APA YANG DICARI? · OLEH HARUN HUSEIN Aneh, Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding sistem pemilu...

1
OLEH HARUN HUSEIN Aneh, Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding sistem pemilu ke negara penganut sistem MMP, padahal di Pansus sendiri sistem tersebut tak dilirik. arena nonton bola di televisi berbeda dengan nonton bola di lapangan. Itulah analogi yang dipakai salah seorang pimpinan Panitia Khu- sus Rancangan Undang-Undang Penyeleng- garaan Pemilihan Umum (Pansus RUU Pe- milu), untuk membenarkan studi banding ke Jerman dan Meksiko. Valid-kah alasan itu? Studi banding ke negara Eropa Barat dan Amerika Latin, itu, berlangsung pada 11-16 Maret 2014. Kunjungan ke Jerman dipimpin oleh Ketua Pansus, Lukman Edy (Fraksi Par- tai Kebangkitan Bangsa). Sedangkan, kun- jungan ke Meksiko dipimpin oleh Wakil Ke- tua Pansus, Benny Kabur Harman (Fraksi Partai Demokrat). Sebanyak 15 orang anggota Pansus ke Jerman, 15 anggota Pansus lainnya ke Meksiko. Jadwal studi banding 11-16 Maret itu bu- kan merupakan waktu mereka berada di Jer- man dan Meksiko, tapi termasuk perjalanan- nya. Mereka berangkat dari Jakarta tanggal 11, dan sudah berada di Tanah Air pada 16 Maret. Walhasil, dipotong waktu perjalanan, waktu efektif mereka di negeri orang hanya tiga hari. Jika ditambah dengan waktu shop- ping dan darmawisata, maka waktu efek- tifnya akan lebih mengkerut lagi. Dari berbagai pemberitaan, ada sejumlah hal yang akan mereka pelajari di Jerman dan Meksiko. Mulai dari sistem pemilu, electronic voting (e-voting), pemilu serentak, hingga peradilan pemilu. Tapi, mengapa harus jauh- jauh bila hanya ingin mencari tahu tentang topik itu? Bukankah kajian tentang topik itu di dalam negeri sudah bejibun? Selain dalih berbedanya menonton bola di lapangan dan televisi, alasan lain perlunya studi banding, yang pernah disampaikan Ben- ny Kabur Harman, adalah karena masukan para pakar di dalam negeri tidak bermutu. Alasan yang sungguh melecehkan dan telah membuat tersinggung para pakar dan ahli pemilu di Indonesia. Sudah mengkristal Tapi, benar-benar urgenkah kunjungan itu, mengingat tahapan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu sudah selesai menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM), yang berarti sikap fraksi-fraksi sudah mengkristal? Kalau DIM sudah selesai di- susun, lalu apa lagi yang mereka cari dalam studi banding? Mungkinkah partai/fraksi itu akan mengubah sikapnya setelah studi banding ke negara orang? Mungkin pulakah waktu tiga hari itu cukup untuk mempelajari banyak hal tentang pemilu di Jerman dan Meksiko? Dari sisi sistem pemilu, dua negara yang dikunjungi oleh para anggota Pansus, adalah penganut sistem Mixed Member Propor- tional Representation (MMP). Ini merupakan sistem pemilu hybrid. Umumnya merupakan penggabungan dari Sistem Proporsional Daftar (List Proportional Representation) dari keluarga Sistem Proporsional, dengan Sistem First Past The Post (FPTP) dari ke- luarga Sistem Mayoritas/Pluralitas. Sistem pemilu kedua negara tersebut, sama dengan menggabungkan sistem distrik yang sering diwacanakan di penghujung Orde Baru, dengan sistem proporsional tertutup yang diterapkan dalam delapan kali pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. FPTP atau di Indonesia biasa disebut dengan sistem distrik, adalah sistem yang dianut oleh Amerika Serikat, India, Kanada, Bangladesh, Ethiopia, Malaysia, dan Nigeria. Sistem pemilu lainnya yang mirip dengan MMP adalah Sistem Paralel. Baik MMP mau- pun Sistem Paralel, dikelompokkan dalam keluarga Sistem Campuran (Mixed), karena keduanya memadukan dua sistem utama (proporsional dan mayoritas/pluralitas) untuk mengambil kelebihannya. Perbedaan Sistem MMP dengan Sistem Paralel adalah pada hubungan hasilnya. Jika hasil Sistem Proporsional dan Mayoritas/Pluralitas tidak saling bergantung dan berhubungan dalam penentuan kursi, maka sistem itu disebut Sistem Paralel. Tapi, jika hasil Sistem Pro- porsional dan Mayoritas/Pluralitas berhu- bungan dalam penentuan kursi, maka dina- makan Sistem MMP. Masalahnya, jika sistem pemilunya yang mau dipelajari, sebenarnya sikap fraksi-fraksi di DPR pun sudah mengkristal. PDIP dan Golkar mengusulkan sistem tertutup (list PR); PKB, PAN, PPP, PKS, Nasdem, Hanura, dan Gerindra mengusulkan sistem propor- sional terbuka murni (open list PR) seperti Pemilu 2009 dan Pemilu 2014; pemerintah mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas (semi open list PR) seperti Pemilu 2004; dan Partai Demokrat mengusulkan sistem campuran. Dilihat dari sisi usulan sistem pemilu, hanya usulan Partai Demokrat yang mende- kati sistem MMP yang dianut negara tujuan studi banding. Itu berarti, MMP ini merupa- kan yang paling kecil peminatnya di DPR. Lalu, apakah studi banding ke Jerman dan Meksiko itu berarti Pansus saat ini benar- benar sedang mempertimbangkan untuk mengadopsi sistem usulan Partai Demokrat? Kalau memang tidak, mengapa harus capek- capek mempelajari sistem itu sampai jauh- jauh menyeberang benua? Lagipula, gagasan tentang sistem MMP ini sudah lama dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 2011 lalu, Center for Electoral Re- form (Cetro), sudah pernah mengusulkan sistem ini, dengan nama Sistem Proporsional Campuran. Usulan Cetro saat itu, dari 560 kursi DPR, sebanyak 280 kursi dipilih dengan sistem proporsional tertutup (PR List), dan 280 kursi lainnya dipilih dengan Sistem FPTP alias sistem distrik. Pada 2017 ini, Lembaga Ilmu Pengeta- huan Indonesia (LIPI) juga mengeluarkan 24-25 REPUBLIKA RABU, 15 MARET 2017 RAISAN AL FARISI/REPUBLIKA WIHDAN HIDAYAT/REPUBLIKA OLEH HARUN HUSEIN Pernyataan pimpinan Pansus RUU Pemilu bahwa sistem pemilu MMP tidak kompatibel dengan sistem presidensial dinilai ganjil. A da sebuah cerita lucu nan mengenaskan sebelum Panitia Khusus Rancangan Undang- Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum berangkat studi banding ke Jerman. Kisah tersebut diceritakan oleh peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Pipit R Kartawidjaja, awal pekan ini. Usai memberikan paparan dalam sebuah rapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu di DPR, Pipit dihampiri seorang pimpinan pansus. Sang legislator itu bercerita bahwa dia telah menghubungi Kedutaan Besar Republik Indone- sia (KBRI) Jerman untuk menanyakan siapa ahli pemilu Jerman. Tapi, jawaban dari KBRI sungguh mengejutkan, karena mereka mengatakan orang yang ahli tentang pemilu Jerman adalah Pipit R Kartawidjaja. “Tapi, orangnya sekarang ada di Indonesia,” jawab pihak KBRI. Mendengar curhatan sang pimpinan Pansus, Pipit tertawa. Penulis sejumlah buku sistem pemilu dan matematika pemilu, ini, pun kemudian berkata kepada sang pimpinan Pansus, “Yaa udah nggak usah jauh-jauh ke Jerman. Sini saya kursusin, sehari kelar. Tapi kelihatan dia tetap ngotot [berangkat studi banding].” Pipit yang masih merupakan presiden Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa, ini, kemudian mengecek kebenaran kabar tersebut ke KBRI Jerman di Berlin. “Saya cek KBRI, memang benar ada permintaan itu, dan mereka di sana juga kelabakan,” kata Pipit yang juga pimpinan Watch Indonesia di Berlin. Pasalnya, kata Pipit, dalam urusan pemilu dan kepartaian yang sangat teknis, biasanya yang dimintai bantuan oleh KBRI untuk menjelaskan dan menjadi penerjemah adalah Pipit. Tapi, kini Pipit justru sedang tak ada di Berlin. Padahal, urusan pemilu terbilang kompleks, dan tak sembarang penerjemah bisa memberi penjelasan. “Kalau biasanya ada dari yang dari Indonesia ke Jerman, terus nanya-nanya soal pemilu, sejak era Pak Fauzi Bowo menjadi dubes, biasanya saya yang diminta jadi penerjemah gitu-gituan. Karena memahami sistem pemilu Jerman itu susah. Lebih susah dari sistem pemilu biasa. Sehing- ga, perlu penerje- mah yang cocok,” kata Pipit. Misalnya, kata Pipit, saat dijelaskan tentang bantuan negara kepada partai, kadang delegasi dari Indonesia menangkapnya sebagai bantuan pemerintah. “Langsung dibilang bantuan peme- rintah. Padahal ndak ada itu bantuan pemerintah. Negara bukan pemerintah. Dana bantuan kepada partai di Jerman memang dari APBN, tapi tidak lewat Kemendagri, ketua DPR juga tidak ikut campur,” tandasnya. Pipit juga pensiunan pegawai publik di Jer- man, juga kerap mendapat pertanyaan dari dele- gasi di Indonesia tentang rumah sakit pemerintah dan sebagainya. “Saya bilang di Jerman nggak ada rumah sakit pemerintah. Yang ada rumah sakit publik. Tapi, rumah sakit publik inilah yang dikelola pemerintah.” Dia pun mengungkapkan perbedaan penggu- naan istilah negara dan publik. “Di Jerman itu, pegawai negara terbagi dua. Pertama, pegawai negeri atau PNS yang khusus untuk orang Jerman dan Uni Eropa. Kedua, pegawai publik yang lintas negara. Di UU ASN (Aparatur Sipil Negara) kita, sebutannya ada pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah berdasarkan perjanjian kerja (P3K). P3K itulah yang seperti pegawai publik. Tapi, istilah pegawai negeri dan pegawai pemerintah di kita memang masih kurang jelas,” katanya. Statement ganjil Pipit pun mengaku mencium keanehan membaca statement seorang pimpinan pansus di sebuah media online, setelah bertemu dengan seorang ahli politik Jerman, Profesor Andreas Ufen. Sang pimpinan Pansus, mengutip Ufen, mengatakan sistem Mixed Member Proportional (MMP) seperti yang diterapkan di Jerman merupakan sistem terbaik di dunia, tapi tidak cocok diterapkan di negara penganut sistem presidensial seperti Indonesia. “Kalau bilang sistem MMP tidak kompatibel dengan sistem presidensial, saya yakin pimpinan Pansus itu salah mengerti. Andreas Ufen nggak mungkin bilang begitu. Karena di dunia ini yang menerapkan MMP bukan hanya negara penganut sistem parlementer seperti Jerman, tapi juga penganut sistem presidensial. Meksiko dan Venezuela yang menganut sistem presidensial kan pakai MMP,” kata Pipit. Lagipula, sudah merupakan konsensus di antara para ahli pemilu dunia, termasuk disampaikan ahli pemilu Jerman, Profesor Dieter Nohlen, bahwa tidak ada sistem pemilu yang terbaik di dunia ini. Karena itu, para ahli pun merekomendasikan setiap negara demokrasi untuk mencari dan menerapkan sistem yang cocok. Masih ada beberapa hal lagi yang dinilai Pipit agak janggal dari pemaparan anggota Pansus usai bertemu Andreas Ufen, yang masih perlu klarifikasi apakah itu merupakan pernyataan Ufen atau kekeliruan anggota Pansus me- nangkap substansi paparan Ufen. Antara lain penjelasan pimpinan Pansus di media online soal sistem pemilu Jerman yang biasa disebut personalisierte verhaeltniswahl, soal ambang batas lima persen, dan lain-lain. “Agak- nya salah denger,” katanya. Mengundang Andreas Ufen dari German Institute of Global and Area Studies (GIGA) untuk melakukan studi banding pemilu Jerman, juga dinilai Pipit tidak pas. Sebab, Ufen adalah seorang ahli politik. Di sebuah situs berita online, seorang anggota Pansus mengungkapkan bahwa Andreas Ufen adalah ahli Asia selatan. Mestinya, kata Pipit, kalau Pansus memang mau bertanya tentang pemilu Jerman, bisa lang- sung ke Prof Dieter Nohlen atau Prof Friedrich Pukelsheim. Keduanya, kata Pipit, bahkan bukan hanya pakar pemilu Jerman, tapi pakar pemilu kaliber dunia. Mengundang Dieter Nohlen dan Pukeslheim, kata Pipit, bisa dilakukan lewat Bundeszentrale fuer politische Bildung atau Lembaga Negara Urusan Pendidikan Politik Federal (LNUPPF). Kantor lembaga ini jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari KBRI. Dari Wisma KBRI, ke- diaman Duta Besar RI di Jerman dengan LNUPPF, jaraknya sekitar 7-8 kilometer. “Kalau mengundang mereka melalui Lembaga Urusan Pendidikan Politik Federal ini malah gratis, karena memberikan pendidikan politik adalah tugas mereka. Lembaga saya, Watch Indonesia, sering mengundang para ahli dari Lembaga Negara Urusan Pendidikan Politik Federal, dan gratis,” kata Pipit. Pipit mengaku sering bersepeda dari ke- diamannya ke Lembaga Negara Urusan Pendidik- an Politik Federal. “Jaraknya dari rumah saya sekitar empat kilometer. Saya sering ke sana ka- rena lembaga ini sering mengeluarkan buku murah dan majalah gratis. Padahal di tempat lain, buku-buku tebal-tebal yang diterbitkan lembaga ini bisa dijual 30 sampai 40 euro,” kata Pipit. Selain di tingkat federal, lembaga serupa juga ada di tingkat negara bagian. Namanya adalah Landeszentrale fuer politische Bildung, yang juga diisi oleh para pakar pemilu dan kepartaian. Tiga hari yang absurd Prof Andreas Ufen dari GIGA diundang untuk bertemu dengan Pansus RUU Pemilu di Wisma KBRI, atau kediaman dubes. Jaraknya sangat jauh, sekitar dua ratus kilometer. Sebab, GIGA terletak di negara bagian Hamburg. “Kalau jauh- jauh ngundang Prof Ufen dari Hamburg ke Berlin, kenapa nggak sekalian aja beliau diundang ke Nuswantoro (Indonesia),” kata Pipit. GIGA ini pun, kata Pipit, merupakan sebuah NGO --seperti halnya Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)-- meskipun sebagian besar kegiatannya didanai negara. “Kalau mengundang Prof Andreas Ufen dari GIGA kemungkinan nggak gratis. GIGA sudah lama saya kenal, tulisan- tulisannya bagus. Tapi, kalau jagonya pemilu, yaa Dieter Nohlen, Pukelsheim, dan lain-lain.” Menurut Pipit, kalau memang mau studi banding sistem pemilu Jerman, alokasi waktu tiga hari juga terlalu mepet. “Waktu tiga hari untuk belajar sistem pemilu Jerman itu absurd. Itu belum lagi soal jetlag. Kalau pesawat ke Jerman yang lewat Turki itu biasanya sampai di Berlin pada Minggu siang sekitar jam 10-11. Nggak mungkin langsung studi banding, karena jetlag dulu. Saya saja yang sering bolak-balik Jakarta-Berlin selalu jetlag, kok,” kata Pipit. Selain itu, sistem pemilu Jerman itu tidak mudah dipahami, karena sangat berbeda dengan sistem pemilu lainnya. “Makanya ada yang bilang sistem pemilu Jerman itu adalah sistem proporsional nan personal. Sistem proporsional, tapi pilihan personal. Personalnya ini juga bukan ditentukan pemilihan dengan sistem mayoritas, tapi proporsional. Itu belum soal dapil, metode penghitungan, dan lain-lainnya,” katanya. Kalau ingin benar-benar belajar sistem pemilu Jerman, kata Pipit, minimal Pansus mengalokasi- kan waktu sebulan. “Seminggu itu untuk jetlag, tiga minggu untuk benar-benar-benar belajar. Tapi, kalau mau belajar soal pemilu Jerman sebenarnya buka saja di internet, semua sudah ada. Ngapain studi banding,” katanya. Pipit mengatakan, persoalan jetlag itu sering sangat mengganggu. “Istri saya dosen di Universi- tas Hamburg. Dia juga sering diminta tolong sama KBRI untuk menemani tamu dari Indonesia, termasuk anggota DPR. Istri saya sering merasa malu karena saat orang Jerman ngomong, susah- payah diterjemahin, sebagian besar anggota DPR malah tidur,” kata Pipit. Saat ini, berdasarkan informasi yang diper- oleh Pipit dari KBRI Jerman, para anggota Pansus antara lain mengunjungi Mahkamah Konstitusi Jerman, Bundestag, dan Landeswahleiter. E-voting Jerman Soal alasan Pansus studi banding ke Jerman karena mendengar telah ada rencana Jerman untuk mengevaluasi e-voting, juga dinilai Pipit merupakan kabar yang belum pernah didengar- nya. “Sejak 2009 MK memutuskan tidak boleh menggunakan e-voting, sampai saat ini saya belum dengar mau diterapkan lagi,” kata Pipit. Seperti diberitakan Republika sebelumnya, MK Jerman memutuskan membatalkan peng- gunaan e-voting pada 3 Maret 2009 lalu, antara lain karena bertentangan dengan prinsip pemilu yang bersifat publik. “(Penerapan e-voting) menutup hak setiap orang untuk mengawasi proses penghitungan suara, karena dilakukan secara otomatis oleh komputer yang hanya di- ketahui ahli komputer atau IT,” kata hakim kons- titusi Jerman, Rudolf Mellinghoff, saat meng- hadiri konferensi Hakim MK se-Asia bertajuk “Konstitusionalitas E-Voting dan Peran MK” yang digelar di Jakarta, medio Juli 2010 lalu. ‘Belajar Sistem Pemilu Tiga Hari Itu Absurd’ kajian tentang Sistem Paralel. LIPI menye- butnya Sistem Campuran atau Mixed Mem- ber Majoritarian (MMM). LIPI mengusulkan 392 kursi (70 persen) DPR dipilih dengan sistem proporsional tertutup, dan 168 kursi (30 persen) kursi lainnya dipilih dengan sistem mayoritas/pluralitas dengan distrik pemilihan berwakil tunggal alias FPTP. Lebih tepat ke Brasil Kalau mau mengkaji sistem pemilu, Pansus sebenarnya lebih tepat melakukan studi banding ke Brasil. Sebab, negaranya Pele, itu, menerapkan sistem proporsional terbuka (open list) seperti yang diterapkan Indonesia. Selain bisa melihat sendiri baik- buruknya sistem proporsional terbuka, Brasil pun dinilai sukses menggelar pemilu serentak nasional-lokal dan menerapkan e-voting. Selain kemiripan sistem pemilu dengan Indonesia, Brasil juga masih memiliki banyak kemiripan lain dengan Indonesia, dari sisi besaran parlemen (jumlah kursi majelis rendah/DPR), sistem parlemen dua kamar, sistem kepartaian majemuk (multipartai), negara berkembang, banyak korupsi politik, bejibun kisah money politics dalam pemilu, serta sama-sama beriklim tropis. Baiklah, soal sistem pemilu terkait banyak hal, seperti alokasi kursi, daerah pemilihan, ambang batas (threshold), hingga metode konversi suara menjadi kursi (electoral for- mula). Tapi, hasil kajian dan studi banding semua elemen-elemen sistem pemilu tersebut sebenarnya sudah mampir ke Senayan, dalam berbagai bentuk. Baik naskah akademik dan kajian lainnya, maupun dalam bentuk draf RUU. Selain Naskah Akademik dan Draf RUU Penyelenggaraan Pemilu yang disampaikan pemerintah ke DPR, kajian komprehensif juga disampaikan masyarakat sipil. Wujud- nya adalah Naskah Akademik dan Draf Kodi- fikasi RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Koalisi Masyarakat Sipil, Naskah Akademik dan Draf RUU Kitab Hukum Pemilu dari Ke- mitraan, Pendalaman Gagasan Kepemiluan Indonesia dari Sindikasi Pemilu dan Demo- krasi, berbagai kajian LIPI, dan lain-lain. Pendek kata, kajian kepemiluan dengan studi banding sistem pemilu dan berbagai aspek kepemiluan lainnya dari berbagai negara, sudah bejibun. Bahkan, kajian-kajian tersebut bukan berasal dari studi literatur semata, tapi juga berdasarkan studi banding para pakar pemilu Indonesia saat mengikuti berbagai kegiatan internasional kepemiluan, seperti seminar, diskusi, dan pemantauan pemilu, yang kemudian diperkaya dengan berbagai pengalaman dan studi literatur. Indonesia pun sudah berulangkali mengun- dang pakar pemilu berskala internasional. Studi banding yang dilakukan DPR sen- diri, selama ini sebenarnya amat perlu diper- tanyakan kualitasnya, karena tidak pernah jelas output-nya. Masuk di bab, pasal, dan ayat mana hasil studi banding itu, tidak per- nah jelas. Lagipula, studi banding itu seha- rusnya dilakukan saat penyusunan naskah akademik, bukan setelah naskah akademik dan draf RUU telah selesai dibuat, apalagi DIM-nya sudah tersusun. Kalau semua ke- janggalan ini tak bisa dijelaskan dan diper- tanggung jawabkan, maka yang dilakukan DPR bukanlah sebuah studi banding, tapi jalan-jalan alias plesiran pakai uang rakyat. Betapa pun dalam pembahasan sebuah RUU memang dibolehkan studi banding ke luar negeri, namun Peraturan DPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib telah mengatur rambu-rambunya. Studi banding itu harus mempertimbangkan urgensi, kemanfaatan, dan keterkaitan negara tujuan dengan materi RUU. Lantas apa urgensi, kemanfaatan, dan keterkaitan negara tujuan dengan materi RUU, jika sistem pemilu yang ingin diterap- kan mayoritas partai di Indonesia berbeda dengan sistem pemilu Jerman dan Meksiko? Sebenarnya, apa yang Pansus cari? Studi Banding RUU Pemilu APA YANG DICARI? TUJUH NEGARA YANG MENERAPKAN SISTEM MMP Berdasarkan data ACE Electoral Knowledge Network, saat ini ada tujuh negara di dunia yang menerapkan sistem Mixed Member Proportional Representation (MMP). Ketujuh negara itu menggabungkan dua sistem pemilu, yaitu Sistem Proporsional Daftar (List Proportional Representation) dari keluarga Sistem Proporsional (Proportional Representation) dengan Sistem First Past the Post (FPTP) dari keluarga Sistem Mayoritas/Pluralitas (Majority/Plurality). Berikut daftar negara-negara tersebut berikut jumlah dan persentase kursi yang mereka alokasikan untuk masing-masing sistem. Negara Kursi PR List Kursi FPTP Total 1. Bolivia 60 (46%) 70 (54%) 130 2. Hongaria 93 (47%) 106 (53%) 199 3. Jerman 299 (50%) 299 (50%) 598 4. Lesotho 40 (33%) 80 (67%) 120 5. Meksiko 200 (40%) 300 (60%) 500 6. Selandia Baru 50 (42%) 70 (58%) 120 7. Venezuela 52 (32%) 113 (68%) 165 Keterangan: Reserved seats untuk kalangan minoritas di Bolivia adalah tujuh kursi, sedangkan di Venezuela tiga kursi. Kursi-kursi itu diambil dari kursi yang diperebutkan dalam sistem mayoritas/pluralitas. Sumber: ACE Electoral Knowledge Network RAKHMAWATY LA'LANG/REPUBLIKA

Transcript of APA YANG DICARI? · OLEH HARUN HUSEIN Aneh, Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding sistem pemilu...

Page 1: APA YANG DICARI? · OLEH HARUN HUSEIN Aneh, Pansus RUU Pemilu melakukan studi banding sistem pemilu ke negara penganut sistem MMP, padahal di Pansus sendiri sistem tersebut tak dilirik.

● OLEH HARUN HUSEIN

Aneh, Pansus RUU Pemilumelakukan studi bandingsistem pemilu ke negarapenganut sistem MMP,padahal di Pansus sendirisistem tersebut tak dilirik.

arena nonton bola di televisi berbeda dengannonton bola di lapangan. Itulah analogi yangdi pakai salah seorang pimpinan Panitia Khu -sus Rancangan Undang-Undang Penye leng -garaan Pemilihan Umum (Pansus RUU Pe -milu), untuk membenarkan studi banding keJerman dan Meksiko. Valid-kah alasan itu?

Studi banding ke negara Eropa Barat danAmerika Latin, itu, berlangsung pada 11-16Maret 2014. Kunjungan ke Jerman dipimpinoleh Ketua Pansus, Lukman Edy (Fraksi Par -tai Kebangkitan Bangsa). Sedangkan, kun -jung an ke Meksiko dipimpin oleh Wakil Ke -tua Pansus, Benny Kabur Harman (FraksiPar tai Demokrat). Sebanyak 15 orang anggotaPansus ke Jerman, 15 anggota Pansus lainnyake Meksiko.

Jadwal studi banding 11-16 Maret itu bu -kan merupakan waktu mereka berada di Jer -man dan Meksiko, tapi termasuk perja lanan -nya. Mereka berangkat dari Jakarta tanggal11, dan sudah berada di Tanah Air pada 16Maret. Walhasil, dipotong waktu perjalanan,waktu efektif mereka di negeri orang hanyatiga hari. Jika ditambah dengan waktu shop -ping dan darmawisata, maka waktu efek -tifnya akan lebih mengkerut lagi.

Dari berbagai pemberitaan, ada sejumlahhal yang akan mereka pelajari di Jerman danMeksiko. Mulai dari sistem pemilu, electronicvoting (e-voting), pemilu serentak, hinggaperadilan pemilu. Tapi, mengapa harus jauh-jauh bila hanya ingin mencari tahu tentangtopik itu? Bukankah kajian tentang topik itudi dalam negeri sudah bejibun?

Selain dalih berbedanya menonton boladi lapangan dan televisi, alasan lain perlunyastu di banding, yang pernah disampaikan Ben -ny Kabur Harman, adalah karena ma sukanpara pakar di dalam negeri tidak bermutu.Alasan yang sungguh melecehkan dan telahmembuat tersinggung para pakar dan ahlipemilu di Indonesia.

Sudah mengkristalTapi, benar-benar urgenkah kunjungan

itu, mengingat tahapan pembahasan RUUPenyelenggaraan Pemilu sudah selesaimenyu sun daftar inventarisasi masalah(DIM), yang berarti sikap fraksi-fraksi sudah

mengkristal? Kalau DIM sudah selesai di -susun, lalu apa lagi yang mereka cari dalamstudi banding? Mungkinkah partai/fraksi ituakan mengubah sikapnya setelah studibanding ke negara orang? Mungkin pulakahwaktu tiga hari itu cukup untuk mempelajaribanyak hal tentang pemilu di Jerman danMeksiko?

Dari sisi sistem pemilu, dua negara yangdikunjungi oleh para anggota Pansus, adalahpenganut sistem Mixed Member Propor -tional Representation (MMP). Ini merupakansistem pemilu hybrid. Umumnya merupakanpenggabungan dari Sistem ProporsionalDaftar (List Proportional Representation)dari keluarga Sistem Proporsional, denganSis tem First Past The Post (FPTP) dari ke -luarga Sistem Mayoritas/Pluralitas.

Sistem pemilu kedua negara tersebut,sama dengan menggabungkan sistem distrikyang sering diwacanakan di penghujung OrdeBaru, dengan sistem proporsional tertutupyang diterapkan dalam delapan kali pemiludi Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu1999. FPTP atau di Indonesia biasa disebutdengan sistem distrik, adalah sistem yangdianut oleh Amerika Serikat, India, Kanada,Bangladesh, Ethiopia, Malaysia, dan Nigeria.

Sistem pemilu lainnya yang mirip denganMMP adalah Sistem Paralel. Baik MMP mau -pun Sistem Paralel, dikelompokkan dalamkeluarga Sistem Campuran (Mixed), karenakeduanya memadukan dua sistem utama(proporsional dan mayoritas/plu ralitas)untuk mengambil kelebihannya. PerbedaanSistem MMP dengan Sistem Paralel adalah

pada hubungan hasilnya. Jika hasil SistemProporsional dan Mayoritas/Pluralitas tidaksaling bergantung dan berhubungan dalampenentuan kursi, maka sistem itu disebutSistem Paralel. Tapi, jika hasil Sistem Pro -porsional dan Mayoritas/Pluralitas berhu -bung an dalam penentuan kursi, maka dina -

makan Sistem MMP.Masalahnya, jika sistem pemilunya yang

mau dipelajari, sebenarnya sikap fraksi-fraksidi DPR pun sudah mengkristal. PDIP danGolkar mengusulkan sistem tertutup (listPR); PKB, PAN, PPP, PKS, Nasdem, Hanura,dan Gerindra mengusulkan sistem propor -sional terbuka murni (open list PR) sepertiPemilu 2009 dan Pemilu 2014; pemerintahmengusulkan sistem proporsional terbukaterbatas (semi open list PR) seperti Pemilu2004; dan Partai Demokrat mengusulkansistem campuran.

Dilihat dari sisi usulan sistem pemilu,hanya usulan Partai Demokrat yang mende -kati sistem MMP yang dianut negara tujuanstudi banding. Itu berarti, MMP ini merupa -kan yang paling kecil peminatnya di DPR.Lalu, apakah studi banding ke Jerman danMeksiko itu berarti Pansus saat ini benar-benar sedang mempertimbangkan untukmengadopsi sistem usulan Partai Demokrat?Kalau memang tidak, mengapa harus capek-capek mempelajari sistem itu sampai jauh-jauh menyeberang benua?

Lagipula, gagasan tentang sistem MMPini sudah lama dikembangkan di Indonesia.Pada tahun 2011 lalu, Center for Electoral Re -form (Cetro), sudah pernah mengusulkansistem ini, dengan nama Sistem ProporsionalCampuran. Usulan Cetro saat itu, dari 560kursi DPR, sebanyak 280 kursi dipilih dengansistem proporsional tertutup (PR List), dan280 kursi lainnya dipilih dengan Sistem FPTPalias sistem distrik.

Pada 2017 ini, Lembaga Ilmu Pengeta -huan Indonesia (LIPI) juga mengeluarkan

24-25REPUBLIKA RABU, 15 MARET 2017

RAISAN AL FARISI/REPUBLIKA

WIHDAN HIDAYAT/REPUBLIKA

● OLEH HARUN HUSEIN

Pernyataan pimpinan PansusRUU Pemilu bahwa sistempemilu MMP tidak kompatibeldengan sistem presidensialdinilai ganjil.

Ada sebuah cerita lucu nanmenge naskan sebelum PanitiaKhusus Rancangan Undang-Undang PenyelenggaraanPemi lihan Umum berangkatstudi ban ding ke Jerman. Kisahter sebut diceritakan oleh

peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi(SPD), Pipit R Kartawidjaja, awal pekan ini.

Usai memberikan paparan dalam sebuahrapat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu diDPR, Pipit dihampiri seorang pimpinan pansus.Sang legislator itu bercerita bahwa dia telahmeng hubungi Kedutaan Besar Republik Indone -sia (KBRI) Jerman untuk menanyakan siapa ahlipemilu Jerman. Tapi, jawaban dari KBRI sungguhmengejutkan, karena mereka mengatakan orangyang ahli tentang pemilu Jerman adalah Pipit RKartawidjaja. “Tapi, orangnya sekarang ada diIndonesia,” jawab pihak KBRI.

Mendengar curhatan sang pimpinan Pansus,Pipit tertawa. Penulis sejumlah buku sistempemilu dan matematika pemilu, ini, punkemudian berkata kepada sang pimpinan Pansus,“Yaa udah nggak usah jauh-jauh ke Jerman. Sinisaya kursusin, sehari kelar. Tapi kelihatan diatetap ngotot [berangkat studi banding].”

Pipit yang masih merupakan presiden KomiteIndependen Pemantau Pemilu (KIPP) Eropa, ini,kemudian mengecek kebenaran kabar tersebutke KBRI Jerman di Berlin. “Saya cek KBRI,memang benar ada permintaan itu, dan merekadi sana juga kelabakan,” kata Pipit yang jugapimpinan Watch Indonesia di Berlin.

Pasalnya, kata Pipit, dalam urusan pemilu dankepartaian yang sangat teknis, biasanya yangdimintai bantuan oleh KBRI untuk menjelaskandan menjadi penerjemah adalah Pipit. Tapi, kiniPipit justru sedang tak ada di Berlin. Padahal,urusan pemilu terbilang kompleks, dan taksembarang penerjemah bisa memberi penjelasan.

“Kalau biasanya ada dari yang dari Indonesiake Jerman, terus nanya-nanya soal pemilu, sejakera Pak Fauzi Bowo menjadi dubes,biasanya saya yang diminta jadipenerjemah gitu-gituan.Karena memahami sistempemilu Jerman itu susah.Lebih susah dari sistempemilu biasa. Sehing -ga, perlu penerje -

mah yang cocok,” kata Pipit.Misalnya, kata Pipit, saat dijelaskan tentang

bantuan negara kepada partai, kadang delegasidari Indonesia menangkapnya sebagai bantuanpemerintah. “Langsung dibilang bantuan peme -rintah. Padahal ndak ada itu bantuan pemerintah.Negara bukan pemerintah. Dana bantuan kepadapartai di Jerman memang dari APBN, tapi tidaklewat Kemendagri, ketua DPR juga tidak ikutcampur,” tandasnya.

Pipit juga pensiunan pegawai publik di Jer -man, juga kerap mendapat pertanyaan dari dele -gasi di Indonesia tentang rumah sakit pemerintahdan sebagainya. “Saya bilang di Jerman nggakada rumah sakit pemerintah. Yang ada rumahsakit publik. Tapi, rumah sakit publik inilah yangdikelola pemerintah.”

Dia pun mengungkapkan perbedaan penggu -naan istilah negara dan publik. “Di Jerman itu,pega wai negara terbagi dua. Pertama, pegawainegeri atau PNS yang khusus untuk orang Jermandan Uni Eropa. Kedua, pegawai publik yang lintasnegara. Di UU ASN (Aparatur Sipil Negara) kita,sebutannya ada pegawai negeri sipil dan pegawaipemerintah berdasarkan perjanjian kerja (P3K).P3K itulah yang seperti pegawai publik. Tapi,istilah pegawai negeri dan pegawai pemerintahdi kita memang masih kurang jelas,” katanya.

Statement ganjilPipit pun mengaku mencium keanehan

membaca statement seorang pimpinan pansusdi sebuah media online, setelah bertemu denganseorang ahli politik Jerman, Profesor AndreasUfen. Sang pimpinan Pansus, mengutip Ufen,mengatakan sistem Mixed Member Proportional(MMP) seperti yang diterapkan di Jermanmerupakan sistem terbaik di dunia, tapi tidakcocok diterapkan di negara penganut sistempresidensial seperti Indonesia.

“Kalau bilang sistem MMP tidak kompatibeldengan sistem presidensial, saya yakin pimpinanPansus itu salah mengerti. Andreas Ufen nggakmungkin bilang begitu. Karena di dunia ini yangmenerapkan MMP bukan hanya negara penganutsistem parlementer seperti Jerman, tapi jugapenganut sistem presidensial. Meksiko danVenezuela yang menganut sistem presidensialkan pakai MMP,” kata Pipit.

Lagipula, sudah merupakan konsensus diantara para ahli pemilu dunia, termasukdisampaikan ahli pemilu Jerman, Profesor DieterNohlen, bahwa tidak ada sistem pemilu yangterbaik di dunia ini. Karena itu, para ahli punmerekomendasikan setiap negara demokrasiuntuk mencari dan menerapkan sistem yangcocok.

Masih ada beberapa hal lagi yang dinilai Pipitagak janggal dari pemaparan anggota Pansus

usai bertemu Andreas Ufen, yangmasih perlu klarifikasi apakah

itu merupakan pernya taanUfen atau kekeliruan

anggota Pansus me -nang kap substansi

paparan Ufen.

Antara lain pen je lasan pimpinan Pansus di mediaonline soal sis tem pemilu Jerman yang biasadisebut persona lisierte verhaeltniswahl, soalambang batas lima per sen, dan lain-lain. “Agak -nya salah denger,” ka ta nya.

Mengundang Andreas Ufen dari GermanInstitute of Global and Area Studies (GIGA) untukmelakukan studi banding pemilu Jerman, jugadinilai Pipit tidak pas. Sebab, Ufen adalah seorangahli politik. Di sebuah situs berita online, seoranganggota Pansus mengungkapkan bahwa AndreasUfen adalah ahli Asia selatan.

Mestinya, kata Pipit, kalau Pansus memangmau bertanya tentang pemilu Jerman, bisa lang -sung ke Prof Dieter Nohlen atau Prof FriedrichPukelsheim. Keduanya, kata Pipit, bahkan bukanhanya pakar pemilu Jerman, tapi pakar pemilukaliber dunia.

Mengundang Dieter Nohlen dan Pukeslheim,kata Pipit, bisa dilakukan lewat Bundeszentralefuer politische Bildung atau Lembaga NegaraUrusan Pendidikan Politik Federal (LNUPPF).Kantor lembaga ini jaraknya hanya sekitar duakilo meter dari KBRI. Dari Wisma KBRI, ke -diaman Duta Besar RI di Jerman denganLNUPPF, jaraknya sekitar 7-8 kilometer.

“Kalau mengundang mereka melalui LembagaUrusan Pendidikan Politik Federal ini malahgratis, karena memberikan pendidikan politikadalah tugas mereka. Lembaga saya, WatchIndonesia, sering mengundang para ahli dariLembaga Negara Urusan Pendidikan PolitikFederal, dan gratis,” kata Pipit.

Pipit mengaku sering bersepeda dari ke -diaman nya ke Lembaga Negara Urusan Pendidik -an Politik Federal. “Jaraknya dari rumah sayase kitar empat kilometer. Saya sering ke sana ka -rena lembaga ini sering mengeluarkan bukumurah dan majalah gratis. Padahal di tempat lain,buku-buku tebal-tebal yang diterbitkan lembagaini bisa dijual 30 sampai 40 euro,” kata Pipit.

Selain di tingkat federal, lembaga serupa jugaada di tingkat negara bagian. Namanya adalahLandeszentrale fuer politische Bildung, yang jugadiisi oleh para pakar pemilu dan kepartaian.

Tiga hari yang absurdProf Andreas Ufen dari GIGA diundang untuk

bertemu dengan Pansus RUU Pemilu di WismaKBRI, atau kediaman dubes. Jaraknya sangatjauh, sekitar dua ratus kilometer. Sebab, GIGAterletak di negara bagian Hamburg. “Kalau jauh-jauh ngundang Prof Ufen dari Hamburg keBerlin, kenapa nggak sekalian aja beliau diundangke Nuswantoro (Indonesia),” kata Pipit.

GIGA ini pun, kata Pipit, merupakan sebuahNGO --seperti halnya Sindikasi Pemilu danDemokrasi (SPD)-- meskipun sebagian besarkegiatannya didanai negara. “Kalau mengundangProf Andreas Ufen dari GIGA kemungkinan nggakgratis. GIGA sudah lama saya kenal, tulisan-tulisannya bagus. Tapi, kalau jagonya pemilu, yaaDieter Nohlen, Pukelsheim, dan lain-lain.”

Menurut Pipit, kalau memang mau studibanding sistem pemilu Jerman, alokasi waktutiga hari juga terlalu mepet. “Waktu tiga hariuntuk belajar sistem pemilu Jerman itu absurd.Itu belum lagi soal jetlag. Kalau pesawat keJerman yang lewat Turki itu biasanya sampai diBerlin pada Minggu siang sekitar jam 10-11.Nggak mungkin langsung studi banding, karenajetlag dulu. Saya saja yang sering bolak-balikJakarta-Berlin selalu jetlag, kok,” kata Pipit.

Selain itu, sistem pemilu Jerman itu tidakmudah dipahami, karena sangat berbeda dengansistem pemilu lainnya. “Makanya ada yang bilangsistem pemilu Jerman itu adalah sistemproporsional nan personal. Sistem proporsional,tapi pilihan personal. Personalnya ini juga bukanditentukan pemilihan dengan sistem mayoritas,tapi proporsional. Itu belum soal dapil, metodepenghitungan, dan lain-lainnya,” katanya.

Kalau ingin benar-benar belajar sistem pemiluJer man, kata Pipit, minimal Pansus mengalokasi -kan waktu sebulan. “Seminggu itu untuk jetlag,tiga minggu untuk benar-benar-benar belajar.Tapi, kalau mau belajar soal pemilu Jermansebenarnya buka saja di internet, semua sudahada. Ngapain studi banding,” katanya.

Pipit mengatakan, persoalan jetlag itu seringsangat mengganggu. “Istri saya dosen di Universi -tas Hamburg. Dia juga sering diminta tolong samaKBRI untuk menemani tamu dari Indonesia,termasuk anggota DPR. Istri saya sering merasamalu karena saat orang Jerman ngomong, susah-payah diterjemahin, sebagian besar anggota DPRmalah tidur,” kata Pipit.

Saat ini, berdasarkan informasi yang diper -oleh Pipit dari KBRI Jerman, para anggota Pansusantara lain mengunjungi Mahkamah KonstitusiJerman, Bundestag, dan Landeswah leiter.

E-voting JermanSoal alasan Pansus studi banding ke Jerman

karena mendengar telah ada rencana Jermanuntuk mengevaluasi e-voting, juga dinilai Pipitmerupakan kabar yang belum pernah didengar -nya. “Sejak 2009 MK memutuskan tidak bolehmenggunakan e-voting, sampai saat ini sayabelum dengar mau diterapkan lagi,” kata Pipit.

Seperti diberitakan Republika sebelumnya,MK Jerman memutuskan membatalkan peng -gunaan e-voting pada 3 Maret 2009 lalu, antaralain karena bertentangan dengan prinsip pemiluyang bersifat publik. “(Penerapan e-voting)menutup hak setiap orang untuk mengawasiproses penghitungan suara, karena dilakukansecara otomatis oleh komputer yang hanya di -ketahui ahli komputer atau IT,” kata hakim kons -titusi Jerman, Rudolf Mellinghoff, saat meng -hadiri konferensi Hakim MK se-Asia bertajuk“Konstitusionalitas E-Voting dan Peran MK” yangdigelar di Jakarta, medio Juli 2010 lalu. ■

‘Belajar Sistem PemiluTiga Hari Itu Absurd’

kajian tentang Sistem Paralel. LIPI menye -but nya Sistem Campuran atau Mixed Mem -ber Majoritarian (MMM). LIPI mengusulkan392 kursi (70 persen) DPR dipilih dengansistem proporsional tertutup, dan 168 kursi(30 persen) kursi lainnya dipilih dengansistem mayoritas/pluralitas dengan distrikpemilihan berwakil tunggal alias FPTP.

Lebih tepat ke BrasilKalau mau mengkaji sistem pemilu,

Pansus sebenarnya lebih tepat melakukanstudi banding ke Brasil. Sebab, negaranyaPele, itu, menerapkan sistem proporsionalterbuka (open list) seperti yang diterapkanIndonesia. Selain bisa melihat sendiri baik-buruknya sistem proporsional terbuka, Brasilpun dinilai sukses menggelar pemilu serentaknasional-lokal dan menerapkan e-voting.

Selain kemiripan sistem pemilu denganIndonesia, Brasil juga masih memiliki banyakkemiripan lain dengan Indonesia, dari sisibesaran parlemen (jumlah kursi majelisrendah/DPR), sistem parlemen dua kamar,sistem kepartaian majemuk (multipartai),negara berkembang, banyak korupsi politik,bejibun kisah money politics dalam pemilu,serta sama-sama beriklim tropis.

Baiklah, soal sistem pemilu terkait banyakhal, seperti alokasi kursi, daerah pemilihan,ambang batas (threshold), hingga metodekon versi suara menjadi kursi (electoral for -mula). Tapi, hasil kajian dan studi bandingsemua elemen-elemen sistem pemilu tersebutsebenarnya sudah mampir ke Senayan, dalamberbagai bentuk. Baik naskah akademik dankajian lainnya, maupun dalam bentuk drafRUU.

Selain Naskah Akademik dan Draf RUUPenyelenggaraan Pemilu yang disampaikanpe merintah ke DPR, kajian komprehensifjuga disampaikan masyarakat sipil. Wujud -nya adalah Naskah Akademik dan Draf Kodi -fikasi RUU Penyelenggaraan Pemilu dariKoa lisi Masyarakat Sipil, Naskah Akademikdan Draf RUU Kitab Hukum Pemilu dari Ke -mi traan, Pendalaman Gagasan KepemiluanIndonesia dari Sindikasi Pemilu dan Demo -krasi, berbagai kajian LIPI, dan lain-lain.

Pendek kata, kajian kepemiluan denganstudi banding sistem pemilu dan berbagaiaspek kepemiluan lainnya dari berbagainegara, sudah bejibun. Bahkan, kajian-kajiantersebut bukan berasal dari studi literatursemata, tapi juga berdasarkan studi bandingpara pakar pemilu Indonesia saat mengikutiberbagai kegiatan internasional kepemiluan,seperti seminar, diskusi, dan pemantauanpemilu, yang kemudian diperkaya denganberbagai pengalaman dan studi literatur.Indo nesia pun sudah berulangkali mengun -dang pakar pemilu berskala internasional.

Studi banding yang dilakukan DPR sen -diri, selama ini sebenarnya amat perlu diper -tanyakan kualitasnya, karena tidak pernahjelas output-nya. Masuk di bab, pasal, danayat mana hasil studi banding itu, tidak per -nah jelas. Lagipula, studi banding itu seha -rusnya dilakukan saat penyusunan naskahakademik, bukan setelah naskah akademikdan draf RUU telah selesai dibuat, apalagiDIM-nya sudah tersusun. Kalau semua ke -janggalan ini tak bisa dijelaskan dan diper -tang gung jawabkan, maka yang dilakukanDPR bukanlah sebuah studi banding, tapijalan-jalan alias plesiran pakai uang rakyat.

Betapa pun dalam pembahasan sebuahRUU memang dibolehkan studi banding keluar negeri, namun Peraturan DPR Nomor1/2014 tentang Tata Tertib telah mengaturrambu-rambunya. Studi banding itu harusmempertimbangkan urgensi, kemanfaatan,dan keterkaitan negara tujuan dengan materiRUU.

Lantas apa urgensi, kemanfaatan, danketerkaitan negara tujuan dengan materiRUU, jika sistem pemilu yang ingin diterap -kan mayoritas partai di Indonesia berbedadengan sistem pemilu Jerman dan Meksiko?Sebenarnya, apa yang Pansus cari? ■

Studi Banding RUU Pemilu

APA YANG DICARI?

TUJUH NEGARA YANG MENERAPKAN SISTEM MMP

Berdasarkan data ACE Electoral Knowledge Network, saat ini ada tujuh negara didunia yang menerapkan sistem Mixed Member Proportional Representation (MMP).

Ketujuh negara itu menggabungkan dua sistem pemilu, yaitu Sistem Proporsional Daftar(List Proportional Representation) dari keluarga Sistem Proporsional (Proportional

Representation) dengan Sistem First Past the Post (FPTP) dari keluarga SistemMayoritas/Pluralitas (Majority/Plurality). Berikut daftar negara-negara tersebut berikut

jumlah dan persentase kursi yang mereka alokasikan untuk masing-masing sistem.

Negara Kursi PR List Kursi FPTP Total

1. Bolivia 60 (46%) 70 (54%) 1302. Hongaria 93 (47%) 106 (53%) 1993. Jerman 299 (50%) 299 (50%) 5984. Lesotho 40 (33%) 80 (67%) 1205. Meksiko 200 (40%) 300 (60%) 5006. Selandia Baru 50 (42%) 70 (58%) 1207. Venezuela 52 (32%) 113 (68%) 165

Keterangan:● Reserved seats untuk kalangan minoritas di Bolivia adalah tujuh kursi, sedangkan di Venezuela tiga

kursi. Kursi-kursi itu diambil dari kursi yang diperebutkan dalam sistem mayoritas/pluralitas.

Sumber: ACE Electoral Knowledge Network

RAKHMAWATY LA'LANG/REPUBLIKA