BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
Telah dimaklumi dalam proses belajar seharusnya ada kerjasama yang
baik antara guru dengan siswanya, sehingga dapat mencapai hasil belajar
sesuai dengan tujuan yang telah diharapkan. Kerjasama yang baik dan efektif
akan dapat terwujud apabila guru telah mempersiapkan segala sesuatu dengan
baik dan siswa bersedia untuk berpartisipasi secara aktif baik secara fisik
maupun psikis. Keaktifan tersebut akan terlaksana apabila disertai sikap
positif terhadap hasil yang ada disekelilingnya maupun terhadap hal-hal yang
ditujukan kepada dirinya. Untuk menunjang tercapainya tujuan diatas maka
perlu dibahas teori-teori yang relevan dengan permasalahan di atas, meliputi :
1. Sikap Siswa Terhadap Guru Bidang Studi
a. Pengertian Sikap.
Untuk memperoleh pengertian tentang sikap perlu dikembangkan
pendapat beberapa ahli yang sau dengan yang lain terdapat perbedaan yang
pada hakekatnya saling melengkapi.
Dalam hal ini menurut Suharsimi Arikunto ( 1993:19), sikap adalah
suatu kesediaan atau kecenderungan dari seseorang untuk bereaksi dengancara
tertentu. Ellis ( dalam Purwanto 1985:136) Sikap adalah suatu perbuatan atau
7
tingkah laku sebagai reaksi atau respon terhadap sesuatu rangsangan atau
stimulus yang disertai dengan pendirian atau perasaan orang lain.
Menurut Slameto ( 1988:13) sikap adalah bagaian dari nilai-nilai dan
merupakan hasil belajar, dengan perkataan lain sikap dapat dipengaruhi,
diarahkan dan dibentuk dalam pendidikan.
Menurut Wayan Nurkancana ( 1983:275) Sikap dapat didefinisikan
sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan untuk melakukan suatu respon
dengan cara-cara tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu
maupun obyek-obyek tertentu. Menurut Ratna Wilis ( 1988:140) Sikap
merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi
perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian atau makhluk-
makhluk hidup lainnya.
Menurut Winkel ( 1995:104) Sikap merupakan kemampuan internal
yang berperan sekali dalam mengambil tindakan, lebih-lebih bila terbuka
berbagai kemungkinan untuk bertindak.
Menurut Mar’at ( 1983:9), Sikap merupakan produk dari proses
sosialisasi diantara seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang
diterimanya.
Menurut Indrafachrudi ( 1977:78), Sikap adalah suatu kesediaan atau
kecenderungan dari seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap
sesuatu. Seorang siswa mempunyai kecenderungan untuk bereaksi dengan
cara tertentu terhadap pelajaran, buku-buku dan aktifitas sekolah, sedang
menurut Morgan ( dalam Soelaeman, 1995:234), Sikap adalah kecenderungan
8
untuk berespon, baik positif atau negative terhadap orang, objek dan situasi.
Tentu saja kecenderungan untuk berespon ini meliputi perasaan atau
pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah lakunya. Sikap seseorang
baru diketahui bila telah bertingkah laku. Sikap merupakan salah satu
determinan dari tingkah laku. Selain motivasi dan norma masyarakat. Oleh
karena itu kadang-kadang sikap bertentangan dengan tingkah laku.
Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat
berupa suka, tidak suka, tegang, sedih, cinta, benci. Karena dalam sikap ada
suatu kecenderungan untuk berespons. Seseorang mempunyai sikap yang
umumnya mengetahui perilaku atau tindakan apa yang akan dilakukan bila
bertemu dengan obyeknya.
Lebih lanjut menurut Morgan ( dalam Munandar, 1998:235), bahwa
sikap itu dibagi beberapa komponen , sebagai berikut ;
1). Kognitif artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya, terlepas
pengetahuan itu benar atau salah.
2). Afektif artinya dalam bersikap akan selalu mempunyai evaluasi
emosional mengenai objek sikapnya.
3). Konoaktif artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan
objek sikapnya, mulai dari positif sampai pada yang sangat aktif.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komponen-
komponen terjadinya sikap adalah : (a) adanya obyek ( orang, perilaku,
konsep, situasi, benda dan lain sebagainya). (b) adanya pengetahuan dan
9
informasi. (c) adanya penilaian, keyakinan dan pendirian. (d) adanya
kecenderungan untuk berbuat atau bertingkah laku.
Jadi berdasarkan komponen-komponen di atas dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bertingkah
laku atas dasar pengetahuan, informasi, penilaian, keyakinan dan pendirian
terhadap obyek.
b. Faktor Yang mempengaruhi Terbentuknya Sikap.
Perbedaan sikap terletak pada proses terjadinya dan penerapan dari
konsep tentang sikap ini. Mengenai proses terjadinya, sebagaian besar pakar
berpendapat bahwa sikap adalah sesuatu yang dipelajari ( bukan bawaan ).
Oleh karena itu, sikap lebih banyak dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan
diubah.
Menurut Slameto ( 1988:192), Sikap terbentuk dari bermacam-
macam cara, antara lain :
1). Melalui pengalaman yang berulang-ulang atau dapat pula melalui suatu
pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam ( pengalamam
traumatic ).
2). Melalui imitasi atau peniruan dapat terjadi tanpa disengaja, dapat pula
dengan sengaja. Dalam hal terakhir individu harus mempunyai minat dan
rasa kagum terhadap model, disamping itu diperlukan pula pemahaman
dan kemampuan dan mengingat model yang hendak ditiru, peniruan akan
terjadi lebih lancer bila dilakukan secara kolektif dari pada perorangan.
10
3). Melalui sugesti. Disini individu membentuk suatu sikap terhadap obyek
tanpa suatu alas an dan pemikiran yang jelas, tetapi semata-mata karena
pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai
wibawa dalam pandangannya.
4). Melalui identifikasi. Disini individu meniru orang lain atau suatu
organisasi/ badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional. Sifatnya
meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai,
identifikasi seperti ini terjadi antara anak dan ayah, siswa dengan guru.
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa aspek afektif pada diri siswa besar
perananya dalam pendidikan, dan karenanya tidak dapat kita abaikan begitu
saja. Pengukuran terhadap aspek ini amat berguna dan lebih dari itu kita harus
memanfaatkan pengetahuan kita mengenai karakteristik afektif siswa untuk
mencapai tujuan pengajaran.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono ( 1997:252), Sikap terbentuk dari
pengalaman, melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak
terapan yaitu bahwa bedasarkan pandangan ini dapat disusun berbagai upaya
( penerapan, pendidikan, pelatihan, komunikasi dan sebagainya ) untuk
mengubah sikap seseorang. Dari pandangan inilah berangkatnya segala jenis
program pendidikan, pemasaran, iklan, kampanye politik dan sebagainya yang
maksudnya sama semua yaitu mengubah sikap seseorang atau masyarakat dari
sikap tertentu kesikap lainya terhadap suatu obyek.
11
c. Hal-hal Yang mempengaruhi Sulitnya Merubah Sikap
Merangsang perubahan sikap pada diri seseorang bukanlah hal yang
mudah untuk dilakukan, karena kecenderungan sikap-sikap untuk bertahan.
Menurut Slameto ( 1988:193) ada banyak hal yang menyebabkan
sulitnya merubah suatu sikap, anatar lain :
1). Adanya dukungan dari dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan.
Manusia selalu ingin mendapatkan respond an penrimaan dari lingkungan
dank arena itulah akan berusaha menampilkan sikap-sikap yang
dibenarkan oleh lingkungannya, keadaan semacam ini membuat orang
tidak cepat merubah sikapnya.
2). Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang.
3). Bekerjanya asas selektifitas individu cenderung untuk tidak mempersepsi
dat-data baru yang mendukung informasi yang bertentangan dengan
panndangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada.
4). Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan. Bila kepada individu
disajikan informasi yang dapat membawa suatu perubahan dalam dunia
psikologisnya, sehingga hanya akan menyebabkan perubahan-perubahan
yang seperlunya saja.
5). Adanya kecenderungan individu untuk menghindari kontak dengan kata
yang bertentangan dengan sikapnya yang telah ada.
6). Adanya sikap yang tidak kaku pada orang untuk mempertahankan
pendapat nya sendiri.
12
d. Cara Merubah Sikap
Menurut Slameto ( 1989:194) ada beberapa metode atau cara yang
dapat dipergunakan untuk merubah sikap, anatar lain :
1). Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan.
Caranya dengan memberi informasi-informasi baru mengenai obyek sikap,
sehingga komponen kognitif menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan
akan merangsang komponen afektif dan komponen tingkah lakunya.
2). Dengan cara mengajukan kontak langsung dengan obyek sikap. Dalam
cara ini komponen afektif turut pula dirangsang. Cara ini paling sedikit
akan merangsang orang-orang yang bersikap anti untuk berfikir lebih jauh
tentang obyek sikap yang tidak mereka senangi itu.
3). Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku baru yang tidak
konsisten dengan sikap-sikap yang sudah ada. Dalam hal ini kita berusaha
langsung merubah tingkah lakunya.
Perubahan zaman akan membawa perubahan dalam hal-hal yang
dibutuhkan dan diinginkan oleh orang-orang pada saat tertentu, juga akan
terjadi perubahan dalam sikap mereka terhadap berbagai obyek. Biasanya
perubahan yang kongruen ( misalnya suatu sikap positif ingin dibuat lebih
positif atau sikap negatif akan diubah lebih negative ) lebih mudah dicapai
dari pada perubahan yang inkongruen ( misalnya sikap yang negative ingin
dirubah menjadi positif, atau sebaliknya ). Untuk mengadakan perubahan
sikap, pengajar perlu bertindak sebagai seorang diagnotikus dan terapis.
Mula-mula harus diterapkan makna fungsional dari sikap-sikap yang ada
13
dan ingin dirubah, bagi individu-individu yang memiliki sikap tersebut.
Kemudian diteliti kebutuhan-kebutuhan apa yang dipuaskan oleh sikap-
sikap yang ingin diubah. Teliti pula perasaan-perasaan yang
bagaimanakah yang menyertai sikap-sikap tersebut, juga dukungan
lingkungan terhadap sikap-sikap tersebut perlu diketahui. Bila diagnosa
tidak tepat maka perunahan yang diharapkan sulit terjadi. Dalam hal ini
tidak ada suatu pegangan yang pasti untuk menghindarkan kekeliruan
dalam diagnosa. Saran yang dapat diberikan adalah mengumpulkan
informasi selengkap mungkin mengenai sifat dan latar belakang sikap
yang ingin dirubah. Disamping itu kita perlu mempertimbangkan
pengarahan masing-masing komponen sikap yang bersangkutan.
2. Motivasi Belajar
a. Pengertian Motivasi
Motivasi belajar pada dasarnya merupakan bagian dari motivasi secara
umum. Untuk itu akan lebih jelas apabila dengan mengkajinya dari motivasi
secara umum.
Motivasi berasal dari kata “ motif “ , menurut Suryabrata ( 1989:71)
motif adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu-individu
untuk melakukan aktifitas tertentu guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut
Sardiman ( 1990:37) motif adalah daya upaya yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu “. Dari kedua difinisi tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa motivasi adalah suatu dorongan bagi seseorang untuk
14
melakukan aktivitas, sebab dengan adanya motivasi akan dapat menimbulkan
kekuatan bagi seseorang untuk bertindak atau berbuat. Menurut Mc. Donald
(dalam Sardiman,1990:73) motivasi adalah perubahan energi dalam diri
seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan
tanggapan terhadap adanya tujuan. Sedangkan Hardipradjo dan Handoko
( 1989:256) mendifinisikan, motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang
yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu guna mencapai tujuan.
Berdasarkan definisi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
motivasi adalah merupakan salah satu alat pendorong bagi seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motivasi dapat memberikan arah dan intensitas tingkah
laku seseorang. Seseorang yang mempunyai motivasi tinggi akan bias
mencapai hasil yang tinggi.
b. Pengertian Motivasi Belajar.
Dalam kegiatan belajar mengajar, dikenal adanya motivasi belajar, yaitu
motivasi yang ada dalam dunia pendidikan. Siswa yang bermotivasi kuat
memiliki banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
Menurut Wingkel (1983:29) motivasi belajar merupakan salah satu
motivasi intrinsic yaitu penggerak dalam diri seseorang untuk mencapai
prestasi belajar setinggi mungkin demi penghargaan kepada diri sendiri,
pendapat tersebut dipertegas oleh Heckha ( dalam prayitno, 1983:14) motivasi
belajar adalah sebagai kecenderungan untuk meningkatkan dan
15
mempertahankan kecakapan dalam semua bidang dengan standar kualitas
sebagai pedomannya. Sedang menurut Dimyati dan Mudjiono ( 1994:229)
motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya
proses belajar.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi
belajar merupakan suatu penggerak atau pendorong sebagai kekuatan mental
untuk melakukan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan belajar. Hasil
belajar akan menjadi optimal kalau terdapat motivasi, makin tepat motivasi
yang diberikan akan makin berharga pula pelajaran itu. Motivasi belajar dapat
diartikan pula sebagai suatu keseluruhan usaha dari dalam atau dari luar diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang dapat menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai.
c. Fungsi Motivasi Dalam Belajar.
Motivasi berhubungan dengan bagaimana seseorang melakukan kegiatan
atau pekerjaan, makin banyak dan tepat motivasi yang didapat seseorang maka
akan semakin berhasil aktifitas belajar yang dilakukan oleh siswa tersebut.
Motivasi belajar tidak hanya merupakan suatu energi untuk menggerakkan
siswa untuk belajar, tetapi juga sebagai suatu yang mengarahkan aktifitas
siswa kepada tujuan belajar.
Sehubungan dengan tujuan tersebut, Tim Dosen FIP ( 1996:50)
mengemukakan tiga fungsi motivasi, yaitu :
16
1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor
yang melepaskan energi.
2. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang
harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan itu, dengan
menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.
d. Jenis-Jenis Motivasi
Secara umum, motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis atau
kelompok, yaitu motivasi intrinsic dan motivasi ektrinsik.
1. Motivasi Intrinsik.
Thornburgh ( dalam prayitno, 1989:10) berpendapat bahwa motivasi
intrinsic adalah kegiatan bertindak yang disebabkan factor-faktor pendorong
dari dalam diri ( internal ) individu. Dengan kata lain individu terdorong
untuk bertingkah laku kearah tujuan tertentu tanpa adanya pendorong dari
luar. Sedangkan menurut Sardiman ( 1990:88 ) motivasi intrinsic adalah
motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar,
karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan
sesuatu.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsic adalah
“ suatu tindakan yang disebabkan oleh factor pendorong dari dalam diri atau
tidak perlu adanya rangsangan dari luar.
17
Di dalam proses belajar, siswa yang termotivasi secara intrinsic dapat
dilihat dari kegiatannya yang tekun dalam mengerjakan tugas-tugas belajar
karena merasa butuh dan ingin mencapai tujuan belajar yang sebenarnya.
Gage dan Berliner ( Prayitno, 1989:11 ) mengemukakan bahwa siswa yang
termotivasi secara intrinsic aktivitasnya lebih baik dalam belajar dari pada
siswa yang termotivasi secara ekstrinsik. Siswa yang memiliki motivasi
intrinsik menunjukkan keterlibatan dan aktivitas yang tinggi dalam belajar.
Untuk membangun motivasi intrinsik dalam belajar, kematangan intelektual,
emosional dan sosial perlu diperhatikan, karena akan sukar bagi guru untuk
membangun motivasi intrinsik dalam belajar kalau siswa tidak matang secara
intelektual, emosional dan social.
Motivasi dalam diri merupakan keinginan dasar yang mendorong
individu mencapai berbagai pemenuhan segala kebutuhan diri sendiri. Untuk
memenuhi keinginan atau kebutuhan dasar siswa, guru tinggal memanfaatkan
dorongan ingin tahu siswa yang bersifat alamiah dengan cara menyajikan
materi yang cocok dan berarti bagi siswa. Menurut Hamacheek ( dalam
prayitno, 1989:49 ) hal yang paling penting untuk meningkatkan motivasi
siswa adalah dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan
eksplorasi secara pribadi dan memungkinkan mereka menemukan sesuatu
yang berarti melalui bekerja.
Pada dasarnya siswa belajar didorong oleh keinginan sendiri, maka
siswa secara mandiri dapat menentukan tujuan yang dapat dicapainya dan
aktifitas-aktifitas yang harus dilakukannya untuk mencapai tujuan belajar. Tim
18
Dosen FIP ( 1996:51 ) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan
mempunyai motivasi intrinsic karena didorong rasa ingin tahu, ia mencapai
tujuan yang terkandung didalam perbuatan belajar itu, dalam belajar telah
terkandung tujuan menambah pengetahuan. Dan anak-anak didorong motivasi
intrinsik, apabila mereka belajar agar lebih sanggup mengatasi kesulitan-
kesulitan hidup, agar memperoleh pengertian, pengetahuan, sikap baik,
penguasaan kecakapan, hasil-hasil itu sendiri telah merupakan hadiah. Namun
dalam hal ini juga harus diperhatikan agar guru menegakkan disiplin di dalam
kelas. Disiplin di kelas dalam bentuk pengontrolan yang diberikan kepada
siswa hendaknya menimbulkan kesan pada diri siswa bahwa mereka merasa
diperhatikan dan dipelihara, bukan diabaikan. Guru hendaknya membina
hubungan baik yang akrab dan hangat dengan siswa, sehingga mudah
mengetahui kesulitan yang dihadapi siswa dalam merealisasikan potensi
secara optimal.
Phil Louther ( dalam prayitno: 1989:12 ) mempergunakan beberapa
strategi dalam mengerjakan agar siswa-siswa termotivasi secara intrinsic,
yaitu:
a. Mengaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa sehingga tujuan belajar
menja di tujuan siswa atau sama dengan tujuan siswa.
b. Memberikan kebebasan kepada siswa untuk memperluas kegiatan dan
materi belajar selama masih dalam batas-batas daerah belajar yang pokok.
19
c. Memberikan waktu ekstra yang cukup banyak bagi siswa untuk
mengembang kan tugas-tugas mereka dan memanfaatkan sumber-sumber
belajar yang ada di sekolah.
d. Kadangkala memberikan penghargaan atas pekerjaan siswa.
e. Meminta siswa-siswanya untuk menjelaskan dan membacakan tugas-tugas
yang mereka buat, kalau mereka ingin melakukannya. Hal ini perlu
dilakukan terutama sekali terhadap tugas yang bukan merupakan tugas
pokok yang harus dikerjakan oleh siswa kalau tugas itu dikerjakan dengan
baik.
2. Motivasi Ekstrinsik
Menurut Sardiman ( 1990:90 ) motivasi ekstrinsik diartkan sebagai
motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena ada perangsang dari luar.
Sedangkan Thournburgh ( dalam Prayitno, 1989: 13 ) berpendapat bahwa
motivasi ekstrinsik bukan merupakan perasaan atau keinginan yang
sebenarnya yang ada didalam diri siswa untuk belajar. Motivasi ekstrinsik
dikatakan demikian karena tujuan utama individu melakukan kegiatan adalah
untuk mencapai tujuan yang terletak diluar aktivitas belajar itu sendiri atau
tujuan itu tidak terlibat di dalam aktifitas belajar. Dengan kata lain motivasi
ekstrisnik merupakan dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada diluar
perbuatan yang dilakukannya.
Didalam belajar, siswa yang didorong oleh motivasi ekstrinsik selalu
mengharapkan persetujuan guru untuk menyakinkan dirinya bahwa apa yang
20
sedang atau yang telah dikerjakannya itu benar. Kaum Behavioristik ( dalam
Prayitno, 1989:52 ) berpendapat bahwa manusia bertingkah laku kalau ada
rangsangan dari luar, dan tingkah laku menjadi kuat atau lemah dipengaruhi
oelh kejadian sebagai konsenkuensi dari tingkah laku itu yang dapat
menggugah emosi orang yang bertingkah laku. Apabila konsekuensi tingkah
laku itu menimbulkan rasa suka, maka tingkah laku menjadi kuat, tetapi jika
tingkah laku itu menimbulkan rasa tidak suka, maka tingkah laku itu akan
ditinggalkan. Tim Dosen FIP ( 1996:51 ) mengemukakan bahwa motivasi
ekstrinsik dipakai, oleh sebab pelajaran-pelajaran tidak dengan sendirinya
menarik dan guru kurang mampu untuk membangkitkan minat anak.
Seseorang didorong oleh motivasi ekstrinsik, apabila seseorang belajar dengan
tujuan mendapat angka yang baik, naik kelas, mendapat ijazah, untuk mencari
penghargaan berupa angka, hadiah dan sebagainya.
Phil Lauther ( dalam Prayitno, 1989 :15 ) mempergunakan beberapa
strategi dalam membimbing siswa-siswa yang termotivasi secara ekstrinsik,
yaitu :
a. Memulai mengajar dengan memperkenalkan tujuan pengajaran khusus,
sehingga siswa-siswa mengetahui dengan jelas apa yang harus dicapai
dalam proses belajar itu.
b. Memonitor kemajuan dan memberi penguatan kepada setiap siswa lebih
sering dari pada yang dilakukan kepada siswa-siswa yang memiliki
motivasi intrinsik.
21
c. Menilai setiap tugas siswa dan memberikan komentar secara tertulis
terhadap tugas-tugas yang berbentuk tertulis atau makalah.
d. Kadangkala memasangkan seorang siswa yang memiliki motivasi
ekstrinsik dengan siswa yang memiliki motivasi intrinsik, sehingga siswa
yang memiliki motivasi ekstrinsik mengenal model cara belajar yang
berbeda dari apa yang sudah dimikilinya.
Menurut Tim Dosen FIP ( 1996:42 ) untuk proses belajar mengajar,
motivasi intrinsik lebih menguntungkan karena biasanya dapat bertahan lebih
lama. Sedangkan motivasi ekstrinsik dapat diberikan oleh guru dengan jalan
mengatur kondisi dan situasi belajar menjadi kondusif. Thornbugh ( dalam
Prayitno, 1989:14) berpendapat bahwa antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik
itu saling menambah atau memperkuat, bahkan motivasi ekstrinsik dapat
membangkitkan motivasi intrinsic. Hal ini sependapat dengan Dimyati dan
Mudjiono ( 1994:84 ) bahwa motivasi ektrinsik dapat berubah menjadi
motivasi intrinsik, yaitu pada saat siswa menyadari pentingnya belajar, dan ia
belajar sungguh-sungguh tanpa disuruh orang lain. Hal ini sependapat dengan
Gallowy dalam tim Dosen FIP ( 1996:42 ) dengan jalan memberikan
pengetahuan-pengetahuan maka motivasi yang mula-mula bersifat ekstrinsik
lambat laun diharapkan akan tumbuh menjadi motivasi intrinsik.
Menurut Soemanto ( 1990:200 ) kebutuhan merupakan keadaan yang
menimbulkan motivasi atau dengan kata lain merupakan potensialis tetap yang
dimotivasi dengan cara tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Maslow
( dalam Prayitno, 1989:34 ) bahwa kebutuhan manusia termotivasi untuk
22
bertindak kalauia ingin memenuhi kebutuhannya. Maslow dengan teori
kebutuhannya, menggambarkan hubungan dari berbagai kebutuhan, dimana
kebutuhan pertama menjadi dasar untuk timbulnya kebutuhan berikutnya.
Adapun kebutuhan itu meliputi : ( 1 ) Kebutuhan fisik, yakni kebutuhan dasar
yang dirasakan individu pertama kalinya, ( 2 ) Kebutuhan rasa aman, yakni
kebutuhan tingkat berikutnya sesudah kebutuhan dasar yang bersifat fisik,
seperti kebutuhan untuk bebas dari berbagai ancaman, ( 3 ) Kebutuhan untuk
dicintai, dikasihi dan diperlihara. Karena seorang siswa yang merasa
dikucilkan atau dibenci oleh teman sebayanya atau gurunya, tidak mungkin
termotivasi dengan baik dalam belajar, ( 4 ) Kebutuhan harga diri, yaitu
kebutuhan untuk merasa dipentingkan dan dihargai. Kepuasan terhadap
kebutuhan ini akan menimbulkan perasaan percaya diri, merasa berharga,
merasa kuat, merasa mampu dan merasa berguna dalam hidup ini dan ( 5 )
Kebutuhan aktualisasi menampilkan seluruh potensinya secara penuh.
Dorongan untuk mengaktualisasikan diri sendiri meliputi kebutuhan menjadi
tahu, mengerti dan kesenangan untuk memuaskan aspek-aspek kognitif yang
paling dasar.
3. Layanan Konseling Kelompok.
Ada sembilan jenis layanan bimbingan dan konseling yang dapat
diimplementasikan , yaitu ; ( 1 ) layanan orientasi, ( 2 ) layanan informasi,
( 3 ) layanan penempatan dan penyaluran, ( 4 ) layanan penguasaan konten,
( 5 ) layanan konseling perorangan, ( 6 ) layanan bimbingan kelompok, ( 7 )
23
layanan konseling kelompok, ( 8 ) layanan konsultasi dan ( 9 ) layanan
mediasi.
Dari sembilan jenis layanan bimbingan dan konseling di atas nampak
bahwa Layanan Konseling Kelompok merupakan salah satu dari sekilan
layanan yang ada dalam bimbingan dan konseling. Dengan layanan konseling
kelompok memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan
dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Layanan
konseling kelompok merupakan layanan konseling yang diselenggarakan
dalam suasana kelompok. Masalah yang dibahas adalah masalah-masalah
pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok. Melalui layanan
konseling kelompok yang dalam upaya pemecahan masalah tersebut para
anggota memperoleh dua tujuan sekaligus, yaitu : (1) terkembangkannya
perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang terarah kepada tingkah
laku, khususnya dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dan (2)
terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperoleh imbasan
pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain anggota layanan
konseling kelompok.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam layanan konseling kelompok
ini sama dengan layanan konseling perorangan akan tetapi yang membedakan
adalah dari segi jumlah yang mengikuti proses layanan konseling itu sendiri
kalau layanan konseling perorangan bersifat face to face ( hubungan empat
mata ) antara seorang konselor dengan seorang konsele akan tetapi kalau
24
konseling kelompok seorang konselor menghadapi lebih dari seorang konsele.
Dalam konseling kelompok ini menggunakan teknik Dinamika Kelompok.
4. Dinamika Kelompok
A. Pengertian Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok berasal dari kata dinamika dan kelompok.
Dinamika berarti interaksi atau interdependensi antara kelompok satu
dengan yang lain, sedangkan Kelompok adalah kumpulan individu yang
saling berinteraksi dan mempunyai tujuan bersama.
Maka Dinamika Kelompok merupakan suatu kelompok yang
terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologis
secara jelas antara anggota satu dengan yang lain dan berlangsung dalam
situasi yang dialami.
Dinamika kelompok mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
1. Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap
anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling
menghargai
2. Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling
menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain
3. Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota
kelompok
4. Menimbulkan adanya i’tikad yang baik diantara sesama anggota
kelompok
25
B. Fungsi Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok merupakan kebutuhan bagi setiap individu
yang hidup dalam sebuah kelompok. Fungsi dari dinamika kelompok itu
antara lain:
1. Membentuk kerjasama saling menguntungkan dalam
mengatasi persoalan hidup. (Bagaimanapun manusia tidak bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain.)
2. Memudahkan segala pekerjaan.
(Banyak pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan
orang lain)
3. Mengatasi pekerjaan yang membutuhkan pemecahan
masalah dan mengurangi beban pekerjaan yang terlalu besar sehingga
seleseai lebih cepat, efektif dan efesian.
(pekerjaan besar dibagi-bagi sesuai bagian kelompoknya masing-
masing / sesuai keahlian)
4. Menciptakan iklim demokratis dalam kehidupan
masyarakat
(setiap individu bisa memberikan masukan dan berinteraksi dan
memiliki peran yang sama dalam masyarakat)
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Kelompok
Indikator yang dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat perkembangan
kelompok adalah sebagai berikut:
1. Adaptasi
26
Proses adaptasi berjalan dengan baik bila:
a) Setiap individu terbuka untuk memberi dan menerima
informasi yang baru
b) Setiap kelompok selalu terbuka untuk menerima peran
baru sesuai dengan dinamika kelompok tersebut.
c) Setiap anggota memiliki kelenturan untuk menerima ide,
pandangan, norma dan kepercayaan anggota lain tanpa merasa
integritasnya terganggu.
2. Pencapaian tujuan
Dalam hal ini setiap anggota mampu untuk:
a) menunda kepuasan dan melepaskan ikatan dalam rangka
mencapai tujuan bersama
b) membina dan memperluas pola
c) terlibat secara emosional untuk mengungkapkan
pengalaman, pengetahuan dan kemampuannya.
Selain hal diatas, perkembangan kelompok dapat ditunjang oleh
bagaimana komunikasi yang terjadi dalam kelompok. Dengan demikian
perkembangan kelompok dapat dibagi menjadi tiga tahap, antara lain
1. Tahap pra afiliasi
Merupakan tahap permulaan, diawali dengan adanya perkenalan semua
individu akan saling mengenal satu sama lain. Kemudian hubungan
berkembang menjadi kelompok yang sangat akrab dengan saling
mengenal sifat dan nilai masing-masing anggota.
27
2. Tahap fungsional
Ditandai dengan adanya perasaan senang antara satu dengan yang lain,
tercipta homogenitas, kecocokan, dan kekompakan dalam kelompok.
Pada akhirnya akan terjadi pembagian dalam menjalankan fungsi
kelompok.
3. Tahap disolusi
Tahap ini terjadi apabila keanggotaan kelopok sudah mempunyai rasa
tidak membutuhkan lagi dalam kelompok. Tidak ada kekompakan
maupun keharmonisan yang akhirnya diikuti dengan pembubaran
kelompok.
D. Karakteristik kelompok yang efektif adalah:
1. Komunikasi dua arah
2. Tujuan kelompok jelas dan diterima oleh anggota
3. Partisipasi merata antar anggota
4. Kepemimpinan didasarkan pada kemampuan dan informasi, buka
posisi dan kekuasaan
5. Kesepakatan diupayakan untuk keputusan yang penting
6. Kontroversi dan konflik tidak diabaikan, diingkari atau ditekan
7. Kesejahteraan anggota tidak dikorbankan hanya untuk mencapai
tujuan
8. Secara berkala anggota membahas efektivitas kelompok dan
mendiskusikan cara memperbaiki fungsinya
B. Kajian Hasil Penelitian
28
Layanan Konseling Kelompok merupakan jenis layanan yang
memungkinkan konselor menghadapi lebih dari satu konsele/siswa yang
memiliki masalah yang relatif sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga
dengan demikian dalam waktu yang sama seorang konselor dapat membantu
lebih banyak dibandingkan dengan konseling yang biasanya.
Terkait masalah siswa dengan bidang studi tertentu dalam hal ini
bidang studi matematika ternyata banyak siswa yang tidak senang dengan
bidang studi tersebut , padahal kedepan siswa harus menyadari bahwa bidang
studi matematika ini bidang studi yang cukup menentukan perjalanan karir
mereka.
Oleh karena itu sejak Kelas VII-E siswa harus sudah menyadari
pentingnya bidang studi ini dan secara sadar untuk dapat menghilangkan
sikap-sikap yang kurang baik dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
yang ada baik itu masalah sulitnya mengikuti pelajaran, kurang simpatinya
mereka dengan guru yang pada akhirnya menurunkan motivasi mereka untuk
belajar matematika dengan sungguh-sungguh yang pada gilirannya akan
mempengaruhi prestasi mereka terhadap bidang studi ini. Oleh karena itu
konselor secara dini harus dapat bekerja sama dengan guru bidang studi dalam
melihat sikap dan motivasi siswa ketika mengikuti proses belajar mengajar,
untuk selanjutnya dapat membantu siswa menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang ada .Dengan peran serta yang aktif dari seorang konselor
di sekolah dan kemampuan dalam menentukan layanan konseling yang tepat
diharapkan prestasi belajar siswa semakin meningkat. Agar dalam
memberikan layanan konseling seorang konselor semakin lebih efektif dan
29
efisien maka layanan konseling kelompok merupakan salah satu layanan yang
tepat untuk dilakukan disamping untuk membantu mengatasi masalah siswa
juga siswa merasa diberi kemerdekaan yang penuh dalam menentukan
pilihannya apakah dia harus suka atau tidak suka, karena dengan konseling
kelompok dengan dinamika kelompok satu sama lain akan mempunyai adil
dan peran yang sama dalam menyelesaikan dan mencari solusi yang terbaik
atas masalah yang dihadapinya.
Adapun hipotesis yang dapat peneliti kemukakan adalah sebagai
berikut:
1. Adanya perkembangan sikap siswa terhadap bidang studi matematika
melalui layanan konseling kelompok pada siswa Kelas VII-E MTs N Doho
Dolopo Madiun Tahun Pelajaran 2004/2005.
2. Adanya layanan konseling kelompok dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa terhadap bidang studi matematika .
30
31
Top Related