BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA...

45
BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA A. Aspek Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, bukan hanya terkait dengan masalah pendapatan, tetapi juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif. 1. Pengertian Kemiskinan Jika dikaitkan dengan masalah kepemilikan (proper) kemiskinan dapat dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Sementara dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena yang multi aspek (multi face) yang mencakup dimensi-dimensi: (i) Kemiskinan (proper); (ii) Ketidakberdayaan (powerless); (iii) Kerentanan dalam menghadapi situasi darurat (state of emergency); (iv) Ketergantungan (dependence); dan (v) Keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis (Suryawati, 2005: 122). BKKBN mengartikan kemiskinan sebagai keluaga miskin Pra Sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu makan 2 (dua) kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian terluas rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarganya ke sarana kesehatan. Pengertian ini kemudian digunakan untuk mendefinisikan Keluarga Miskin , yaitu (Tim Crescent, 2003: 5): (i) Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging ikan/telur, (ii) Setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang 1 (satu) setel pakaian baru, dan (iii) Luas lantai rumah paling kurang 8 m 2 untuk tiap penghuni. Sedang pengertian Keluarga Miskin Sekali , yaitu keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi

Transcript of BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA...

Page 1: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA

A. Aspek Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks,

bukan hanya terkait dengan masalah pendapatan, tetapi juga menyangkut

kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki

maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda

akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks

kemiskinan, bagaimana sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan

bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Agar upaya penanggulangan

kemiskinan dapat dilakukan secara tepat, hal pertama yang harus

dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

1. Pengertian Kemiskinan Jika dikaitkan dengan masalah kepemilikan (proper) kemiskinan

dapat dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk

menjamin kelangsungan hidup. Sementara dalam arti luas, kemiskinan

merupakan suatu fenomena yang multi aspek (multi face) yang

mencakup dimensi-dimensi: (i) Kemiskinan (proper); (ii)

Ketidakberdayaan (powerless); (iii) Kerentanan dalam menghadapi

situasi darurat (state of emergency); (iv) Ketergantungan (dependence);

dan (v) Keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis

(Suryawati, 2005: 122).

BKKBN mengartikan kemiskinan sebagai keluaga miskin Pra

Sejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya;

tidak mampu makan 2 (dua) kali sehari; tidak memiliki pakaian

berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian; bagian terluas rumah

berlantai tanah; dan tidak mampu membawa anggota keluarganya ke

sarana kesehatan. Pengertian ini kemudian digunakan untuk

mendefinisikan Keluarga Miskin, yaitu (Tim Crescent, 2003: 5): (i)

Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging ikan/telur, (ii)

Setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang 1

(satu) setel pakaian baru, dan (iii) Luas lantai rumah paling kurang 8

m2 untuk tiap penghuni. Sedang pengertian Keluarga Miskin Sekali,

yaitu keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi

Page 2: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 14 -

salah satu atau lebih yang meliputi (Tim Crescent, 2003: 5-6): (i) Pada

umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali atau lebih, (ii)

Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,

bekerja/sekolah dan bepergian, dan (iii) Bagian lantai yang terluas

bukan dari tanah.

Kemiskinan juga terkait dengan masalah budaya, dimana menurut

Oscar Lewis, budaya kemiskinan adalah gaya hidup yang khas, yang

berkembang di sebagian besar lapisan masyarakat miskin dan cara

hidupnya sangat berbeda dengan lapisan masyarakat lainnya. Lebih

lanjut dikatakan bahwa budaya kemiskinan adalah: (i) Masyarakat itu

miskin, karena budaya dalam diri masyarakat tersebut, (ii) Masyarakat

tidak terangsang untuk menyelenggarakan pembangunan, jadi sifatnya

fatalism, (iii) Tidak ada tantangan untuk maju, (iv) Tidak mampu

melihat hari esok dengan baik, dan (v) Cepat putus asa dalam

menghadapi masalah. Sementara menurut John Kenneth Galbraith,

budaya kemiskinan adalah cara penyesuaian yang sangat realistis

terhadap keputusasaan. Budaya miskin dan kemiskinan merupakan

proses saling memperkuat, semakin lebar putarannya/lingkarannya,

akan semakin lebar kemiskinannya. Di lain pihak, Bill Waren (1982)

telah menjelaskan bahwa ketergantungan adalah pengkondisian

struktur kemiskinan. Sedang kemiskinan adalah hasil dari atau sama

dengan keterbelakangan. Pembangunan dan keterbelakangan

merupakan bagian yang terpisah (Pradhanawati, 2008). Kebijakan pemerintah dalam menentukan jumlah dan persentase

penduduk miskin, menggunakan perhitungan yang berdasarkan

tingkat pengeluaran per kapita. Mereka yang memiliki tingkat

pengeluaran lebih randah dari Garis Kemiskinan (GK) dikategorikan

miskin. Garis kemiskinan, yang merupakan standar kebutuhan dasar

tersebut terdiri atas 2 (dua) komponen, yaitu batas kecukupan

makanan dan non makanan. GK ini pada prinsipnya adalah suatu

standar minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya. Dengan perkataan lain, GK adalah nilai

pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan

makanan per kapita per bulan.

Dalam konsep Bappenas (2004), kemiskinan tidak lagi dipahami

hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan

pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang

Page 3: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 15 -

atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani

kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak

yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat

menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam

peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara

umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan,

kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,

sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan

atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam

kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-

hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama

lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi

pemenuhan hak lainnya.

2. Jenis-Jenis Kemiskinan Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005: 122) membagi kemiskinan

ke dalam 4 (empat) bentuk, yaitu:

a. Kemiskinan Absolut. Suatu keluarga dikatakan berada dalam

kemiskian absolut, bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan

atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan,

perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup

dan bekerja. Kemiskinan absolut diukur dengan menggunakan

garis kemiskinan yang konstan sepanjang waktu yang biasanya

berupa jumlah atau nilai pendapatan dan unit uang. Namun

ukuran bisa pula berbentuk jumlah konsumsi kalori, atau lainnya,

yang memungkinkan adanya perbedaan jumlah atau nilai

perbedaan pendapatan dalam unit uang. Parameter ini merupakan

ukuran yang tetap dan kriteria pengukuran seperti itu diperoleh

dari pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan biologis dan

pendekatan kebutuhan dasar.

b. Kemiskinan Relatif. Kondisi miskin yang disebabkan oleh

pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau

kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan

terjadinya ketimpangan pada pendapatan, antarsatu

daerah/wilayah dengan daerah/wilayah lainnya. Berbeda dengan

kemiskinan absolut, kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk

pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antarkelompok

Page 4: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 16 -

masyarakat. Mereka yang berada di lapis terbawah dalam persentil

derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan sebagai

penduduk miskin. Dengan kategorisasi seperti ini, dapat saja

mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat

mencukupi hak-hak dasarnya, namun tingkat keterpenuhinya

masih berada di lapisan terbawah.

c. Kemiskinan Kultural. Jenis kemiskinan ini, mengacu pada

persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh

faktor budaya, seperti: tidak mau berusaha memperbaiki tingkat

kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan

dari pihak luar, dan sebagianya.

d. Kemiskinan Struktural. Situasi miskin yang disebabkan karena

rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu

sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung

pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya

kemiskinan.

Sedang Owin Jarnasi (2004) dalam Suryawati (2005: 122)

menyatakan bahwa kemiskinan struktural lebih banyak menjadi

sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga

kemiskinan yang lain (absolut, relatif dan kultural). Sementara M.

Mas’oed (1997) dalam Suryawati (2005: 122) membedakan kemiskinan

menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Kemiskinan Alamiah. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan

kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta

keadaan tanah yang tandus.

b. Kemiskinan Buatan. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan

oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat

masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan

fasilitas ekonomi yang ada secara merata.

3. Karakteristik Kemiskinan

Pada tahun 1976, tepatnya saat pengukuhan sebagai Guru Besar

Tetap dalam Ekonomi Perencanaan FE-UI Jakarta pada 14 Pebruari

1976, Emil Salim pernah menjelaskan mengenai ciri-ciri penduduk

miskin, yaitu (Salim, 1976: 12-3):

a. Sebagian terbesar penduduk miskin tinggal di perdesaan. Hal

ini sangat terkait dengan mata pencahariannya, yang sebagian

Page 5: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 17 -

besar adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri.

Kalaupun ada yang memiliki tanah, luasnya tidak seberapa dan

tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup yang layak.

b. Penduduk miskin pada umumnya adalah penganggur atau setengah penganggur. Kalau ada pekerjaan sifatnya tidak teratur,

atau pekerjaan tersebut tidak memberi pendapatan yang

memadahi bagi tingkat hidup yang wajar. Mereka ini ada, baik di

perkotaan maupun di perdesaan.

c. Penduduk miskin biasanya berusaha sendiri dengan menyewa peralatan dari orang lain. Sifat usaha ini kecil atau usaha rumah

tangga dan sangat terbatas karena tidak adanya modal untuk

mendukung usahanya. Banyak dijumpai di perkotaan, tetapi

dapat juga dijumpai di perdesaan.

d. Kebanyakan penduduk miskin tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Rendahnya pendidikan sering berdampak

pada kurangnya kesempatan untuk memperoleh jumlah yang

cukup akan bahan kebutuhan pokok, perumahan, fasilitas

kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan dan komunikasi

serta fasilitas kesejahteraan sosial lainnya.

Dari ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa hidup dalam

kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat

pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat

kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum,

kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan

menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan

jalan hidupnya sendiri. Emil Salim dalam Alfian, dkk (1980: 35) juga

telah mengungkapkan bahwa hal-hal yang tidak dimiliki oleh

Penduduk Miskin, adalah: (i) Mutu tenaga kerja yang tinggi; (ii) Jumlah

modal yang memadahi; (iii) Luas tanah dan sumber alam yang cukup;

(iv) ketrampilan dan keahlian yang cukup tinggi; (v) kondisi fisik

jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik; serta (vi) lingkungan hidup

yang memungkinkan perubahan dan kemajuan.

4. Penyebab Kemiskinan

Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005: 123) telah menyoroti

beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:

Page 6: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 18 -

a. Policy Induces Processes: proses pemiskinan yang dilestarikan,

direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of

policy) di antaranya adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi

realitanya justru melestarikan kemiskinan.

b. Socio-Economic Dualism: negara eks-koloni mengalami

kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi

marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai oleh petani

skala besar dan berorientasi ekspor.

c. Population Growth: perspektif yang didasari pada teori Malthus

bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedang

pertambahan pangan seperti deret hitung.

d. Recources Management and the Environment: adanya unsur

mis management sumber daya alam dan lingkungan, seperti

manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan

produktivitas.

e. Natural Cycles and Processes: kemiskinan terjadi karena siklus

alam. Misalnya, tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika

turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan

kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang

maksimal dan terus-menerus.

f. The Marginalization of Woman: peminggiran kaum perempuan

karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua,

sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih

rendah dari laki-laki.

g. Cultural and Ethnic Factors: bekerjanya faktor budaya dan

etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup

konsumtif para petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat

istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.

h. Explotative Intermediation: keberadaan penolong yang menjadi

penodong, seperti rentenir (lintah darat).

i. Internal Political Fragmentation and Civil Stratfe: suatu

kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi

politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.

j. International Processes: bekerjanya sistem-sistem internasional

(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi

semakin miskin.

Page 7: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 19 -

Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di

masyarakat disebabkan oleh keterbatasan aset yang dimiliki, yaitu

(Nasikun (2001) dalam Suryawati, 2005: 123):

a. Natural Assets: seperti tanah dan air, karena sebagian besar

masyarakat hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk

mata pencahariannya.

b. Human Assets: menyangkut kualitas sumber daya manusia yang

relatif masih rendah (tingkat pendidikan, pengetahuan,

keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan

teknologi).

c. Physical Assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas

umum, seperti: jaringan jalan, listrik, dan komunikasi.

d. Financial Assets: berupa tabungan (saving), serta akses untuk

memperoleh modal usaha.

e. Social Assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik,

dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan

keputusan-keputusan politik.

Merujuk pada dokumen Bappenas (2005: 70) tentang Strategi

Nasional Penanggulangan Kemiskinan, penyebab kemiskinan

bersumber dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan masyarakat

dalam memenuhi hak-hak dasar; kerentanan masyarakat menghadapi

persaingan, konflik dan tindak kekerasan; lemahnya penanganan

masalah kependudukan; ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender;

dan kesenjangan pembangunan yang menyebabkan masih banyaknya

wilayah yang dikategorikan tertinggal dan terisolasi. Masalah

kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antar wilayah

perdesaan, perkotaan, serta permasalahan khusus di kawasan pesisir

dan kawasan tertinggal.

Ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi hak-hak dasar

secara umum berkaitan dengan kegagalan kepemilikan aset terutama

tanah dan modal; terbatasnya jangkauan layanan dasar terutama

kesehatan dan pendidikan; terbatasnya ketersediaan sarana dan

prasarana pendukung; rendahnya produktivitas dan tingkat

pembentukan modal masyarakat; lemahnya partisipasi masyarakat

dalam pengambilan keputusan publik; pemanfaatan sumberdaya alam

yang berlebihan, tidak berwawasan lingkungan dan kurang melibatkan

Page 8: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 20 -

masyarakat; kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral, berjangka

pendek dan parsial; serta lemahnya koordinasi antarinstansi dalam

menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak

dasar.

5. Program-Program Penanggulangan Kemiskinan

Selama pemerintahan Orde Baru (ORBA) telah ada beberapa

program yang dicanangkan untuk menanggulangi kemiskinan, yang

antara lain dalam bentuk: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),

Tabungan Kesejahteraan Keluarga (TAKESRA) dan juga Kredit Usaha

Kesejahteraan Keluarga (KUKESRA). IDT memiliki sasaran penduduk

miskin yang ada di desa-desa tertinggal, sedang TAKESRA dan

KUKESRA memiliki sasaran penduduk miskin yang berada di luar

lokasi desa-desa tertinggal. Sasarannya dibatasi pada keluarga yang

masuk dalam kategori Keluarga Prasejahtera (KP) dan Keluarga

Sejahtera I (KS-I), hasil survei yang dilakukan oleh Badan

Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Sejak tahun 1994, BKKBN mengembangkan indikator untuk

mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan

indikator ekonomi, indikator kesehatan, indikator gizi, dan indikator

sosial. Hasil dari penelitian tersebut dapat memetakan kesejahteraan

dalam tingkatan dan ketegori: (i) Keluarga Prasejahtera (KP), (ii)

Keluarga Sejahtera I (KS-I), (iii) Keluarga Sejahtera II (KS-II), dan (iv)

Keluarga Sejahtera III Plus (KS-III Plus). Keluarga yang masuk kategori

miskin adalah KP dan KS-I. Gambaran selengkapnya, antara lain dapat

dilihat pada Sulistiani (2004: 35) dan juga Tim Crescent (2003: 5-6).

Sementara, terkait dengan perbedaan kebijakan-kebijakan dalam

penanggulangan kemiskinan (IDT, P3DT, PPK, P2KP, PDMDKE, PARUL,

dan PSEM), dapat dilihat pada Sumodiningrat (2007: 72-6 [Tabel 4]).

Upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh

pemerintah, khususnya oleh pemerintah daerah, dilakukan melalui

dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD). SPKD

merupakan dokumen strategi penanggulangan kemiskinan daerah yang

digunakan sebagai rancangan kebijakan pembangunan daerah di

bidang penanggulangan kemiskinan dalam proses penyusunan RPJMD

pada tahun-tahun selanjutnya. Penyusunan SPKD dilakukan di setiap

daerah, baik di provinsi, kabupaten maupun kota. Pihak yang

Page 9: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 21 -

bertanggungjawab dalam menyusun SPKD adalah Tim Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Daerah. Selanjutnya, melalui

TKPK Daerah dibentuk Tim Penyusun SPKD yang keanggotaannya

melibatkan berbagai elemen dari lintas pelaku (multi-stakeholders).

SPKD merupakan representasi dari strategi dan prinsip

penanggulangan kemiskinan nasional. Secara konseptual, substansi

SPKD harus disesuaikan dengan kondisi faktual di masing-masing

daerah sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh daerah.

Strategi penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang telah

ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010),

mempuyai tujuan: (i) mengurangi beban pengeluaran masyarakat

miskin, (ii) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat

miskin, (iii) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro

dan Kecil (UMK), dan (iv) membentuk sinergi kebijakan dan program

penanggulangan kemiskinan. Sementara, prinsip utama dalam

penanggulangan kemiskinan yang komprehensif, ditempuh melalui: (i)

perbaikan dan pengembangan sistem perlindungan sosial, (ii)

pningkatan akses pelayanan dasar, (iii) pemberdayaan kelompok

masyarakat miskin, dan (iv) pembangunan yang inklusif.

Dalam hal penangggulangan kemiskinan di bidang ekonomi, maka

segenap upaya harus dilakukan agar kaum miskin tetap mendapatkan

bagian dari kue perencanaan (baca: PDRB atau Produk Domestik

Bruto) yang merupakan hasil pelaksanaan program-program

pembangunan. Dengan identifikasi penduduk miskin sudah merujuk

nama dan alamat (by name by address), akan ditemukan umur

penduduk miskin yang bisa dikategorikan ke dalam: (i) Usia belum

produktif (0-14 tahun). (ii) Usia produktif (15-55 tahun), dan (iii)

usia di atas produktif (di atas 55 tahun). Sasaran pelaksanaan

program-program pembangunan sebaiknya disesuaikan dengan

kelompok umur, di mana untuk kelompok usia produktif harus

lebih diutamakan. Kerangka pelaksanaan kebijakan

penanggulangan kemiskinan dari bidang ekonomi, selengkapnya

dapat dilihat pada gambar berikut.

Page 10: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 22 -

Gambar 2.1 Kerangka Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di

Bidang Ekonomi

B. Profil Kemiskinan Sebelum menjelaskan profil kemiskinan di Kota Surakarta akan

dipaparkan terlebih dahulu kondisi kependudukan pada beberapa kurun

waktu terakhir. Dari Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa selama tahun 2004-

2011, jumlah penduduk di Kota Surakarta mengalami fluktuasi naik - turun

pada kisaran angka sekitar 500.000 jiwa. Jumlah penduduk yang pada

tahun 2004 mencapai 510.711 jiwa, pada tahun 2011 turun menjadi sekitar

501.650 jiwa. Penduduk perempuan selalu lebih dominan, jika dibanding

dengan penduduk laki-laki. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya Rasio Jenis

Kelamin (sex ratio) yang kurang dari 100. Gambaran jumlah penduduk di

Kota Surakarta, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Aktivitas/Kegiatan Ekonomi (PDRB)

Fasilitator Pelaku usaha (Masy) Pembiayaan Pendamping Usaha

Aktivitas/Kegiatan Ekonomi (PDRB)

Peningkatan Pendapatan Kaum Menengah dan Kaya

CSR/PKBL Keu. Mikro Pasar dan

Keterkaitan industri

Keb. Dasar (sesuai umur)

Tabungan

Bayar Pajak

Anggaran Publik (APBN/APBD)

Modal Usaha Modal Manusia

(Pendidikan, Kesehatan, dll)

Keterampilan

Infrastruktur Publik Jalan, jembatan Pengolahan SDA Pembenahan

Kelembagaan

Keuangan Mikro Akses Modal Teknologi Tepat

Guna Pelatihan Mgt

Usaha

Page 11: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 23 -

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kota Surakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004 – 2011

Tahun Jenis Kelamin

Sex Jumlah Rasio Jenis Kelamin Year Laki-Laki

Male Perempuan

Female Total Sex Ratio

(1) (2) (3) (4) (5) 2004 249.278 261.433 510.711 95,35 2005 250.868 283.672 534.540 88,44 2006 254.259 258.639 512.898 98,31 2007 246.132 269.240 515.372 91,42 2008 247.245 275.690 522.935 89,68 2009 249.287 278.915 528.202 89,38 2010 243.296 256.041 499.337 95,02 2011 245.283 256.367 501.650 95,68

Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012

Jika dirinci menurut kecamatan, jumlah penduduk yang paling banyak

ada di Kecamatan Banjarsari, yang pada tahun 2011 mencapai sebesar

177.985 jiwa, sedang kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah

Kecamatan Serengan, yaitu sekitar 63.491 jiwa. Kecamatan Banjarsari juga

merupakan wilayah dengan luas terbesar (sekitar 14,81 km2). Gambaran

jumlah penduduk di Kota Surakarta berdasar pembagian wilayah

kecamatan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan di Kota Surakarta 2011

Kecamatan Luas

Wilayah Jumlah Penduduk

Number of Population Rasio Jenis

Kelamin Tingkat

Kepadatan District Area

(km2) Laki-Laki

Male Perempuan

Female Jumlah Total

Sex Ratio (%)

Population Density

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Laweyan 8,64 54.834 56.933 111.767 96,31 12.936 Serengan 3,19 31.239 32.252 63.491 96,86 19.903 Pasar Kliwon 4,82 43.799 45.365 89.164 96,55 18.499 Jebres 12,58 72.286 73.417 145.703 98,46 11.582 Banjarsari 14,81 88.287 89.698 177.985 98,43 12.018

Jumlah 44,04 290.445 297.665 588.110 97,57 13.354

Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012

Jika dilihat dari sisi penduduk dalam kategori angkatan kerja dan

bukan angkatan kerja, dari Tabel 2.3 dan Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa

hingga tahun 2011, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang

jumlahnya 385.899 jiwa, sebanyak 266.308 jiwa merupakan angkatan kerja

Page 12: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 24 -

dan sisanya sebanyak 119.591 jiwa masuk kategori bukan angkatan kerja.

Gambaran, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. Sementara jika

dilihat berdasar jenis kelamin, sebagian besar penduduk di Kota Surakarta

yang bekerja adalah laki-laki (sekitar 75,78%), termasuk juga yang

menganggur masih dominan yang laki-laki (sekitar 8,82%), sedang sebagian

besar bukan angkatan kerja dalam kategori mengurus rumah tangga adalah

wanita (sekitar 30,19%). Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada

Gambar 2.2.

Tabel 2.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas menurut Usia Kerja dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011

Penduduk Usia Kerja

Laki-Laki Perempuan Jumlah

Jumlah % Jumlah % (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Angkatan Kerja 151.069 56,73 115.239 43,27 266.308 - Bekerja 140.689 56,42 108.679 43,58 249.368 - Pengangguran 10.380 61,28 6.560 38,72 16.940 Bukan Angkatan Kerja

34.575 28,91 85.016 71,09 119.591

- Sekolah 16.368 50,13 16.281 49,87 32.649 - Mengurus

Rumah Tangga

7.296 10,77 60.461 89,23 67.757

- Lainnya 10.911 56,87 8.274 43,13 19.185 Jumlah 185.644 48,11 200.255 51,89 385.899

Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012

Gambar 2.2 Perbandingan Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas

menurut Usia Kerja dan Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2011

Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/ 2012

Page 13: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 25 -

Untuk kategori penduduk miskin, perkembangan jumlah penduduk

miskin di Kota Surakarta dalam tahun 2002–2010 juga menunjukkan

adanya fluktuasi yang naik turun, di mana jumlah penduduk miskin yang

pada tahun 2002 sejumlah 64.400 jiwa atau sekitar 14,23% pada tahun

2010; telah meningkat menjadi sejumlah 69.800 jiwa atau sekitar 13,98%.

Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4 Penduduk Miskin Kota Surakarta Tahun 2002 – 2010

Tahun Jumlah (orang) Persentase

(1) (2) (3)

2002 64.400 14,23

2003 72.800 15,00

2004 69.500 13,72

2005 69.100 13,34

2006 77.600 15,21

2007 69.800 13,64

2008 83.360 16,13

2009 77.970 14,99

2010 69.800 13,98

Sumber: BPS Kota Surakarta (2012). Surakarta Dalam Angka Tahun 2011/

2012

Di lain pihak, jika penduduk miskin di Kota Surakarta dibandingkan

dengan jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota yang lain di Jawa

Tengah, data dalam dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan

bahwa tingkat kemiskinan di Kota Surakarta (sebesar 13,96%) bersama

dengan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Wonogiri,

Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pati, Kabupaten Temanggung,

Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Batang (9 Kabupaten/kota) termasuk

dalam kategori kedua (menengah), yaitu kabupaten/kota dengan tingkat

kemiskinan di atas angka nasional (besarnya 13,33% pada bulan Maret

tahun 2010) namun di bawah angka provinsi (besarnya 16,11% pada

bulan Juli tahun 2010). Posisi tingkat kemiskinan di Kota Surakarta

dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar

berikut.

Page 14: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 26 -

Gambar 2.3 Perbandingan Tingkat Kemiskinan Antara Masing-Masing

Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional Tahun 2010 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.

Dari Gambar 2.3 di atas dapat dilihat bahwa Kota Surakarta yang

digambarkan dengan diagram batang warna kuning, masuk kategori

menengah, yaitu posisi tingkat kemiskinan penduduk berada di atas angka kemiskinan tingkat Nasional, namun berada di bawah angka kemiskinan Provinsi Jawa Tengah.

Tingkat kemiskinan di Kota Surakarta yang masih relatif tinggi, secara

perlahan harus bisa diturunkan dan bisa masuk dalam kategori pertama,

yaitu masuk jajaran kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan berada di bawah angka Nasional yaitu sebesar 13,33% pada bulan Maret tahun 2010.

Di Provinsi Jawa Tengah ada 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang masuk

kategori pertama (tingkat kemiskinan rendah), yaitu: (i) Kabupaten

Sukoharjo, (ii) Kabupaten Kudus, (iii) Kabupaten Jepara, (iv) Kabupaten

Semarang, (v) Kabupaten Tegal, (vi) Kota Magelang, (vii) Kota Salatiga, (viii)

Kota Semarang, (ix) Kota Pekalongan, dan (x) Kota Tegal.

Dengan membagi Garis Kemiskinan, menjadi: (i) Kategori Rendah, (ii)

Kategori Sedang, dan (iii) Kategori Tinggi; Kota Surakarta masuk dalam

kategori Garis Kemiskinan Tinggi. Garis Kemiskinan Tinggi adalah garis

kemiskinan di kabupaten/kota yang berada di atas garis kemiskinan

Nasional (bulan Maret 2010 sebesar Rp211.726,00/kapita/bulan). Ada 17

Page 15: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 27 -

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang masuk dalam kategori Garis

Kemiskinan Tinggi, yaitu: Kabupaten Banyumas, Kabupaten Klaten,

Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang,

Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak,

Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta

(sebesar Rp.306.584,-/kapita/bulan dan menempati urutan teratas di

Provinsi Jawa Tengah), Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan

Kota Tegal. Adapun perbandingan Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) se-Eks

Karesidengan Surakarta Tahun 2010 adalah sebagai berikut.

Gambar 2.4 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) se-Eks Karesidenan

Surakarta Tahun 2010

Sementara itu, tingkat kemiskinan di Kota Surakarta berdasar hasil

Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Tahun 2011, menunjukkan

bahwa jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sebesar 36.933 Kepala

Keluarga (KK), dan jika dihitung secara individu atau jumlah Anggota

Rumah Tangga (ART) sebesar 146.176 jiwa. Jumlah keseluruhan penduduk

miskin di Kota Surakarta berdasar RTS dan ART berdasar wilayah

kecamatan dan kelurahan, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.5 Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan dan Kelurahan (dalam satuan KK: Kepala Keluarga)

No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5) I. Kec. Laweyan

01. Pajang 802 1.383 72,44% 02. Laweyan 62 144 132,26% 03. Bumi 264 386 46,21% 04. Panularan 280 548 95,71%

Page 16: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 28 -

No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5) 05. Sriwedari 119 161 35,29% 06. Penumping 111 181 63,06% 07. Purwosari 314 484 54,14% 08. Sondakan 378 593 56,88% 09. Kerten 245 497 102,86% 10. Jajar 170 377 121,76% 11. Karangasem 170 450 164,71%

Jumlah 2.915 5.204 78,52% II. Kec. Serengan 01. Joyontakan 459 762 66,01% 02. Danukusuman 405 748 84,69% 03. Serengan 325 615 89,23% 04. Tipes 579 750 29,53% 05. Kratonan 170 262 54,12% 06. Jayengan 69 116 68,12% 07. Kemlayan 92 145 57,61%

Jumlah 2.099 3.398 61,89% III Kec. Pasar Kliwon 01. Joyosuran 464 713 53,66% 02. Semanggi 2.101 2.927 39,31% 03. Pasar Kliwon 281 260 -7,47% 04. Baluwarti 275 460 67,27% 05. Gajahan 141 190 34,75% 06. Kauman 80 110 37,50% 07. Kampung Baru 130 147 13,08% 08. Kedung Lumbu 199 292 46,73% 09. Sangkrah 978 1.103 12,78%

Jumlah 4.649 6.202 33,41% IV Kec. Jebres 01. Kepatihan Kulon 99 191 92,93% 02. Kepatihan Wetan 154 178 15,58% 03. Sudiroprajan 304 228 -25,00% 04. Gandekan 551 847 53,72% 05. Sewu 421 728 72,92% 06. Pucang Sawit 788 1,582 100,76% 07. Jagalan 605 965 59,50% 08. Purwodiningratan 223 372 66,82% 09. Tegal Harjo 182 209 14,84% 10. Jebres 1.056 1.945 84,19% 11. Mojosongo 977 2.748 181,27%

Jumlah 5.360 9.993 86,44%

Page 17: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 29 -

No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5) V. Kec. Banjarsari 01. Mangkubumen 417 645 54,68% 02. Timuran 121 131 8,26% 03. Keprabon 177 237 33,90% 04. Ketelan 228 262 14,91% 05. Punggawan 137 277 102,19% 06. Kestalan 106 192 81,13% 07. Setabelan 221 220 -0,45% 08. Gilingan 1.143 1.663 45,49% 09. Manahan 400 573 43,25% 10. Sumber 583 935 60,38% 11. Nusukan 1.236 2.296 85,76% 12. Kadipiro 1.850 3.991 115,73% 13. Banyuanyar 312 714 128,85%

Jumlah 6.931 12.136 75,10% Kota Surakarta 21.954 36.933 68,23%

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Dengan meringkas Tabel 2.5 berdasar wilayah kecamatan, dari 5 (lima)

kecamatan yang ada Kota Surakarta, Kecamatan Banjarsari mempunyai

jumlah penduduk miskin yang diukur dengan satuan Rumah Tangga

Sasaran (RTS), menempati peringkat yang paling tinggi, yaitu sejumlah

12.136 KK. Gambaran selengkapnya lihat tabel berikut ini.

Tabel 2.6 Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta Hasil PPLS

Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan (dalam satuan KK: Kepala Keluarga)

No. Kecamatan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Laweyan 2.915 5.204 78,52%

2. Serengan 2.099 3.398 61,89%

3. Pasar Kliwon 4.649 6.202 33,41%

4. Jebres 5.360 9.993 86,44%

5. Banjarsari 6.931 12.136 75,10%

Kota Surakarta 21.954 36.933 68,23%

Sumber: Diolah dari Tabel 2.5

Page 18: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 30 -

Di lain pihak, dengan merinci jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) ke

dalam keseluruhan jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta

yang dibagi berdasar wilayah kecamatan dan kelurahan, dapat dilihat

bahwa pada tahun 2011 jumlah keseluruhan RTS yang mencapai 36.933

KK jika dirinci menjadi ART secara keseluruhan mencapai sejumlah

146.176 jiwa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.7 Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta Hasil PPLS

Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan dan Kelurahan (dalam satuan jiwa / orang)

No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5) I. Kec. Laweyan

01. Pajang 2.724 5.646 107,27% 02. Laweyan 166 508 206,02% 03. Bumi 857 1.501 75,15% 04. Panularan 809 2.120 162,05% 05. Sriwedari 378 623 64,81% 06. Penumping 331 640 93,35% 07. Purwosari 1.040 1.834 76,35% 08. Sondakan 1.171 2.428 107,34% 09. Kerten 782 1.877 140,03% 10. Jajar 556 1.532 175,54% 11. Karangasem 567 1.766 211,46%

Jumlah 9.381 20.475 118,26% II. Kec. Serengan 01. Joyontakan 1.608 2.919 81,53% 02. Danukusuman 1.353 2.620 93,64% 03. Serengan 1.026 2.278 122,03% 04. Tipes 1.895 2.942 55,25% 05. Kratonan 511 1.044 104,31% 06. Jayengan 199 453 127,64% 07. Kemlayan 279 564 102,15%

Jumlah 6.871 12.820 86,58% III. Kec. Pasar Kliwon 01. Joyosuran 1.518 2.864 88,67% 02. Semanggi 7.415 11.861 59,96% 03. Pasar Kliwon 910 996 9,45% 04. Baluwarti 884 1.661 87,90% 05. Gajahan 440 738 67,73% 06. Kauman 270 395 46,30% 07. Kampung Baru 400 538 34,50% 08. Kedung Lumbu 678 1.194 76,11%

Page 19: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 31 -

No. Kecamatan dan Kelurahan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5) 09. Sangkrah 3.312 4.524 36,59%

Jumlah 15.827 24.771 56,51% IV. Kec. Jebres 01. Kepatihan Kulon 322 680 111,18% 02. Kepatihan Wetan 476 573 20,38% 03. Sudiroprajan 1.014 901 -11,14% 04. Gandekan 1.839 3,202 74,12% 05. Sewu 1.436 2.943 104,94% 06. Pucang Sawit 2.695 5.915 119,48% 07. Jagalan 1.989 3.932 97,69% 08. Purwodiningratan 672 1.368 103,57% 09. Tegal Harjo 543 774 42,54% 10. Jebres 3.484 7.959 128,44% 11. Mojosongo 3.368 11.603 244,51%

Jumlah 17.838 39.850 123,40% V. Kec. Banjarsari 01. Mangkubumen 1.350 2.504 85,48% 02. Timuran 353 445 26,06% 03. Keprabon 603 887 47,10% 04. Ketelan 751 935 24,50% 05. Punggawan 427 1.006 135,60% 06. Kestalan 293 707 141,30% 07. Setabelan 700 812 16,00% 08. Gilingan 3.901 6.496 66,52% 09. Manahan 1.299 2.200 69,36% 10. Sumber 1.962 3.860 96,74% 11. Nusukan 4.210 8.994 113,63% 12. Kadipiro 6.990 16.362 134,08% 13. Banyuanyar 1.147 3.052 166,09%

Jumlah 23.986 48.260 101,20% Kota Surakarta 73.903 146.176 97,79%

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Dengan meringkas Tabel 2.7 berdasar wilayah kecamatan, dari 5 (lima)

kecamatan yang ada Kota Surakarta, Kecamatan Banjarsari mempunyai

jumlah penduduk miskin dalam satuan Anggota Rumah Tangga (ART) yang

paling banyak, yaitu sejumlah 48.260 jiwa / orang. Gambaran selengkapnya

dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Page 20: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 32 -

Tabel 2.8 Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta Hasil PPLS Tahun 2008 dan Tahun 2011 Berdasar Wilayah Kecamatan (dalam satuan jiwa / orang)

No. Kecamatan 2008 2011 Perubahan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Laweyan 9.381 20.475 118,26%

2. Serengan 6.871 12.820 86,58%

3. Pasar Kliwon 15.827 24.771 56,51%

4. Jebres 17.838 39.850 123,40%

5. Banjarsari 23.986 48.260 101,20%

Kota Surakarta 73.903 146.176 97,79%

Sumber: Diolah dari Tabel 2.7

Dengan membagi Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Anggota Rumah

Tangga (ART) di Kota Surakarta menurut status kesejahteraannya, maka

bedasar basis data terpadu untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial

(PPLS 2011), dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

a. Kelompok 1, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS)

atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status

kesejahteraan sampai dengan 10% terendah di Indonesia.

b. Kelompok 2, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS)

atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status

kesejahteraan antara 11% - 20% terendah di Indonesia.

c. Kelompok 3, merupakan sekelompok Rumah Tangga Sasaran (RTS)

atau Anggota Rumah Tangga (ART) dengan kondisi status

kesejahteraan antara 21% - 30% terendah di Indonesia.

Hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011) berdasar

Informasi Status Kesejahteraan Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kota

Surakarta, menunjukkan bahwa dengan jumlah keseluruhan sebanyak

36.933 KK, untuk kelompok 2 dan kelompok 3 mempunyai jumlah yang

sama, yaitu sebanyak 11.579 KK, sedang untuk kelompok 1 sebanyak

13.775 KK. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.9 Informasi Status Kesejahteraan Rumah Tangga Sasaran (RTS) di

Kota Surakarta (dalam satuan KK)

No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Laweyan 1.597 1.635 1.972 5.204

2. Serengan 1.350 1.054 994 3.398

Page 21: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 33 -

3. Pasar Kliwon 2.310 2.078 1.814 6.202

4. Jebres 4.374 2.972 2.647 9.993

5. Banjarsari 4.144 3.840 4.152 12.136

Kota Surakarta 13.775 11.579 11.579 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Sementara itu, Status Kesejahteraan Anggota Rumah Tangga (ART) di

Kota Surakarta, menunjukkan bahwa dengan jumlah keseluruhan sebanyak

146.176 orang / jiwa, untuk kelompok 1 berjumlah 58.945 orang, untuk

kelompok 2 berjumlah 45.646 orang, dan untuk kelompok 3 berjumkah

42.585 orang. Gambaran selengkapnya lihat tabel berikut.

Tabel 2.10 Informasi Status Kesejahteraan Anggota Rumah Tangga (ART) di Kota Surakarta (dalam satuan orang / jiwa)

No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 TOTAL (1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Laweyan 6.754 6.494 7.227 20.475 2. Serengan 5.482 3.947 3.391 12.820 3. Pasar Kliwon 10.319 8.175 6.277 24.771 4. Jebres 18.638 11.768 9.444 39.850 5. Banjarsari 17.752 15.262 15.246 48.260 Kota Surakarta 58.945 45.646 41.585 146.176

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Pada bagian berikut akan diuraikan dan dipaparkan kondisi

kemiskinan di Kota Surakarta berdasar data PPLS Tahun 2011 yang

disusun berdasar 5 (lima) bidang pembangunan, yaitu: (i) Bidang

Pendidikan, (ii) Bidang Kesehatan, (iii) Bidang Prasarana Dasar, (iv) Bidang

Ketenagakerjaan, dan (v) Bidang Ketahanan Pangan. Penjelasan lebih lanjut,

selengkapnya akan dibahas pada bagian berikut.

1. Bidang Pendidikan a. Indikator

Indikator bidang pendidikan secara umum mencakup: (i) Angka

Partisipasi Murni (APM) SD/MI, (ii) Angka Partisipasi Kasar (APK)

SMP/MTs, (iii) Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs, (iv) Angka

Putus Sekolah Umur 7 – 12 tahun, dan juga (v) angka buta huruf.

Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil

Page 22: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 34 -

Pembangunan di Bidang Pendidikan, selengkapnya dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 2.11 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Pendidikan

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3) Angka Partisipasi Kasar (APK) (%)

Perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA, dan sebagainya), tanpa memandang usianya, dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena terdapat murid yang berusia di luar usia resmi sekolah (karena terlalu cepat mendaftar, terlambat mendaftar atau mengulang), terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah perbatasan (murid bertempat tinggal di luar daerah dimana mereka bersekolah)

Semakin tinggi angka ini semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan di suatu daerah, atau semakin tinggi daya serap pendidikan pada jenjang itu terhadap penduduk, tanpa memandang usia di daerah yang bersangkutan.

Angka Partisipasi Murni (APM) (%)

Perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA) dengan penduduk usia sekolah yang sesuai

Semakin tinggi angka ini semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada jenjang pendidikan tertentu, atau semakin tinggi daya serep pendidikan pada jenjang itu terhadap anak usia sekolah di daerah yang bersangkutan. Nilai ideal APM adalah 100%

Angka putus sekolah

Perbandingan antara jumlah murid putus sekolah pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA, dan sebagainya) dengan jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu

Semakin tinggi angka ini semakin banyak siswa yang putus sekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah, atau semakin rendah tingkat kontinyuitas pendidikan masyarakat pada jenjang yang dimaksud

Angka buta huruf

Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca/ditulisnya, terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas

Semakin tinggi angka ini semakin rendah tingkat keterbukaan masyarakat di suatu daerah terhadap pengetahuan. Juga menunjukkan semakin tidak efektif pendidikan dasar (program keaksaraan) di daerah yang bersangkutan

Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

Page 23: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 35 -

b. Data Pendukung Jumlah anak yang bersekolah di Kota Surakarta berdasar wilayah

kecamatan yang pada saat survei masih berstatus bersekolah; dapat

dilihat bahwa dominasi anak di Kota Surakarta, baik yang berjenis

kelamin perempuan maupun laki-laki masih dominan pada usia

sekolah SD hingga SMP, dengan jumlah total mencapai 23.682 siswa

atau sekitar 85,80% dari keseluruhan anak pada tahun 2011 yang

sedang bersekolah. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel.

Tabel 2.12 Jumlah Anak yang Bersekolah di Kota Surakarta pada Tahun 2011

Kecamatan Usia 7-12 Usia 13-15 Usia 16-18

TOTAL P L P L P L

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Laweyan 1.014 1.081 520 593 276 313 3.797 Serengan 627 727 340 311 161 164 2.330 Pasar Kliwon 1.339 1.400 643 638 290 326 4.636 Jebres 2.065 2.148 1.063 1.054 510 561 7.401 Banjarsari 2.696 2.730 1.326 1.367 650 669 9.438 Kota Surakarta 7.741 8.086 3.892 3.963 1.887 2.033 27.602

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Sementara itu, jumlah anak yang yang tidak bersekolah, yang

pada saat survei dilaksanakan belum bersekolah dan/atau tidak lagi

bersekolah, menunjukkan bahwa anak usia 16-18 tahun (usia setelah

lulus SLTA) menunjukkan jumlah yang relatif dominan. Gambaran

kondisi anak yang tidak bersekolah di Kota Surakarta, dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 2.13 Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah di Kota Surakarta pada Tahun 2011

Kecamatan Usia 7-12 Usia 13-15 Usia 16-18

TOTAL P L P L P L

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Laweyan 57 53 34 31 220 228 623 Serengan 14 17 33 33 172 168 437 Pasar Kliwon 40 52 81 104 303 400 980 Jebres 48 66 83 109 438 487 1.231 Banjarsari 88 113 101 139 515 584 1.540 Kota Surakarta 247 301 332 416 1.648 1.867 4.811

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Page 24: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 36 -

Jika dilihat dari jenis pendidikan yang sedang ditempuh oleh

penduduk di Kota Surakarta dengan pendidikan SD dan yang

sederajat, berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 17.719 orang,

dengan dominasi yang besar ada di Kecamatan Banjarsari, yaitu

sejumlah 5.739 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 2.14 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SD dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011

Kecamatan SD / SDLB / Paket A M. Ibtidaiyah

TOTAL P L P L

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Laweyan 1.061 1.164 32 44 2.301 Serengan 706 801 8 4 1.519 Pasar Kliwon 1.544 1.596 36 31 3.207 Jebres 2.403 2.499 28 23 4.953 Banjarsari 2.785 2.898 31 25 5.739 Kota Surakarta 8.499 8.958 135 127 17.719

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Jika dilihat dari jenis pendidikan yang sedang ditempuh oleh

penduduk di Kota Surakarta, dengan pendidikan SLTP/SMP dan yang

sederajat berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 8.442 orang,

dengan jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu

sejumlah 2.749 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel 2.15 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SLTP/SMP dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011

Kecamatan SMPT/SMPLB/Paket B M. Tsanawiyah

TOTAL P L P L

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Laweyan 500 567 2 5 1.074 Serengan 327 324 1 4 656 Pasar Kliwon 724 758 9 20 1.511 Jebres 1.188 1.252 7 5 2.452 Banjarsari 1.355 1.375 12 7 2.749 Kota Surakarta 4.094 4.276 31 41 8.442

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Untuk jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk

di Kota Surakarta, dengan pendidikan SLTA/SMA dan yang sederajat

Page 25: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 37 -

berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 6.860 orang, dengan

jumlah yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah

2.196 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut

ini.

Tabel 2.16 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan SLTA/SMA dan yang Sederajat di Kota Surakarta Tahun 2011

Kecamatan

SMA/SMK/SMALB/ Paket C M. Aliyah TOTAL

P L P L (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Laweyan 451 501 6 2 960 Serengan 283 263 4 1 551 Pasar Kliwon 577 575 7 5 1.164 Jebres 998 986 1 4 1.989 Banjarsari 1.090 1.103 2 1 2.196 Kota Surakarta 3.399 3.428 20 13 6.860

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Untuk jenjang pendidikan yang sedang ditempuh oleh penduduk

di Kota Surakarta, dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi,

berdasar data PPLS Tahun 2011 berjumlah 797 orang, dengan jumlah

yang besar berada di Kecamatan Banjarsari, yaitu sejumlah 286 orang.

Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.17 Jumlah Anak yang Bersekolah Jenjang Pendidikan Perguruan Tinggi di Kota Surakarta Tahun 2011

Kecamatan Perguruan Tinggi

TOTAL P L (1) (2) (2) (3)

Laweyan 50 41 91 Serengan 25 25 50 Pasar Kliwon 62 60 122 Jebres 129 119 248 Banjarsari 153 133 286 Kota Surakarta 419 378 797

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

c. Kondisi dan Implementasi 1) Jumlah anak di Kota Surakarta berdasar PPLS Tahun 2011

yang berstatus masih sekolah sebagian besar berada pada

usia jenjang pendidikan SD dan SMP (Pendidikan Dasar).

Page 26: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 38 -

Siswa yang sedang menempuh pendidikan SD dan yang

sederajat berjumlah sekitar 17.719 orang, sedang yang

menempuh pendidikan SLTP dan yang sederajat berjumlah

8.442 orang. Dengan kondisi yang demikian perhatian

pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan harus

memberi bobot dan porsi yang besar untuk peningkatan

kualitas pendidikan dasar.

2) Jumlah anak di Kota Surakarta berdasar PPLS Tahun 2011

yang berstatus belum dan/atau tidak bersekolah sebagian

besar berada pada usia jenjang pendidikan tamatan SLTA,

yaitu sejumlah 1.648 berjenis kelamin perempuan dan

sejumlah 1.867 berjenis kelamin laki-laki. Berdasar pada

kondisi yang demikian maka program-program pelatihan yang

berbasis pada penempatan tenaga kerja, sebaiknya

diorientasikan pada penduduk yang se-usia lulusan SLTA /

SMA ke atas.

2. Bidang Kesehatan a. Indikator

Indikator bidang kesehatan secara umum meliputi: (i) Angka

Kematian Bayi (AKB) (per 1.000 kelahiran hidup), (ii) Angka

kematian Balita (AKBA) (per 1.000 kelahiran hidup), (iii) Angka

Kematian Ibu Melahirkan (Per 10.000 kelahiran hidup, (iv)

Prevalensi Balita Kekurangan Gizi (%), (v) Penduduk dengan

keluhan kesehatan (%), (vi) Angka Morbiditas (%), dan (vii)

Persentase Penduduk sakit dengan pengobatan sendiri (%).

Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi

Hasil Pembangunan di Bidang Pendidikan, selengkapnya dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.18 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Kesehatan

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3) Angka Kematian Bayi (AKB) (per 1.000 kelahiran hidup)

AKB adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun AKB per 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Nilai normatif AKB kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40-70 tergolong sedang namun

Semakin tinggi angka ini semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup anak, dan juga semakin tinggi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal, termasuk

Page 27: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 39 -

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3) sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan

pemeliharaan kesehatannya

Angka kematian Balita (AKBA) (per 1.000 kelahiran hidup)

AKBA adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. Nilai normatif Akaba > 140 sangat tinggi, antara 71-140 sedang, dan < 20 rendah

Semakin tinggi angka ini, semakin tinggi tingkat kelangsungan hidup anak, dan juga semakin tinggi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan anak-anak bertempat tinggal, termasuk pemeliharaan kesehatannya.

Angka Kematian Ibu Melahirkan (Per 10.000 kelahiran hidup

Banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 1000.000 kelahiran hidup. AKI diperhitungkan pula pada jangka waktu 6 minggu hingga setahun setelah melahirkan

Semakin tinggi angka ini semakin tinggi kematian yang terkait dengan kehamilan. AKI dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan

Prevalensi Balita Kekurangan Gizi (%)

Perbandingan antara balita berstatus kurang gizi dengan balita seluruhnya. Prevalensi status gizi balita diperoleh melalui indeks berat badan, umur, dan jenis kelamin. Kategori status gizi ditentukan dengan menggunakan standar NCHS-WHO, yang dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan Z-score, yaitu: (1) Gizi lebih (Z-score >= +2) (2) Gizi normal (-2 < Z-score < +2) (3) Gizi kurang (-3 < Z-score < -2) (4) Gizi buruk (Z-score <=-3)

Semakin tinggi prevalensi ini, semakin tinggi risiko kematian yang dihadapi oleh anak (balita), dan semakin besar pula hambatan bagi pertumbuhan dan peningkatan status kesehatannya

Penduduk dengan keluhan kesehatan (%)

Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, yaitu gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa termasuk kearen kecelakaan atau hal lain

Semakin tinggi persentase ini semakin rendah derajat kesehatan masyarakat

Angka Morbiditas (%)

Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, yaitu gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk karena kecelakaan atau hal lain, yang menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari

Semakin tinggi persentase ini semakin rendah derajat kesehatan masyarakat, dan semakin terganggu kelancaran aktivitas masyarakat akibat masalah kesehatan

Persentase Penduduk sakit dengan pengobatan sendiri (%)

Perbandingan antara jumlah penduduk sakit yang diobati sendiri dengan jumlah penduduk yang mengalami keluhan sakit, yang menyebabkan aktivitasnya terganggu

Semakin tinggi persentase ini semakin rendah kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sarana kesehatan

Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

Page 28: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 40 -

b. Data Pendukung Indikator utama pembangunan di bidang kesehatan di Kota

Surakarta selama tahun 2006-2011; dapat dilihat bahwa selama tahun

2006-2011, indikator utama pembangunan bidang kesehatan di Kota

Surakarta menunjukkan kecenderungan pencapaian SPM yang sudah

baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator kesehatan nomor 8 yang

memuat persentase penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan,

mulai tahun 2008 sudah mencakup semua penduduk miskin (angka

capaian 100%). Namun demikian, masih banyak permasalahan di

bidang kesehatan yang juga perlu mendapatkan penanganan secara

baik, yaitu masalah penanganan penyandang cacat, dan penanganan

penyakit kronis. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.19 Indikator Utama Pembangunan di Bidang Kesehatan di Kota Surakarta Tahun 2006-2011.

No Jenis Data 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (1) (2) (3) (4) (5) (7) (7) (8)

01. Angka Kematian Bayi (per 1.000 kelahiran hidup) 5,76 10,3 3,6 5,7 6,6 4,7

02. Angka Kematian Balita (AKBA) 1,39 1 0,69 2,11 1,8 1

03. Angka Kematian ibu Melahirkan 41,8 48,52 49,01 153,82 90,2 39,4

04. Prevalensi Balita Kekurangan Gizi

a. Prevalensi Balita Gizi Buruk 2,18 0,64 0,26 0,04 0 0

b. Prevalensi Balita Gizi Kurang 15,84 8,72 7,09 3,49 6,59 5,78

05. Persentase pelayanan antenatal (K4) 92,95 98,44 95,03 96,4 98,4 96,5

06. Persentase penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan

39,6 61,01 100 100 100 100

07. Persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap

94,04 97,83 99,08 98,02 94,58 98,6

08. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan

100 100 100 100 100 100

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Surakarta

Data masalah penyandang cacat berdasar kelompok 1, 2, 3 di Kota

Surakarta pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dari total

penyandang cacat sejumlah 1.288 orang, yang dialami oleh kaum laki-

Page 29: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 41 -

laki jenjang usia 15-45 tahun, paling banyak, yaitu sejumkah 305

orang. Kecamatan Jebres mempunyai jumlah penduduk kategori

miskin dengan jumlah penyandang cacat yang relatif banyak, yaitu

sejumlah 375 orang. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 2.20 Informasi Data Penyandang Cacat / Kecacatan (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta (dalam satuan orang)

Kecamatan Usia 0-di bawah 15

Usia 15-di bawah 45

Usia 45-di bawah 60 Usia 60+

TOTAL P L P L P L P L

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Laweyan 7 6 33 40 18 32 25 25 186 Serengan 6 10 26 30 15 23 18 15 143 Pasar Kliwon 8 5 33 55 19 23 46 27 216 Jebres 11 21 66 93 37 43 53 51 375 Banjarsari 14 18 58 87 48 57 35 51 368 Kota Surakarta 46 60 216 305 137 178 177 169 1.288

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Untuk masalah penyakit kronis berdasar kelompok 1, 2, 3 di Kota

Surakarta pada tahun 2011, menunjukkan bahwa dari total

penyandang penyakit kronis yang jumlahnya 3.441 orang, yang dialami

oleh kaum perempuan pada jenjang usia di atas 60 tahun, adalah yang

paling banyak, yaitu sejumlah 864 orang. Kecamatan Jebres

mempunyai jumlah penduduk kategori miskin penyandang penyakit

kronis dengan jumlah yang relatif banyak, yaitu sejumlah 1.085 orang.

Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.21 Informasi Data Penyakit Kronis (Kelompok 1, 2, 3) di Kota

Surakarta (dalam satuan orang)

Kecamatan Usia di bawah

15 tahun Usia 15- di bawah 45

Usia 45- di bawah 60 Usia 60+

TOTAL P L P L P L P L

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

Laweyan 7 10 96 74 138 110 188 149 772 Serengan 2 3 23 23 64 51 117 69 352 Pasar Kliwon 3 8 38 42 91 76 126 103 487 Jebres 13 13 119 111 203 183 246 197 1.085 Banjarsari 5 7 73 54 129 124 187 167 746 Kota Surakarta 30 41 349 304 625 544 864 685 3.442

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Page 30: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 42 -

c. Kondisi dan Implementasi 1) Dari data yang ada menunjukkan bahwa capaian SPM di

bidang kesehatan di Kota Surakarta sudah berjalan dengan

baik, namun demikian, tantangan yang masih ada adalah

terkait dengan masalah penanganan penyandang cacat dan

masalah penyakit kronis.

2) Untuk penyandang cacat banyak dialami oleh kaum laki-laki

pada jenjang usia 15-45 tahun (sebanyak 305 orang). Hal ini

membawa implikasi kebijakan di bidang kesehatan pada usia

yang masih produktif ini, selain diupayakan menuju ke arah

peningkatan produktivitas karena peningkatan derajat

kesehatan, sebaiknya juga diarahkan untuk bisa terlibat

dalam lapangan pekerjaan yang bersifat produktif.

3) Untuk penyakit kronis banyak dialami oleh kaum perempuan

pada jenjang usia di atas 60 tahun (sebanyak 864 orang). Hal

ini perlu menjadi perhatian yang lebih besar, karena

kelompok ini selain sudah tidak produktif, juga sudah masuk

dalam kategori manula.

3. Bidang Prasarana Dasar a. Indikator

Indikator bidang prasarana dasar secara umum meliputi: (i)

Proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi yang layak

(%), (ii) Proporsi Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih

(%), (iii) Proporsi rumah tangga dengan kepemilikan hak atas

rumah, dan (iv) Rasio elektrifikasi. Gambaran indikator utama,

konsep/definisi dan interpretasi hasil pembangunan bidang

prasana dasar, selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.22 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Prasarana Dasar

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3)

Proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sanitasi yang layak (%)

Perbandingan rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan rumah tangga seluruhnya. Fasilitas sanitasi yang memenuhi kesehatan antara lain harus dilengkapi

Semakin tinggi proporsi ini semakin tinggi risiko kontak masyarakat dengan pembuangan kotoran. Risiko ini umumnya lebih sulit dihindari di daerah perkotaan

Page 31: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 43 -

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3)

dengan leher angsa dan tangki septik

Proporsi Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih (%)

Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap air bersih dengna rumah tangga seluruhnya

Semakin tinggi proporsi ini semakin besar peluang masyarakat terhindar dari berbagai sumber penyakit yang disebabkan oleh kondisi air yang tidak terlindungi atau tidak aman untuk diminum

Proporsi rumah tangga dengan kepemilikan hak atas rumah

Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap tempat tinggal tetap dengan rumah tangga seluruhnya

Semakin tinggi proporsi ini semakin tinggi kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar tempat tinggal dan bangunan fisik yang tetap dan terjamin. Juga berarti semakin kecil kemungkinan masyarakat hidup dalam lingkungan yang tidak memadai (kumuh dan rawan penggusuran), khususnya di wilayah perkotaan

Rasio Elektrifikasi

Rasio elektrifikasi adalah jumlah total rumah tangga yang memiliki fasilitas listrik dengan tumah tangga seluruhnya

Semakin tinggi rasio elektrifikasi suatu daerah, maka akan semakin banyak masyarakat di daerah yang bersangkutan yang mampu menikmati pelayanan listrik

Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

b. Data Pendukung

Untuk informasi status tempat tinggal penduduk kategori

miskin di Kota Surakarta, dari data PPLS Tahun 2011 yang ada

dapat dilihat bahwa penduduk kategori miskin masih dominan

pada rumah tangga yang memiliki rumah hasil kontrak / sewa,

yaitu mencapai sekitar 18.083 unit (sekitar 48,96%). Kecamatan

Banjarsari merupakan wilayah dengan penduduk miskin berdasar

tempat tinggal yang paling banyak, yaitu mencapai sekitar 12.136

unit / buah (sekitar 32,86%). Gambaran selengkapnya dapat

dilihat pada tabel berikut.

Page 32: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 44 -

Tabel 2.23 Informasi Status Tempat Tinggal (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam unit / buah)

Kecamatan Jumlah Rumah Tangga

Total Milik Sendiri Kontrak/Sewa Lainnya

(1) (2) (3) (4)

Laweyan 2.229 2.719 256 5.204 Serengan 1.205 1.963 230 3.398 Pasar Kliwon 2.700 3.266 236 6.202 Jebres 5.582 4.102 309 9.993 Banjarsari 5.704 6.033 399 12.136 Kota Surakarta 17.420 18.083 1.430 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Untuk data sumber air minum, dari data PPLS Tahun 2011

dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga penduduk miskin yang

memanfaatkan sumber air terlindungi masih relatif banyak, yaitu

sekitar 25.581 KK (sekitar 69,26%). Hal ini mengindikasikan

bahwa sumber air minum untuk KK miskin masih dalam kondisi

baik, dibanding dengan KK miskin yang memanfaatkan air minum

dari sumber yang tidak terlindungi, yaitu sebesar 1.033 KK

(sekitar 2,79%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.24 Informasi Sumber Air Minum Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan

Jumlah Rumah Tangga

Total Air Kemasan

Air Ledeng

Sumber Terlindung

Sumber Tidak

Terlindung (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Laweyan 72 139 4.769 224 5.204 Serengan 35 862 2.398 103 3.398 Pasar Kliwon 61 3.848 2.228 65 6.202 Jebres 415 3.224 5.969 385 9.993 Banjarsari 258 1.405 10.217 256 12.136 Kota Surakarta 841 9.478 25.581 1.033 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Untuk data sumber penerangan rumah tangga, dari data

PPLS Tahun 2011 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga

miskin yang tidak mempunyai penerangan listrik (tidak ada listrik)

masih ada, yaitu mencapai 662 KK (atau sekitar 1,79%). Hal ini

Page 33: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 45 -

mengindikasikan bahwa di Kota Surakarta masih ada KK miskin

yang belum dapat menikmati penerangan secara baik, walaupun

jumlahnya masih kecil. Gambaran selengkapnya, dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 2.25 Informasi Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan

Jumlah Rumah Tangga Total

Listrik PLN Listrik Non PLN

Tidak Ada Listrik

(1) (2) (3) (4) (5)

Laweyan 5.107 64 33 5.204 Serengan 3.272 82 44 3.398 Pasar Kliwon 5.800 17 385 6.202 Jebres 9.758 87 148 9.993 Banjarsari 12.072 12 52 12.136 Kota Surakarta 36.009 262 662 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Jika dilihat dari sisi bahan bakar utama yang dipergunakan

oleh penduduk miskin, dari data PPLS Tahun 2011 dapat dilihat

bahwa sebagian besar jumlah rumah tangga miskin sudah

menggunakan bahan bakar utama yang bersumber dari

listrik/gas/ elpiji, yaitu mencapai 28.238 KK (atau sekitar

76,46%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.26 Informasi Bahan Bakar Utama Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan

Jumlah Rumah Tangga Total

Listrik/Gas/Elpiji Lainnya (1) (2) (3) (4)

Laweyan 4.384 820 5.204 Serengan 2.346 1.052 3.398 Pasar Kliwon 4.911 1.291 6.202 Jebres 7.272 2.721 9.993 Banjarsari 9.325 2.811 12.136 Kota Surakarta 28.238 8.695 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Untuk fasilitas tempat buang air besar bagi keluarga miskin,

dari data PPLS Tahun 2011 memperlihatkan bahwa sebagian

Page 34: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 46 -

besar rumah tangga masih menggunakan fasilitas buang air besar

secara bersama/umum, yaitu mencapai 20.846 KK (atau sekitar

56,44%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.27 Informasi Penggunaan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan Jumlah Rumah Tangga

Total Sendiri Bersama /

Umum Tidak ada

(1) (2) (3) (4) (5)

Laweyan 2.395 2.730 79 5.204 Serengan 1.125 2.261 12 3.398 Pasar Kliwon 1.704 4.486 12 6.202 Jebres 4.604 5.236 153 9.993 Banjarsari 5.809 6.133 194 12.136 Kota Surakarta 15.637 20.846 450 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Sementara untuk fasilitas pembuangan akhir tinja rumah

tangga, dari data PPLS Tahun 2011 memperlihatkan bahwa

sebagian besar rumah tangga sudah menggunakan fasilitas

pembuangan akhir tinja dengan sistem tangki atau Sistem

Pembungan Air Limbah (SPAL), yaitu mencapai 27.413 KK (atau

sekitar 74,22%). Gambaran selengkapnya, dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.28 Informasi Tempat Pembuangan Akhir Tinja Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan Jumlah Rumah Tangga

Total Tangki / SPAL Lainnya

(1) (2) (3) (4)

Laweyan 3.789 1.415 5.204 Serengan 2.244 1.154 3.398 Pasar Kliwon 5.418 784 6.202 Jebres 6.860 3.133 9.993 Banjarsari 9.102 3.034 12.136 Kota Surakarta 27.413 9.520 36.933

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Page 35: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 47 -

c. Kondisi dan Implementasi 1) Status tempat tinggal rumah tangga miskin atau Rumah

Tangga Sasaran (RTS) di Kota Surakarta sebagian besar

masih menempati rumah kontrak/sewa. Hal ini membawa

implikasi bahwa RTS masih dibebani dengan pengeluaran

uang untuk membayar uang kontrak/sewa rumah. Kebijakan

ke depan dapat diarahkan untuk pemanfaatan RUSUNAMI

atau upaya-upaya yang mampu memperbesar pendapatan

bagi kelompok RTS ini.

2) Di Kota Surakarta masih ditemukan RTS yang sumber

penerangan utamanya tidak berasal dari energi listrik.

Walaupun secara persentase masih relatif kecil (atau sekitar

1,79%), tetapi upaya menjadikan RTS menggunakan energi

listrik harus mendapatkan perhatian. Hal ini didasarkan pada

kenyataan bahwa energi listrik tidak semata-mata berfungsi

sebagai sumber penerangan, tetapi juga dapat dimanfaaatkan

sebagai sumber energi yang lain, termasuk untuk sumber

energi dalam menjalankan usaha-usaha produktif.

3) Sebagian besar jumlah RTS sudah menggunakan bahan

bakar utama yang bersumber dari listrik/gas/elpiji (mencapai

28.238 KK atau sekitar 76,46%). Hal yang menjadi perhatian

utama adalah upaya dari pemerintah (baik pusat maupun

daerah) untuk bisa menjaga stabiltas harga bahan-bahan

bakar tersebut, sehingga daya beli mereka tetap terjaga dan

tidak menganggu alokasi ke pengeluaran yang lain, akibat

kenaikan dari sumber bahan bakar tersebut.

4) Sebagian besar rumah tangga masih menggunakan fasilitas

buang air besar secara bersama / umum (mencapai 20.846

KK atau sekitar 56,44%). Hal ini tentu menjadi dasar bagi

pemerintah untuk menyediakan fasilitas MCK di pusat atau

kantong-kantong kemiskinan agar kondisi sanitasi dan

tingkat kesehatan RTS tetap dapat dijaga.

4. Bidang Ketenagakerjaan a. Indikator

Indikator bidang ketenagakerjaan secara umum meliputi: (i)

Tingkat Pengangguran Terbuka (%), (ii) Setengah Pengangguran

Page 36: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 48 -

(%), dan (iii) Rasio Ketergantungan (per 100 penduduk angkatan

kerja). Gambaran Indikator Utama, Konsep/Definisi dan

Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketenagakerjaan,

selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.29 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketenagakerjaan

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3)

Tingkat Pengangguran Terbuka (%)

Persentase penduduk yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, yang sudah mempunyai pekerjaan tapi belum mulai bekerja, dari total angkatan kerja yang ada

Semakin tinggi tingkat pengangguran terbuka semakin kecil peluang masyarakat untuk mengakumulasi pendapatan dan semakin tinggi pula potensi kerawanan sosial

Setengah Pengangguran (%)

Persentase penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu)

Semakin tinggi tingkat setengah pengangguran semakin rendah tingkat utilisasi pekerja dan produktivitasnya

Rasio Ketergantungan (per 100 penduduk angkatan kerja)

Banyaknya penduduk bukan angkatan kerja (0-14 tahun + 65 tahun ke atas) yang ditanggung oleh setiap 100 oenduduk angkatan kerja (15-64 tahun)

Semakin tinggi rasio ketergantungan semakin berat beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk lain yang belum produktif dan tidak produktif lagi

Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

b. Data Pendukung

Data pendukung di Kota Surakarta yang terkait dengan

indikator ketenagakerjaan selama tahun 2006-2011 dapat dilihat

bahwa persentase Upah Minimum Kota (UMK) terhadap

Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pernah melewati angka 100% pada

tahun 2009, selebihnya hingga tahun 2011 belum mencapai angka

100%. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 37: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 49 -

Tabel 2.30 Indikator Utama Bidang Ketenagakerjaan di Kota Surakarta, Tahun 2006-2011

No. Indikator Ketenagakerjaan 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

01. Persentase UMK terhadap KHL 86,14 93,45 99,99 100,03 95,83 98,94

02. Persentase penduduk yang bekerja < 35 jam (setengah pengangguran) (%)

12,92 13,96 14,76 13,98 11,38 17,05

03. Rasio Ketergantungan (Per penduduk usia produktif) 38,99 43,17 38,13 39,63 39,78 38,3

Sumber: Dinsosnakertrans Kota Surakarta dan BPS

Rasio Upah Minimum Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup

Layak (KHL), menurut data yang dimuat dalam dokumen SPKD

Jawa Tengah agak berbeda dengan dokumen di atas. Dalam

dokumen SPKD, rasio UMK terhadap KHL di Kota Surakarta pada

tahun 2010 adalah sebesar 91,75%. Angka ini masih berada di

bawah besaran UMK/KHL di Provinsi Jawa Tengah yang besarnya

adalah 92,06%. Penjelasan secara grafis, dapat dilihat pada

gambar berikut.

Gambar 2.5 Grafik Persentase Perbandingan Upah Minimum

Kabupaten/ Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Menurut Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2010

Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.

Page 38: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 50 -

Di lain pihak, besarnya tingkat pengangguran terbuka di

Kota Surakarta yang mencapai angkat 8,73% termasuk dalam

Kategori Tinggi, jika dibanding dengan tingkat pengangguran

terbuka di Provinsi Jawa Tengah 2010 yang besarnya mencapai

6,21% atau lebih rendah dari tingkat pengangguran terbuka di

tingkat nasional yang besarnya mencapai 7,87%. Secara

keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah ada 12 kabupaten/kota

dengan tingkat pengangguran kategori tinggi, yaitu: Kabupaten

Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten

Sukoharjo, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten

Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota

Semarang, dan Kota Tegal.

Perkembangan data lain terkait dengan masalah

ketenagakerjaan juga bersumber dari dokumen PPLS Tahun 2011.

Data ini antara lain berupa informasi kepala rumah tangga

perempuan (untuk kelompok 1, 2, 3) dalam satuan Kepala

Keluarga (KK). Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.31 Informasi Kepala Rumah Tangga Perempuan (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan Usia di bawah 45 thn

Usia 45 thn – di bawah 60

Usia 60+ thn TOTAL

(1) (2) (3) (4) (5)

Laweyan 159 555 464 1.178 Serengan 86 389 360 835 Pasar Kliwon 155 671 578 1.404 Jebres 304 1.114 899 2.317 Banjarsari 395 1.324 933 2.652 Kota Surakarta 1.099 4.053 3.234 8.386

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa RTS perempuan

sebagai kepala rumah tangga sangat dominan pada usia 45 – 60

tahun, yang besarnya mencapai 4.053 KK atau sekitar 48,33%. Di

lain pihak, untuk kelompok usia produktif (usia 15- < 60 tahun),

menunjukkan bahwa dari total 98.489 KK yang bekerja sebanyak

60.062 KK, sedang sisanya yang tidak bekerja sebanyak 36.427

KK. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 39: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 51 -

Tabel 2.32 Informasi Status Bekerja dan Tidak Bekerja ART (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan

Usia 5 – di bawah 15 Usia 15 – di bawah 60 Usia 60+

Bekerja Tidak Bekerja Bekerja Tidak Bekerja Bekerja Tidak

Bekerja

P L P L P L P L P L P L Laweyan 4 3 1.698 1.859 3.267 5.166 3.630 1.674 249 418 827 418

Serengan 11 6 1.053 1.161 2.276 3.317 2.002 913 213 269 540 236

Pasar Kliwon 11 14 2.249 2.328 3.879 6.365 4.099 1.892 348 533 972 456

Jebres 12 3 3.489 3.598 6.972 9.932 6.124 3.206 568 753 1.614 810

Banjarsari 19 16 4.433 4.598 7.146 11.742 8.720 4.167 569 888 1.734 930

Kota Surakarta 57 42 12.922 13.544 23.540 36.522 24.575 11.852 1.947 2.861 5.687 2.850

Catatan: - Jumlah pekerja (kepala rumah tangga dan individu / anggota rumah tangga) menurut jenis lapangan pekerjaan namun penghasilannya

termasuk kelompok 1, 2, 3 - Buruh tani/bangunan atau pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp.600.000,-

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Page 40: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 52 -

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok usia produktif

yang tidak bekerja, untuk jenis kelamin perempuan sebanyak

24.575 KK (atau sekitar 67,46%) sedang yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 11.852 KK (atau sekitar 32,54%).

Sementara itu, perkerjaan yang sebagian besar menjadi mata

pencaharian, baik RTS (satuan KK) maupun ARS (satuan orang /

jiwa) berada di sektor-sektor: (i) Industri Pengolahan; (ii)

Bangunan/Konstruksi; (iii) Perdagangan; (iv) Transportasi dan

Pergudangan; dan (v) Jasa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 2.33 Informasi Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam KK)

Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Laweyan 11 0 2 3 0 1 5 2 463 12 Serengan 2 0 4 0 1 5 1 2 411 12 Pasar Kliwon 6 0 1 6 2 6 3 5 771 13 Jebres 13 3 11 6 4 27 16 17 1.088 41 Banjarsari 13 1 5 7 3 27 4 8 826 57

Kota Surakarta 45 4 23 22 10 66 29 34 3.559 135

Kecamatan 11 12 13 14 15 16 17 18 TOTAL (1) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)

Laweyan 481 1.010 58 320 19 7 1.405 313 4.112 Serengan 252 593 124 299 8 8 656 343 2.721 Pasar Kliwon 536 1.366 76 664 12 7 1.299 220 4.993 Jebres 1.147 1.826 282 761 35 25 2.214 437 7.953 Banjarsari 1.693 2.210 263 1.042 48 28 2.789 678 9.702 Kota Surakarta 4.109 7.005 803 3.086 122 75 8.363 1.991 29.481

Catatan: Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: 1. Pertanian tanaman padi dan palawija; 2. Hortikultura; 3. Perkebunan; 4. Perikanan Tangkap; 5. Perikanan budidaya; 6. Peternakan; 7. Kehutanan/pertanian lainnya; 8. Pertambangan/penggalian; 9. Industri Pengolahan; 10. Listrik dan gas; 11. Bangunan/Konstruksi; 12. Perdagangan; 13. Hotel dan rumah makan; 14. Transportasi dan Pergudangan; 15. Informasi & komunikasi; 16. Keuangan dan asuransi; 17. Jasa; 18. Lainnya

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

Page 41: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 53 -

Tabel 2.34 Informasi Lapangan Pekerjaan Individu (ART) (Kelompok 1, 2, 3) di Kota Surakarta Tahun 2011 (dalam orang / jiwa)

Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Laweyan 7 0 4 7 0 3 6 9 1.302 27 Serengan 8 0 7 0 4 4 2 6 1.167 24 Pasar Kliwon 10 2 4 7 4 14 9 25 1.948 30 Jebres 18 7 24 9 5 44 25 38 3.217 69 Banjarsari 18 1 8 13 4 49 9 26 2.563 105 Kota Surakarta 61 10 47 36 17 114 51 104 10.197 255

Kecamatan 11 12 13 14 15 16 17 18 TOTAL (1) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)

Laweyan 667 2.343 198 373 39 36 2.876 607 8.504 Serengan 343 1.229 318 319 30 28 1.381 756 5.626 Pasar Kliwon 829 3.603 230 743 47 34 2.367 372 10.278 Jebres 1.638 4.440 749 993 133 77 4.610 899 16.995 Banjarsari 2.278 4.962 767 1,204 144 88 5.329 1.431 18.999

Kota Surakarta 5.755 16.577 2.262 3.632 393 263 16.563 4.065 60.402

Catatan: Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: 1. Pertanian tanaman padi dan palawija; 2. Hortikultura; 3. Perkebunan; 4. Perikanan Tangkap; 5. Perikanan budidaya; 6. Peternakan; 7. Kehutanan/pertanian lainnya; 8. Pertambangan/penggalian; 9. Industri Pengolahan; 10. Listrik dan gas; 11. Bangunan/Konstruksi; 12. Perdagangan; 13. Hotel dan rumah makan; 14. Transportasi dan Pergudangan; 15. Informasi & komunikasi; 16. Keuangan dan asuransi; 17. Jasa; 18. Lainnya

Sumber: BPS. (Maret 2012). Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS 2011).

c. Kondisi dan Implementasi 1) Walaupun data dari Pemerintah Kota Surakarta maupun data

dari Provinsi Jawa Tengah mengenai rasio Upah Minimum

Kota (UMK) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada

tahun 2010 agak berbeda, tetapi ada kesamaan

antarkeduanya bahwa nilai rupiah UMK masih lebih kecil dari

nilai rupiah KHL. Hal ini harus menjadi perhatian, khususnya

bagi pihak-pihak terkait untuk kelak bisa menyamakan

bahkan jika mungkin untuk membuat nilai UMK harus lebih

besar dibanding nilai KHL.

Page 42: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 54 -

2) Rumah Tangga Sasaran (RTS) kelompok usia 45 – 60 tahun,

dengan perempuan berperan sebagai Kepala Rumah Tangga di

Kota Surakarta masih relatif besar, yaitu mencapai 4.053 KK

(atau sekitar 48,33%). Kodisi ini harus menjadi perhatian dan

pemikiran dari kita semua, agar kelompok miskin dari

kategori ini tidak semakin buruk kondisinya.

3) Kelompok usia produktif penduduk miskin (usia 15 s.d < 60

tahun) yang jumlahnya sekitar 98.489 KK, yang tidak bekerja

sebanyak 36.427 KK (atau sekitar 37,75%). Kebijakan yang

menjadikan kelompok miskin usia produktif yang sekarang ini

dalam kondisi tidak bekerja, pada masa-masa mendatang

harus diupayakan untuk bisa bekerja dan mampu

menghidupi bagi dirinya sendiri dan keluargnya.

4) Lapangan perkerjaan yang sebagian besar menjadi mata

pencaharian, baik bagi RTS (satuan KK) maupun ART (satuan

orang/jiwa) di Kota Surakarta berdasar data PPLS Tahun

2011 berada di sektor-sektor: (i) Industri Pengolahan; (ii)

Bangunan/ Konstruksi; (iii) Perdagangan; (iv) Transportasi

dan Pergudangan; dan (v) Jasa. Oleh karenanya, keberadaan

sektor-sektor tersebut harus bisa dioptimalkan agar mampu

berperan dalam memberikan lapangan pekerjaan bagi

penduduk miskin.

5. Bidang Ketahanan Pangan a. Indikator

Indikator bidang ketahanan pangan, secara umum meliputi: (i)

Harga Beras (Rp), (ii) Harga bahan kebutuhan pokok (Rp), (iii) Rasio

konsumsi pangan normatif terhadap ketersediaan pangan serealia

(%). Gambaran indikator utama, konsep/definisi dan interpretasi

hasil pembangunan di bidang ketahanan pangan, selengkapnya

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.35 Indikator Utama, Konsep/Definisi dan Interpretasi Hasil Pembangunan di Bidang Ketahanan Pangan

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

(1) (2) (3)

Harga Beras (Rp) Harga eceran/konsumen beras. Harga konsumen/eceran dalam

Semakin tinggi harga beras semakin berat beban

Page 43: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 55 -

INDIKATOR UTAMA

KONSEP/DEFINISI INTEPRETASI

hal ini adalah harga transaksi secara tunai, yang terjadi antara penjual dan pembeli dengan satuan eceran

pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mempertahankan konsumsi terhadap komoditas tersebut yang merupakan bagian dari kebutuhan dasarnya

Harga bahan kebutuhan pokok (Rp)

Harga eceran/konsumen bahan kebutuhan pokok. Harga konsumen/eceran dalam hal ini adalah harga transaksi secara tunai, yang terjadi antara penjual dan pembeli dengan satuan eceran

Semakin tinggi harga bahan kebutuhan pokok semakin berat beban pengeluaran yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk mempertahankan konsumsinya terhadao komoditas tersebut, yang merupakan bagian dari kebutuhan dasarnya

Rasio konsumsi pangan normatif terhadap ketersediaan pangan serealia (%)

Rasio antara konsumsi normatif pangan serealia (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dengan ketersediaan pangan serelia yang dihasilkan di suatu daerah.

Kriteria penilaiannya adalah 1. > 1,50 = sangat rawan 2. > 1,25 – 1,50 = rawan 3. >1,00 – 1,25 = agak rawan 4. > 0,75 – 1,00 = cukup tahan 5. > 0,50 – 0,75 = tahan 6. <=0,5 = sangat tahan

Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi tingkat kerawanan pangan masyarakat suatu daerah. Ketika masyarakat mampu menyediakan bahan pangan, minimal untuk memenuhi kebutuhan pangan keseluruhan masyarakat secara lokal, tidak tegantung pada daerah lain maka daerah tersebut relatif rendah rawan pangannya dan dapat dikategorikan tahan pangan

Sumber: Panduan Analisis Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, TNP2K, 2012.

b. Data Pendukung Data pendukung di bidang ketahanan pangan, antara lain

berupa rasio konsumsi beras dan rasio konsumsi ubi jalar. Secara

umum rasio ini menunjukkan angka yang kurang dari 100.

Gambaran indikator bidang ketahanan pangan, selengkapnya

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.36 Indikator Bidang Ketahanan Pangan di Kota Surakarta Tahun 2010-2011

No. Rasio Konsumsi Pangan Normatif terhadap Kesediaan Pangan Serelia

2010 2011

(1) (2) (3) (4)

1. Rasio Konsumsi Beras 0.93 0.85

2. Rasio Konsumsi Ubi Jalar 0.98 0.95

Sumber: Kantor Ketahanan Pangan Kota Surakarta

Page 44: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 56 -

Selain rasio konsumsi beras dan rasio konsumsi ubi jalar,

indikator bidang ketahanan pangan terkait dengan perkembangan

harga-harga kebutuhan pokok. Indikator harga-harga kebutuhan

pokok utama di Kota Surakarta Tahun 2010-2011, selengkapnya

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.37 Indikator Bidang Ketahanan Pangan di Kota Surakarta Berdasar Harga-Harga Kebutuhan Pokok Utama (Rp) Tahun 2010-2011

No. Komoditas Harga Tahun 2010 (Rp)

Harga Tahun 2011 (Rp)

(1) (2) (3) (4) 01. Beras C4 super 8.000 7.941 02. Beras C4 biasa 7.200 7.209 03. Jagung Manis 4.000 4.691 04. Kedelai lokal 6.000 8.757 05. Kacang tanah 13.000 14.909 06. Ubi kayu / ubi jalar - 2.333 07. Cabe merah biasa 20.000 15.318 08. Cabe merah keriting 25.000 17.863 09. B Merah Brebes 14.000 14.783 10. Minyak goreng 11.000 17.572 11. Minyak curah - 10.110 12. Gula pasir TM 10.000 9.891 13. Tepung Terigu 7.000 7.024 14. Daging sapi 60.000 60.070 15. Daging ayam 23.000 21.578 16. Telur ayam 13.500 13.257 17. Ikan teri 40.000 48.974

Sumber: Kantor Ketahanan Pangan Kota Surakarta

c. Kondisi dan Implementasi 1) Stabilitas harga harus terus diupayakan agar daya beli

masyarakat, khususnya untuk kelompok masyarakat miskin

tetap terjaga, sehingga tidak mengurangi proporsi pengeluaran

mereka, khususnya untuk membeli konsumsi kebutuhan

dasar / pokok.

2) Diversifikasi kebutuhan pangan yang mampu menggantikan

konsumsi dan komoditi beras sebaiknya terus dilakukan agar

ketergantungan terhadap konsumsi beras dapat diimbangi

dengan ketersediaan komoditi lainnya.

Hasil akhir program penanggulangan kemiskinan, diukur dengan

perbaikan dalam besaran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan nilai

Page 45: BAB II ASPEK DAN PROFIL KEMISKINAN DI KOTA …bapppeda.surakarta.go.id/kip/assets/uploads/bidang/PENYUGRAM/61/_5...dilakukan adalah memahami pengertian kemiskinan secara komprehensif.

- 57 -

IPM Provinsi Jawa Tengah sebesar 72,10, maka kabupaten/kota yang

masuk kategori ber-IPM tinggi ada 15 kabupaten/kota, yaitu: Kota Surakarta (sebesar 77,49 peringkat tertinggi), Kota Semarang, Kota

Magelang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten

Temanggung, Kabupaten Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus,

Kabupaten Pati, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten

Klaten, dan Kabupaten Banyumas. Penjelasan secara grafis, dapat dilihat

pada gambaran berikut ini.

Gambar 2.6 Grafik Perbandingan Nilai IPM Menurut Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Sumber: Dokumen SPKD Provinsi Jawa Tengah.