Bab 2
PRAKTEK MENGHAFAL AL QUR’AN
Karakteristik Al Qur’an
Al Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat
manusia melalui nabi Muhammad SAW, untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
Petunjuk-petunjuk yang dibawanyapun dapat menyinari seluruh isi alam ini, baik
bagi manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, keistimewaan
yang dimiliki Al Qur’an tidak dapat diukur dengan perhitungan manusia, termasuk di
dalamnya Al Qur’an memuat intisari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya seperti
Zabur, Taurat, dan Injil. Lebih-lebih keistimewaan Al Qur’an berkenaan dengan
terpeliharanya kitab suci ini dari perubahan tangan-tangan kotor manusia, baik dari
umat Islam sendiri maupun umat-umat agama lain. Malahan, Allah bersumpah bahwa
Dia sendiri yang telah menurunkan Al Qur’an ke muka bumi ini, maka Dia pula yang
memeliharanya sepanjang zaman.
Al Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, adalah seorang yang
ummi (buta huruf), tidak pandai membaca dan tidak pandai menulis. Buktinya,
setelah wahyu itu turun kepadanya, maka dia menyuruh orang lain untuk menuliskan
wahyu tersebut. Menurut Ibrahim Al Abyadi (1992, hlm. 31), di antara mereka itu
adalah Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zubir bin Awwam, Ubay bin Ka’ab bin Qis, Zaid bin Tsabit, Muawwiyah bin Abi
Sufyan, Muhammad bin Musallamah, Al Arqam bin Arqam, Aban bin Sa’id bin Ash
28
dan saudaranya Khalid bin Sa’id, Tsabit bin Qais, Hanzalah bin Rabi’, Khalid bin
Walid, Abdullah bin Arqam, Al Mughirah bin Syu’bah, Syurahbil bin Hasanah. Di
antara mereka itu yang paling banyak menulis ialah Zaid bin Tsabit dan Muawwiyah
bin Abi Sufyan.
Nabi Muhammad SAW telah memilih orang-orang yang akan menuliskan dan
yang akan membacakan risalahnya ini, guna untuk memudahkan risalah langit ini
masuk ke dalam hati orang. Untuk itu nabi mengambil orang-orang yang mempunyai
pengetahuan tentang menulis dan membaca, yang jujur dan dapat dipercaya. Agar
jangan ada orang yang mengatakan bahwa risalah yang dibawa oleh Muhammad ini
adalah kutipan dari kitab Taurat dan Injil.
Pada tanggal 17 Ramadhan, di tahun ke empat puluh satu dari kelahiran nabi
merupakan permulaan turunnya wahyu Al Qur’an yaitu surat Al Alaq ayat 1-5. Surat
itu berbunyi :
ù&ùùù%ù# ùùùùùùù/ ùùùù/ùù ùù%ù!ù# ù,ù=ù{ ùùù ù,ù=ù{ ù`»|ùùù}ù# ù`ùùù,ù=ùù ùùù ù&ùùù%ù# ùùù/ùùùù ùùùùù.ù{ù# ùùù ùù%ù!ù# ùù¯=ùù ùùù=ù)ùùù
ùù/ ùùù ùù¯=ùù ù`»|ùùù}ù# ùùù ùùùù ÷ùù>÷ùùù ùùù
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya” (Departemen Agama RI 2006, hlm. 904)
Pada Tafsir Al Mishbah (M. Quraish Shihab, vol 15, tahun 2004; 392),
dijelaskan bahwa ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut
menyatakan bacalah wahyu-wahyu Allah yang sebentar lagi akan banyak diterima,
29
dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu
dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat dengan atau
demi nama Tuhan yang selalu memelihara dan membimbingmu dan yang mencipta
semua makhluk kapan dan di manapun.
Penjelasan Allah SWT terhadap waktu diturunkannya Al Qur’an tersebut,
dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Anfal ayat 41, yaitu :
ùùù ùùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùù ù ùùùùùù ùùùùùù ùùùùù ùùùùùù ùùùùùùù
ùùùù Artinya : “Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Departemen Agama RI 2006,
hlm. 246).
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al Qur’an telah ditulis dan
didokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW. Di
samping itu seluruh ayat Al Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir
baik secara hafalan maupun tulisan. Sementara dalam penukilan atau periwayatannya
tidak pernah dan dilarang keras diriwayatkan secara ma’nawi (Hasanuddin AF 1995,
hlm. 2).
Berikut ini merupakan beberapa penjelasan mengenai Al Qur’an dari berbagai
sumber, adalah sebagai berikut :
1. Al Qur’an adalah firman (wahyu) Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril yang merupakan mukjizat dan
menggunakan bahasa Arab, berisi tentang petunjuk dan pedoman bagi hidup
30
manusia dan bila kita membacanya merupakan ibadah (Junaidi Anwar, Margiono
dan Latifah 2003, hlm. 61).
2. Al Qur’an yaitu firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad bin
Abdullah melalui Ruhul Amin (Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa
Arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-
benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk
keadaan mereka dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah
dengan membacanya. Al Qur’an itu terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat
Al Fatihah dan diakhiri dengan An Naas, disampaikan kepada umat Islam secara
mutawatir dari generasi secara tulisan maupun lisan, ia terpelihara dari perubahan
atau pergantian (Abdul Wahhab Khallaf 1972, hlm. 23).
3. Al Qur’an adalah kalam Allah swt dan merupakan mukjizat yang diturunkan
(diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis di mushaf dan
diriwayatkan dengan mutawatir, serta membacanya adalah ibadah (Uwes Qorni
2005, hlm. 47).
Dari berbagai pendapat di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa, Al
Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkan atau diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril dan sekaligus merupakan mukjizat
terbesar serta membacanya adalah ibadah.
Di antara fungsi-fungsi Al Qur’an ialah sebagai petunjuk (huda), penerang
jalan hidup (bayyinah), pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan),
penyembuh hati yang sakit (syifa’), nasehat atau petuah (mau’izhah), dan sumber
informasi (bayan). Sebagai sumber informasi, Al Qur’an mengajarkan banyak hal
31
kepada manusia dari persoalan-persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah
dan muamalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Mengenai ilmu
pengetahuan, Al Qur’an memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia agar
memperhatikan dan meneliti alam sebagai manifestasi kekuatan Allah. Dari hasil
pengkajian dan penelitian fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pemahaman ini, Al Qur’an berperan sebagai motivator atau inspirator
bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.
Keotentikan Al Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Dari sudut apapun Al
Qur’an sulit untuk dibantah keasliannya. Dari segi keaslian bahasa, Al Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab. Tidak semua orang Arab waktu itu memahami Al
Qur’an, sebab bahasa Arab Al Qur’an adalah sangat istimewa. Bahkan bahasa Al
Qur’an menyebabkan bangsa Arab saat itu terperangah, karena belum pernah ada
seorangpun yang mampu membuatnya seindah Al Qur’an. Bahkan Al Qur’an
menantang siapapun untuk membuat satu surat saja semisal Al Qur’an. Namun
siapapun takkan pernah mampu membuatnya (Didin Saefuddin Buchori 2005, hlm.
17-18).
Keotentikan Al Qur’an dapat ditelusuri melalui sejarahnya, yaitu sampai
sekarang Al Qur’an telah teruji melalui perjalanan sejarah, ia tidak pernah berubah
satu hurufpun, ia terpelihara dari intervensi tangan manusia, ia tetap dalam tulisan
aslinya yaitu tulisan Arab, dan bahasa aslinya yaitu bahasa Arab. Sekali Al Qur’an
dipalsukan walau satu huruf, maka hal itu pasti diketahui oleh para pembacanya
apalagi oleh para penghafal Al Qur’an.
32
Dari segi kandungannya, Al Qur’an tidak saja memuat ajaran-ajaran yang
bersifat religius keakhiratan melainkan juga berisi masalah muamalah keduniaan,
seperti ilmu pengetahuan, masalah ekonomi, sosial, kemasyarakatan, pendidikan dan
hubungan antar pemeluk agama. Al Qur’an memang luar biasa, itulah sebabnya Al
Qur’an termasuk salah satu unsur mu’jizat. Inilah yang membedakan nabi
Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya. Kalau nabi-nabi sebelumnya mu’jizat
lebih bersifat fisik seperti yang ada pada nabi Musa yang bisa membelah laut,
mengubah tongkat jadi ular, atau nabi Isa yang bisa menghidupkan orang yang sudah
mati dan menyembuhkan orang yang buta matanya, maka mu’jizat nabi Muhammad
lebih bersifat spiritual dan bukan fisik, yaitu bahwa Al Qur’an telah secara dahsyat
mengubah moral, spiritual dan pola fikir manusia.
Menurut M. Natsir Arsyad, Al Qur’an adalah sebuah kitab suci yang
kebenaran isinya ditandai dengan minimal tiga bukti nyata (M. Natsir Arsyad 1992,
hlm. 39). Pertama, keadaan Al Qur’an, baik dari segi kehebatan isi, keserasian dan
keindahan bahasanya, keseimbangan kata-kata dan kalimatnya, semuanya itu tidak
mampu ditiru oleh siapapun, apalagi dikalahkan. Kata-kata yaum (hari) umpamanya,
dalam bentuk tunggal berulang 365 kali (1 tahun), sedangkan dalam bentuk jamak
dan ganda muncul 30 kali (1 bulan). Sementara itu, kata yang berarti bulan
(qomariyah) ada 12 kali. Kedua, Al Qur’an mengandung berita gaib, misalnya
beberapa ramalan tentang peristiwa yang belum terjadi tetapi kemudian terbukti
benar-benar terjadi dalam sejarah sebagaimana yang diramalkan itu. Contohnya
mengenai kemenangan akhir Romawi setelah kalah dalam peperangannya melawan
Persia (QS. 30:2-4), atau tentang keselamatan jasad Fir’aun yang tenggelam di laut
33
Merah 3200 tahun lalu (QS. 10:92). Ketiga, di dalam Al Qur’an terdapat banyak ayat
tentang ilmu pengetahuan yang tak akan habis-habisnya dikuras serta tidak pernah
bertentangan dengan tiap ilmu dan penemuan-penemuan baru, sehingga tetap aktual
sepanjang waktu. Oleh karena itu, salah satu aspek pendukung terjaga kemurniannya
adalah, karena bahasanya yang sangat memukau para pendengar dan pembacanya.
Berbeda dengan bahasa selain Al Qur’an, kalimat-kalimatnya sering mengalami
perubahan. Sehingga kalimatnya pada masa sekarang, apabila dibaca akan mengalami
kejanggalan dan kelucuan apabila dibaca kembali, hal ini tidak terjadi dengan Al
Qur’an.
Upaya Praktek Penghafalan Al Qur’an di Zaman Nabi Muhammad SAW
Sampainya Al Qur’an kepada umat Islam sekarang melalui proses yang sangat
panjang. Setiap kali setelah nabi Muhammad SAW menerima wahyu Al Qur’an,
maka beliau langsung mengingat dan menghafalnya. Selanjutnya beliau
memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat
dan menghafalnya pula. Begitu kuatnya kesungguhan nabi Muhammad SAW untuk
mengingat dan menghafal setiap wahyu yang diterimanya, sehingga pada awal-awal
turunnya wahyu ada kesan bahwa, beliau tergesa-gesa dalam mengingat dan
menghafalnya. Karena itu, dalam hal ini Allah SWT mengingatkan beliau dengan
firman-Nya, antara lain :
ùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùùùù ùùù ùùùùùù ùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùù ù ùùùùùùùùùù ùùùùùùù ùùùùùùù ùùùùù
34
Artinya : “Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al Qur'an
sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah
ilmu kepadaku"” (Departemen Agama RI 2006, hlm. 444).
Ayat di atas dalam Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab (2002)
disebutkan bahwa, nabi Muhammad SAW pernah tergesa-gesa membaca ayat-ayat Al
Qur’an sebelum malaikat Jibril menyelesaikan bacaannya. Sahabat nabi Muhammad
SAW yang bernama Ibn ‘Abbas menguraikan bahwa, nabi Muhammad SAW sering
kali mendahului malaikat Jibril, sehingga beliau membaca Al Qur’an sebelum selesai
malaikat Jibril membacanya, guna mengukuhkan hafalan beliau karena beliau
khawatir lupa (M. Quraish Shihab vol 8 2002, hlm. 377).
ùù ùùùùùùùùù ùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùù ùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùùùùùùùùùùùù ùùùù ùùùùùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùù ùùùù ùùùù ùùùù
ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùù Artinya : “Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu untuk (membaca Al
Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan
mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya Kami yang
akan menjelaskannya (Departemen Agama RI 2006, hlm. 854).
Ayat di atas dalam Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab (2002)
disebutkan bahwa, banyak ulama’ berpendapat bahwa ayat ini adalah sisipan yang
turun spontan saat nabi Muhammad SAW menerima wahyu Al Qur’an melalui
malaikat Jibril. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan sabab nuzulnya bahwa, apabila
wahyu Al Qur’an turun, nabi Muhammad SAW menggerakkan lidahnya untuk
praktek menghafal wahyu Al Qur’an itu, karena takut jangan sampai ada yang luput
35
dari beliau atau karena keinginan beliau yang meluap untuk menghafalnya. Keadaan
ini sangat menyulitkan beliau, maka turunlah ayat-ayat di atas. Maksudnya, nabi
Muhammad SAW biasa menyempurnakan satu kata yang belum sempurna diucapkan
oleh malaikat Jibril (M. Quraish Shihab vol 14, tahun 2002, hlm. 631).
Dengan adanya semacam jaminan Allah tersebut di atas, selanjutnya nabi
Muhammad SAW secara mantap dan pasti mengingat serta praktek menghafal setiap
ayat Al Qur’an yang diwahyukan kepadanya, dan selanjutnya langsung
menyampaikannya kepada para sahabat beliau. Hal ini berlangsung sampai habis dan
sempurnanya Al Qur’an diturunkan.
Sesuai dengan kondisi masanya, pelestarian Al Qur’an melalui hafalan ini
sangat tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini mengingat bahwa, nabi
Muhammad SAW adalah tergolong orang yang ummi, sementara beliaupun diutus
oleh Allah SWT kepada kaum yang ummi pula. Pada masa tersebut, nabi Muhammad
SAW merupakan sayyid al-huffazh (penghulu dari segala penghafal Al Qur’an),
sementara para sahabat beliau seolah berlomba dengan penuh antusias praktek
menghafal setiap ayat Al Qur’an yang dibacakan dan disampaikan nabi kepada
mereka. Selanjutnya mereka mengajarkannya pula kepada istri, anak dan keluarga
mereka (Hasanuddin AF 1995, hlm. 47).
Pada zaman nabi Muhammad SAW, ada sepuluh orang sahabat sebagai
peletak batu pertama penghafal Al Qur’an sekaligus menjadi mufasir termasyhur
pada masa tersebut, yaitu : Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari, Ibnu Umar dan Abu Darda’, selain sebagai
hafizh juga dikenal sebagai sahabat pengajar Al Qur’an. Mereka semua termasuk
36
kategori pelopor penghafal Al Qur’an secara keseluruhan, sementara di belakang
mereka menyusul sahabat lain yang jumlahnya tak terhitung lagi, sebagai jago-jago
yang hafal Al Qur’an hingga baginda Rasulullah SAW wafat (M. Natsir Arsyad 1992,
hlm. 49).
Baik nabi Muhammad SAW, maupun para sahabat beliau, selalu senantiasa
mengulang-ulang bacaan ayat-ayat Al Qur’an tersebut, baik pada waktu mengerjakan
shalat lima waktu maupun di luar shalat lima waktu, seperti pada waktu-waktu qiyam
al-layl (sholat malam, seperti sholat tahajud, dan lain sebagainya). Adapun para
sahabat nabi yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an cukup banyak jumlahnya,
bahkan tidak sedikit dari mereka yang hafal seluruh isi Al Qur’an. Demikianlah Al
Qur’an sejak semula telah diabadikan antara lain, melalui hafalan. Tidak seperti kitab
Taurat dan Injil, yang hanya diabadikan dalam catatan atau tulisan. Tidak dijumpai di
antara para ahli kitab yang menghafal Taurat dan Injil, mereka hanya membacanya
melalui apa yang tertulis. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bila pada masa-
masa selanjutnya, dalam kitab suci mereka terdapat perubahan-perubahan. Inilah
salah satu keistimewaan Al Qur’an dari segi pelestariannya, ia dihafal oleh para
penghafalnya, dan dijamin oleh Allah SWT akan keterpeliharaannya.
Hukum Praktek Menghafal Al Qur’an
Tidak ada satu ayatpun yang menunjukkan amr atau perintah dengan jelas
tentang perintah untuk praktek menghafal Al Qur’an. Oleh karena itu, praktek
menghafal Al Qur’an bukan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Muhaimin Zen
37
mengutip beberapa pernyataan para ulama’ mengenai hukum praktek menghafal Al
Qur’an (Muhaimin Zen 1985, hlm. 37), sebagai berikut :
1. Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al Jurjani dalam kitab Al Syafi’i
menyatakan bahwa hukum praktek menghafal Al Qur’an adalah fardhu
kifayah.
2. Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al Zarkasyi dalam kitab Al
Burhan Fii Ulumil Qur’an, juz I halaman : 457, menyatakan bahwa belajar Al
Qur’an hukumnya fardhu kifayah, begitu pula memeliharanya wajib bagi
setiap muslim.
3. Imam Al Syaikh Muhammad Makki Nashir di dalam kitab Nihayatul Qaulul
Mufid menegaskan, bahwa sesungguhnya menghafal Al Qur’an di luar kepala
hukumnya fardhu kifayah
4. Imam Sayuti dalam kitabnya Al Itqan, juz 1, halaman : 343, yang dikutip oleh
Ahsin Sakho menyatakan bahwa, praktek menghafal Al Qur’an adalah fardhu
kifayah bagi umat Islam (Ahsin Sakho 2006, hlm. 105).
Dari pendapat para ulama’ di atas jelaslah bahwa hukum praktek menghafal
Al Qur’an adalah fardhu kifayah. Fardhu kifayah sebagaimana yang dimaksud oleh
ulama’ fiqih yaitu, apabila suatu pekerjaan di satu wilayah tidak ada yang
mengerjakan, maka semua orang yang ada di wilayah tersebut terkena dosa atau
berdosa semua, karena tidak melaksanakan perbuatan tersebut (Muhaimin Zen 1996,
hlm. 38). Oleh karena itu, jika tidak ada yang melakukan praktek menghafal Al
Qur’an dikhawatirkan akan terjadi perubahan terhadap ayat-ayat Al Qur’an. Oleh
sebab itu, harus selalu ada kelompok penghafal Al Qur’an, meskipun dewasa ini
38
sudah banyak komputer, CD, atau alat canggih lainnya yang mampu dan bisa
menyimpan ayat-ayat Al Qur’an secara penuh. Namun, hal tersebut bukanlah suatu
jaminan, karena siapa yang akan menjamin ketika ada kesalahan pada alat-alat
tersebut.
Pentingnya Praktek Menghafal Al Qur’an
Praktek menghafal Al Qur’an merupakan kebutuhan umat sepanjang zaman. Sebuah
masyarakat tanpa hufazh Al Qur’an (para penghafal Al Qur’an), akan sepi dari
suasana Al Qur’an yang semarak. Oleh karena itu, pada zaman nabi Muhammad
SAW, mereka mendapatkan kedudukan khusus sampai ketika mereka syuhada’
(gugur di medan perang). Para ulama’ sampai mengkategorikannya sebagai
kewajiban kifayah. Namun melihat kondisi umat Islam, khususnya di Indonesia,
jumlah para penghafal Al Qur’an masih jauh dari cukup. Ini dilihat dari jumlah umat
yang jutaan dengan jumlah para penghafal Al Qur’an yang cuma beberapa gelintir
manusia. Dan umat Islam tidak akan pernah meraih kembali izzahnya kecuali dengan
kembali kepada Al Qur’an secara utuh.
Menurut Abdul Aziz Abdul Rauf, setidaknya ada 5 hal yang menunjukkan
pentingnya praktek menghafal Al Qur’an (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm. 13).
1. Menjaga kemutawatiran Al Qur’an
Menjaga kemutawatiran Al Qur’an di sini maksudnya adalah menjaga keorisinilan Al
Qur’an dengan salah satu caranya yaitu praktek menghafal Al Qur’an secara
berkesinambungan. Maksudnya, nabi Muhammad SAW mempraktekkan menghafal
Al Qur’an yang diterima melalui malaikat Jibril, dan disimak oleh malaikat Jibril
39
secara menyeluruh. Kemudian para sahabat mempraktekkan menghafal Al Qur’an
secara sempurna yang disimak oleh nabi Muhammad SAW. Kemudian terus
kegenerasi selanjutnya sampai sekarang tanpa putus (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996,
hlm. 13). Oleh karena itu, ulama’ salaf kita sungguh besar perhatiannya untuk
merealisasikan kepentingan ini. Mereka telah berhasil mengabadikan sanad
pengajaran Al Qur’an sejak zaman nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi’in, dan tabi’it
tabi’in sampai sekarang. Lembaga-lembaga Al Qur’an yang masih menjaga kualitas
pengajaran Al Qur’an dapat dipastikan masih menyimpan sanad ini seperti dapat kita
temui di tanah air ini atau di Timur Tengah. Proses belajar Al Qur’an yang bersanad
atau yang disebut dengan talaqqi, akan menjadikan pelajar Al Qur’an benar-benar
menguasai Al Qur’an secara baik dan benar, karena cara inilah yang mampu menjaga
orisinalitas pengajaran Al Qur’an.
2. Meningkatkan kualitas umat
Umat Islam telah dibekali oleh Allah SWT suatu mukjizat yang sangat besar, yaitu Al
Qur’an. Ia merupakan sumber ilmu pengetahuan dan petunjuk bagi manusia. Tidak
terangkat kualitas umat ini kecuali dengan Al Qur’an. Allah SWT menegaskan dalam
Al Qur’an, yaitu :
ùùùùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùù ùùùùùùùùùù ù ùùùùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùArtinya : “Sesungguh, telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab (Al Qur’an)
yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak berfikir?”
(Departemen Agama RI 2006, hlm. 449)
Ayat di atas dalam Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan
bahwa, dalam kemuliaan dan memahami mitra bicara adalah orang-orang Arab. Al
40
Qur’an menjadi kemuliaan mereka, karena dia berbahasa Arab, di samping menjadi
mukjizat yang abadi (M. Quraish Shihab, vol 8, tahun 2002, hlm. 424).
Sikap pesimis, merasa tidak mampu untuk menggali Al Qur’an, merupakan
usaha Yahudi dan Nashara yang telah diperjuangkan dengan keras, bahkan dengan
mengeluarkan jutaan dolar untuk menjauhkan umat ini dari Al Qur’an. Mereka sangat
faham dampak positif yang akan lahir jika umat ini kembali kepada Al Qur’an. Di
kalangan para pelajar ‘ulumusy syari’ah, dapat diketahui bahwa para pelajar tersebut
yang dididik sebagai calon ulama’ adalah orang yang telah menguasai Al Qur’an
dengan baik yaitu hifzhon wa tilawatan (menghafal dan membaca) dengan baik
(Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm. 16). Namun untuk kondisi sekarang ini, hal
tersebut sudah jarang sekali kita dapatkan. Usaha yang telah dilakukan oleh
perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah dalam mewajibkan para mahasiswanya
untuk hafal 8 juz, perlu ditingkatkan, dilestarikan dan diterapkan di tanah air ini agar
tidak statis berjalan di tempat.
3. Menjaga terlaksananya sunah-sunah nabi Muhammad SAW
Sebagian ibadah yang dilakukan nabi Muhammad SAW, ada yang sangat terkait
dengan praktek hifzhul Qur’an dalam pelaksanaannya (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996,
hlm. 17). Sebagaimana beliau membaca surat-surat Al Qur’an ketika shalat jum’at,
shubuh, ied dan lain-lain. Beliau membaca surat pilihan dalam sholat memilih surat-
surat yang panjang, sebagai contoh membaca surat Sajadah pada sholat shubuh
diraka’at pertama dan Al Insan diraka’at kedua pada hari Jum’at. Hal tersebut seakan
memberi teguran kepada umat Islam sebagai da’iyah, betapa umat Islam sekarang
sangat kurang akrab dengan Al Qur’an. Surat-surat yang dibaca oleh para imam di
41
masjid-masjid atau di mushalla-mushalla terbatas pada surat-surat juz Amma,
sehingga surat lain menjadi asing di telinga umat Islam. Kondisi seperti ini telah
berjalan bertahun-tahun tanpa ada usaha peningkatan. Wajarlah jika generasi sekarang
yang ingin praktek menghafal Al Qur’an harus berjuang ekstra keras, karena sang
telinga tidak biasa dan terlatih sebebelumnya mendengarkan ayat-ayat panjang.
4. Menjauhkan mukmin dari aktifitas laghwu (tidak ada nilainya di sisi Allah)
Mukmin yang sejati adalah mukmin yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari
aktifitas laghwu, baik yang mubah apalagi yang haram. Ia harus memiliki sikap yang
tidak mudah terbawa oleh arus deras yang merusak dirinya atau menjerumuskannya
lupa kepada Allah SWT. Sebaliknya ia harus mampu mengubah arus tersebut ke arah
yang positif. Banyak cara yang dapat dilakukan agar terhindar dari laghwu. Kembali
kepada Al Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dengan selalu membaca apalagi
dengan praktek menghafalnya, secara otomatis akan mendindingi si pembaca dari
perbuatan laghwu dan membuang-buang waktu (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm.
18). Seorang penghafal Al Qur’an, baik ketika ia berada dalam proses praktek
menghafal maupun ketika selesai praktek menghafal. Keterikatan yang abadi inilah
yang menjadikan manusia mendapat karunia Al Qur’an.
5. Melestarikan budaya Salafus Shalih
Kalau dikaji sejarah kehidupan orang-orang shalih zaman dahulu, akan didapatkan
kehidupan yang cemerlang baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal ketaqwaan
kepada Allah SWT. Di antara kecemerlangan itu terlihat dalam perhatian mereka yang
besar kepada kitab Allah yaitu Al Qur’an Al Karim. Mereka mempelajari Al Qur’an
secara mendalam sehingga menghasilkan berbagai macam kitab tafsir yang sampai
42
sekarang dapat dinikmati. Mereka juga mempelajari tilawahnya dengan baik sampai
mereka hafal, terbukti dengan adanya para imam Qira’ah seperti Imam Nafi’ bin
Ruwaim, Ibnu Katsir, ‘Ashim bin Najud, Muhammad bin Muhammad Al Jazari, dan
lain sebagainya (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm. 20). Suatu hal yang perlu
diketahui adalah, bahwa pengajaran Al Qur’an yang mereka lakukan tidak hanya
terbatas pada kemampuan membacanya saja, kemudian selesai. Namun, mereka juga
memberikan perhatian dalam praktek menghafal dan memahaminya. Proses praktek
mentahfizhkan anak-anak, mereka lakukan sejak dini, sehingga banyak tokoh-tokoh
ulama’ yang sudah hafal Al Qur’an pada usia belum akil baligh. Sebagai contoh,
Imam Syafi’i telah hafal Al Qur’an 30 juz pada usia 9 tahun, Imam Malik telah hafal
Al Qur’an 30 juz pada usia 10 tahun, dan lain sebagainya.
Prinsip dan Kaidah Mendasar Praktek Menghafal Al Qur’an
Praktek menghafal Al Qur’an bukan merupakan suatu ketentuan hukum yang
harus dilakukan oleh setiap orang yang memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia
tidak mempunyai prinsip dan kaidah mendasar yang mengikat sebagai ketentuan
hukum. Prinsip dan kaidah mendasar yang ada dan harus dimiliki seorang calon
penghafal Al Qur’an adalah, prinsip dan kaidah mendasar yang berhubungan dengan
naluri insaniah semata. Banyak sekali prinsip dan kaidah mendasar yang harus
diperhatikan oleh orang yang hendak praktek menghafal Al Qur’an yang Mulia itu,
yaitu :
1. Niat yang ikhlas
43
Mengikhlaskan niat karena Allah SWT, yaitu meluruskan niat praktek menghafal, dan
menjadikan kegiatan praktek menghafal Al Qur’an dan menekuninya semata-mata
karena Allah SWT, mengharapkan surgaNya dan memperoleh ridhaNya. Adapun
orang yang membaca dan praktek menghafalkannya dengan tujuan pamer (riya’) atau
cari nama (sum’ah), maka ia tidak akan mendapatkan pahala, dan orang yang
membaca Al Qur’an dengan tujuan memperoleh dunia maka tidak diragukan lagi
bahwa ia berdosa (Abu Abdir Rahman 1997, hlm. 53). Menurut Shal Al Tastari,
orang-orang yang berakal dalam menafsirkan Al Ikhlas tidak memperoleh tafsiran
kecuali, agar setiap gerakan manusia dan ketenangannya baik lahir maupun batin,
hanya kepada Allah semata-mata, maka tidak dicampuri oleh hawa nafsu dan tidak
pula oleh kemewahan duniawi (Shal Al Tastari 1991, hlm. 6).
Oleh karena itu, niat ini haruslah menjadi landasan utama sebelum ia memulai
praktek menghafalkan Al Qur’an. Sebab, kesalahan dalam pijakan pertama ini akan
membawa konsekwensi-konsekwensi tersendiri. Niat yang ikhlas berarti ia praktek
menghafalkan bukan karena apa-apa, tetapi hanya karena mencari ridha Allah semata.
2. Mempunyai kemauan dan semangat
Prinsip dan kaidah mendasar bagi setiap orang yang berusaha praktek menghafalkan
Al Qur’an adalah mempunyai kemauan dan semangat. Ia harus merasakan
kenikmatan dan kebahagiaan membaca Al Qur’an, karena Al Qur’an memiliki
kelezatan yang unik, dan kenikmatan yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang
mencari dan menekuninya (Abu Abdir Rahman 1997, hlm. 54). Oleh karena itu,
seseorang yang akan praktek menghafalkan Al Qur’an harus mempunyai kedua faktor
tersebut dari dalam dirinya masing-masing. Hal ini sangat berperan dalam kesuksesan
44
praktek menghafal Al Qur’an. Sebab tanpa adanya semangat dan kemauan yang
besar, akan mengalami kendala di pertengahan jalan. Kedua faktor ini bagaikan
kekuatan pemacu atau “gas” pada kendaraan bermotor.
3. Izin dari orang tua/wali/suami bagi wanita yang sudah nikah
Hal ini nampaknya sepele, akan tetapi mempunyai peranan yang sangat penting dan
mendukung dalam keberhasilan calon penghafal Al Qur’an, karena izin dari orang tua
atau wali ini juga ikut menentukan keberhasilan praktek menghafal Al Qur’an.
Apabila orang tua/wali/suami sudah memberi izin terhadap anak atau istrinya untuk
praktek menghafal Al Qur’an, berarti dia sudah mendapat kebebasan menggunakan
waktu dan dia rela waktunya tidak untuk kepentingan lain kecuali hanya untuk
praktek menghafal Al Qur’an semata (Muhaimin Zen 1996, hlm. 243). Oleh karena
itu, ketidak relaan orang tua/wali ini akan membawa pengaruh bathin kepada calon
penghafal, sehingga menjadi bimbang dan kacau fikirannya yang akhirnya
mengakibatkan sulit untuk praktek menghafal Al Qur’an.
4. Sanggup mengorbankan waktu tertentu
Seorang penghafal Al Qur’an harus mengatur waktu dengan cermat agar tidak terjadi
tumpang tindih dalam kegiatannya, sehingga dapat konsentrasi dalam aktifitas
penghafalannya. Ia harus dapat memilih waktu yang tepat untuk praktek menghafal
Al Qur’an. Apabila penghafal Al Qur’an sudah menetapkan waktu tertentu untuk
praktek menghafal materi baru, maka waktu tersebut tidak boleh diganggu
kepentingan lain. Misalnya, untuk menerima tamu, berolahraga, bepergian dan lain
sebagainya. Waktu yang baik untuk praktek menghafal Al Qur’an adalah di pagi hari
antara jam 04.00 sampai dengan jam 08.00 karena pada waktu tersebut udara sejuk
45
dan tenang (Muhaimin Zen 1996, hlm. 246). Pagi hari setelah tidur baik sekali
dipergunakan untuk praktek menghafal, karena otak pada waktu tersebut belum
terpengaruh oleh problem lain. Jadi, kegiatan praktek menghafal Al Qur’an mendapat
udara baru sehingga tenang dan cepat membekas.
5. Memperbaiki pelafalan dan bacaan
Upaya memperbaiki pelafalan dan bacaan Al Qur’an, dapat dilakukan dengan tekun
mendengarkan orang yang sudah baik bacaan Al Qur’an, atau dari orang yang sudah
hafal Al Qur’an dan sangat cermat, karena dengan cara begitulah Al Qur’an bisa
dipelajari secara baik. Sekalipun Rasulullah adalah orang yang paling fasih lisannya
di antara orang-orang Arab, beliau belajar Al Qur’an dari Jibril secara lisan, minimal
satu tahun sekali tepatnya di bulan suci Ramadhan. Khusus pada tahun di mana beliau
dipanggil keharibaan Allah buat selama-lamanya, hal itu beliau lakukan sampai dua
kali (Abdurrahman Abdul Khaliq 1991, hlm. 22).
Begitu pulalah yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya. Beliau
mengajarkan Al Qur’an kepada mereka secara lisan, kemudian diperintahkan kepada
mereka supaya mempraktekkan apa yang sudah didapat untuk beliau dengar kembali.
Cara itu pulalah yang mereka lakukan dari satu generasi ke generasi yang lain. Itulah
yang sekarang harus dilakukan, belajar membaca Al Qur’an secara lisan dari orang
yang sudah baik bacaannya, dengan terlebih dahulu berupaya membenarkan
bacaannya. Dalam hal membaca Al Qur’an, orang sebaiknya tidak perlu terlalu
percaya diri, sekalipun dia sudah sangat pandai dalam hal berbahasa Arab dan
mendalami kaidah-kaidahnya. Sebab di dalam Al Qur’an banyak sekali ayat yang
menyalahi kaidah-kaidah bahasa Arab yang sudah dikenal.
46
6. Penggunaan Al Qur’an (Mushaf)
Penggunaan Al Qur’an (mushaf) yang hendak dipakai untuk praktek menghafal Al
Qur’an hendaknya mushaf yang sama, jangan berganti-ganti, karena dengan mushaf
yang sama akan terbayang letak suatu ayat. Hal ini karena beberapa sebab : pertama,
kebanyakan penghafal Al Qur’an, mempraktekkan menghafal dengan jalan
mengangan-angan, yaitu dengan mengingat tempat-tempat ayat pada lembaran
mushaf, sampai ia hafal betul tempat-tempat ayat di setiap halaman mushaf. Maka,
apabila pindah menggunakan mushaf lain yang berbeda tata letaknya dengan mushaf
yang lama, akan terjadi kekacauan dalam praktek menghafal Al Qur’an. Kedua,
seseorang pada saat praktek menghafal sering menemui kesalahan, baik dalam hal
makhraj, maupun hal lain yang membutuhkan tanda-tanda khusus untuk menandai
kesalahan-kesalahan tadi, sehingga ketika membacanya kembali akan teringat, dan
kesalahan tadi tidak akan terulang. Di dalam praktek menghafal Al Qur’an, ada Al
Qur’an khusus untuk praktek menghafal, di Indonesia terkenal dengan sebutan “Al
Qur’an pojok” atau “Al Qur’an sudut”, sedangkan di luar negeri Al Qur’an ini
terkenal dengan nama “Al Qur’an Bahriyah” (Muhaimin Zen 1996, hlm. 247). Al
Qur’an ini telah ada dan beredar di Indonesia semenjak seratus tahun yang lalu,
dikatakan Al Qur’an pojok karena setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat.
Sedangkan sebutan Bahriyah berasal dari nama penerbit yang pertama kali
menerbitkan Al Qur’an tersebut yaitu percetakan “Bahriyah” di Turki. Al Qur’an
Bahriyah ini populer di Indonesia karena praktis untuk praktek menghafal dan sangat
membantu ingatan. Oleh karena itu, hampir semua orang Indonesia yang praktek
menghafal Al Qur’an menggunakan Al Qur’an tersebut.
47
7. Membuat target praktek hafalan Al Qur’an setiap hari
Bagi orang yang berminat praktek menghafal Al Qur’an, sedapat mungkin ia harus
membuat target praktek hafalan setiap harinya misalnya beberapa ayat, atau satu
halaman, atau dua halaman, atau seperdelapan juz, dan seterusnya. Setelah membuat
target praktek hafalan yang kira-kira bisa dilaksanakan, seraya berusaha
membenarkan bacaannya, lalu memulai dengan mengulang-ulang bacaannya, hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengiramakan atau melagukannya (Abdurrahman
Abdul Khaliq 1991, hlm. 23). Maksudnya, pertama adalah untuk menghilangkan
kebosanan, dan kedua adalah untuk memantapkan praktek hafalan itu sendiri. Oleh
karena itu, dengan melagukannya akan menjadi enak untuk didengar, akan membantu
praktek hafalan dan membiasakan lidah pada suatu lagu tertentu. Dengan begitu
kesalahan pokok akan dikenali ketika ada nada suatu bacaan yang janggal dan
menyalahi ayat. Sehingga orang yang membaca jadi merasa bahwa lidahnya
mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan maksud hatinya ketika terjadi
kesalahan.
8. Memperkuat atau membaguskan praktek hafalan
Orang yang sedang praktek menghafal Al Qur’an, dia tidak boleh beralih pada
hafalan yang baru kecuali kalau hafalan yang lama benar-benar sudah sempurna. Hal
tersebut dimaksudkan, supaya apa yang dia hafal betul-betul terpatri di dalam hatinya.
Sesungguhnya salah satu cara yang dapat membantu memantapkan praktek hafalan
adalah dengan mempraktekkannya dalam setiap kesibukan yang memungkinkan di
sepanjang waktu siang dan malam. Sebagai contoh, dengan membacanya secara
pelan-pelan pada saat sedang shalat. Atau kalau ia menjadi imam shalat jahr
48
berjemaah, ia bisa membacanya dengan suara keras. Hal tersebut juga bisa dilakukan
pada saat-saat melakukan shalat sunnat, atau pada saat-saat ketika menunggu
dimulainya shalat berjemaah, atau pada saat-saat selesai shalat, dan lain sebagainya
(Abdurrahman Abdul Khaliq 1991, hlm. 24).
Dengan cara begitu, praktek menghafal jadi sangat mudah, dan setiap orang
akan biasa membiasakannya sekalipun ia disibukkan oleh banyak kesibukan. Orang
yang tidak perlu susah-susah menyempatkan waktu khusus untuk praktek
menghafalkan beberapa ayat, melainkan ia cukup berusaha membenarkan bacaan
kepada seorang yang sudah pintar, kemudian mempraktekkan hafalannya pada waktu-
waktu shalat sunnat dan shalat fardhu. Dengan demikian ayat-ayat yang sedang
dihafal, akan benar-benar terpatri dalam hati. Apabila pada suatu hari seseorang yang
sedang praktek menghafal Al Qur’an disibukkan oleh suatu kesibukan yang menyita
waktunya, maka pada hari berikutnya ia jangan sampai beralih pada obyek hafalan
yang baru. Tetapi ia harus pada hafalan yang lama sampai ia benar-benar sempurna.
9. Memahami adalah salah satu cara praktek menghafal Al Qur’an
Di antara faktor dominan yang dapat membantu praktek menghafal Al Qur’an adalah,
memahami ayat-ayat yang dihafalkan dan berusaha untuk mengerti aspek keterkaitan
satu ayat dengan ayat yang lain. Oleh karena itu, orang yang sedang praktek
menghafal Al Qur’an terlebih dahulu dianjurkan membaca tafsir ayat-ayat yang
hendak dihafalkannya, dan berupaya untuk mengetahui aspek keterkaitan atau
hubungan satu ayat dengan ayat yang lain, serta harus selalu konsentrasi pada waktu
membaca.
49
Hal tersebut dimaksudkan, untuk mempermudah mengingat-ingat ayat-
ayatnya. Di samping itu, ia tidak boleh hanya sekadar memahami ayat-ayat saja
dalam praktek menghafal, melainkan harus mengulang-ulang ayat-ayat yang
dihafalkannya dan itulah justru yang utama dan yang pokok (Abdurrahman Abdul
Khaliq 1991, hlm. 26). Hal tersebut dilakukan sampai lidah mengucapkan bacaannya,
sekalipun terkadang hati terlambat mengikuti maknanya. Adapun orang yang hanya
mementingkan pada pehaman saja, maka ia akan sering lupa dan bacaannya akan
menjadi tersendat-sendat. Hal tersebut sering kali terjadi, terlebih ketika orang sedang
membaca bacaan yang relatif panjang.
10. Jangan meninggalkan satu surat sebelum lancar
Setelah rampung pada salah satu surat dari Al Qur’an, sebaiknya penghafal Al Qur’an
tidak beralih pada surat lainnya sebelum ia benar-benar sempurna hafalannya dan
lancar. Sedapat mungkin lidahnya ia ucapkan dengan gampang dan mudah. Tidak
perlu ia bersusah payah dan tegang dalam mengingat ayat-ayat serta mengikuti
bacaan. Seharusnya, orang yang sedang praktek menghafal Al Qur’an itu, seperti air
yang mengalir dengan tenang namun pasti (Abdurrahman Abdul Khaliq 1991, hlm.
27). Janganlah terlalu lambat dalam membaca surat, sekalipun dengan dalih atau
alasan sedang mengkonsentrasikan hati dan fikirannya untuk memahami maknanya,
karena hal itu tidak mutlak benar. Tidak apalah sekali-kali ia tidak memahami makna
bacaan yang sedang ia hafalkan. Sebagai contoh, kalau ada seseorang sedang
membaca surat Al Fatihah dengan tanpa susah payah, mungkin karena ia sering
membacanya dan diulang terus-menerus.
50
Hanya saja di antara surat-surat Al Qur’an, jarang sekali ada seperti surat Al
Fatihah yang begitu mudah untuk dihafal. Tetapi yang penting dan perlu diingat ialah,
bahwa surat yang tertulis dalam hati adalah satu kesatuan yang saling lekat. Jangan
sekali-kali orang yang sedang praktek menghafal Al Qur’an melewati satu surat dan
beralih pada surat lainnya padahal surat yang pertama tadi belum ia hafal betul.
11. Selalu tekun mendengarkan bacaannya kepada orang lain
Seseorang yang sedang praktek menghafal Al Qur’an, ia tidak boleh mempercayakan
hafalannya terhadap dirinya sendiri. Melainkan ia harus dengan tekun menyodorkan
atau dengan istilah menyetorkan hafalannya kepada seorang hafizh lain, atau dengan
cara mencocokkannya dengan mushaf, sekalipun ia itu sudah termasuk seorang hafizh
yang sangat teliti dan cermat (Abdurrahman Abdul Khaliq 1991, hlm. 28). Hal ini
dimaksudkan untuk mengingatkan kemungkinan masih adanya kesalahan dalam
bacaan, dan juga masih adanya bacaan yang terlupakan, sehingga kesalahan tersebut
tanpa sadar diulang-ulang terus. Seringkali terjadi seorang yang praktek menghafal
satu surat dan sejatinya ada yang salah. Akan tetapi, hal tersebut tidak ia sadari
padahal ia sudah melihat mushaf. Sebab, harus diakui banyak sekali bacaan yang
luput dari penglihatan. Seorang hafizh sudah berusaha mencocokkan hafalannya
dengan mushaf, tetapi bisa jadi ia tidak menyadari letak kesalahan bacaannya. Oleh
karena itu, memperdengarkan Al Qur’an kepada orang lain merupakan upaya koreksi
untuk mengetahui kesalahan-kesalahan tersebut, dan untuk mengingatkan terus
hafalannya.
12. Upaya menjaga terus hafalan dengan cara praktek mengulang-ulang hafalan
51
Praktek menghafal Al Qur’an itu berbeda sekali dengan praktek menghafal hafalan-
hafalan lain, seperti bait-bait syair, natsar (prosa), dan karya-karya sastra lainnya. Hal
tersebut disebabkan hafalan Al Qur’an cenderung lekas hilang dari hati. Bahkan jauh-
jauh nabi Muhammad SAW sudah memperingatkan lewat sabdanya :
ùùùù ùùùù ùù ùùùùù ùù ùùùùù ùùùù ùùù ùùùù ùùù ùù ùùùùù ùùù ùù
ùùùùù ùùù ùùù ùùùù ùùùù ùùù ùùùù ùùù ùùùùùù ùùù ùùùùùùù : ùùù ùùùù
(ùùùùùùù ùùùù ùùù ùùùù ùù ùùùù ùùùù) ùùùùù ùù ùùùùù ùù
Artinya : Riwayat dari Abu Hurairah ra. dari Abu Musa dari nabi Muhammad SAW,
beliau bersabda : “Jagalah benar-benar Al Qur’an ini, demi dzat yang diri
Muhammad ada pada kekuasaanNya. Sesungguhnya Al Qur’an itu lebih liar dari
pada unta yang terikat” (An Nawawi 1990, hlm. 328).
Sebentar saja seorang hafizh Al Qur’an membiarkan praktek hafalannya,
maka ia akan cepat hilang dan terlupa. Oleh karena itu, harus selalu ada upaya
mempraktekkan dan menjaganya terus terhadap hafalan Al Qur’an tersebut. Dalam
hal ini, nabi Muhammad SAW bersabda :
عن ابن عمر ان رسول ال صلى ال عليه وسلم قال : انما مثل صاحب القرآن كمثثثل
صاحب البل المعلقة فإن تعاهدها امسكها وان اطلقها ذهبت
Artinya : Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang
memiliki hafalan Al Qur’an (hafal Al Qur’an) diumpakan seperti pemilik unta yang
digembala, jika unta itu diikat ia tidak akan lepas, tetapi apabila dilepas atau
dibiarkan ia akan hilang” (Ahmad ibn Hambal 1990, hlm. 235).
52
Hal tersebut berarti bahwa, seorang hafizh Al Qur’an dituntut untuk selalu
mempraktekkan hafalannya minimal satu juz dari tiga puluh juz. Dengan cara selalu
mempraktekkan secara kontinyu, maka hafalan akan terus bisa dipertahankan dan
kekal. Sebaliknya tanpa hal tersebut, maka hafalan akan gampang hilang dan
terlupakan.
13. Memperhatikan ayat-ayat yang serupa atau mutasyabih
Al Qur’an dalam segi makna, lafazh dan ayat-ayatnya itu serupa (identik). Allah SWT
berfirman :
ùùù ùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùù ùùùùùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùù ù ùùùùùùù ùùùùù ùùùù ùùùùùùù ùùùùù ùùù ùùùùùùùù ù ùùùùù
ùùùùùùùù ùùùù ùùùùù ùùùùù ùùùù ùùùùù ùùùù Artinya : Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang
serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah,
maka tidak seorangpun yang dapat memberi petunjuk (Departemen Agama RI 2006,
hlm. 662).
Sebagai contoh, di dalam Al Qur’an ada sekitar enam ribu ayat lebih, maka
dua ribu di antaranya adalah ayat-ayat yang serupa dari segi apapun, bahkan
kadangkala ada yang persis sama atau hanya ada perbedaan satu, dua, dan tiga huruf
atau kalimat saja. Oleh karena itu, seorang pembaca Al Qur’an harus memberikan
perhatian khusus terhadap ayat-ayat yang serupa dari segi lafazhnya. Dengan
53
memperhatikan yang serupa tadi, maka akan dapat mewujudkan praktek hafalan yang
baik. Dalam rangka itu, seseorang bisa melakukannya yakni dengan cara menelaah
atau mempelajari kitab-kitab yang khusus membahas mengenai berbagai jenis ayat-
ayat yang serupa. Di antaranya yang cukup terkenal (Abdurrahman Abdul Khaliq
1991, hlm. 33), yaitu :
1. Darurat Al Tanzil wa Ghurrat Al Ta’wil, fii Bayan Al Ayat Al Mutasyabihat fii
Kitabillah Al Aziz, karya Al Khatib Al Iskafi
2. Asrar Al Tikrar fii Al Qur’an, karya Mahmud bin Hamzah bin Nashir Al
Karmani
14. Mendengarkan sebelum praktek menghafal
Sebagian penghafal Al Qur’an ada yang cocok dengan cara ini, terutama bagi
penghafal Al Qur’an yang tuna netra. Penghafal hanya memerlukan keseriusan
mendengar ayat-ayat yang akan dihafal. Ayat-ayat yang akan dihafal dapat
didengarkan melalui kaset-kaset atau CD/VCD/DVD tilawah Al Qur’an secara
berulang-ulang (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm. 49). Setelah banyak
mendengarkan, seorang penghafal Al Qur’an dapat memulai praktek menghafal ayat-
ayat tersebut. Insya Allah ia akan merasakan kemudahan tersendiri ketika praktek
menghafal Al Qur’an.
15. Menulis sebelum praktek menghafal Al Qur’an
Bagi sebagian penghafal Al Qur’an ada yang cocok dan ada juga yang tidak cocok
dengan cara menulis terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dihafal. Cara ini sebenarnya
sudah sering dilakukan oleh para ulama zaman dahulu, yaitu setiap ilmu yang mereka
hafal maka akan ditulis. Ada juga yang yang mengartikannya dengan cara sebelum
54
praktek menghafal satu ayat ke satu ayat berikutnya terlebih dahulu dilukiskan atau
dituliskan di dalam fikiran terlebih dahulu sebelum dibaca dengan lisan atau lidah,
sehingga gambaran dan tulisan ayat tersebut seakan-akan telah terlukis di dalamnya
(Abu Najihat 2002, hlm. 67).
16. Memanfaatkan usia gemilang dalam praktek menghafal Al Qur’an
Sungguh beruntung orang yang dapat memanfaatkan usia-usia yang baik untuk
praktek menghafal Al Qur’an, yakni semenjak usia lima tahun sampai kira-kira dua
puluh tiga tahun. Seseorang dalam usia ini, mutu hafalannya bagus sekali. Itulah usia
keemasan untuk praktek menghafal. Kurang dari lima tahun orang masih belum bisa
berbuat banyak dalam masalah ini. namun lebih dari sekitar usia dua puluh tiga tahun,
orang mulai cenderung mengalami penurunan dan susah untuk naik (Abdurrahman
Abdul Khaliq 1991, hlm. 33). Oleh karena itu, seorang penghafal Al Qur’an harus
dapat memanfaatkan usia keemasan tersebut untuk praktek menghafal Al Qur’an
semaksimal mungkin. Praktek menghafal dalam usia tersebut sangat cepat dan tepat
karena tidak gampang lupa. Demikian pula sebaliknya usia di luar itu membuat
manusia mengalami kelambatan dan kesulitan dalam praktek menghafal, karena ia
sangat cepat lupa.
Beberapa Praktek Menghafal Al Qur’an
Berikut ini beberapa praktek menghafal Al Qur’an yang dipakai untuk praktek
menghafal Al Qur’an, di antaranya :
55
1. Praktek menghafal Al Qur’an yang diterapkan di Perguruan Tinggi Ilmu Al
Qur’an (PTIQ)1
Muhaimin Zen (2006, hlm. 90) dalam tulisannya menjelaskan bahwa, praktek
menghafal Al Qur’an yang diterapkan di PTIQ terdiri dari tiga praktek, para santri
yang praktek menghafal Al Qur’an dipersilahkan untuk memilih di antara praktek
yang ada, yaitu sebagai berikut.
1. Praktek S (seluruhnya), praktek ini menginstruksikan kepada para penghafal Al
Qur’an untuk membaca satu halaman dari baris pertama halaman tersebut sampai
baris terakhir secara berulang-ulang sampai benar-benar hafal. Praktek ini jarang
dipakai karena memerlukan waktu yang cukup lama, karena belum tentu dalam
sekali duduk para penghafal Al Qur’an dapat hafal satu halaman penuh.
2. Praktek B (bagian), pada praktek ini para penghafal Al Qur’an, melakukan
praktek menghafal ayat demi ayat, atau kalimat demi kalimat yang dirangkaikan
sampai satu halaman penuh. Pada praktek ini, kelihatannya lebih cepat hafal satu
halaman penuh dalam waktu sekali duduk, namun memerlukan tingkat
konsentrasi yang lebih tinggi.
3. Praktek C (campuran), pada praktek ini para penghafal Al Qur’an menggunakan
kombinasi atau menggabungkan antara praktek S dan praktek B, hal tersebut
dilakukan dengan membaca satu halaman terlebih dahulu secara berulang-ulang,
kemudian setelah dibaca berulang-ulang pada bagian tertentu dihafal tersendiri
dari baris pertama sampai baris terakhir pada satu halaman penuh, kemudian
1 Muhaimin Zen 2006, Kunci Keberhasilan Menghafal Al Qur’an dan Pemeliharaanya dalamBunga Rampai Mutiara Al Qur’an Pembinaan Qari Qari’ah dan Hafizh Hafizhah. PP. Jam’iyyatulQurra’ wal Huffazh, Jakarta
56
diulang-ulang kembali secara keseluruhan. Praktek ini yang sering dipakai orang
untuk praktek menghafal Al Qur’an, karena meskipun ia akan memakan waktu
yang cukup lama, namun setelah dibaca berulang-ulang, maka akan
mempermudah dalam praktek menghafal pada ayat-ayat yang kita baca berulang-
ulang tersebut.
Dalam prakteknya, seseorang yang menghafal Al Qur’an akan melakukan
cara-cara di atas (Muhaimin Zen 2006 hlm. 90-91), sebagai berikut :
a. Membaca binnazhar (melihat mushaf) halaman yang akan dihafal
dengan cermat secara berulang-ulang, sehingga akan memperoleh gambaran
secara menyeluruh tanpa lafazh, maupun urutan ayat-ayatnya.
b. Praktek menghafal halaman tersebut sedikit demi sedikit, misalnya
satu baris, beberapa kalimat atau sepotong ayat yang pendek dengan dibaca secara
hafalan sampai tidak ada kesalahan.
c. Setelah satu baris atau beberapa kalimat tersebut sudah dapat dihafal
dengan lancar, lalu ditambah dengan merangkaikan baris atau kalimat berikutnya,
sehingga sempurna satu ayat. Kemudian rangkaian ayat tersebut diulang kembali
sampai benar-benar hafal.
d. Setelah materi satu ayat dapat dihafal dengan lancar, kemudian pindah
ke materi yang berikutnya.
e. Untuk merangkai hafalan urutan kalimat dan ayat dengan benar, setiap
selesai praktek menghafal materi atau ayat berikut harus selalu diulang-ulang,
mulai dari ayat pertama dirangkaikan dengan ayat kedua dan seterusnya.
57
f. Setelah satu halaman selesai dihafal, diulang kembali dari awal
halaman sampai tidak ada kesalahan, baik lafazh, maupun urutan ayat-ayatnya.
Yang perlu mendapat perhatian dari penghafal Al Qur’an adalah, apabila terdapat
lafazh-lafazh yang sulit, lafazh-lafazh yang serupa atau hampir serupa dengan
lafazh lain, serta penutup atau ujung setiap ayat.
g. Setelah halaman yang ditentukan dapat dihafal dengan baik dan lancar,
lalu dilanjutkan dengan praktek menghafal halaman berikutnya.
h. Dalam hal merangkai halaman, perlu diperhatikan sambungan akhir
halaman tersebut, terus akan sambung menyambung. Oleh karena itu, setiap
selesai halaman, perlu juga dirangkaikan dengan halaman-halaman berikutnya.
i. Dengan hafalan minimal dua halaman tersebut, para penghafal Al
Qur’an, khususnya mahasiswa di Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ)
tersebut menghadap kepada instruktur untuk ditashih (disimak dan dibetulkan)
hafalannya serta mendapatkan petunjuk-petunjuk dan bimbingan seperlunya.
i. Praktek menghafal Al Qur’an “Lauh dan Takrir” yang diterapkan di Tahfizh
Qira’at dan Nagham Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) di Mesir
Selain praktek menghafal Al Qur’an yang sudah ada di atas, penulis mencoba
mengungkapkan praktek menghafal Al Qur’an yang pernah digunakan oleh para
pendahulu, yaitu yang digunakan oleh Syaikh Abdul Qadir Abdul Azhim di PTIQ
Mesir, yang penulis kutip dari Muhaimin Zen dalam tulisannya Kunci Keberhasilan
Menghafal Al Qur’an dan Pemeliharannya (Muhaimin Zen 2006, hlm. 92). Praktek
ini dikenal dengan sebutan “Lauh dan Takrir”, karena orang dulu menyebut setoran
hafalan baru disebut dengan lauh. Pengertian Lauh yaitu menyetorkan hafalan atau
58
menyimakkan hafalan baru kepada instruktur atau pembimbingnya. Sedangkan
pengertian takrir adalah mengulang hafalan yang diperdengarkan kepada instruktur
atau pembimbing. Disebut lauh karena, sebelum praktek menghafal materi baru, ayat
ditulis dulu di sabak (yaitu papan kecil yang terdiri dari batu), satu ayat ditulis
sebagian atau separuhnya, kemudian ayat tersebut dibaca berulang-ulang sampai
terbayang letak baris dan posisinya, setelah itu tulisan tersebut dihapus lalu dibaca
dengan hafalan. Setelah sebagian ayat ini hafal dan masuk ke memori otak, baru
disempurnakan dengan praktek menghafal bagian ayat berikutnya dengan cara yang
sama, yaitu ditulis terlebih dahulu di sabak (papan tulis kecil yang terdiri dari batu)
dibaca binnazhar berulang-ulang sehingga lancar dan terbayang letak baris dan posisi
ayat. Setelah itu tulisan dihapus, lalu dibaca tanpa melihat tulisan (hafalan), sehingga
lancar tanpa ada kesalahan dan telah terekam di memori otak. Kemudian, potongan
ayat pertama yang sudah dihafal dengan baik tadi dirangkaikan dengan potongan ayat
berikutnya, dihafal berulang-ulang kali tanpa ada kesalahan.
Setelah satu ayat ini dikuasai, yaitu hafal dengan baik dan lancar, baru boleh
melangkah praktek menghafal ayat berikutnya dengan cara yang sama pada ayat
pertama. Ketika ayat kedua ini sudah dikuasai yaitu hafal dengan baik dan lancar,
maka diulang lagi dengan merangkaikan ayat pertama dan kedua dengan hafalan
baik, benar, dan lancar, baru boleh melangkah praktek menghafal ayat berikutnya
dengan cara yang sama pada ayat pertama dan kedua. Begitu seterusnya dari kalimat
perkalimat, ayat perayat, halaman perhalaman, tidak boleh terputus, harus
dirangkaikan dan diulang-ulang terus hingga terekam di memori otak.
59
Untuk mengetahui hasil bacaan hafalan baik dan lancar, maka diperlukan
seorang instruktur, guru, atau pembimbing. Seseorang praktek menghafal Al Qur’an
tanpa guru, instruktur atau pembimbing, maka cenderung kesesatan, apabila bacaan
hafalannya salah. Oleh karena itu, peranan instruktur, guru, atau pembimbing sangat
diperlukan. Setelah berhasil praktek menghafalkan ayat-ayat yang ditentukan,
misalnya satu pojok dalam satu hari, kemudian disetorkan atau disimakkan kepada
instruktur untuk ditashih dan mendapatkan bimbingan seperlunya. Pada waktu
menyetor hafalan materi kedua, maka materi hafalan yang pertama harus disetor
ulang, begitu juga seterusnya, setelah setor materi yang baru diawali dengan
menyetor hafalan materi lama, minimal 10 halaman dan maksimal 20 halaman.
3. Praktek menghafal Al Qur’an yang diterapkan di Pondok Pesantren Darul Qur’an
Arjowinangun Cirebon
Pada pondok pesantren Darul Qur’an Arjowinangun Cirebon, yang dipimpin oleh K.
H. Ahsin Sakho Muhammad, memberikan beberapa langkah praktek menghafal Al
Qur’an (Ahsin Sakho Muhammad 2006, hlm. 114), yaitu :
Pertama : Membaca satu ayat dengan bacaan yang bagus, tartil (pelan),
bersuara walau pelan, dan utamanya dengan lagu, secara berulang-ulang sampai hafal
betul. Dalam prakteknya dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut :
1. Membaca ayat yang akan dihafalkan dengan melihat mushaf, secara berulang-
ulang sebanyak 10 kali dengan konsentrasi.
2. Membaca ayat tersebut dengan berulang-ulang, sekali waktu melihat mushaf, dan
sekali waktu memejamkan mata sebanyak 10 kali dengan konsentrasi.
60
3. Membaca ayat tersebut berulang-ulang dengan memejamkan mata (tanpa melihat
mushaf) sebanyak 10 kali dengan konsentrasi.
4. Membaca ayat tersebut berulang-ulang dengan membuka mata, tanpa melihat
mushaf sebanyak 10 kali dengan konsentrasi.
Apabila tahap keempat ini telah bisa dilakukan, berarti materi praktek hafalan
sudah benar-benar menyangkut di otak, karena ia tidak terpengaruh oleh
pemandangan yang ada dihadapan penghafal. Ulangan sebanyak 10 kali, seperti yang
ditulis di atas, tergantung dari kecerdasan otak masing-masing. Ada yang
mengulangnya hanya 4 sampai 5 kali sudah mampu dihafalkan. Apabila ayat yang
dihafalkan cukup panjang, bisa dipotong atau dibagi menjadi beberapa bagian. Lalu
setiap bagian dihafalkan dan dilanjutkan dengan bagian yang lainnya. Yang perlu
diingat adalah, bahwa penghafal Al Qur’an tidak boleh beralih praktek menghafal
ayat berikutnya sabelum surat yang pertama dihafal betul. Itulah yang banyak terjadi
di kalangan penghafal Al Qur’an, ia tergesa-gesa dalam praktek menghafal Al Qur’an
dengan tujuan dapat banyak hafalan dalam waktu yang singkat, tanpa memperdulikan
apakah mutu hafalannya baik atau tidak. Hal tersebut akan menjadi masalah
dikemudian hari, yaitu sewaktu penghafal Al Qur’an berada di pertengahan jalan,
materi hafalan pertama lupa lagi.
Kedua : Menyambung akhir ayat dengan awal ayat berikutnya. Hal tersebut
dilakukan karena praktek menghafalkan satu ayat merupakan satu pekerjaan, dan
menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya merupakan satu pekerjaan yang lain.
Apabila dalam praktek menghafal Al Qur’an, seorang langsung menghubungkan
akhir ayat dengan awal ayat berikutnya, maka dua pekerjaan tersebut bisa dilakukan
61
sekaligus, sehingga ketika ia mengakhiri satu ayat, ia langsung terbayang dalam
benaknya ayat berikutnya (Ahsin Sakho Muhammad 2006, hlm. 115).
Ketiga : Istiqamah atau konsisten dalam praktek menghafal Al Qur’an. Hal
tersebut sangat penting, sebab tanpa istiqamah atau konsisten, sulit untuk menentukan
lama waktu praktek menghafal. Istiqamah yang dikehendaki adalah :
1. Istiqamah dalam waktu, artinya penghafal Al Qur’an perlu mengatur waktu dalam
sehari semalam dengan sebaik-baiknya, dan perlu menyediakan waktu yang
menurut orang yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an, paling tepat untuk
menghafal.
2. Istiqamah dalam target hafalan, artinya apabila ia telah mentargetkan hafalan
untuk satu hari, sebagai contoh setengah halaman, maka ia akan terus mengejar
target tersebut setiap harinya, dan baru berhenti setelah targetnya tercapai (Ahsin
Sakho Muhammad 2006, hlm. 116).
Keempat : Takrir dan Tasmi’. Takrir artinya mengulang-ulang materi yang
sudah ia hafalkan, yaitu dengan membacanya (Ndres : Jawa) di waktu yang lain.
Penghafal Al Qur’an bisa membagi waktu menjadi dua atau tiga bagian pada setiap
harinya. Misalnya pagi hari untuk praktek menghafal materi baru dan sore harinya
untuk mentrakrir materi yang telah dihafalkan, atau sebaliknya. Dalam takrir bisa
juga dilakukan dalam shalat fardhu atau shalat sunnah. Sedangkan tasmi’ ialah
memperdengarkan hafalannya kepada orang lain yang lebih senior, yaitu mereka yang
hafalannya lebih kuat. Melalui tasmi’ ini seorang penghafal Al Qur’an akan diketahui
kekurangan pada dirinya, karena bisa saja ia lengah dalam mengucapkan huruf atau
harakat (baris). Dengan tasmi’, seseorang akan lebih berkonsentrasi dalam praktek
62
hafalannya. Metode tasmi’ ini dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dengan malaikat
Jibril. Tujuannya jelas, yaitu agar wahyu yang telah digunakan tidak ada yang
berkurang (Ahsin Sakho Muhammad 2006, hlm. 116).
Kelima : Memperhatikan ayat Mutasyabihat. Ayat mutasyabihat ialah ayat-
ayat yang mempunyai kemiripan dalam redaksi antara satu dan yang lainnya. Dalam
Al Qur’an terdapat benyak ayat-ayat mutasyabihat yang sering mengecoh seorang
penghafal Al Qur’an akan beralih pada surat yang lain. Oleh karena itu, sebaiknya
penghafal Al Qur’an mempunyai catatan kecil tentang ayat-ayat mutasyabihat ini
pada buku khusus, supaya mendapatkan perhatian lebih (Ahsin Sakho Muhammad
2006, hlm. 117).
Kegiatan Penunjang Praktek Menghafal Al Qur’an
Praktek menghafal Al Qur’an berbeda dengan praktek menghafal buku atau kamus.
Al Qur’an adalah kalamullah, yang akan mengangkat derajat mereka yang
menghafalnya. Oleh karena itu, para penghafal Al Qur’an perlu mengetahui hal-hal
penunjang untuk menjadi seorang hafizh atau hamalatul qur’an (Muhaimin Zen
1996, hlm. 33). Hal-hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama : Bergaul dengan orang yang sedang atau yang sudah selesai praktek
menghafal Al Qur’an.
Betapapun semangatnya seorang penghafal Al Qur’an, suatu saat akan
mengalami kondisi futur atau kelesuan ketika praktek menghafal akan datang. Faktor-
faktor penyebab futur, dapat hadir dari dalam atau dari luar diri. Sebagai contoh
faktor luar, dapat berwujud problem kehidupan dengan segala macam perniknya.
63
Problem ekstern ini sebenarnya tidaklah terlalu berat, karena apabila problem itu bisa
diatasi, maka akan selesai pula masalahnya. Faktor yang bersumber dari dalam diri
adalah problem yang paling berat, sebagai contoh, saat iman turun, seorang penghafal
Al Qur’an akan mengalami kelesuan, dan tidak tertarik lagi untuk praktek menghafal
Al Qur’an, tidak ada lagi kenikmatan bersama Al Qur’an, ia akan lebih nikmat
bersama hiburan-hiburan yang disajikan oleh televisi, koran, majalah, atau yang
lainnya (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm. 53).
Oleh karena itu, di sinilah fungsi bergaul dengan orang-orang yang sedang
atau yang sudah selesai praktek menghafal Al Qur’an, akan membantu penghafal
konsisten dalam program praktek menghafal Al Qur’an. Selain itu, mereka juga
berfungsi sebagai pemberi motifasi saat kelesuan praktek menghafal datang
menguasai diri para penghafal Al Qur’an.
Kedua : Mendengarkan bacaan hafizh Qur’an
Mendengarkan bacaan yang sudah hafal Al Qur’an sangat berpengaruh pada diri
penghafal Al Qur’an. Hal ini dapat dilakukan dengan mendengarkan secara langsung
ataupun melalui kaset tape recorder, CD/VCD/DVD atau yang lainnya, maka bacaan
tersebut akan terekam dalam ingatan sipenghafal Al Qur’an, termasuk iramanya. Hal
ini sangat bermanfaat bagi penghafal Al Qur’an dalam mencapai sukses menjadi
seorang hafizh Qur’an (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm. 49).
Ketiga : Mengulang praktek hafalan bersama orang lain
Dalam proses praktek menghafal Al Qur’an, melakukan pengulangan bersama orang
lain merupakan kebutuhan yang sangat pokok untuk mencapai kesuksesan. Dengan
melakukan kegiatan ini secara teratur, hafalan Al Qur’an akan lebih cepat matang dan
64
tertanam dalam otak. Selain itu terdapat manfaat lain yang tidak didapatkan dari
sarana-sarana pengulangan lain, yaitu ketika salah seorang penghafal Al Qur’an tidak
lancar dalam membaca hafalan, sementara temannya lancar, maka akan segera
diketahui bahwa kualitas bacaannya selama ini, atau bahkan akan menjadikan lebih
bersemangat lagi untuk melanjutkan program praktek menghafal Al Qur’an yang
telah dilakukan.
Keempat : Musabaqah Hifzhul Qur’an
Menurut Abdul Aziz Abdul Rauf (1996, hlm. 56), mengikuti musabaqah
(perlombaan) hifzhul Qur’an akan sangat bermanfaat sekali bagi yang sedang praktek
menghafal Al Qur’an, karena dalam musabaqah, suasana pembacaan yang akan
dihadapi seperti suasana ujian yang sangat serius. Suasana ini perlu dimanfaatkan
untuk mempersiapkan hafalan sebaik mungkin, agar si penghafal Al Qur’an
termotivasi untuk mengulang hafalan sebanyak-banyaknya.
Oleh karena itu, kegiatan musabaqah hifzhul Qur’an yang diadakan oleh
pemerintah setiap tahunnya, berdampak positif bagi para penghafal Al Qur’an untuk
memotivasi menyelesaikan dan menjaga hafalan Al Qur’annya, karena seorang
penghafal Al Qur’an akan terpacu untuk mengulang-ulang hafalannya menjelang
musabaqah lebih banyak dari hari biasanya.
Kelima : Selalu membaca praktek hafalan Al Qur’an dalam shalat
Satu hal yang perlu diingat, bahwa membaca Al Qur’an pada waktu shalat,
suasananya lain dibandingkan dengan saat membacanya di luar shalat. Ciri khas yang
akan dirasakan ketika dalam shalat, suasananya lebih menuntut keseriusan dan
konsentrasi penuh terutama ketika dalam tahap melancarkan hafalan (Abdul Aziz
65
Abdul Ra’uf 1996, hlm. 57). Kegiatan ini menurut penulis, cukup besar manfaatnya
dalam rangka mempercepat proses kuatnya sebuah hafalan Al Qur’an. Oleh karena
itu, sebelum melakukan shalat, harus mempersiapkan dengan baik, yaitu membaca
berulang-ulang sampai yakin betul bahwa ia siap membacanya dengan hanya
mengandalkan ingatan. Terutama ketika menjadi imam shalat-shalat jahr, maka
persiapan harus lebih banyak, baik dari segi waktu atau jumlah pengulangannya.
Keenam : Banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT
Pendekatan diri kepada Allah SWT ketika praktek menghafal Al Qur’an, sangat
membantu proses dalam penghafalan Al Qur’an. Beberapa manfaat yang akan didapat
adalah sebagai berikut.
a. Terjaganya semangat praktek menghafal yang ada dalam diri penghafal Al
Qur’an, karena ia selalu berada dalam lingkaran ketaatan kepada Allah SWT.
b. Memudahkan dan menguatkan proses hafalan, serta tidak cepat hilang dari
ingatan.
c. Hasil hafalan akan dirasakan oleh orang lain, sebagai kenikmatan dan siraman
rohani, karena kedekatan dirinya kepada Allah adalah cahaya yang menyinari
siapa saja yang bersih hatinya (Abdul Aziz Abdul Ra’uf 1996, hlm. 59).
Problematika Praktek Menghafal Al Qur’an
Apapun status umat Islam dalam hidup ini, mahasiswa, pelajar, pedagang dan lain
sebagainya, pasti tidak akan terlepas dari berbagai macam problem yang mungkin
menyesakkan hati umat Islam, dan terkadang sebagian umat Islam telah berhasil
melewatinya dengan penuh kesabaran dan kekuatan. Begitu juga dalam hal praktek
66
menghafal Al Qur’an. Seorang penghafal Al Qur’an, pasti akan menghadapi berbagai
problematika dalam proses praktek menghafal Al Qur’an, maupun setelah selesai
praktek menghafal Al Qur’an. Menurut Abdul Aziz Abdul Rauf, secara garis besar
ada dua faktor problematika dalam praktek menghafal Al Qur’an (Abdul Aziz Abdul
Rauf 1996, hlm 62).
Problematika Dakhiliyah (Internal)
1. Cinta dunia dan terlalu sibuk dengannya
Orang yang terlalu sibuk dengan kesibukan dunia, biasanya tidak akan siap untuk
berkorban, baik waktu maupun tenaga, untuk mendalami Al Qur’an atau praktek
menghafal Al Qur’an. Kenyataannya memang demikian, praktek menghafal Al
Qur’an tidak akan seluas orang yang mendalami bahasa Inggris, atau akuntansi dalam
mencari rizki (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 62). Oleh karena itu, Allah SWT
mengingatkan manusia agar jangan terlalu mencintai dunia. Hidup bersama Al
Qur’an adalah hidup sukses menuju akhirat. Pencinta dunia tidak akan akrab dengan
Al Qur’an. Namun, agama Islam bukanlah agama yang menyuruh umat Islam untuk
meninggalkan dunia secara total. Islam mengajarkan kepada umatnya agar
menjadikan dunia hanya sebatas sebagai sarana dan bukan tujuan yang harus diraih,
apalagi dengan mengorbankan akhirat.
2. Tidak dapat merasakan kenikmatan Al Qur’an
Kemukjizatan Al Qur’an telah terbukti mampu memberi sejuta kenikmatan kepada
para pembacanya yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Para penghafal Al
Qur’an senantiasa membaca Al Qur’an dengan frekuensi tinggi. Dan sebaliknya
orang yang tidak beriman kepada Allah, mereka tidak akan merasakan nikmatnya
67
ayat-ayat Allah. Allah SWT menjelaskan sikap mereka terhadap Al Qur’an, yang
intinya, jangankan disuruh membaca, mendengarkannya saja tidak akan mau, bahkan
mereka bersikap kecut, serta menjauhkan diri (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 64).
Allah berfirman :
ùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùùùùùù ùùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùùùùùùùùùùùùùùùùù ùùù ùùùùùùùùùùù ùùùùùù ùùùùùùùùùùùù ùùùùùùù ù ùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùù ùùù
ùùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùùùù ùùùùùùùùùùùùù ùùùùùùùù ùùùù Artinya : Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al Quran. Kami adakan suatu
dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat. Dan Kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga
mereka tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila engkau
menyebut Tuhanmu saja dalam Al Quran, mereka berpaling ke belakang melarikan
diri (karena benci) (Departemen Agama RI 2006, hlm 390).
3. Hati yang kotor dan terlalu banyak maksiat
Hafalan Al Qur’an akan dapat mewarnai penghafalnya, apabila dilandasi oleh hati
yang bersih dari kotoran syirik, takabur, hasud dan kotoran maksiat lainnya, karena
Al Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Suci, dibawa oleh
malaikat yang suci, diberikan kepada Rasulullah yang suci, dan diturunkan di tanah
yang suci. Oleh karena itu, praktek menghafal Al Qur’an tidak mungkin dilakukan
oleh orang yang berhati kotor. Mereka yang berhati kotor hanyalah membayangkan
kesan berat dan sulit ketika akan memulai praktek menghafal Al Qur’an. Apabila hati
sudah kotor, maka cahaya kebenaran Al Qur’an dan hidayah, tidak mampu menembus
kegelapan hati. Begitu juga dengan kekufuran dan kemaksiatan yang telah mendarah
68
daging, tidak lagi mampu keluar dari sarangnya (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm
66). Dampak maksiat terhadap hafalan Al Qur’an, tidak harus dalam bentuk sebuah
proses yang otomatis, begitu berbuat maksiat, langsung satu juz hilang dari ingatan.
Dampak maksiat itu kadang berproses, sekali bermaksiat, jarak antara penghafal dan
Al Qur’an makin jauh. Pada saat ini berlangsung, dan tidak segera bertaubat, maka
hilanglah minat penghafal terhadap Al Qur’an. Puncaknya, bubarlah ayat-ayat yang
telah dengan susah payah dihafal oleh si penghafal Al Qur’an dari ingatan. Inilah
musibah yang sangat besar, lebih besar dari kehilangan harta yang jumlahnya besar.
4. Tidak sabar, malas dan berputus asa
Praktek menghafal Al Qur’an memerlukan kerja keras dan kesabaran yang terus
menerus. Hal tersebut sesungguhnya telah menjadi karakteristik Al Qur’an itu sendiri.
Oleh karena itu, wajarlah apabila proses praktek menghafal Al Qur’an memerlukan
kesabaran dan ketekunan, serta tidak berputus asa. Tidak sabar, malas dan berputus
asa dapat terjadi karena lupa atau sudah tidak berminat lagi terhadap tujuan dan
fadhilah-fadhilah praktek menghafal Al Qur’an. Atau juga karena tidak siap untuk
bekerja keras, dikiranya bahwa yang memerlukan kerja keras hanyalah mencari uang,
berbisnis, meraih suatu gelar akademik dan lain sebagainya. Atau juga lemahnya
taqarrub kepada Allah. Padahal, semakin banyak seorang penghafal Al Qur’an
bertaqarrub kepada Allah, maka akan semakin tinggi nilai ruhiyahnya. Hal ini akan
memberikan motivasi yang sangat kuat. Atau juga terpengaruh oleh kondisi
lingkungan keluarga, tempat pendidikan, tempat kerja, dan kondisi masyarakat yang
belum merasakan secara penuh terhadap nilai dari sebuah hafalan Al Qur’an (Abdul
Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 70).
69
5. Semangat dan keinginan yang lemah
Salah satu problem intern bagi penghafal Al Qur’an adalah, lemahnya semangat dan
keinginan. Semangat dan keinginan yang kuat adalah modal utama untuk melakukan
apa saja, apalagi yang bernilai tinggi di mata Allah, maupun di mata manusia.
Semudah apapun sesuatu pekerjaan, apabila tidak dilandasi dengan semangat dan
keinginan yang kuat, maka tidak akan terlaksana dengan baik. Tentu saja Allah SWT
Maha Mengetahui semangat dan kemauan si penghafal Al Qur’an untuk berinteraksi
lebih banyak melalui hafalan Al Qur’an. Kemauan yang kuat akan terealisir dalam
bentuk usaha yang optimal dalam praktek menghafal Al Qur’an (Abdul Aziz Abdul
Rauf 1996, hlm 72).
6. Niat yang tidak ikhlas
Niat yang tidak ikhlas dalam praktek menghafal Al Qur’an, tidak saja mengancam
suksesnya hafalan Al Qur’an, namun juga mengancam diri penghafal Al Qur’an itu
sendiri pada hari kiamat. Keikhlasan dalam praktek menghafal Al Qur’an, harus
selalu dipertahankan dengan terus menerus. Hal tersebut akan menjadi motivator
yang kuat untuk mencapai sukses dalam praktek menghafal Al Qur’an (Abdul Aziz
Abdul Rauf 1996, hlm 74).
7. Lupa
Dalam praktek menghafal Al Qur’an, bagaimanapun cerdasnya otak manusia, akan
tetap mengalami problem lupa. Kenyataan ini harus disadari oleh sipenghafal Al
Qur’an, dan siap menghadapinya. Inilah karakteristik ayat-ayat Al Qur’an, yang
dijadikan oleh Allah mudah menguap atau lupa dari fikiran sipenghafal Al Qur’an.
Ternyata ayat-ayat Al Qur’an dijadikan oleh Allah itu mudah terlupakan, hal tersebut
70
mengandung hikmah, agar seorang penghafal Al Qur’an dapat menjadi akrab dengan
Al Qur’an sepanjang hidupnya, sehingga dialah orang yang meraih pahala yang
banyak dari Allah melalui Al Qur’an (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 77). Lupa
itu sendiri dapat dibagi dua kategori yaitu, lupa yang bersifat manusiawi dan alami,
serta lupa karena keteledoran. Lupa yang alami, adalah lupa yang biasa dialami oleh
si penghafal Al Qur’an, ketika hafalannya berproses sampai menjadi hafalan yang
lancar seperti air yang mengalir. Sedangkan lupa yang terjadi karena keteledoran,
bersumber dari penghafal sendiri, seperti malas mengulang-ulang hafalan, ia mengira
ayat-ayat tersebut seperti nasyid, selesai hafalan langsung terukir dalam ingatan,
bagaikan batu prasasti. Lupa seperti inilah yang tercela, bahkan sebagian ulama’
mengatakan sebagai suatu maksiat.
Problematika Kharijiyah (Eksternal)
1. Tidak mampu membaca dengan baik
Penghafal Al Qur’an yang belum mampu membaca dengan baik dan belum lancar,
akan merasakan dua beban ketika praktek menghafal. Beban membaca dan beban
praktek menghafal. Dua beban ini terkadang akan semakin terasa ketika ayat yang
dihafal semakin banyak, sehingga di tengah jalan jarang yang bertahan sampai 30 juz,
meskipun ada juga yang berhasil (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 80).
2. Tidak mampu mengatur waktu
Bagi mereka yang tidak mampu mengatur waktu akan merasakan, seakan-akan
dirinya tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan ini. Mereka yang tidak memiliki
banyak kesibukanpun kalau tidak pandai mengatur waktunya, tidak akan mampu
71
praktek menghafal, terlebih lagi bagi mereka yang sudah memiliki keterkaitan dengan
sesuatu (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 81).
3. Tasyabuhul ayat (ayat-ayat yang mirip dengan yang lain)
Menurut Abdul Aziz Abdul Rauf (1996, hlm 81), ayat-ayat yang serupa, terkadang
membuat jengkel bagi para penghafal Al Qur’an. Ayat-ayat seperti itu susah untuk
diingat. Ayat-ayat tersebut hanya dapat diingat apabila si penghafal Al Qur’an
memberi perhatian lebih terhadap ayat-ayat yang serupa. Oleh karena itu,
memperbanyak pengulangan pada ayat-ayat serupa melebihi ayat-ayat tidak serupa.
4. Pengulangan yang sedikit
Terkadang ketika praktek menghafalkan, si penghafal Al Qur’an merasa kesulitan
dalam membaca kembali ayat-ayat yang sedang dihafal. Atau ketika menyetor hafalan
tiba-tiba bacaannya tidak lancar, padahal ketika dipersiapkan, ia sudah merasa lancar
dan betul-betul hafal. Hal tersebut merupakan problem yang kecil. Karena frekuensi
waktu dan pengulangan ayat-ayat yang dilakukannya masih sangat sedikit (Abdul
Aziz Abdul Rauf 1996, hlm 83).
5. Belum memasyarakat
Praktek menghafalkan Al Qur’an dalam lingkungan suatu masyarakat yang belum
seutuhnya mengenal Al Qur’an, terkadang juga mempengaruhi si penghafal Al
Qur’an. Ada negara-negara atau di beberapa tempat yang menghargai dan
memasyarakatkan praktek menghafal Al Qur’an, seperti di Arab Saudi, Pakistan dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, bagi penghafal Al Qur’an, harus tetap semangat dan
istiqamah dalm menyelesaikan hafalan Al Qur’annya (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996,
hlm 84).
72
6. Tidak ada muwajjih (pembimbing/instruktur)
Muwajjih dalam dunia hifdzil Qur’an sangat penting bagi orang yang melakukan
praktek menghafal Al Qur’an. Keberadaannya akan selalu memberi semangat bagi
mereka yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an. Oleh karena itu, suatu hal
yang tidak wajar, apabila sudah ada pembimbingnya, tetapi tetap malas. Fungsi yang
paling pokok bagi seorang pembimbing adalah mengontrol hafalan Al Qur’an bagi si
penghafal Al Qur’an. Penghafal yang tanpa pembimbing dapat dipastikan, akan
banyak mengalami kesalahan dalam praktek menghafal, dan sering terjadi, apabila
sudah salah, maka akan susah untuk diluruskan (Abdul Aziz Abdul Rauf 1996, hlm
85).
Memelihara Praktek Hafalan Al Qur’an
Setelah dihafalnya tiap-tiap ayat atau halaman Al Qur’an tersebut, bukan berarti
praktek hafalan tersebut sudah dijamin melekat di dalam ingatan seseorang untuk
selamanya. Menurut Muhaimin Zen (1996, hlm. 94), secara teori, kekuatan praktek
hafalan rata-rata bisa bertahan enam jam. Oleh karena itu, selain praktek menghafal
seperti yang telah penulis uraikan di atas, yang harus memperoleh perhatian lebih
besar bagi seseorang yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an adalah
mengulang-ulang praktek hafalan dan memelihara praktek hafalannya tersebut. Nabi
Muhammad SAW mengisyaratkan, bahwa praktek menghafal Al Qur’an itu ibarat
berburu di hutan, apabila pemburu itu pusat perhatiannya ke binatang yang ada di
depannya, tidak memperhatikan hasil buruannya, maka hasil buruannya akan lepas
pula. Begitu pula orang yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an, apabila pusat
73
perhatiannya tertuju hanya kepada materi yang baru yang akan dihafal itu saja,
sedangkan materi yang sudah dihafal ditinggalkan, maka akan sia-sia, karena
hafalannya tersebut bisa lupa atau hilang (Muhaimin Zen 2006, hlm 94).
Al Qur’an mudah dihafal dan mudah hilang dari ingatan, praktek hafalan yang
sudah disetorkan ke instruktur dan sudah disimpan di memori otak, belum merupakan
jaminan hafal selama-lamanya, karena praktek hafalan dapat bertahan paling lama
dua belas jam. Oleh karena itu, selain praktek-praktek yang dikemukakan di atas tadi,
yang perlu mendapat perhatian serius adalah mempertahankan praktek hafalan. Untuk
mempertahankan praktek hafalan ini disebut dengan takrir (mengulang-ulang)
praktek hafalan.
Praktek Memelihara Hafalan Al Qur’an Bagi Yang Belum Selesai 30 Juz
Pada prinsipnya, orang yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an itu tidak boleh
lupa dan tidak boleh dilupakan, apabila hal tersebut terjadi, maka sia-sia pekerjaan
yang dilakukan selama ia praktek menghafal. Seharusnya apa yang sudah dihafal
dengan metode-metode yang baik tadi, tidak lupa dan tidak hilang dari ingatan,
namun begitulah kenyataannya. Oleh karena itu, upaya-upaya pemeliharaan hafalan
sewaktu ia praktek menghafal, sejak dini sudah diantisipasi, selain menambah hafalan
baru, hafalan yang sudah dikuasai harus dipertahankan dengan cara, antara lain
sebagai berikut.
1. Takrir sendiri
74
Seorang yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an harus bisa memanfaatkan
waktu untuk takrir dan untuk menambah hafalan. Hafalan yang baru harus selalu
ditakrir, minimal dalam sehari dua kali dalam jangka waktu satu minggu. Sedang
hafalan yang lama harus ditakrir setiap hari atau dua hari sekali. Artinya semakin
banyak hafalan harus semakin banyak pula waktu yang dipergunakan untuk takrir
(Muhaimin Zen 2006, hlm 97).
2. Takrir dalam shalat
Seorang yang praktek melakukan menghafal Al Qur’an, hendaknya bisa
memanfaatkan hafalannya sebagai bacaan dalam shalat, baik sebagai imam, atau
untuk shalat sendiri. Selain menambah keutamaan, cara demikian juga akan
menambah kemantapan hafalannya (Muhaimin Zen 2006, hlm 97).
3. Takrir bersama
Menurut Muhaimin Zen (2006, hlm 97), seorang yang praktek menghafal Al Qur’an,
perlu melakukan takrir bersama dengan dua teman atau lebih. Dalam takrir ini setiap
orang membaca materi takrir yang ditetapkan secara bergantian, misalnya masing-
masing satu halaman, dua halaman, atau ayat perayat. Ketika seorang membaca,
maka yang lain mendengarkan dan membetulkan jika ada yang salah.
4. Takrir kepada instruktur atau guru
Seorang yang melakukan praktek menghafal Al Qur’an, harus selalu menghadap
instruktur atau guru, untuk hafalan yang sudah diajukan. Materi takrir yang harus
dibaca harus lebih banyak dari materi tahfizh, yaitu satu banding sepuluh. Artinya,
apabila penghafal sanggup setor hafalan baru dua halaman setiap hari, maka harus
diimbangi dengan takrir dua puluh halaman atau satu juz (Muhaimin Zen 2006, hlm
75
98). Seorang instruktur penghafal Al Qur’an hendaknya, hafalan yang dimilikinya
pernah didengarkan kepada seorang guru, dan guru tersebut pernah
memperdengarkan hafalannya kepada gurunya, sehingga ada rangkaian sanad kepada
nabi Muhammad SAW, sebagai orang yang pertama yang menerima Al Qur’an
tersebut dari Jibril. Adanya silsilah guru penghafal Al Qur’an yang sampai kepada
nabi Muhammad, diperlukan untuk menjaga keotentikan Al Qur’an itu disampaikan
dengan cara ilqa’ atau syafawi, yakni secara lisan (M. Quraish Shihab 1997, hlm.
239).
Praktek Memelihara Hafalan Yang Sudah Selesai 30 Juz
Orang yang sudah selesai praktek menghafal Al Qur’an 30 juz, harus bisa
meluangkan waktunya setiap hari untuk melakukan takrir sendiri secara istiqamah,
sehingga dapat khatam atau selesai sekali dalam seminggu, sekali dalam dua minggu,
atau minimal sekali dalam sebulan. Yang paling baik apabila, dapat ditakrir sekali
khatam dalam seminggu. Menurut Muhaimin Zen cara yang dipakai adalah, dengan
membagi Al Qur’an menjadi tujuh bagian, yang diistilahkan dalam famy bisyauqin (
.artinya lisanku selalu dalam kerinduan (Muhaimin Zen 2006, hlm. 98) (فمي بشوق
Huruf-huruf dari kata tersebut, merupakan batas untuk takrir setiap harinya,
yaitu sebagai berikut :
a. ’fa’ (hari pertama) dari surat Al Fatihah sampai akhir surat An Nisa (ف)
b. mim (hari kedua) dari surat Al Maidah sampai akhir surat At Taubah (م)
c. ya’ (hari ketiga) dari surat Yunus sampai akhir surat An Nahl (ي)
d. ba’ (hari keempat) dari surat Bani Isra’il sampai akhir surat Al Furqan (ب)
e. syin (hari kelima) dari surat Asy Syu’ara’ sampai akhir surat Yasin (ش)
76
f. waw (hari keenam) dari surat As Shaffat sampai akhir surat Al Hujurat (و)
g. qaf (hari ketujuh) dari surat Qaf sampai akhir surat An Nas (ق)
Menurut Muhaimin Zen (2006, hlm. 99) menegaskan bahwa para ulama yang
mengamalkan cara tersebut biasanya memulai dari hari Jum’at sehingga khatam
sampai hari Kamis (malam Jum’at). Setelah khatam dilanjutkan dengan shalat malam
empat rakaat, masing-masing rakaat setelah membaca surat Al Fatihah membaca surat
Yasin pada rakaat pertama, kemudian setelah membaca surat Al Fatihah membaca
surat Ad Dukhan pada rakaat kedua, surat As Sajadah pada rakaat yang ketiga, dan
surat Al Mulk pada rakaat keempat (Muhaimin Zen 2006, hlm. 99).
Beberapa Nikmat atau Keutamaan Praktek Menghafal Al Qur’an
Al Qur’an merupakan pedoman hidup seluruh umat manusia, karena di dalamnya
berisi peraturan, perundang-undangan, untuk menata kehidupan umat manusia,
petunjuk menuju jalan yang benar, penerang kegelapan, penentram jiwa yang
gersang, penghibur hati yang sedih dan pembela dikala menghadapi keputusan yang
Maha Bijaksana di hari akhir nanti. Oleh karena begitu agung dan mulianya kalam
Allah, Allah akan meninggikan derajat hamba-hambaNya berkat Al Qur’an,
sebagaimana sabda nabi Muhammad :
عن عمر رضي ال عنه : إن نبيكم صلى ال عليه وسثلم قثد قثال "إن الث يرفثع بهثذا
الكتاب اقواما ويضع به اخرين"
Artinya : “Sesungguhnya Allah meninggikan derajat seseorang melalui Al Qur’an
dan merendahkan sebagian yang lainnya” (Muslim Al Naisaburi 1990, hlm. 328).
77
Ketinggian derajat yang diberikan Allah kepada seseorang melalui Al Qur’an
tidak hanya dalam wujud materi saja, akan tetapi juga berupa suatu penghormatan
atau penghargaan lainnya. Sebagai contoh, kedudukannya sebagai seorang imam
sholat. Orang yang fasih bacaan Al Qur’annya lebih diutamakan dari pada orang yang
alim atau faqih, demikian yang ditetapkan oleh para ulama’ dalam kaitannya
menentukan kriteria imam shalat. Betapa agungnya kalam Allah sehingga orang yang
bagus suara dan fasih lidahnya ketika melantunkan ayat-ayat Al Qur’an mendapat
penghargaan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja penghargaan
tersebut tidak hanya diberikan di dunia saja melainkan juga di akhirat nanti. Nabi
Muhammad bersabda :
عن ابي سعيد الخدري قال رسول ال صل ال عليثثه وسثثلم يقثثال لصثثاحبه القثثرآن اذا
دخل الجنة اقرأ واصدع فيقرأ ويصعد بكل آية درجة حتى يقرأ آخر شيء معه
Artinya : “Dari Abu Sa’id Al Khudry ra mengatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : Kelak akan dikatakan kepada orang-orang yang mempunyai hafalan Al
Qur’an ketika masuk surga “bacalah kemudian naiklah” lalu merekapun naik, tiap-
tiap satu ayat mereka dinaikkan satu derajat, mereka membaca sampai akhir” (Ibnu
Majah 1990, hlm. 377).
Demikianlah kemuliaan yang diberikan Allah kepada orang-orang ahli Al
Qur’an, karena mempelajari Al Qur’an lebih diutamakan atau didahulukan sebelum
mempelajari ilmu-ilmu lainnya, di samping mempelajari tentang hakikat keimanan.
Para ulama’ dahulu sebelum mereka mendalami ilmu-ilmu pengetahuan, lebih dahulu
mempelajari Al Qur’an, bahkan praktek menghafalnya, seperti Imam Syafi’i, Imam
78
Nawawi, dan para ulama’ atau ilmuwan Islam lainnya seperti Ibnu Sina, mereka
sudah hafal Al Qur’an sejak usia dini (Ramlah Hidayati 2006, hlm. 131).
Praktek menghafal Al Qur’an merupakan tugas mulia, karena turut menjaga
kemurnian kitab suci Al Qur’an, karenanya Allah menjanjikan kepada mereka yang
sibuk membaca dan praktek menghafalnya, dan dalam keseharian disibukkan
mengajarkan kepada orang lain serta mengkajinya, sehingga lupa urusan dunia, maka
Allah memberikan karunia lebih besar yang tidak mereka minta, sebagaimana sabda
nabi Muhammad SAW :
عن ابي سعيد اخدري قال قال رسول ال صلى ال عليه وسلم من شغله قراءة القرآن
عن مسألتي وذكري أعطيته افضل ثواب السائلين وفضل كلم ال علثثى سثثائر الكلم
كفضل ال على خلقه
Artinya : “Dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Siapa
yang disibukkan dengan membaca (mengkaji) Al Qur’an sehingga lupa urusan-
urusannya dengan Ku (Allah), maka ia akan Aku (Allah) beri karunia lebih utama
dari pada karunia yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon.
Keutamaan atau kedudukan kalam Allah dengan kalam-kalam lainnya seperti
kedudukan Allah terhadap makhlukNya” (Al Bukhari 1990, hlm. 125).
Hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang sibuk membaca, mengulang-
ulang bacaannya dalam rangka memelihara hafalannya serta mengkaji isi
kandungannya, demikian pula orang-orang yang kesehariannya sibuk menyediakan
waktu untuk mengajar Al Qur’an, sehingga lupa dengan urusan-urusan lainnya,
seperti urusan dunia, bahkan membaca zikir-zikir lain yang mempunyai nilai pahala
79
yang besar, istighfar, atau berdo’a kepada Allah, maka Allah akan memberikan pahala
dan karunia yang banyak, yang akan mereka dapati di akhirat nanti, dan karunia-
karunia lainnya di dunia, termasuk dalam urusan dunia, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam penghidupan dan pahala lebih banyak dari pada pahala yang
diberikan kepada orang yang berdo’a dan berzikir.
Keagungan Al Qur’an tidak bisa disamakan dengan bacaan atau zikir-zikir
lainnya, kendati dalam beberapa hadits nabi, zikir-zikir tersebut mempunyai nilai
pahala yang banyak dan fadhillah yang besar, namun nilai pahala dan keutamaan
semua bentuk zikir-zikir tersebut, masih berada di bawah keutamaan Al Qur’an.
Pahala yang akan dijanjikan Allah untuk orang-orang yang ahli Al Qur’an, dan
mereka yang hafal Al Qur’an, dijelaskan dalam hadits berikut.
ال رسثول الث صثلى الث عليثه وسثلم مثن قثرأ القثرآن عن علي بن أبي طالب قثال ق
وحفظه أدخله ال الجنه وشفعه في عشرة من اهل بيته كلهم قد استوجبوا النار
Artinya : “Dari Ali ibn Thalib, bahwa Rasulullah SAW bersabda : barang siapa
membaca Al Qur’an kemudian menghafalnya, Allah akan memasukkannya ke surga,
dan ia diberi hak membawa masuk bersama sepuluh orang keluarganya, mereka
semua selamat dari api neraka” (Muslim Al Naisaburi 1990, hlm. 238).
Betapa mulianya kedudukan yang diberikan Allah kepada para penghafal Al
Qur’an di akhirat nanti. Mereka dijanjikan oleh Allah surga yang didambakan oleh
banyak orang-orang yang beriman, bahkan turut membawa serta sanak keluarga yang
mereka cintai dan yang seiman dengannya, sungguh merupakan kebahagiaan mereka
di dunia dan di akhirat.
80
Dari semua penjelasan yang telah ada di atas, penulis mengambil kesimpulan
bahwa, semua praktek yang ada saling menunjang satu dengan yang lainnya, seperti
rantai yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Ia tidak akan berhasil dengan
baik, apabila meninggalkan salah satu praktek yang ada. Kemudian terhadap para
penghafal Al Qur’an banyak tantangan yang mereka temui saat ini. Ada umat Islam
yang beranggapan bahwa praktek menghafal Al Qur’an tidak membawa prospek yang
bagus dan cerah bagi masa depan kehidupan mereka, dalam arti kesejahteraan
ekonomi. Oleh karena itu, tidak heran jika penghafal Al Qur’an masih didominasi
oleh orang-orang di pedesaan dan dari pesantren-pesantren, di mana unsur keterikatan
mereka dengan guru-gurunya sangat kental. Mereka inilah yang melakukan praktek
menghafalkan Al Qur’an tanpa pamrih, dan pada umumnya ingin mengikuti jejak
gurunya. Hal seperti ini tidak begitu diminati oleh orang-orang kota, di mana cara
berfikir mereka adalah, bagaimana biaya atau investasi yang telah mereka keluarkan,
dan energi yang telah mereka curahkan, bisa membawa hasil atau out put. Oleh
karena itu, perlu difikirkan bersama bagaimana caranya agar penghafal Al Qur’an di
Indonesia yang nota bene adalah negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar
di seluruh dunia ini terus bertambah, dan mendapatkan perhatian dari seluruh
kalangan. Apabila tidak difikirkan sejak sekarang, maka dikhawatirkan para
penghafal Al Qur’an di Indonesia semakin sedikit. Tentu saja hal ini sangat
memalukan bagi umat Islam.
81
Top Related