BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era globalisasi seperti ini, perkembangan teknologi semakin pesat. Hal
inipun menyebabkan perkembangan pada teknologi material. Seiring dengan
berkembangnya teknologi material, maka berkembang pula kebutuhan akan
material tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan akan material, konsumen
cenderung memilih material dengan kualitas yang baik, memiliki efisiensi
baik dari segi kualitas bahan, struktur material maupun dari harganya.
Berbagai rekayasa dilakukan untuk meningkatkan kualitas material tersebut,
baik dari segi kekerasaan, keuletan, kekenyalan dan lain-lain. Karena material
memiliki sifat (properties) dan ciri-ciri (karakteristik) material untuk
menentukan layak tidaknya material tersebut untuk diproduksi menjadi suatu
alat. Secara mekanik pengujian yang dilakukan harus dapat mengungkapkan
sifat mekanik dari bahan tersebut. Untuk memperoleh suatu bahan yang
memiliki sifat mekanik yang sesuai dengan keinginan, maka diperlukan
rekayasa bahan. Suatu bahan dapat deperlukan dan dipadu secara tepat. Salah
satu perlakuan yan dapat dilakukan pada material adalah heat treatment.
1.2 Teori Dasar Pengujian Bahan
1.2.1 Sifat Mekanik Bahan/Logam
Sifat mekanik logam adalah sifat yang menyatakan kemampuan
suatu logam untuk menerima beban atau gaya tanpa mengalami
kerusakan pada logam
1. Kekuatan (Strength) [N/mm3 , kg/mm2 , lb/m2]
Yaitu kemampuan bahan untuk menerima gaya berupa tegangan
tanpa mengalami pata pada bahan, kekuatan ada beberapa macam,
tergantungg dari jenis beban yang bekerja. Diantaranya kekuatan
tekan, tarik, kekuatan torsi, kekuatan kelengkungan dan kekuatan
2. Kekerasan (Hardness) [BHN, VHN, HRC]
Yaitu kemampuan material logam menerima gaya berupa
penetrasi, pengikisan ataupun penggoresan. Sifat kekerasan memiliki
hubungan dengan sifat kekuatan dan juga dengan sifat daya tahan
aus.
3. Kekakuan (Stifness) [Simpangan]
Yaitu kemampuan bahan untuk menerima beban tanpa
menyebabkan perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi
4. Ketangguhan [kg/mm]
Yaitu kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energy tanpa
menyebabkan terjadinya kerusakan.
5. Kekenyalan [%]
Yaitu kemampuan bahan untuk menerima teganan tanpa
mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah
beban/tegangan dihilangkan. Kekenyaalan menyatakan seberapa
banyak terjadi perubahan bentuk secara elastis yang dapat dialami
sebelum deformasi plastis terjadi. Dapat juga dinyatakan sebagai
kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk atau ukuran mula-mula
setelah beban dihilangkan.
6. Plastisitas [%]
Yaitu kemampuan bahan untuk mengalami sejumlah deformasi
plastis.
7. Kelelahan (Fatigue) [Siklus]
Menyatakan kencenderungan logam untuk patah, jika menerima
beban berulang-ulang dibawah kekuatan elastisnya.
8. Merangkak (Creep) [Siklus]
Bagian dari mesin dan struktur dapat bedeformasi secara
kontinyu dan perlahan dalam kurun waktu yang lama bila dibebani
secara tetap.
Jenis pengujian bahan ada 2 macam:
1. Pengujian Destruktif
Adalah teknik mengevakuasi sifat dari specimen dengan
menyebabkan kerusakan. Tes ini umumnya mudah pelaksanaannya
menghasilkan informasi lebih lanjut dan lebih mudah menafsirkan
sifat bahan tersebut.
Contoh:
Stress Test
Crash Test
Hardness Test
Metallography Test
2. Pengujian bahan non destruktif
Adalah teknik mengevaluasi sifat dari specimen tanpa
menyebabkan kerusakan. Pengujian ini tidak mengubah specimen
secara permanen sehingga dapat menghemat biaya dan waktu
Contoh:
Ultrasonic
Penentuan Cair
Radiografi
Magnetic – Partikel
Dalam uji mekanik ini, dikenakan 2 macam pembebanan:
1. Pembebanan statis
Yaitu pembebanan yang sifatnya static atau besarnya tetap atau
berubah dengan sangat lambat.
2. Pembebanan Dinamis
Yaitu pembebanan yang besarnya beban berubah-ubah atau
dinamis
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat mekanik baja yaitu:
1. Unsur kimia
Penambahan unsur kimia pada baja dapat mempengaruhi sifat
mekaniknya. Penambahan pada baja akan membuat baja semakin
keras tapi rapuh.
a. Nikel untuk meningkatkan
Kekuatan dan kekerasan
Ketahanan terhadap korosi
Keuletan dan tahan gesek
b. Chromium untuk:
Meningkatkan kekerasan
Membentuk karbid
Menambah keeleastisan
c. Mangan untuk:
Meningkatkan kekerasan
Meningkatkan ketahanan terhadap suhu tinggi
Membuat mengkilap
d. Carbon untuk:
Meningkatkan kekerasan dan kekuatan
Menurunkan keuletan dan keelastisan
e. Silicon
Memperbaiki sifat kelistrikan dan kemagnitan
Memperbaiki ketahanan oksidasi
Menambah sifat mampu keras dan kekuatan
f. Titanium
Menjaga kekerasan pada baja krom tinggi
Memperbaiki ketahanan korosi
g. Phosporus
Memperbaiki ketahanan korosi
Memperbaiki sifat mampu mesin
h. Vanadium
Memperbaiki sifat mampu keras
Memperbaiki struktur
2. Ukuran butiran
Ukuran butiran pada bagian baja sangat berpengaruh, ukuran
butiran yang besar membuat baja mempunyai sifat ulet, sedangkan
untuk ukuran butiran yang kecil dan tidak homogen, maka baja
tersebut mempunyai sifat kaku dan getas.
Pengaruh dari ukuran butir terhadap kekuatan logam dihitung
dengan rumsu Hall Pitch, dimana:
3. Fasa/Struktur
Fasa dapat mempengaruhi sifat mekanik baja, karena pada tiap-
tiap fasa pada baja memiliki stuktur mikro sendiri dengan sifat
mekanik, fisik dan kimia yang berbeda misalnya fasa martensit
memiliki sifat keras rapuh, magnetik, serta nilai kekerasan 650-700
BHN. Sedangkan fasa ferit memiliki sifat liat, lunak, tahan gesek dan
nilai kekerasan 60-180 BHN. Jadi dapat dikatakan fasa martensit
memiliki kekerasan lebih tinggi dari fasa ferit.
Baja yang memiliki struktur teratur mempunyai sifat mekanik
yang lebih baik, bila dibandingan baja yang strukturnya tidak teratur.
Sebab tegangan daslam yang timbul lebih besar. Tegangan dalam
berbanding terbalik dengan sifat mekanik.
4. Cacat
Cacat kemungkinan terjadi selama proses pertumbuhan kristal
atau pada proses heat treatment (perlakuan panas). Cacat ini
dibedakan menajadi cacat titik, cacat garis, cacat bidang, dan cacat
ruang. Cacat yang terjadi pada baja menyebabkan kerusakan pada
struktur baja misalnya terjadinya kekosongan (vacancy), sisipan dan
slip. Kerusakan ini menyebabkan menurunnya sifat mekanik baja.
1.1.2 Macam-macam Perlakuan Panas
Proses perlakuan panas secara umum didefinisikan sebagai
kombinasi dari operasi pemanasan dan pedinginan dengan kecepatan
tertentu yang dilakukan terhadap logam/paduan sebagai suatau upaya
untuk memperolej sifat-sifat tertentu. Proses perlakuan panas pada
umumnya terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dari pemanasan
tertentu dengan temperature tertentu, lalu diikuti dengan penahanan
selama beberapa saat, baru kemudian dilakukan pendinginan dengan
kecepatan tertentu. Macam-macam perlakuan panas
a. Heat treatment secara fisik
Anealing
Proses perlakuan panas yang terjadi dari permukaan yang
dipanaskan dan diholding pada suhu tertentu yang
selanjutnhya didinginkan secara isothermal. Proses ini
bertujuan untuk meningkatkan keuletan, menghaluskan
ukuran butir dan memperbaiki machinability.
Stess Relieving
Adalah proses perlakuan panas yang bertujuan unuk
menghilangkan tegangan sisa. Prosedurnya asdalah dengan
memanaskan baja sampai 600°C selama beberapa menit.
Sehingga tidak terjadi perubahan fase.
Normalizing
Proses perlakuan panas yang dilakukan diatas temperatur
kritis (723oC) sampai menjadi austenite, lalu didinginkan
dengan medium udara. Proses ini bertujuan untuk
membentuk struktur mikro dengan butir halus dan seragam
Hardening
Proses perlakuan panas diatas temperature kritis sampai
menjadi austenite, lalu didinginkan secara cepat (quenching).
Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kekerasan.
Tempering
Proses perlakuan panas dengan memanaskan kembali
baja hasil quenching di bawah suhu kritis (723oC), proses ini
bertujuan untuk menaikkan keuletan. Macam-macam
tempering adalah:
Gambar 1.1 Quenching dan Tempering
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Austempering
Gambar 1.2 Austempering
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Proses Tempering dengan cara quenching sampai diatas
suhu martensit, kemudian ditahan sampai austenite berubah
menjadi bainit.
Martempering
Gambar 1.3 Martempering
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Proses tempering dengan cara quenching sampai menjadi
martensit, kemudian dipanaskan kembali sampai di bawah
suhu kritis (723oC), lalu ditahan kemudian didinginkan.
b. Heat treatment secara kimia
Carburizing
Perlakuan panas dengan cara difusi karbon di atas suhu
kritis (723oC). Proses ini bertujuan untuk menghasilkan baja
karbon yang lebih tinggi kekerasannya di bagian permukaan.
Nitriding
Proses perlakuan panas dengan cara difusi nitrogen di
bawah suhu kritis (723oC) untuk menghasilkan baja karbon
yang tahan lelah.
1.1.3 Diagram Fase Fe-Fe3C
Diagram ini menunjukkan fase-fase pendinginan yang sangat
lambat pada berbagai variasi temperature dan komposisi iron (Fe)
carbon dengan presentase berat maksimum sebesar 6,67%C.
Gambar 1.4 Diagram Kesetimbangan Fe-Fe3C
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-post.html
Keterangan:
α = Ferit = • Paduan Fe dan C dengan kelarutan C maksimum
0.02% pada 723oC
• Struktur kristal BCC
γ = Austenit = • Paduan fed an C dengan kelarutan C maksimum
2,08% pada 1148oC
• Struktur kristal FCC
Fe3C = Cementit = Senyawa Fe3C dengan kandungan C maksimum
6.67%
Besi Delta = • Paduan Fe dan C dengan kelarutan C maksimum
0,1% pada 1493oC
• Struktur kristal BCC
Liquid = Fase cair dengan kelarutan C tak terbatas dalam Fe pada
temperature bervariasi
Bainit = Fase gabungan dari ferit dan cementid dengan kandungan
C=0,8%
Kurva Pendinginan Besi Murni
Gambar 1.5 Kurva Pendinginan Besi Murni
Sumber: Avner, Sidney. Introduction to Physical Metallurgy.
Mc Graw Hill. 1974. 226
Besi merupakan logam allotropic, yang berarti besi
merupakan memiliki lebih dari 1 fasa tergantung pada
temperaturnya.
Saat besi dalam keadaan liquid didinginkan pada suhu
2800oF, besi akan terbentuk δ (delta) dengan struktur BCC.
Selanjutnya, jika besi itu didinginkan lagi sampai pada suhu
2554oF, yang awalnya berbentuk δ (delta) akan berubah dan
atom-atomnya akan tersusun menjadi bentuk gamma (γ) dengan
struktur FCC dan non magnetic. Saat suhunya mencapai 1666oF
maka besi γ akan mengalami perubahan struktur menjadi besi α
dengan struktur BCC dan non-magnetik yang disebut besi β.
Akhirnya, pada suhu 1414oF, β iron akan menjadi α iron
magnetic tanpa ada perubahan strukturnya.
Transformasi Baja Eutectoid (0,8%C)
Gambar 1.6 Transformasi Baja Eutectoid
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Transformasi yang dibahas berikut ini adalah transformasi
yang terjadi pada kondisi equilibrium baja eutectoid.
Paduan besi karbon dengan kadar karbon (C=0,8%) adalah
(titik 1) dengan komposisi eutectoid diatas garis liquidus/berupa
larutan cair saat temperature diturunkan secara perlahan, pada
saat mencapai garis liquidus akan secara perlahan, pada saat
mencapai garis liquidus akan mulai terbentuk inti austenite (titik
2). Selanjutnya austenite akan tumbuh menjadi dendrite
austenite. Pembekuan terjadi di garis solidus seluruhnya sudah
menjadi austenite. Selanjutnya tidak terjadi perubahan hingga
temperature mencapai 723oC. Disini austenite akan mengalami
reaksi eutectoid
Austenit → Ferit + Cementit
Terbentuknya pearlite ini dengan terbentuknya inti
cementid pada batas butir austenite. Inti tersebut akan
mengambil sejumlah karbon dari austenite disekitarnya, karena
austenite di sekitar inti cementit itu akan kehabisan karbon,
sehingga akan menjadi pearlite.
Lalu ferit akan tumbuh dengan mengambil besi dari
austenite disekitarnya sehingga austenite akan menjadi cementit,
demikian seterusnya sampai seluruh austenite habis dan yang
terbentuk adalah struktur yang berlapis (ferit-cementit-ferit-
cementit dan seterusnya). Struktur tersebut dinamakan pearlite.
Transformasi Pada Baja Hypoeutectoid (%C < 0,8%)
Gambar 1.7 Transformasi Baja Hypoeutectoid
Http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-post.html
Sebagai contoh untuk pembahasan pada baja hypoeutectoid
ini diambil baja dengan 0,25%C. paduan ini akan mulai
membeku pada titik 2 dengan membentk inti ferit delta, hingga
temperature peritectid. Paduan ini terdiri dari ferit delta dan
liquid.
Pada paduan ini tidak semua liquid habis dalam reaksi itu,
sehingga pada temperature sedikit dibawah titik struktur yang
terdiri dari liquid dan austenite.
Perubahan berikutt baru akan terjadi pada titik 3
transformasi austenite γ menjadi α. Transformasi ini dimulai
dengan terbentuknya inti-inti ferit pada batas butir austenite.
Austenite pada paduan ini mengandung 0,25%C, sedangkan ferit
ditemperatur ini hanya mampu melarutkan sedikit sekali C,
karena itu austenite menjadi kaya karbon. Maik rendah
temeperaturnya makin banyak ferit yang terjadi, makin tinggi
kadar karbon pada sisa austenite. Pada temperature (723OC)
yaitu 0,8%C (titik 4). Sisa austenite ini selanjutnya akan
mengalami reaksi eutectoid menjadi pearlite, sehingga paduan
akan terdiri dari ferit dan pearlite (titik 5).
Setelah selesainya reaksi eutectoid ini, struktur akan terdiri
dari ferit dan pearlite. Ferit preeutectoid adalah ferit yang
terbentuk sebelum reaksi eutectoid. Pada mikroskop. Ferit
tampak lebih putih dan perlit agak kehitaman.
Transformasi Baja Hypereutectoid (0,8% < %C < 2%)
Gambar 1.8 Transformasi Baja Hypereutectoid
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Perhatikan suatu paduan dengan 1,3%. Paduan mulai
membeku pada titik 2 dengan membentuk austenite dan
pembekuan selesai di titik 3, seluruhnya sudah berupa austenite.
Selanjutnya tidak terjadi perubahan sampai temperature mencapi
garis lurus. Garis ini merupakan bekas kelarutan karbon dalam
austenite. Pada titik 3 paduan telah mecapai batas
kemampuannya untuk melarutkan karbon untuk temperature ini.
Pada temperature di bawah titik 4 kemampuan melarutkan C
juga turun, berarti harus ada C yang keluar dari larutan
austenite. Dan memang dengan pendinginan lebih lanjut akan
terjadi pengeluaran karbon, hanya saja karbon yang keluar ini
akan berupa cementit (titik 4). Dan cementit ini akan
mengendap pada batas butir austenite. Makin rendah
temperature paduan, semakin banyak cementit yang mengendap
pada batas butir austenite dan austenite sendiri makin kaya
kandungan Fe, dan pada temperature eutectoid ini akan
mengalami reaksi eutectoid menjadi pearlite (titik 5).
Cementit yang mengendap pada batas butir austenite tidak
membentuk butiran seperti halnya ferti, tetapi hanya mengumpul
pada batas butir austenite, karena itu cementit seperti itu
dinamakan “Cementit Network”. Secara 3D jaringan cementit
itu sebenarnya merupakan lempengan yang kontinyu dalam
membungkus austenite.
Diagram TTT
Diagram ini sering disebut dengan diagram C atau diagram
S, karena mentuknya seperti huruf c dan s. kurva ini
memperlihatkan permulaan dan akhir dari suatu transformasi
akibat proses pendinginan. Misalnya gerak transformasi
austenite menjadi campuran ferit dan cementit. Contoh
sederhana yaitu pemanasan baja sampai temperature dimana
austenite dalam keadaan stabil dan kemudian didinginkan
dengan cepat sampai mencapi suhu 700oC, 600oC, 500oC dan
sebagainya. Hasil penyelidikan dipetakan sebagai kurva yang
menunjukkan besarnya komposisi austenite terhadap waktu
yang diperlukan dari awal proses.
Gambar 1.9 Diagram TTT
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Diagram TTT Transformasi Isotermal
Pendinginan non-equlibrium dari baja yang telah
dipanaskan hingga mencapai struktur austenite dapat
digambarkan dalam suatu diagram hubungan antara waktu,
temperature dan hasil akhir transformasi atau dikenal dengan
diagram TTT. Diagram ini secara umum dapat memberikan
informasi mengenai permukaan dan akhir dari proses yang
dicapai akibat pendinginan waktu, kecepatan
pendinginan/jangkauan waktu tertentu. Diagram TTT juga
menunjukkan besar presentase transformasi yang dicapai dari
austenite pada temperature tertentu.
Gambar 1.10 Kurva Pendinginan Diagram TTT
Sumber: Avner, Sidney. Introduction to Physical Metallurgy.
Mc Graw Hill. 1974. 271
Dari gambar diatas terlihat bahwa disebelah kiri kurva tidak
terjadi deformasi, austenite hanya berubah kesetabilannya.
Selanjutnya austenite yang sudah tidak stabil tersebut
mengalami dekomposisi secara isothermal pada zona A + F + C
dan baru akhirnya berubah struktur menjadi F + C. pendinginan
yang sangat cepat berpotensi terhadap produksi ukuran butir inti
kritis yang tumbuh stabil, disamping mengingatkan austenite
(semakin stabil) yang dapat mendukung terbenuknya fase baru
martensit.
Ketika austenite didinginkan secara lambat, sampai
ditemperatur bawah/LCT (lower critical temperature), struktur
yang terbentuk adalah pearlite. Akibat dari laju pendinginan
yang meningkat maka temperature transformasi pearlit akan
lebih rendah. Mikrostruktur material berubah secara signifikan
akibat peningkatan laju pendinginan melalui sebuah pengujian
pemanasan dan pendinginan kita dapat mencatat transformasi
dari austenite.
Urutan tingkat laju pendinginan dari perdinginan lambat
higga pendinginan cepat adalah sebagai berikut:
Pendinginan dapur, pendinginan udara, oli, liquid salt
quenching, air dan brites quenching, jika pendinginan
ini digambarkan pada diagram TTT, hasil dari struktur
akhir serta waktu yang diperlukan selama transformasi
bisa didapatkan.
Gambar 1.11 menunjukkan daerah kiri kurva merupakan
daerah austenite. Austenit stabil pada temperature LCT, namun
tidak stabil jika di bawah temperature LCT. Kurva sebelah kiri
menandai awal transformasi dan sebelah kanan menandai hasil
akhir transformasi daerah diantara kurva kiri dan kanan
menandai transformasi dari austenite menjadi struktur kristal
yang berbeda-beda (transformasi austenite menjadi ferit,
austenite menjadi martensit, dan austenite menjadi bainite)
Gambar 1.11 Diagram TTT
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
tttdiagram.html
Gambar 1.12 menunjukkan setengah TTT diagram bagian
atas sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.12 ketika austenite
didinginkan pada temperature dibawah LCT. Austenite
bertransformasi menjadi struktur kristal lain. Karena austenite
tidak stabil, laju pendinginan spesifik telah dipilih sehingga
didapatkan transformasi austenite 50%, 100% pearlite, dengan
kata lain ketika kita menggunakan laju pendinginan lambat
seluruh austenite akan bertransformasi menjadi pearlite. Jika
laju pendinginan melewatii daerah tengah tranformasi hasil
akhir dari transformasi adalah 50% austenite dan 50% pearlite.
Aritnya pada laju pendinginan tertentu kita dapat
mempertahankan austenite tanpa bertranformasi menjadi
pearlite.
Gambar 1.12 Diagram TTT Bagian Atas
(daerah transformasi austenite – pearlite)
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
tttdiagram.html
Gambar 1.13 menunjukkan tipe dari tranformasi yang
didapat pada laju pendinginan yang lebih cepat, jika laju
pendinginan sangat tinggi, kurva pendinginan akan berhenti
pada sebelah kiri dari awal kurva pendinginan. Pada kasus ini
seluruh austenite akan berubah menjadi martensit, jika pada
pendinginan ini tidak terjadi interupsi, maka pada akhir
pendinginan akan didapatkan martensit.
Gambar 1.13 Diagram TTT Bagian Bawah
(daerah transformasi austenite – martensit - bainite)
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
tttdiagram.html
Gambar 1.14 laju pendinginan A dan B menunjukkan 2
proses laju pendinginan cepat. Dalam kasus ini kurva A akan
menyebabkan distorsi dan tegangan dalam yang lebih tinggi dari
pada laju pendinginan B. Hasil hakhir dari kedua pendinginan
itu adalah martensit. Laju pendinginan B dikenal sebagai
Critical Cooling Rate (CCR), yang ditunjukkan oleh kurva yang
menyentuh nose TTT diagram tepat pada satu titik CCR.
Didefinisikan 100% martensit dengan distorsi dan tegangan
dalam paling kecil.
Gambar 1.14 Laju Pendinginan Quenching
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
tttdiagram.html
Gambar 1.15 menunjukkan proses quenching terinterupsi
(garis horizontal menunjukkan interupsi) dengan cara
mencelupkan material di larutan garam (molten salt bath) dan
perendaman dilakukan pada temperature konstan diikuti dengan
proses pendinginan yang melewati daerah bainit pada TTT
diagram. Hasil akhir struktur bainit yang sifatnya tidak sekeras
martensit. Hasil dan laju pendinginan D adalah dimensi lebih
stabil, distorsi kecil. Internal stress lebih kecil.
Gambar 1.15 Quenching Terinterupsi
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
tttdiagram.html
Dari gambar 1.16 dapat diketahui kurva pendinginan
(menentukan proses pendinginan yang lambat) seperti pada
pendinginan dapur. Sebuah contoh pendinginan lambat adalah
proses annealing dimana austenite bertransformasi menjadi
pearlite sebagai hasil pendinginan lambat.
Gambar 1.16 Proses Pendinginan Lambat (Anealing)
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
ttdiagram.html
Terkadang kurva pendinginan menyentuh daerah tengah
dari kurva transformasi yang merupakan daerah austenite-
pearlite pada gambar 1.17 kurva pendinginan E menunjukkan
laju pendinginan yang tidak cukup tinggi untuk menghasilkan
100% martensit. Hal ini dapat diamati dengan mudah, dengan
melihat diagram TTT. Oleh karena kurva pendinginan E tidak
menyentuh nose dari diagram transformasi, maka austenite
bertransformasi menjadi 50% (kurva E menyentuh kurva 50%),
karena kurva E juga melalui zona martensit pada diagram
transformasi, maka sisa 50% austenite akan berunah atau
bertransformasi menjadi martensit.
Gambar 1.17 Laju pendinginan yang Menghasilkan Struktur Akhir
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/ tttdiagram.html
a. laju pendinginan yang berbeda
b. austenite c. bainit d. martensit e. pearlit
Gambar 1.18 Macam-Macam Struktur Mikro yang Dihasilkan
pada Laju Pendinginan Berbeda
Sumber: http://info.lu.farmingdale.edu/depts/met/met205/
tttdiagram.html
Gambar 1.19 Diagram TTT untuk Baja Hypoeutectoid
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Gambar di atas menunjukkan diagram transformasi untuk
baja Hypoeutectoid. Pada transformasi ini sangat sulit terbentuk
martensit karena membutuhkan waktu yang sangat cepat
Gambar 1.20 Diagram TTT untuk Baja Eutectoid
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Diagram TTT diatas adalah diagram pembentukan baja
eutectoid. Pada diagram di atas, pembentukan martensit dapat
dilakukan lebih lambat dari grafik TTT. Untuk baja
Hypoeutectoid karena titik kritis (CCR) semakin ke kanan.
Gambar 1.21 TTT Diagram Hypereutectoid Steel
Sumber: web.utk.edu/~kjohann1/mseza/lab4.pdf
Gambar di atas menyatakan bahwa martensit dapat
diperolehh lebih mudah daripada dengan TTT eutectoid, tetapi
untuk mendapatkan pearlite dibutuhkan waktu yang lama
disbanding diagram eutectoid.
Gambar 1.22 CT Diagram
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-
post.html
Penerapan metode transformasi isothermal, seperti
pengaustemperan dan martempering dalam industri pengolahan
baja agak terbatas, sebagian besar perawatan panas baja
melibatkan austerizing materi pada suhu yang tepat, diikuti oleh
pendinginan terus-menerus sampai suhu kamar atau suhu yang
dikehendaki. Dengan demikian transformasi tidak terjadi
austenite isothermal, seperti yang diasumsikan dalam diagram
TTT, tapi selama jangka waktu tertentu dimana suhu turun,
katakanalah T1 ke T2. Oleh karena itu terus menerus seelama
pendinginan yang lebih rendah dan lebih lama transformasi
selama pendinginan isothermal. Akibatnya, transformasi
austenite akan sedikit tertunda. Hal ini menyebabka kurva TTT
akan bergeser ke arah temperature lebih rendah dan lebih lama
bertransformasi selama pendinginan kontinyu dibandingkan
dengan pendinginan isothermal. Jenis perilaku transfomasi
paling tepat digambarkan dengan menggunakan pendinginan
kontinyu transformasi (CCT) diagram.
Pada diagram TTT hanya menunjukkan hubungan waktu
dan temperature untuk transformasi austenite yang terjadi pada
temperature konstan. Hubungan pendinginan secara kontinyu
terhadap transformasi dapat ditunjukkan dengan diagram CT.
CT diagram pada hakikatnya merupakan turunan dari TTT
diagram, yaitu dengan menggunakan nose yang digeser ke
bawah. Terlihat bahwa dengan menggeser nose ini, maka
dengan pendinginan yang relatif lebih lambat dibandingkan
dengan diagram TTT sudah tercapai martensit.
1.1.4 Pergeseran Titik Eutectoid
Diagaram fasa Fe-Fe3C dibuat tanpa unsur paduan. Jika terdapat
unsure paduan, maka diagram Fe-Fe3C akan mengalami pergeseran.
Pergeseran yang terjadi pada diagram ini dapat ditentukan dengan
ketentuan diagram berikut:
Gambar 1.23 Efek Paduan Terhadap Titik Eutectoid
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-post.html
Dari diagaram diatas terlihat komposisi unusru paduan
mempengaruhi komposisi eutectoid dan suhu eutectoid. Tergantung
dari jenis dan besarnya unsure paduan. Komposisi eutectoid dapat
dihitung dengan rumus, sehingga pergeseran titik eutectoid dapat
diketahui:
Gambar 1.24 Pergeseran Titik Eutectoid Akibat Paduan
Sumber: http://perlakuanpanas.blogspot.com/2011/05/blog-post.html
Contoh perhitungan:
Spesimen dengan komposisi kimia Cr=12%, Mn=0,3%, Si=0,2%
Logam Komposisi Suhu Eutectoid %C
Cr 12% 840oC 0,37
Mn 0,3% 720oC 0,76
Si 0,2% 730oC 0,76