BAB II

38
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI Telah dimaklumi dalam proses belajar seharusnya ada kerjasama yang baik antara guru dengan siswanya, sehingga dapat mencapai hasil belajar sesuai dengan tujuan yang telah diharapkan. Kerjasama yang baik dan efektif akan dapat terwujud apabila guru telah mempersiapkan segala sesuatu dengan baik dan siswa bersedia untuk berpartisipasi secara aktif baik secara fisik maupun psikis. Keaktifan tersebut akan terlaksana apabila disertai sikap positif terhadap hasil yang ada disekelilingnya maupun terhadap hal- hal yang ditujukan kepada dirinya. Untuk menunjang tercapainya tujuan diatas maka perlu dibahas teori- teori yang relevan dengan permasalahan di atas, meliputi : 1. Sikap Siswa Terhadap Guru Bidang Studi

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI

Telah dimaklumi dalam proses belajar seharusnya ada kerjasama yang

baik antara guru dengan siswanya, sehingga dapat mencapai hasil belajar

sesuai dengan tujuan yang telah diharapkan. Kerjasama yang baik dan efektif

akan dapat terwujud apabila guru telah mempersiapkan segala sesuatu dengan

baik dan siswa bersedia untuk berpartisipasi secara aktif baik secara fisik

maupun psikis. Keaktifan tersebut akan terlaksana apabila disertai sikap

positif terhadap hasil yang ada disekelilingnya maupun terhadap hal-hal yang

ditujukan kepada dirinya. Untuk menunjang tercapainya tujuan diatas maka

perlu dibahas teori-teori yang relevan dengan permasalahan di atas, meliputi :

1. Sikap Siswa Terhadap Guru Bidang Studi

a. Pengertian Sikap.

Untuk memperoleh pengertian tentang sikap perlu dikembangkan

pendapat beberapa ahli yang sau dengan yang lain terdapat perbedaan yang

pada hakekatnya saling melengkapi.

Dalam hal ini menurut Suharsimi Arikunto ( 1993:19), sikap adalah

suatu kesediaan atau kecenderungan dari seseorang untuk bereaksi dengancara

tertentu. Ellis ( dalam Purwanto 1985:136) Sikap adalah suatu perbuatan atau

7

Page 2: BAB II

tingkah laku sebagai reaksi atau respon terhadap sesuatu rangsangan atau

stimulus yang disertai dengan pendirian atau perasaan orang lain.

Menurut Slameto ( 1988:13) sikap adalah bagaian dari nilai-nilai dan

merupakan hasil belajar, dengan perkataan lain sikap dapat dipengaruhi,

diarahkan dan dibentuk dalam pendidikan.

Menurut Wayan Nurkancana ( 1983:275) Sikap dapat didefinisikan

sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan untuk melakukan suatu respon

dengan cara-cara tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu

maupun obyek-obyek tertentu. Menurut Ratna Wilis ( 1988:140) Sikap

merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi

perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian atau makhluk-

makhluk hidup lainnya.

Menurut Winkel ( 1995:104) Sikap merupakan kemampuan internal

yang berperan sekali dalam mengambil tindakan, lebih-lebih bila terbuka

berbagai kemungkinan untuk bertindak.

Menurut Mar’at ( 1983:9), Sikap merupakan produk dari proses

sosialisasi diantara seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang

diterimanya.

Menurut Indrafachrudi ( 1977:78), Sikap adalah suatu kesediaan atau

kecenderungan dari seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap

sesuatu. Seorang siswa mempunyai kecenderungan untuk bereaksi dengan

cara tertentu terhadap pelajaran, buku-buku dan aktifitas sekolah, sedang

menurut Morgan ( dalam Soelaeman, 1995:234), Sikap adalah kecenderungan

8

Page 3: BAB II

untuk berespon, baik positif atau negative terhadap orang, objek dan situasi.

Tentu saja kecenderungan untuk berespon ini meliputi perasaan atau

pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah lakunya. Sikap seseorang

baru diketahui bila telah bertingkah laku. Sikap merupakan salah satu

determinan dari tingkah laku. Selain motivasi dan norma masyarakat. Oleh

karena itu kadang-kadang sikap bertentangan dengan tingkah laku.

Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat

berupa suka, tidak suka, tegang, sedih, cinta, benci. Karena dalam sikap ada

suatu kecenderungan untuk berespons. Seseorang mempunyai sikap yang

umumnya mengetahui perilaku atau tindakan apa yang akan dilakukan bila

bertemu dengan obyeknya.

Lebih lanjut menurut Morgan ( dalam Munandar, 1998:235), bahwa

sikap itu dibagi beberapa komponen , sebagai berikut ;

1). Kognitif artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya, terlepas

pengetahuan itu benar atau salah.

2). Afektif artinya dalam bersikap akan selalu mempunyai evaluasi

emosional mengenai objek sikapnya.

3). Konoaktif artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan

objek sikapnya, mulai dari positif sampai pada yang sangat aktif.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komponen-

komponen terjadinya sikap adalah : (a) adanya obyek ( orang, perilaku,

konsep, situasi, benda dan lain sebagainya). (b) adanya pengetahuan dan

9

Page 4: BAB II

informasi. (c) adanya penilaian, keyakinan dan pendirian. (d) adanya

kecenderungan untuk berbuat atau bertingkah laku.

Jadi berdasarkan komponen-komponen di atas dapat disimpulkan

bahwa sikap adalah kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bertingkah

laku atas dasar pengetahuan, informasi, penilaian, keyakinan dan pendirian

terhadap obyek.

b. Faktor Yang mempengaruhi Terbentuknya Sikap.

Perbedaan sikap terletak pada proses terjadinya dan penerapan dari

konsep tentang sikap ini. Mengenai proses terjadinya, sebagaian besar pakar

berpendapat bahwa sikap adalah sesuatu yang dipelajari ( bukan bawaan ).

Oleh karena itu, sikap lebih banyak dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan

diubah.

Menurut Slameto ( 1988:192), Sikap terbentuk dari bermacam-

macam cara, antara lain :

1). Melalui pengalaman yang berulang-ulang atau dapat pula melalui suatu

pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam ( pengalamam

traumatic ).

2). Melalui imitasi atau peniruan dapat terjadi tanpa disengaja, dapat pula

dengan sengaja. Dalam hal terakhir individu harus mempunyai minat dan

rasa kagum terhadap model, disamping itu diperlukan pula pemahaman

dan kemampuan dan mengingat model yang hendak ditiru, peniruan akan

terjadi lebih lancer bila dilakukan secara kolektif dari pada perorangan.

10

Page 5: BAB II

3). Melalui sugesti. Disini individu membentuk suatu sikap terhadap obyek

tanpa suatu alas an dan pemikiran yang jelas, tetapi semata-mata karena

pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai

wibawa dalam pandangannya.

4). Melalui identifikasi. Disini individu meniru orang lain atau suatu

organisasi/ badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional. Sifatnya

meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai,

identifikasi seperti ini terjadi antara anak dan ayah, siswa dengan guru.

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa aspek afektif pada diri siswa besar

perananya dalam pendidikan, dan karenanya tidak dapat kita abaikan begitu

saja. Pengukuran terhadap aspek ini amat berguna dan lebih dari itu kita harus

memanfaatkan pengetahuan kita mengenai karakteristik afektif siswa untuk

mencapai tujuan pengajaran.

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono ( 1997:252), Sikap terbentuk dari

pengalaman, melalui proses belajar. Pandangan ini mempunyai dampak

terapan yaitu bahwa bedasarkan pandangan ini dapat disusun berbagai upaya

( penerapan, pendidikan, pelatihan, komunikasi dan sebagainya ) untuk

mengubah sikap seseorang. Dari pandangan inilah berangkatnya segala jenis

program pendidikan, pemasaran, iklan, kampanye politik dan sebagainya yang

maksudnya sama semua yaitu mengubah sikap seseorang atau masyarakat dari

sikap tertentu kesikap lainya terhadap suatu obyek.

11

Page 6: BAB II

c. Hal-hal Yang mempengaruhi Sulitnya Merubah Sikap

Merangsang perubahan sikap pada diri seseorang bukanlah hal yang

mudah untuk dilakukan, karena kecenderungan sikap-sikap untuk bertahan.

Menurut Slameto ( 1988:193) ada banyak hal yang menyebabkan

sulitnya merubah suatu sikap, anatar lain :

1). Adanya dukungan dari dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan.

Manusia selalu ingin mendapatkan respond an penrimaan dari lingkungan

dank arena itulah akan berusaha menampilkan sikap-sikap yang

dibenarkan oleh lingkungannya, keadaan semacam ini membuat orang

tidak cepat merubah sikapnya.

2). Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang.

3). Bekerjanya asas selektifitas individu cenderung untuk tidak mempersepsi

dat-data baru yang mendukung informasi yang bertentangan dengan

panndangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada.

4). Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan. Bila kepada individu

disajikan informasi yang dapat membawa suatu perubahan dalam dunia

psikologisnya, sehingga hanya akan menyebabkan perubahan-perubahan

yang seperlunya saja.

5). Adanya kecenderungan individu untuk menghindari kontak dengan kata

yang bertentangan dengan sikapnya yang telah ada.

6). Adanya sikap yang tidak kaku pada orang untuk mempertahankan

pendapat nya sendiri.

12

Page 7: BAB II

d. Cara Merubah Sikap

Menurut Slameto ( 1989:194) ada beberapa metode atau cara yang

dapat dipergunakan untuk merubah sikap, anatar lain :

1). Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan.

Caranya dengan memberi informasi-informasi baru mengenai obyek sikap,

sehingga komponen kognitif menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan

akan merangsang komponen afektif dan komponen tingkah lakunya.

2). Dengan cara mengajukan kontak langsung dengan obyek sikap. Dalam

cara ini komponen afektif turut pula dirangsang. Cara ini paling sedikit

akan merangsang orang-orang yang bersikap anti untuk berfikir lebih jauh

tentang obyek sikap yang tidak mereka senangi itu.

3). Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku baru yang tidak

konsisten dengan sikap-sikap yang sudah ada. Dalam hal ini kita berusaha

langsung merubah tingkah lakunya.

Perubahan zaman akan membawa perubahan dalam hal-hal yang

dibutuhkan dan diinginkan oleh orang-orang pada saat tertentu, juga akan

terjadi perubahan dalam sikap mereka terhadap berbagai obyek. Biasanya

perubahan yang kongruen ( misalnya suatu sikap positif ingin dibuat lebih

positif atau sikap negatif akan diubah lebih negative ) lebih mudah dicapai

dari pada perubahan yang inkongruen ( misalnya sikap yang negative ingin

dirubah menjadi positif, atau sebaliknya ). Untuk mengadakan perubahan

sikap, pengajar perlu bertindak sebagai seorang diagnotikus dan terapis.

Mula-mula harus diterapkan makna fungsional dari sikap-sikap yang ada

13

Page 8: BAB II

dan ingin dirubah, bagi individu-individu yang memiliki sikap tersebut.

Kemudian diteliti kebutuhan-kebutuhan apa yang dipuaskan oleh sikap-

sikap yang ingin diubah. Teliti pula perasaan-perasaan yang

bagaimanakah yang menyertai sikap-sikap tersebut, juga dukungan

lingkungan terhadap sikap-sikap tersebut perlu diketahui. Bila diagnosa

tidak tepat maka perunahan yang diharapkan sulit terjadi. Dalam hal ini

tidak ada suatu pegangan yang pasti untuk menghindarkan kekeliruan

dalam diagnosa. Saran yang dapat diberikan adalah mengumpulkan

informasi selengkap mungkin mengenai sifat dan latar belakang sikap

yang ingin dirubah. Disamping itu kita perlu mempertimbangkan

pengarahan masing-masing komponen sikap yang bersangkutan.

2. Motivasi Belajar

a. Pengertian Motivasi

Motivasi belajar pada dasarnya merupakan bagian dari motivasi secara

umum. Untuk itu akan lebih jelas apabila dengan mengkajinya dari motivasi

secara umum.

Motivasi berasal dari kata “ motif “ , menurut Suryabrata ( 1989:71)

motif adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu-individu

untuk melakukan aktifitas tertentu guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut

Sardiman ( 1990:37) motif adalah daya upaya yang mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu “. Dari kedua difinisi tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa motivasi adalah suatu dorongan bagi seseorang untuk

14

Page 9: BAB II

melakukan aktivitas, sebab dengan adanya motivasi akan dapat menimbulkan

kekuatan bagi seseorang untuk bertindak atau berbuat. Menurut Mc. Donald

(dalam Sardiman,1990:73) motivasi adalah perubahan energi dalam diri

seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan

tanggapan terhadap adanya tujuan. Sedangkan Hardipradjo dan Handoko

( 1989:256) mendifinisikan, motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang

yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan

tertentu guna mencapai tujuan.

Berdasarkan definisi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

motivasi adalah merupakan salah satu alat pendorong bagi seseorang untuk

melakukan sesuatu. Motivasi dapat memberikan arah dan intensitas tingkah

laku seseorang. Seseorang yang mempunyai motivasi tinggi akan bias

mencapai hasil yang tinggi.

b. Pengertian Motivasi Belajar.

Dalam kegiatan belajar mengajar, dikenal adanya motivasi belajar, yaitu

motivasi yang ada dalam dunia pendidikan. Siswa yang bermotivasi kuat

memiliki banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.

Menurut Wingkel (1983:29) motivasi belajar merupakan salah satu

motivasi intrinsic yaitu penggerak dalam diri seseorang untuk mencapai

prestasi belajar setinggi mungkin demi penghargaan kepada diri sendiri,

pendapat tersebut dipertegas oleh Heckha ( dalam prayitno, 1983:14) motivasi

belajar adalah sebagai kecenderungan untuk meningkatkan dan

15

Page 10: BAB II

mempertahankan kecakapan dalam semua bidang dengan standar kualitas

sebagai pedomannya. Sedang menurut Dimyati dan Mudjiono ( 1994:229)

motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya

proses belajar.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi

belajar merupakan suatu penggerak atau pendorong sebagai kekuatan mental

untuk melakukan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan belajar. Hasil

belajar akan menjadi optimal kalau terdapat motivasi, makin tepat motivasi

yang diberikan akan makin berharga pula pelajaran itu. Motivasi belajar dapat

diartikan pula sebagai suatu keseluruhan usaha dari dalam atau dari luar diri

siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang dapat menjamin

kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan

belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai.

c. Fungsi Motivasi Dalam Belajar.

Motivasi berhubungan dengan bagaimana seseorang melakukan kegiatan

atau pekerjaan, makin banyak dan tepat motivasi yang didapat seseorang maka

akan semakin berhasil aktifitas belajar yang dilakukan oleh siswa tersebut.

Motivasi belajar tidak hanya merupakan suatu energi untuk menggerakkan

siswa untuk belajar, tetapi juga sebagai suatu yang mengarahkan aktifitas

siswa kepada tujuan belajar.

Sehubungan dengan tujuan tersebut, Tim Dosen FIP ( 1996:50)

mengemukakan tiga fungsi motivasi, yaitu :

16

Page 11: BAB II

1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor

yang melepaskan energi.

2. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.

3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang

harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan itu, dengan

menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.

d. Jenis-Jenis Motivasi

Secara umum, motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis atau

kelompok, yaitu motivasi intrinsic dan motivasi ektrinsik.

1. Motivasi Intrinsik.

Thornburgh ( dalam prayitno, 1989:10) berpendapat bahwa motivasi

intrinsic adalah kegiatan bertindak yang disebabkan factor-faktor pendorong

dari dalam diri ( internal ) individu. Dengan kata lain individu terdorong

untuk bertingkah laku kearah tujuan tertentu tanpa adanya pendorong dari

luar. Sedangkan menurut Sardiman ( 1990:88 ) motivasi intrinsic adalah

motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar,

karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan

sesuatu.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsic adalah

“ suatu tindakan yang disebabkan oleh factor pendorong dari dalam diri atau

tidak perlu adanya rangsangan dari luar.

17

Page 12: BAB II

Di dalam proses belajar, siswa yang termotivasi secara intrinsic dapat

dilihat dari kegiatannya yang tekun dalam mengerjakan tugas-tugas belajar

karena merasa butuh dan ingin mencapai tujuan belajar yang sebenarnya.

Gage dan Berliner ( Prayitno, 1989:11 ) mengemukakan bahwa siswa yang

termotivasi secara intrinsic aktivitasnya lebih baik dalam belajar dari pada

siswa yang termotivasi secara ekstrinsik. Siswa yang memiliki motivasi

intrinsik menunjukkan keterlibatan dan aktivitas yang tinggi dalam belajar.

Untuk membangun motivasi intrinsik dalam belajar, kematangan intelektual,

emosional dan sosial perlu diperhatikan, karena akan sukar bagi guru untuk

membangun motivasi intrinsik dalam belajar kalau siswa tidak matang secara

intelektual, emosional dan social.

Motivasi dalam diri merupakan keinginan dasar yang mendorong

individu mencapai berbagai pemenuhan segala kebutuhan diri sendiri. Untuk

memenuhi keinginan atau kebutuhan dasar siswa, guru tinggal memanfaatkan

dorongan ingin tahu siswa yang bersifat alamiah dengan cara menyajikan

materi yang cocok dan berarti bagi siswa. Menurut Hamacheek ( dalam

prayitno, 1989:49 ) hal yang paling penting untuk meningkatkan motivasi

siswa adalah dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan

eksplorasi secara pribadi dan memungkinkan mereka menemukan sesuatu

yang berarti melalui bekerja.

Pada dasarnya siswa belajar didorong oleh keinginan sendiri, maka

siswa secara mandiri dapat menentukan tujuan yang dapat dicapainya dan

aktifitas-aktifitas yang harus dilakukannya untuk mencapai tujuan belajar. Tim

18

Page 13: BAB II

Dosen FIP ( 1996:51 ) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan

mempunyai motivasi intrinsic karena didorong rasa ingin tahu, ia mencapai

tujuan yang terkandung didalam perbuatan belajar itu, dalam belajar telah

terkandung tujuan menambah pengetahuan. Dan anak-anak didorong motivasi

intrinsik, apabila mereka belajar agar lebih sanggup mengatasi kesulitan-

kesulitan hidup, agar memperoleh pengertian, pengetahuan, sikap baik,

penguasaan kecakapan, hasil-hasil itu sendiri telah merupakan hadiah. Namun

dalam hal ini juga harus diperhatikan agar guru menegakkan disiplin di dalam

kelas. Disiplin di kelas dalam bentuk pengontrolan yang diberikan kepada

siswa hendaknya menimbulkan kesan pada diri siswa bahwa mereka merasa

diperhatikan dan dipelihara, bukan diabaikan. Guru hendaknya membina

hubungan baik yang akrab dan hangat dengan siswa, sehingga mudah

mengetahui kesulitan yang dihadapi siswa dalam merealisasikan potensi

secara optimal.

Phil Louther ( dalam prayitno: 1989:12 ) mempergunakan beberapa

strategi dalam mengerjakan agar siswa-siswa termotivasi secara intrinsic,

yaitu:

a. Mengaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa sehingga tujuan belajar

menja di tujuan siswa atau sama dengan tujuan siswa.

b. Memberikan kebebasan kepada siswa untuk memperluas kegiatan dan

materi belajar selama masih dalam batas-batas daerah belajar yang pokok.

19

Page 14: BAB II

c. Memberikan waktu ekstra yang cukup banyak bagi siswa untuk

mengembang kan tugas-tugas mereka dan memanfaatkan sumber-sumber

belajar yang ada di sekolah.

d. Kadangkala memberikan penghargaan atas pekerjaan siswa.

e. Meminta siswa-siswanya untuk menjelaskan dan membacakan tugas-tugas

yang mereka buat, kalau mereka ingin melakukannya. Hal ini perlu

dilakukan terutama sekali terhadap tugas yang bukan merupakan tugas

pokok yang harus dikerjakan oleh siswa kalau tugas itu dikerjakan dengan

baik.

2. Motivasi Ekstrinsik

Menurut Sardiman ( 1990:90 ) motivasi ekstrinsik diartkan sebagai

motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena ada perangsang dari luar.

Sedangkan Thournburgh ( dalam Prayitno, 1989: 13 ) berpendapat bahwa

motivasi ekstrinsik bukan merupakan perasaan atau keinginan yang

sebenarnya yang ada didalam diri siswa untuk belajar. Motivasi ekstrinsik

dikatakan demikian karena tujuan utama individu melakukan kegiatan adalah

untuk mencapai tujuan yang terletak diluar aktivitas belajar itu sendiri atau

tujuan itu tidak terlibat di dalam aktifitas belajar. Dengan kata lain motivasi

ekstrisnik merupakan dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada diluar

perbuatan yang dilakukannya.

Didalam belajar, siswa yang didorong oleh motivasi ekstrinsik selalu

mengharapkan persetujuan guru untuk menyakinkan dirinya bahwa apa yang

20

Page 15: BAB II

sedang atau yang telah dikerjakannya itu benar. Kaum Behavioristik ( dalam

Prayitno, 1989:52 ) berpendapat bahwa manusia bertingkah laku kalau ada

rangsangan dari luar, dan tingkah laku menjadi kuat atau lemah dipengaruhi

oelh kejadian sebagai konsenkuensi dari tingkah laku itu yang dapat

menggugah emosi orang yang bertingkah laku. Apabila konsekuensi tingkah

laku itu menimbulkan rasa suka, maka tingkah laku menjadi kuat, tetapi jika

tingkah laku itu menimbulkan rasa tidak suka, maka tingkah laku itu akan

ditinggalkan. Tim Dosen FIP ( 1996:51 ) mengemukakan bahwa motivasi

ekstrinsik dipakai, oleh sebab pelajaran-pelajaran tidak dengan sendirinya

menarik dan guru kurang mampu untuk membangkitkan minat anak.

Seseorang didorong oleh motivasi ekstrinsik, apabila seseorang belajar dengan

tujuan mendapat angka yang baik, naik kelas, mendapat ijazah, untuk mencari

penghargaan berupa angka, hadiah dan sebagainya.

Phil Lauther ( dalam Prayitno, 1989 :15 ) mempergunakan beberapa

strategi dalam membimbing siswa-siswa yang termotivasi secara ekstrinsik,

yaitu :

a. Memulai mengajar dengan memperkenalkan tujuan pengajaran khusus,

sehingga siswa-siswa mengetahui dengan jelas apa yang harus dicapai

dalam proses belajar itu.

b. Memonitor kemajuan dan memberi penguatan kepada setiap siswa lebih

sering dari pada yang dilakukan kepada siswa-siswa yang memiliki

motivasi intrinsik.

21

Page 16: BAB II

c. Menilai setiap tugas siswa dan memberikan komentar secara tertulis

terhadap tugas-tugas yang berbentuk tertulis atau makalah.

d. Kadangkala memasangkan seorang siswa yang memiliki motivasi

ekstrinsik dengan siswa yang memiliki motivasi intrinsik, sehingga siswa

yang memiliki motivasi ekstrinsik mengenal model cara belajar yang

berbeda dari apa yang sudah dimikilinya.

Menurut Tim Dosen FIP ( 1996:42 ) untuk proses belajar mengajar,

motivasi intrinsik lebih menguntungkan karena biasanya dapat bertahan lebih

lama. Sedangkan motivasi ekstrinsik dapat diberikan oleh guru dengan jalan

mengatur kondisi dan situasi belajar menjadi kondusif. Thornbugh ( dalam

Prayitno, 1989:14) berpendapat bahwa antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik

itu saling menambah atau memperkuat, bahkan motivasi ekstrinsik dapat

membangkitkan motivasi intrinsic. Hal ini sependapat dengan Dimyati dan

Mudjiono ( 1994:84 ) bahwa motivasi ektrinsik dapat berubah menjadi

motivasi intrinsik, yaitu pada saat siswa menyadari pentingnya belajar, dan ia

belajar sungguh-sungguh tanpa disuruh orang lain. Hal ini sependapat dengan

Gallowy dalam tim Dosen FIP ( 1996:42 ) dengan jalan memberikan

pengetahuan-pengetahuan maka motivasi yang mula-mula bersifat ekstrinsik

lambat laun diharapkan akan tumbuh menjadi motivasi intrinsik.

Menurut Soemanto ( 1990:200 ) kebutuhan merupakan keadaan yang

menimbulkan motivasi atau dengan kata lain merupakan potensialis tetap yang

dimotivasi dengan cara tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Maslow

( dalam Prayitno, 1989:34 ) bahwa kebutuhan manusia termotivasi untuk

22

Page 17: BAB II

bertindak kalauia ingin memenuhi kebutuhannya. Maslow dengan teori

kebutuhannya, menggambarkan hubungan dari berbagai kebutuhan, dimana

kebutuhan pertama menjadi dasar untuk timbulnya kebutuhan berikutnya.

Adapun kebutuhan itu meliputi : ( 1 ) Kebutuhan fisik, yakni kebutuhan dasar

yang dirasakan individu pertama kalinya, ( 2 ) Kebutuhan rasa aman, yakni

kebutuhan tingkat berikutnya sesudah kebutuhan dasar yang bersifat fisik,

seperti kebutuhan untuk bebas dari berbagai ancaman, ( 3 ) Kebutuhan untuk

dicintai, dikasihi dan diperlihara. Karena seorang siswa yang merasa

dikucilkan atau dibenci oleh teman sebayanya atau gurunya, tidak mungkin

termotivasi dengan baik dalam belajar, ( 4 ) Kebutuhan harga diri, yaitu

kebutuhan untuk merasa dipentingkan dan dihargai. Kepuasan terhadap

kebutuhan ini akan menimbulkan perasaan percaya diri, merasa berharga,

merasa kuat, merasa mampu dan merasa berguna dalam hidup ini dan ( 5 )

Kebutuhan aktualisasi menampilkan seluruh potensinya secara penuh.

Dorongan untuk mengaktualisasikan diri sendiri meliputi kebutuhan menjadi

tahu, mengerti dan kesenangan untuk memuaskan aspek-aspek kognitif yang

paling dasar.

3. Layanan Konseling Kelompok.

Ada sembilan jenis layanan bimbingan dan konseling yang dapat

diimplementasikan , yaitu ; ( 1 ) layanan orientasi, ( 2 ) layanan informasi,

( 3 ) layanan penempatan dan penyaluran, ( 4 ) layanan penguasaan konten,

( 5 ) layanan konseling perorangan, ( 6 ) layanan bimbingan kelompok, ( 7 )

23

Page 18: BAB II

layanan konseling kelompok, ( 8 ) layanan konsultasi dan ( 9 ) layanan

mediasi.

Dari sembilan jenis layanan bimbingan dan konseling di atas nampak

bahwa Layanan Konseling Kelompok merupakan salah satu dari sekilan

layanan yang ada dalam bimbingan dan konseling. Dengan layanan konseling

kelompok memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan

dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Layanan

konseling kelompok merupakan layanan konseling yang diselenggarakan

dalam suasana kelompok. Masalah yang dibahas adalah masalah-masalah

pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok. Melalui layanan

konseling kelompok yang dalam upaya pemecahan masalah tersebut para

anggota memperoleh dua tujuan sekaligus, yaitu : (1) terkembangkannya

perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang terarah kepada tingkah

laku, khususnya dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dan (2)

terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperoleh imbasan

pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain anggota layanan

konseling kelompok.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam layanan konseling kelompok

ini sama dengan layanan konseling perorangan akan tetapi yang membedakan

adalah dari segi jumlah yang mengikuti proses layanan konseling itu sendiri

kalau layanan konseling perorangan bersifat face to face ( hubungan empat

mata ) antara seorang konselor dengan seorang konsele akan tetapi kalau

24

Page 19: BAB II

konseling kelompok seorang konselor menghadapi lebih dari seorang konsele.

Dalam konseling kelompok ini menggunakan teknik Dinamika Kelompok.

4. Dinamika Kelompok

A. Pengertian Dinamika Kelompok

Dinamika kelompok berasal dari kata dinamika dan kelompok.

Dinamika berarti interaksi atau interdependensi antara kelompok satu

dengan yang lain, sedangkan Kelompok adalah kumpulan individu yang

saling berinteraksi dan mempunyai tujuan bersama.

Maka Dinamika Kelompok merupakan suatu kelompok yang

terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologis

secara jelas antara anggota satu dengan yang lain dan berlangsung dalam

situasi yang dialami.

Dinamika kelompok mempunyai beberapa tujuan, antara lain:

1. Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap

anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling

menghargai

2. Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling

menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain

3. Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota

kelompok

4. Menimbulkan adanya i’tikad yang baik diantara sesama anggota

kelompok

25

Page 20: BAB II

B. Fungsi Dinamika Kelompok

Dinamika kelompok merupakan kebutuhan bagi setiap individu

yang hidup dalam sebuah kelompok. Fungsi dari dinamika kelompok itu

antara lain:

1. Membentuk kerjasama saling menguntungkan dalam

mengatasi persoalan hidup. (Bagaimanapun manusia tidak bisa hidup

sendiri tanpa bantuan orang lain.)

2. Memudahkan segala pekerjaan.

(Banyak pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan

orang lain)

3. Mengatasi pekerjaan yang membutuhkan pemecahan

masalah dan mengurangi beban pekerjaan yang terlalu besar sehingga

seleseai lebih cepat, efektif dan efesian.

(pekerjaan besar dibagi-bagi sesuai bagian kelompoknya masing-

masing / sesuai keahlian)

4. Menciptakan iklim demokratis dalam kehidupan

masyarakat

(setiap individu bisa memberikan masukan dan berinteraksi dan

memiliki peran yang sama dalam masyarakat)

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Kelompok

Indikator yang dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat perkembangan

kelompok adalah sebagai berikut:

1. Adaptasi

26

Page 21: BAB II

Proses adaptasi berjalan dengan baik bila:

a) Setiap individu terbuka untuk memberi dan menerima

informasi yang baru

b) Setiap kelompok selalu terbuka untuk menerima peran

baru sesuai dengan dinamika kelompok tersebut.

c) Setiap anggota memiliki kelenturan untuk menerima ide,

pandangan, norma dan kepercayaan anggota lain tanpa merasa

integritasnya terganggu.

2. Pencapaian tujuan

Dalam hal ini setiap anggota mampu untuk:

a) menunda kepuasan dan melepaskan ikatan dalam rangka

mencapai tujuan bersama

b) membina dan memperluas pola

c) terlibat secara emosional untuk mengungkapkan

pengalaman, pengetahuan dan kemampuannya.

Selain hal diatas, perkembangan kelompok dapat ditunjang oleh

bagaimana komunikasi yang terjadi dalam kelompok. Dengan demikian

perkembangan kelompok dapat dibagi menjadi tiga tahap, antara lain

1. Tahap pra afiliasi

Merupakan tahap permulaan, diawali dengan adanya perkenalan semua

individu akan saling mengenal satu sama lain. Kemudian hubungan

berkembang menjadi kelompok yang sangat akrab dengan saling

mengenal sifat dan nilai masing-masing anggota.

27

Page 22: BAB II

2. Tahap fungsional

Ditandai dengan adanya perasaan senang antara satu dengan yang lain,

tercipta homogenitas, kecocokan, dan kekompakan dalam kelompok.

Pada akhirnya akan terjadi pembagian dalam menjalankan fungsi

kelompok.

3. Tahap disolusi

Tahap ini terjadi apabila keanggotaan kelopok sudah mempunyai rasa

tidak membutuhkan lagi dalam kelompok. Tidak ada kekompakan

maupun keharmonisan yang akhirnya diikuti dengan pembubaran

kelompok.

D. Karakteristik kelompok yang efektif adalah:

1. Komunikasi dua arah

2. Tujuan kelompok jelas dan diterima oleh anggota

3. Partisipasi merata antar anggota

4. Kepemimpinan didasarkan pada kemampuan dan informasi, buka

posisi dan kekuasaan

5. Kesepakatan diupayakan untuk keputusan yang penting

6. Kontroversi dan konflik tidak diabaikan, diingkari atau ditekan

7. Kesejahteraan anggota tidak dikorbankan hanya untuk mencapai

tujuan

8. Secara berkala anggota membahas efektivitas kelompok dan

mendiskusikan cara memperbaiki fungsinya

B. Kajian Hasil Penelitian

28

Page 23: BAB II

Layanan Konseling Kelompok merupakan jenis layanan yang

memungkinkan konselor menghadapi lebih dari satu konsele/siswa yang

memiliki masalah yang relatif sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga

dengan demikian dalam waktu yang sama seorang konselor dapat membantu

lebih banyak dibandingkan dengan konseling yang biasanya.

Terkait masalah siswa dengan bidang studi tertentu dalam hal ini

bidang studi matematika ternyata banyak siswa yang tidak senang dengan

bidang studi tersebut , padahal kedepan siswa harus menyadari bahwa bidang

studi matematika ini bidang studi yang cukup menentukan perjalanan karir

mereka.

Oleh karena itu sejak Kelas VII-E siswa harus sudah menyadari

pentingnya bidang studi ini dan secara sadar untuk dapat menghilangkan

sikap-sikap yang kurang baik dalam menghadapi permasalahan-permasalahan

yang ada baik itu masalah sulitnya mengikuti pelajaran, kurang simpatinya

mereka dengan guru yang pada akhirnya menurunkan motivasi mereka untuk

belajar matematika dengan sungguh-sungguh yang pada gilirannya akan

mempengaruhi prestasi mereka terhadap bidang studi ini. Oleh karena itu

konselor secara dini harus dapat bekerja sama dengan guru bidang studi dalam

melihat sikap dan motivasi siswa ketika mengikuti proses belajar mengajar,

untuk selanjutnya dapat membantu siswa menyelesaikan permasalahan-

permasalahan yang ada .Dengan peran serta yang aktif dari seorang konselor

di sekolah dan kemampuan dalam menentukan layanan konseling yang tepat

diharapkan prestasi belajar siswa semakin meningkat. Agar dalam

memberikan layanan konseling seorang konselor semakin lebih efektif dan

29

Page 24: BAB II

efisien maka layanan konseling kelompok merupakan salah satu layanan yang

tepat untuk dilakukan disamping untuk membantu mengatasi masalah siswa

juga siswa merasa diberi kemerdekaan yang penuh dalam menentukan

pilihannya apakah dia harus suka atau tidak suka, karena dengan konseling

kelompok dengan dinamika kelompok satu sama lain akan mempunyai adil

dan peran yang sama dalam menyelesaikan dan mencari solusi yang terbaik

atas masalah yang dihadapinya.

Adapun hipotesis yang dapat peneliti kemukakan adalah sebagai

berikut:

1. Adanya perkembangan sikap siswa terhadap bidang studi matematika

melalui layanan konseling kelompok pada siswa Kelas VII-E MTs N Doho

Dolopo Madiun Tahun Pelajaran 2004/2005.

2. Adanya layanan konseling kelompok dapat meningkatkan motivasi belajar

siswa terhadap bidang studi matematika .

30

Page 25: BAB II

31