88
ARSITEKTUR ATONI, MANGGARAI, DAN PAPUA
4.1 Arsitektur Atoni/Dawan
Jaman dahulu orang Dawan mendirikan rumah
dan perkampungannya di puncak–puncak
gunung. Perkampungan ini dikelilingi oleh
pagar batu, bambu/pelepah gewang, semak
berduri dan sebagainya. Setiap kampung
biasanya didiami kelompok kerabat dengan
seorang kepala/pimpinan. Sebuah
perkampungan baru dapat terbentuk karena
adanya pemecahan anggota kelompok atau
kawin campur antar suku. Dengan demikian kelompok kerabat menjadi terpencar–
pencar dalam wilayah yang luas. Pemecahan tempat kediaman berhubungan erat
dengan sistem mata pencaharian yaitu berladang.
Pola perkampungan suku Dawan yang asli adalah kelompok padat dengan rumah–
rumah (cluster) dengan beberapa kandang ternak (sapi/babi). Kadang–kadang
penduduk tersebar disekeliling perkampungan. Disamping itu ruang luar yang
terbuka dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak–anak atau tempat bekerja
(menenun) terutama dibawah naungan pohon–pohon besar atau dengan mendirikan
pondok-pondok tempat kerja (Sane).
Pada Desa Maslete contohnya, masih terdapat beberap kelompok rumah dengan
pola asli (cluster). Perumahan rakyat biasa terdiri dari kelompok–kelompok yang
masing–masing dihuni oleh anggota sebuah marga. Setiap kelompok marga ini
BAGIAN
IV
III
89
mempunyai sebuah rumah yang dikeramatkan yang disebut dengan rumah marga.
Kompleks perumahan raja/Usif terletak pada daerah ketinggian/bukit, sedangkan
perumahan rakyat biasa terletak pada daerah yang lebih rendah. Pemanfaatan
ruang luar/terbuka pada kompleks Sonaf lebih diutamakan pada kegiatan spiritual
(upacara-upacara adat). Hal ini di tandai dengan didirikannya tiang–tiang tempat
persembahan.
Jenis bangunan dalam masyarakat Dawan dapat dibagi menjadi :
a. Rumah Rakyat kecil/ume to ana;
b. Rumah marga;
c. Rumah raja/sonaf (istana), dan
d. Pondok kerja
Pada rumah rakyat biasa maupun rumah Raja di bagian depannya biasa di
bangun/dilengkapi dengan Lopo (tempat pertemuan).
1. Rumah Rakyat Biasa (ume To Ana’)
a) Tipologi Bangunan.
Denah rumah rakyat biasa berbentuk bundar. Luasnya
tergantung pada kebutuhan serta status sosial
pemiliknya. Rumah dengan denah berbentuk bundar
ini disebut juga Ume Kbubu (Rumah Bulat). Kadang
disebut juga Ume Bife (Rumah Perempuan), karena
sebagian besar kegiatan dari wanita terfokus pada
rumah ini, misalnya : melahirkan, memasak, menenun,
dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pria lebih
banyak di ladang.
90
b) Pondasi (Baki).
Pondasi dibentuk dari batu kali ceper yang disusun
membentuk lingkaran sesuai dengan luasnya. Tinggi
pondasi dari permukaan tanah antara 20 cm–40 cm.
Fungsinya untuk mencegah masuknya air pada saat
musim penghujan.
c) Lantai (Nijan).
Lantai bangunan terbuat dari tanah yang diurug diatas/di dalam fondasi yang sudah
berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.
d) Tiang (Ni)
Tiang ume to ana‘ disini dibagi menjadi 3 bagian :
1. Ni Ana’ :
Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah
(secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya
juga bervariasi, namun rata–rata antara 1,5–2,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam
dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang
agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk
menopang Neu’ Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau
kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana‘, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira –
kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 – 80 cm.
Diameter tiang antara 10–15 cm.
2. Ni Tetu (tiang loteng/pelindung).
Tiang ini dipakai sebagai tumpuan utama dari bangunan secara keseluruhan dan
juga sebagai tumpuan untuk meletakan balok–balok loteng. Tiang ini juga
meneruskan semua gaya–gaya vertikal ke tanah. Jumlah tiang ini adalah empat
buah dan di tanam dalam tanah sedalam 50 cm. Demikian pula halnya dengan Ni
Tetu ini, kayu yang digunakan harus dipilih yang bercabang pada puncaknya.
91
Fungsinya sebagai tumpuan balok–balok loteng. Pada saat sekarang ini dengan
peralatan yang cukup baik tiang yang bercabang ini diganti dengan bagian puncak
yang ditakik menyerupai cabang asli. Karena berfungsi sebagai penerima seluruh
gaya vertikal ke tanah maka konsekuensinya dimensi tiang harus cukup besar.
Bentuk tiang ini bulat dan berdiameter antara 20–25 cm dan dipilih dari teras kayu
merah/kayu putih, asam dan lain sebagainya. Tinggi tiang rata – rata berkisar antara
2,50–3,00 m.
3. Ni Enaf (Tiang Penopang Bangunan).
Tiang ini diletakan dibaian tengah–atas balok loteng. Jumlahnya satu buah. Pada
bagian bawah diberi takikan untuk memasukannya dalam Tunis, yang kemudian
diperkuat dengan ikatan. Sedangkan bagian atas bercabang dan berfungsi untuk
menopang balok bubungan. Bentuk Ni Enaf bulat, tingginya 2,00–2,50 m.
e) Dinding (Niki).
Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana‘). Beberapa kayu/bilah bambu melintang
terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan
perkuatan pada dinding. Tinggi dinding ± 0,50–0,80 m. Semakin dekat ke pintu
semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis
bahan antara lain : papan, bambu cincang, batang pinang cincang, pelepah gewang,
kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuat diatas batu dengan
tujuan agar tidak mudah rusak akibat rayap atau air.
f) Atap (Tefi).
Atap berbentuk kerucut sebagai akibat dari bentuk denah dan rangka atap. Puncak atap
mempunyai dua bentuk yakni bulat (seperti sanggul wanita) dan pelana/palungan
terbalik. Bentuk bundar (denah) atau metaphor sebagai bentuk bulat/kerucut (atap)
mempunyai arti bentangan langit yang melingkupi bumi. Konstruksi rangka atap sendiri
terdiri dari :
92
1. Nono Ana’/Neu’ Nono.
Berupa kayu–kayu kecil (cemara) yang berdiameter antara 2–4 cm yang diikat menjadi
satu kesatuan yang berbentuk lingkaran. Neu Nono ini bisa berfungsi sebagai ring
balok, karena dipasang melingkari seluruh bangunan dengan bertumpu pada tiang–
tiang keliling (Ni Ana‘) kemudian diikat (tali Mausak).
2. Nono Tetu.
Bahan dan diameter sama dengan Nono Ana‘ tapi ukuran ikatannya sedikit lebih kecil.
Fungsi untuk memberikan bentukan melingkar pada atap bagian tengah.
3. Nono Nifu/Nono Sene.
Fungsinya sama yakni pemberi bentuk lingkaran pada bagian atas atap. Bahan serta
ukurannya sama dengan Nono Tetu. Kadang hanya dipakai Nono Nifu saja/Nono Sene
saja.Pada Rumah Raja (sonaf) digunakan kedua–duanya.
4. Suaf.
Adalah sebuah balok bulat dan lurus, berdiameter 5 -7 cm (untuk Ume Kbubu) yang
diletakan/diikatkan diatas semua Nono (Nono Ana‘, Nono Tetu, Nono Sene/Nono Nifu).
Balok ini diambil dari alam, yakni batang pohon cemara/yang lainnya, dan harus lurus
dan panjang, utuh, tidak boleh disambung–sambung pada saat dipasangkan. Fungsi
Suaf adalah : Sebagai pembentuk rangka atap, dan sebagai tempat untuk
mengikatkan Takpani.
5. Takpani
Adalah batang – batang kecil cemara berdiameter 2-3 cm yang diikatkan arah
melintang terhadap Suaf. Jarak antar Takpani 30–40 cm.
Fungsi Takpani adalah sebagai tempat untuk mengikatkan alang – alang.
6. Penutup Atap
Penutup rangka atap menggunakan alang – alang (Hun).
93
g) Loteng (Tetu).
Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet )
yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini
diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/
batang pinang cincang.
h) Pintu (Enok).
Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya
1m–1,25m, lebarnya 0,80–1,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis besar
pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar dan balok
diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif). Pada kedua
balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah Pintu). Lubang
tersebut dinamakan Bola’/Kona’. Utin dan Bola melambangkan pria dan wanita. Selain
lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain yang disebut Kona Falo
yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci tradisional.
i) Tangga (Elak).
Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke loteng
yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
Elak Ma’bola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi
empat sampai lima lubang.
Elak Se’at yakni sebuah bambu yang ditakik 4 – 5 takikakan.
Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan
beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.
94
2. Rumah Raja / Istana ( Sonaf ).
a) Tipologi Bangunan.
Tidak seperti rumah rakyat biasa yang bundar, denah Sonaf agak lonjong/elips.
Bentuk tersebut melambangkan alam semesta dan sebagai pemersatu/perangkul
suku – suku. Luasnya juga lebih besar dari Ume Kbubu. Ruangan dibagi dua yaitu :
Sulak : Ruang yang digunakan untuk pertemuan kepala–kepala suku.
Bife : Ruang tempat tinggal, memasak, tidur, menyimpan benda pusaka. Ruang
ini hanya bolh dimasuki oleh pemiliknya saja, tidak sembarang orang yang boleh
memasukinya kecuali diberi ijin khusus dan sanggup mentaati pantangan-
pantangan yang ada.
b) Pondasi (Baki).
Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper
yang disusun setinggi 20–40 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran.
Fungsinya sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.
c) Lantai (Nijan).
Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi
dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai
rata.
d) Tiang (Nono).
Tiang struktur pada Sonaf ini dibagi 3 bagian yakni :
1. Ni Ana’ :
Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan suku–suku yang
berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi tiang dan
jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiang–tiang ini diberi ukiran. Untuk bahan tiang ini
digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus. Pada bagian atas tiang
diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone).
95
2. Ni Tetu (Tiang Loteng) :
Tiang ini berfungsi menopang balok–balok loteng di atasnya. Jumlah tiang ini 4 buah
yang terletak dibagian dalam (Ruang perempuan/ruang tinggal). Tinggi tiang adalah
2,50 cm dan berdiameter 20 cm. Tiang dipilih yang lurus dan bahan dari teras pohon
kayu merah. Bagian atas tiang ditakik menyerupai cabang (Tatone), dipakai sebagai
tempat menumpuk balok Suif. Ke empat tiang ini melambangkan 4 suku besar yakni :
Uis Sanak, Uis Lake, Uis Bana, dan Uis Atoh.
3. Ni Enaf :
Tiang Utama. Tiang ini lebih tinggi dari tiang yang lain (4,00 m) dan melambangkan
adanya makhluk yang supra natural. Jumlah tiang ini ada dua. Yang satu berada di
ruang dalam/ruang perempuan (Bife) dan yang lainnya berada di luar/tempat
pertemuan (Sulak). Diameter tiang ini lebih besar dari tiang lain (25 cm) dan pada
puncaknya terdapat cabang alamiah. Cabang tersebut berfungsi sebagai penopang
balok bubungan (Lael) di atasnya. Bahan yang dipilih sebagi tiang utama ini adalah
teras kayu merah / putih yuang diberi bentuk bulat polos tanpa ukiran.
e) Dinding (Niki).
Bahan dinding berasal dari pohon kayu merah yang dibelah menjadi papan. Papan
dipasan melintang dengan perkuatan dua kayu melintang, papan–papan disatukan
dengan diikatkan pada tiang–tiang (Ni Ana‘). Tinggi dan tebal papan yang mengelilingi
bangunan adalah 1,50 m dan 2cm. Sedangkan dinding yang membatasi ruang Bife
dan Sulak tingginya 2,50 m dan tebalnya 4 cm. Pada bagian bawah dinding diberi alas
dari balok kayu yang diberi sponing untuk memasukan papan tersebut kedalam.
Tujuannya untuk mencegah merembesnya air ke atas dinding dan menghindari
serangan rayap–rayap. Balok–balok ini disebut Penif.
96
F) Atap (Tefi)
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume
Kbubu terutama pada bagian bubungan yang
lebih panjang dan pada bagian depan
teritisnya tidak sampai ke tanah malah agak
tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap
Sonaf :
1. Non Ni Ana’/Neu Nono :
Adalah rangkaian batang–batang cemara berdiameter 2 – 4 cm, yang diikatsatukan
dan diletekan di atas Ni Ana‘ (tiang anak) secara melingkar sesuai dengan bentuk
denah yang ada. Fungsinya untuk menyatukan/mengikat tiang–tiang secara
keseluruhan dan sebagai tumpuan Suaf.
2. Non Loti :
Rangkaian batang–batang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana.
Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujung–ujung
balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat
ujung–ujung balok loteng.
3. Non Nifu & Nono :
Fungsinya sama yakni pemberi bentuk (lingkaran) dan juga sebagai tumpuan Suaf.
4. Non Sene :
Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.
97
5. Loti.
Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis
depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti mencerminkan
jumlah suku–suku yang tergabung.
6. Suaf.
Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7–
10 cm. Bahan Suaf dari batang–batang cemara yang lurus utuh tanpa adanya
sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan
(Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan tali–tali yang diikatkan pada
Non Ni Ana‘.
7. Takpani :
adalah batang–batang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani
2–3 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang–
alang / Hun).
g) Loteng.
Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok
bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni Ainaf)
yang ditanam dalam tanah.
h) Pintu.
Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal
masing–masing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri
kira–kira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masing–masing
papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masing–masing dua buah yaitu disebalah
kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang
98
tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini
menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan sebagainya.
Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus pada sisi-
sisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional (Hau Eka).
Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :
Daun pintu ( Bena ).
Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).
Balok di bawah pintu (Kbafnesu Penif).
Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola‗) tempat memasukan lidah
pintu (Utin). Utin dan Bola‘ berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan pria dan
wanita.
3. Rumah Tempat Pertemuan Umum (Lopo/Ume Buat)
Lopo dalam bahasa Dawan berarti rumah tempat musyawarah/tempat pertemuan
umum. Ume Lopo sering disebut pula sebagai rumah Ume Atoni (Rumah laki–laki)
karena lebih sering ditempati, dimasuki, dipakai oleh kaum laki–laki. Konstruksi Ume
Lopo secara keseluruhan sama dengan Ume Kbubu. Yang membedakannya adalah
teritisnya tidak sampai ke tanah. Jaraknya dari permukaan tanah antara 150–200 cm,
tidak berdinding dan tidak berpintu. Nama Ume Lopo diberikan sesuai dengan
keadaan teritis yang tidak sampai ke tanah. Sedangkan Ume Buat berarti rumah
tempat berkumpul.
a. Tipologi.
Denah Ume Lopo sama dengan rumah tinggal (Ume Kbubu). Bentuknya bundar
dengan garis tengah 6,00–8,00 m. Letaknya berada di depan. Ume Bife (rumah
perempuan) atau Ume Kbubu memberikan makna simbolik sebagai pelindung.
99
b. Bentuk bagian – bagian.
1. Tiang ( Ni )
Bentuk tiang lopo adalah bulat denagan diameter 20–30 cm. Jumlah tiang adalah 4
buah (Ni Tetu), sebagai pendukung balok–balok loteng yakni sebuah tiang
pendukung balok–balok loteng. Di tengah–tengah persilangan diagonal loteng
terdapat sebatang kolom disebut Ni Enaf yang bertumpu pada balok–balok loteng
(Tunis). Jenis pohon yang dipakai sebagai tiang adalah teras kayu Kmel (jenis kayu
merah), teras kayu putih (Hu‘e), Matani (sejenis kayu marambi), Ayotias (teras
Kasuari), Kiu Tias (teras asam). Ke-empat tiang Ni Tetu setinggi 3,00 m ditanam
sedalam 0,50 m. Ujung tiang (Ni) bagian atas yang berdiameter paling kecil disebut
Utin. Bagian ini berfungsi sebabagai sambungan yang akan dimasukan kedalam
lubang pahatan yang terdapat pada balok melintang (Suif). Dibawah Utin terdapat
sebuah alur untuk penempatan Benatu‘as (lempengan kayu/batu bundar) sebagai
pencegah tikus agar tidak naik ke loteng. Bagian bawah Benatu‘as terdapat Tkoma
Maeka yakni bagian yang diukir untuk memperindah tiang.
2. Atap.
Bentuk maupun konstruksi atap ume lopo pada dasarnya sama seperti pada ume
kbubu. Perbedaannya hanya pada teritis atap lopo yang tidak sampai menyentuh
tanah, tetapi berjarak dari permukaan tanah 150-200 cm.
Bentuk puncak atap lopo ada 2 macam, yaitu :
a. Berbetnuk pelana/palungan terbalik, dan
b. Berbentuk kerucut.
100
4.2 ARSITEKTUR MANGGARAI
Pola Perkampungan Dan Rumah Adat Masyarakat Manggarai
Kampung tradisional di Manggarai
berbentuk bundar dengan pintu
saling berhadapan. Bentuk bulat
memiliki makna keutuhan atau
kebulatan. Bentuk kampung
demikian diperkuat oleh tuturan
ritual. Secara mistis kampung
dibagi atas tiga, yaitu pa’ang
(bagian depan), ngandu (pusat),
dan ngaung atau musi (bagian
belakang kampung). Pada saat ini, terdapat tiga obyek kampung adat di Kabupaten
Manggarai Barat, yaitu Pacar Pu‘u di Kecamatan Macang Pacar, Kampung Todo dan
Kampung Komodo di Pulau Komodo.
Arsitektur tradisional, termanifestasikan dalam bentuk rumah gendang dan
compang.
Rumah Gendang –
Rumah tradisional Manggarai biasa disebut dengan nama Mbaru Gendang atau
Mbaru Tembong. Bentuknya menyerupai seperti kerucut yang terbuat dari
rerumputan kering. Struktur bangunan menerus dari atap sampai lantai.
Compang – Compang
adalah tugu yang dibuat di tengah halaman rumah yang difungsikan sebagai altar
dalam upacara adat. Altar tersebut terbuat dari tumpukan batu yang ditengahnya
terdapat sebuah pohon. Altar tersebut dikelilingi halaman dan pemukiman
penduduk. Lokasi compang biasanya merupakan pusat desa. Compang biasanya
101
difungsikan sebagai tempat untuk persembahan dalam penyelenggaraan upacara
adat.
Lingko –
Lingko adalah sebuah pola pembagian sawah pertanian (berbentuk seperti sarang
labalaba) yang ditengahnya terdapat sebuah londok (tempat rahasia). Londok
tersebut merupakan sentral dalam pembagian lahan pertanian. Londok merupakan
lambang kebersamaan. Bentuk desain londok ini hampir sama dengan design
compang yang berada di pusat pusat desa.
Rumah Gendang dan lingko adalah bentuk dari ikatan sosial tradisional yang
masih kuat untuk orang Manggarai. Tu‘a golo dan juga Tu‘a gendang mempunyai
hak sepenuhnya untuk tinggal di dalam rumah gendang.
Kepemilikan Tanah Adat (ulayat)dibagi menjadi tiga macam yaitu:
Lingko rame ;adalah tanah adat yang berbentuk sarang laba-laba yang
memiliki tempat pemujaan atau mempersembahkan sesaji pada pusat atau di
tengah-tengahnya.
Lingko Bon; bentuknya sama dengan lingko rame, hanya tidak memiliki tempat
pemujaan pada pusat tanahnya.
lingko neol ;tidak berbentuk sarang laba-laba.
Sistem Pemukiman Dan Budidaya
Sistem pemukiman sebagian masyarakat tradisional Manggarai, berkelompok dan
melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya. Di
pusat kampung yang selalu ditanam pohon beringin (Ficus benyamina) ini merupakan
tempat melaksanakan berbagai prosesi adat yang dilaksanakan di rumah pokok (rumah
adat) yang dinamakan rumah gendang. Dinamakan rumah gendang karena di tiang
utamanya digantungkan gendang 8 (delapan) buah pertanda arah angin yang dibunyikan
saat upacara adat atau pengumpulan massa.
Sistem pemukiman ini masih ada dan dilakukan bagi tiap-tiap suku keturunan di
102
Manggarai walaupun sebagian besar penduduk tidak berada di wilayah pemukiman ini,
hanya para tokoh adat dan sebagian keturunannya. Sebagian besar penduduknya tinggal
di rumah-rumah modern yang dibangun di sepanjang jalan dengan kebun di bagian
samping atau belakang rumahnya.
Di dalam kehidupan masyarakat
manggarai yang terjadi adanya
beberapa jenis rumah tradisional yang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan
serta budaya dan kepercayaan
masyarakat. Akan tetapi meskipun
secara tipologi bentuk, dan fungsinya
berbeda namun secara umum
sebutannya sama yakni mbaru
(rumah). Sebutan mbaru selalu di ikuti
dengan nama rumah berdasarkan dengan fungsinya, seperti mbaru niang mese (rumah
adat), mbaru niang koe (rumah tinggal biasa), mbaru tekur ( rumah tempat istirahat),
mbaru niang mese disebut juga mbaru gendang atau rumah gendang. Selain itu, rumah
juga disesuaikan dengan status dan fungsinya, misalnya rumah adat disebut niang
wowang, sedangkan untuk rumah tinggal biasa menurut fungsinya dimasa lampau
dibedakan atas 8 penamaan;
• Niang supe,
• Niang mongko,
• Niang teruk,
• Niang wesa,
• Niang wa,
• Niang rato/niang dangka,
• Niang lodok dan,
103
• Niang dopo.
Perbedaan yang mendasar dari beberapa tipologi rumah tersebut adalah pada
ukuran bangunannya, dimana rumah adat lebih besar dari ukuran rumah tinggal
biasa. Selain itu dari segi tampilan rumah adat memiliki bidang atap yang tinggi
serta dilengkapi dengan ragam hias pada puncak atap (bubungannya), sedangkan
rumah tinggal biasa atapnya lebih rendah dan tidak memiliki ragam hias seperti
rumah adat.
Keberadaan beberapa jenis atau tipologi rumah diatas biasanya selalu disertai
pula dengan beberapa komponen pentingnya yang tidak dapat dipisahkan dari
sebuah kampung tradisional antara lain;
• Peralatan terbuka (natas)
• Bangunan megalitik (compang, bangka dari kubur dan like)
Kesemua komponen ini merupakan komponen dasar bagi terbentuknya sebuah
kampung.
• Secara tipologi rumah tradisional di manggarai dapat ditinjau dari tipologi bentuk,
fungsi dan langgam, dari tipologi fungsi
rumah tradisional manggarai dapat
dibedakan atas 3 jenis yakni rumah
adat (niang wowing) rumah tempat
menerima sebelum memasuki rumah
adat (mbau tekur) dan rumah tinggal
biasa.
• Di tinjau dari segi tipologi bentuk rumah tradisional manggarai awalnya hanya
terdapat 2 macam yakni rumah beratap kerucut dan tumah beratap pelana, namun
dalam perkembangannya dewasa ini di kenal ada atap berbentuk limas.
• Dan di tinjau dari tipologi langgam, maka arsitektur rumah tradisional manggarai
mengenal langgam khas manggarai (atap kerucut yang menjulang tinggi) dan
104
tipologi ini memiliki keserupaaan dengan tipologi langgam sumbawa dan bugis
adalah mbau tekur yang memiliki atap berbentuk pelana. Namun walaupun secara
tipologi fungsi, bentuk, dan langgam rumah tradisional manggarai dimasa lampau
memiliki perbedaan akan tetapi secara structural memiliki keserupaan yaitu rumah
dengan memiliki tipologi berbentuk panggang atau rumah panggung.
• Demikian juga dengan bentuk denah antara rumah
adat dengan rumah tinggal biasa yang secara
geometrik memiliki keserupaan bentuk yakni
lingkaran, akan tetapi ukuran bangunannya berbeda
dimana rumah adat ukurannya lebih besar dari
rumah tinggal biasa, perbedaan ukuran bangunan
disini erat kaitannya dengan status dan fungsi
bangunan.
• Secara horisontal pola ruang pada arsitektur
tradisional manggarai ini berintikan pada ruang
tengah yang mengintari sembilan buah tiang
utama. Pada bagian tengah ini ada terdapat 2
ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang
bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo)
bagian belakang yang memiliki fungsi ganda yakni
bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus
bersifat sakral dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai
untuk aktifitas penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat
pelaksanaan aktifitas adat (upacara adat).
105
POLA RUANG DALAM ARSITEKTUR MANGGARAI
o Secara horisontal pola ruang pada arsitektur tradisional manggarai ini berintikan
pada ruang tengah yang mengintari sembilan buah tiang utama. Pada bagian
tengah ini ada terdapat 2 ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang
bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo) bagian belakang yang memiliki
fungsi ganda yakni bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus bersifat sakral
dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai untuk aktifitas
penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat pelaksanaan
aktifitas adat (upacara adat).
o Secara vertikal, rumah tradisional manggarai, dibagi menjadi beberapa bagian,
yakni
• ngaung (kolong rumah) digunakan sebagai tempat memelihara ternak dan untuk
menenun.
• waselele (tempat tinggal manusia)
• wasemese (tempat penyimpanan hasil panen)
• lamparae (tempat penyimpanan benih tanaman)
• sekang kode (tempat penyimpanan benda-benda pusaka)
• ruang koe (ruang kosong yang bersifat sakral)
MATERIAL BANGUANAN
pada dasarnya material bangunan yang digunakan untuk bangunan di NTT khususnya
manggarai untuk tipologi fungsi yang satu dengan yang lain tidak ada perbedaan yang
significant, terkecuali penggunan material tertentu untuk rumah adat yang tidak
diperkenankan untuk rumah tinggal biasa dalam hal ini seperti kayu khusus yang
digunakan untuk tiang utama rumah adat.
106
• Secara umum bahan bangunan yang
digunakan dibagi atas 2 yaitu bahan yang
struktural dan bahan yang non struktural,
bahan bangunan yang digunakan umumnya
terbuat dari kayu dan bambu sebagai bahan
struktural dan bahan yang non struktural
berupa alang-alang dan ijuk sebagai bahan
penutup atap dan juga raham hias yang di
gantung pada bidang atap bagian dalam.
107
4.3 ARSITEKTUR PAPUA (HONAI)
Egi. Doc. Perkembangan arsitektur
vernakular
108
Suku bangsa Dani adalah sebutan bagi penduduk yang tinggal di Lembah Baliem
(Keturunan Moni, penduduk dataran tinggi Pinai, yang datang ke Lembah Baliem), yang
memiliki luas sekitar 1.200 Km2.
Dani adalah orang asing yang awalnya berbunyi Ndani, setelah ada perubahan fenom N
hilang menjadi Dani dan masuk ke pustaka etnografi.
Suku Dani lebih senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek
moyangnya dengan penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta
babi.
Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:
1. Sub keluarga Wano
2. Sub keluarga Dani Pusat yang terdri ataslogat Dani Barat dan logat lembah
Besar Dugawa, dan
3. Sub keluarga Nggalik– Dugawa
Selain itu juga bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa
Irian (secara umum).
Sistem Religi / Kepercayaan
Dasar religi masyarakat Dani adalah sama uraian yang di atas yaitu menghormati roh
nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi.
Konsep kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti
para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
Kekuasaan sakti ini antara lain :
1. Kekuatan menjaga kebun;
2. Kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala;
3. Kekuatan menyuburkan tanah.
109
Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang
yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan
untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri
perang.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga yaitu kelompok kekerabatan, paroh
masyarakat, dan kelompok teritorial.
a. Kelompok kekerabatan
1. Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga
luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama– sama
menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima). Pernikahan orang
Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu– satuan
tempat tinggal yang disebut siimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3– 4 slimo yang
dihuni 8– 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang
suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem
Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang
menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami
Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).
2. Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul
(klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
3. Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa
Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas
yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki.
110
Sistem Kesenian dan Kerajinan
Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman,
seperti disebutkan di atas dalam satu silimo ada beberapa bangunan. - Honai
- Ebeai
- Wamai Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni
kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang
Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan tersebut
antara lain :
- Moliage
- Valuk
- Seg
- Wim
- Kurok
- Panah sekehidupan masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
2. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang
dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku
3. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga
dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.
Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang
memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada
di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri– sendiri, mereka adalah :
-Ap.Menteg
-Ap.Horeg
- Ap Ubaik
111
Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam
masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti
kuat, pandai dan terhormat.
Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua tetapi masih mampu
mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan
tersebut antara lain :
- Pemeliharaan kebun dan Bahi
- Melerai pertengkaran
Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain.
Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah
juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin
masyarakat Dani :
- Pandai bercocok tanam
- Bersifat ramah dan murah hati
- Pandai berburu
- Memiliki kekuatan fisik dan keberanian
- Pandai berbicara
- Pandai berdiplomas
Sistem Ekonomi
Nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan manusia yang
sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.
Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu
baru mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas.
112
Manurut BLUMMER, inovasi yang berkesinambungan dan kontak budaya menyebabkan
pola penanaman yang sangat sederhana tadi berkembang menjadi suatu sistem
perkebunan ubijalar, seperti sekarang. Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani
adalah bercocok tanam dan beternak babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang
diutamakan untuk dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah
berladang.
Honai adalah rumah tradisional masyarakat di pegunungan tengah Papua. Rumah
memiliki bentuk bulat dan biasanya dihuni oleh 5-10 orang. Terbuat dari papan kayu
kasar dengan atap ilalang/jerami, dengan tinggi sekitar 4-6 meter dan diameter 5-7
meter. Anyaman bambu ini telah diatur mengelilingi dinding interior rumah dan satu pintu
di bagian depan. Rumah tersebut memiliki dukungan empat tiang di tengah dan perapian
untuk mengejar keluar udara dingin di malam hari, juga merupakan tempat untuk
masak,spt.; hipere (ubi jalar), WAM (babi), dan sayuran. Lantainya dari tanahdan ditutupi
dengan rumput kering. Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur
dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan.
Karena dibangun 2 lantai. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat
api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk
kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
113
Honai - Rumah Adat Papua
Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami
atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela yang bertujuan
untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
114
Arsitektur tak selalu mewujud dalam bangunan yang besar, megah, mewah dan serba
wah. Bisa saja kecil, sederhana, tetapi memiliki kualitas yang baik.. Lebih dari itu,
arsitektur adalah wujud anasir hasil proses pergumulan, pemikiran, dan perenungan
arsitek untuk melahirkan ide arsitektural.
Sebutlah di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu
terkenal, yaitu honai. Rumah khas masyarakat Papua ini berbentuk lingkaran, terbuat
dari kayu dan beratap jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Satu keluarga bisa
memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi satu dan dibatasi pagar kayu di
sekelilingnya. Tiap rumah dihuni satu pria beserta istri-istri dan anak-anak mereka.
Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil dan rendah, dan tak memiliki jendela
sebagai ventilasi udara. Komposisi demikian bertujuan untuk menahan hawa dingin
pegunungan Papua. Struktur rumah tradisinal tersebut tersusun atas dua lantai—
lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan,
dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua lantai, ia memiliki tinggi
kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah, disiapkan tempat untuk membuat
api unggun untuk menghangatkan diri, sekaligus sebagai tempat untuk memasak.
Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara arsitek
terdahulu dalam memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan
mengandalkan bahan yang sederhana dan sangat natural. Bagaimana eksplorasi
115
material dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan nilai
fungsional suatu bangunan.
Dalam perkampungan Suku Dani biasanya terdapat sebuah tempat khusus untuk
mengadakan upacara yang berhubungan dengan perang. Tempat ini umumnya hanya
dipakai oleh kaum pria. Sementara kaum wanitanya memiliki tempat tersendiri, yang
disebut Eba-ae, tempat para wanita makan dan tidur dengan anak-anaknya. Eba-ae
ini juga menjadi tempat pria datang mengunjungi istri-istrinya.
4.4 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DARI KETIGA ARSITEKTUR DI ATAS
a). PERSAMAAN
Sistem pemukiman ketiga arsitektur di atas biasanya memilih puncak sebuah bukit
sebagai pusat kampungnya.
Mempunyai kemiripan bentuk rumah adatnya.
Arsitektur Atoni Arsitektur Manggarai
116
Bahan penutup atap umumnya sama-sama menggunakan ilalang (alang-alang)
disamping bahan-bahan penutup atap lainnya, spt; jerami (honai),daun gewang).
4.5 KESIMPULAN DAN SARAN
4.5.1 Kesimpulan
Arsitektur Nusantara merupakan julukan bagi arsitektur Indonesia secara
keseluruhan dari sabang sampai Marauke. Nusantara sendiri sebenarnya
merupakan kata majemuk dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), terdiri dari kata
Nusa yang berarti pulau Antara yang berarti lain. Istilah ini biasa digunakan
dalam konsep kenegaraan ―Jawa‖, artinya dikenakan pada daerah di luar
pengaruh budaya Jawa.
Arsitektur Nusantara terdiri atas :
1) Arsitektur Klasik atau Candi
2) Arsitektur Islam
3) Arsitektur Kolonial
4) Arsitektur Vernakular
Karakteristik budaya Indonesia sendiri dipengaruhi oleh budaya bangsa
Austronesia yang merupakan cikal bakalnya, begitu pun arsitektur sebagai
produk budaya memiliki ciri dan karakter yang sama dengan austonesia dalam
materi maupun makna simboliknya.
117
Arsitektur vernakular Manggarai, Atoni, dan Papua sebagai bagaian dari
arsitektur Nusantara dengan variannya yang mempunyai kesamaan terhadap
arsitektur Austronesia namun mempunyai perbedaan terhadap pengertian dan
maksud penyampaiannya terhadap segi arsitektur.
Perihal wujud Arsitektur Vernakular (Tradisional) adalah Arsitektur tertua
dalam perkembangannya, walaupun dalam keberadaannya pada suatu
lingkungan kawasan yang sama, tetapi memiliki bentuk, makna dan nilai
simbolis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, hal ini menunjukkan,
bahwa gagasan lahir dari cara hidup yang berbeda pula.
Antara Arsitektur Atoni, Manggarai, dan Papua ditemukan perbedaan yang
signifikan baik dari segi pola ruang , pola permukiman, bentuk denah, tampilan
dan juga wujud ritual adatnya, tetapi memiliki makna dan nilai simbolis yang
hampir sama, kondisi lingkungan (site) dan juga cara hidup masyarakat adat.
Berdasarkan pemahaman Tipologi arstitektur, maka dapat dijabarkan bahwa
Arsitektur Tradisional (vernacular) Atoni, Manggarai, dan Papua, termasuk
dalam satu Tipologi, yaitu tipologi fungsi sosial dan fungsi religius; Tipologi
langgam geometri arsitektur rumah panggung beratap limas.
4.5.2 Saran
Arsitektur Tradisional (Vernakular) sebagai warisan budaya leluhur memiliki
sejumlah pola pikir yang kompleks, dalam perwujudannya, sehingga dapat
menciptakan suatu filosofi Arsitektur dalam menjawab tantangan dan peluang di
era globalisasi.
Kesadaran untuk memanfaatkan arsitektur Vernakular sebagai sumber dan modal
desain merupakan suatu upaya meningkatkan kualitas wajah Arsitektur Nusantara,
Akan tetapi penerapan unsur lokal tersebut nampaknya masih mengalami
hambatan yang cukup berarti karena belum didukung oleh teori, metoda dan
bahkan pengaruh perkembangan Arsitektur Modern. Memang tidak dapat dipungkiri
118
lagi bahwa kedewasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang
melingkupi dunia Arsitektur mengakibatkan pudarnya tata nilai Arsitektur
Vernakular. Untuk itu sebagai warisan budaya leluhur harus dapat menyaingi
budaya modern, akibatnya jati diri lokal kita tidak akan lenyap apabila dalam setiap
desain arsitektur dapat menghadirkan nuansa lokal dalam tranformasinya, tidak
perlu semua unsur dihadirkan paling tidak sebagian bentuk, makna ataupun
langgamnya yang diterapkan, sehingga warisan budaya kita senantiasi hadir, hidup
dan berkembang dalam menjawab tantangan Globalisasi.
119
DAFTAR PUSTAKA
F.Isnen, ST, Meng. 2006. Kopendium Arsitektur Indonesia dan Asia.
Atmadi, Parmono. 1990. Arsitektur Candi Indoensia. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Budihardjo, Eko, 1991. Jatidiri Arsitektur Indonesia. Alumni : Bandung.
Hanafi, Zulkifli. 1985. Kompendium Sejarah: Seni Bina Timur. USM Press : P.Pinang.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra. Penerbit Gramedia : Jakarta.
Prijotomo, Josef. 1988. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Surabaya: Penerbit CV.
Ardjun
Soekmono, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia volume 1. Kanisius:
Yogyakarta.
Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Masjid Kuno. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Sumintardja, D. 1978. Kompendium Sejarah Arsitektur Indonesia. Yayasan LPMB
Top Related