BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Supply Chain
Supply Chain (Rantai Pengadaan) adalah suatu sistem tempat organisasi
menyalurkan barang produksinya dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini
juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan yang
mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan
atau penyaluran barang tersebut.
Konsep supply chain merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik.
Konsep lama melihat logistik lebih sebagai persoalan intern masing – masing
perusahaan, dan pemecahannya dititik beratkan pada pemecahan secara intern
diperusahaan masing – masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat
sebagai masalah yang lebih luas yang terbentang sangat panjang sejak dari bahan
dasar samapai barang jadi yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata
rantai penyediaan barang. Oleh karena itu manajemen supply chain dapat
didefinisikan sebagai berikut :
Manajemen supply chain menggunakan pendekatan yang efisien terhadap
seluruh pelanggan, pabrik, gudang dan persediaan. Oleh karena itu barang – barang
dagangan dihasilkan dan didistribusikan dengan jumlah yang tepat, lokasi yang tepat,
waktu yang tepat pada pesanan untuk mengurangi ongkos sambil memberikan
keperluan tingkat pelayanan yang memuaskan.
2.2 Sistem Pendukung Keputusan (SPK)
Istilah sistem pendukung keputusan mengacu pada “situasi dimana sistem
“final” dapat dikembangkan hanya melalui adaptife proses pembelajaran dan
evolusi”. Sistem Pendukung Keputusan didefinisikan sebagai hasil dari
pengembangan proses dimana sistem pendukung keputusan, dan sistem pendukung
keputusan itu sendiri, semuanya bisa saling mempengaruhi yang tercermin pada
evolusi dan pola – pola yang digunakan.
2.2.1 Konsep Dasar Sistem Pendukung Keputusan
Sistem pendukung keputusan disebut juga dengan Decision Support System
(DSS), yaitu sistem yang mampu mengamati atau meningkatkan jalannya bisnis. DSS
juga merupakan Sistem Informasi interaktif yang menyediakan informasi,
pemodelan, dan pemanipulasi data serta menyediakan informasi pemecehan masalah
maupun kemampuan komunikasi dalam memecahkan masalah. Definisi awalnya
adalah suatu sistem yang ditujukan untuk mendukung manajemen pengambilan
keputusan.
DSS adalah sistem berbasis model yang terdiri dari prosedur – prosedur dalam
pemrosesan data dan pertimbangannya untuk membantu manajer dalam mengambil
keputusan. Agar hasil mencapai tujuannya maka system tersebut harus : (1)
sederhana, (2) robust, (3) mudah untuk dikontrol, (4) mudah beradaptasi, (5) lengkap
pada hal – hal penting, (6) mudah berkomunikasi dengannya. Secara implisit juga
berarti bahwa sistem ini juga berbasis computer dan digunakan sebagai tambahan
dari kemampuan penyelesaian masalah seseorang.
2.2.2 Phase – Phase Pengambilan Keputusan
Dalam pengambilan keputusan perlu dilakukan beberapa tahapan. Phase
Pengambilan Keputusan menurut Simon (1996) :
a. Intelligence
Kegiatan untuk mengenali masalah, kebutuhan atau kesempatan
atau pencarian kondisi yang membutuhkan keputusan (cari informasi,
identifikasi objective).
b. Design
Cara – cara untuk memecahkan masalah atau memenuhi
kebutuhan, mencari, membangun dan menganlisis kemungkinan solusi
(manipulasi informasi, cari alternatif, beri bobot resiko/benefit pada
alternatif).
c. Choice
Memilih satu solusi untuk diimplementasikan (pilih yang paling
“baik”, statistik altenatif, jelaskan, terangkan)
d. Implementasi yang disertai dengan pengawasan dan koreksi yang
diperlukan.
2.2.3 Karakteristik dan Tujuan Sistem Pendukung Keputusan (SPK)
Sprague dan Carlson mendefinisikan DSS dengan cukup baik, sebagai system
yang memiliki lima karakteristik utama (Sprague et.al., 1993):
1. Sistem yang berbasis komputer
2. Dipergunakan untuk membantu para pengambil keputusan
3. Untuk memecahkan masalah – masalah rumit yang mustahil dilakukan
dengan kalkulasi manual
4. Melalui cara simulasi yang interakatif
5. Dimana data dan model analisis sebagai komponen utama
Karakteristik 4 dan 5 merupakan fasilitas baru yang ditawarkan oleh DSS
belakangan ini sesuai dengan perkembangan terakhir kemajuan perangkat komputer.
Sedangkan tujuan DSS (Turban, 2005) yaitu :
1. Membantu manajer dalam pengambilan keputusan atas masalah semi
terstruktur
2. Memberikan dukungan atas pertimbangan manajer dan bukannya
dimaksudkan untuk menggantikan fungsi manajer
3. Meningkatkan efektivitas keputusan yang diambil manajer lebih dari
pada perbaikan efisiensinya
4. Kecepatan komputasi
5. Peningkatan produksi
6. Dukungan kualitas
7. Berdaya saing
8. Mengatasi keterbatasan kognitif dalam pemrosesan dan penyimpanan
2.3 Evaluasi dan Pemilihan Supplier
Studi tentang pemilihan supplier sudah relative lama. Analisa kriteria dan
pengukuran performansi supplier telah menjadi perhatian peneliti dan praktisi.
Banyak kriteria yang dapat dipergunakan untuk memilih supplier antara lain kualitas,
delivery time, kapasitas dan harga. Lambert (1998) menyatakan terdapat banyak
metoda atau pendekatan yang dapat dipergunakan untuk memilih supplier, tetapi
tidak ada metoda yang terbaik untuk semua jenis perusahaan. Konsistensi dalam
penggunaan dalam pemilihan supplier merupakan hal yang terpenting untuk
meningkatkan obyektifitas proses.
Salah satu metoda untuk memilih atau mengevaluasi supplier (Lambert, 1998)
sebagai berikut :
Tabel 2.1 : Evaluasi dan Pemilihan Supplier
Supplier Faktor
Rating of supplier (1=worst
rating : 5 = highest
rating) 1 2 3 4 5
Importance of factor to your firm (0 = no importance: 5= highest
importance) 0 1 2 3 4 5
Weighted Composite Rating (0 =
minimum: 25 = maximum)
A Price
-
-
-
after sales
service
Total for supplier A
B Price
-
-
-
after sales
service
Total for supplier B
Sumber : Lambert, 1998
Supplier yang terpilih adalah supplier yang memiliki total weighted composite
rating terbesar. Penilian supplier atau rating of supplier dalam metoda Lambert
(1998) hanya diberi 3 macam skor yaitu 3 untuk yang baik, 2 untuk yang sedang, 1
untuk yang jelek. Penilaian yang berdasarkan data supplier dan dibandingkan dengan
ukuran penilaian.
Tabel 2.2 Kriteria dan ukuran penilaian pemilihan supplier batubara
NO Kriteria Indikator Ukuran Penilaian Skor
1 Ketepatan pengiriman
Persentase pengiriman tepat waktu (PTW)
PTW ≥ 95% 80% ≤ PTW < 95%
PTW < 80%
32
1
2 Kualitas Persentase pengiriman dengan produk baik (KP)
KP ≥ 95%90% ≤ KP < 95%
KP < 90%
32
1
3 Kemampuan pemenuhan order
Persentase order yang dipenuhi (PO)
PO ≥ 95%90% ≤ PO < 95%
PO < 90%
32
1
4 Fluktuasi harga Ratio harga supplier dengan harga patokan (RSP)
RSP ≤ 0,750,75 ≤ RSP < 1
RSP ≥ 1
32
1
5 Respon supplier Persentase complain yang mendapat respon (KMR)
KMR = 100% atauTidak ada komplain
75% < KMR < 100%KMR ≤ 75%
3
21
Sumber : Lambert, 1998
Didalam proses evaluasi dan pemilihan supplier, aktivitas yang paling penting
adalah memilih penyalur yang terbaik dari sejumlah supplier. Proses pembelian
merupakan kegiatan yang kompleks karena banyaknya alasan yang harus
dipertimbangkan ketika membuat keputusan pemilihan supplier. Proses tersebut
meliputi 12 langkah berikut ini :
1. Mengidentifikasi kebutuhan
2. Menetapkan spesifikasi
3. Mencari alternatif
4. Menetapkan kontrak
5. Menetapkan pembelian dan ukuran – ukuran pemakaian
6. Mengevaluasi alternative tindakan pembelian
7. Menentukan ketersediaan anggaran
8. Mengevaluasi alternatif yang spesifik
9. Merundingkan dengan para penyalur,
10. Membeli,
11. Menggunakan, dan
12. Evaluasi penyaluran pembelian.
Dari 12 langkah proses pembelian ini tidak mutlak dilakukan kecuali jika
keputusan adalah baru, jika keputusan telah dibuat sebelumnya (pembelian rutin),
langkah – langkah tersebut dapat dikurangi.
Dalam pembelian para manajer boleh mempertimbangkan beberapa atau semua
atribut yang berikut ini ketika memutuskan melakukan pembelian :
1. Lead time
2. Variabilitas lead time
3. Persentase ketepatan pengiriman
4. Persentase persediaan bahan baku
5. Pemesanan dalam waktu yang tepat
6. Kemampuan untuk mempercepat
7. Jatuh tempo yang disebabkan oleh kesalahan penjualan, pengiriman
parsial, dan penyerahan yang terlambat
8. Produk tahan uji
9. Mengurangi pemeliharaan atau operasi
10. Produk rusak disebabkan oleh material atau part yang cacat
11. Kualitas jelek
12. Spesifikasi secara teknik
13. Teknik pelatihan jasa
14. Persaingan harga
15. Kepercayaan dalam proses penjualan
16. Pengalaman dengan pemasok
17. Kedudukan seluruh pemasok
18. Bagian keuangan
19. Penyesuaian dengan pembelian sesuai kebutuhan perusahaan
20. Kemampuan merancang alat
Di dalam suatu studi pembeli para manajer, dikenali dengan enam kategori
utama yang telah dibeli oleh kebanyakan perusahaan :
1. Komponen
2. Raw material
3. Operating penyalur
4. Peralatan pendukung
5. Peralatan proses
6. Services
Pada tahun 1980 dan tahun 19090-an, banyak perhatian untuk peningkatan
produktivitas yang menyebabkan perhatian memuaskan pada manajemen fungsi
pembelian dan pada pengembangan dengan mengurangi jumlah para penyalur.
Dalam rangka menentukan dampak pencapaian penyalur pada tingkat produktivitas,
pencapaian harus diukur dan dievaluasi. Berikutnya, data yang di dapat digunakan
untuk mengidentifikasi pemasok dengan berbagai perusahaan yang diharapkan untuk
pengembangan hubungan jangka panjang, untuk menidentifikasi permasalahan
sedemikian sehingga tindakan korektif dapat diambil, dan untuk merealisirkan
peningkatan produktivitas.
Berbagai prosedur evaluasi adalah penting, tidak ada metoda terbaik yang
mendekati, hal yang penting adalah untuk mengambil beberapa evaluasi prosedur
dapat digunakan. Tabel 2-1 memperlihatkan contoh dari evaluasi prosedur, manajer
harus mengidentifikasi semua para penyalur potensial untuk melakukan pembelian.
Langkah yang berikutnya adalah untuk mengembangkan daftar atribut dengan
memilih untuk mengevaluasi setiap pemasok/penyalur. Pertama atribut harus
ditentukan, capaian dari penyalur individu penyalur harus dievaluasi pada atribut
masing – masing ( Produk handal, harga, memesan tepat waktu). Skala five point ( 1
= tingkat yang buruk, 5 = tingkat tertinggi ) digunakan sebagai ilustrasi, tetapi skala
yang lain bias digunakan.
Setelah mengevaluasi para penyalur atas atribut masing – masing, manajemen
harus menentukan pentingnya masing – masing atribut untuk perusahaan. Sebagai
contoh keandalan produk memliki arti penting kepada perusahaan, atribut itu akan
diberi arti penting yang paling tinggi yang menilai. Jika harga bukanlah sepenting
seperti kehandalan produk, manajemen akan menetukan harga dibawah level
kualitas.
Langkah yang berikutnya adalah untuk mengembangkan suatu ukuran
gabungan dihargai untuk masing – masing atribut. Ini yang dilasanakan dengan
perkalian penilaian/beban maksimum penyalur itu untuk suatu atribut oleh atribut
penting tersebut. Penambahan gabungan membuat prestasi untuk masing – masing
penyalur menyediakan suatu keseluruhan penilaian/beban maksimum yang dapat
digunakan untuk para penyalur, Yang lebih tinggi gabungan mencetak prestasi,
semakin dekat supplier memenuhi kebutuhan dan spesikasi itu memperoleh
perusahaan. Salah satu dari keuntungan – keuntungan pendekatan ini adalah
memaksa manajemen untuk menyusun unsur yang penting dalam membuat
keputusan dan untuk mempertanyakan metoda, asumsi, dan prosedur.
Implementasi suatu metoda evaluasi pencapaian pemasok didalam suatu kotak
dirakit untuk industri pelayanan kesehatan mengakibatkan suatu pengurangan
didalam banyaknya penyalur, hubungan yang semakin dengan para penyalur, dan
sisanya 34 persen pengurangan didalam inventaris komponen di dalam bulan awal.
Setelah dua penuh digunakan laporan pelaksanaan yang awal triwulanan, para
pembeli yang telah mengurangi inventaris komponen lebih dari 60 persen.
2.4 Analytical Hierarchi Proses (AHP)
Analytical Hierarchi Proses (AHP) mulai dikembangkan oleh Thomas L
Saaty (1986), seorang matematikawan di Universitas Of Pittsburg, Amerika Serikat
pada awal tahun 1970-an.
Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif.
Peralatan utama Analytical Hierarchi Proses (AHP) adalah sebuah hirarki fungsional
dengan input utamanya persepsi manusia. Kegunaan utama AHP adalah untuk
menyelesaikan masalah yang menyangkut suatu keadaan kompleks atau berkerangka
dengan rinci keadaan yang kompleks tersebut kedalam komponen – komponennya.
Komponen – komponen (variabel – variabel) tersebut diatur dalam bentuk
hirarki, selanjutnya diberikan bobot verbal atau bobot numerik pada variabel –
variabel tersebut dengan cara membandingkan berpasangan. Pada akhirnya dilakukan
sintesis dari pendapat tadi untuk menentukan variable mana yang memiliki prioritas
tertinggi yang keluar sebagai hasil analisis, baik dalam penilaian relatif maupun
penilaian secara absolute.
Analytical Hierarchi Proses merupakan sebuah kegiatan pengambilan
keputusan yang bersifat kompleks dengan kriteria majemuk. Pada dasarnya ada dua
pendekatan yang dilakukan pada metode ini, yaitu :
1. Pendekatan Deduktif
Pendekatan ini memandang suatu masalah sebagai suatu jaringan
dengan masing – masing entiti yang mempunyai fungsi tersendiri.
Hubungan antara entiti kemudian dijadikan acuan untuk menganalisis
keseluruhan.
2. Pendekatan Sistem
Pendekatan ini memandang suatu masalah sebagai suatu sistem.
Fokus analisisnya adalah bagaimana sistem tersebut bereaksi dengan
kondisi luar, melalui mekanisme umpan balik yang terlupakan pada
pendekatan deduktif.
Dengan menyatukan dua pendekatan tersebut, maka diharapakan pendekatan
yang lebih rinci dan komperhensif. Hal ini dilakukan oleh Prof. Thomas L Saaty
(1986), seorang guru besar matematika dari Universitas Of Pittsburg.
2.4.1 Prinsip Pokok Analytical Hierarchi Proses (AHP)
Pengambilan keputusan dalam metodologi keputusan analytical hierarchi
proses didasarkan atas 3 prinsip pokok (Kadarsyah :1998) yaitu :
1. Penyusunan Hirarki
Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah untuk
mendefinisikan masalah rumit dan kompleks sehingga menjadi lebih
jelas dan detail. Hirarki keputusan disusun berdasarkan pandangan
pihak – pihak yang memiliki keahliaan dan pengetahuan dibidang yang
bersangkutan.
2. Penentuan Prioritas
Prioritas dari elemen – elemen kriteria dapat dipandang sebagai
bobot/kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan
keputusan. Analytical Hierarchi Proses melakukan analisis prioritas
elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua elemen
sehingga seluruh elemen yang ada tercakup. Prioritas ini ditentukan
berdasarkan pandangan para pakar dan pihak – pihak yang
berkepentingan terhadap pengambilan keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
3. Konsistensi Logis
Konsistensi jawaban para responden dalam menentukan prioritas
elemen merupakan prinsip pokok yang akan melakukan validitas data
dan hasil pengambilan keputusan secara umum, responden harus
memiliki konsistensi dalam melakukan perbandingan elemen. Jika
A>B dan B>C, maka secara logis responden harus menyatakan bahwa
A>C berdasarkan nilai - nilai numerik yang disediakan oleh Saaty.
(Saaty : 1986).
Untuk menggunakan prinsip – prinsip tersebut Analytical Hierarchi Proses
menyatukan kedua aspek kualitatif dan kuantitatif, yaitu :
1. Secara kualitatif Analytical Hierarachi Proses mendefinisikan
permasalahan dan penilaian untuk mendapatkan permasalahan
2. Secara kuantitatif Analytical Hierarchi Proses melakukan perbandingan
dan penilaian untuk mendapatkan solusi permasalahan
Namun tidak menutup kemungkinan, bahwa model – model lainnya ikut
dipertimbangkan pada saat proses pengambilan kepututsan dengan pendekatan
Analytical Hierarchi Proses, khususnya dalam memahami para pengambil
kepututsan individu – individu pada saat proses penerapan pendekatan ini (Yahya,
1995).
2.4.2 Kegunaan Analytical Hierarchi Proses (AHP)
Analytical Hierarchi Proses (Saaty : 1986) sangat berguna dalam masalah –
masalah kompleks yang tidak terstruktur, tidak memiliki data tertulis yang cukup,
seperti permasalahan:
1. Perencanaan
2. Penentuan alternative
3. Penyusunan prioritas
4. Pemilihan kebijakan (policy)
5. Alokasi sumber
6. Penentuan kebutuhan
7. Peramalan hasil
8. Perencanaan performance
9. Optimasi
10. Pemecahan konfliks
2.4.3 Langkah – Langkah dan Prosedur Analytical Hierarchi Proses
Secara umum langkah – langkah yang harus dilakukan dalam penggunaan
Analytical Hierarchi Proses untuk memecahkan suatu masalah (Kadarsyah, 1998)
yaitu :
1. Mendefinisikan permasalahan dan menentukan tujuan. Bila Analytical
Hierarchi Proses digunakan untuk memilih alternatif atau penyusunan
alternatif, pada tahap ini dilakukan pengembangan alternative
2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilakukan
dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif – alternatif pada
tingkat kriteria yang paling bawah
3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kondisi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing – masing
tujuan atau sub kriteria setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan
berdasarkan “judgment” dari pengambil keputusan dengan menilai
tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment
seluruhnya sebanyak n x {(n-1)/2} buah, dengan n adalah banyaknya
elemen yang dibandingkan
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak
konsisten maka pengambilan data diulangi
6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki
7. Menghitung vektor eigen dari setiap matrik perbandigan berpasangan.
Nilai vector eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk
mengsintesis judgment dalam penentuan prioritas elemen – elemen
pada tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan
8. Memeriksa konsistensi hirarki, jika nilainya lebih dari 10% maka
penilaian data judgment harus diperbaiki
2.4.4 Penyusunan Struktur Hirarki Masalah
Pada tingkat paling atas hirarki dinyatakan tujuan atau sasaran dari sistem yang
akan dicari solusi masalahnya. Tingkat berikutnya merupakan penjabaran dari tujuan
tersebut. Hirarki seperti ini dapat diilustrasikan seperti gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 : Struktur Penyusunan Hirarki
Sumber : Saaty, 1986
Tujuan
Sub Tujuan Sub Tujuan
KriteriaKriteria Kriteria Kriteria
Menurut Kuntoro Mangkusubroto dan Listiani Trisnadi, beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan proses penjabaran ini adalah sebagai berikut :
1. Pada waktu penjabaran tujuan ke sub tujuan, kita harus memperhatikan
apakah setiap aspek dari tujuan yang lebih tinggi tercakup dalam sub
tujuan tersebut
2. Meskipun syarat yang diatas terpenuhi, kita perlu menghindari
terjadinya pembagian yang telampau banyak, baik dalam arah
horizontal dan vertikal
3. Sebelum menetapkan tujuan untuk menjabarkan menjadi hirarki tujuan
yang lebih rendah, kita dapat melakukan test kepentingan apakah tujuan
atau hasil yang terbaik dapat diperoleh jika tujuan tersebut tidak
dimasukkan
Suatu hirarki dalam Analytical Hierarchi Proses merupakan kumpulan yang
tersusun dalam beberapa tingkat, dimana tiap tingkat mencakup beberapa elemen
yang homogen. Sebuah elemen menjadi kriteria dan patokan pembentukan elemen –
elemen yang berada dibawahnya. Untuk memastikan bahwa kriteria yang dibentuk
sesuai dengan tujuan permasalahan, maka perlu dilihat sifat – sifat berikut ini :
1. Minimum
Jumlah kriteria diusahakan untuk mempermudah analisis
2. Independent
Setiap kriteria tidak saling tumpang tindih dan harus dihindari
pengulangan kriteria untuk suatu maksud yang sama
3. Lengkap
Kriteria harus dapat mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan
4. Operasional
Kriteria harus dapat diukur dan dianalisis, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif dan dapat dikomunikasikan
Dalam penyusunan suatu hirarki tdak terdapat suatu pedoman tertentu yang
harus diakui, semuanya tegantung kepada kemampuan dari penyusun dalam
memahami masalah, tetapi ada beberapa acuan yang dapat dijadikan pegangan dalam
menyusun hirarki ini :
1. Walaupun suatu hirarki tidak dibatasi dalam jumlah tingkatnya, tetapi
dalam setiap sistem hirarki jangan terdapat terlalu banyak elemen
2. Karena setiap elemen akan dibandingkan dengan elemen lain dalam
suatu sub sistem hirarki yang sama, maka elemen – elemen tersebut
harus setara dalam kualitas
2.4.5 Penyusunan Prioritas
Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki haruslah diketahui bobot relatifnya
satu sama lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan/preferensi
pihak – pihak yang berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria/elemen dan
struktur hirarki secara keseluruhan.
Langkah pertama dalam menentukan penyusunan prioritas elemen adalah
dengan menyusun perbandingan berpasangan ( Pairwise Comparison ) yaitu
membandingkan dalam bentuk berpasangan seluruh elemen untuk setiap sub system
hirarki. Perbandingan tersebut kemudian di transformasikan kedalam bentuk matrik
untuk dianalisis numerik.
Misalkan terdapat suatu sistem hirarki yang terdiri dari atas beberapa kriteria
C1 yang memiliki sejumlah n sub kriteria dibawahnya, S1 sampai Sn, dan beberapa
sub kriteria memiliki SS1 sampai SSn, seperti dibawah ini :
Gambar 2.2 : Struktur Hirarki Permasalahan
Sumber : Saaty, 1986
Tujuan
CiCiCi
Si Si
SSiSSi
Perbandingan antar elemen untuk sub sistem hirarki dapat dibuat dalam bentuk
matrik n x n, matrik ini dinamakan dengan matrik Aci atau matrik perbandingan
berpasangan seperti dibawah ini :
Tabel 2.3 : Matrik Perbandingan Berpasangan
S1 S2 S3 …. Sn
S1 a1 a2 a3 …. a1n
S2 a21 a22 a23 …. a2n
Aci = S3 a31 a32 a33 …. a3n
…. …. …. …. …. ….
Sn an1 an2 an3 …. amn
Sumber : Kadarsyah Suryadi, 1998
Adapun pedoman untuk memberikan penilain dalam perbandingan
berpasangan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.4 : Skala Penilaian Perbandingan
Tingkat Kepentingan Arti Keterangan
1 Sama Penting Kedua elemen memiliki pengaruh elemen yang sama
3 Sedikit lebih pentingPengalaman dan penilaian sedikit
memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya
5 Lebih pentingPengalaman dan penilaian sedikit
memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya
7 Sangat penting
Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai dan dominasinya lebih
nyata dibandingkan dengan pasangannya
9 Mutlak lebih penting
Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai dibandingkan dengan
pasangannya, pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi
2,4,6,8 Nilai tengahDiberikan jika terdapat keraguan
penilaian antara dua penilaian yang berdekatan
Kebalikan Aij = 1/Aij -
Sumber : Kadarsyah, 1998
Bobot yang dicari dinyatakan dalam vektor W = (w1, w2, w3,…. Wn). Nilai wn
menyatakan bobot relatif kriteria An terhadap keseluruhan set kriteria pada sub sistem
tersebut.
Pada situasi penilaian yang konsisten sempurna (teoritis) didapatkan hubungan:
Aik = aij.ajk untuk semua ijk (2.1)
Dan matrik yang didapatkan adalah matrik yang konsisten. Dengan demikian
nilai perbandingan yang didapatkan berdasarkan dari penilaian tabel 2.3 yaitu aij
dapat dinyatakan W sebagai :
Aij = wi / wj ij = 1, 2,……, n (2.2)
Dari persamaan (2.2) diatas dapat dibuat persamaan berikut :
Aij . wi / wj = n ij = 1, 2,……, n (2.3)
Dan dengan demikian didapatkan :
∑j=i
naij wj
wi = ni,j = 1,2,,,,,,, n
∑j=i
n
aij wj=w ,n i,j = 1,2,,,,,,, n (2.4)
Yang ekivalen dengan persamaan :
AW = n w … … … … … … … … (2.5)
Dalam teori tentang matrik, formula tersebut menyatakan bahwa W adalah
eigenvector dari matrik A dengan eigenvalue n.
Variabel n pada persamaan diatas dapat digantikan secara umum dengan
sebuah vektor sebagai berikut :
AW = χW (2.6)
Dimana χ = (χ1χ2, … …, χn)
Setiap χn yang memenuhi persamaan (2.6) diatas dinamakan sebagai
eigenvalue, sedangkan vector W yang memenuhi persamaan (2.6) tersebut
dinamakan sebagai eigenvector.
Apabila matrik A adalah matrik yang konsisten maka semua eigenvalue
bernilai nol ( 0 ) kecuali satu yang bernilai sama dengan n. Bila matrik A adalah
matrik yang tidak konsisten, variasi kecil aij akan membuat eigenvalue tersebut, χmaks
tetap dekat dengan n, dan nilai eigenvalue lainnya mendekati nol. Nilai χmaks dapat
dicari dengan persamaan berikut ini :
A.W = χmaks W (2.7)
Atau
(A-χmaks I) W = 0 (2.8)
dimana I adalah matrik identitas dan 0 adalah matrik nol.
2.4.6 Pendekatan Perhitungan Prioritas
Seringkali usaha untuk mendapatkan nilai bobot vektor dengan rumus – rumus
diatas cukup rumit. Untuk itu dapat digunakan langkah – langkah pendekatan sebagai
berikut :
A. Matrik Perbandingan
Tabel 2.5 : Matrik Perbandingan
Tujuan Sub 1 Sub 2 Sub 3
Sub 1 1 ½ ¼
Sub 2 2 1 ½
Sub 3 4 2 1
Jumlah 7 3,5 1,75
Sumber : Saaty, 1986
B. Matrik Perbandingan Hasil Normalisasi
Tabel 2.6 : Matrik Perbandingan Hasil Normalisasi
Tujuan Sub 1 Sub 2 Sub 3 Jumlah Bobot
Sub 1 1/7 1/7 1/7 3/7 1/7
Sub 2 2/7 2/7 2/7 6/7 2/7
Sub 3 4/7 4/7 4/7 12/7 4/7
Sumber : Saaty, 1986
2.4.7 Pengujian Konsistensi Matrik PerbandinganHubungan preferensi yang dikenakan pada dua elemen tidak mempunyai
masalah kontensi relasi. Jika elemen A adalah tidak kali lebih penting dari elemen B,
maka elemen B adalah 1/3 kali pentingnya dari elemen A, tetapi konsistensi seperti
ini tidak selalu berlaku bila terdapat banyak elemen yang harus dibandingkan.
Karena keterbatasan kemampuan numerik, sekumpulan elemen tidak selalu konsisten
secara logis. Misalnya A adalah 3 kali lebih penting dari B, C adalah 5 kali lebih
penting dari B, D adalah 2 kali lebih penting dari C, maka kita tidak akan dengan
mudah untuk menemukan bahwa secara numerik D adalah 10/3 kali lebih penting
dari A, hal ini berkaitan dengan sifat penerapan AHP itu sendiri, yaitu bahwa
penilaian dalam AHP dilakukan berdasarkan pengalaman dan pemahaman yang
bersifat kualitatif dan subyektif, sehingga secara numerik terdapat kemungkinan
suatu rangkaian penilaian untuk menyimpang dari konsistensi logis.
Dalam prakteknya, konsistensi seperti diatas tidak mungkin didapat nilai aij
akan menyimpang dari rasio wi/wj dan dengan demikian persamaan (2.5) tidak akan
terpenuhi. Pada matrik konsistensi, secara praktis χmaks = n. Sedangkan pada matrik
tak konsistensi setiap variasi aij akan membawa perubahan pada nilai χmaks. Deviasi
χmaks merupakan suatu parameter consistensi indeks (CI) yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :
CI = λmaks - n …………………………………………….. (2.9)
n – 1
Dari 500 sampel matrik acak dengan skala perbandingan 1-9, untuk beberapa
orde matrik Saaty mendapatkan nilai rata – rata RI yang ditampilkan pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2.7 : Skala Penilaian Perbandingan
Or matrik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI0,0
00,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Sumber : Saaty, 1986
Saaty bahwa suatu matrik perbandingan adalah konsisten bila nilai CR tidak
lebih dari 0,10.
2.4.8 Pendekatan Perhitungan Konsistensi
Pendekatan yang lain dapat digunakan dalam pengujian konsistensi matrik
perbandigan adalah dengan langkah – langkah sebagai berikut :
A. Matrik Perbandingan
Tabel 2.8 : Matrik Perbandingan Konsistensi
Tujuan Sub 1 Sub 2 Sub 3
Sub 1 1 3 5
Sub 2 1/3 1 3
Sub 3 1/5 1/3 1
Jumlah 1,533 4,333 9
Sumber : Saaty, 1986
B. Matrik Perbandingan Hasil Normalisasi
Tabel 2.9 : Matrik Perbandingan Hasil Normalisasi
Tujuan Sub 1 Sub 2 Sub 3 Jumlah Bobot
Sub 1 0.652 0.692 0.555 1.900 0.633
Sub 2 0.217 0.217 0.333 0.781 0.260
Sub 3 0.130 0.130 0.111 0.318 0.160
Sumber : Saaty, 1986
C. Matrik Perkalian bobot dengan nilai awal
Tabel 2.10 : Matrik Perkalian Bobot Dengan Nilai Awal Konsistensi
Tujuan Sub 1 Sub 2 Sub 3
Sub 1 0.633 0.781 1.946
Sub 2 0.211 0.260 0.790
Sub 3 0.127 0.086 0.320
Sumber : Saaty, 1986
D. Kolom Jumlah Matrik C Dibagi Bobot
Tabel 2.11 : Kolom Jumlah Matrik
Tujuan Jumlah Matrik Bobot Hasil Bagi
Sub 1 1.946 0.633 3.072
Sub 2 0.790 0.260 3.033
Sub 3 0.320 0.106 3.011
Sumber : Saaty, 1986
E. Mencari Nilai Maksimum
Χmaks = 3.072+3.033+3.011
3 = 3.039
F. Mencari Nilai CI
CI = λmaks−n
n−1
= 3.093−3
2
= 0.0195
G. Mencari Nilai CR
CR = CIRI
= 0.0195
0.58
= 0.33
Matrik perbandingan adalah konsistensi karena CR < 0.1
2.4.9 Pengujian Konsistensi Hirarki
Pengujian diatas dilakukan untuk matrik perbandingan yang didapatkan dari
partisipan. Pengujian harus dilakukan pula untuk hirarki. Prinsipnya adalah
mengalikan semua nilai consistensi indeks (CI) dengan bobot suatu kriteria yang
menjadi acuan pada suatu matrik perbandingan berpasangan dan kemudian
menjumlahkannya. Jumlah tersebut kemudian dibandingkan dengan suatu nilai yang
didapat dengan cara yang sama, tetapi untuk suatu matrik random. Hasil akhir berupa
suatu parameter yang disebut dengan Consistensi Ratio of Hierarchi (CRH) yang
kemudian dirumuskan sebagai berikut :
CRH = CIHRIH
……………………….
(2.11)
Dimana : CIH = Consistensi indexs of hierarchy
RIH = Random indexs of hierarchy
1. Perbandingan antar kriteria yang dilakukan untuk seluruh hirarki akan
menghasilkan beberapa matrik perbandingan berpasangan. Setiap
matrik akan mempunyai beberapa hal sebagai berikut :
Suatu kriteria yang mnjadi acuan perbandingan antara kriteria
pada tingkat hirarki dibawahnya
Nilai bobot untuk kriteria acuan tersebut relative terhadap kriteria
yang berada di tingkat lebih tinggi
Nilai consistensi indeks (CI) untuk matrik perbandingan
berpasangan tersebut
Nilai random (RI) untuk matrik perbandingan tersebut
2. Untuk setiap matrik perbandingan, kalikan nilai CI dengan bobot
kriteria acuan. Jumlahkan semua hasil perkalian, maka didapatkan
consistensi index of hierarchy
3. Untuk setiap matrik perbandingan, kalikan nilai RI dengan bobot acuan.
Jumlahkan semua hasil perkalian tersebut, maka didapatkan Random
index of Hierarchy
4. Nilai CRH didapatkan dengan CIH dengan RIH
Sama halnya dengan konsistensi matrik perbandingan berpasangan
suatu hirarki tersebut konsisten bila nilai CRH tidak lebih dari 0.1
2.4.10 Analisa Sensitivitas
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana sensitivitas dari prioritas
yang dihitung dengan metode Eigenvector apabila ada sedikit perubahan pada
penilaian. Perubahan penilaian sering terjadi apabila tingkat inkonsistensi matrik
yang bersangkutan lebih dari 10% dan sang responden berkeinginan
memperbaikinya. Perubahan yang dilakukan umumnya tidak terlalu besar dan hanya
mengubah bobot prioritas tetapi tidak sampai mengubah urutan prioritas elemen –
elemen dalam satu matriks perbandingan. Akan tetapi kalau inkonsistensi sangat
parah (misalnya diatas 90%), ada kemungkinan terjadi perubahan bobot prioritas dan
sekaligus urutannya karena perubahan yang dilakukan sangat besar.
Analisa sensivitas dapat dipakai untuk memprediksi keadaan apabila terjadi
suatu perubahan yang cukup besar. Apabila dikaitkan dengan suatu periode waktu
maka dapat dikatakan bahwa analisa sensitivitas adalah unsur dinamis dari sebuah
hirarki. Artinya penilaian yang dilakukan pertama kali dipertahankan untuk suatu
jangka waktu tertentu dan adanya perubahan kebijaksanaan atau tindakan cukup
dilakukan dengan analisa sensitivitas untuk melihat efek yang terjadi. Sensitivitas
hirarki, bagaimanapun penting untuk implementasi kebijaksanaan karena
sipengambil keputusan dapat membuat antisipasi apabila ada sesuatu yang terjadi
diluar perkiraannya.