BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kenaikan harga pangan berkontribusi pada food insecurity (ketidaktangguhan
pangan) yang menjadi masalah serius bagi keamanan manusia. Permasalahan
ketidaktangguhan pangan sebagai katalis dalam ketidakstabilan politik dan konflik
meningkat tahun 2007 saat protes dan kekacauan terjadi di 48 negara sebagai respon
negatif terhadap kenaikan harga pangan dunia. Organisasi-organisasi internasional
yang membantu pembangunan di negara-negara dunia ketiga menyatakan bahwa
perang dan konflik menjadi isu penting dalam pembangunan. Perang dan konflik
menghancurkan ekonomi masyarakat lokal, memaksa masyarakat lokal bermigrasi
untuk mencari tempat yang lebih aman, menimbulkan berbagai penyakit, dan
kerawanan pangan akut. Situasi semakin buruk saat rezim politik berupaya
melemahkan demokrasi, institusi otoriter menjadi penguasa, tingkat pembangunan
yang rendah, serta kesenjangan yang tinggi diantara berbagai kelompok masyarakat.
(Brinkman dan Hendrix, 2011)
Masyarakat di wilayah Afrika Barat menghadapi dampak buruk dari konflik
internal, salah satunya adalah komunitas di Sierra Leone. Organisation for Economic
Coorporation and Development (OECD) membuat laporan pada tahun 2011 tentang
fragile state (negara rapuh) dengan mengurutkan negara-negara yang termasuk dalam
kategori ini. Laporan tersebut menyebutkan bahwa dari 47 negara yang dikategorikan
sebagai fragile state, 28 diantaranya berada di Afrika. Menurut Fragile State Index,
pada tahun 2005, Sierra Leone menempati ranking keenam dalam kategori fragile
state. Penyebabnya adalah perang sipil yang terjadi pada tahun 1991 hingga 2002.
Perang ini terjadi antara Revolutionary United Front (RUF) yang bersitegang dengan
pemerintah Sierra Leone, dengan cara menyebarkan terror kepada warga sipil melalui
pembunuhan, pemotongan anggota tubuh, penculikan, serta pemerkosaan terhadap
wanita dan anak-anak.
Aksi pemberontakan yang dilakukan RUF telah menghabiskan tiga perempat
pendapatan di Sierra Leone, serta ditutupnya sumber-sumber pendapatan domestik
terpenting seperti Bauxite Metal Company, Sierra Rutile, Sierra Leone Ore pada
tahun 1995. RUF telah menghancurkan kehidupan sosial politik Sierra Leone,
meningkatkan arus pengungsi yang sangat besar dan melemahkan kekuasaan
pemerintah serta institusi sipilnya.
Sejak perang sipil berakhir pada tahun 2002, banyak infrastruktur yang rusak
akibat perang, salah satunya infrastruktur pertanian. Padahal sektor pertanian menjadi
hal yang krusial di Sierra Leone karena 65 persen penduduk Sierra Leone tergantung
hidupnya pada sektor ini. Kondisi sebagian besar sistem pertanian masih bersifat
tradisional, membuat produksi pertanian selain belum mampu memenuhi kebutuhan
pangan penduduk Sierra Leone dalam skala luas juga belum mampu meningkatkan
standar hidup dari sebagian besar masyarakat yang bekerja di sektor ini. Disamping
itu, Sierra Leone masih tergantung pada impor produk-produk makanan terutama
beras dan jagung. Hal ini menyebabkan Sierra Leone rentan terhadap kenaikan harga
pangan dalam level global (Action Contre La Faim: 2010). Tingkat kemiskinan yang
mencapai 70 persen dari jumlah populasi yang hidup dengan penghasilan dibawah
US$ 2 perhari. Kemiskinan menjadi penyebab lazim dari ketidaktangguhan pangan di
negara ini karena masyarakat tidak mampu untuk memperoleh makanan yang bergizi.
Menurut Food Agriculture Organisation (FAO,) rumah tangga fragile state
rata-rata menghabiskan 57,5 persen dari pendapatan mereka untuk membeli makanan,
yang berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya yang menghabiskan rata-
rata 49,4 persen dari pendapatan mereka untuk membeli pangan. Di Sierra Leone,
tiga perempat populasi tergantung dari akses mereka ke pasar-pasar tradisional untuk
mendapatkan pangan. Setengah dari jumlah masyarakat meminjam uang untuk
membeli pangan, dan sepertiga rumah tangga di Sierra Leone rata-rata menghabiskan
63 persen dari pendapatan mereka untuk pangan saja. Dalam kondisi ini, harga
pangan menjadi tinggi dan ancaman yang serius terhadap ketidaktanggupan pangan
menjadi meningkat (WFP: 2011).
Beberapa fragile state memiliki sumber daya alam yang melimpah, yang
menciptakan tidak hanya kesempatan namun juga menjadi tantangan untuk stabilitas
serta pembangunan di negara tersebut. Sierra Leone merupakan fragile state yang
memiliki sumber daya alam yang melimpah serta sumber daya manusia dalam jumlah
yang besar. Hal ini bisa menjadi komponen penting dalam pembangunan di sektor
pertanian yang menjadi tumpuan sebagian besar masyarakt di Sierra Leone. Namun
masih tingginya tingkat penggangguran serta migrasi besar-besaran akibat perang
menjadi penyebab dari kemiskinan yang parah. Angka kemiskinan terbesar masih
didominasi oleh populasi yang ada di daerah pedesaan.
Dilihat dari situasi ekonominya, Sierra Leone dikategorikan oleh Central
Intelligence Agency (CIA) sebagai negara yang berpenghasilan sangat buruk.
Keadaan ini diperparah dengan infrastruktur sosial dan fiskalnya yang belum 100
persen pulih dari perang saudara. GDP (PPP) tahun 2010 dari Sierra Leone adalah
US$ 4,812 menempati urutan ke-162 di dunia. Serta GDP PPP-per kapitanya hanya
sekitar US$ 900, menempati urutan ke 219. Hal ini terlihat sangat kontras, jika
melihat sumber daya alamnya yang memiliki muatan mineral dalam jumlah besar,
lahan pertanian yang subur, dan sumber perikanan yang baik. Namun 70,2 persen
populasi di Sierra Leone berada di bawah garis kemiskinan.
Survei yang dilakukan oleh WFP menyatakan sebanyak 45 persen dari rumah
tangga di Sierra Leone ada dalam kondisi rawan pangan terutama pada musim
kemarau. Sekitar 347 ribu penduduk (6,5%) persen ada pada keadaan kondisi krisis
pangan yang parah. Dalam skala nasional, sekitar 6 persen dari populasi di Sierra
Leone mengalami malnutrisi akut serta 5,8 persen dari jumlah keseluruhan anak
mengalami malnutrisi akut yang didominasi oleh anak perempuan. Sejumlah 35
persen anak-anak di Sierra Leone yang berumur 6 hingga 59 bulan mengalami
malnutrisi akut, dan 10 persen diantaranya mengalami masalah pada pertumbuhan
(WFP, 2011)
Memburuknya situasi di Sierra Leone paska perang sipil yang diakibatkan
oleh kondisi rawan pangan membutuhkan partisipasi tidak hanya dari pemerintah,
tetapi juga organisasi internasional dan lembaga swadaya masyarakat. Pemerintah
dapat melindungi masyarakatnya dari kenaikan dan ketidakstabilan harga pangan di
pasar dunia dengan cara membangun jaringan pengaman sosial. Namun, kapasitas
dari fragile state seperti Sierra Leone masih terbatas, sehingga bantuan lembaga
internasional salah satunya adalah World Food Programme (WFP) menjadi
signifikan untuk mengatasi ketidaktangguhan pangan. WFP merupakan organisasi
bantuan bersama (joint programme) yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan Food and Agriculture Organisation (FAO) pada tahun 1961. WFP
merupakan organisasi PBB yang pertama mengadopsi misi untuk mengurangi
kelaparan global dan kemiskinan. Lembaga ini menyediakan pangan apabila terjadi
kondisi darurat ataupun mendukung pembangungan sosial dan ekonomi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, rumusan masalah yang
diambil penulis yaitu bagaimana upaya WFP dalam mengimplementasikan program-
programnya di Sierra Leone yang merupakan fragile state (negara rapuh).
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai upaya
WFP dalam mengimplementasikan program-programnya di Sierra Leone yang
merupakan fragile state paska perang sipil 1991-2002.
1.4 Manfaat Penelitian
a) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
kondisi rawan pangan yang menjadi permasalahan negara-negara yang
sempat mengalami perang sipil serta program-progranm yang dimiliki
Inter-Govermental Organisation (IGO) untuk mengatasi kondisi tersebut
b) Bagi masyarakat, penelitian ini menambah wawasan dan juga informasi
tentang upaya IGO dalam mengimplementasikan program-programnya
serta memahami pentingnya ketersediaan pangan yang cukup bagi
kelangsungan hidup.
c) Bagi ilmuan dan peneliti, penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau
sumbangan dalam menambah khasanah keilmuan tentang kehadiran
organisasi internasional dalam mengatasi kondisi ketidaktangguhan pangan
yang dihadapi fragile state paska perang sipil.
d) Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat memberi informasi dan pengetahuan
tentang IGO, fragile state, kondisi ketidaktangguhan pangan, serta konsep
dan teori yang digunakan untuk mengkaji masalah tersebut
1.5 Kajian Pustaka
Anita Anggeriani (2013) dalam skripsinya yang berjudul Peran World
Food Programme (WFP) dalam Menangani Krisis Pangan di Somalia Tahun
2007-2009 memaparkan tentang terjadinya krisis pangan di Somalia
diakibatkan oleh kemarau panjang, tanah yang tandus, sumber daya alam yang
terbatas, dan cara-cara berproduksi masyarakatnya yang masih dilakukan
secara tradisional. Kesemua komponen diatas menyebabkan perekonomian
negara ini sulit berkembang. Meningkatnya harga pangan dunia
mempengaruhi kenaikan harga pangan di Somalia secara signifikan, namun
pendapatan masyarakat Somalia yang tidak meningkat, membuat pangan
menjadi komoditas yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Tahun 2007,
tingkat kelaparan mencapai 80 persen, serta 30 persen anak-anak menderita
gizi buruk. Untuk dapat bertahan hidup, masyarakatnya harus memakan
rumput dan daun-daun tanaman. Konflik atau perang saudara disebabkan oleh
perebutan sumber air, hewan ternak maupun perebutan lahan.
Keterlibatan WFP di Somalia bertujuan memberikan bantuan
kemanusiaan dalam kondisi darurat, serta penyelamatan dengan reaksi yang
cepat. Program-program yang dijalankan WFP di Somalia tahun 2007 hingga
2009 adalah Maternal and Child Health Programs and Nutrition (MCHN)
yang bertujuan untuk mencegah kekuarangan gizi yang akut dan kronis pada
anak-anak dibawah usia 2 tahun Program lainnya adalah Target Supplemtary
Feeding Programme (TSFP) yang bertujuan unutk mengobati malnutrisi
anak-anak di bawah 5 tahun, wanita hamil, dan menyusui. Program lainnya
adalah Blanket Supplementary Feeding Programmen (BSFP) yang
menargetkan masyarakat pengungsi yang mengalami masalah malnutrisi.
Program yang terakhir adalah School Feeding yang memberikan makanan
bagi anak-anak yang bersekolah. Selain program pemberian makanan dan
pemulihan gizi, WFP juga membantu membuat dan memperbaiki daerah
tangkapan air, jalan, bendungan, saluran irigasi dan konservasi terhadap lahan
yang rusak.
Peran WFP di Somalia adalah sebagai arena atau tempat diskusi
pemerintah untuk bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi krisis pangan
yang yang berkepanjangan. Selain itu, pemerintah Somalia menggunakan
WFP sebagai instrumen untuk mengatasi krisis pangan melalui program-
program yang telah disebutkan diatas. Dalam tulisannya Anggeriani.
menemukan ada berbagai kendala yang dihadapi WFP dalam menjalankan
program-programnya bersama pemerintah Somalia. Kendala yang pertama
adalah kondisi tanah yang tandus dan berpasir menyebabkan wilayah ini sulit
ditanami tanaman pangan. Adanya blokade tentara Islam Al Shabaab,
perompak dan bajak laut menyebabkan tersendatnya bantuan kemanusiaan ke
tangan masyarakat. Selain itu Somalia memiliki pemerintahan yang tidak
efektif sehingga menyulitkan proses rehabilitasi mayarakat di Somalia secara
cepat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Persamaan dari tulisan Anggeriani (2013) dengan tulisan yang penulis
buat adalah sama-sama menggunakan WFP sebagi unit analisis. Serta lingkup
kerja WFP di daerah konflik yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan
kerawanan pangan. Namun yang membedakan tulisan ini dengan penelitian
Anggeriani (2013) adalah tulisan ini membahas mengenai upaya WFP dalam
mengimplementasikan program-programnya di Sierra Leone paska perang
sipil. Implemenatsi program-program WFP dilakukan melalui kerjasama yang
dengan pemerintahan Sierra Leone termasuk pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya manusia yang potensial, disamping perbaikan perilaku
pemerintah dan masyarakat guna mendukung pengentasan kondisi kerawanan
pangan yang terjadi di negara ini. Kondisi lingkungan di Sierra Leone juga
berbeda dengan kondisi lingkungan di Somalia, dimana Sierra Leone adalah
wilayah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah serta diberkahi
sumber mineral yaitu berlian, sedangkan Somalia adalah kondisi wilayahnya
tandus, memiliki sumber daya alam yang terbatas sehingga penanganan krisis
pangan yang dilakukan WFP di kedua negara ini menjadi berbeda.
Tulisan kedua berjudul Peran UN World Programme (WFP) Dalam
Menangani Krisis Pangan di Indonesia 1998-2007 oleh Amelia Novrida
(2009). Tulisan ini memaparkan tentang pengaruh krisis finansial tahun 1998
terhadap kenaikan harga pangan yang mencapai 32,13 persen. Tingginya
tingkat inflasi mengakibatkan krisis pangan, disertai dengan kelangkaan stok
pangan dan melambungnya harga. Hal ini menyulut berbagai gejolak dan
keresahan sosial. Krisis pangan di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu
krisis pangan secara berkala dan kronis.
Krisis pangan yang terjadi di Indonesia juga merupakan dampak
kebijakan pemerintah mengenai hasil pangan. Masyarakat Indonesia tidak lagi
memiliki kedaulatan pangan, yaitu kekuatan untuk mengatur produksi,
distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Padahal Indonesia adalah negara
agraris yang memiliki banyak tanah subur yang cocok untuk kegiatan
pertanian serta sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian.
Indonesia tergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir
perusahaan multinasional. Hal ini terjadi karena sejumlah kesepakatan antara
pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia, International Monetary
Programme (IMF) dan World Trade Organisation (WTO) yang memaksa
pemerintah Indonesia mencabut subsidi bagi publik dan menyerahkan urusan
pangan ke pasar. Dalam mengurangi dampak dari krisis pangan ini, badan-
badan dan organisasi-organisasi dunia memberikan bantuan, salah satunya
adalah WFP.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Novrida (2009) dengan
tulisan ini adalah sama-sama menggunakan WFP sebagai unit analisis, namun
kondisi masyarakat di Indonesia berbeda dengan di Sierra Leone. Masyarakat
Indonesia menghadapi krisis pangan sebagai dampak dari krisis finansial yang
melanda pada tahun 1998 namun infrastruktur serta hukum di Indonesia masih
dalam kondisi baik. Pemerintahan Indonesia juga ada dalam keadaan yang
tidak stabil sedangkan kondisi masyarakat di Sierra Leone ada dalam keadaan
paska perang sipil sehingga terjadi berbagai kerusakan termasuk kerusakan
infrastruktur, kekacauan sosial, pemerintahan yang tidak efektif, aturan
hukum yang lemah, yang mengakibatkan kondisi kerawanan pngan menjadi
kronis.
Penelitian yang dilakukan Novrida membahas mengenai peran WFP
dalam menangani krisis pangan di Indonesia yaitu sebagai arena dan
instrumen Sebagai arena, WFP digunakan pemerintah Indonesia untuk
mendiskusikan mengenai permasalahan krisis pangan yang direalisasikan
dengan pertemuan tahunan badan eksekutif WFP yang salah satunya diadakan
di Roma, Italia pada 4 hingga 8 Juni 2007. Pertemuan ini menghasilkan
persetujuan Protracted Relief and Recovery Operation PRRO No. 10069.2.
Kemudian WFP sebagai instumen, direalisasikan dengan memberikan
bantuannya ke Indonesia yang berasal dari sumbangan para pendonor, baik
dari negara-negara anggota WFP, diluar anggota WFP, perusahaan, NGO,
maupun individu. Peran tersebut secara nyata terlihat dalam kegiatan yang
menyalurkan berbagai kebutuhan pangan dan logistik, serta mengadakan food
for work dan food for education. Berbeda dengan apa yang diteliti oleh
Novrida (2009), dalam penelitian ini penulis tidak melihat peran WFP, namun
lebih pada upaya organisasi ini untuk mengimplementasikan program-
programnya di Sierra Leone, setelah negara ini dilanda perang sipil.
Tulisan yang ketiga berjudul Peran Food and Agriculture
Organization dalam Membantu Krisis Pangan di Afganistan tahun 2007
hingga 2011 oleh Ruli Prastio dan Drs. Idjang Tjarsono, M.Si (2014). Tulisan
ini memaparkan bahwa krisis yang dihadapi oleh Afganistan terjadi karena
invasi tentara Amerika Serikat dan sekutunya melalui North Atlantic Treaty
Organisation (NATO) pada tahun 2001 hingga saat ini. Invasi yang bertujuan
memerangi kelompok pemberontak Taliban ini mengganggu stabilitas politik
dan ekonomi Afganistan. Penyebab lain krisis pangan adalah perubahan alam
yang menyebabkan lahan kering dan banjir sehingga banyak petani yang
mengalami gagal panen. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap pergerakan
produksi pangan dan kegiatan ekspor impor. Krisis pangan yang terjadi telah
mengancam lebih dari 1 juta anak dan menelan korban sebanyak 40 ribu
orang meninggal setiap tahun. Krisis pangan ini diperparah dengan
peningkatan populasi penduduk yang bertambah hingga dua persen pada
tahun 2008, dan sebagian besar tinggal di daerah pedesaan yang mempunyai
pengaruh terhadap produksi agrikultur dari GDP Afganistan yang berada di
bawah 40 persen.
FAO sebagai badan yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
melakukan tindakan membantu krisis pangan di Afganistan. Salah satu
program yang dilaksanakan adalah membut Technical Cooperation Project
senilai US$500.000, serta mengajak negara-negara maju untuk membantu
krisis pangan di Afganistan. Diantaranya adalah Amerika Serikat melalui
USAID memberikan bantuan dana senilai 3 juta dolar, pemerintah Belanda
memberikan sumbangan 9138 bibit gandum dan pupuk urea kepada 18.276
keluarga petani yang ada di Afganistan. FAO berkoordinasi dengan
pemerintah Afganistan yaitu Ministry Agriculture and Livestock untuk
melakukan serangkaian program perbaikan pertanian.
Perbedaan tulisan ini dengan tulisan Ruli Prastio dan Drs.Idjang
Tjarsono, Msi, adalah berbeda dari segi lembaga pemberi bantuan, yaitu di
Afganistan, lembaga pemberian bantuannya adalah FAO, sedangkan di Sierra
Leone adalah WFP. Perbedaan lembaga membuat adanya perbedaan program
yang dijalankan. Yaitu FAO menjalankan program Technical Cooperation
Project yang lebih kepada bantuan sistem pertanian, perikanan dan kehutanan
sebagai sumber mata pencaharian penduduk Afganistan. WFP menjalan
program Protacted Relief and Recovery Operation (PRRO) dan Country
Programme(CP) yang berfokus pada penyediaan sumber pangan bagi
masyarakat-masyarakat yang menghadapi kondisi rawan pangan. Selain itu,
tulisan Ruli Prastio dan Drs. Idjang Tjarsono, M.Si lebih kepada peran
organisasi internasional, sedangkan tulisan ini menjelaskan mengenai upaya
organisasi internasional dalam mengimplementasikan program-programnya.
1.6 Kerangka Konseptual dan Teoritis
A. Organisasi Internasional
Organisasi internasional lebih berfokus kepada permasalahan negara
yang dilihat dari perspektif politik. Dalam proses ini negara-negara anggota
berusaha, melalui tindakan-tindakan kolektif dan percobaan diplomatik,
mempermudah transaksi diantara mereka (Jones, 1993). Dari perspektif
hukum internasional, yang memiliki kedaulatan adalah negara. Negara
mempunyai power sedangkan, lembaga dan individu tidak memiliki kekuatan
apapun. Seiring berjalannya waktu, organisasi internasional dipahami sebagai
organisasi berasaskan antar-pemerintah yang berlawanan dengan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan juga perusahaan yang dibentuk dalam
persetujuan antara negara-negara bukan dari individu swasta (Barkin, 2006).
Menurut Teuku May Rudy, dalam bukunya Administrasi dan
Organisasi Internasional (2005) menegaskan bahwa organisasi internasional
adalah pola kajian kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan
didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap, serta diharapkan dan
diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara
berkesinambungan guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang
diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan
pemerintah, maupun sesama kelompok non pemerintah pada negara yang
berbeda.. Menurut Sumaryo Suryokusumo dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Hukum Organisasi Internasional (1991) mendefinisikan organisasi
internasional adalah suatu proses, organisasi internasional juga menyangkut
aspek-aspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada
waktu tertentu. Organisasi internasional juga diperlukan dalam bentuk
kerjasama untuk menyesuaikan dan mencari solusi yang bertujuan
menentukan kesejahteraan semua pihak yang diajak berkerjasama,
memecahkan persoalan bersama serta mengurangi pertikaian yang timbul.
Clive Archer (Archer: 2010) dalam bukunya International
Organisation, mendefinisikan organisasi internasional sebagai:
” as a formal, continous structure established by aggreement between members (governmental and/or non-governmental) from two or more sovereign states with the aim of pursuing the common interest of the membership.”
Archer menyatakan bahwa organisasi internasional adalah sebuah
struktur internasional yang berkesinambungan, yang perjanjiannya didasarkan
pada perjanjian antar anggota-anggotanya dari dua atau lebih negara
berdaulat, untuk mencapai tujuan bersama dari para anggotanya. Kerja
organisasi internasional melintasi batas nasional yang menggambarkan
cakupan, jangkauan, wilayah kerja serta asal-usul kewarganegaraan atau
kebangsaan dari pihak-pihak yang tergabung dalam organisasi. Melalui
organisasi internasional, kerjasama akan terjalin dengan lebih mudah diantara
para anggotanya baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya
(Plano dan Olton, 1979)
Organisasi internasional terbagi jadi dua tipe yaitu International
Organizations (IGO) dan International Non-Govermental Organisations
(INGO). IGO anggotanya terdiri dari pemerintah yang mewakili negara secara
resmi. IGO didirikan oleh beberapa negara untuk mencapai tujuan bersama,
dengan ciri-ciri dibentuk oleh dua negara atau lebih, bersidang secara teratur,
mempunyai sifat yang tetap dan keanggotaannya sukarela. Interaksi yang
dilakukan IGO tidak memperhatikan batas-batas wilayah negara. Beberapa
alasan negara bergabung dengan IGO adalah ingin memperbesar kekuasaan
mereka dan ada kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dipenuhi oleh
negara tersebut sehingga memerlukan bantuan organisasi internasional.
Contoh IGO adalah PPP, ASEAN, NATO, APEC, OPEC dan lain-lain,
Sedangkan INGO berfokus pada masalah non-kenegaraan yang
bergerak secara global. INGO dibentuk untuk memberikan pelayanan di
bidangnya tanpa memandang batas wilayah negara. INGO tidak mewakili diri
atas nama negara. Anggota INGO terdiri dari aktor-aktor non-negara dari
seluruh dunia yang bergerak di bidang kebudayaan, sosial, keagamaan, dan
sebagainya. Perbedaan antara IGO dan INGO ada pada keanggotaan
organisasi, mitra kerjasama, serta ruang lingkup kegiatan organisasinya.
Ada dua kategori dalam IGO berdasarkan keanggotaan dan tujuan
yaitu (Pease, 2000):
1. Organisasi yang keanggotaanya dan tujuannya umum (general
membership and general purpose), contohnya seperti PBB, biasanya
mempunyai ruang lingkup yang global dan melakukan berbagai fungsi
kemanan, kerjasama ekonomi, sosial, dan hak asasi manusia.
2. Organisasi yang keanggotaanya umum dan tujuannya biasanya terbatas
(general membership and limited purpose) dikenal dengan organisasi
fungsional yang bergerak pada suatu bidang yang spesifik, seperti World
Health Organization (WHO), United Nations Development Program
(UNDP), dan lain-lain.
3. Organisasi yang bertujuan umum dan terbatas dalam keanggotaanya
(limited membership and general purpose). Organisasi seperti ini biasanya
regional berfungsi untuk bertanggung jawab dalam keamanan misalnya
Association of South East Asian Nations (ASEAN).
4. Organisasi yang keanggotaanya terbatas dan juga tujuannya organisasi
tersebut terbatas juga (limited membership and limited purpose). Dibagi
atas organisasi sosial, militer, pertahanan, ekonomi. Misalnya North
Atlantic Treaty Organization (NATO), dan North American Free Trade
Agreement (NAFTA).
WFP termasuk dalam organisasi internasional, yang
keanggotaanya umum dan tujuannya terbatas (general membership and
limited purpose). Sedangkan menurut aktivitas yang dilakukan, organisasi
internasional dapat diklasifikasikan menjadi high politics dan low politics
High politics mencakup bidang diplomatik, bidang militer yang berkaitan
dengan security (keamanan) dan sovereignity (kedaulatan). Sedangkan low
politics mencakup kegiatan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan
teknik, yang didalam lingkup ini masih terdapat tiga bidang, yaitu
(Rossenau dan Thompson, 1976):
1. Bidang manajemen dan pembangunan misalnya World Bank (Bank
dunia), UNDP dan IMF
2. Bidang konflik dan fungsional, seperti International Civil Aviation
Organisation (ICAO), International Telecommunication Unian (ITU),
dan lain-lain.
3. Bidang sosial dan kultural, seperti International Labor Organisation
(ILO), WHO, WFP dan lain-lain.
Menurut Le Roy Bennet dalam Novrida (2009), organisasi
internasional mempunyai dua fungsi utama yakni kerjasama antara negara
dalam daerah-daerah yang mana bekerjasama menyediakan keuntungan
untuk sebagian besar negara. Fungsi lainnya adalah sebagai sarana
komunikasi antara pemerintah sehingga wilayah yang mengalami
permasalahan dapat dieksplorasi serta tersedianya kemudahan akses untuk
menangani permasalahan tersebut. Konsep dasar dari organisasi
internasional adalah untuk berkerjasama dan mengatur regulasi. Salah satu
bentuk kerjasama itu disebut dengan kerjasama sosial, seperti kerjasama
yang dilakukan oleh WFP dengan berbagai negara di dunia khususnya
yang mengalami masalah rawan pangan.
Organisasi internasional, dalam pemikiran liberalis, adalah aktor
independen yang lebih dari sekedar forum yang negara-negara didalamnya
bekerjasama dan berkompetisi. Staf dalam organisasi internasional bisa
memiliki power dalam agenda setting maupun menyediakan informasi
yang bisa mempengaruhi bagaimana negara-negara menentukan
kepentingannya. Dalam perspektif liberalis, negara adalah entitas yang
terfragmentasi yang didalamnya terdapat benturan antara kepentingan,
tawar menawar dan kebutuhan untuk mencapai kompromi membuat
proses pembuatan keputusan tidak selamanya rasional. Liberalis menolak
pengelompokan antara high politics versus low politics yang dikemukakan
realis, dan menegaskan bahwa masalah sosial ekonomi sama pentingnya
dengan masalah militer. Masalah sosial ekonomi termasuk didalamnya
adalah kondisi rawan pangan. Liberalis melihat perlunya kerjasama dalam
menangani krisis pangan ini. Dalam kasus kondisi rawan pangan di Sierra
Leone, liberalis merekomendasikan pemberian bantuan serta melakukan
perdagangan.
WFP memiliki misi memberikan bantuan pangan secara langsung
pada masyarakat Sierra Leone. Bantuan lainnya yang diberikan WFP
untuk pemerintah Sierra Leone adalah mengadakan survei, melakukan
analisis serta merancang program-program bantuan pangan sesuai dengan
kondisi yang dihadapi oleh wilayah-wilayah yang terkena dampak buruk
perang sipil. WFP juga melakukan kerjasama dengan instansi sejenis
seperti UNICEF, WHO, FAO, UNAIDS, Catholic Relief Service,
Cooperazione International, serta relasi-relasi NGO sehingga program
yang dilaksanakan menyentuh berbagai segmen masyarakat dan segala
mengatasi permasalahan dari berbagai sisi dan penyebab.
B. Fragile state (negara rapuh)
Fragile state (negara rapuh) adalah negara yang rentan terhadap
tekanan konflik, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks ekonomi,
kerentanan negara umumnya terlihat dari berlangsungnya stagnasi yang
berkepanjangan dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah serta adanya
gap yang signifikan diantara elit dan rakyat yang menyangkut kesejahteraan,
kekayaan, kepemilikan tanah, dan akses terhadap faktor-faktor produksi.
Dalam konteks politik, institusi negara cenderung mendorong koalisi
kekuasaan yang berdasarkan etnis, agama maupun kedaerahan (Chairil: 2010).
Fragile state dijelaskan sebagai kegagalan mendasar dari sebuah
negara untuk menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan
harapan warga negaranya. Dalam laporan Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) yang berjudul Fragile States 2013:
Resource Flows and Trends in a Shifting World menyebutkan bahwa fragile
state adalah negara yang pemerintahannya memiliki kapasitas lemah untuk
menjalankan fungsinya, lemah dalam membangun hubungan timbal balik
yang saling mendukung dengan masyarakatnya. Fragile state juga lebih
rentan terhadap goncangan dari dalam maupun luar negeri, seperti krisis
ekonomi maupun bencana alam. Dari segi pertumbuhan ekonomi, sebagian
besar dari fragile state tidak mengalami peningkatan ekonomi, walaupun ada
fragile state yang secara statistik ekonominya mengalami peningkatan, namun
sebagian besar masyarakatnya hidup dengan kemiskinan yang akut.
Menurut Brinkman dan Hendrix (2011) fragile state dijelaskan sebagai
negara yang sangat rentan terhadap harga pangan yang tinggi, karena negara
tersebut sangat tergantung pada impor dan rumah tangga masyarakatnya
menghabiskan sebagian pendapatannya untuk membeli makan.
Ketergantungan fragile state terhadap impor akan meningkat dari waktu ke
waktu, terutama impor makanan, yang jumlahnya lebih tinggi dari negara
berkembang lainnya, yang meningkatkan kerentanan negara tersebut terhadap
harga pangan dunia. Fragile state memiliki kapasitas, implementasi serta
pemantauan yang lemah terhadap kebijakan serta program-program
pembangunan.
Fragile state yang berada dalam tekanan konflik memiliki infrastruktur
yang buruk, seperti fasilitas jalan yang buruk, kondisi pasar dimana hanya
terdapat sedikit penjual dan pembeli, serta sistem transportasi yang kurang
memadai. Negara ini juga mengimpor pangan dalam jumlah besar, memiliki
kesadaran yang rendah untuk menstabilisasi harga dan mengurangi akibat dari
kenaikan harga barang yang tinggi bagi masyarakat yang terkena dampak
kenaikan harga. Konflik yang berkepanjangan berkontribusi pada kenaikan
harga yang terjadi secara terus menerus serta kerawanan pangan, dan hal ini
akan berlajut terus seperti lingkaran setan (vicious cycle) (WFP, 2011).
Setelah Forum Tingkat Tinggi diadakan atas kerjasama UNEP, World
Bank (Bank Dunia, EC dan OECD-DAC di London tahun 2005, komunitas
internasional mulai menggunakan istilah fragile state ysng merujuk pada
negara-negara yang tidak stabil dan terkena dampak konflik. Negara-negara
yang diidentifikasi sebagai fragile state adalah negara-negara yang memiliki
pemerintahan yang lemah, serta mengalami konflik secara tiba-tiba. Pada
masa transisi paska konflik, negara-negara ini akan menghadapi
ketidakstabilan sosial, lemahnya ketertiban umum, kesenjangan yang jauh
diantara kelompok-kelompok sosial, korupsi politik yang semakin meluas,
keruntuhan aturan hukum, adanya stagnasi dalam investasi dimana para
investor tidak berminat untuk menanamkan modalnya, dan sumber daya alam
yang semakin menipis akibat pengelolaan yang tidak baik.
Adapun indikator-indikator yang diterbitkan oleh OECD tahun 2012
untuk menganalisis fragile states yaitu pendapatan perkapita masyarakat
(GDP) yang lebih rendah dibandingkan negara yang bukan fragile state. Dari
sisi Indeks Pembangunan Manusia (HDI) terlihat dari rendahnya angka anak
masuk sekolah, kemiskinan yang lebih dari setengah jumlah populasi, serta
angka kematian bayi yang tinggi, sehingga tidak satupun fragile state
mencapai tujuan, bahkan hanya salah satu komponen dari Tujuan
Pembangunan Millenium (MDGs). Selanjutnya, fragile state rentan terhadap
terjadinya konflik yang disebabkan oleh masalah kemiskinan dan perebutan
sumber daya
C. Food Insecurity (Kondisi Rawan Pangan atau Ketidaktangguhan Pangan)
Pangan adalah kebutuhan manusia yang sangat penting. Sesuai dengan
nalurinya, manusia akan melakukan apa saja untuk memperoleh pangan yang
cukup bagi eksistensi hidupnya. Harianto (1997) mengungkapkan bahwa
pangan adalah makanan yang cukup, aman, bergizi yang diperlukan untuk
menjaga eksistensi dan kesejahteraan hidup suatu warga negara. Terlebih jauh
lagi, kecukupan pangan sangat penting untuk daya saing dan efisiensi
perekonomian nasional.
Kondisi rawan pangan atau ketidaktangguhan pangan merupakan
kebalikan dari food security (ketangguhan pangan). Sehingga penting untuk
dijelaskan terlebih dahulu mengenai definisi serta indikator-indikator food
security, sehingga kondisi yang berkebalikan dengan definisi dan indikator
dari ketidaktangguhan pangan dapat dikatakan sebagai kondisi rawan pangan
atau ketidaktangguhan pangan. Sejak adanya Conference of Food And
Agriculture definisi dan paradigma ketidaktangguhan pangan terus mengalami
perkembangan, konsep dasar dari ketidaktangguhan pangan adalah “secure,
adequate and suitable of food for everyone”. Definisi ketidaktangguhan
pangan sangat bervariasi, namun umumnya mengacu pada definisi Bank
Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua
orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat”.
Terdapat tiga indikator mengenai ketidaktangguhan pangan menurut
FAO (2000), sehingga jika ketiga indikator ini tidak dapat dipenuhi, maka
suatu negara dapat dikatakan mengalami ketidaktangguhan pangan atau rawan
pangan. Tiga indikator tersenbut adalah:
1. Food Availability, yaitu ketersediaan pangan yang cukup aman dan bergizi
untuk semua orang dalam satu negara baik yang berasal dari produksi
sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ini harus
didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan
yang aktif dan sehat
2. Food entitlement, yang merupakan kemampuan semua rumah tangga dan
individu dengan sumber daya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan
yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi
pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses
rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.
Akses ekonomi tergantung dari pendapatan, kesempatan kerja dan harga.
Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana
distribusi), sedangkan akses sosialnya menyangkut preferensi pangan
3. Food utilization, adalah penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat
yang menjadi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan.
Efektifitas dari penyerapan makanan tergantung pada rumah tangga atau
individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan,
serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita
Sehingga kondisi rawan pangan atau ketidaktangguhan pangan dapat diartikan
sebagai:
“Suatu kondisi ketika orang terancam atau menderita karena
kekurangan pangan yang disebabkan oleh tidak tersedianya pangan,
tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan pangan dan
penggunaan pangan yang tidak tepat.” (Simatupang & Stoltz, 2001)
Sedangkan menurut FAO, terdapat dua tipe ketidaktangguhan pangan
yaitu:
1. Chronic food security: yaitu terjadinya kondisi rawan pangan atau
ketidaktangguhan pangan secara terus menerus berlangsung sangat lama.
Ketidaktangguhan pangan ini ditunjukkan dengan adanya kelaparan dan
malnutrisi. Penyebab dari ketangguhan pangan ini adalah karena
produktivitas yang rendah dalam sektor pertanian, curah hujan yang
rendah, kurangnya air untuk produksi pertanian dan peternakan,
kurangnya tenaga kerja dalam sektor pertanian sehingga menyebabkan
rendahnya dan ketidakpastian pendapatan penduduk desa dan dan kota
dan akhirnya timbul kemiskinan yang erat kaitannya dengan
ketidaktangguhan pangan.
2. Transitory food security, yaitu peristiwa rawan pangan atau
ketidaktangguhan pangan yang berlangsung secara sementara. Hal ini
dapat menyebabkan wabah penyakit dan kelaparan. Penyebab dari
ketidaktangguhan pangan ini disebabkan oleh krisis ekonomi, bencana
alam, dan perang.
D. Humantiarian Aid (Bantuan Kemanusiaan)
Bantuan kemanusiaan pada umumnya merupakan sebagai aksi dan
bahan untuk meyelamatkan kehidupan, mengurangi adanya penderitaan dan
juga melindungi martabat manusia selama dan setelah krisis, kemanusiaan dan
bencana alam, sebagaimana pula untuk mencegah dan mempersiapkan
penanggulangan untuk situasi serupa pada masa mendatang (Organization for
Economic Cooperation and Development, 2012) yang membedakannya
dengan bantuan kemanusiaan asing adalah bahwa bantuan ini harus dipandu
oleh prinsip-prinsip sebagai berikut:
Kemanusiaan – menyelamatkan hidup manusia dan
mengurangi penderitaan
Impartialitas – bertindak murni berdasarkan atas kebutuhan,
tanpa adanya diskriminasi pada populasi yang terkena bencana
Ketidakberpihakan/objektif – bertindak kemanusiaan tanpa
membela salah satu pihak dalam sebuah konflik
Kemandirian – otonomi dan kemerdekaan kemanusiaan dari
sudut pandang politik, ekonomi, militer ataupun sudut pandang
lainnya yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
tindakan kemanusiaan pada suatu daerah.
Apakah itu bantuan kemanusiaan?, konflik berakibat fatal pada warga
sipil baik secara langsung maupun tidak langsung melalui ‘kedaruratan
kompleks’ yang disebabkan oleh konflik. Pada daerah konflik, ada tujuan
utama adalah mencegah jatuhnya korban jiwa dan memastikn akses dasar
kehidupan yaitu air, sanitasi, makanan, tempat tinggal dan pelayanan
kesehatan. Jauh dari konflik, prioritasnya berubah menjadi menolong
kelompok yang terusir secara paksa, mencegah meluasnya konflik,
mendorong dilakukannya pemulihan dan rehabilitasi warga sipil.
Tantangan terberat dalam bantuan kemanusiaan adalah efisiensi,
efektivitas, dan permasalahan politik, ekonomi, social. Sudah semakin jelas
bahwa bantuan semacam ini bukannya obat mujarab yang langsung
menyembuhkan segala luka. Meskipun digerakkan dari luar, bantuan
kemanusiaan dan pembangunan tidak dapat menghindari kemungkinan akan
terlibat dalam konflik dan masyarakat tempat mereka beroprasi.
Permasalahan yang ada dalam bantuan kemanusiaan:
1. Efisiensi dan Efektivitas
Sebuah oprasi badan kemanusiaan yang efektif dan tepat waktu
dapat menyelamatkan ribuan jiwa. Namun hal ini juga sulit
dicapai. Daerah konflik dengan infrastruktur yang buruk/rusak
akan menyulitkan badan kemanusiaan untuk emberikan
bantuan. Sebagai akibatnya, bantuan mungkin hanya akan
mencapai area-area yang terjangkau, sedangkan daerah
terpencil akan terabaikan.
Semakin banyaknya jumlah lembaga kemanusiaan, kesukitan
memperoleh data akurat, dan ketidakpastiaan krisis
menyebabkan sulitnya koordinasi pemberian bantuan. Untuk
menyelesaikan masalah ini diperlukan diskusi, pertemuan dan
tukar pendapat mengenai manajemen dan koordinasi yang baik
agar tidak saling tumpang tindih.
2. Dilema Politik
Alibi kemanusiaan didefinisikan sebagai penyalahgunaan
ide kemanusiaan dan pekerja kemanusiaan oleh pemerintah
yang hanya ingin memberikan seminimal mungkin pada
daerah yang tidak menjanjikan secara ekonomi seperti
Afrika sub-Saharan. Bantuan kemanusiaan memberikan
pencitraan bahwa komunitas internasional setidaknya tidak
berpangku tangan saja, namun intervensi kemanusiaan
pada ketiadaan solusi politik tidak menyelesaikan
permalsahan apapun.
Bantuan kemanusiaan memastikan bahwa kelompok non-
militan diberikan makan, tempat tinggal, dan sehat, tetapi
tidak mengeliminasi kekerasan disekitar mereka. Lebih
parahnya, penyediaan bantuan kemanusiaan dapat
memberikan mereka harapan palsu akan keamanan dan
perlindungan dari komunitas internasional, dengan
konsekuensi tragis. Bantusn kemanusiaan bahkan dapat
memperpanjang konflik, mengecilkan arti sebenarnya
dalam menyelamatkan jiwa.
Kegiatan bantuan kemanusiaan internasional sudah berkembang cukuo
pesat selama 60 tahun terakhir, baik dalam jumlah badan pendonor, pekerja
kemanusiaan, maupun jumlah nominal dana yang dikucurkan bagi negara-
negara penerima untuk penanganan gawat darurat, rehabilitasi dan
pembangunan. Pemberian bantuan yang efektif dan berkesinambungan di
dalam lingkup kerja yang dinamis dan senantiasa berubah-ubah sepanjang
waktu memberikan sebuah tantangan bagi kolaborasi dan komunikasi efektif
di antara para pemegang kebijakan. Meskipun sejauh ini pencapaian badan
kemanusiaan cukup impresif, masih dirasa ada kebutuhan dari pihak
pendonor, pemerintah, pekerja kemanusiaan, dan public untuk membangun
sebuah kesepahaman yang lebih jelas mengenai lingkup peran masing-masing
mengenai siapa yang melakukan apa, kapan, dimana dan bagaimana.
Efektivitas dan berkesinambungan pemberian bantuan kemanusiaan
bukanlah mimpi belaka dan hasil yang memuaskan sesuai dengan cost-
effective dalam jangka pendek dan panjang pun dapat dicapai, sebagaimana
dibuktikan dengan sukses yang dicapai oleh berbagai misi kemanusiaan saat
ini. Kunci keberhasilan ini berada pada pemahanan bahwa bantuan
kemanusiaan tidak memiliki titik akhir, namun merupakan sebuah proses
berkelanjutan dengan pelajaran yang dapat dipetik dari setiap kesalahan yang
pernah dilakukan pada misi-misi sebelumnya.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif kualitatif.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, terkait fakta-fakta, sifat-sifat
serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian ini adalah
penelitian sekunder, dengan menjelaskan upaya implementasi program-
program dari World Food Program (WFP) dalam menangani
ketidaktangguhan pangan di Sierra Leone. Kemudian penulis mencoba
menjelaskan dan memaparkan apakah program-program bisa dijalankan
dengan baik atau justru mendapat banyak tantangan
1.7.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan pada sebuah negara di Afrika Barat, yang
berada di pesisir Samudra Atlantik yaitu Sierra Leone. Penelitian ini melihat
bagaimana upaya implementasi program-program WFP dalam mengatasi
ketidaktangguhan pangan di Sierra Leone. Jangka waktu dalam penelitian ini
adalah dari tahun 2005 hingga 2013. Paska perang sipil, di Sierra Leone
tahun 2002 terjadi banyak kekacauan, baik dari segi infrastruktur fisik,
pemerintahan, kondisi sosial, hingga proses sensus penduduk. Hingga pada
tahun 2005, proses sensus penduduk mulai terencana dengan baik, sehingga
lembaga-lembaga bantuan luar negeri salah satunya WFP dapat dengan
mudah mengumpulkan data yang berguna untuk analisis lembaga tersebut
terkait informasi kondisi penduduk Sierra Leone, sehingga sasaran dan
jangkauan program-program WFP dapat terlaksana dengan baik.
1.7.3 Sumber data
Sumber data yang penulis gunakan yaitu berupa data yang
dikumpulkan melalui studi kepustakaan, berupa dokumen-dokumen
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yaitu buku-buku, laporan
tahun dari WFP, laporan tahunan dari lembaga-lembaga kementerian yang
bekerjasama dengan WFP, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang berasal dari
medis internet yang berhubungan dengan implementasi program-program
WFP di Sierra Leone.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data disini penulis menggunakan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data
yang terkait dengan penelitian dan memilah semua informasi-informasi yang
didapat penulis melalui sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan,
seperti melalui referensi atau literatur buku, jurnal, media internet dan surat
kabar.
1.7.5 Unit Analisa
Unit analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah World Food
Programme (WFP). Penulis akan melihat dan menganalisa fenomena yang
terjadi sehubungan dengan implementasi program-program WFP di Sierra
Leone dengan menjelaskan permasalahannya berdasarkan fakta ysng
sebenarnya, dimana fakta tersebut nantinya akan digunakan untuk
menghubungkan fakta-fakta lainnya, sehingga akhirnya dapat ditarik
kesimpulan.
1.8 Sistematika Penulisan
Rencana dalam penulisan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN, menguraikan dan menjelaskan latar belakang,
rumusan permasalahan dari penelitian ini yang menjelaskan tentang
implemetasi program-program WFP di Sierra Leone. Kemudian penulis
menguraikan tinjauan pustaka serta konsep dan teori yang penulis
gunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Serta memaparkan metode
dan sistematika penulisan.
BAB II WORLD FOOD PROGRAMME DI SIERRA LEONE,
menjelaskan mengenai gambaran umum sierra leone dan
ketidaktangguhan pangannya, organisasi Internasional World Food
Programme (WFP) secara umum, kiprah WFP sebagai organisasi yang
bergerak dalam bidang pangan serta kehadiran WFP di Sierra Leone.
BAB III UPAYA WFP DALAM MENANGANI KERAWANAN
PANGAN DI SIERRA LEONE, menjelaskan mengenai bagaimana
upaya dalam mengimplementasikan program-program WFP dalam
membantu ketidaktangguhan pangan di Sierra Leone.
BAB IV KESIMPULAN, menyimpulkan bagaimana upaya WFP dalam
menangani ketidaktangguhan pangan yang dialami oleh Sierra Leone.
Top Related