BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jagung merupakan bahan makanan pokok setelah beras, dan sekitar 90% dari
produksi jagung di Indonesia digunakan untuk konsumsi manusia. Selain itu juga dapat
digunakan untuk makanan ternak. Produksi jagung di Indonesia masih rendah yaitu 43,7%
dari 70%, jika dibandingkan dengan Negara lain yaitu 60- 95%. Produksi nasional pada tahun
2010 sebesar 17.84 juta ton dengan produktivitas 4.32 ton/ha (Departemen Pertanian, 2011).
Rendahnya hasil ini terutama disebabkan belum menyebarnya varietas unggul serta bercocok
tanam yang kurang baik (Rukmana, 1999).
Akhir-akhir ini permintaan pasar terhadap jagung terus meningkat seiring dengan
munculnya swalayan-swalayan yang senantiasa membutuhkannya dalam jumlah cukup besar.
Kebutuhan jagung manis untuk ekspor terus bertambah, antara lain dibuktikan oleh adanya
peningkatan ekspor. Kebutuhan pasar yang meningkat dan harga yang tinggi merupakan
faktor yang dapat merangsang petani untuk mengembangkan usaha tani jagung manis.
Salah satu upaya untuk peningkatan hasil produktivitas jagung di Indonesia ialah
dengan ekstensifikasi. Perluasan lahan diarahkan ke lahan kering, karena lahan kering di
Indonesia masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Pada tahun 2005 Jawa Barat memiliki
lahan kering seluas 3.214.484 ha yang produktivitasnya masih rendah (Departemen pertanian,
2009). Hal ini disebabkan lahan kering memiliki beberapa kendala. Menurtut As-syakur
(2007) kendala yang dihadapi pada lahan kering yaitu kekeringan pada musim kemarau,
kekurangan unsur hara, dan erosi ditambah juga yang terpenting adalah permasalahan gulma.
Rendahnya hasil produksi jagung salah satunya disebabkan oleh gulma, hal ini dapat
merugikan para petani. Gulma dapat menimbulkan kerugian karena berkompetisi dengan
tanaman pokok dalam menyerap unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah, serta penerimaan
cahaya matahari untuk proses fotosintesis, menurunkan kualitas produksi pertanian, sebagai
perantara atau sumber hama dan penyakit, menganggu kesehatan manusia, dan menimbulkan
kerugian dalam produksi baik kualitas dan kuantitas.
Gulma memerlukan persyaratan tumbuh, antara lain ruang tumbuh, cahaya, air,
nutrisi, CO2 dan bahan lain. Gulma dan tanaman budidaya yang tumbuh berdekatan akan
saling mengadakan persaingan, salah satunya dengan mengeluarkan senyawa kimia (alelopat)
dan peristiwanya disebut alelopati (Moenandir, 1990). Menurut Odum (1971) alelopati
merupakan suatu peristiwa dimana suatu individu tumbuhan menghasilkan senyawa kimia
yang dapat menghambat jenis tumbuhan lain yang bersaing dengan tumbuhan tersebut. Zat
alelopat dapat berupa gas atau cairan yang dikeluarkan melalui akar, batang maupun daun.
Menurut Rice (1984) jika gulma tidak dikendalikan maka akan menurunkan hasil produksi
jagung sebesar 48%.
Menurut Sukman dan Yakup (2002) gulma perlu dikendalikan karena menurunkan
produksi akibat bersaing dalam pemanfaatan sarana tumbuh, menurunkan mutu hasil
akibat kontaminasi dengan bagian-bagian gulma, mengeluarkan senyawa alelopati yang
dapat menghambat pertumbuhan tanaman, menjadi inang bagi hama dan patogen yang
menyerang tanaman, meningkatkan biaya usaha tani akibat biaya penyiangan.
Secara konvensional, gulma pada pertanaman jagung dapat dikendalikan melalui
pengolahan tanah dan penyiangan, tetapi pengolahan tanah secara konvensional memerlukan
waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Pada tanah dengan tekstur lempung berpasir, lempung
berdebu, dan liat, jagung yang dibudidayakan tanpa olah tanah memberikan hasil yang sama
tingginya dengan yang dibudidayakan dengan pengolahan tanah konvensional (Widiyati et al.
2001, Efendi dan Fadhly 2004, Efendi et al. 2004, Fadhly et al. 2004, dan Akil et al. 2005).
Gulma pada pertanaman jagung tanpa olah tanah dikendalikan dengan herbisida.
Sebelum jagung ditanam, herbisida disemprotkan untuk mematikan gulma yang tumbuh di
areal pertanaman. Setelah jagung tumbuh, gulma masih perlu dikendalikan untuk melindungi
tanaman. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara penyiangan dengan tangan, penggunaan
alat mekanis, dan penyemprotan herbisida. Formulasi atau nama dagang herbisida yang
tersedia di pasaran cukup beragam. Pemilihan dan penggunaan herbisida bergantung pada
jenis gulma di pertanaman. Penggunaan herbisida secara berlebihan akan merusak
lingkungan. Untuk menekan atau meniadakan dampak negatif penggunaan herbisida terhadap
lingkungan, penggunaannya perlu dibatasi dengan memadukan dengan cara pengendalian
lainnya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui metode pengendalian
gulma yang optimal terhadap pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays L.).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Deskripsi Jagung
Tanaman jagung manis termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan
spesies Zea mays saccharata Sturt. Klasifikasi tanaman jagung manis adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays saccharata Sturt.
Menurut Purwono dan Hartono (2005), jagung merupakan tanaman berakar serabut
yang terdiri dari tiga tipe akar, yaitu akar lateral, akar adventif, dan akar udara. Akar lateral
tumbuh dari radikula dan embrio. Akar adventif disebut juga akar tunjang. Akar ini tumbuh
dari buku paling bawah, yaitu sekitar 4 cm di bawah permukaan. Sementara akar udara
adalah akar yang keluar dari dua atau lebih buku terbawah permukaan tanah. Perkembangan
akar jagung tergantung dari varietas, kesuburan tanah, dan keadaan air tanah. Batang
tanaman jagung tidak bercabang, berbentuk silinder. Pada buku ruas akan muncul tunas yang
berkembang menjadi tongkol. Tinggi tanaman jagung tergantung varietas, umumnya berkisar
100 cm sampai 300 cm. Daun jagung memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Jumlah
daun terdiri dari 8 helai sampai 48 helai tergantung varietasnya. Antara kelopak dan helaian
terdapat lidah daun yang disebut ligula, fungsi ligula adalah mencegah air masuk ke dalam
kelopak daun dan batang.
Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu
tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae,
yang disebutfloret. Dua floret dibatasi oleh sepasang glumae (gluma). Bunga jantan tumbuh
di bagian puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna
kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol, yang tumbuh dari buku di
antara batang dan pelepah daun. Umumnya satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu
tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina.
Biji jagung terletak pada tongkol (janggel) yang tersusun memanjang. Pada tongkol
tersimpan biji-biji jagung yang menempel erat, sedangkan pada buah jagung terdapat rambut-
rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus (kelobot). Setiap tanaman jagung
terbentuk satu sampai dua tongkol. Biji jagung memiliki bermacam-macam bentuk dan
bervariasi. Perkembangan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain varietas tanaman,
tersedianya makanan di dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari dan
kelembaban udara. Biji jagung manis yang masih muda mempunyai ciri bercahaya dan
berwarna jernih seperti kaca sedangkan biji yang telah masak dan kering akan menjadi
keriput atau berkerut.
2.1.2 Syarat Tumbuh
Tanaman jagung dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi 1300 m di atas
permukaan laut (dpl), kisaran suhu antara 13ºC sampai 38ºC dan mendapat sinar matahari
penuh. Tanaman jagung tumbuh dan berproduksi optimum di dataran rendah Indonesia
sampai ketinggian 1800 m di atas permukaan laut (dpl), dan memerlukan curah hujan ideal
sekitar 85 mm per tahun sampai 200 mm per tahun selama masa pertumbuhan.
Tanaman jagung tidak membutuhkan persyaratan yang khusus karena tanaman ini
tumbuh hampir pada semua jenis tanah asalkan tanah tersebut subur, gembur, kaya akan
bahan organik dan drainase maupun aerase baik. Kemasaman tanah (pH) yang diperlukan
untuk pertumbuhan optimal tanaman jagung antara pH 5,5 sampai pH 6,5 tetapi yang paling
baik adalah pH 6,8.
2.2 Penyiangan
Secara konvensional, gulma pada pertanaman jagung dapat dikendalikan melalui
pengolahan tanah dan penyiangan, tetapi pengolahan tanah secara konvensional memerlukan
waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Pada tanah dengan tekstur lempung berpasir, lempung
berdebu, dan liat, jagung yang dibudidayakan tanpa olah tanah memberikan hasil yang sama
tingginya dengan yang dibudidayakan dengan pengolahan tanah konvensional (Widiyati et al.
2001, Efendi dan Fadhly 2004, Efendi et al. 2004, Fadhly et al. 2004, dan Akil et al. 2005).
Gulma pada pertanaman jagung tanpa olah tanah dikendalikan dengan herbisida.
Sebelum jagung ditanam, herbisida disemprotkan untuk mematikan gulma yang tumbuh di
areal pertanaman. Setelah jagung tumbuh, gulma masih perlu dikendalikan untuk melindungi
tanaman. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara penyiangan dengan tangan, penggunaan
alat mekanis, dan penyemprotan herbisida. Formulasi atau nama dagang herbisida yang
tersedia di pasaran cukup beragam. Pemilihan dan penggunaan herbisida bergantung pada
jenis gulma di pertanaman. Penggunaan herbisida secara berlebihan akan merusak
lingkungan. Untuk menekan atau meniadakan dampak negatif penggunaan herbisida terhadap
lingkungan, penggunaannya perlu dibatasi dengan memadukan dengan cara pengendalian
lainnya.
2.3 Pengendalian Menggunakan Herbisida
Pengendalian dengan Herbisida Herbisida memiliki efektivitas yang beragam.
Berdasarkan cara kerjanya, herbisida kontak mematikan bagian tumbuhan yang terkena
herbisida, dan herbisida sistemik mematikan setelah diserap dan ditranslokasikan ke seluruh
bagian gulma. Menurut jenis gulma yang dimatikan ada herbisida selektif yang mematikan
gulma tertentu atau spektrum sempit, dan herbisida nonselektif yang mematikan banyak jenis
gulma atau spektrum lebar.
Sulitnya mendapatkan tenaga kerja dan mahalnya pengendalian gulma secara mekanis
membuat bisnis herbisida berkembang pesat. Direktorat Sarana Produksi (2006) telah
mendaftarkan 40 golongan, 80 bahan aktif, dan 374 formulasi herbisida.
Bahan aktif herbisida yang penting untuk pertanaman jagung adalah glifosat,
paraquat, 2,4-D, ametrin, dikamba, atrazin, pendimetalin, metolaklor, dan sianazin. Bahan
aktif herbisida tidak banyak mengalami peningkatan, tetapi yang bertambah adalah formulasi
atau nama dagang herbisida.
Herbisida berbahan aktif glifosat, paraquat, dan 2,4-D banyak digunakan petani,
sehingga banyak formulasi yang menggunakan bahan aktif tersebut. Glifosat yang
disemprotkan ke daun efektif mengendalikan gulma rumputan tahunan dan gulma berdaun
lebar tahunan, gulma rumput setahun, dan gulma berdaun lebar. Senyawa glifosat sangat
mobil, ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman ketika diaplikasi pada daun, dan cepat
terurai dalam tanah. Gejala keracunan berkembang lambat dan terlihat 1-3 minggu setelah
aplikasi (Klingman et al. 1975). Herbisida pascatumbuh yang cukup luas penggunaannya
untuk mengendalikan gulma pada pertanaman jagung adalah paraquat (1,1- dimethyl-4,4
bypiridinium) yang merupakan herbisida kontak nonselektif. Setelah penetrasi ke dalam daun
atau bagian lain yang hijau, bila terkena sinar matahari, molekul herbisida ini bereaksi
menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel dan seluruh organ tanaman,
sehingga tanaman seperti terbakar. Herbisida ini baik digunakan untuk mengendalikan gulma
golongan rumputan dan berdaun lebar. Paraquat merupakan herbisida kontak dan menjadi
tidak aktif bila bersentuhan dengan tanah. Paraquat tidak ditranslokasikan ke titik tumbuh,
residunya tidak tertimbun dalam tanah, dan tidak diserap oleh akar tanaman (Tjitrosedirdjo et
al. 1984). Populasi gulma mudah berubah karena perubahan tanaman yang diusahakan dan
herbisida yang digunakan dari satu musim ke musim lainnya (Francis and Clegg 1990).
Perubahan jenis gulma dapat berimplikasi pada perlunya perubahan herbisida yang digunakan
untuk pengendalian. Pertimbangan utama pemilihan herbisida adalah kandungan bahan aktif
untuk membunuh gulma yang tumbuh di areal pertanaman. Takaran herbisida meningkat jika
kondisi penggunaannya kurang mendukung, misalnya hujan turun setelah aplikasi atau daun
gulma berlapis lilin. Dalam hal ini perlu digunakan perekat/perata (surfactant) dengan takaran
0,1-0,5% volume/volume (Tasistro 1991).
Herbisida pra-tumbuh, diaplikasikan pada tanah sebelum gulma tumbuh, dimana
kondisi tanaman utama yang dibudidayakan belum ditanam, sudah ditanam, belum tumbuh
atau sudah tumbuh. Herbisida yang diaplikasikan akan membentuk lapisan tipis pada
permukaan tanah. Akar atau tajuk gulma yang mulai berkecambah akan terkena dan
menyerap herbisida tersebut pada saat menembus lapisan herbisida dan kemudian akan
teracuni. Kelembaban tanah akan membantu herbisida mencapai biji gulma yang
berkecambah di bawah permukaan tanah. Oleh karena itu, aplikasi herbisida pra-tumbuh pada
kondisi tanah kering tidak dianjurkan. Contoh produk herbisida pra-tumbuh berbahan aktif
oksifluorfen.
Semua herbisida pra-tumbuh adalah herbisida yang aktif di dalam tanah (soil acting)
dan bersifat sistemik. Contoh penggunaan herbisida pratumbuh adalah ametrin; diuron; 2,4-
D; dan metribuzin pada budidaya tanaman tebu dan ubi kayu. Oksadiazon, klomazon, metil
metsulforan, oksifluorfen, dan propanil adalah contoh herbisida pratumbuh pada budidaya
tanaman padi; atrazin, metribuzin dan ametrin pada budidaya tanaman jagung.
2.4 Mulsa
Mulsa diartikan sebagai bahan atau material yang sengaja dihamparkan di permukaan
tanah atau lahan pertanian. Mulsa berdasarkan bahan dan cara pembuatannya dibedakan
menjadi mulsa organik, mulsa anorganik, dan mulsa kimia sintesis. Mulsa oragnik meliputi
sisa-sisa hasil pertanian, mulsa anorganik meliputi bahan batuan dengan berbagai ukuran
dan bentuk, dan mulsa kimia sintesis meliputi bahan plastik dan bahan kimia lainnya
(Umboh, 2000).
Pemberian mulsa dimaksudkan untuk memperkecil kompetisi tanaman dengan gulma,
menekan pertumbuhan gulma, mengurangi penguapan, mencegah erosi, serta
mempertahankan struktur, suhu dan kelembapan tanah dan merupakan sumber hara bagi
tanaman bila telah melapuk (Harist, 2000). Pemberian mulsa juga dapat menyuburkan
tanah. Mulsa dapat menjaga kestabilan agregat dan kimia tanah, menjaga ketersediaan air
tanah dan menjaga suhu tanah, meningkatkan ketersediaan unsur K dalam tanah, dan
mencegah pencucian nitrogen (Fahrurrozi et al., 2005; Umboh, 2000 dan Sudadi et. al.,
2007).
Pemberian mulsa dapat meningkatkan hasil tanaman budidaya. Pemberian mulsa
alang-alang sebanyak 6 ton/ha meningkatkan jumlah polong per tanaman, jumlah polong isi,
dan berat kering biji per petak tanaman kacang kedelai (Fahrurrozi et al., 2005). Hasil
penelitian Zuhri Syam (1995) penggunaan mulsa alang-alang sebanyak 8 ton/ha mampu
meningkatkan hasil produksi kacang hijau.
Pada tanaman kentang pemberian mulsa dapat meningkatkan laju pertumbuhan relatif
dan produksi umbi. Hal ini dikarenakan pemberian mulsa dapat menekan pertumbuhan
gulma sehingga tanaman tidak berkompetisi untuk memanfaatkan sinar matahari dan
menyerap unsur hara (Umboh, 2000).
2.5 Tumpang Sari Tanaman Jagung Dan Kacang Tanah
Tanaman yang ditanam secara tumpang sari menyebabkan bertambahnya populasi tanaman.
Keadaan ini akan memerangi kerapatan gulma untuk berkembang lebih banyak sebagaimana
yang terjadi pada pertanaman tunggal.monokultur. Selain itu, dalam kegiatan pemeliharaan
tanaman dapat dilakukan secara bersamaan dengan pengontrolan gulma. Intercropping antara
jagung dengan mungbean pada pertanaman kelapa dapat memerangi vegetasi gulma sehingga
tidak perlu dilakukan pengendalian gulma.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1. Alat dan Bahan
• Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah:
1) Benih jagung
2) Benih kacang tanah
3) Herbisida pra-tumbuh
• Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1) Mulsa plastik hitam perak
2) Cangkul dan kored untuk pengolahan lahan
3) Embrad untuk menyiram
4) Alat tulis untuk mencatat data hasil percobaan.
3.2. Prosedur Praktikum
1. Melakukan pengolahan lahan sebelum melakukan penanaman.
2. Tanah digemburkan dengan menggunakan cangkul dan kored.
3. Bersihkan lahan dari sisa-sisa bekas pertanaman sebelumnya dan gulma.
4. Buat bedengan dengan berbeda-beda perlakuan, yaitu:
- Bedengan A : Dilakukannya penyiangan
- Bedengan B : Tumpangsari tanaman jagung dengan kacang tanah
- Bedengan C : Penggunaan mulsa
- Bedengan D : Penggunaan herbisida pra-tumbuh
- Bedengan E : kontrol
5. Pada bedengan C dipasang mulsa plastik hitam perak terlebih dahulu.
6. Sedangkan pada bedengan D diberikan herbisida pra-tumbuh.
7. Tanam benih jagung dan kacang tanah khusus pada bedengan B.
8. Pengamatan pertumbuhan jagung dan pertumbuhan gulma pada tiap bedengan.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Bedengan A (Dilakukan penyiangan)
Tanggal
Pengamatan
Tinggi Tanaman Sample(cm)
Rata-rata
Presentase
Kehadiran
Gulma (%)1 2 3
16 Mei 2013 59 60 33 50,7 2023 Mei 2013 96 87 83,3 88,8 2530 Mei 2013 100 123 98 107 30Rata-rata 85 90 71,4 82,1• Gulma yang terdapat pada bedengan A, yaitu :
1. Putri malu (Mimosa pudica L.)
2. Nanangkaan (Euphorbia hirta L.)
3. Cyperus rotundus
4. Erechtites sp.
Bedengan B (Tumpangsari tanaman jagung dengan kacang tanah)
Tanggal
Pengamatan
Tinggi Tanaman Sample(cm)
Rata-rata
Presentase
Kehadiran
Gulma (%)1 2 3
16 Mei 2013 71 82 52 68,3 3523 Mei 2013 101 100 79 93,3 5030 Mei 2013 123 128 91 114 60Rata-rata 98,3 103,3 74 91,9• Gulma yang terdapat pada bedengan B, yaitu:
1. Cyperus rotundus
2. Cynodon dactylon
Bedengan C (Penggunaan mulsa)
Tanggal
Pengamatan
Tinggi Tanaman Sample(cm)
Rata-rata
Presentase
Kehadiran
Gulma (%)1 2 3
16 Mei 2013 40 74 84 66 -23 Mei 2013 62,8 90,4 115,5 89,6 -30 Mei 2013 87 94 137 106 -Rata-rata 63,3 86,1 112,2 87,2
Bedengan D (Penggunaan herbisida pra-tumbuh)
Tanggal
Pengamatan
Tinggi Tanaman Sample(cm)
Rata-rata
Presentase
Kehadiran
Gulma (%)1 2 3
16 Mei 2013 58 40 61 53 8023 Mei 2013 84 56 80,5 73,5 7530 Mei 2013 98,5 75 98 90,5 90Rata-rata 80,2 57 79,8 72,3• Gulma yang terdapat pada bedengan D, yaitu :
1. Cynodon dactylon
2. Putri malu (Mimosa pudica L.)
3. Alternanthera philoxeroides
Bedengan E (kontrol)
Tanggal
Pengamatan
Tinggi Tanaman Sample(cm)
Rata-rata
Presentase
Kehadiran
Gulma (%)1 2 3
16 Mei 2013 59 73 43 58,3 9523 Mei 2013 80,5 92,8 66 79,8 9830 Mei 2013 100 102 81 94,3 98Rata-rata 79,8 89,3 63,3 77,5• Gulma yang terdapat pada bedengan E, yaitu :
1.
3.1. Pembahasan
3.1.1. Persaingan Tanaman dengan Gulma
Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma bergantung pada empat faktor, yaitu
stadia pertumbuhan tanaman, kepadatan gulma, tingkat cekaman air dan hara, serta spesies
gulma. Jika dibiarkan, gulma berdaun lebar dan rumputan dapat secara nyata menekan
pertumbuhan dan perkembangan jagung.
Gulma menyaingi tanaman terutama dalam memperoleh air, hara, dan cahaya.
Tanaman jagung sangat peka terhadap tiga faktor ini selama periode kritis antara stadia V3
dan V8, yaitu stadia pertumbuhan jagung di mana daun ke-3 dan ke-8 telah terbentuk.
Sebelum stadia V3, gulma hanya mengganggu tanaman jagung jika gulma tersebut lebih
besar dari tanaman jagung, atau pada saat tanaman mengalami cekaman kekeringan. Antara
stadia V3 dan V8, tanaman jagung membutuhkan periode yang tidak tertekan oleh gulma.
Setelah V8 hingga matang, tanaman telah cukup besar sehingga menaungi dan menekan
pertumbuhan gulma. Pada stadia lanjut pertumbuhan jagung, gulma dapat mengakibatkan
kerugian jika terjadi cekaman air dan hara, atau gulma tumbuh pesat dan menaungi tanaman
(Lafitte 1994).
Beberapa jenis gulma tumbuh lebih cepat dan lebih tinggi selama stadia pertumbuhan
awal jagung, sehingga tanaman jagung kekurangan cahaya untuk fotosintesis. Gulma yang
melilit dan memanjat tanaman jagung dapat menaungi dan menghalangi cahaya pada
permukaan daun, sehingga proses fotosintesis terhambat yang pada akhirnya menurunkan
hasil.
Kehadiran gulma yang paling banyak, yaitu pada bedengan E karena hampir
semuanya tertutupi oleh gulma sebanyak ± 98%. Kemudian disusul dengan bedengan D, B, A
dan C. Pada bedengan C dengan penggunaan mulsa plastik hitam perak sangat
mempengaruhi pertumbuhan gulma sehingga gulma pada bedengan tersebut tidak ada yang
tumbuh. Sedangkan penggunaan herbisida pra-tumbuh pada bedengan D tidak memberikan
pengaruh yang berarti karena gulma yang tumbuh tetap banyak ± 90% dan pertumbuhan
tanaman jagungnya pun yang paling rendah dari semua bedengan atau perlakuan.
Pertumbuhan tanaman jagung yang paling tinggi dibandingkan dengan semua
perlakuan atau bedengan, yaitu pada bedengan B dengan perlakuan tumpangsari tanaman
jagung dengan tanaman kacang tanah. Tetapi pada bedengan tersebut terdapat gulma
sebanyak ± 60% lebih banyak dibandingkan bedengan A dan C serta lebih rendah
dibandingkan bedengan D dan E. Faktor yang dapat mengakibatkan hal-hal seperti ini adalah
benih yang kurang baik, dosis herbisida yang tidak tepat, waktu penyiangan, jarak
tumpangsari, jenis herbisida dan sebagainya.
Jenis gulma yang terdapat pada setiap bedengan hampir sama, yaitu Mimosa pudica
L., Ageratum conyzoidez, dan Cyperus rotundus.
Gulma merupakan pesaing bagi tanaman dalam memperoleh hara. Gulma dapat
menyerap nitrogen dan fosfor hingga dua kali, dan kalium hingga tiga kali daya serap
tanaman jagung. Pemupukan merangsang vigor gulma sehingga meningkatkan daya
saingnya. Nitrogen merupakan hara utama yang menjadi kurang tersedia bagi tanaman jagung
karena persaingan dengan gulma. Tanaman yang kekurangan hara nitrogen mudah diketahui
melalui warna daun yang pucat. Interaksi positif penyiangan dan pemberian nitrogen
umumnya teramati pada pertanaman jagung, di mana waktu pengendalian gulma yang tepat
dapat mengoptimalkan penggunaan nitrogen dan hara lainnya serta menghemat penggunaan
pupuk (Violic, 2000).
BAB IV
PENUTUPAN
4.1. Kesimpulan
Perlakuan yang paling baik, yaitu pada bedengan B karena pertumbuhan jagung yang
baik dibandingkan dengan semua tanaman jagung yang ada pada semua bedengan meskipun
dengan keberadaan gulma sebesar ± 60%. Tetapi jika dilihat dari pertumbuhan gulmanya,
pada bedengan C yang paling baik karena tidak adanya satupun gulma yang tumbuh pada
bedengan ini walaupun pertumbuhan tanaman jagung masih kalah baik. Sedangkan dari
semua perlakuan tiap bedengan yang tidak berpengaruh baik, yaitu pada bedengan D karena
pertumbuhan tanaman jagung yang lebih jelek dibandingkan dengan kontrol dan gulma yang
tumbuh ± 90%.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, M., M. Rauf, I.U. Firmansyah, Syafruddin, Faesal, R. Efendi, dan A. Kamaruddin.
2005. Teknologi budi daya jagung untuk pangan dan pakan yang efisien dan
berkelanjutan pada lahan marjinal. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, p.15-
23.
Andrixinata. 2011. Periode Kritis dan Penguasaan Sarana Tumbuh.
http://id.scribd.com/doc/53943963/4/Latar-Belakang. Diakses pada tanggal 18 Juni
2013.
Anonim. 2010. Gulma tanaman. Anonim. 2012. Teknologi Budidaya Jagung. http://pt-
sja.com/2012/04/teknologi-budidaya-jagung.html. Diakses pada tanggal 18 Juni 2013.
Balitsereal. 2009. Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/satulima.pdf. Diakses pada
tanggal 18 Juni 2013.
BPTP Sulawesi Selatan. 2007. Teknologi Produksi Jagung Melalui Pendekatan Pengelolaan
Sumber Daya Dan Tanaman Terpadu (PTT).
http://sulsel.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?
option=com_content&view=article&id=125:teknologi-produksi-jagung-melalui-
pendekatan-pengelolaan-sumber-daya-dan-tanaman-terpadu-ptt-
&catid=47:panduanpetunjuk-teknis-brosur-&Itemid=231. Diakses pada tanggal 18
Juni 2013.
Clay, A.S. and I. Aquilar. 1998. Weed seedbanks and corn growth following continous corn
or alfalfa. Agron. J. 90:813-818.
Efendi, R. dan A.F. Fadhly. 2004. Pengaruh sistem pengolahan tanah dan pemberian pupuk
NPKZn terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Risalah Penelitian Jagung dan
Serelaia Lain. 9:15-22.
Efendi, R., A.F. Fadhly, M. Akil, dan M. Rauf. 2004. Pengaruh sistem pengolahan tanah dan
penyiangan gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Seminar Mingguan. Balai
Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 26 Maret 2004, 17p.
Fadhly, A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan dan
pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah bertekstur
berat. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 18 Juni 2004,
14p.
Lafitte, H.R. 1994. Identifying production problems in tropical maize: a field guide.
CIMMYT, Mexico , D.F. p.76-84,
Sukman, Y. Dan Yakup. 1991. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Violic, A.D. 2000. Integrated crop menagement. In: R.L. Paliwal, G. Granados, H.R. Lafitte,
A.D. Violic, and J.P. Marathee (Eds.). Tropical Maize Improvement and Production.
FOA Plant Production and Protection Series, Food and Agriculture Organization of
The United Nations. Rome, 28:237-282.
Widiyati, N., A.F. Fadhly, R. Amir, dan E.O. Momuat. 2001. Sistem pengolahan tanah dan
efisiensi pemberian pupuk NPK terhadap petumbuhan dan hasil jagung. Risalah
Penelitian Jagung dan Serealia Lain. 5:15-20.
LAMPIRAN
Bedengan A Bedengan B
Bedengan C Bedengan E
Top Related