BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan industri dan perdagangan tersebut secara
tidak langsung menyebabkan dunia usaha menjadi arena persaingan
bisnis yang ketat dan selektif. Keberadaan teknologi modern yang
mampu mempersingkat jarak waktu, membuat negara-negara di dunia
seakan menjadi satu, dan dibidang perdagangan menyebabkan saling
ketergantungan serta saling mempengaruhi.
Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukan
berbagai gejala persaingan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak
simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan.
Keadaan ini sering kali bukan hanya merugikan produsen, tetapi juga
merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Disinilah merek
sebagai salah satu wujud karya intelektual memegang peranan yang
amat penting di dalam mencegah terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Merek merupakan salah satu komponen hak kekayaan
intelektual yang perlu mendapat perhatian khusus. Pelanggaran atau
perilaku menyimpang dibidang merek akan selalu terjadi. Hal ini
berkaitan dengan perilaku bisnis yang curang yang menghendaki
1
persaingan (competitive) dan berorientasi keuntungan (profit oriented),
sehingga membuka potensi aktivitas bisnis yang curang atau
melanggar hukum, dan motivasi seseorang melakukan pelanggaran
merek terutama adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan di
dalam praktek bisnisnya
Merek sebagai identitas dari suatu merek akan merujuk pada
kualitas (mutu) dan harga terhadap suatu produk barang dan atau jasa
yang telah dibentuk oleh pemiliknya.1 Sedangkan pengertian merek
dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
merek, memberikan suatu definisi tentang merek yaitu Merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Melalui merek, masyarakat sebagai konsumen akan
dengan mudah mengenali suatu produk perusahaan tertentu. Merek
biasanya dicantumkan pada barang atau pada kemasan atau bungkus
barang yang dijual atau dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang
terkait pada jasa yang dijual.
Pemasaran dari suatu produk barang dan jasa tidak terbatas
pada suatu Negara, akibatnya suatu merek produk barang dan jasa
yang berkualitas akan menjadi trend dan digemari secara umum. Hal
tersebut memberikan dampak yang negatif berupa makin banyaknya
1 Ok Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ( intellectual Property Rights), Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2004, Hal 330
2
peniruaan dan penjiplakan yang secara jelas tidak mencerminkan
perdagangan modern yang menekankan adanya suatu persaingan,
tetapi persaingan yang sehat, persaingan yang kompetitif.
Salah satu prinsip ekonomi modern adalah iklim perdagangan
dan adanya sistem persaingan yang sehat2, yaitu dalam meraih
keuntungan melalui kompetisi yang sehat bukan persaingan curang,
yang akan menyenbabkan kerugian orang lain atau perusahaan lain
yang mempunyai merek terkenal atau yang sudah mempunyai
reputasi, terhadap merek-merek produk barang dan jasa yang
berkualitas. Persoalan pemalsuan merek tersebut tidak saja
memberikan kerugian di pihak produsen pemilik merek, para
konsumen dan pemerintah ini membutuhkan suatu pengaturan yang
baik agar dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam
dunia merek.
Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan hukum di
bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya pada bidang merek
sebagai bagian dari lingkup Hak Kekayaan Intelektual (HKI),
perlindungan hukum terhadap merek tersebut sudah berlaku di
Indonesia sejak tahun 1912, yaitu pada saat penjajahan Belanda di
Indonesia sebagaimana di atur dalam Reglement Industrieele
Eigendom (RIE) Tahun 1912 yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 jo
Stb. Nomor 214.3 Reglement tersebut diganti dengan Undang-undang
2 Sri Redjeki Hartono, Hak Kekayaaan Intelektual Dalam Era Persaingan Pasar Bebas, Penerbit Undip, Agustus 2000
3 Ibid ,Hal 331
3
Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian, Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek tersebut diganti dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek.
Indonesia saat ini telah mempunyai Undang-Undang Merek
terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang
diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001 Undang-Undang merek
baru ini merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya
yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 14
Tahun 1997. Dengan undang-undang merek baru ini terciptalah
pengaturan merek dalam satu naskah (single text) sehingga lebih
memudahkan masyarakat untuk memahami dan selanjutnya untuk
dilaksanakan. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan dalam Undang-
Undang merek lama, yang substansinya tidak diubah, dituangkan
kembali dalam Undang-Undang Nomor.15 tahun 2001.4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Merek yang telah
ada sebelumnya memberikan penegasan bahwa apabila terjadi suatu
sengketa terhadap suatu merek terdaftar maka gugatan pembatalan
pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga.
4 Ardian Sutedi, Hak atas Kekayaan Intelektual.,Jakarta, Sinar Grafika, 2009.Hal 91
4
Pada kasus sengketa merek antara PT. DUA KELINCI dan
PT.GARUDA FOOD yang terjadi pada bulan juni 2007. Kedua
perusahaan makanan itu memperebutkan nama “KATOM” sebagai
merek produk kacang atom yang diproduksi kedua perusahaan itu. PT.
GARUDA FOOD yang merasa didahului PT. DUA KELINCI untuk
mendaftarkan merek itu ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Ditjen HaKI), menggugat PT. DUA KELINCI di Pengadilan
Niaga Semarang .
PT. GARUDA FOOD baru mendaftarkan merek “KATOM” ke
Ditjen HaKI pada 30 Maret 2004. Pada proses pemeriksaan ternyata
ditemukan merek yang sama yang telah didaftarkan terlebih dahulu
oleh PT. DUA KELINCI pada tanggal 16 Maret 2004. Sertifikat
pendaftaran merek “KATOM” yang dilakukan PT. DUA KELINCI itu,
dikeluarkan Dirjen HaKI pada 19 September 2005. Sebagai pemilik
sekaligus pemakai pertama dari merek KATOM itu, maka keluarnya
sertifikat pendaftaran merek atas nama Hadi Sutiono, jelas sangat
merugikan bisnis PT. GARUDA FOOD. Karena itulah PT. GARUDA
FOOD kemudian menggugat Hadi di Pengadilan Niaga Semarang.
Dalam gugatannya disebutkan, bahwa Hadi telah mendaftarkan merek
“KATOM” dengan iktikad tidak baik. Alasan dari gugatan itu karena PT.
GARUDA FOOD adalah pemilik dan pemakai pertama.5
5 http:/bhayusenoaji.wordpress.com/2008/07/13/tentang-atom di unduh tanggal 3 september 2010
5
Pada sengketa kasus di atas maka penulis ingin mengetahui
implementasi Undang-Undang No.15 Tahun 2001 atas penyelesaian
hukum terhadap sengketa pembatalan pendaftaran merek antara PT.
DUA KELINCI dan PT. GARUDAFOOD.
ALUR PIKIR PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK ANTARA PT. GARUDA FOOD DAN PT. DUA KELINCI
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
6
PERUSAHAA
N
GARUDA FOOD
&DUA
KELINCIDOMISILI PATI, JAWA
TENGAH
Merek “KATO
M” tidak dapat
didaftarkan
karena ada
pendaftar
merek yang sama yaitu DUA
KELINCI
TIMBUL NYA SENGKETA
GARUDA FOOD
ingin mendaftarkan merek “ KATOM” pada Dirjen
HKI
MEDIASI
MAKHAMAH AGUN
G
PENGADILAN NIAGA
PUTUSAN :
DUA KELINCI
Di menang
MA karena sebagai pendaft
ar pertama sesuia
UU No.15 tahun 2001
PUTUSAN
Pengadialan
Niaga Semara
ng, memenagkan
perkaran
GARUDA FOOD
GARUDA FOOD melaku
kan gugatan ke DUA KELINCI
atas Merek “KATO
M”
DUA KELINCI
& GARUDA FOOD mengad
akan mediasi
, dengan penandatangan
AKTA Perdam
aian
CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Dengan adanya putusan di atas maka DUA KELINCI mengajukan KASASI
Garuda food mengajukan
gugatan ke PN karena sebagai
pemilik dan pemakai pertama
1. Bagaimanakah terjadinya sengketa pembatalan pendaftaran
merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA PUTRI JAYA dan
PT.DUA KELINCI ?
2. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa pembatalan
pendaftaran merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA PUTRI
JAYA dan PT.DUA KELINCI ?
3. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim pada Pengadilan
Niaga Semarang pada Putusan No.05/HAKI/M/2007/PN.NIAGA
SMG menggunakan sistem deklaratif sehingga bertentangan
dengan UU No.15 tahun 2001 yang menggunakan sistem
Konstitutif ?
C. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Secara Akademis, dengan penelitian ini dapat
memperoleh data sebagai bahan penyusunan tesis
sebagai salah satu syarat penyelesaian studi tingkat S-2
pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
b. Secara Teoritis, dengan adanya penelitian ini dapat
dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk berbagai konsep
ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang
7
hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), khususnya
penyelesaian sengketa gugatan pembatalan pendaftaran
merek antara dua kelinci dan garuda food
2. Secara Praktis, dapat dipergunakan sebagai bahan masukan
yang bermanfaat untuk memberikan informasi dan pengetahuan
bagi masyarakat tentang upaya hukum yang dapat dilakukan
apabila terjadi sengketa terhadap suatu hak merek yang telah
terdaftar dalam kaitannya dengan Undang-Undang nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
D. Kerangka Pemikiran
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam hukum
menurut Gustav Radbruch6 mengemukan adanya tiga nilai
dasar terdiri dari keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.
Realita menjukan bahwa hukum tidak hanya menciptakan
keadilan dalam masyarakat dan melayani kepentingan-
kepentingannya, tetapi secara yuridis dituntut untuk
memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum dibutuhkan
oleh masyarakat untuk mengisi kekosongan hukum. Oleh
karena itu Radbruch mengatakan bahwa unsur yang paling
utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan
perundang-undangan.
6 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Suryandaru Utama. Semarang. 2005, Hal 13
8
Peraturan perundang-undangan dapat memberikan
kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu
peraturan dibuat maka menjadi pasti pulalah nilai hendak
dilindungi oleh peraturan yang dibuat. Mengacu pada teori di
atas hukum merek sebagai lembaga peraturan di bidang merek
akan mampu memberikan kepastian hukum atas karya
intelektual (merek) dengan cara mendaftarkan hak atas merek
sesuai prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.15
Tahun 2001 Tentang merek, sehingga kepada pihak-pihak yang
melanggar hak-haknya dapat dituntut.
Suatu merek selain memiliki nilai ekonomis karena
dapat mengahasilkan profit yang besar juga keberadaannya
memiliki suatu aspek hukum yaitu sehubungan adanya
kepastian hukum bagi hak atas merek. Hak Kekayaan
Intelektual itu merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh
Negara kepada seseorang atau kelompok orang, dan
merupakan perlindungan atas penemuan ciptaan di bidang seni
dan sastra ilmu pengetahuan, teknologi dan pemakain simbol
atau lambang dagang.
Di lapangan, sangat memungkinkan terjadi perbedaan
dalam melihat apa yang dimaksud dengan merek atas suatu
barang dan jasa, namun definisi ataupun terminology mengenai
merek yang banyak dikemukakan para ahli terminology dan
9
para sarjana dalam literature Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
mempunyai esensi sama yaitu suatu tanda yang digunakan
dalam kegiatan perdagangan dan jasa, menurut Etty Susilowati
merek adalah tanda yang dilekatkan pada sutu produk, berupa
gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan, warna yang
mempunyai daya pembeda dengan barang sejenis7.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang merek, memberikan suatu definisi tentang merek
yaitu Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Bila
dilihat dari batas yuridis yang telah diberikan oleh Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 15 Thaun 2001 tentang Merek tersebut,
dapat diambil unsur-unsur merek sebagai berikut :
a. adanya tanda berupa gambar atau nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
semuannya;
b. adanya daya pembeda atau ciri khas tertentu;
c. digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
Pemberian merek suatu merek bagi suatu barang dan
jasa bila di perhatikan lebih lanjut tidak hanya bermanfaat dan
berguna bagi pemilik merek atau produsen, tetapi juga bagi 7 Etty Susilowati, Hak kekayaan Intelektual,Bunga Rambai, Undip Press 2002
10
konsumen sebagai pemakai dari barang atau jasa tersebut.
Pemberian dari suatu merek bertujuan yaitu untuk :
a. menjamin kepada konsumen bahwa barang yang dibelinya
itu dari perusahaan;
b. untuk menjamin mutu barang;
c. untuk memberi nama;
d. memberi perlindungan kepada pemilik merek yang sah yang
ditiru orang lain untuk barang yang bermutu rendah.8
Merek digunakan secara sah, maksudnya didaftarkan
maka kepada pemilik merek tersebut diberi hak atas merek. Hak
atas merek tersebut penegasannya dapat ditemui pada Pasal 3
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 yang menegaskan
bahwa : ”Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar
Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan mengunakan
sendiri Merek tersebut dan memberikan izin kepada pihak lain
untuk menggunakannya”
Merek hanya dapat didaftarkan atas dasar
permohonan yang diajukan pemiliknya atau kuasanya. Dalam
pendaftaran merek saat ini dikenal 2 (dua) macam sistem
pendaftaran yaitu :
a) Sistem deklaratif (passief stelsel )
b) Sistem Konstitutif ( aktif ) atau attribut.
8 N.A. Soetijarto, Seri Hukum dagang, Hak Milik Perusahaan, Jakarta, 1998. Hal 22
11
Seperti juga Undang-Undang merek sebelumnya
yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1997, Undang-Undang Merek Nomor
15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif, yang merupakan
kebalikan dan perubahan yang mendasar dari prinsip yang
dianut sebelum pada Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun
1961 yang menganut sistem deklaratif. Sistem konstitutif
maksudnya bahwa hanya merek-merek yang terdaftar saja yang
dilindungi oleh hukum, dan juga pada sistem konstitutif ini baru
akan menimbulkan hak apabila telah didaftarkan oleh si
pemegang merek. Sedangkan pada sistem deklaratif titik berat
diletakan atas pemakai pertama, siapa yang memakai pertama
sesuatu merek dialah yang berhak menurut hukum atas merek
yang bersangkutan. Jadi pemakai pertama yang menciptakan
hak atas merek, bukan pendaftar.
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek
memberikan penegasan bahwa tidak semua merek dapat
didaftarkan. Undang-undang merek ini memberikan penegasan
yang terdapat pada Pasal 4 undang-Undang Nomor 15 tahun
2001 menyebutkan bahwa : ” Merek tidak dapat didaftarkan atas
dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad
tidak baik”. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 menegaskan bahwa :
12
“Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau kertertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda;c. telah menjadi milik umum; ataud. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang
atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Merek yang telah terdaftar juga dapat berakhir yang
disebabkan oleh berakhirnya jangka waktu dari merek tersebut
dan tidak diperpanjang lagi, penghapusan pendaftaran merek,
serta pembatalan merek.
Mengenai penghapusan merek yang telah terdaftar
pada Direktorat Jendaral HKI dari Daftar Umum Merek dapat
dilakuakan dengan dua cara :
1. Atas prakarsa Direktorat Jendaral HKI
2. Atas prakarsa sendiri yaitu berdasarkan permintaan
pemilik merek yang bersangkutan.
Hal ini seperti yang tercantum pada Pasal 61 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
menegaskan bahwa : “Penghapusan pendaftaran merek dari
Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Direktorat
Jendaral atau berdasarkan permohonan pemilik merek yang
bersangkutan”
Pembatalan merek terdaftar yang juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini dapat diajukan oleh
13
pihak yang berkepentingan atau pemilik merek terdaftar, baik
dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral HKI
maupun gugatan kepada Pengadilan Niaga. Pengaturan
mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 68 sampai dengan
72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dimungkinkan bagi pemilik merek terdaftar mempunyai hak
untuk mengajukan gugatan perdata di dalam penyelesaian
suatu sengketa merek pada Pengadilan Niaga, merupakan
suatu konsekuensi dari perlindungan hukum hak atas merek
yang diberikan oleh Undang-undang 15 Tahun 2001 tentang
merek. Pemilik merek terdafar mempunyai hak untuk
mengajukan gugatan perdata baik berupa ganti rugi jika
mereknya dipergunakan pihak lain tanpa seizin darinya, juga
penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan merek tersebut. Hal ini terdapat pada Pasal 76
undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang berbunyi :
1) Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:a. gugatan ganti rugi, dan/ataub. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan Merek tersebut.2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan Niaga.
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pada
Pengadilan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 juga
14
mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non
litigasi. Yang terdapat pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek bahwa: “Selain penyelesaian
gugatan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Pertama Bab ini,
para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase
atau Alternatif Penyelesaian Sengketa”
Keberadaan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa telah
mengukuhkan pengakuan urgensi lembaga “Alternatif
Penyelesaian Sengketa“ atau disingkat APS sebagaimana
mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia.
Urgensialtenatif penyelesaian sengketa di Indonesia
diantaranya didasari pertimbangan – pertimbangan sebagai
berikut :
1. Kepentingan meningkatnya arus investasi , baik domestik
maupun asing harus disertai dengan tersedianya
mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak saja adil
dan menjamin kepastian hukum , tetapi juga dapat
diterima oleh semua pihak yang bersengketa.
2. Penyelesain sengketa yang cepat , murah, sederhana
dan konfidental sangat dibutuhkan dalam sengketa
sengketa yang menyangkut persoalan-persoalan privat
(perdata) termasuk bisnis atau perdagangan.
15
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di Indonesia
tidakmmudah dilaksanakan meskipun masyrakat tradisional kita
memiliki akar budaya (cultural roots) penyelsaian secara
musyawarah untuk mencapai mufakat (peaceful deliberations)
dan pola penyelesaian sengketa ‘menang-menang ‘ (win win
solution).
Dalam Undang –Undang Nomor 30 Tahun 1999
Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud Arbitrase adalah cara
penyelesain suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase. Sedangkan dalam
Pasal 1 ayat (1) Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi atau penilaian ahli. Perbedaan antara Arbitrase
dengan APS menunjukkan bahwa APS dianggap sebagai
alternatif dari mekanisme ajudikasi baik itu dari pengadilan
maupun arbitrase. Arbitrase termasuk lembaga penyelesaian
sengketa secara ajudikatif karena melibatkan pihak ketiaga
penengah (arbiter) yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan setelah pihak yang bersengketa menyajikan fakta
fakta, bukti sampai alasan hukum yang mendasari tuntutan atau
pembelaanya.
16
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis
normatif yang berusaha untuk memahami Hak Merek sebagai
bagian dari lingkup Hak Kekayaan Intelektual (HKI) secara
yuridis dan melihat sejauh mana Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang merek di dalam penyelesaian suatu
sengketa gugatan pembatalan Merek yang diperiksakan pada
Pengadilan Niaga.
Asas keadilan dan kepastian hukum yang mendasari
dalam suatu penyelesaian sengketa pembatalan pendaftran
merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA PUTRI JAYA dan
PT.DUA KELINCI ini, dapat menggunakan teori Radbruh.
Dimana kepastian hukum memerlukan hukum positif yang
ditetapkan melalui kekuasaan pemerintah dan aparatnya,
keadilan dan kepastian hukum menjadi dasar dan tujuan akhir
bagi pengadilan dalam memutuskan suatu perkara Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya disini merek. Pengadilan
merupakan instansi terakhir bagi para pihak untuk memecahkan
masalah hukum yang mereka hadapi, kecuali para pihak yang
menyerahkan konflik mereka kepada badan alternative
penyelesaian sengketa.
E. Metode Penelitian
17
Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metode
penelitian diterapkan harus senatiasa disesuaikan dengan ilmu
pengetahuan dengan induknya. Hal ini tidaklah selalu berarti
metode penelitian yang dipergunakan berbagai ilmu
pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Akan tetapi
setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing-masing,
sehingga pasti akan ada perbedaan.9
a) Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah yuridis normatif. Istilah ”pendekatan” adalah
sesuatu hal (perbuatan, usaha) mendekati atau
mendekatkan.10 ”pendekatan normatif” dimaksudkan sebagai
usaha mendekatkan masalah yang diteliti dengan sifat hukum
normatif. Pendekatan normatif meliputi asas-asas hukum,
sistematika hukum, sinkronisasi (penyesuaian) hukum,
perbandingan hukum,11 yang berhubungan dengan
penyelesaian hukum terhadap sengketa pembatalan
pendaftaran merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA
PUTRI JAYA dan PT.DUA KELINCI.
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Ibid, Hal 1 10 Hilman hadikusuma,Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung, Mandar Maju, 1995, Hal 5811 Loc.Cit
18
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.12 Jadi
metode pendekatan normatif, yaitu suatu cara yang
digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan
meneliti bahan pustaka atau bahan data sekunder.
b) Spesifikasi Penelitian
Dalam penulisan tesis ini, menggunakan spesifikasi
penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Yang
mengambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan
hukum positif yang menyangkut masalah tersebut.13 Metode
deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan mengamabarkan atau melukiskan keadan objek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak. Selanjutnya dilakukan analisis melalui peraturan-
peratuaran yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum,
pendapat sarjana, praktisi, dan praktek pelaksanaan hukum
yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pembatalan
pendaftaran merek.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif-
analitis yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan
12 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, ghalia Indonesia 1998, Hal 11
13 Op Cit.Hal 98
19
masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang,
berdasrkan fakta-fakta uyang tampak sebagaimana adanya.14
Dalam hal ini penyelesaian hukum terhadap sengketa
pembatalan pendaftaran merek antara dua kelinci dan garuda
food, deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melukiskan
tentang suatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.
c) Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data, sebagai sarana untuk
mendeskripsikan sesuatu masalah hukum, dalam penelitian ini
dilakukan dengan melalui studi kepustakan. Studi
kepustakaan diperoleh dari bahan pustaka atau data sekunder
yang bersifat pribadi dan publik.
Studi kepustakan merupakan metode yang digunakan
dalam penelitian hukum normatif. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dengan cara mengumpulkan, menyeleksi, dan
meneliti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan
sumber bacaan yang berkait dengan masalah yang diteliti,
termasuk data yang diperoleh dari objek penelitian. Data
sekunder terbagi menjadi :15
1. Bahan Hukum Primer
14 Soerjono Soekamto,Ibid, Hal 6915 Soerjono, Soekanto dan Siti, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta :
Rajawali Press, 1985), Hal 35.
20
Bahan hukum yang mengikat, terdiri dari bahan pustaka
yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru
tentang fakta yang diketahui melalui gagasan (ide) seperti :
a. Norma Dasar Pancasila dan Undang-Undang dasar
1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)
d. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Merek, yakni :
- Undang-Undang No. 21 tahun 1961
- Undang-Undang No.19 tahun 1992
- Undang-Undang No.14 tahun 1997
- Undang-Undang No.15 tahun 2001.
e. Salinan Putusan Pengadilan
- Salianan Putusan Pengadilan Niaga
- Salinan Putusan Mahkamah Agung
2. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan yang berfungsi memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa bahan
hukum pustaka yang meliputi :
a. Buku-buku hasil karya para sarjana
21
b. Hasil-hasil penelitian
c. Hasil penemuan ilmiah yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas.
3. Bahan Hukum tersier
Bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
berupa bahan pustaka seperti surat kabar, majalah, kamus
hukum dan kamus lainnya yang bersangkutan dengan
penelitian ini, situs-situs internet juga menjadi sumber bahan
bagi penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang
relevan terhadap penulisan tesis ini.
d) Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis untuk mendapat
kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Semua
data yang telah terkumpul diedit, diolah, dan disusun
secara sistematis untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk
deskriptif yang kemudian disimpulkan.16
F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disusun dan disajikan dalam suatu
karya ilmiah berupa tesis yang terdiri dari 4 (empat) Bab dan
tiap-tiap bab akan dirinci lagi menjadi beberapa sub bab.16 Soerjono Soekamto, Ibid, Hal 264
22
BAB 1 : PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi tentang dasar atau latar belakang
diadakan penelitian ini, yaitu tentang penanganan sengketa
merek sebagai upaya penyelesaian sengketa pembatalan
pendaftaran merek dalam bidang merek. Bab ini juga memuat
tentang perumusan masalah, manfaat penelitian, kerangka
pemikiran, metode penelitian serta sistematika penulisan itu
sendiri.
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka memuat tentang uraian teori-teori yang
mendasari penganalisisan masalah yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa pembatalan pendaftaran merek yang
lebih banya diambil dari literatur yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan menjadi landasan dalam analisa
data.
BAB 3 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan
yang didasarkan pada data-data yang didapatkan dari objek
penelitian. Pembahasan dalam penulisan tesisi ini difokuskan
pada pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan dalam
Bab I .
BAB 4 : PENUTUP
23
Bab ini merupakan bab penutup yang barisi tentang
kesimpulan dan saran. Sementara itu, kesimpulan adalah
ringkasan dari penelitian dan pembahasan. Sedangkan dalam
penyampaian saran, berdasarkan data-data yang ada di dalam
penulisan ini yang dapat dijadikan masukan.
24
Top Related