Download - APA YANG DICARI? · OLEH HARUN HUSEIN Aneh, Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding sistem pemilu ke negara penganut sistem MMP, padahal di Pansus sendiri sistem tersebut tak dilirik.

Transcript
Page 1: APA YANG DICARI? · OLEH HARUN HUSEIN Aneh, Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding sistem pemilu ke negara penganut sistem MMP, padahal di Pansus sendiri sistem tersebut tak dilirik.

● OLEH HARUN HUSEIN

Aneh, Pansus RUU Pemilumelakukan studi bandingsistem pemilu ke negarapenganut sistem MMP,padahal di Pansus sendirisistem tersebut tak dilirik.

arena nonton bola di televisi berbeda dengannonton bola di lapangan. Itulah analogi yangdi pakai salah seorang pimpinan Panitia Khu -sus Rancangan Undang-Undang Penye leng -garaan Pemilihan Umum (Pansus RUU Pe -milu), untuk membenarkan studi banding keJerman dan Meksiko. Valid-kah alasan itu?

Studi banding ke negara Eropa Barat danAmerika Latin, itu, berlangsung pada 11-16Maret 2014. Kunjungan ke Jerman dipimpinoleh Ketua Pansus, Lukman Edy (Fraksi Par -tai Kebangkitan Bangsa). Sedangkan, kun -jung an ke Meksiko dipimpin oleh Wakil Ke -tua Pansus, Benny Kabur Harman (FraksiPar tai Demokrat). Sebanyak 15 orang anggotaPansus ke Jerman, 15 anggota Pansus lainnyake Meksiko.

Jadwal studi banding 11-16 Maret itu bu -kan merupakan waktu mereka berada di Jer -man dan Meksiko, tapi termasuk perja lanan -nya. Mereka berangkat dari Jakarta tanggal11, dan sudah berada di Tanah Air pada 16Maret. Walhasil, dipotong waktu perjalanan,waktu efektif mereka di negeri orang hanyatiga hari. Jika ditambah dengan waktu shop -ping dan darmawisata, maka waktu efek -tifnya akan lebih mengkerut lagi.

Dari berbagai pemberitaan, ada sejumlahhal yang akan mereka pelajari di Jerman danMeksiko. Mulai dari sistem pemilu, electronicvoting (e-voting), pemilu serentak, hinggaperadilan pemilu. Tapi, mengapa harus jauh-jauh bila hanya ingin mencari tahu tentangtopik itu? Bukankah kajian tentang topik itudi dalam negeri sudah bejibun?

Selain dalih berbedanya menonton boladi lapangan dan televisi, alasan lain perlunyastu di banding, yang pernah disampaikan Ben -ny Kabur Harman, adalah karena ma sukanpara pakar di dalam negeri tidak bermutu.Alasan yang sungguh melecehkan dan telahmembuat tersinggung para pakar dan ahlipemilu di Indonesia.

Sudah mengkristalTapi, benar-benar urgenkah kunjungan

itu, mengingat tahapan pembahasan RUUPenyelenggaraan Pemilu sudah selesaimenyu sun daftar inventarisasi masalah(DIM), yang berarti sikap fraksi-fraksi sudah

mengkristal? Kalau DIM sudah selesai di -susun, lalu apa lagi yang mereka cari dalamstudi banding? Mungkinkah partai/fraksi ituakan mengubah sikapnya setelah studibanding ke negara orang? Mungkin pulakahwaktu tiga hari itu cukup untuk mempelajaribanyak hal tentang pemilu di Jerman danMeksiko?

Dari sisi sistem pemilu, dua negara yangdikunjungi oleh para anggota Pansus, adalahpenganut sistem Mixed Member Propor -tional Representation (MMP). Ini merupakansistem pemilu hybrid. Umumnya merupakanpenggabungan dari Sistem ProporsionalDaftar (List Proportional Representation)dari keluarga Sistem Proporsional, denganSis tem First Past The Post (FPTP) dari ke -luarga Sistem Mayoritas/Pluralitas.

Sistem pemilu kedua negara tersebut,sama dengan menggabungkan sistem distrikyang sering diwacanakan di penghujung OrdeBaru, dengan sistem proporsional tertutupyang diterapkan dalam delapan kali pemiludi Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu1999. FPTP atau di Indonesia biasa disebutdengan sistem distrik, adalah sistem yangdianut oleh Amerika Serikat, India, Kanada,Bangladesh, Ethiopia, Malaysia, dan Nigeria.

Sistem pemilu lainnya yang mirip denganMMP adalah Sistem Paralel. Baik MMP mau -pun Sistem Paralel, dikelompokkan dalamkeluarga Sistem Campuran (Mixed), karenakeduanya memadukan dua sistem utama(proporsional dan mayoritas/plu ralitas)untuk mengambil kelebihannya. PerbedaanSistem MMP dengan Sistem Paralel adalah

pada hubungan hasilnya. Jika hasil SistemProporsional dan Mayoritas/Pluralitas tidaksaling bergantung dan berhubungan dalampenentuan kursi, maka sistem itu disebutSistem Paralel. Tapi, jika hasil Sistem Pro -porsional dan Mayoritas/Pluralitas berhu -bung an dalam penentuan kursi, maka dina -

makan Sistem MMP.Masalahnya, jika sistem pemilunya yang

mau dipelajari, sebenarnya sikap fraksi-fraksidi DPR pun sudah mengkristal. PDIP danGolkar mengusulkan sistem tertutup (listPR); PKB, PAN, PPP, PKS, Nasdem, Hanura,dan Gerindra mengusulkan sistem propor -sional terbuka murni (open list PR) sepertiPemilu 2009 dan Pemilu 2014; pemerintahmengusulkan sistem proporsional terbukaterbatas (semi open list PR) seperti Pemilu2004; dan Partai Demokrat mengusulkansistem campuran.

Dilihat dari sisi usulan sistem pemilu,hanya usulan Partai Demokrat yang mende -kati sistem MMP yang dianut negara tujuanstudi banding. Itu berarti, MMP ini merupa -kan yang paling kecil peminatnya di DPR.Lalu, apakah studi banding ke Jerman danMeksiko itu berarti Pansus saat ini benar-benar sedang mempertimbangkan untukmengadopsi sistem usulan Partai Demokrat?Kalau memang tidak, mengapa harus capek-capek mempelajari sistem itu sampai jauh-jauh menyeberang benua?

Lagipula, gagasan tentang sistem MMPini sudah lama dikembangkan di Indonesia.Pada tahun 2011 lalu, Center for Electoral Re -form (Cetro), sudah pernah mengusulkansistem ini, dengan nama Sistem ProporsionalCampuran. Usulan Cetro saat itu, dari 560kursi DPR, sebanyak 280 kursi dipilih dengansistem proporsional tertutup (PR List), dan280 kursi lainnya dipilih dengan Sistem FPTPalias sistem distrik.

Pada 2017 ini, Lembaga Ilmu Pengeta -huan Indonesia (LIPI) juga mengeluarkan

24-25REPUBLIKA RABU, 15 MARET 2017

RAISAN AL FARISI/REPUBLIKA

WIHDAN HIDAYAT/REPUBLIKA

● OLEH HARUN HUSEIN

Pernyataan pimpinan PansusRUU Pemilu bahwa sistempemilu MMP tidak kompatibeldengan sistem presidensialdinilai ganjil.

Ada sebuah cerita lucu nanmenge naskan sebelum PanitiaKhusus Rancangan Undang-Undang PenyelenggaraanPemi lihan Umum berangkatstudi ban ding ke Jerman. Kisahter sebut diceritakan oleh

peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi(SPD), Pipit R Kartawidjaja, awal pekan ini.

Usai memberikan paparan dalam sebuahrapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu diDPR, Pipit dihampiri seorang pimpinan pansus.Sang legislator itu bercerita bahwa dia telahmeng hubungi Kedutaan Besar Republik Indone -sia (KBRI) Jerman untuk menanyakan siapa ahlipemilu Jerman. Tapi, jawaban dari KBRI sungguhmengejutkan, karena mereka mengatakan orangyang ahli tentang pemilu Jerman adalah Pipit RKartawidjaja. “Tapi, orangnya sekarang ada diIndonesia,” jawab pihak KBRI.

Mendengar curhatan sang pimpinan Pansus,Pipit tertawa. Penulis sejumlah buku sistempemilu dan matematika pemilu, ini, punkemudian berkata kepada sang pimpinan Pansus,“Yaa udah nggak usah jauh-jauh ke Jerman. Sinisaya kursusin, sehari kelar. Tapi kelihatan diatetap ngotot [berangkat studi banding].”

Pipit yang masih merupakan presiden KomiteIndependen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa, ini,kemudian mengecek kebenaran kabar tersebutke KBRI Jerman di Berlin. “Saya cek KBRI,memang benar ada permintaan itu, dan merekadi sana juga kelabakan,” kata Pipit yang jugapimpinan Watch Indonesia di Berlin.

Pasalnya, kata Pipit, dalam urusan pemilu dankepartaian yang sangat teknis, biasanya yangdimintai bantuan oleh KBRI untuk menjelaskandan menjadi penerjemah adalah Pipit. Tapi, kiniPipit justru sedang tak ada di Berlin. Padahal,urusan pemilu terbilang kompleks, dan taksembarang penerjemah bisa memberi penjelasan.

“Kalau biasanya ada dari yang dari Indonesiake Jerman, terus nanya-nanya soal pemilu, sejakera Pak Fauzi Bowo menjadi dubes,biasanya saya yang diminta jadipenerjemah gitu-gituan.Karena memahami sistempemilu Jerman itu susah.Lebih susah dari sistempemilu biasa. Sehing -ga, perlu penerje -

mah yang cocok,” kata Pipit.Misalnya, kata Pipit, saat dijelaskan tentang

bantuan negara kepada partai, kadang delegasidari Indonesia menangkapnya sebagai bantuanpemerintah. “Langsung dibilang bantuan peme -rintah. Padahal ndak ada itu bantuan pemerintah.Negara bukan pemerintah. Dana bantuan kepadapartai di Jerman memang dari APBN, tapi tidaklewat Kemendagri, ketua DPR juga tidak ikutcampur,” tandasnya.

Pipit juga pensiunan pegawai publik di Jer -man, juga kerap mendapat pertanyaan dari dele -gasi di Indonesia tentang rumah sakit pemerintahdan sebagainya. “Saya bilang di Jerman nggakada rumah sakit pemerintah. Yang ada rumahsakit publik. Tapi, rumah sakit publik inilah yangdikelola pemerintah.”

Dia pun mengungkapkan perbedaan penggu -naan istilah negara dan publik. “Di Jerman itu,pega wai negara terbagi dua. Pertama, pegawainegeri atau PNS yang khusus untuk orang Jermandan Uni Eropa. Kedua, pegawai publik yang lintasnegara. Di UU ASN (Aparatur Sipil Negara) kita,sebutannya ada pegawai negeri sipil dan pegawaipemerintah berdasarkan perjanjian kerja (P3K).P3K itulah yang seperti pegawai publik. Tapi,istilah pegawai negeri dan pegawai pemerintahdi kita memang masih kurang jelas,” katanya.

Statement ganjilPipit pun mengaku mencium keanehan

membaca statement seorang pimpinan pansusdi sebuah media online, setelah bertemu denganseorang ahli politik Jerman, Profesor AndreasUfen. Sang pimpinan Pansus, mengutip Ufen,mengatakan sistem Mixed Member Proportional(MMP) seperti yang diterapkan di Jermanmerupakan sistem terbaik di dunia, tapi tidakcocok diterapkan di negara penganut sistempresidensial seperti Indonesia.

“Kalau bilang sistem MMP tidak kompatibeldengan sistem presidensial, saya yakin pimpinanPansus itu salah mengerti. Andreas Ufen nggakmungkin bilang begitu. Karena di dunia ini yangmenerapkan MMP bukan hanya negara penganutsistem parlementer seperti Jerman, tapi jugapenganut sistem presidensial. Meksiko danVenezuela yang menganut sistem presidensialkan pakai MMP,” kata Pipit.

Lagipula, sudah merupakan konsensus diantara para ahli pemilu dunia, termasukdisampaikan ahli pemilu Jerman, Profesor DieterNohlen, bahwa tidak ada sistem pemilu yangterbaik di dunia ini. Karena itu, para ahli punmerekomendasikan setiap negara demokrasiuntuk mencari dan menerapkan sistem yangcocok.

Masih ada beberapa hal lagi yang dinilai Pipitagak janggal dari pemaparan anggota Pansus

usai bertemu Andreas Ufen, yangmasih perlu klarifikasi apakah

itu merupakan pernya taanUfen atau kekeliruan

anggota Pansus me -nang kap substansi

paparan Ufen.

Antara lain pen je lasan pimpinan Pansus di mediaonline soal sis tem pemilu Jerman yang biasadisebut persona lisierte verhaeltniswahl, soalambang batas lima per sen, dan lain-lain. “Agak -nya salah denger,” ka ta nya.

Mengundang Andreas Ufen dari GermanInstitute of Global and Area Studies (GIGA) untukmelakukan studi banding pemilu Jerman, jugadinilai Pipit tidak pas. Sebab, Ufen adalah seorangahli politik. Di sebuah situs berita online, seoranganggota Pansus mengungkapkan bahwa AndreasUfen adalah ahli Asia selatan.

Mestinya, kata Pipit, kalau Pansus memangmau bertanya tentang pemilu Jerman, bisa lang -sung ke Prof Dieter Nohlen atau Prof FriedrichPukelsheim. Keduanya, kata Pipit, bahkan bukanhanya pakar pemilu Jerman, tapi pakar pemilukaliber dunia.

Mengundang Dieter Nohlen dan Pukeslheim,kata Pipit, bisa dilakukan lewat Bundeszentralefuer politische Bildung atau Lembaga NegaraUrusan Pendidikan Politik Federal (LNUPPF).Kantor lembaga ini jaraknya hanya sekitar duakilo meter dari KBRI. Dari Wisma KBRI, ke -diaman Duta Besar RI di Jerman denganLNUPPF, jaraknya sekitar 7-8 kilometer.

“Kalau mengundang mereka melalui LembagaUrusan Pendidikan Politik Federal ini malahgratis, karena memberikan pendidikan politikadalah tugas mereka. Lembaga saya, WatchIndonesia, sering mengundang para ahli dariLembaga Negara Urusan Pendidikan PolitikFederal, dan gratis,” kata Pipit.

Pipit mengaku sering bersepeda dari ke -diaman nya ke Lembaga Negara Urusan Pendidik -an Politik Federal. “Jaraknya dari rumah sayase kitar empat kilometer. Saya sering ke sana ka -rena lembaga ini sering mengeluarkan bukumurah dan majalah gratis. Padahal di tempat lain,buku-buku tebal-tebal yang diterbitkan lembagaini bisa dijual 30 sampai 40 euro,” kata Pipit.

Selain di tingkat federal, lembaga serupa jugaada di tingkat negara bagian. Namanya adalahLandeszentrale fuer politische Bildung, yang jugadiisi oleh para pakar pemilu dan kepartaian.

Tiga hari yang absurdProf Andreas Ufen dari GIGA diundang untuk

bertemu dengan Pansus RUU Pemilu di WismaKBRI, atau kediaman dubes. Jaraknya sangatjauh, sekitar dua ratus kilometer. Sebab, GIGAterletak di negara bagian Hamburg. “Kalau jauh-jauh ngundang Prof Ufen dari Hamburg keBerlin, kenapa nggak sekalian aja beliau diundangke Nuswantoro (Indonesia),” kata Pipit.

GIGA ini pun, kata Pipit, merupakan sebuahNGO --seperti halnya Sindikasi Pemilu danDemokrasi (SPD)-- meskipun sebagian besarkegiatannya didanai negara. “Kalau mengundangProf Andreas Ufen dari GIGA kemungkinan nggakgratis. GIGA sudah lama saya kenal, tulisan-tulisannya bagus. Tapi, kalau jagonya pemilu, yaaDieter Nohlen, Pukelsheim, dan lain-lain.”

Menurut Pipit, kalau memang mau studibanding sistem pemilu Jerman, alokasi waktutiga hari juga terlalu mepet. “Waktu tiga hariuntuk belajar sistem pemilu Jerman itu absurd.Itu belum lagi soal jetlag. Kalau pesawat keJerman yang lewat Turki itu biasanya sampai diBerlin pada Minggu siang sekitar jam 10-11.Nggak mungkin langsung studi banding, karenajetlag dulu. Saya saja yang sering bolak-balikJakarta-Berlin selalu jetlag, kok,” kata Pipit.

Selain itu, sistem pemilu Jerman itu tidakmudah dipahami, karena sangat berbeda dengansistem pemilu lainnya. “Makanya ada yang bilangsistem pemilu Jerman itu adalah sistemproporsional nan personal. Sistem proporsional,tapi pilihan personal. Personalnya ini juga bukanditentukan pemilihan dengan sistem mayoritas,tapi proporsional. Itu belum soal dapil, metodepenghitungan, dan lain-lainnya,” katanya.

Kalau ingin benar-benar belajar sistem pemiluJer man, kata Pipit, minimal Pansus mengalokasi -kan waktu sebulan. “Seminggu itu untuk jetlag,tiga minggu untuk benar-benar-benar belajar.Tapi, kalau mau belajar soal pemilu Jermansebenarnya buka saja di internet, semua sudahada. Ngapain studi banding,” katanya.

Pipit mengatakan, persoalan jetlag itu seringsangat mengganggu. “Istri saya dosen di Universi -tas Hamburg. Dia juga sering diminta tolong samaKBRI untuk menemani tamu dari Indonesia,termasuk anggota DPR. Istri saya sering merasamalu karena saat orang Jerman ngomong, susah-payah diterjemahin, sebagian besar anggota DPRmalah tidur,” kata Pipit.

Saat ini, berdasarkan informasi yang diper -oleh Pipit dari KBRI Jerman, para anggota Pansusantara lain mengunjungi Mahkamah KonstitusiJerman, Bundestag, dan Landeswah leiter.

E-voting JermanSoal alasan Pansus studi banding ke Jerman

karena mendengar telah ada rencana Jermanuntuk mengevaluasi e-voting, juga dinilai Pipitmerupakan kabar yang belum pernah didengar -nya. “Sejak 2009 MK memutuskan tidak bolehmenggunakan e-voting, sampai saat ini sayabelum dengar mau diterapkan lagi,” kata Pipit.

Seperti diberitakan Republika sebelumnya,MK Jerman memutuskan membatalkan peng -gunaan e-voting pada 3 Maret 2009 lalu, antaralain karena bertentangan dengan prinsip pemiluyang bersifat publik. “(Penerapan e-voting)menutup hak setiap orang untuk mengawasiproses penghitungan suara, karena dilakukansecara otomatis oleh komputer yang hanya di -ketahui ahli komputer atau IT,” kata hakim kons -titusi Jerman, Rudolf Mellinghoff, saat meng -hadiri konferensi Hakim MK se-Asia bertajuk“Konstitusionalitas E-Voting dan Peran MK” yangdigelar di Jakarta, medio Juli 2010 lalu. ■

‘Belajar Sistem PemiluTiga Hari Itu Absurd’

kajian tentang Sistem Paralel. LIPI menye -but nya Sistem Campuran atau Mixed Mem -ber Majoritarian (MMM). LIPI mengusulkan392 kursi (70 persen) DPR dipilih dengansistem proporsional tertutup, dan 168 kursi(30 persen) kursi lainnya dipilih dengansistem mayoritas/pluralitas dengan distrikpemilihan berwakil tunggal alias FPTP.

Lebih tepat ke BrasilKalau mau mengkaji sistem pemilu,

Pansus sebenarnya lebih tepat melakukanstudi banding ke Brasil. Sebab, negaranyaPele, itu, menerapkan sistem proporsionalterbuka (open list) seperti yang diterapkanIndonesia. Selain bisa melihat sendiri baik-buruknya sistem proporsional terbuka, Brasilpun dinilai sukses menggelar pemilu serentaknasional-lokal dan menerapkan e-voting.

Selain kemiripan sistem pemilu denganIndonesia, Brasil juga masih memiliki banyakkemiripan lain dengan Indonesia, dari sisibesaran parlemen (jumlah kursi majelisrendah/DPR), sistem parlemen dua kamar,sistem kepartaian majemuk (multipartai),negara berkembang, banyak korupsi politik,bejibun kisah money politics dalam pemilu,serta sama-sama beriklim tropis.

Baiklah, soal sistem pemilu terkait banyakhal, seperti alokasi kursi, daerah pemilihan,ambang batas (threshold), hingga metodekon versi suara menjadi kursi (electoral for -mula). Tapi, hasil kajian dan studi bandingsemua elemen-elemen sistem pemilu tersebutsebenarnya sudah mampir ke Senayan, dalamberbagai bentuk. Baik naskah akademik dankajian lainnya, maupun dalam bentuk drafRUU.

Selain Naskah Akademik dan Draf RUUPenyelenggaraan Pemilu yang disampaikanpe merintah ke DPR, kajian komprehensifjuga disampaikan masyarakat sipil. Wujud -nya adalah Naskah Akademik dan Draf Kodi -fikasi RUU Penyelenggaraan Pemilu dariKoa lisi Masyarakat Sipil, Naskah Akademikdan Draf RUU Kitab Hukum Pemilu dari Ke -mi traan, Pendalaman Gagasan KepemiluanIndonesia dari Sindikasi Pemilu dan Demo -krasi, berbagai kajian LIPI, dan lain-lain.

Pendek kata, kajian kepemiluan denganstudi banding sistem pemilu dan berbagaiaspek kepemiluan lainnya dari berbagainegara, sudah bejibun. Bahkan, kajian-kajiantersebut bukan berasal dari studi literatursemata, tapi juga berdasarkan studi bandingpara pakar pemilu Indonesia saat mengikutiberbagai kegiatan internasional kepemiluan,seperti seminar, diskusi, dan pemantauanpemilu, yang kemudian diperkaya denganberbagai pengalaman dan studi literatur.Indo nesia pun sudah berulangkali mengun -dang pakar pemilu berskala internasional.

Studi banding yang dilakukan DPR sen -diri, selama ini sebenarnya amat perlu diper -tanyakan kualitasnya, karena tidak pernahjelas output-nya. Masuk di bab, pasal, danayat mana hasil studi banding itu, tidak per -nah jelas. Lagipula, studi banding itu seha -rusnya dilakukan saat penyusunan naskahakademik, bukan setelah naskah akademikdan draf RUU telah selesai dibuat, apalagiDIM-nya sudah tersusun. Kalau semua ke -janggalan ini tak bisa dijelaskan dan diper -tang gung jawabkan, maka yang dilakukanDPR bukanlah sebuah studi banding, tapijalan-jalan alias plesiran pakai uang rakyat.

Betapa pun dalam pembahasan sebuahRUU memang dibolehkan studi banding keluar negeri, namun Peraturan DPR Nomor1/2014 tentang Tata Tertib telah mengaturrambu-rambunya. Studi banding itu harusmempertimbangkan urgensi, kemanfaatan,dan keterkaitan negara tujuan dengan materiRUU.

Lantas apa urgensi, kemanfaatan, danketerkaitan negara tujuan dengan materiRUU, jika sistem pemilu yang ingin diterap -kan mayoritas partai di Indonesia berbedadengan sistem pemilu Jerman dan Meksiko?Sebenarnya, apa yang Pansus cari? ■

Studi Banding RUU Pemilu

APA YANG DICARI?

TUJUH NEGARA YANG MENERAPKAN SISTEM MMP

Berdasarkan data ACE Electoral Knowledge Network, saat ini ada tujuh negara didunia yang menerapkan sistem Mixed Member Proportional Representation (MMP).

Ketujuh negara itu menggabungkan dua sistem pemilu, yaitu Sistem Proporsional Daftar(List Proportional Representation) dari keluarga Sistem Proporsional (Proportional

Representation) dengan Sistem First Past the Post (FPTP) dari keluarga SistemMayoritas/Pluralitas (Majority/Plurality). Berikut daftar negara-negara tersebut berikut

jumlah dan persentase kursi yang mereka alokasikan untuk masing-masing sistem.

Negara Kursi PR List Kursi FPTP Total

1. Bolivia 60 (46%) 70 (54%) 1302. Hongaria 93 (47%) 106 (53%) 1993. Jerman 299 (50%) 299 (50%) 5984. Lesotho 40 (33%) 80 (67%) 1205. Meksiko 200 (40%) 300 (60%) 5006. Selandia Baru 50 (42%) 70 (58%) 1207. Venezuela 52 (32%) 113 (68%) 165

Keterangan:● Reserved seats untuk kalangan minoritas di Bolivia adalah tujuh kursi, sedangkan di Venezuela tiga

kursi. Kursi-kursi itu diambil dari kursi yang diperebutkan dalam sistem mayoritas/pluralitas.

Sumber: ACE Electoral Knowledge Network

RAKHMAWATY LA'LANG/REPUBLIKA