yang sifatnya tetap. Sedangkan suatujabatan dapat berjalan dengan
tindakan manusia yang merupakan pendukung hak dan kewajiban sehingga
disebut sebagai Pejabat. Pejabat itu sendiri dapat digantikan oleh siapa saja,
sedangkan suatu jabatan tetaplah ada sepanjang dibutuhkan dalam suatu
struktur pemerintahan ataupun suatu organisasi.45 Dalam perspektif Hukum
43Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit, hlm. 392. Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta, 1994), hlm. 543. 44E. Utrecht. Op.cit., hlm. 124. 45Habib Adjie, Op.cit., hlm. 11.
34
Tata Usaha Negara, Pejabat diartikan sebagai seseorang yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.46
Di samping itu hubungan antara jabatan dengan pejabat itu sendiri
diibaratkan seperti dua sisi mata uang, dimana pada satu sisi, jabatan
mempunyai sifat tetap sedangkan sisi yang kedua adalah jabatan hanya dapat
berjalan oleh manusia sebagai pelaksana hak dan kewajiban. Sehingga yang
menjalankan suatu jabatan disebut sebagai pejabat, atau dapat dikatakan
bahwa pejabat adalah orang yang menjalankan suatu hak dan kewajiban
jabatan tertentu. Kata pejabat itu sendiri sebenarnya lebih mengarah pada
orang yang sedang menduduki suatu jabatan tertentu. Untuk itu semua
tindakan Pejabat yang sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya adalah
suatu implementasi dari jabatan yang diembannya.47
Pejabat dapat berganti-ganti orangnya terhadap suatu jabatan, sedangkan
jabatan akan terus ada selama masih dibutuhkan di dalam suatu struktur
pemerintahan ataupun struktur organisasi.48 Jabatan dengan pejabat sangat
berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan, jabatan bersifat tetap dan baru
dapat dijalankan apabila ada pejabat sebagai pendukung hak dan
kewajibannya. Dengan demikian suatu jabatan tidak berjalan dengan baik
apabila tidak ada seorang pejabat sebagai pelaksananya, kata pejabat lebih
menonjolkan orang yang menduduki suatu jabatan. Semua tindakan yang
46Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 47Indroharto, Usaha Memahi Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), hlm. 28. 48Ibid., hlm. 14.
35
dilaksanakan pejabat tersebut yang sesuai dengan jabatannya merupakan
suatu implementasi dari hak dan kewajiban jabatannya.
2.1.4. Notaris sebagai Pejabat Umum
Pejabat Umum berasal dari bahasa Belanda yaitu “Openbare
Ambtenaren” menurut kamus hukum.49 Salah satu arti dari Openbare
Ambtenaren adalah pejabat, berdasarkan ketentuan tersebut maka istilah
Openbare Ambtenaren merupakan seorang pejabat yang memiliki tugas yang
bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren
diberi arti sebagai seorang pejabat yang diberi tugas dalam hal pembuatan
suatu akta yang sifatnya otentik dan juga memberi pelayanan bagi
kepentingan suatu masyarakat, dan kategori seperti tersebut di atas diberi
pada seorang Notaris.50 N.G Yudara berpendapat bahwa seorang pejabat
umum merupakan salah satu organ dari negara yang telah dilengkapi oleh
suatu kekuasaan umum, yang berwenang menjalankan sebagian kekuasaan
negara khususnya dalam pembuatan dan peresmian suatu alat bukti dalam
bentuk tertulis dan yang bersifat otentik, dalam hal ini masuk ranah perdata
sebagaimana ditentukan Pasal 1868 KUHPerdata.51 Pengertian Notaris
sebagai Pejabat umum didasarkan pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata,52
sedangkan Notaris sebagai satu-satunya Pejabat umum yang ditegaskan
49N.E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema
Andreae, Belanda- Indonesia, (Jakarta: Binacipta, 1983), hlm. 29. 50Habib Adjie I, Op.Cit., hlm. 13. 51Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo, 2010), hlm. 74. 52Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan: “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu, ditempat dimana akta itu dibuat.”
36
kembali pada dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN.53 Notaris adalah
Pejabat umum yang berfungsi menjamin otoritas pada tulisan-tulisannya
(akta). Notaris diangkat oleh pengurus tertinggi negara dan kepadanya
diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi
kepentingan masyarakat.54 Notaris sebagai pejabat umum memiliki tanggung
jawab atas perbuatannya terkait dengan pekerjaannya dalam membuat akta.
2.1.5. Notaris Sebagai Pejabat Publik
Seseorang dapat dikatakan sebagai pejabat publik apabila memenuhi 3
(tiga) unsur atau 3 (tiga) persyaratan, yaitu ia adalah pegawai pemerintah;
menjabat sebagai pimpinan; dan tugasnya adalah mengurusi kepentingan
orang banyak.
Notaris sebagai seorang pejabat publik mempunyai beberapa
karakteristik sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya. berikut karakteristik
seorang Notaris sebagai jabatan publik:55
1. Sebagai suatu Jabatan
UUJN adalah suatu unifikasi dalam bidang kenotariatanatau terkait
dengan jabatan Notaris, yang berarti hanya satu-satunya pengaturan
hukum yang dibuat dalam bentuk Undang-undang, yang dalam hal ini
mengatur terkait dengan Jabatan seorang Notaris yang ada di wilayah
Indonesia, sehingga dengan demikian semua hal yang terkait dengan
Notaris wajib untuk mengacu pada ketentuan dalam UUJN. Jabatan
53Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan: “Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya.” 54Ibid., hlm. 72. 55Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia ...., Op.Cit., hlm. 15.
37
seorang Notaris itu sendiri adalah lembaga yang sengaja diciptakan
Negara, begitu pula dengan tugasnya yang dengan sengaja ditentukan
oleh suatu aturan hukum guna kebutuhan dan kewenangan tertentu juga
yang sifatnya berkesinambungan dalam lingkup suatu pekerjaan yang
bersifat tetap;
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu
Tiap wewenang yang diberikan kepada suatu jabatan haruslah terdapat
suatu dasar aturannya yang menjadi suatu batasan supaya jabatan itu
sendiri dapat berjalan secara baik dan juga tidak bertabrakan satu dengan
yang lainnya. Hal ini berarti apabila seorang Notaris melakukan tindakan
di luar kewenangan yang dimilikinya, hal tersebut merupakan suatu
pelanggaran terhadap wewenang. Sedangkan wewenang seorang Notaris
terdapat pada ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN,
yang menetapkan, sebagai berikut:
(1) Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
Akta oterntik, menjami kepastian tanggal pembuatan Akta,
menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
Akta, semua itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c.
Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan
pengesahan kecocockan fotokopi dengan surat aslinya; e.
Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
38
pembuatan Akta; f. Membuat Akta yang berkaitan dengan
pertanahan; atau g. Membuat Akta risalah lelang;
(3) Selain kewenangan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.”56
3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUJN, pengangkatan dan pemberhentian
seorang merupakan kewenangan dari Pemerintah, yang dalam hal ini
adalah Menteri yang ada dalam lingkup atau bidang kenotariatan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14 UUJN. Walaupun secara
administratif seorang Notaris pengangkatan dan pemberhentiannya
dilakukan pemerintah, namun hal ini tidaklah berarti bahwa seorang
Notaris merupakan subordinasi dari pihak yang mengangkat yakni
pemerintah, hal ini karena dalam melaksanakan tugasnya sebagai
Notaris, jabatan seorang Notaris tersebut bersifat:
3.1. Bersifat mandiri (autonomous);
3.2. Tidak memihak siapapun (impartial);
3.3. Tidak bergantung pada siapapun atau bersifat mandiri atau
(independent);
Hal ini berarti di dalam melaksanakan tugas jabatan seorang
Notaris tidaklah dapat di campuri pihak yang telah mengangkatnya
ataupun pihak lainnya.
3.4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;
Walaupun pengangkatan notaris dan pemberhentiannya dilakukan
oleh pemerintah, namun Notaris tidak menerima upah dan
56Lihat Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
39
pemberian pensiun dari pemerintah. Tetapi Notaris mendapatkan
honorarium dari masyarakat yang telah menggunakan jasanya atau
dalam suatu hal tertentu juga dapat memberi pelayanan secara
cuma-cuma pada masyarakat yang tidak mampu.
3.5. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat;
Kehadiran seorang Notaris adalah guna memenuhi segala
kebutuhan dari masyarakat yang membutuhkan suatu akta yang
merupakan suatu akta yang sifatnya otentik, khususnya di bidang
hukum perdata, sehingga dalam hal ini Notaris memiliki
tanggungjawab dalam hal memberikan pelayanan pada masyarakat,
dan dalam hal ini masyarakat dapat mengajukan gugatan secara
perdata pada Notaris, menuntut biaya, ganti rugi dan juga bunga
apabila akta otentik tersebut dapat dibuktikan telah dibuat namun
tidaklah sesuai dengan suatu aturan hukum yang berlaku, dan hal
ini merupakan salah satu wujud akuntabilitas seorang Notaris pada
masyarakat.
2.2. Kajian tentang Akta Otentik
2.2.1. Pengertian Akta Otentik
Menurut pandangan Sudikno Mertokusumo, akta merupakan surat yang
dibubuhi tanda tangan, yang berisi suatu peristiwa, yang dapat menjadi dasar
suatu hak atau suatu perikatan, yang telah dibuat sejak awal dengan sengaja
dalam hal pembuktian.57
57R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980), hlm. 29.
40
Tan Thong Kie memberikan beberapa catatan mengenai definisi akta dan
akta otentik yaitu:
1. Perbedaan antara tulisan dan akta terletak pada tanda tangan yang tertera
dibawah tulisan;
2. Pasal 1874 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa yang termasuk ke
dalam tulisan di bawah tangan merupakan suatu akta di bawah tangan,
surat, register atau daftar, surat rumah tangga, serta tulisan lain yang
dibuat tanpa perantaraan pejabat umum;
3. Pasal 1867 KUHPerdata selanjutnya menentukan bahwa akta otentik dan
tulisan di bawah tangan dianggap sebagai bukti tertulis.58
Menurut Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa “akta notaris adalah
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini”.59
Akta termasuk tulisan yang dibuat dengan sengaja sebagai suatu alat
bukti. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, dan ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata alat bukti yang sah dan diakui hukum terdiri dari:
a. Bukti tulisan;
b. Bukti saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
58Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hlm. 1. 59Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
41
Menurut Irawan Soerodjo terdapat 3 (tiga) unsur esensialia agar suatu
akta dapat terpenuhi syarat formalnya sebagai suatu akta otentik, yakni:
a. Akta tersebut dalam bentuk yang telah ditetapkan oleh Undang-undang;
b. Dibuat dihadapan seorang Notaris;
c. Akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang
mempunyai kewenangan demikian, dan ditempat akta tersebut dibuat.60
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, yang dimaksud dengan akta otentik
adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
undang atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat
akta itu dibuat.61
2.2.2. Bentuk Akta Otentik
Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata terdapat 2 (dua)
golongan bentuk Akta Notaris, yakni:
1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau disebut juga sebagai akta
relaas merupakan akta yang menerangkan secara otentik perbuatan yang
telah dilakukan atau terkait dengan keadaan yang telah dilihat, didengar,
dan jugadisaksikan oleh Notaris itu sendiri. Akta tersebut diatas yang
berisi uraian mengenai apa yang telah dilihat dan disaksikan juga dialami
oleh Notaris tersebut disebut sebagai akta yang dibuat oleh Notaris;
2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris atau akta partij
adalah suatu akta yang di dalamnya berisi cerita terkait dengan suatu
kejadian tertentu, akibat dari adanya suatu perbuatan yang telah
60Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2009), hlm. 43. 61Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang atau di hadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
42
dilakukan oleh para pihak dihadapan seorang Notaris, yang dalam hal ini
berarti diterangkan atau diceritakan oleh para pihak pada Notaris, hal ini
dilakukan oleh para pihak dengan sengaja sehingga datang dihadapan
Notaris dan memberi keterangan tersebut atau pun melakukan perbuatan
tersebut dihadapan Notaris agar keterangan atau perbuatan tersebut
kemudian dikonstair oleh Notaris didalam suatu akta otentik. Akta seperti
itu dinamakan akta yang dibuat dihadapan Notaris (ten overstaan) atau
akta partij.62
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, perbedaan yang telah diuraikan
di atas merupakan hal yang sangat penting karena dalam hal ini berkaitan
dengan pembuktian sebaliknya terhadap akta itu sendiri. Hal ini berarti bahwa
terkait dengan kebenaran yang ada dalam akta pejabat atau akta relaas
tidaklah dapat dilakukan suatu gugatan, kecuali apabila dilakukan dengan
cara menuduh akta tersebut adalah palsu. Sedangkan pada partij akta, isi akta
dapat dilakukan suatu gugatan, tanpa menuduh kepalsuan dari akta tersebut
yaitu dengan menyatakan bahwa keterangan yang ada dalam akta tersebut
dari para pihak tidaklah benar. Suatu hal yang dijadikan dasar dalam hal
pembuatan suatu akta otentik ialah haruslah terdapat kehendak dan
berdasarkan permintaan dari para pihak itu sendiri. Apabila kehendak dan
permintaan dari para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan pernah
membuat suatuakta sebagaimana dimaksud.
Akta otentik mempunyai nilai pembuktian yang sifatnya sempurna,
kesempurnaan dari akta Notaris sebagai salah salah satu alat bukti tertulis
62Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 51.
43
tidak perlu dinilai selain dari yang tercantum dalam akta itu, sedangkan akta
di bawah tangan hanyalah mempunyai suatu kekuatan pembuktian selama
para pihak mengakui atau berarti tidak ada suatu penyangkalan oleh pihak
lain.63 Apabila para pihak mengakuinya maka akta dibawah tangan
mempunyai pembuktian yang sempurna sebagai akta otentik.
Apabila salah satu pihak tidak mengakuinya maka beban pembuktiannya
adalah pada pihak yang menyangkal kebenaran suatu akta tersebut dan
penilaian terhadap adanya penyangkalan terhadap bukti itu sendiri diserahkan
pada hakim.64
2.3. Kajian tentang Keputusan Tata Usaha Negara
2.3.1. Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN)
terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu, Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.65 Dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah
Badan atau Pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menetapkan yang
dimaksud dengan urusan pemerintahan, ialah kegiatan yang bersifat
eksekutif, dan yang dimaksud dengan pemerintahan adalah keseluruhan
63M. Ali Budiarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2004), hlm. 145. 64Ibid., hlm. 136. 65Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Perdadilan Tata
Usaha Negara
44
kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh para Badan atau Jabatan
TUN yang bukan pembuatan peraturan dan mengadili.66
Mengenai pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Indroharto
menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang
urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan
atau Pejabat TUN. Sedangkan arti dari urusan pemerintah disini adalah
kegiatan yang bersifat eksekutif yaitu kegiatan yang bukan kegiatan legislatif
atau yudikatif.67 Sedangkan dalam aturan hukum tidak ditentukan nama
Jabatan yang dapat dikualifikasikan sebagai Badan atau Pejabat TUN.
Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, bahwa
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur negara, dengan tugas
memberikan pelayan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan
merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, dan pembangunan.
Tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama
dari Pegawai Negeri.68 Sebutan Pejabat TUN tidak hanya ditujukan kepada
mereka yang secara struktural memangku Jabatn TUN, tapi juga kepada siapa
saja yang berdasarkan undang-undang melaksanakan urusan pemerintah
(fungsional), maka yang berbuat demikian dapat dianggap sebagai Pejabat
TUN.
Maka menurut analisis penulis, meskipun Notaris dalam pelaksanaan
jabatannya dikehendaki oleh Negara untuk menjalankan salah satu fungsi
66Indoharto, Op.cit., hlm. 68. 67Ibid., hlm.166. 68Philiphus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2002), hlm. 213.
45
Negara, namun Notaris bukanlah tergolong ke dalam Pejabat Tata Usaha
Negara, karena dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris, Notaris hanya
menuangkan perbuatan hukum perdata dari para pihak ke dalam bentuk
tulisan yaitu Akta otentik. Sehingga dalam hal ini Notaris tidak menciptakan
atau menghasilkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
produk hukum dari Pejabat Tata Usaha Negara, namun hanya sekedar
menuangkan kehendak para pihak atau penghadap ke dalam Akta otentik,
baik dalam bentuk akta pihak maupun akta pejabat dan walaupun dalam hal
ini Notaris juga memberikan pemahaman atau penyuluhan hukum kepada
para pihak, bukan berarti hal tersebut tergolong ke dalam keputusan
administratif.
2.3.2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan:69
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan dan Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Keputusan atau Beschikking (sering pula dikatakan ketetapan) dapat
diberikan batasan, antara lain:
“Beschkking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat
pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat-alat
pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hak istimewa, dengan
maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan-
perhubungan hukum. 70
69 Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. 70Habib Adjie, Majelis Pengawas Notaris (Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara), (Bandung:
Reflika Aditama, 2011), hlm. 43.
46
“Beschikking adalah suatu perbuatan hukum publik yang bersegi
satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu
kekuasaan istimewa”.
“Beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam
lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan
berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu”.
Berdasarkan ketiga batasan Beschikking tersebut, bahwa Besschikking
adalah:71
1. Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan
sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan kedua
belah pihak;
2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau sifat
kekuasaan istimewa;
3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara Penetapan Tertulis mempunyai
unsur:72
a. Bentuk penetapan itu harus tertulis;
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara;
c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;
d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Bersifat konkret, individual dan final.
f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
71Ibid., hlm. 44 72Ibid., hlm. 45
47
2.4. Kajian tentang Asas Praduga Sah (Vermoeden van Rechmatigheid)
Asas praduga sah ini merupakan asas yang berlaku dalam Peradilan Tata
Usaha Negara, yang artinya adalah bahwa setiap Keputusan Tata Usaha Negara
(yang selanjutnya disebut KTUN) haruslah selalu dianggap telah sesuai dengan
hukum sampai dapat dibuktikan sebaliknya dan dibatalkan. Presumptio adalah
praduga benar atau sesuai hukum. Padanan asas ini dalam hukum acara pidana
adalah asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent) bahwa setiap
tersangka tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya. Tersangka belum
dinyatakan bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Perlindungan hukum terhadap produk hukum seorang Notaris dapat
dilindungi dengan adanya suatu asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden
van Rechtmatigheid atau Presumptio Iustae Causa) adalah asas yang menganggap
sah suatu produk hukum sebelum dikeluarkannya suatu putusan oleh pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, yang menetapkan sebaliknya. Dengan berlakunya
asas ini, akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris haruslah dianggap sebagai
akta yang sah dan berkekuatan mengikat bagi para pihak, sebelum dibuktikan
ketidakabsahan dari segi lahiriah, formal dan materil dari suatu akta otentik itu
sendiri. Disamping itu bila tidak dapat dibuktikan demikian, maka suatu akta yang
bersangkutan tetaplah sah dan mengikat bagi para pihak atau pihak manapun yang
mempunyai kepentingan dengan akta itu.73 Asas praduga sah ini telah diakui oleh
UUJN, hal ini dapat ditemukan dalam penjelasan bagian umum yang menetapkan
bahwa suatu akta Notaris meruapakan alat bukti tertulis yang terkuat dan
73Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Reflika Aditama, 2008), hlm. 79.
48
terpenuh, sehingga apa yang terdapat dalam akta Notaris tersebut haruslah dapat
diterima, kecuali dalam hal para pihak yang berkepentingan bisa melakukan
pembuktian yang sebaliknya di muka sidang pengadilan.74
Notaris sebagai seorang pejabat publik yang memiliki kewenangan tertentu
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 15 UUJN, maka akta Notaris
dapat mengikat para pihak tersebut atau pihak lain yang mempunyai kepentingan
dengan akta itu. Apabila dalam hal pembuatan suatu akta, Notaris tersebut
berwenang dalam hal pembuatan akta yang dalam hal ini sesuai kehendak para
pihak dan dari segi lahiriah, formal, dan materil sudah sesuai dengan segalaaturan
hukum terkait dengan pembuatan akta Notaris, maka akta Notaris tersebut
dianggap sah.75
Akta Notaris sebagai salah satu produk yang dibuat oleh pejabat publik, maka
penilaian yang dilakukan terhadap akta Notaris haruslah dilakukan dengan asas
praduga sah atau disebut juga asas vermoeden van rechtmatigheid76 atau asas
presumption iustae causa.77
Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta Notaris, dimana akta Notaris
haruslah dianggap sah sampai dengan ada pihak yang menyatakan bahwa akta
tersebut tidak sah. Untuk menetapkan atau menilai bahwa suatu akta tersebut
tidaklah sah harus mengajukan gugatan pada pengadilan umum. Sepanjang
gugatan sedang berjalan sampai akhirnya ada putusan dari pengadilan yang
74Ibid. 75Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia ....., Op.cit., hlm. 140. 76Menurut Philipus M.Hadjon, dengan asas ini setiap tindakan pemerintah selalu
dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Lihat Philipus M.Hadjon, Pemerintahan
Menurut Hukum (Wet-en Rechthmatig Bestuur), (Surabaya: Yuridika, 1993), hlm. 80. 77Menurut Paulus Effendi Lotulung, berdasarkan asas ini suatu keputusan tata
usaha negara harus dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada
prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan. (dalam: Paulus Efendi Lotulung, Beberapa
Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah – Seri ke 1: Perbandingan Hukum
Admnistrasi dan Sistem Peradilan Administrasi,Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 80.
49
memiliki kekuatan hukum yang sifatnya tetap, maka akta Notaris tetaplah sah dan
berkekuatan mengikat para pihak atau pihak lain yang mempunyai kepentingan
dengan akta itu sendiri.78
Menerapkan asas praduga sah untuk akta Notaris, maka berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 84 UUJN yang menetapkan
bahwa apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang
dimaksud dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal
48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 UUJN, maka akta yang bersangkutan
tersebut, menjadi hanya berkekuatan pembuktian sebagai suatu akta di bawah
tangan. Dengan demikian akta Notaris hanya dapat dibatalkan atau batal demi
hukum. Asas praduga sah itu sendiri mempunyai keterkaitan dengan suatu akta
yang dapat dibatalkan, dan termasuk dalam suatu tindakan yang mengandung
cacat, yakni terkait dengan tidak berwenangnya seorang Notaris dalam hal
pembuatan suatu akta, yakni dari segi lahiriah, formal, materil, dan juga tidak
sesuai dengan aturan hukum terkait dengan pembuatan suatu akta Notaris. Asas
ini tidaklah dapat digunakan guna menilai suatu akta batal demi hukum, karena
suatu akta batal demi hukum berarti sama dengan tidak pernah dibuat.
78Ibid., hlm 80.
Top Related