A-1
APLIKASI METODE SPASIAL DURBIN MODEL (SDM) UNTUK ANALISIS FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN BANTUL, DIY
Kris Suryowati1, Rokhana Dwi Bekti2, Khaifa Zulfenia3
1,2,3Jurusan Statistika, Fakultas Sains Terapan, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
e-mail :[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRACT
The continuously increasing population will have an impact on increasing industrial activities, technological
developments and so on, thus impacting on the deterioration of the quality of health and the environment,
especially air. Bantul Regency in Special Region of Yogyakarta (DIY), which consists of 17 sub-districts, is an
area that continues to grow and has increased population activities. In 2014, 16 sub-districts had been
contaminated by air quality. To find out things that can affect air pollution in the area, this study conducted
Spatial Autoregressive Models (SAR). This method is used as an alternative OLS method that does not meet
assumptions when used in the case of spatial data. The reason for using SAR is because there is an
autocorrelation in air quality among sub-districts. By OLS regression model, a significant factor influencing is
the number of villages according to the type of transportation infrastructure. However, this model does not pay
attention to the geographical location factor and the residual assumption that normal distribution is not met. The
results of SAR model show that if the population density is high, transportation infrastructure is high, and the
number of landfills in the hole or burned high then the number of villages polluted. also high. A sub-district will
have a high number of polluted villages if it is adjacent to other sub-districts with a high number of polluted
villages. However, the variable that has a significant influence (α = 5%) on air pollution is number of villages
according to the type of transportation infrastructure.
Keywords : air pollutant, regression analysis, Spatial Autoregressive Model
ABSTRAK
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan aktifitas industri, perkembangan teknologi,
yang berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup khususnya udara sehingga dapat menurunkan tingkat
kesehatan masyarakat. Salah satu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu Kabupaten Bantul terdiri dari 17
kecamatan, merupakan daerah yang terus berkembang dan aktifitas penduduk meningkat juga terdapat alih
fungsi lahan, pariwisata juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data bahwa pada tahun 2014, dari 17
kecamatan 16 diantaranya telah tercemar kualitas udaranya. Untuk mengetahui hal yang dapat mempengaruhi
pencemaran udara di wilayah Bantul, maka penelitian ini digunakan analisis regresi Spatial Durbin Models
(SDM). Metode ini digunakan sebagai alternatif metode OLS yang tidak memenuhi asumsi ketika digunakan
pada kasus data spasial. Alasan penggunaan SDM dikarenakan kualitas udara antar wilayah saling
berhubungan. Berdasarkan model regresi dengan metode OLS, faktor yang signifikan berpengaruh adalah
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, tetapi model ini tidak memperhatikan faktor lokasi geografis
dan asumsi residual tidak terpenuhi distribusi normal. Melalui model SDM, diperoleh hasil bahwa jika
kepadatan penduduk meningkat, prasarana transportasi meningkat, dan jumlah jenis tempat pembuangan
sampah dalam lubang atau dibakar tinggi maka jumlah desa yang tercemar udara juga meningkat. Berkaitan
dengan letak geografis sehingga kecamatan yang memiliki jumlah desa tercemar tinggi maka
kecamatan-kecamatan lain yang bertetanggan akan memiliki jumlah desa tercemar yang tinggi juga. Tetapi,
variabel yang memberikan pengaruh signifikan (α=5%) pada pencemaran udara adalah variabel jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi.
Kata kunci : pencemaran udara, analisis regresi, Spatial Durbin Model
A-2
1. PENDAHULUAN
Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1988,
pencemaran udara adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke udara
atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara turun hingga ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya. Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya potensi pencemaran udara, diantaranya dapat
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti yang berasal dari pabrik, kendaraan bermotor, pembakaran sampah,
sisa pertanian dan peristiwa alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung api yang mengeluarkan debu, gas dan
awan panas.
Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang terdiri dari 17 kecamatan, merupakan
daerah yang terus berkembang dan mengalami peningkatkan aktifitas penduduk. Pertumbuhan penduduk terus
meningkat, dimana laju pertumbuhan penduduknya pada 2000 – 2010 adalah 1,56%. Sementara itu, dengan luas
wilayah 506,85 km2 , kepadatan penduduk Kabupaten Bantul tahun 2016 adalah 1.940 jiwa per km2 (BPS,
2017). Menurut data Buku Potensi Desa, pada tahun 2011 terdapat 7 kecamatan yang mengalami pencemaran
udara kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi 16 kecamatan. Menurut data pemantauan kualitas udara
ambient di Kabupaten Bantul sejak tahun 2004 hingga 2015, parameter Total Suspenden Particulate (TSP) telah
melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Sementara itu, konsentrasi SO2 dan CO di udara ambien juga terus
mengalami peningkatan sejak tahun 2014 hingga 2016. Peningkatan konsentrasi zat tersebut merupakan salah
satu penyebab terjadinya penurunan kualitas udara.
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya pencemaran udara di Kabupaten Bantul. Untuk
mengetahui faktor-faktor dominan, maka penelitian ini melakukan analisis statistik regresi spasial. Analisis
regresi spasial merupakan pengembangan dari metode regresi linier klasik Ordinary Least Square (OLS)
berdasarkan hukum Tobler yang menyatakan“ bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan mempunyai pengaruh yang lebih daripada sesuatu yang jauh”. Ini
berarti adanya pengaruh tempat atau spasial pada data yang dianalisis.
Metode OLS tidak memperhatikan posisi geografi data yang digunakannya atau tidak memperhatikan
unsur spasial dalam analisisnya. Dalam permodelan, apabila metode OLS digunakan sebagai alat analisis pada
data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas dan
asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Begitu juga pada analisis pemodelan pencemaran udara. Kualitas udara dan
pencemarannya juga sangat dipengaruhi oleh faktor posisi geografi. Setiap daerah memiliki kondisi geografi dan
pencemaran udara yang berbeda-beda. Selain itu, pencemaran kualitas udara antar daerah juga dapat saling
berhubungan. Dengan demikian, regresi spasial perlu digunakan.
Salah satu jenis model regresi spasial adalah Spatial Durbin Model (SDM) merupakan penyempurnaan
model SAR dengan memberikan lag pada variabel yang berpengaruh menurut Anselin dan Rey (2010), SDM
adalah model yang mengkombinasikan model SAR dengan lag spasial pada variabel dependen artinya spasial
lag muncul saat nilai observasi variabel dependen pada suatu lokasi berkorelasi dengan nilai observasi variabel
dependen di lokasi sekitarnya. Beberapa penelitian yang menggunakan metode ini diantaranya Melati dkk
A-3
(2016) serta Bekti, Nurhadiyanti, Irwansyah. (2014). Penelitian yang menggunakan metode regresi spasial
lainnya diantaranya Saputri dan Suryowati (2018), Suryowati, Bekti, dan Faradila (2018).
Penelitian ini menggunakan metode regresi spasial SDM untuk mendapatkan faktor-faktor yang
signifikan mempengaruhi pencemaran udara di Kabupaten Bantul. Dengan analisis ini diharapkan dapat
memberikan informasi pencemaran udara dari segi pola dan faktor spasial.
2. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang didasarkan pada tahun 2014 dengan
17 Kecamatan di Kabupaten Bantul. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kaupaten Bantul.
Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari variabel dependen (Y) yang berupa jumlah desa
menurut jenis pencemaran lingkungan yakni pencemaran udara. Data ini diperoleh dari Buku Statistik Potensi
Desa Kabupaten Bantul 2014. Sementara itu, variabel independen yang terdiri dari kepadatan penduduk (X1),
prasarana transportasi (X2), dan jenis tempat pembuangan sampah (X3). Kepadatan penduduk didefinisikan
sebagai Jumlah penduduk tiap wilayah (km2). prasarana transportasi didefinisikan sebagai Jumlah desa menurut
jenis prasarana transportasi darat berupa jalan yang dilalui oleh kendaraan. Jenis tempat pembuangan sampah
didefinisikan sebagai Jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar.
Metode analisis yang digunakan adalah regresi Spatial Durbin Model (SDM). Analisis regresi spasial
digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dengan
mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah dalam artian memperhitungkan ketergantungan antar pengamatan
yang satu dengan pengamatan yang lain. Pengamatan yang dikumpulkan bisa berasal dari suatu titik atau area di
suatu wilayah tertentu. Menurut Anselin (2013), LeSage dan Pace (2009) model umum regresi spasial dapat
ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
(1)
dengan u = λW2 + ε ε ~ N(0, 2I)
Keterangan:
y : vektor variabel dependen, ukuran (n x 1)
X : matriks variabel independen, ukuran (n x (k+1))
β : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
ρ : parameter koefisien lag variabel dependen
λ : parameter koefisien lag pada error
u : vektor error berukuran (n x 1)
ε : vektor error berukuran (n x 1)
W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran (n x n)
Pada persamaan (1), jika nilai ρ ≠ 0 atau λ = 0 maka menjadi Spatial Autoregressive Model (SAR)
seperti pada persamaan (2) yang mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen
y = ρW1y + Xβ + ε (2)
dan ε ~ N(0,2I)
A-4
Model SAR dalam bentuk matriks 𝒚 = 𝝆𝑾1y + 𝑿𝜷 + 𝜺 (3)
dengan
Spasial durbin model (SDM) merupakan kasus khusus dari SAR yaitu dengan menambahkan pengaruh
lag pada variabel independen sehingga ditambahkan spasial lag pada model. Pembobotan dilakukan pada
variabel independen maupun dependen. Bentuk model SDM adalah sebagai berikut (Anselin, 1988)& (Rokhana,
2017):
(4)
Memenihi dan
Estimasi Parameter Spatial Durbin Model Maximum Likelihood Estimation, dengan persamaan sebagai berikut:
(5)
dengan (6)
Estimasi adalah: dengan Z =[I X W1X] (7)
DenganZ =[I X W1X] (Anselin,1988)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 berikut menunjukkan karakteristik pencemaran udara pada tahun 2011 dan 2014. Pada tahun
2011 di Kabupaten Bantul terdapat 7 kecamatan yang memiliki desa tercemar udara. Selanjutnya jumlah desa
tercemar semakin meningkat hingga tahun 2014, dimana terdapat 16 kecamatan yang memiliki desa tercemar
udara. Secara rata-rata, terdapat 4 desa tercemar udara (mengalamai pencemaran lingkungan yakni pencemaran
udara) di setiap kecamatan. Dengan demikian dari tahun 2011 menjadi 2014 terdapat peningkatan pencemaran
udara. Tahun 2011 Tahun 2014
Gambar 1. Peta Tematik Presentase Jumlah Desa Tercemar Tahun 2011 dan 2014
A-5
Selanjutnya Gambar 1 juga menunjukkan pola spasial Kecamatan yang tercemar menurut Jumlah Desa
dengan Jenis Pencemaran Udara di Kabupaten Bantul tahun 2014. Pengelompokan kelas interal dibagi menjadi 3
yaitu sebagai berikut:
1) Angka 0-3 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 0-3 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan Pajangan
dan Srandakan.
2) Angka 4-5 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 4-5 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan Sedayu,
Kasihan, Sewon, Piyungan, Pleret, Bantul, Pleret, Jetis, Pandak, Bamanglipuro, Pundong, Sanden dan Kretek
3) Angka 6-8 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 6-8 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Banguntapan, Imogiri dan Dlingo
Menurut pola spasial, dapat diketahui bahwa Kecamatan dengan banyak desa tercemar adalah saling
mengelompok dan berdekatan, sebagai contoh adalah Kecamatan Imogiri dan Dlingo. Sementara itu, Kecamatan
yang berada di wilayah timur lebih memiliki banyak desa tercemar dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Gambar 2. Pola spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Pencemaran Udara
Gambaran pola spasial variabel independen juga dapat dilihat di Gambar 3. Kecamatan yang memiliki
kepadatan penduduk tinggi terletak pada kelas interval 3.388-4.755 jiwa/km2 yaitu berada pada kecamatan
Kasihan, Sewon dan Banguntapan. Ketiga kecamatan cenderung mengelompok dan berada Kab. Bantul bagian
utara. Kecamatan dengan jumlah desa yang memiliki banyak prasarana transportasi, yaitu yang berupa berupa
jalan yang dilalui oleh kendaraan, berada pada kelas interval 7-8 desa yaitu terdapat di Kecamatan Banguntapan
dan Imogiri. Kecamatan yang memiliki banyak desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang
atau dibakar terletak pada kelas interval 7-8 yaitu berada di Kecamatan Imogiri.
A-6
Kepadatan Penduduk Prasarana Transportasi
Jenis Pembuangan Sampah
Gambar 3. Pola spasial Kepdatan Penduduk, Prasarana Transportasi, dan Jenis Pembuangan Sampah.
3.1 Pemodelan Regresi Metode Ordinary Least Square (OLS)
Pada gambar pola spasial menunjukkan adanya indikasi pengaruh spasial antara kecamatan yang satu
dengan lainnya. Dengan demikian, perlu juga dibuktikan dengan melakukan pengujian efek spasial guna
mengetahui apakah terdapat keterkaitan antar Kecamatan di Kabupaten Bantul. Namun demikian, sebelum
dilakukan pemodelan spasial terlebih dahulu melakukan pemodelan regresi dengan metode OLS serta menguji
asumsi residual normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi
Estimasi parameter model regresi metode Ordinary Least Square (OLS) yang tidak melibatkan efek
spasial disajikan di Tabel 1.
Tabel 1. Output Regresi Metode OLS
Variabel Std. Eror
P-value
Konstanta -1,0620 0,7795 -1,362 0,1962
0,0002 0,0003 0,890 0,3898
0,8777 0,3409 2,574 0,0231 *
0,2405 0,3837 0,627 0,5415
A-7
R-Square = 0,8756
P-value =
Berdasarkan tabel 1 diperoleh estimasi pemodelan regresi OLS sebagai berikut:
(8)
Secara umum, model dapat diinterpretasikan bahwa jika kepadatan penduduk (X1) di Kabupaten Bantul
naik sebesar 10.000 jiwa/km2 maka jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 2 desa. Jika
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat berupa jalan (X2) naik sebesar satu jenis prasarana
transportasi maka dapat jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 0,8777 desa. Jika jumlah
desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar (X3) naik sebesar satu jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar maka jumlah desa yang tercemar Kabupaten Bantul naik sebesar
0,2405 desa.
Model regresi OLS yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 0,8756 atau 87,56% yang berarti ketiga
variabel independen penelitian dapat menjelaskan pencemaran udara di Kabupaten Bantul sebesar 87,56%
sedangkan sisanya sebesar 12,44% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil pengujian asumsi klasik pada
model regresi OLS dilakukan dengan uji Shapiro Wilks, Uji Durbin Watson, nilai VIF, dan Breusch-Pagan. Hasil
pengujian menunnjukkan bahwa asumsi yang terpenuhi adalah residual independen, identik, dan tidak terjadi
multikolinearitas. Sementara itu, asumsi residual berdistribusi normal tidak terpenuhi.
Melalui pengujian pengujian signifikansi parameter menggunakan uji t diperoleh kesimpulan bahwa
terdapat satu variabel penelitian signifikan pada taraf α=5%, yakni variabel jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi darat (X2). Sedangkan kepadatan penduduk (X1) dan jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan
sampah dalam lubang/dibakar (X2) tersebut tidak signifikan berpengaruh.
3.2 Uji Efek Spasial
Uji efek spasial dilakukan dengan 2 uji yaitu uji Lagrange Multiplier (LM) dan Moran’s I. Menurut uji
LM di Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat dependensi spasial dalam lag maupun error. Sedangkan
hasil uji Moran’s I di Tabel 3 memberikan kesimpulan bahwa ada autokorelasi spasial yang signifikan pada
α=5% di variabel kepadatan penduduk atau terdapat keterkaitan pada data kepadatan penduduk di Kabupaten
Bantul. Sementara itu, variabel dependen dan independen yang lain tidak memiliki autokorelasi spasial. Namun
demikian, berdasarkan perbandingan nilai E(I) dan Moran’s I, dapat diketahui bahwa nilai Moran’s I pada
variabel dependen (Y) dan jenis tempat pembuanangan sampah (X3) lebih besar dari E(I). Hal ini menunjukkan
ada pola mengelompok antar lokasi pada variabel tersebut.
Tabel 2. Output Lagrange Multiplier
No Uji dependensi spasial Nilai P-value
1 Lagrange Multiplier lag 0,022 0,882
2 Lagrange Multiplier error 0,004 0,948
A-8
Tabel 3. Hasil Uji Morans’I
Variabel Morans’I E(I) p-value
Y 0,0760 -0,0625 0,3626
X1 0,2350 -0,0625 0,04162 *
X2 -0,2502 -0,0625 0,7958
X3 0,0314 -0,0625 0,4948
3.3 Hasil Spatial Durbin Model (SDM)
Pada penelitian ini diawali pemodelan spasial SAR, selanjutnya untuk model SDM merupakan
pengembangan model lag vareabel bebas dan tidak bebas karena model SDM merupakan pengembangan model
sar yaitu melibatkan lag digunakan sebab pada Asumsi pengujian regresi metode OLS terdapat asumsi yang
tidak dipenuhi yaitu distribusi normal residual yang tidak terpenuhi. Selanjutnya hasil estimasi model SAR
disajikan di Tabel 4. Model yang didapatkan adalah
321 2398,08781,00002,00094.01021,1ˆ XXXYWY jij (9)
Tabel 4. Estimasi Parameter Model SAR
Variabel Koefisien Std.error
Pr(|Z|)
Konstanta -1,1021 0,9855 -1,1183 0,2634
X1 0,0002 0,0002 1,0224 0,3066
X2 0,8781 0,2984 2,9421 0,0033*
X3 0,2398 0,3358 0,7141 0,4751
0,0094 0,1674 0,0651 0,9553
AIC = 46,55
Dari model dapat diinterpretasikan bahwa jika kepadatan penduduk tinggi, prasarana transportasi tinggi,
dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar tinggi maka jumlah desa tercemar udara
juga tinggi. Koefisien menunjukkan spasial lag variabel jumlah desa tercemar, memiliki nilai estimasinya adalah
0,0094. Angka ini menunjukkan bahwa kecamatan yang bertetanggan dengan kecamatan lain yang memiliki
jumlah desa tercemar tinggi maka akan memiliki jumlah desa tercemar yang tinggi. Pada uji signifikansi parameter
dengan α=5%, variabel independen yang memberikan pengaruh adalah variabel jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi (X2). Setelah dilakukan uji efek spasial SAR diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat
autokorelasi spasial pada lag sehingga dilakukan pengujian menggunakan model SDM yang bertujuan untuk
mendapatkan hasil adanya efek spasial lag pada variabel dependen dan independen.
Hasil perhitungan berdasarkan output untuk model SDM , maka hasil perhitungan parameter diperoleh
pada tabel 5 berikut
A-9
Tabel 5 Hasil perhitungan parameter model SDM
Parameter Estimate
(intercept) 1,9903 1,3535 1,4705 0,1414
0,0004 0,0001 2,9378 0,0033*
1,1694 0,2147 5,4459 *
-0,1721 0,2479 -0,6944 0,4874
-0,0021 0,0005 -4,4604 *
1,5129 0,4733 3,1962 0,0013*
-0,9838 0,5682 -1,7316 0,0833
-0,3626 0,2777 -1,3057 0,19164
AIC = 33,058
*) signifikan pada
Persamaan modelnya adalah sebagai berikut,
Nilai estimasi parameter , , menunjukkan koefisien regresi non spasial dan nilai estimasi
parameter , , menunjukkan parameter lag spasial pada variabel independen. Nilai estimasi
parameter menunjukkan pengaruh spasial lag variabel dependen.
Estimasi parameter bernilai -0,3626 dan koefisien parameter bernilai negatif menunjukkan bahwa suatu
Kecamatan akan memiliki jumlah desa yang tercemar yang rendah jika berdekatan dengan Kecamatan yang
memiliki jumlah desa tercemar tinggi.
Estimasi parameter bernilai 0,0004 dan nilai estimasi parameter bernilai -0,0021. Koefisien
parameter lag kepadatan penduduk bernilai negatif, menunjukkan bahwa Kecamatan yang kepadatan
penduduknya rendah dan bersebelahan dengan Kecamatan yang kepadatan penduduknya rendah akan memiliki
kecamatan dengan jumlah desa yang tercemar tinggi.Sehingga hal ini menunjukkan jika kepadatan penduduk
menurun maka Kecamatan dengan jumlah desa yang tercemar akan meningkat.
Estimasi parameter bernilai 1,1694 dan nilai estimasi parameter bernilai 1,5129. Koefisien
parameter lag jumlah desa menurut prasarana transportasi bernilai positif, menunjukkan bahwa Kecamatan yang
memiliki jumlah desa menurut prasarana transportasi tinggi dan bersebelahan dengan Kecamatan yang memiliki
jumlah desa menurut prasarana transportasi tinggi akan memiliki kecamatan dengan jumlah desa yang
tercemar tinggi juga. Sehingga hal ini menunjukkan jika Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut
prasarana transportasi tinggi maka akan meningkatkan jumlah desa yang tercemar.
Estimasi parameter bernilai -0,1721 dan nilai estimasi parameter bernilai -0,9838. Koefisien
parameter lag jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar bernilai negatif, menunjukkan bahwa
Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
rendah dan bersebelahan dengan Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan
A-10
sampah dalam lubang atau dibakar rendah juga. Sehingga hal ini menunjukkan jika Kecamatan yang memiliki
jumlah desa menurut prasarana transportasi rendah maka jumlah desa yang tercemar akan meningkat.
Berdasarkan uji residual dengan menggunakan uji Shapiro Wilk atau nilai p-value sehingga diperoleh
dan artinya residual berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi parameter model SDM. Dari tabel 5 dengan taraf signifikansi
variabel yang memberikan pengaruh pada pencemaran udara adalah variabel kepadatan penduduk
ditunjukkan nilai dan . Kemudian
variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat ( ) yang ditunjukkan
olehnilai dan maka ditolak.
Selanjutnya variabel jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
ditunjukkan oleh nilai dan maka
tidak ditolak. Kemudian variabel lag kepadatan penduduk yang ditunjukkan
olehnilai dan p-value variabel lag kepadatan penduduk
maka ditolak. Dan variabel lag jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi darat yang ditunjukkan olehnilai p-value variabel lag
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat = maka ditolak.
Selanjutnya dilakukan estimasi parameter kembali menggunakan variabel yang signifikan. Hasil untuk
masing-masing parameter signifikan dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6 Output Spatial Durbin Model untuk vareabe sifnifikan
Parameter
(intercept) 0,0102 0,7469 0,0137 0,9890
0,0004 0,0001 3,8784 0,0001 *
1,0320 0,0642 16,0633 *
-0,0015 0,0005 -5,5194 *
1,0574 0,0002 3,3537 0,0007 *
-0,6608 0,2577 -2,5647 0,0103*
AIC = 33,058
*) signifikan pada
Setelah diperoleh estimasi parameter model SDM yang signifikan adalah maka didapatkan model :
Sehingga dapat disimpulkan adanya pengaruh variabelkepadatan penduduk, jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi, lag kepadatan penduduk, lag jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, dan lag
variabel dependen terhadap jumlah desa yang tercemar. Dengan kata lain terdapat pengaruh spasial lag variabel
A-11
dependen dan independen.
4. KESIMPULAN
Kejadian pencemaran udara di Kabupaten Bantul mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke tahun 2014.,
yang menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah tersebut kurang baik dan perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Melalui model regresi OLS, faktor yang signifikan berpengaruh adalah jumlah desa menurut
jenis prasarana transportasi, tetapi model ini memiliki kelemahan yaitu tidak memperhatikan faktor spasial atau
lokasi geografis dan asumsi residual tidak terpenuhi distribusi normal.
Melalui identifikasi pola spasial sehingga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh / efek spasial pada
kasus penelitian, yaitu adanya pola mengelompok pada data jumlah desa tercemar udara di setiap kecamatan
serta terdapat keterkaitan kepadatan penduduk antar kecamatan. Dengan demikian, sebagai alternatif OLS
adalah model regresi Spatial Durbin Model (SDM). Melalui model ini didapatkan hasil bahwa jika kepadatan
penduduk tinggi, prasarana transportasi tinggi, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau
dibakar tinggi maka jumlah desa tercemar udara juga tinggi. Suatu kecamatan akan memiliki jumlah desa tercemar
tinggi jika bertetanggaan dengan kecamatan-kecamatan lain dengan jumlah desa tercemar tinggi pula. Tetapi
vareabel yang memberikan pengaruh signifikan pada pencemaran udara yaitu kepadatan penduduk, jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi, lag kepadatan penduduk, lag jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Hibah Penelitian Kerjasama antar Perguruan Tinggi (PKPT) dari
Kemenristek Dikti Pendanaan tahun 2018. Terimakasih kami ucapkan kepada Kemenristek Dikti atas dana yang
diberikan, kepada IST AKPRIND Yogyakarta yang telah memberikan sarana dan prasarana penelitian, serta
Jurusan Statistika dan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai Tim Peneliti Mitra (TPM).
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L. (2013). Spatial econometrics: methods and models(Vol. 4). Springer Science & Business Media.
Anselin, L&S.J. Rey, 2010. Perspectives on Spatial Data Analysis. Santa Barbara,C, USA.
Bekti RD. (2011). Spatial Durbin Model (SDM) Untuk Mengetahui Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Diare di Kabupaten Tuban.Jurnal diterbitkanSurabaya. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Bekti, R. D., Nurhadiyanti, G., & Irwansyah, E. (2014, October). Spatial pattern of diarrhea based on regional
economic and environment by spatial autoregressive model. In AIP Conference Proceedings (Vol. 1621,
No. 1, pp. 454-461). AIP.
LeSage, J., & Pace, R. K. (2009). Introduction to spatial econometrics. Chapman and Hall/CRC
Melati, P. M., Ramadhan, F., Nasution, A. Y., Mahardia, N. F. R., Setyaningsih, P. E., & Beksti, R. D. (2016).
Model Regresi Spasial Untuk Analisis Persentase Penduduk Miskin di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Jurnal Statistika Industri dan Komputasi, 1(1).
Saputri, W. A. K., & Suryowati, K. (2018). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GINI
RATIO DI PROVINSI PAPUA DENGAN MODEL SPASIAL DATA PANEL. Jurnal Statistika Industri
dan Komputasi, 3(2).
Suryowati, K., Bekti, R. D., & Faradila, A. (2018, April). A Comparison of Weights Matrices on Computation of
Top Related