BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA
A. Aspek Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks,
bukan hanya terkait dengan masalah pendapatan, tetapi juga menyangkut
kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki
maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda
akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks
kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan
bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan
kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus
dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.
1. Pengertian Kemiskinan Jika dikaitkan dengan masalah kepemilikan (proper) kemiskinan
dapat dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk
menjamin kelangsungan hidup. Sementara dalam arti luas, kemiskinan
merupakan suatu fenomena yang multi aspek (multi face) yang
mencakup dimensi-dimensi: (i) Kemiskinan (proper); (ii)
Ketidakberdayaan (powerless); (iii) Kerentanan dalam menghadapi
situasi darurat (state of emergency); (iv) Ketergantungan (dependence);
dan (v) Keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis
(Suryawati, 2005: 122).
BKKBN mengartikan kemiskinan sebagai keluaga miskin Pra
Sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya;
tidak mampu makan 2 (dua) kali sehari; tidak memiliki pakaian
berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian terluas rumah
berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarganya ke
sarana kesehatan. Pengertian ini kemudian digunakan untuk
mendefinisikan Keluarga Miskin, yaitu (Tim Crescent, 2003: 5): (i)
Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging ikan/telur, (ii)
Setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang 1
(satu) setel pakaian baru, dan (iii) Luas lantai rumah paling kurang 8
m2 untuk tiap penghuni. Sedang pengertian Keluarga Miskin Sekali,
yaitu keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi
- 14 -
salah satu atau lebih yang meliputi (Tim Crescent, 2003: 5-6): (i) Pada
umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali atau lebih, (ii)
Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian, dan (iii) Bagian lantai yang terluas
bukan dari tanah.
Kemiskinan juga terkait dengan masalah budaya, dimana menurut
Oscar Lewis, budaya kemiskinan adalah gaya hidup yang khas, yang
berkembang di sebagian besar lapisan masyarakat miskin dan cara
hidupnya sangat berbeda dengan lapisan masyarakat lainnya. Lebih
lanjut dikatakan bahwa budaya kemiskinan adalah: (i) Masyarakat itu
miskin, karena budaya dalam diri masyarakat tersebut, (ii) Masyarakat
tidak terangsang untuk menyelenggarakan pembangunan, jadi sifatnya
fatalism, (iii) Tidak ada tantangan untuk maju, (iv) Tidak mampu
melihat hari esok dengan baik, dan (v) Cepat putus asa dalam
menghadapi masalah. Sementara menurut John Kenneth Galbraith,
budaya kemiskinan adalah cara penyesuaian yang sangat realistis
terhadap keputusasaan. Budaya miskin dan kemiskinan merupakan
proses saling memperkuat, semakin lebar putarannya/lingkarannya,
akan semakin lebar kemiskinannya. Di lain pihak, Bill Waren (1982)
telah menjelaskan bahwa ketergantungan adalah pengkondisian
struktur kemiskinan. Sedang kemiskinan adalah hasil dari atau sama
dengan keterbelakangan. Pembangunan dan keterbelakangan
merupakan bagian yang terpisah (Pradhanawati, 2008). Kebijakan pemerintah dalam menentukan jumlah dan persentase
penduduk miskin, menggunakan perhitungan yang berdasarkan
tingkat pengeluaran per kapita. Mereka yang memiliki tingkat
pengeluaran lebih randah dari Garis Kemiskinan (GK) dikategorikan
miskin. Garis kemiskinan, yang merupakan standar kebutuhan dasar
tersebut terdiri atas 2 (dua) komponen, yaitu batas kecukupan
makanan dan non makanan. GK ini pada prinsipnya adalah suatu
standar minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Dengan perkataan lain, GK adalah nilai
pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan
makanan per kapita per bulan.
Dalam konsep Bappenas (2004), kemiskinan tidak lagi dipahami
hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan
pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang
- 15 -
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani
kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak
yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat
menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam
peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara
umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan
atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-
hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama
lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi
pemenuhan hak lainnya.
2. Jenis-Jenis Kemiskinan Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005: 122) membagi kemiskinan
ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan Absolut. Suatu keluarga dikatakan berada dalam
kemiskian absolut, bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan
atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup
dan bekerja. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan
garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu yang biasanya
berupa jumlah atau nilai pendapatan dan unit uang. Namun
ukuran bisa pula berbentuk jumlah konsumsi kalori, atau lainnya,
yang memungkinkan adanya perbedaan jumlah atau nilai
perbedaan pendapatan dalam unit uang. Parameter ini merupakan
ukuran yang tetap dan kriteria pengukuran seperti itu diperoleh
dari pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan biologis dan
pendekatan kebutuhan dasar.
b. Kemiskinan Relatif. Kondisi miskin yang disebabkan oleh
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau
kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan
terjadinya ketimpangan pada pendapatan, antarsatu
daerah/wilayah dengan daerah/wilayah lainnya. Berbeda dengan
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk
pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antarkelompok
- 16 -
masyarakat. Mereka yang berada di lapis terbawah dalam persentil
derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan sebagai
penduduk miskin. Dengan kategorisasi seperti ini, dapat saja
mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat
mencukupi hak-hak dasarnya, namun tingkat keterpenuhinya
masih berada di lapisan terbawah.
c. Kemiskinan Kultural. Jenis kemiskinan ini, mengacu pada
persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh
faktor budaya, seperti: tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan
dari pihak luar, dan sebagianya.
d. Kemiskinan Struktural. Situasi miskin yang disebabkan karena
rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu
sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung
pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya
kemiskinan.
Sedang Owin Jarnasi (2004) dalam Suryawati (2005: 122)
menyatakan bahwa kemiskinan struktural lebih banyak menjadi
sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga
kemiskinan yang lain (absolut, relatif dan kultural). Sementara M.
Mas’oed (1997) dalam Suryawati (2005: 122) membedakan kemiskinan
menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Kemiskinan Alamiah. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan
kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta
keadaan tanah yang tandus.
b. Kemiskinan Buatan. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan
oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat
masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan
fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
3. Karakteristik Kemiskinan
Pada tahun 1976, tepatnya saat pengukuhan sebagai Guru Besar
Tetap dalam Ekonomi Perencanaan FE-UI Jakarta pada 14 Pebruari
1976, Emil Salim pernah menjelaskan mengenai ciri-ciri penduduk
miskin, yaitu (Salim, 1976: 12-3):
a. Sebagian terbesar penduduk miskin tinggal di perdesaan. Hal
ini sangat terkait dengan mata pencahariannya, yang sebagian
- 17 -
besar adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri.
Kalaupun ada yang memiliki tanah, luasnya tidak seberapa dan
tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup yang layak.
b. Penduduk miskin pada umumnya adalah penganggur atau setengah penganggur. Kalau ada pekerjaan sifatnya tidak teratur,
atau pekerjaan tersebut tidak memberi pendapatan yang
memadahi bagi tingkat hidup yang wajar. Mereka ini ada, baik di
perkotaan maupun di perdesaan.
c. Penduduk miskin biasanya berusaha sendiri dengan menyewa peralatan dari orang lain. Sifat usaha ini kecil atau usaha rumah
tangga dan sangat terbatas karena tidak adanya modal untuk
mendukung usahanya. Banyak dijumpai di perkotaan, tetapi
dapat juga dijumpai di perdesaan.
d. Kebanyakan penduduk miskin tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Rendahnya pendidikan sering berdampak
pada kurangnya kesempatan untuk memperoleh jumlah yang
cukup akan bahan kebutuhan pokok, perumahan, fasilitas
kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan dan komunikasi
serta fasilitas kesejahteraan sosial lainnya.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa hidup dalam
kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat
pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat
kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum,
kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan
menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan
jalan hidupnya sendiri. Emil Salim dalam Alfian, dkk (1980: 35) juga
telah mengungkapkan bahwa hal-hal yang tidak dimiliki oleh
Penduduk Miskin, adalah: (i) Mutu tenaga kerja yang tinggi; (ii) Jumlah
modal yang memadahi; (iii) Luas tanah dan sumber alam yang cukup;
(iv) ketrampilan dan keahlian yang cukup tinggi; (v) kondisi fisik
jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik; serta (vi) lingkungan hidup
yang memungkinkan perubahan dan kemajuan.
4. Penyebab Kemiskinan
Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005: 123) telah menyoroti
beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
- 18 -
a. Policy Induces Processes: proses pemiskinan yang dilestarikan,
direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of
policy) di antaranya adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi
realitanya justru melestarikan kemiskinan.
b. Socio-Economic Dualism: negara eks-koloni mengalami
kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi
marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai oleh petani
skala besar dan berorientasi ekspor.
c. Population Growth: perspektif yang didasari pada teori Malthus
bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedang
pertambahan pangan seperti deret hitung.
d. Recources Management and the Environment: adanya unsur
mis management sumber daya alam dan lingkungan, seperti
manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan
produktivitas.
e. Natural Cycles and Processes: kemiskinan terjadi karena siklus
alam. Misalnya, tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika
turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan
kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang
maksimal dan terus-menerus.
f. The Marginalization of Woman: peminggiran kaum perempuan
karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua,
sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih
rendah dari laki-laki.
g. Cultural and Ethnic Factors: bekerjanya faktor budaya dan
etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup
konsumtif para petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat
istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
h. Explotative Intermediation: keberadaan penolong yang menjadi
penodong, seperti rentenir (lintah darat).
i. Internal Political Fragmentation and Civil Stratfe: suatu
kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi
politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
j. International Processes: bekerjanya sistem-sistem internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi
semakin miskin.
- 19 -
Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di
masyarakat disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu
(Nasikun (2001) dalam Suryawati, 2005: 123):
a. Natural Assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar
masyarakat hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk
mata pencahariannya.
b. Human Assets: menyangkut kualitas sumber daya manusia yang
relatif masih rendah (tingkat pendidikan, pengetahuan,
keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan
teknologi).
c. Physical Assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas
umum, seperti: jaringan jalan, listrik, dan komunikasi.
d. Financial Assets: berupa tabungan (saving), serta akses untuk
memperoleh modal usaha.
e. Social Assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik,
dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan
keputusan-keputusan politik.
Merujuk pada dokumen Bappenas (2005: 70) tentang Strategi
Nasional Penanggulangan Kemiskinan, penyebab kemiskinan
bersumber dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan masyarakat
dalam memenuhi hak-hak dasar; kerentanan masyarakat menghadapi
persaingan, konflik dan tindak kekerasan; lemahnya penanganan
masalah kependudukan; ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender;
dan kesenjangan pembangunan yang menyebabkan masih banyaknya
wilayah yang dikategorikan tertinggal dan terisolasi. Masalah
kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antar wilayah
perdesaan, perkotaan, serta permasalahan khusus di kawasan pesisir
dan kawasan tertinggal.
Ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hak-hak dasar
secara umum berkaitan dengan kegagalan kepemilikan aset terutama
tanah dan modal; terbatasnya jangkauan layanan dasar terutama
kesehatan dan pendidikan; terbatasnya ketersediaan sarana dan
prasarana pendukung; rendahnya produktivitas dan tingkat
pembentukan modal masyarakat; lemahnya partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan publik; pemanfaatan sumberdaya alam
yang berlebihan, tidak berwawasan lingkungan dan kurang melibatkan
- 20 -
masyarakat; kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral, berjangka
pendek dan parsial; serta lemahnya koordinasi antarinstansi dalam
menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
dasar.
5. Program-Program Penanggulangan Kemiskinan
Selama pemerintahan Orde Baru (ORBA) telah ada beberapa
program yang dicanangkan untuk menanggulangi kemiskinan, yang
antara lain dalam bentuk: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),
Tabungan Kesejahteraan Keluarga (TAKESRA) dan juga Kredit Usaha
Kesejahteraan Keluarga (KUKESRA). IDT memiliki sasaran penduduk
miskin yang ada di desa-desa tertinggal, sedang TAKESRA dan
KUKESRA memiliki sasaran penduduk miskin yang berada di luar
lokasi desa-desa tertinggal. Sasarannya dibatasi pada keluarga yang
masuk dalam kategori Keluarga Prasejahtera (KP) dan Keluarga
Sejahtera I (KS-I), hasil survei yang dilakukan oleh Badan
Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sejak tahun 1994, BKKBN mengembangkan indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan
indikator ekonomi, indikator kesehatan, indikator gizi, dan indikator
sosial. Hasil dari penelitian tersebut dapat memetakan kesejahteraan
dalam tingkatan dan ketegori: (i) Keluarga Prasejahtera (KP), (ii)
Keluarga Sejahtera I (KS-I), (iii) Keluarga Sejahtera II (KS-II), dan (iv)
Keluarga Sejahtera III Plus (KS-III Plus). Keluarga yang masuk kategori
miskin adalah KP dan KS-I. Gambaran selengkapnya, antara lain dapat
dilihat pada Sulistiani (2004: 35) dan juga Tim Crescent (2003: 5-6).
Sementara, terkait dengan perbedaan kebijakan-kebijakan dalam
penanggulangan kemiskinan (IDT, P3DT, PPK, P2KP, PDMDKE, PARUL,
dan PSEM), dapat dilihat pada Sumodiningrat (2007: 72-6 [Tabel 4]).
Upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh
pemerintah, khususnya oleh pemerintah daerah, dilakukan melalui
dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). SPKD
merupakan dokumen strategi penanggulangan kemiskinan daerah yang
digunakan sebagai rancangan kebijakan pembangunan daerah di
bidang penanggulangan kemiskinan dalam proses penyusunan RPJMD
pada tahun-tahun selanjutnya. Penyusunan SPKD dilakukan di setiap
daerah, baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Pihak yang
- 21 -
bertanggungjawab dalam menyusun SPKD adalah Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Daerah. Selanjutnya, melalui
TKPK Daerah dibentuk Tim Penyusun SPKD yang keanggotaannya
melibatkan berbagai elemen dari lintas pelaku (multi-stakeholders).
SPKD merupakan representasi dari strategi dan prinsip
penanggulangan kemiskinan nasional. Secara konseptual, substansi
SPKD harus disesuaikan dengan kondisi faktual di masing-masing
daerah sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh daerah.
Strategi penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang telah
ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010),
mempuyai tujuan: (i) mengurangi beban pengeluaran masyarakat
miskin, (ii) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat
miskin, (iii) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro
dan Kecil (UMK), dan (iv) membentuk sinergi kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan. Sementara, prinsip utama dalam
penanggulangan kemiskinan yang komprehensif, ditempuh melalui: (i)
perbaikan dan pengembangan sistem perlindungan sosial, (ii)
pningkatan akses pelayanan dasar, (iii) pemberdayaan kelompok
masyarakat miskin, dan (iv) pembangunan yang inklusif.
Dalam hal penangggulangan kemiskinan di bidang ekonomi, maka
segenap upaya harus dilakukan agar kaum miskin tetap mendapatkan
bagian dari kue perencanaan (baca: PDRB atau Produk Domestik
Bruto) yang merupakan hasil pelaksanaan program-program
pembangunan. Dengan identifikasi penduduk miskin sudah merujuk
nama dan alamat (by name by address), akan ditemukan umur
penduduk miskin yang bisa dikategorikan ke dalam: (i) Usia belum
produktif (0-14 tahun). (ii) Usia produktif (15-55 tahun), dan (iii)
usia di atas produktif (di atas 55 tahun). Sasaran pelaksanaan
program-program pembangunan sebaiknya disesuaikan dengan
kelompok umur, di mana untuk kelompok usia produktif harus
lebih diutamakan. Kerangka pelaksanaan kebijakan
penanggulangan kemiskinan dari bidang ekonomi, selengkapnya
dapat dilihat pada gambar berikut.
- 22 -
Gambar 2.1 Kerangka Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di
Bidang Ekonomi
B. Profil Kemiskinan Sebelum menjelaskan profil kemiskinan di Kota Surakarta akan
dipaparkan terlebih dahulu kondisi kependudukan pada beberapa kurun
waktu terakhir. Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa selama tahun 2004-
2011, jumlah penduduk di Kota Surakarta mengalami fluktuasi naik - turun
pada kisaran angka sekitar 500.000 jiwa. Jumlah penduduk yang pada
tahun 2004 mencapai 510.711 jiwa, pada tahun 2011 turun menjadi sekitar
501.650 jiwa. Penduduk perempuan selalu lebih dominan, jika dibanding
dengan penduduk laki-laki. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya Rasio Jenis
Kelamin (sex ratio) yang kurang dari 100. Gambaran jumlah penduduk di
Kota Surakarta, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Aktivitas/Kegiatan Ekonomi (PDRB)
Fasilitator Pelaku usaha (Masy) Pembiayaan Pendamping Usaha
Aktivitas/Kegiatan Ekonomi (PDRB)
Peningkatan Pendapatan Kaum Menengah dan Kaya
CSR/PKBL Keu. Mikro Pasar dan
Keterkaitan industri
Keb. Dasar (sesuai umur)
Tabungan
Bayar Pajak
Anggaran Publik (APBN/APBD)
Modal Usaha Modal Manusia
(Pendidikan, Kesehatan, dll)
Keterampilan
Infrastruktur Publik Jalan, jembatan Pengolahan SDA Pembenahan
Kelembagaan
Keuangan Mikro Akses Modal Teknologi Tepat
Guna Pelatihan Mgt
Usaha
- 23 -
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kota Surakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004 – 2011
Tahun Jenis Kelamin
Sex Jumlah Rasio Jenis Kelamin Year Laki-Laki
Male Perempuan
Female Total Sex Ratio
(1) (2) (3) (4) (5) 2004 249.278 261.433 510.711 95,35 2005 250.868 283.672 534.540 88,44 2006 254.259 258.639 512.898 98,31 2007 246.132 269.240 515.372 91,42 2008 247.245 275.690 522.935 89,68 2009 249.287 278.915 528.202 89,38 2010 243.296 256.041 499.337 95,02 2011 245.283 256.367 501.650 95,68
Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012
Jika dirinci menurut kecamatan, jumlah penduduk yang paling banyak
ada di Kecamatan Banjarsari, yang pada tahun 2011 mencapai sebesar
177.985 jiwa, sedang kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah
Kecamatan Serengan, yaitu sekitar 63.491 jiwa. Kecamatan Banjarsari juga
merupakan wilayah dengan luas terbesar (sekitar 14,81 km2). Gambaran
jumlah penduduk di Kota Surakarta berdasar pembagian wilayah
kecamatan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan di Kota Surakarta 2011
Kecamatan Luas
Wilayah Jumlah Penduduk
Number of Population Rasio Jenis
Kelamin Tingkat
Kepadatan District Area
(km2) Laki-Laki
Male Perempuan
Female Jumlah Total
Sex Ratio (%)
Population Density
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Laweyan 8,64 54.834 56.933 111.767 96,31 12.936 Serengan 3,19 31.239 32.252 63.491 96,86 19.903 Pasar Kliwon 4,82 43.799 45.365 89.164 96,55 18.499 Jebres 12,58 72.286 73.417 145.703 98,46 11.582 Banjarsari 14,81 88.287 89.698 177.985 98,43 12.018
Jumlah 44,04 290.445 297.665 588.110 97,57 13.354
Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012
Jika dilihat dari sisi penduduk dalam kategori angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja, dari Tabel 2.3 dan Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa
hingga tahun 2011, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang
jumlahnya 385.899 jiwa, sebanyak 266.308 jiwa merupakan angkatan kerja
- 24 -
dan sisanya sebanyak 119.591 jiwa masuk kategori bukan angkatan kerja.
Gambaran, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. Sementara jika
dilihat berdasar jenis kelamin, sebagian besar penduduk di Kota Surakarta
yang bekerja adalah laki-laki (sekitar 75,78%), termasuk juga yang
menganggur masih dominan yang laki-laki (sekitar 8,82%), sedang sebagian
besar bukan angkatan kerja dalam kategori mengurus rumah tangga adalah
wanita (sekitar 30,19%). Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Tabel 2.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas menurut Usia Kerja dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011
Penduduk Usia Kerja
Laki-Laki Perempuan Jumlah
Jumlah % Jumlah % (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Angkatan Kerja 151.069 56,73 115.239 43,27 266.308 - Bekerja 140.689 56,42 108.679 43,58 249.368 - Pengangguran 10.380 61,28 6.560 38,72 16.940 Bukan Angkatan Kerja
34.575 28,91 85.016 71,09 119.591
- Sekolah 16.368 50,13 16.281 49,87 32.649 - Mengurus
Rumah Tangga
7.296 10,77 60.461 89,23 67.757
- Lainnya 10.911 56,87 8.274 43,13 19.185 Jumlah 185.644 48,11 200.255 51,89 385.899
Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012
Gambar 2.2 Perbandingan Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas
menurut Usia Kerja dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011
Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012
- 25 -
Untuk kategori penduduk miskin, perkembangan jumlah penduduk
miskin di Kota Surakarta dalam tahun 2002–2010 juga menunjukkan
adanya fluktuasi yang naik turun, di mana jumlah penduduk miskin yang
pada tahun 2002 sejumlah 64.400 jiwa atau sekitar 14,23% pada tahun
2010; telah meningkat menjadi sejumlah 69.800 jiwa atau sekitar 13,98%.
Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.4 Penduduk Miskin Kota Surakarta Tahun 2002 – 2010
Tahun Jumlah (orang) Persentase
(1) (2) (3)
2002 64.400 14,23
2003 72.800 15,00
2004 69.500 13,72
2005 69.100 13,34
2006 77.600 15,21
2007 69.800 13,64
2008 83.360 16,13
2009 77.970 14,99
2010 69.800 13,98
Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/
2012
Di lain pihak, jika penduduk miskin di Kota Surakarta dibandingkan
dengan jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota yang lain di Jawa
Tengah, data dalam dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan
bahwa tingkat kemiskinan di Kota Surakarta (sebesar 13,96%) bersama
dengan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pati, Kabupaten Temanggung,
Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Batang (9 Kabupaten/kota) termasuk
dalam kategori kedua (menengah), yaitu kabupaten/kota dengan tingkat
kemiskinan di atas angka nasional (besarnya 13,33% pada bulan Maret
tahun 2010) namun di bawah angka provinsi (besarnya 16,11% pada
bulan Juli tahun 2010). Posisi tingkat kemiskinan di Kota Surakarta
dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar
berikut.
- 26 -
Gambar 2.3 Perbandingan Tingkat Kemiskinan Antara Masing-Masing
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional Tahun 2010 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.
Dari Gambar 2.3 di atas dapat dilihat bahwa Kota Surakarta yang
digambarkan dengan diagram batang warna kuning, masuk kategori
menengah, yaitu posisi tingkat kemiskinan penduduk berada di atas angka kemiskinan tingkat Nasional, namun berada di bawah angka kemiskinan Provinsi Jawa Tengah.
Tingkat kemiskinan di Kota Surakarta yang masih relatif tinggi, secara
perlahan harus bisa diturunkan dan bisa masuk dalam kategori pertama,
yaitu masuk jajaran kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan berada di bawah angka Nasional yaitu sebesar 13,33% pada bulan Maret tahun 2010.
Di Provinsi Jawa Tengah ada 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang masuk
kategori pertama (tingkat kemiskinan rendah), yaitu: (i) Kabupaten
Sukoharjo, (ii) Kabupaten Kudus, (iii) Kabupaten Jepara, (iv) Kabupaten
Semarang, (v) Kabupaten Tegal, (vi) Kota Magelang, (vii) Kota Salatiga, (viii)
Kota Semarang, (ix) Kota Pekalongan, dan (x) Kota Tegal.
Dengan membagi Garis Kemiskinan, menjadi: (i) Kategori Rendah, (ii)
Kategori Sedang, dan (iii) Kategori Tinggi; Kota Surakarta masuk dalam
kategori Garis Kemiskinan Tinggi. Garis Kemiskinan Tinggi adalah garis
kemiskinan di kabupaten/kota yang berada di atas garis kemiskinan
Nasional (bulan Maret 2010 sebesar Rp211.726,00/kapita/bulan). Ada 17
- 27 -
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang masuk dalam kategori Garis
Kemiskinan Tinggi, yaitu: Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten,
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang,
Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta
(sebesar Rp.306.584,-/kapita/bulan dan menempati urutan teratas di
Provinsi Jawa Tengah), Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan
Kota Tegal. Adapun perbandingan Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) se-Eks
Karesidengan Surakarta Tahun 2010 adalah sebagai berikut.
Gambar 2.4 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) se-Eks Karesidenan
Surakarta Tahun 2010
Sementara itu, tingkat kemiskinan di Kota Surakarta berdasar hasil
Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Tahun 2011, menunjukkan
bahwa jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sebesar 36.933 Kepala
Keluarga (KK), dan jika dihitung secara individu atau jumlah Anggota
Rumah Tangga (ART) sebesar 146.176 jiwa. Jumlah keseluruhan penduduk
miskin di Kota Surakarta berdasar RTS dan ART berdasar wilayah
kecamatan dan kelurahan, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5 Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan dan Kelurahan (dalam satuan KK: Kepala Keluarga)
No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5) I. Kec. Laweyan
01. Pajang 802 1.383 72,44% 02. Laweyan 62 144 132,26% 03. Bumi 264 386 46,21% 04. Panularan 280 548 95,71%
- 28 -
No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5) 05. Sriwedari 119 161 35,29% 06. Penumping 111 181 63,06% 07. Purwosari 314 484 54,14% 08. Sondakan 378 593 56,88% 09. Kerten 245 497 102,86% 10. Jajar 170 377 121,76% 11. Karangasem 170 450 164,71%
Jumlah 2.915 5.204 78,52% II. Kec. Serengan 01. Joyontakan 459 762 66,01% 02. Danukusuman 405 748 84,69% 03. Serengan 325 615 89,23% 04. Tipes 579 750 29,53% 05. Kratonan 170 262 54,12% 06. Jayengan 69 116 68,12% 07. Kemlayan 92 145 57,61%
Jumlah 2.099 3.398 61,89% III Kec. Pasar Kliwon 01. Joyosuran 464 713 53,66% 02. Semanggi 2.101 2.927 39,31% 03. Pasar Kliwon 281 260 -7,47% 04. Baluwarti 275 460 67,27% 05. Gajahan 141 190 34,75% 06. Kauman 80 110 37,50% 07. Kampung Baru 130 147 13,08% 08. Kedung Lumbu 199 292 46,73% 09. Sangkrah 978 1.103 12,78%
Jumlah 4.649 6.202 33,41% IV Kec. Jebres 01. Kepatihan Kulon 99 191 92,93% 02. Kepatihan Wetan 154 178 15,58% 03. Sudiroprajan 304 228 -25,00% 04. Gandekan 551 847 53,72% 05. Sewu 421 728 72,92% 06. Pucang Sawit 788 1,582 100,76% 07. Jagalan 605 965 59,50% 08. Purwodiningratan 223 372 66,82% 09. Tegal Harjo 182 209 14,84% 10. Jebres 1.056 1.945 84,19% 11. Mojosongo 977 2.748 181,27%
Jumlah 5.360 9.993 86,44%
- 29 -
No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5) V. Kec. Banjarsari 01. Mangkubumen 417 645 54,68% 02. Timuran 121 131 8,26% 03. Keprabon 177 237 33,90% 04. Ketelan 228 262 14,91% 05. Punggawan 137 277 102,19% 06. Kestalan 106 192 81,13% 07. Setabelan 221 220 -0,45% 08. Gilingan 1.143 1.663 45,49% 09. Manahan 400 573 43,25% 10. Sumber 583 935 60,38% 11. Nusukan 1.236 2.296 85,76% 12. Kadipiro 1.850 3.991 115,73% 13. Banyuanyar 312 714 128,85%
Jumlah 6.931 12.136 75,10% Kota Surakarta 21.954 36.933 68,23%
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Dengan meringkas Tabel 2.5 berdasar wilayah kecamatan, dari 5 (lima)
kecamatan yang ada Kota Surakarta, Kecamatan Banjarsari mempunyai
jumlah penduduk miskin yang diukur dengan satuan Rumah Tangga
Sasaran (RTS), menempati peringkat yang paling tinggi, yaitu sejumlah
12.136 KK. Gambaran selengkapnya lihat tabel berikut ini.
Tabel 2.6 Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta Hasil PPLS
Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan (dalam satuan KK: Kepala Keluarga)
No. Kecamatan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Laweyan 2.915 5.204 78,52%
2. Serengan 2.099 3.398 61,89%
3. Pasar Kliwon 4.649 6.202 33,41%
4. Jebres 5.360 9.993 86,44%
5. Banjarsari 6.931 12.136 75,10%
Kota Surakarta 21.954 36.933 68,23%
Sumber: Diolah dari Tabel 2.5
- 30 -
Di lain pihak, dengan merinci jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) ke
dalam keseluruhan jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta
yang dibagi berdasar wilayah kecamatan dan kelurahan, dapat dilihat
bahwa pada tahun 2011 jumlah keseluruhan RTS yang mencapai 36.933
KK jika dirinci menjadi ART secara keseluruhan mencapai sejumlah
146.176 jiwa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.7 Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta Hasil PPLS
Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan dan Kelurahan (dalam satuan jiwa / orang)
No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5) I. Kec. Laweyan
01. Pajang 2.724 5.646 107,27% 02. Laweyan 166 508 206,02% 03. Bumi 857 1.501 75,15% 04. Panularan 809 2.120 162,05% 05. Sriwedari 378 623 64,81% 06. Penumping 331 640 93,35% 07. Purwosari 1.040 1.834 76,35% 08. Sondakan 1.171 2.428 107,34% 09. Kerten 782 1.877 140,03% 10. Jajar 556 1.532 175,54% 11. Karangasem 567 1.766 211,46%
Jumlah 9.381 20.475 118,26% II. Kec. Serengan 01. Joyontakan 1.608 2.919 81,53% 02. Danukusuman 1.353 2.620 93,64% 03. Serengan 1.026 2.278 122,03% 04. Tipes 1.895 2.942 55,25% 05. Kratonan 511 1.044 104,31% 06. Jayengan 199 453 127,64% 07. Kemlayan 279 564 102,15%
Jumlah 6.871 12.820 86,58% III. Kec. Pasar Kliwon 01. Joyosuran 1.518 2.864 88,67% 02. Semanggi 7.415 11.861 59,96% 03. Pasar Kliwon 910 996 9,45% 04. Baluwarti 884 1.661 87,90% 05. Gajahan 440 738 67,73% 06. Kauman 270 395 46,30% 07. Kampung Baru 400 538 34,50% 08. Kedung Lumbu 678 1.194 76,11%
- 31 -
No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5) 09. Sangkrah 3.312 4.524 36,59%
Jumlah 15.827 24.771 56,51% IV. Kec. Jebres 01. Kepatihan Kulon 322 680 111,18% 02. Kepatihan Wetan 476 573 20,38% 03. Sudiroprajan 1.014 901 -11,14% 04. Gandekan 1.839 3,202 74,12% 05. Sewu 1.436 2.943 104,94% 06. Pucang Sawit 2.695 5.915 119,48% 07. Jagalan 1.989 3.932 97,69% 08. Purwodiningratan 672 1.368 103,57% 09. Tegal Harjo 543 774 42,54% 10. Jebres 3.484 7.959 128,44% 11. Mojosongo 3.368 11.603 244,51%
Jumlah 17.838 39.850 123,40% V. Kec. Banjarsari 01. Mangkubumen 1.350 2.504 85,48% 02. Timuran 353 445 26,06% 03. Keprabon 603 887 47,10% 04. Ketelan 751 935 24,50% 05. Punggawan 427 1.006 135,60% 06. Kestalan 293 707 141,30% 07. Setabelan 700 812 16,00% 08. Gilingan 3.901 6.496 66,52% 09. Manahan 1.299 2.200 69,36% 10. Sumber 1.962 3.860 96,74% 11. Nusukan 4.210 8.994 113,63% 12. Kadipiro 6.990 16.362 134,08% 13. Banyuanyar 1.147 3.052 166,09%
Jumlah 23.986 48.260 101,20% Kota Surakarta 73.903 146.176 97,79%
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Dengan meringkas Tabel 2.7 berdasar wilayah kecamatan, dari 5 (lima)
kecamatan yang ada Kota Surakarta, Kecamatan Banjarsari mempunyai
jumlah penduduk miskin dalam satuan Anggota Rumah Tangga (ART) yang
paling banyak, yaitu sejumlah 48.260 jiwa / orang. Gambaran selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
- 32 -
Tabel 2.8 Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan (dalam satuan jiwa / orang)
No. Kecamatan 2008 2011 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Laweyan 9.381 20.475 118,26%
2. Serengan 6.871 12.820 86,58%
3. Pasar Kliwon 15.827 24.771 56,51%
4. Jebres 17.838 39.850 123,40%
5. Banjarsari 23.986 48.260 101,20%
Kota Surakarta 73.903 146.176 97,79%
Sumber: Diolah dari Tabel 2.7
Dengan membagi Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Anggota Rumah
Tangga (ART) di Kota Surakarta menurut status kesejahteraannya, maka
bedasar basis data terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS 2011), dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. Kelompok 1, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS)
atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status
kesejahteraan sampai dengan 10% terendah di Indonesia.
b. Kelompok 2, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS)
atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status
kesejahteraan antara 11% - 20% terendah di Indonesia.
c. Kelompok 3, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS)
atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status
kesejahteraan antara 21% - 30% terendah di Indonesia.
Hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011) berdasar
Informasi Status Kesejahteraan Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota
Surakarta, menunjukkan bahwa dengan jumlah keseluruhan sebanyak
36.933 KK, untuk kelompok 2 dan kelompok 3 mempunyai jumlah yang
sama, yaitu sebanyak 11.579 KK, sedang untuk kelompok 1 sebanyak
13.775 KK. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.9 Informasi Status Kesejahteraan Rumah Tangga Sasaran (RTS) di
Kota Surakarta (dalam satuan KK)
No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Laweyan 1.597 1.635 1.972 5.204
2. Serengan 1.350 1.054 994 3.398
- 33 -
3. Pasar Kliwon 2.310 2.078 1.814 6.202
4. Jebres 4.374 2.972 2.647 9.993
5. Banjarsari 4.144 3.840 4.152 12.136
Kota Surakarta 13.775 11.579 11.579 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Sementara itu, Status Kesejahteraan Anggota Rumah Tangga (ART) di
Kota Surakarta, menunjukkan bahwa dengan jumlah keseluruhan sebanyak
146.176 orang / jiwa, untuk kelompok 1 berjumlah 58.945 orang, untuk
kelompok 2 berjumlah 45.646 orang, dan untuk kelompok 3 berjumkah
42.585 orang. Gambaran selengkapnya lihat tabel berikut.
Tabel 2.10 Informasi Status Kesejahteraan Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta (dalam satuan orang / jiwa)
No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Laweyan 6.754 6.494 7.227 20.475 2. Serengan 5.482 3.947 3.391 12.820 3. Pasar Kliwon 10.319 8.175 6.277 24.771 4. Jebres 18.638 11.768 9.444 39.850 5. Banjarsari 17.752 15.262 15.246 48.260 Kota Surakarta 58.945 45.646 41.585 146.176
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Pada bagian berikut akan diuraikan dan dipaparkan kondisi
kemiskinan di Kota Surakarta berdasar data PPLS Tahun 2011 yang
disusun berdasar 5 (lima) bidang pembangunan, yaitu: (i) Bidang
Pendidikan, (ii) Bidang Kesehatan, (iii) Bidang Prasarana Dasar, (iv) Bidang
Ketenagakerjaan, dan (v) Bidang Ketahanan Pangan. Penjelasan lebih lanjut,
selengkapnya akan dibahas pada bagian berikut.
1. Bidang Pendidikan a. Indikator
Indikator bidang pendidikan secara umum mencakup: (i) Angka
Partisipasi Murni (APM) SD/MI, (ii) Angka Partisipasi Kasar (APK)
SMP/MTs, (iii) Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs, (iv) Angka
Putus Sekolah Umur 7 – 12 tahun, dan juga (v) angka buta huruf.
Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil
- 34 -
Pembangunan di Bidang Pendidikan, selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 2.11 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Pendidikan
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3) Angka Partisipasi Kasar (APK) (%)
Perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA, dan sebagainya), tanpa memandang usianya, dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena terdapat murid yang berusia di luar usia resmi sekolah (karena terlalu cepat mendaftar, terlambat mendaftar atau mengulang), terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah perbatasan (murid bertempat tinggal di luar daerah dimana mereka bersekolah)
Semakin tinggi angka ini semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan di suatu daerah, atau semakin tinggi daya serap pendidikan pada jenjang itu terhadap penduduk, tanpa memandang usia di daerah yang bersangkutan.
Angka Partisipasi Murni (APM) (%)
Perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA) dengan penduduk usia sekolah yang sesuai
Semakin tinggi angka ini semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada jenjang pendidikan tertentu, atau semakin tinggi daya serep pendidikan pada jenjang itu terhadap anak usia sekolah di daerah yang bersangkutan. Nilai ideal APM adalah 100%
Angka putus sekolah
Perbandingan antara jumlah murid putus sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA, dan sebagainya) dengan jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu
Semakin tinggi angka ini semakin banyak siswa yang putus sekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah, atau semakin rendah tingkat kontinyuitas pendidikan masyarakat pada jenjang yang dimaksud
Angka buta huruf
Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya, terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas
Semakin tinggi angka ini semakin rendah tingkat keterbukaan masyarakat di suatu daerah terhadap pengetahuan. Juga menunjukkan semakin tidak efektif pendidikan dasar (program keaksaraan) di daerah yang bersangkutan
Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.
- 35 -
b. Data Pendukung Jumlah anak yang bersekolah di Kota Surakarta berdasar wilayah
kecamatan yang pada saat survei masih berstatus bersekolah; dapat
dilihat bahwa dominasi anak di Kota Surakarta, baik yang berjenis
kelamin perempuan maupun laki-laki masih dominan pada usia
sekolah SD hingga SMP, dengan jumlah total mencapai 23.682 siswa
atau sekitar 85,80% dari keseluruhan anak pada tahun 2011 yang
sedang bersekolah. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2.12 Jumlah Anak yang Bersekolah di Kota Surakarta pada Tahun 2011
Kecamatan Usia 7-12 Usia 13-15 Usia 16-18
TOTAL P L P L P L
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Laweyan 1.014 1.081 520 593 276 313 3.797 Serengan 627 727 340 311 161 164 2.330 Pasar Kliwon 1.339 1.400 643 638 290 326 4.636 Jebres 2.065 2.148 1.063 1.054 510 561 7.401 Banjarsari 2.696 2.730 1.326 1.367 650 669 9.438 Kota Surakarta 7.741 8.086 3.892 3.963 1.887 2.033 27.602
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Sementara itu, jumlah anak yang yang tidak bersekolah, yang
pada saat survei dilaksanakan belum bersekolah dan/atau tidak lagi
bersekolah, menunjukkan bahwa anak usia 16-18 tahun (usia setelah
lulus SLTA) menunjukkan jumlah yang relatif dominan. Gambaran
kondisi anak yang tidak bersekolah di Kota Surakarta, dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.13 Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah di Kota Surakarta pada Tahun 2011
Kecamatan Usia 7-12 Usia 13-15 Usia 16-18
TOTAL P L P L P L
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Laweyan 57 53 34 31 220 228 623 Serengan 14 17 33 33 172 168 437 Pasar Kliwon 40 52 81 104 303 400 980 Jebres 48 66 83 109 438 487 1.231 Banjarsari 88 113 101 139 515 584 1.540 Kota Surakarta 247 301 332 416 1.648 1.867 4.811
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
- 36 -
Jika dilihat dari jenis pendidikan yang sedang ditempuh oleh
penduduk di Kota Surakarta dengan pendidikan SD dan yang
sederajat, berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 17.719 orang,
dengan dominasi yang besar ada di Kecamatan Banjarsari, yaitu
sejumlah 5.739 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 2.14 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SD dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011
Kecamatan SD / SDLB / Paket A M. Ibtidaiyah
TOTAL P L P L
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laweyan 1.061 1.164 32 44 2.301 Serengan 706 801 8 4 1.519 Pasar Kliwon 1.544 1.596 36 31 3.207 Jebres 2.403 2.499 28 23 4.953 Banjarsari 2.785 2.898 31 25 5.739 Kota Surakarta 8.499 8.958 135 127 17.719
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Jika dilihat dari jenis pendidikan yang sedang ditempuh oleh
penduduk di Kota Surakarta, dengan pendidikan SLTP/SMP dan yang
sederajat berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 8.442 orang,
dengan jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu
sejumlah 2.749 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel 2.15 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SLTP/SMP dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011
Kecamatan SMPT/SMPLB/Paket B M. Tsanawiyah
TOTAL P L P L
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laweyan 500 567 2 5 1.074 Serengan 327 324 1 4 656 Pasar Kliwon 724 758 9 20 1.511 Jebres 1.188 1.252 7 5 2.452 Banjarsari 1.355 1.375 12 7 2.749 Kota Surakarta 4.094 4.276 31 41 8.442
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Untuk jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk
di Kota Surakarta, dengan pendidikan SLTA/SMA dan yang sederajat
- 37 -
berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 6.860 orang, dengan
jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah
2.196 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
Tabel 2.16 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SLTA/SMA dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011
Kecamatan
SMA/SMK/SMALB/ Paket C M. Aliyah TOTAL
P L P L (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laweyan 451 501 6 2 960 Serengan 283 263 4 1 551 Pasar Kliwon 577 575 7 5 1.164 Jebres 998 986 1 4 1.989 Banjarsari 1.090 1.103 2 1 2.196 Kota Surakarta 3.399 3.428 20 13 6.860
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Untuk jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk
di Kota Surakarta, dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi,
berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 797 orang, dengan jumlah
yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah 286 orang.
Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.17 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan Perguruan Tinggi di Kota Surakarta Tahun 2011
Kecamatan Perguruan Tinggi
TOTAL P L (1) (2) (2) (3)
Laweyan 50 41 91 Serengan 25 25 50 Pasar Kliwon 62 60 122 Jebres 129 119 248 Banjarsari 153 133 286 Kota Surakarta 419 378 797
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
c. Kondisi dan Implementasi 1) Jumlah anak di Kota Surakarta berdasar PPLS Tahun 2011
yang berstatus masih sekolah sebagian besar berada pada
usia jenjang pendidikan SD dan SMP (Pendidikan Dasar).
- 38 -
Siswa yang sedang menempuh pendidikan SD dan yang
sederajat berjumlah sekitar 17.719 orang, sedang yang
menempuh pendidikan SLTP dan yang sederajat berjumlah
8.442 orang. Dengan kondisi yang demikian perhatian
pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan harus
memberi bobot dan porsi yang besar untuk peningkatan
kualitas pendidikan dasar.
2) Jumlah anak di Kota Surakarta berdasar PPLS Tahun 2011
yang berstatus belum dan/atau tidak bersekolah sebagian
besar berada pada usia jenjang pendidikan tamatan SLTA,
yaitu sejumlah 1.648 berjenis kelamin perempuan dan
sejumlah 1.867 berjenis kelamin laki-laki. Berdasar pada
kondisi yang demikian maka program-program pelatihan yang
berbasis pada penempatan tenaga kerja, sebaiknya
diorientasikan pada penduduk yang se-usia lulusan SLTA /
SMA ke atas.
2. Bidang Kesehatan a. Indikator
Indikator bidang kesehatan secara umum meliputi: (i) Angka
Kematian Bayi (AKB) (per 1.000 kelahiran hidup), (ii) Angka
kematian Balita (AKBA) (per 1.000 kelahiran hidup), (iii) Angka
Kematian Ibu Melahirkan (Per 10.000 kelahiran hidup, (iv)
Prevalensi Balita Kekurangan Gizi (%), (v) Penduduk dengan
keluhan kesehatan (%), (vi) Angka Morbiditas (%), dan (vii)
Persentase Penduduk sakit dengan pengobatan sendiri (%).
Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi
Hasil Pembangunan di Bidang Pendidikan, selengkapnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.18 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Kesehatan
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3) Angka Kematian Bayi (AKB) (per 1.000 kelahiran hidup)
AKB adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun AKB per 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Nilai normatif AKB kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40-70 tergolong sedang namun
Semakin tinggi angka ini semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup anak, dan juga semakin tinggi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal, termasuk
- 39 -
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3) sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan
pemeliharaan kesehatannya
Angka kematian Balita (AKBA) (per 1.000 kelahiran hidup)
AKBA adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. Nilai normatif Akaba > 140 sangat tinggi, antara 71-140 sedang, dan < 20 rendah
Semakin tinggi angka ini, semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup anak, dan juga semakin tinggi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal, termasuk pemeliharaan kesehatannya.
Angka Kematian Ibu Melahirkan (Per 10.000 kelahiran hidup
Banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 1000.000 kelahiran hidup. AKI diperhitungkan pula pada jangka waktu 6 minggu hingga setahun setelah melahirkan
Semakin tinggi angka ini semakin tinggi kematian yang terkait dengan kehamilan. AKI dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan
Prevalensi Balita Kekurangan Gizi (%)
Perbandingan antara balita berstatus kurang gizi dengan balita seluruhnya. Prevalensi status gizi balita diperoleh melalui indeks berat badan, umur, dan jenis kelamin. Kategori status gizi ditentukan dengan menggunakan standar NCHS-WHO, yang dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan Z-score, yaitu: (1) Gizi lebih (Z-score >= +2) (2) Gizi normal (-2 < Z-score < +2) (3) Gizi kurang (-3 < Z-score < -2) (4) Gizi buruk (Z-score <=-3)
Semakin tinggi prevalensi ini, semakin tinggi risiko kematian yang dihadapi oleh anak (balita), dan semakin besar pula hambatan bagi pertumbuhan dan peningkatan status kesehatannya
Penduduk dengan keluhan kesehatan (%)
Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, yaitu gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa termasuk kearen kecelakaan atau hal lain
Semakin tinggi persentase ini semakin rendah derajat kesehatan masyarakat
Angka Morbiditas (%)
Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, yaitu gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan atau hal lain, yang menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari
Semakin tinggi persentase ini semakin rendah derajat kesehatan masyarakat, dan semakin terganggu kelancaran aktivitas masyarakat akibat masalah kesehatan
Persentase Penduduk sakit dengan pengobatan sendiri (%)
Perbandingan antara jumlah penduduk sakit yang diobati sendiri dengan jumlah penduduk yang mengalami keluhan sakit, yang menyebabkan aktivitasnya terganggu
Semakin tinggi persentase ini semakin rendah kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sarana kesehatan
Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.
- 40 -
b. Data Pendukung Indikator utama pembangunan di bidang kesehatan di Kota
Surakarta selama tahun 2006-2011; dapat dilihat bahwa selama tahun
2006-2011, indikator utama pembangunan bidang kesehatan di Kota
Surakarta menunjukkan kecenderungan pencapaian SPM yang sudah
baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator kesehatan nomor 8 yang
memuat persentase penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan,
mulai tahun 2008 sudah mencakup semua penduduk miskin (angka
capaian 100%). Namun demikian, masih banyak permasalahan di
bidang kesehatan yang juga perlu mendapatkan penanganan secara
baik, yaitu masalah penanganan penyandang cacat, dan penanganan
penyakit kronis. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.19 Indikator Utama Pembangunan di Bidang Kesehatan di Kota Surakarta Tahun 2006-2011.
No Jenis Data 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (1) (2) (3) (4) (5) (7) (7) (8)
01. Angka Kematian Bayi (per 1.000 kelahiran hidup) 5,76 10,3 3,6 5,7 6,6 4,7
02. Angka Kematian Balita (AKBA) 1,39 1 0,69 2,11 1,8 1
03. Angka Kematian ibu Melahirkan 41,8 48,52 49,01 153,82 90,2 39,4
04. Prevalensi Balita Kekurangan Gizi
a. Prevalensi Balita Gizi Buruk 2,18 0,64 0,26 0,04 0 0
b. Prevalensi Balita Gizi Kurang 15,84 8,72 7,09 3,49 6,59 5,78
05. Persentase pelayanan antenatal (K4) 92,95 98,44 95,03 96,4 98,4 96,5
06. Persentase penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan
39,6 61,01 100 100 100 100
07. Persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap
94,04 97,83 99,08 98,02 94,58 98,6
08. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
100 100 100 100 100 100
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Surakarta
Data masalah penyandang cacat berdasar kelompok 1, 2, 3 di Kota
Surakarta pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dari total
penyandang cacat sejumlah 1.288 orang, yang dialami oleh kaum laki-
- 41 -
laki jenjang usia 15-45 tahun, paling banyak, yaitu sejumkah 305
orang. Kecamatan Jebres mempunyai jumlah penduduk kategori
miskin dengan jumlah penyandang cacat yang relatif banyak, yaitu
sejumlah 375 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 2.20 Informasi Data Penyandang Cacat / Kecacatan (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta (dalam satuan orang)
Kecamatan Usia 0-di bawah 15
Usia 15-di bawah 45
Usia 45-di bawah 60 Usia 60+
TOTAL P L P L P L P L
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Laweyan 7 6 33 40 18 32 25 25 186 Serengan 6 10 26 30 15 23 18 15 143 Pasar Kliwon 8 5 33 55 19 23 46 27 216 Jebres 11 21 66 93 37 43 53 51 375 Banjarsari 14 18 58 87 48 57 35 51 368 Kota Surakarta 46 60 216 305 137 178 177 169 1.288
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Untuk masalah penyakit kronis berdasar kelompok 1, 2, 3 di Kota
Surakarta pada tahun 2011, menunjukkan bahwa dari total
penyandang penyakit kronis yang jumlahnya 3.441 orang, yang dialami
oleh kaum perempuan pada jenjang usia di atas 60 tahun, adalah yang
paling banyak, yaitu sejumlah 864 orang. Kecamatan Jebres
mempunyai jumlah penduduk kategori miskin penyandang penyakit
kronis dengan jumlah yang relatif banyak, yaitu sejumlah 1.085 orang.
Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.21 Informasi Data Penyakit Kronis (Kelompok 1, 2, 3) di Kota
Surakarta (dalam satuan orang)
Kecamatan Usia di bawah
15 tahun Usia 15- di bawah 45
Usia 45- di bawah 60 Usia 60+
TOTAL P L P L P L P L
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Laweyan 7 10 96 74 138 110 188 149 772 Serengan 2 3 23 23 64 51 117 69 352 Pasar Kliwon 3 8 38 42 91 76 126 103 487 Jebres 13 13 119 111 203 183 246 197 1.085 Banjarsari 5 7 73 54 129 124 187 167 746 Kota Surakarta 30 41 349 304 625 544 864 685 3.442
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
- 42 -
c. Kondisi dan Implementasi 1) Dari data yang ada menunjukkan bahwa capaian SPM di
bidang kesehatan di Kota Surakarta sudah berjalan dengan
baik, namun demikian, tantangan yang masih ada adalah
terkait dengan masalah penanganan penyandang cacat dan
masalah penyakit kronis.
2) Untuk penyandang cacat banyak dialami oleh kaum laki-laki
pada jenjang usia 15-45 tahun (sebanyak 305 orang). Hal ini
membawa implikasi kebijakan di bidang kesehatan pada usia
yang masih produktif ini, selain diupayakan menuju ke arah
peningkatan produktivitas karena peningkatan derajat
kesehatan, sebaiknya juga diarahkan untuk bisa terlibat
dalam lapangan pekerjaan yang bersifat produktif.
3) Untuk penyakit kronis banyak dialami oleh kaum perempuan
pada jenjang usia di atas 60 tahun (sebanyak 864 orang). Hal
ini perlu menjadi perhatian yang lebih besar, karena
kelompok ini selain sudah tidak produktif, juga sudah masuk
dalam kategori manula.
3. Bidang Prasarana Dasar a. Indikator
Indikator bidang prasarana dasar secara umum meliputi: (i)
Proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi yang layak
(%), (ii) Proporsi Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih
(%), (iii) Proporsi rumah tangga dengan kepemilikan hak atas
rumah, dan (iv) Rasio elektrifikasi. Gambaran indikator utama,
konsep/definisi dan interpretasi hasil pembangunan bidang
prasana dasar, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.22 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Prasarana Dasar
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3)
Proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi yang layak (%)
Perbandingan rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan rumah tangga seluruhnya. Fasilitas sanitasi yang memenuhi kesehatan antara lain harus dilengkapi
Semakin tinggi proporsi ini semakin tinggi risiko kontak masyarakat dengan pembuangan kotoran. Risiko ini umumnya lebih sulit dihindari di daerah perkotaan
- 43 -
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3)
dengan leher angsa dan tangki septik
Proporsi Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih (%)
Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap air bersih dengna rumah tangga seluruhnya
Semakin tinggi proporsi ini semakin besar peluang masyarakat terhindar dari berbagai sumber penyakit yang disebabkan oleh kondisi air yang tidak terlindungi atau tidak aman untuk diminum
Proporsi rumah tangga dengan kepemilikan hak atas rumah
Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap tempat tinggal tetap dengan rumah tangga seluruhnya
Semakin tinggi proporsi ini semakin tinggi kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar tempat tinggal dan bangunan fisik yang tetap dan terjamin. Juga berarti semakin kecil kemungkinan masyarakat hidup dalam lingkungan yang tidak memadai (kumuh dan rawan penggusuran), khususnya di wilayah perkotaan
Rasio Elektrifikasi
Rasio elektrifikasi adalah jumlah total rumah tangga yang memiliki fasilitas listrik dengan tumah tangga seluruhnya
Semakin tinggi rasio elektrifikasi suatu daerah, maka akan semakin banyak masyarakat di daerah yang bersangkutan yang mampu menikmati pelayanan listrik
Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.
b. Data Pendukung
Untuk informasi status tempat tinggal penduduk kategori
miskin di Kota Surakarta, dari data PPLS Tahun 2011 yang ada
dapat dilihat bahwa penduduk kategori miskin masih dominan
pada rumah tangga yang memiliki rumah hasil kontrak / sewa,
yaitu mencapai sekitar 18.083 unit (sekitar 48,96%). Kecamatan
Banjarsari merupakan wilayah dengan penduduk miskin berdasar
tempat tinggal yang paling banyak, yaitu mencapai sekitar 12.136
unit / buah (sekitar 32,86%). Gambaran selengkapnya dapat
dilihat pada tabel berikut.
- 44 -
Tabel 2.23 Informasi Status Tempat Tinggal (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam unit / buah)
Kecamatan Jumlah Rumah Tangga
Total Milik Sendiri Kontrak/Sewa Lainnya
(1) (2) (3) (4)
Laweyan 2.229 2.719 256 5.204 Serengan 1.205 1.963 230 3.398 Pasar Kliwon 2.700 3.266 236 6.202 Jebres 5.582 4.102 309 9.993 Banjarsari 5.704 6.033 399 12.136 Kota Surakarta 17.420 18.083 1.430 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Untuk data sumber air minum, dari data PPLS Tahun 2011
dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga penduduk miskin yang
memanfaatkan sumber air terlindungi masih relatif banyak, yaitu
sekitar 25.581 KK (sekitar 69,26%). Hal ini mengindikasikan
bahwa sumber air minum untuk KK miskin masih dalam kondisi
baik, dibanding dengan KK miskin yang memanfaatkan air minum
dari sumber yang tidak terlindungi, yaitu sebesar 1.033 KK
(sekitar 2,79%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.24 Informasi Sumber Air Minum Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga
Total Air Kemasan
Air Ledeng
Sumber Terlindung
Sumber Tidak
Terlindung (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laweyan 72 139 4.769 224 5.204 Serengan 35 862 2.398 103 3.398 Pasar Kliwon 61 3.848 2.228 65 6.202 Jebres 415 3.224 5.969 385 9.993 Banjarsari 258 1.405 10.217 256 12.136 Kota Surakarta 841 9.478 25.581 1.033 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Untuk data sumber penerangan rumah tangga, dari data
PPLS Tahun 2011 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga
miskin yang tidak mempunyai penerangan listrik (tidak ada listrik)
masih ada, yaitu mencapai 662 KK (atau sekitar 1,79%). Hal ini
- 45 -
mengindikasikan bahwa di Kota Surakarta masih ada KK miskin
yang belum dapat menikmati penerangan secara baik, walaupun
jumlahnya masih kecil. Gambaran selengkapnya, dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.25 Informasi Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga Total
Listrik PLN Listrik Non PLN
Tidak Ada Listrik
(1) (2) (3) (4) (5)
Laweyan 5.107 64 33 5.204 Serengan 3.272 82 44 3.398 Pasar Kliwon 5.800 17 385 6.202 Jebres 9.758 87 148 9.993 Banjarsari 12.072 12 52 12.136 Kota Surakarta 36.009 262 662 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Jika dilihat dari sisi bahan bakar utama yang dipergunakan
oleh penduduk miskin, dari data PPLS Tahun 2011 dapat dilihat
bahwa sebagian besar jumlah rumah tangga miskin sudah
menggunakan bahan bakar utama yang bersumber dari
listrik/gas/ elpiji, yaitu mencapai 28.238 KK (atau sekitar
76,46%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.26 Informasi Bahan Bakar Utama Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan
Jumlah Rumah Tangga Total
Listrik/Gas/Elpiji Lainnya (1) (2) (3) (4)
Laweyan 4.384 820 5.204 Serengan 2.346 1.052 3.398 Pasar Kliwon 4.911 1.291 6.202 Jebres 7.272 2.721 9.993 Banjarsari 9.325 2.811 12.136 Kota Surakarta 28.238 8.695 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Untuk fasilitas tempat buang air besar bagi keluarga miskin,
dari data PPLS Tahun 2011 memperlihatkan bahwa sebagian
- 46 -
besar rumah tangga masih menggunakan fasilitas buang air besar
secara bersama/umum, yaitu mencapai 20.846 KK (atau sekitar
56,44%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.27 Informasi Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan Jumlah Rumah Tangga
Total Sendiri Bersama /
Umum Tidak ada
(1) (2) (3) (4) (5)
Laweyan 2.395 2.730 79 5.204 Serengan 1.125 2.261 12 3.398 Pasar Kliwon 1.704 4.486 12 6.202 Jebres 4.604 5.236 153 9.993 Banjarsari 5.809 6.133 194 12.136 Kota Surakarta 15.637 20.846 450 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Sementara untuk fasilitas pembuangan akhir tinja rumah
tangga, dari data PPLS Tahun 2011 memperlihatkan bahwa
sebagian besar rumah tangga sudah menggunakan fasilitas
pembuangan akhir tinja dengan sistem tangki atau Sistem
Pembungan Air Limbah (SPAL), yaitu mencapai 27.413 KK (atau
sekitar 74,22%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.28 Informasi Tempat Pembuangan Akhir Tinja Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan Jumlah Rumah Tangga
Total Tangki / SPAL Lainnya
(1) (2) (3) (4)
Laweyan 3.789 1.415 5.204 Serengan 2.244 1.154 3.398 Pasar Kliwon 5.418 784 6.202 Jebres 6.860 3.133 9.993 Banjarsari 9.102 3.034 12.136 Kota Surakarta 27.413 9.520 36.933
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
- 47 -
c. Kondisi dan Implementasi 1) Status tempat tinggal rumah tangga miskin atau Rumah
Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta sebagian besar
masih menempati rumah kontrak/sewa. Hal ini membawa
implikasi bahwa RTS masih dibebani dengan pengeluaran
uang untuk membayar uang kontrak/sewa rumah. Kebijakan
ke depan dapat diarahkan untuk pemanfaatan RUSUNAMI
atau upaya-upaya yang mampu memperbesar pendapatan
bagi kelompok RTS ini.
2) Di Kota Surakarta masih ditemukan RTS yang sumber
penerangan utamanya tidak berasal dari energi listrik.
Walaupun secara persentase masih relatif kecil (atau sekitar
1,79%), tetapi upaya menjadikan RTS menggunakan energi
listrik harus mendapatkan perhatian. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa energi listrik tidak semata-mata berfungsi
sebagai sumber penerangan, tetapi juga dapat dimanfaaatkan
sebagai sumber energi yang lain, termasuk untuk sumber
energi dalam menjalankan usaha-usaha produktif.
3) Sebagian besar jumlah RTS sudah menggunakan bahan
bakar utama yang bersumber dari listrik/gas/elpiji (mencapai
28.238 KK atau sekitar 76,46%). Hal yang menjadi perhatian
utama adalah upaya dari pemerintah (baik pusat maupun
daerah) untuk bisa menjaga stabiltas harga bahan-bahan
bakar tersebut, sehingga daya beli mereka tetap terjaga dan
tidak menganggu alokasi ke pengeluaran yang lain, akibat
kenaikan dari sumber bahan bakar tersebut.
4) Sebagian besar rumah tangga masih menggunakan fasilitas
buang air besar secara bersama / umum (mencapai 20.846
KK atau sekitar 56,44%). Hal ini tentu menjadi dasar bagi
pemerintah untuk menyediakan fasilitas MCK di pusat atau
kantong-kantong kemiskinan agar kondisi sanitasi dan
tingkat kesehatan RTS tetap dapat dijaga.
4. Bidang Ketenagakerjaan a. Indikator
Indikator bidang ketenagakerjaan secara umum meliputi: (i)
Tingkat Pengangguran Terbuka (%), (ii) Setengah Pengangguran
- 48 -
(%), dan (iii) Rasio Ketergantungan (per 100 penduduk angkatan
kerja). Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan
Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketenagakerjaan,
selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.29 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketenagakerjaan
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3)
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
Persentase penduduk yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, yang sudah mempunyai pekerjaan tapi belum mulai bekerja, dari total angkatan kerja yang ada
Semakin tinggi tingkat pengangguran terbuka semakin kecil peluang masyarakat untuk mengakumulasi pendapatan dan semakin tinggi pula potensi kerawanan sosial
Setengah Pengangguran (%)
Persentase penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu)
Semakin tinggi tingkat setengah pengangguran semakin rendah tingkat utilisasi pekerja dan produktivitasnya
Rasio Ketergantungan (per 100 penduduk angkatan kerja)
Banyaknya penduduk bukan angkatan kerja (0-14 tahun + 65 tahun ke atas) yang ditanggung oleh setiap 100 oenduduk angkatan kerja (15-64 tahun)
Semakin tinggi rasio ketergantungan semakin berat beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk lain yang belum produktif dan tidak produktif lagi
Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.
b. Data Pendukung
Data pendukung di Kota Surakarta yang terkait dengan
indikator ketenagakerjaan selama tahun 2006-2011 dapat dilihat
bahwa persentase Upah Minimum Kota (UMK) terhadap
Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pernah melewati angka 100% pada
tahun 2009, selebihnya hingga tahun 2011 belum mencapai angka
100%. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
- 49 -
Tabel 2.30 Indikator Utama Bidang Ketenagakerjaan di Kota Surakarta, Tahun 2006-2011
No. Indikator Ketenagakerjaan 2006 2007 2008 2009 2010 2011
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
01. Persentase UMK terhadap KHL 86,14 93,45 99,99 100,03 95,83 98,94
02. Persentase penduduk yang bekerja < 35 jam (setengah pengangguran) (%)
12,92 13,96 14,76 13,98 11,38 17,05
03. Rasio Ketergantungan (Per penduduk usia produktif) 38,99 43,17 38,13 39,63 39,78 38,3
Sumber: Dinsosnakertrans Kota Surakarta dan BPS
Rasio Upah Minimum Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup
Layak (KHL), menurut data yang dimuat dalam dokumen SPKD
Jawa Tengah agak berbeda dengan dokumen di atas. Dalam
dokumen SPKD, rasio UMK terhadap KHL di Kota Surakarta pada
tahun 2010 adalah sebesar 91,75%. Angka ini masih berada di
bawah besaran UMK/KHL di Provinsi Jawa Tengah yang besarnya
adalah 92,06%. Penjelasan secara grafis, dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 2.5 Grafik Persentase Perbandingan Upah Minimum
Kabupaten/ Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Menurut Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2010
Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.
- 50 -
Di lain pihak, besarnya tingkat pengangguran terbuka di
Kota Surakarta yang mencapai angkat 8,73% termasuk dalam
Kategori Tinggi, jika dibanding dengan tingkat pengangguran
terbuka di Provinsi Jawa Tengah 2010 yang besarnya mencapai
6,21% atau lebih rendah dari tingkat pengangguran terbuka di
tingkat nasional yang besarnya mencapai 7,87%. Secara
keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah ada 12 kabupaten/kota
dengan tingkat pengangguran kategori tinggi, yaitu: Kabupaten
Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Sukoharjo, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten
Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota
Semarang, dan Kota Tegal.
Perkembangan data lain terkait dengan masalah
ketenagakerjaan juga bersumber dari dokumen PPLS Tahun 2011.
Data ini antara lain berupa informasi kepala rumah tangga
perempuan (untuk kelompok 1, 2, 3) dalam satuan Kepala
Keluarga (KK). Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.31 Informasi Kepala Rumah Tangga Perempuan (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan Usia di bawah 45 thn
Usia 45 thn – di bawah 60
Usia 60+ thn TOTAL
(1) (2) (3) (4) (5)
Laweyan 159 555 464 1.178 Serengan 86 389 360 835 Pasar Kliwon 155 671 578 1.404 Jebres 304 1.114 899 2.317 Banjarsari 395 1.324 933 2.652 Kota Surakarta 1.099 4.053 3.234 8.386
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa RTS perempuan
sebagai kepala rumah tangga sangat dominan pada usia 45 – 60
tahun, yang besarnya mencapai 4.053 KK atau sekitar 48,33%. Di
lain pihak, untuk kelompok usia produktif (usia 15- < 60 tahun),
menunjukkan bahwa dari total 98.489 KK yang bekerja sebanyak
60.062 KK, sedang sisanya yang tidak bekerja sebanyak 36.427
KK. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
- 51 -
Tabel 2.32 Informasi Status Bekerja dan Tidak Bekerja ART (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan
Usia 5 – di bawah 15 Usia 15 – di bawah 60 Usia 60+
Bekerja Tidak Bekerja Bekerja Tidak Bekerja Bekerja Tidak
Bekerja
P L P L P L P L P L P L Laweyan 4 3 1.698 1.859 3.267 5.166 3.630 1.674 249 418 827 418
Serengan 11 6 1.053 1.161 2.276 3.317 2.002 913 213 269 540 236
Pasar Kliwon 11 14 2.249 2.328 3.879 6.365 4.099 1.892 348 533 972 456
Jebres 12 3 3.489 3.598 6.972 9.932 6.124 3.206 568 753 1.614 810
Banjarsari 19 16 4.433 4.598 7.146 11.742 8.720 4.167 569 888 1.734 930
Kota Surakarta 57 42 12.922 13.544 23.540 36.522 24.575 11.852 1.947 2.861 5.687 2.850
Catatan: - Jumlah pekerja (kepala rumah tangga dan individu / anggota rumah tangga) menurut jenis lapangan pekerjaan namun penghasilannya
termasuk kelompok 1, 2, 3 - Buruh tani/bangunan atau pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp.600.000,-
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
- 52 -
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia produktif
yang tidak bekerja, untuk jenis kelamin perempuan sebanyak
24.575 KK (atau sekitar 67,46%) sedang yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 11.852 KK (atau sekitar 32,54%).
Sementara itu, perkerjaan yang sebagian besar menjadi mata
pencaharian, baik RTS (satuan KK) maupun ARS (satuan orang /
jiwa) berada di sektor-sektor: (i) Industri Pengolahan; (ii)
Bangunan/Konstruksi; (iii) Perdagangan; (iv) Transportasi dan
Pergudangan; dan (v) Jasa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.33 Informasi Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Laweyan 11 0 2 3 0 1 5 2 463 12 Serengan 2 0 4 0 1 5 1 2 411 12 Pasar Kliwon 6 0 1 6 2 6 3 5 771 13 Jebres 13 3 11 6 4 27 16 17 1.088 41 Banjarsari 13 1 5 7 3 27 4 8 826 57
Kota Surakarta 45 4 23 22 10 66 29 34 3.559 135
Kecamatan 11 12 13 14 15 16 17 18 TOTAL (1) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
Laweyan 481 1.010 58 320 19 7 1.405 313 4.112 Serengan 252 593 124 299 8 8 656 343 2.721 Pasar Kliwon 536 1.366 76 664 12 7 1.299 220 4.993 Jebres 1.147 1.826 282 761 35 25 2.214 437 7.953 Banjarsari 1.693 2.210 263 1.042 48 28 2.789 678 9.702 Kota Surakarta 4.109 7.005 803 3.086 122 75 8.363 1.991 29.481
Catatan: Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: 1. Pertanian tanaman padi dan palawija; 2. Hortikultura; 3. Perkebunan; 4. Perikanan Tangkap; 5. Perikanan budidaya; 6. Peternakan; 7. Kehutanan/pertanian lainnya; 8. Pertambangan/penggalian; 9. Industri Pengolahan; 10. Listrik dan gas; 11. Bangunan/Konstruksi; 12. Perdagangan; 13. Hotel dan rumah makan; 14. Transportasi dan Pergudangan; 15. Informasi & komunikasi; 16. Keuangan dan asuransi; 17. Jasa; 18. Lainnya
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
- 53 -
Tabel 2.34 Informasi Lapangan Pekerjaan Individu (ART) (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam orang / jiwa)
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Laweyan 7 0 4 7 0 3 6 9 1.302 27 Serengan 8 0 7 0 4 4 2 6 1.167 24 Pasar Kliwon 10 2 4 7 4 14 9 25 1.948 30 Jebres 18 7 24 9 5 44 25 38 3.217 69 Banjarsari 18 1 8 13 4 49 9 26 2.563 105 Kota Surakarta 61 10 47 36 17 114 51 104 10.197 255
Kecamatan 11 12 13 14 15 16 17 18 TOTAL (1) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
Laweyan 667 2.343 198 373 39 36 2.876 607 8.504 Serengan 343 1.229 318 319 30 28 1.381 756 5.626 Pasar Kliwon 829 3.603 230 743 47 34 2.367 372 10.278 Jebres 1.638 4.440 749 993 133 77 4.610 899 16.995 Banjarsari 2.278 4.962 767 1,204 144 88 5.329 1.431 18.999
Kota Surakarta 5.755 16.577 2.262 3.632 393 263 16.563 4.065 60.402
Catatan: Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: 1. Pertanian tanaman padi dan palawija; 2. Hortikultura; 3. Perkebunan; 4. Perikanan Tangkap; 5. Perikanan budidaya; 6. Peternakan; 7. Kehutanan/pertanian lainnya; 8. Pertambangan/penggalian; 9. Industri Pengolahan; 10. Listrik dan gas; 11. Bangunan/Konstruksi; 12. Perdagangan; 13. Hotel dan rumah makan; 14. Transportasi dan Pergudangan; 15. Informasi & komunikasi; 16. Keuangan dan asuransi; 17. Jasa; 18. Lainnya
Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).
c. Kondisi dan Implementasi 1) Walaupun data dari Pemerintah Kota Surakarta maupun data
dari Provinsi Jawa Tengah mengenai rasio Upah Minimum
Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada
tahun 2010 agak berbeda, tetapi ada kesamaan
antarkeduanya bahwa nilai rupiah UMK masih lebih kecil dari
nilai rupiah KHL. Hal ini harus menjadi perhatian, khususnya
bagi pihak-pihak terkait untuk kelak bisa menyamakan
bahkan jika mungkin untuk membuat nilai UMK harus lebih
besar dibanding nilai KHL.
- 54 -
2) Rumah Tangga Sasaran (RTS) kelompok usia 45 – 60 tahun,
dengan perempuan berperan sebagai Kepala Rumah Tangga di
Kota Surakarta masih relatif besar, yaitu mencapai 4.053 KK
(atau sekitar 48,33%). Kodisi ini harus menjadi perhatian dan
pemikiran dari kita semua, agar kelompok miskin dari
kategori ini tidak semakin buruk kondisinya.
3) Kelompok usia produktif penduduk miskin (usia 15 s.d < 60
tahun) yang jumlahnya sekitar 98.489 KK, yang tidak bekerja
sebanyak 36.427 KK (atau sekitar 37,75%). Kebijakan yang
menjadikan kelompok miskin usia produktif yang sekarang ini
dalam kondisi tidak bekerja, pada masa-masa mendatang
harus diupayakan untuk bisa bekerja dan mampu
menghidupi bagi dirinya sendiri dan keluargnya.
4) Lapangan perkerjaan yang sebagian besar menjadi mata
pencaharian, baik bagi RTS (satuan KK) maupun ART (satuan
orang/jiwa) di Kota Surakarta berdasar data PPLS Tahun
2011 berada di sektor-sektor: (i) Industri Pengolahan; (ii)
Bangunan/ Konstruksi; (iii) Perdagangan; (iv) Transportasi
dan Pergudangan; dan (v) Jasa. Oleh karenanya, keberadaan
sektor-sektor tersebut harus bisa dioptimalkan agar mampu
berperan dalam memberikan lapangan pekerjaan bagi
penduduk miskin.
5. Bidang Ketahanan Pangan a. Indikator
Indikator bidang ketahanan pangan, secara umum meliputi: (i)
Harga Beras (Rp), (ii) Harga bahan kebutuhan pokok (Rp), (iii) Rasio
konsumsi pangan normatif terhadap ketersediaan pangan serealia
(%). Gambaran indikator utama, konsep/definisi dan interpretasi
hasil pembangunan di bidang ketahanan pangan, selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.35 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketahanan Pangan
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
(1) (2) (3)
Harga Beras (Rp) Harga eceran/konsumen beras. Harga konsumen/eceran dalam
Semakin tinggi harga beras semakin berat beban
- 55 -
INDIKATOR UTAMA
KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI
hal ini adalah harga transaksi secara tunai, yang terjadi antara penjual dan pembeli dengan satuan eceran
pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mempertahankan konsumsi terhadap komoditas tersebut yang merupakan bagian dari kebutuhan dasarnya
Harga bahan kebutuhan pokok (Rp)
Harga eceran/konsumen bahan kebutuhan pokok. Harga konsumen/eceran dalam hal ini adalah harga transaksi secara tunai, yang terjadi antara penjual dan pembeli dengan satuan eceran
Semakin tinggi harga bahan kebutuhan pokok semakin berat beban pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mempertahankan konsumsinya terhadao komoditas tersebut, yang merupakan bagian dari kebutuhan dasarnya
Rasio konsumsi pangan normatif terhadap ketersediaan pangan serealia (%)
Rasio antara konsumsi normatif pangan serealia (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dengan ketersediaan pangan serelia yang dihasilkan di suatu daerah.
Kriteria penilaiannya adalah 1. > 1,50 = sangat rawan 2. > 1,25 – 1,50 = rawan 3. >1,00 – 1,25 = agak rawan 4. > 0,75 – 1,00 = cukup tahan 5. > 0,50 – 0,75 = tahan 6. <=0,5 = sangat tahan
Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi tingkat kerawanan pangan masyarakat suatu daerah. Ketika masyarakat mampu menyediakan bahan pangan, minimal untuk memenuhi kebutuhan pangan keseluruhan masyarakat secara lokal, tidak tegantung pada daerah lain maka daerah tersebut relatif rendah rawan pangannya dan dapat dikategorikan tahan pangan
Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.
b. Data Pendukung Data pendukung di bidang ketahanan pangan, antara lain
berupa rasio konsumsi beras dan rasio konsumsi ubi jalar. Secara
umum rasio ini menunjukkan angka yang kurang dari 100.
Gambaran indikator bidang ketahanan pangan, selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.36 Indikator Bidang Ketahanan Pangan di Kota Surakarta Tahun 2010-2011
No. Rasio Konsumsi Pangan Normatif terhadap Kesediaan Pangan Serelia
2010 2011
(1) (2) (3) (4)
1. Rasio Konsumsi Beras 0.93 0.85
2. Rasio Konsumsi Ubi Jalar 0.98 0.95
Sumber: Kantor Ketahanan Pangan Kota Surakarta
- 56 -
Selain rasio konsumsi beras dan rasio konsumsi ubi jalar,
indikator bidang ketahanan pangan terkait dengan perkembangan
harga-harga kebutuhan pokok. Indikator harga-harga kebutuhan
pokok utama di Kota Surakarta Tahun 2010-2011, selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.37 Indikator Bidang Ketahanan Pangan di Kota Surakarta Berdasar Harga-Harga Kebutuhan Pokok Utama (Rp) Tahun 2010-2011
No. Komoditas Harga Tahun 2010 (Rp)
Harga Tahun 2011 (Rp)
(1) (2) (3) (4) 01. Beras C4 super 8.000 7.941 02. Beras C4 biasa 7.200 7.209 03. Jagung Manis 4.000 4.691 04. Kedelai lokal 6.000 8.757 05. Kacang tanah 13.000 14.909 06. Ubi kayu / ubi jalar - 2.333 07. Cabe merah biasa 20.000 15.318 08. Cabe merah keriting 25.000 17.863 09. B Merah Brebes 14.000 14.783 10. Minyak goreng 11.000 17.572 11. Minyak curah - 10.110 12. Gula pasir TM 10.000 9.891 13. Tepung Terigu 7.000 7.024 14. Daging sapi 60.000 60.070 15. Daging ayam 23.000 21.578 16. Telur ayam 13.500 13.257 17. Ikan teri 40.000 48.974
Sumber: Kantor Ketahanan Pangan Kota Surakarta
c. Kondisi dan Implementasi 1) Stabilitas harga harus terus diupayakan agar daya beli
masyarakat, khususnya untuk kelompok masyarakat miskin
tetap terjaga, sehingga tidak mengurangi proporsi pengeluaran
mereka, khususnya untuk membeli konsumsi kebutuhan
dasar / pokok.
2) Diversifikasi kebutuhan pangan yang mampu menggantikan
konsumsi dan komoditi beras sebaiknya terus dilakukan agar
ketergantungan terhadap konsumsi beras dapat diimbangi
dengan ketersediaan komoditi lainnya.
Hasil akhir program penanggulangan kemiskinan, diukur dengan
perbaikan dalam besaran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan nilai
- 57 -
IPM Provinsi Jawa Tengah sebesar 72,10, maka kabupaten/kota yang
masuk kategori ber-IPM tinggi ada 15 kabupaten/kota, yaitu: Kota Surakarta (sebesar 77,49 peringkat tertinggi), Kota Semarang, Kota
Magelang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Pati, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Klaten, dan Kabupaten Banyumas. Penjelasan secara grafis, dapat dilihat
pada gambaran berikut ini.
Gambar 2.6 Grafik Perbandingan Nilai IPM Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.
Top Related