1. Definisi
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran
reproduksi, penyakit medis tertentu atau kehamilan. Diagnosis perdarahan
uterus disfungsional (PUD) ditegakkan perekslusionam. Manifestasi klinis dapat
berupa perdarahan akut dan banyak, perdarahan ireguler, menoragia dan
perdarahan akibat penggunaan kontrasepsi (dr.Andon : 2007)
Perdarahan uterus disfungsional merupakan perdarahan rahim abnormal tanpa
penyebab organik (gangguan organ) seperti kemungkinan kehamilan, tumor,
infeksi, koagulopati, dan penyakit radang panggul atau penyakit lainnya (Yahya,
2008).
Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan abnormal dari uterus baik
dalam jumlah, frekuensi maupun lamanya, yang terjadi di dalam atau di luar
haid sebagai wujud klinis gangguan fungsional mekanisme kerja poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium, endometrium tanpa kelainan organik alat
reproduksi seperti radang, tumor, keganasan, kehamilan atau gangguan
sistemik lain.(Kadarusman,2005)
Pola dari perdarahan uterus abnormal:
- Menoragia (hipermenorea)
Adalah perdarahan menstruasi yang banyak dan memanjang terjadi pada
interval yang teratur. Adanya beku-bekuan darah tidak selalu abnormal,
tetapi dapat menandakan adanya perdarahan yang banyak. Perdarahan
yang “gushing” dan “open-faucet” selalu menandakan sesuatu yang tidak
lazim. Mioma submukosa, komplikasi kehmilan, adenomiosis, IUD,
hiperplasia endometrium, tumor ganas, dan perdarahan disfungsional
adalah penyebab tersering dari menoragia.
- Hipomenorea (kriptomenorea)
Adalah perdarahan menstruasi yang sedikit pada siklus menstruasi normal,
dan terkadang hanya berupa bercak darah. Obstruksi seperti pada stenosis
himen atau serviks mungkin sebagai penyebab. Sinekia uterus (Asherman’s
Syndrome) dapat menjadi penyebab dan diagnosis ditegakkan dengan
histerogram dan histeroskopi. Pasien yang menjalani kontrasepsi oral
terkadang mengelulh seperti ini, dan dapat dipastikan ini tidak apa-apa.
- Metroragia (perdarahan intermenstrual)
Adalah perdarahan yang terjadi pada waktu-waktu diantara periode
menstruasi. Perdarahan ovulatoar terjadi di tengah-tengah siklus ditandai
dengan bercak darah, dan dapat dilacak dengan memantau suhu tubuh
basal. Polip endometrium, karsinoma endometrium, dan karsinoma serviks
adalah penyebab yang patologis. Pada beberapa tahun administrasi
estrogen eksogen menjadi penyebab umum pada perdarahan tipe ini.
- Polimenorea
Adalah periode menstruasi yang terjadi terlalu sering/ frekuensi perdarahan
teratur terjadi kurang dari 21 hari. Hal ini biasanya berhubungan dengan
anovulasi dan pemendekan fase luteal pada siklus menstruasi.
- Menometroragia
Adalah perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular. Jumlah dan
durasi perdarahan juga bervariasi. Kondisi apapun yang menyebabkan
perdarahan intermenstrual dapat menyebabkan menometroragia. Onset
yang tiba-tiba dari episode perdarahan dapat mengindikasikan adanya
keganasan atau komplikasi dari kehamilan.
- Oligomenorea
Adalah periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari. Amenorea
didiagnosis bila tidak ada menstruasi selama lebih dari 6 bulan. Volume
perdarahan biasanya berkurang dan biasanya berhubungan dengan
anovulasi, baik itu dari faktor endokrin (kehamilan, pituitari-hipotalamus)
ataupun faktor sistemik (penurunan berat badan yang terlalu banyak).
Tumor yang mengekskresikan estrogen menyebabkan oligomenorea
terlebih dahulu, sebelum menjadi pola yang lain.
- Perdarahan kontak (perdarahan post-koitus)
Harus dianggap sebagai tanda dari kanker leher rahim sebelum dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Penyebab lain dari perdarahan kontak yang lebih
sering yaitu servikal eversi, polip serviks, infeksi serviks atau vagina
(Tichomonas) atau atropik vaginitis. Hapusan sitologi negatif tidak
menyingkirkan diagnosis kanker serviks invasif, kolposkopi dan biopsi sangat
dianjurkan untuk dilakukan.
(Lauren, 2003)
2. Epidemiologi
Perdarahan uterus disfungsional merupakan sebab tersering perdarahan
abnormal per vaginam pada masa reproduksi wanita. Dilaporkan gangguan ini
terjadi pada 5-10% wanita (Dodds, 2004). Lebih dari 50% terjadi pada masa
perimenopause, sekitar 20% pada masa remaja, dan kira-kira 30% pada wanita usia
reproduktif (Chalik, 1998). Ras bukan faktor penting, tetapi insidensi leiomyoma
pada wanita ras Afrika lebih tinggi dan mereka memiliki kadar estrogen yang lebih
banyak, karena itu mereka cenderung untuk lebih sering mengalami episode
perdarahan abnormal pervaginam (Dodds, 2004).
Di Amerika serikat dan inggris, perdarahan uterus disfungsional merupakan 10%
dari kunjungan rumah sakit3. dan 90% dari kasus perdarahan uterus abnormal
(Kahn, 2000). Berdasarkan golongan usia 3-4% perdarahan uterus disfungsional
terjadi pada remaja. Dalam hubungannya dengan siklus haid, perdarahan uterus
disfungsional lebih sering ditemukan pada siklus anovulatorik yaitu sekitar 85-90%.
Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan perdarahan uterus
disfungsional ini secara menyeluruh. Kebanyakan penulis memperkirakan
kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu 10% dari kunjungan ginekologik. Di
RSCM/ FKUI pada tahun 1989 ditenukan 39% kasus perdarahan uterus disfungsional
dari kunjungan poliklinik endokronologi dan reproduksi (Kadarusman, 1993).
3. Patofisiologi
4. Faktor resiko
Perdarahan uterus disfungsional dapat dibedakan menjadi penyebab dengan
siklus ovulasi dan penyebab yang berhubungan dengan siklus anovulasi. Menurut
Suseno (2007) terdapat beberapa kondisi yang dikaitkan dengan perdarahan rahim
disfungsional, antara lain :
a) Kegemukan (obesitas)
b) Faktor kejiwaan
c) Alat kontrasepsi hormonal
d) Alat kontrasepsi dalam rahim (intra uterine devices)
e) Beberapa penyakit dihubungkan dengan perdarahan rahim (DUB), misalnya:
trombositopenia (kekurangan trombosit atau faktor pembekuan darah),
Diabetes Mellitus, dan lain-lain
f) Tumor organ reproduksi, kista ovarium (polycystic ovary disease), infeksi vagina,
dan lain-lain
Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus berovulasi maupun
pada siklus tidak berovulasi.
a) Siklus berovulasi
Perdarahan teratur dan banyak terutama pada tiga hari pertama siklus haid.
Penyebab perdarahan adalah terganggunya mekanisme hemostasis lokal di
endometrium.
b) Siklus tidak berovulasi
Perdarahan tidak teratur dan siklus haid memanjang disebabkan oleh gangguan
pada poros hipothalamus-hipofisis-ovarium. Adanya siklus tidak berovulasi
menyebabkan efek estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen) terhadap
endometrium. Proliferasi endometrium terjadi secara berlebihan hingga tidak
mendapat aliran darah yang cukup kemudian mengalami iskemia dan
dilepaskan dari stratum basal.
c) Efek samping penggunaan kontrasepsi
Dosis estrogen yang rendah dalam kandungan pil kontrasepsi kombinasi (PKK)
menyebabkan integritas endometrium tidak mampu dipertahankan. Progestin
menyebabkan endometrium mengalami atrofi. Kedua kondisi ini dapat
menyebabkan perdarahan bercak. Sedangkan ada pengguna alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR) kebanyakan perdarahan terjadi karena endometritis
(dr.Andon : 2007)
5. Manifestasi klinis
Perdarahan rahim dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi. Jumlah
perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan berulang. Pada
siklus ovulasi biasanya perdarahan bersifat spontan, teratur dan lebih bisa
diprediksikan serta seringkali disertai rasa tidak nyaman sedangkan pada anovulasi
merupakan kebalikannya. Selain itu gejala yang dapat timbul diantaranya seperti
mood yang suka berubah-ubah, kekeringan atau kelembutan vagina serta rasa lelah
yang berlebih (Suseno, 2007)
a) Siklus ovulasi
Karakteristik PUD bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang,
hingga spotting atau perdarahan yang terus menerus. Perdarahan ini
merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus
pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakan
diagnosis, pengambilan sampel perlu dilakukan pada masa mendekati haid.
Apabila siklus haid tidal tidak lagi dikenali karena perdarahan yang lama dan
tidak teratur, bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong.
Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe
sekresi tanpa ada sebab organik, maka harus dipertimbangkan sebagai etiologi :
Korpus luteum persistensi
Perdarahan kadang-kadang bersamaan dengan ovarium membesar dan
dapat juga menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur
Insufisiensi korpus luteum
Hal ini menyebabkan premenstrual spotting, menoragia atau polimenorea.
Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh gangguan
LH releasing factor. Diagnosis ditegakkan apabila hasil biopsi endometrial
dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang
seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
Apopleksia uteri
Wanita dengan hipertensi dapat mengalami pecahnya pembuluh darah
dalam uterus.
Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah
b) Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)
Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu
bagian baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya sehingga
perdarahan rahim berkepanjangan (Suseno, 2007). Pada tipe ini berhubungan
dengan fluktuasi kadar estrogen dan jumlah folikel yang pada suatu waktu
fungsional aktif. Folikel-folike ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami
atresia dan kemudian diganti oelh folikel-folikel baru . Endometrium dibawah
pengaruh estrogen akan tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula
proliperatif dapat terjadi endometrium hiperplastik kistik. Jika gambaran ini
diperoleh pada saat kerokan dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan
bersifat anovulatoar. Biasanya perdarahan disfungsional ini terjadi pada masa
pubertas dan masa pramenopause. Pada masa pubertas terjadi sesudah
menarche perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau
terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa
pembuatan Releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada
wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak
selalu berjalan lancar.
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi
ovulatoar. Sedangkan pada wanita dewasa dan terutama dalam masa
pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan
untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas. (Handoko, 2005)
6. Pemeriksaan diagnostik
Untuk mendiagnosis PUD adalah dengan cara menyingkirkan kelainan organik
dan anatomik alat reproduksi, kehamilan, kelainan koagulasi darah serta keadaan
patologis lainnya seperti kelainan hepar, hiper/hipotiroid.
Secara keseluruhan tahapan pemeriksaan yang perlu ditempuh adalah:
a. Anamnesa
Perlu diketahui usia menars, siklus haid setelah menarche, lam dan jumlah
darah haid, gravida, paritas, riwayat abortus atau terminasi kehamilan
selanjutnya, enggunaan kontrasepsi, serta latar belakang keluarga dan latar
belakang emosionalnya. Selin itu juga ditanyakan tentang riwayat penyakit:
diabetes mellitus, hipertensi, hipotiroidismus, hipertiroidismus, penyakit hati,
penggunaan obat-obatan termasuk aspirin, antikovulsan dan antibiotika.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan adanya sebab lain
yang dapat menimbulkan perdarahan uterus abnormal. Dinilai keadaan umum
dan tanda vital, serta diperiksa apakah ditemukan obesitas. Perlu dinilai adanya
hipo/hipertiroid dan gangguan hemostasis seperti petekie, purpura, dan
perdarahan mukosa yang menyertai perdarahan pervaginam. Pada penderita
dengan gangguan fungsi hepar, perlu dicari adanya tanda dan gejala berupa
spider angioma, palmar erythema, spenomegali, asites dan ikteri. Wanita
dengan PCOD (polycistic ovarian disease) akan ditemukan tanda-tanda
hiperandrogen, hirsutisme, obesitas, dan pembesaran ovarium.
c. Pemeriksaan ginekologi
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan adanya kelainan
organik seperti perlukaan genetalia, erosi/radang atau pollip serviks, mioma
uteri, krista ovarii serta menyingkirkan kemungkinan adanya kehamilan.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menyingkirkan kelainan-kelainan
lain yang menyebabkan perdarahan uterus abnormal, natara lain adalah:
Tes kehamilan
Laboratorium darah dan fungsi hemostasis: complete blood cell count
(CBC) prothrombin time (PT), activates partial thromboplastin time
(aPTT)
Pemeriksaan hormonal/endokrin (T3,T4, testoateron, DHEAS, uji
glukosa)
Ultrasonografi (USG)
Biopsi endometrium (pada wanita yang sudah menikah)
Tes fungsi hati
Sonohisterografi: NaCl fisiologis dimasukkan ke dalam kavum uteri
melalui kateter sambil dilakukan USG transvaginal, digunakan untuk
menilai kavum uteri dan lapisan endometrium, serta dapat
mempertajam diagnostik sebelum dilakukan kuretase pada kasus
perdarahan uterus.
Histerektomi: Adalah suatu prosedur pemeriksaan kavum uteri dengan
menggunakan alat histeroskop (merupakan teleskop kecil) yang
dimasukkan ke dalam kavum uteri melalui kanalis servikalis.
7. Penatalaksanaan medis
Tujuan terapi adalah mengontrol perdarahan, mencegah perdarahan berulang,
mencegah komplikasi, mengembalikan kekurangan zat besi dalam tubuh, dan
menjaga kesuburan. Tatalaksana awal dari perdarahan akut adalah pemulihan
kondisi hemodinamik dari ibu. Apabila pasien memiliki kontraindikasi untuk terapi
estrogen, maka penggunaan progesteron dianjurkan. Untuk perdarahan
disfungsional yang berlangsung dalam jangka waktu lama, terapi yang diberikan
tergantung dari status ovulasi pasien, usia, risiko kesehatan, dan pilihan kontrasepsi.
Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan untuk terapinya. Pasien yang
menerima terapi hormonal sebaiknya dievaluasi 3 bulan setelah terapi diberikan ,
dan kemudian 6 bulan untuk reevaluasi efek yang terjadi. Terapi operasi dapat
disarankan untuk kasus yang resisten terhadap terapi obat-obatan (Kadarusman,
2005)
a. Pasien ditemukan pada waktu episode perdarahan berat
Dalam situasi ini, terapi yang diberikan bersifat darurat. Terdapat dua metode
yaitu kuretase dan memberikan hormone. Hormon yang dipilih biasanya adalah
combined equine estrogen (CEE), 25 mg diberikan secara intravena dan diulangi
setiap 4 jam sebanyak 6 dosis. CEE dengan dosis ini dapat menyebabkan mual
yang berat pada bebepara wanita. Setelah CEE dapat menghentikan
perdarahan, harus diberikan progestogen selama 14 hari untuk menginduksi
perubahan sekresi dan kemudian pelepasan endometrium. Sebagai pengganti
CEE dapat diberikan 17-hidroksiprogesteron asetat 125-250 mg secara
intramuscular, atau norethisteron20-30 mg per oral setiap hari dalam dosis
terbagi selama 4 hari. Jika digunakan progestogen, mungkin akan terjadi
withdrawal bleeding 3-6 hari kemudian. Hal ini dapat dihindarkan jika
norethisteron (5-10 mg) diteruskan selama 20 hari ( Llewellyn-Jones, 2002)
b. Pasien ditemukan diantara episode perdarahan
Dalam situasi ini terdapat beberapa pilihan yang dibagi dalam dua kelompok
utama yaitu pengobatan hormonal dan pengobatan secara bedah (Llewellyn-
Jones, 2002).
c. Pengobatan hormonal
Terdiri dari progestogen, kontrasepsi oral, Danazol, dan Levonorgestrel
intrauterine device
d. Terapi bedah
Kuretase
Kuretase dapat mengontrol perdarahan berat dalam jangka waktu yang
singkat, tetapi biasanya kambuh kembali dalam jangka 4-6 bulan.
Ablasi Endometrium
Konsep prosedur ini adalah mengadakan ablasi lapisan basal endometrium,
regenerasi endometrium dapat dicegah atau dikurangi, dan menoragi dapat
sembuh. Keuntungan dari ablasi endometrium adalah tindakan ini kurang
invasif dan kurang nyeri dibandingkan histerektomi. Masa penyembuhan 3-
7 hari.
Histerektomi
Histerektomi yaitu pengangkatan uterus melalui pembedahan. Histerektomi
dilakukan sebagai tindakan untuk penanganan keganasan dan kondisi bukan
keganasan tertentu, menongontrol perdarahan yang mengancam jiwa, dan
kejadian infeksi pelvis yang tidak sembuh atau rupture uteri yang tidak
dapat diperbaiki (Doenges, 2002)
e. Penghentian perdarahan
Pemakaian hormon steroid seks
1. Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan
perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu:
Penyembuhan luka (healing effect)
Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat
proses fibrinolisis.
2. Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan
perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara lain adalah noretisteron,
MPA, megestrol asetat, didrogesteron dan linestrenol. Noretisteron dapat
menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari,
medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari,
megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama
10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari.
3. Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan
progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol
(danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17-α-
etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12
minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan androgen
akan berakibat maskulinisasi.
Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin.
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada
vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2α meningkat secara
bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat
anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan
uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional
anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai
dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari terbukti mampu mengurangi
perdarahan.
Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada
perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas
fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin.
Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila
diaktifkan akan mengeluarkan protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi
plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan
yang ada untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang
diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).
8. Askep
Top Related