v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (TuhanYang Maha Esa), karena atas asung kertha wanugraha-Nya(rakhmat-Nya) disertasiyang berjudul: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa danEtnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali” dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.Melalui kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya padaLembaga Universitas Udayana dan Universitas Pendidikan Ganesha, karena sudahmengusulkan peneliti agar dapat menerima beasiswa Program Doktor Angkatan Tahun2014/2015 dari Dirjendikti. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepadaDirjendikti, sebab sudah membiayainya sehingga peneliti dapat menggunakannyauntuk penyelesaian studi di Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnyakepada Prof. Dr. Ir.Sulistyawati,M.S,M.M.,M.Mis.,D.Th. selaku promotor walaupunmenjelang ujian terbuka digantikan posisinya oleh Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan,S.U., karena beliau sudah purnabakti, banyak memberikan bimbingan, motivasi danspirit yang sangat berguna bagi peneliti dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasihpula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. selaku ko-promotor I, yang sering penulis ganggu waktunya untuk konsultasi di tengah-tengahkesibukannya bertugas sebagai seorang akademisi yang dikenal luas oleh berbagaikalangan pendidikan tinggi tingkat lokal maupun nasional. Demikian juga, kepada Dr.Putu Sukardja, M.Si. selaku ko-promotor II yang telah dengan penuh kesabaran danmeluangkan waktunya dengan penuh kasih sayang serta selalu mendorong penulis agarbisa secepat-cepatnya menyelesaikan studi sehingga beliau mengkoreksi tulisan inisecara mendetail baik teknis dan substantifnya.
Terima kasih juga peneliti ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., dan Direktur Pascasarjana UniversitasUdayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S. (K), serta Asisten Direktur I, Prof. Dr.Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra,M.App.Sc.Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerimabeasiswa dan menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program PascasarjanaUniversitas Udayana Tahun Angkatan 2014/2015. Terima kasih pula disampaikankepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof.Dr. Ni Luh SutjiatiBeratha,M.A. dengan jajarannya dan pejabat struktural Prof. Dr. Phil.I Ketut Ardana,M.A.selaku Ketua dan Dr. I Ketut Setiawan,M.Hum., selaku Sekretaris ProgramDoktor Kajian Budaya yang menggantikan pejabat lama, juga telah memberikanfasilitas pendidikan dan pengarahan yang sangat berguna bagi penulis dalammenyelesaikan masalah administratif dan akademik selama mengikuti pendidikan dilembaga ini.
vi
Terima kasih pula diucapkan kepada Rektor Undiksha Dr. I Nyoman Jampel,M.Pd., Wakil Rektor (WR) I, Prof. Dr. I.B. Putu Arnyana, M.Si., WR II. Prof. Dr. IWayan Lasmawan, M.Pd. ,dan WR III. Dr. I Gusti Ngurah Pujawan, M.Kes. Terimakasih pula diucapkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial Prof. Dr. Sukadi,M.Ed.M.Pd., beserta para Wakil Dekan (WD) I, Dr. Luh Pt. Sendratari,M.Hum, WDII, Drs. I Wayan Ladrawan, M.Si, dan WD III, Wayan Treman, M.S. Tidak lupa pulaterima kasih disampaikan pada Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah, Dr. Tuty Maryati,M.Pd., dan Sekretaris Jurusan, I Ketut Sedana Artha, S.Pd, M.Pd., atas dukunganmoralnya. Terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen di Jurusan PendidikanSejarah, Drs. Ketut Pugeh (Purn.), Prof. Dr. I Gde Widja (Purn.), Drs.Mudjiono danDra. Puromo Wahyuni (Alm.), Drs. I Wayan Teken Sara (Alm.), Drs. Putu MustikaRai (Purn.), Drs. Made Sunada (Purn.), Drs. I Wayan Suyasa, M.Si. (Purn.), Drs. INengah Sudariya,M.Si.(Purn.), Drs. I Wayan Sugiartha, M.Si. (Purn.); Dr. Luh PutuSendratari, M.Hum., Dr. I Wayan Mudana, M.Si., Dr. I Ketut Margi, M.Si.,Dra. DesakMd. Oka Purnawati, M.Hum., I Wayan Putrayasa, S.Pd. M.Pd., I Gde Prapta Cahyana,S.Pd.,M.Pd., I Putu Hendra Mas Marthana, S.Pd.,M.A. Terima kasih pula disampaikankepada para pegawai di lingkungan Undiksha yang sudah memberikan bantuanpenyelesaian administratif kepada penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga mengucapkan terima kasih tak berhingga kepada dosen-dosen S3Kajian Budaya yang telah memberikan kuliah dalam berbagai warna dasar keilmuansebagai bekal penulis untuk mengembangkan diri secara akademik, karena tanpa beliaupenulis tidak berarti apa-apa, yaitu Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr.A.A.Ngr. Anom Kumbara, M.A., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I GdeWidja., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., Prof. Dr.Ing.Ir. I Made Merta, DAA., Prof. Dr. Irwan Abdullah., Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH,M.Hum., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A., Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana,M.A., Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Dr. I Putu Sukardja, M.Si., Dr. I GustiKetut Gde Arsana, M.Si., Dr. I Nyoman Dhana, M.A., Dr. I Gede Mudana, M.Si., Dr.Ni Made Wiasti, M.Hum., dan Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A. Terima kasih puladisampaikan kepada dewan penguji disertasi ini, yaitu Prof. Dr.Ir.Sulistyawati,M.S,M.M.,M.Mis.,D.Th., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.Dr. IPutu Sukardja, M.Si., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. A.A.Ngr. AnomKumbara, M.A., Dr. Ni Made Wiasti,M.Hum., dan Dr. I Nyoman Dhana, M.A., yangtelah memberikan masukan, perbaikan, sanggahan, saran, koreksi, dan penguatanterhadap kelayakan disertasi ini.Terima kasih juga secara khusus disampaikan kepadaProf. Dr. Ketut Darma Laksana, M.Hum., sebagai Ketua Program Vokasi Fakultas IlmuBudaya Universitas Udayana, yang sudah menyunting disertasi yang peneliti susun
vii
sehingga disertasi ini sesuai dengan kaidah penulisan akademik. Demikian jugapeneliti menyampaikan terima kasih kepada pegawai/staf Program Doktor KajianBudaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yaitu I Putu Sukaryawan, S.T.,Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, S.E., Cok Istri Murniati, S.E., A.A. AyuIndrawati, I Nyoman Candra, Putu Hendrawan, Ketut Budi Astra yang telah banyakmemberikan bantuan fasilitas dan informasi administrasi selama penulis menempuhstudi di Program Doktor ini. Terima kasih pula kepada teman-teman seperjuanganangkatan 2014/2015 Program Doktor Kajian Budaya, yaitu I Nyoman Winyana, NiPutu Mastiningsih, Agus Mursidi, Dermawan Waruwu, I Ketut Sida Arsa, MadeBudiasa, Frendy, Bernis, dan Bob.
Peneliti juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua informanyang sudah memberikan infromasi kepada peneliti yang dibutuhkan dalam penelitiandisertasi ini, di antaranya, yaitu Bapak I Ketut Rumantya (74 tahun), Bapak MadeSukarya (64,tahun), Bapak Nyoman Aribawa (59 tahun), Bapak Wayan Gde Dada (56tahun), Jro Raka (56 tahun), Jro Wayan Meling (62 tahun), Bapak IGde Susana, SH(41 tahun), Bapak Ketut Anta Wijaya (46 tahun), Bapak Wayan Sudarsana (66 tahun),Putu Indra Pranata (25 tahun) dan informan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkandalam kesempatan ini.
Terima kasih pula disampaikan kepada ayahanda I Gusti Wayan Jana danIbunda Ni Ketut Cokli (Alm.) dan juga pada bapak-ibu mertua I Wayan Mudana (Alm.)dan Made Wati. Terima kasih yang spesial disampaikan kepada istri tercinta Ni KetutMirah Kusumawati, S.Pd., yang memberikan dukungan penuh dan pengorbanan dalamsegala hal untuk keberhasilan studi. Demikian juga terima kasih kepada putri sematawayang Gusti Ayu Putu Diah Permatasari, AR.,S.Pd yang sedang bergulat dalampenyelesaian pendidikan magister di Pascasarjana Undiksha dengan diiringi doasemoga cepat selesai juga. Keponakanku I Gusti Putu Kartikayana, A.M.Komp. yangselalu berkorban waktu dan tenaga mengantar penulis ke Denpasar untuk berkonsultasidan urusan lainnya, Kakak I Gusti Putu Diana (Alm.), adik I Gusti Ketut Budiasa,ponakan I Gusti Kade Adi Kartikayasa,S.Pd. G.A.Bintang Pramesti, dan I Gusti MadeWahyu Atmaja serta Eka Andipa Suryanada banyak membantu penulis secara teknisdalam menyelesaikan disertasi ini. Akhirnya peneliti tiada hentinya memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar melimpahkan karunia-Nyakepada semuapihak yang telah membantu maupun memperlancar dalam penyelesaian disertasi ini.Om Shantih Shantih Shantih Om.
Denpasar, Juli 2016Penulis
ABSTRACT
viii
THE POWER BEHIND THE HARMONY: CRITICAL ETNOGRAPHY OF THERELATIONSHIP BETWEEN ETHNIC CHINESE AND ETHIC BALINESE AT
PUPUAN VILLAGE, TABANAN, BALI
The harmonious relationship between two different ethnicities in the Pupuanvillage evidenced by the-cross ethnic marriages and ethnic Chinese become membersof “desa pakaraman” which have a place of worship same like ethnic Balinese such asKemulan, pelinggih Jro Gede and Taksu and doing the rituals like ethnic Balinese.These behaviors it is less common and paradox because in fact, outside Bali that oftengets discriminatory treatment and lead to physical violence.This social phenomenonimportant and interesting to be explored in the midst of the emergence of disintegrationand brittleness sense of the national unity. Based on this background, this studyconducted by three key issues, namely (1) Why are ethnic Chinese and ethnic groupsin the PupuanTabananBali can coexist harmoniously? (2) How do the dynamics ofpower behind a harmonious relationship in the life of ethnic Chinese and ethnicBalinese at Pupuan Tabanan Bali? And (3) How does the educational model is carriedout by ethnic Chinese and ethnic Balinese at PupuanTabanan Bali in creating aharmonious relationship from the perspective of etnopedagogik?. The method used isdescriptive qualitative method with a critical ethnographic approach. Besides, datawere collected by in-depth interviews, observation and documentation study andanalyzed by an interactive model. There are theories is used in the study includesBourdieu Practice Theory, Discourse Theory of Power/Knowledge Foucault,Habermas Education Theory and other theories which relevant and used in eclectic.
The results of this study showed that: (1) the various factors that cause the twoethnic groups harmony in the pupuan village is power and capital made by the ethicBalinese and ethnic Chinese. Ethic Balinese used authorized capital with the values oflocal wisdom as THK, Tat Tvam Asi, Penyamabrayaan and others. Meanwhile, theethnic Chinese use their economic and social capital to offset the hegemony and thedomination of ethic Balinese. (2) The dynamics of the power of harmony in Bali, it wasfound that the dynamics are very dynamic and not static as result of a power game(powers) from the internal (local) and external (national) which can be seen from thereligious aspect, government policy aspect, balinese language aspect, and economicaspects. (3) The educational model which is cultivated by ethnic groups in the pupuanvillage found a variety of media such as through media social organizations, traditionalactivity “ngayah” and “ngoupin”, packed in the traditional game, “mesatua” andcultural rituals in public area.
Keywords: Authorization, Harmony, Critical Ethnography, Ethnic Chinese andEthnic Balinese, Ethnopedagogic, Pupuan Village
ix
ABSTRAK
KUASA DI BALIK HARMONI: ETNOGRAFI KRITIS RELASI ETNISTIONGHOA DAN ETNIS BALI DI DESA PUPUAN, TABANAN, BALI
Hubungan harmonis antarkedua etnis yang berbeda di Desa Pupuan dibuktikandengan adanya perkawinan lintas etnis dan etnis Tionghoamenjadi krama desapakraman, bahkanjuga memiliki tempat suci layaknya etnis Bali, serta melaksanakanritual (odalan) bernuasa Hindu. Perilaku yang kurang lazim dan sangat paradoksdengan kondisi di luar Bali.Fenomena sosial tersebut menarik dan pentingdidekonstruksidari perspektif kajian budaya, di tengah-tengah munculnya gejaladisintegrasi bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa.Berdasarkan latar belakangtersebut, adatiga masalah yang dikaji, yaitu (1) mengapa etnis Tionghoa dan etnis Balidi Desa Pupuan, Tabanan, Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis?; (2)bagaimana dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan etnisTionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan?; dan (3) bagaimana model pendidikan yangdilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan dalam menciptakanhubungan yang harmonis dari perspektif etnopedagogik? Metode penelitian yangdigunakan, yaitu metode deskriptif kualitatif berpendekatan etnografi kritis. Datadikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi sertadianalisis dengan model analisis interaktif. Beberapa teori yang digunakan, diantaranya Teori Praktik Bourdieu, Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan Foucault,Teori Pendidikan Habermas dan teori lainnya yang relevan dan digunakan secaraeklektik.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa (1) berbagai alasan yang menyebabkanhubungan yang harmonis antaretnis, karena ada permainan kuasa dan modal yangdimainkan, baik oleh etnis Bali maupun etnis Tionghoa. Etnis Bali menggunakanmodal kuasa melalui nilai-nilai kearifan lokal, seperti THK, Tat Twam Asi,Penyamabrayaan, dan sebagainya. Sementara itu, etnis Tionghoa menggunakan modalekonomi dan sosialnya untuk mengimbangi hegemoni/dominasi etnis Bali. (2)dinamika kuasa di balik harmonis itu menunjukkan bahwa dalam relasi antaretnis diDesa Pupuan terjadi dinamika yang dinamis dan bersifat mencair, akibat adanyapermainan kuasa (kekuasaaan) dari pihak internal (lokal) maupun eksternal (nasional)yang dapat dilihat, baik dari aspek keagamaan/keyakinan, aspek politik, aspek sosialbudaya, dan aspek sosial ekonomi, dan (3) model pendidikan etnopedagogik yangditumbuhkembangkan dengan menggunakan berbagai media, seperti organisasi sosialkemasyarakatan, aktivitas sosial dalam bentuk ngayah dan ngoupin, permainantradisional, mesatua, dan ritual budaya di ruang publik.
Kata Kunci: Kuasa, Harmoni, Etnografi kritis, Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali,Etnopedagogik, Desa Pupuan
x
RINGKASAN
KUASA DI BALIK HARMONI: ETNOGRAFI KRITIS RELASI ETNISTIONGHOA DAN ETNIS BALI DI DESA PUPUAN TABANAN BALI
Fenomena sosial yang cukup menarik terjadi di Desa Pupuan, yakni terjalinnya
hubungan harmonis antaretnis Tionghoa dan etnis Bali yang berbeda dalam berbagai
aspek kehidupan. Keharmonisan itu tercermin dengan terjadinya perkawinan lintas
etnis (amalgamasi) yang tidak lazim pada tradisi etnis Tionghoa. Demikian juga
masuknya etnis Tionghoa menjadi anggota desa pakraman dan dimilikinya tempat
pemujaan yang bernuansa Hindu, seperti sanggah, pelinggih Jro Gde,dan Taksu selain
caitya, konco ataupun wihara dan melakukan ritual (odalan) seperti layaknya etnis
Bali.
Perilaku etnis Tionghoa yang kurang lazim dan paradoks, sebab di luar Bali hal
tersebut jarang ditemukan. Bakhan, faktanya etnis Tionghoa mendapat perlakuan
diskriminatif dan berujung terjadi kekerasan fisik kepadanya. Fenomena sosial tersebut
menarik didekonstruksidari perspektif kajian budaya. Demikian juga, kajian ini
dianggap penting dan menarik didalami di tengah-tengah munculnya gejala disintegrasi
bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa belakangan ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka ada tiga masalah yang dikaji dalam penelitian
ini, yaitu (1) mengapa etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali dapat hidup
berdampingan secara harmonis ?; (2) bagaimana dinamika kuasa di balik hubungan harmonis
dalam kehidupan etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan?; dan (3) bagaimana model
xi
pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali
dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari perspektif etnopedagogik?
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mendekonstruksi fenomena sosial tersebut
sehingga dapat memahami berbagai alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis
Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis; (2)
untuk memahami dinamika kuasa di balik harmoni itu dan model pendidikan yang
digunakan dari perspektif etnopedagogik sehingga tercipta hubungan yang harmonis.
Hasil kajian ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah etnogafi kritis dan menemukan
formula yang dapat didesiminasikan ke daerah lain yang rawan terjadinya konflik
antaretnis, sebagai upaya preventif sehingga tercipta kedamaian, kerukunan atau
harmoni dalam masyarakat
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
etnografi kritis dalam perspektif kajian budaya. Data dikumpulkan dengan wawancara
mendalam, observasi, dan studi dokumentasi, kemudian data dianalisis dengan model
analisis interaktif dengan teori sosial kritis untuk menghasilkan sebuah etnografi kritis.
Beberapa teori yang digunakan, di antaranya Teori Praktik Bourdieu, Teori Diskursus
Kekuasaan/Pengetahuan Foucault, Teori Pendidikan Habermas, dan teori lainnya yang
relevan dan digunakan secara eklektik.
Hasil penelitian di lapangan didapatkan, bahwa:
Pertama, berbagai alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis Bali di
Desa Pupuan dapat hidup harmonis karena adanya permainan kuasa dan modal yang
dilakukan oleh kedua etnis di Desa Pupuan. Etnis Bali memainkan modal kuasanya
xii
untuk menghegemoni etnis Tionghoa dengan menggunakan ideologi Tri Hita Karana
(THK) yang dituangkan dalam awig-awig yang sifatnya mengikat dan berlaku secara
menyeluruh bagi kramadesa pakraman di Desa Pupuan dan ada sanksi bagi yang
melanggarnya atau yang tidak patuh. Sanksi tersebut berfungsi sebagai kontrol sosial
sehingga tercipta tertib sosial, sekaligus dapat mengantarkan kehidupan harmonis di
Desa Pupuan. Sementara itu, etnis Tionghoa memainkan modal ekonomi dan sosialnya
untuk mengimbangi hegemoni dari etnis Bali. Keseimbangan tersebut juga
menyebabkan kehidupan harmonis dapat diwujudkan.
Nilai kearifan lokal “menyama braya”, ditumbuhkembangkan oleh etnis Bali
melalui ajaran Tat Twam Asi dan etnis Tionghoa berpedoman pada ajaran/filsafat
Khonghucu, Taoisme, dan Budhisme. Oleh karena itu, masing-masing etnis dengan
latar belakang budaya ataupun etnisitas berbeda dapat mengembangkan sikap
persaudaraan (penyamabrayaan). Bahkan, etnis Bali menyebut etnis Tionghoa sebagai
“nyama madelodan” dan diterima menjadi anggota (krama) desa pakraman Pupuan.
Konsep “penyamabrayaan” itu, menjadi pilar terwujudnya rasa saling memiliki,
menghormati, dan toleran, yang dapat menuju atau mengarah pada terciptanya
hubungan yang harmonis antarwarga atau antaretnis di Desa Pupuan.
Perkawinan lintas etnis (amalgamasi), terjadi di Desa Pupuan, baik dari etnis
Tionghoa ataupun dari etnis Bali, menyebabkan pula dapat terciptanya ikatan
kekerabatan yang semakin erat. Hubungan penyamabrayaan semakin intensif,
menyebabkan masing-masing keluarga masuk dalam in group, sehingga muncul
kesadaran yang semakin tumbuh di antara mereka memiliki keluarga dan berupaya
xiii
untuk menjaga kekerabatan itu agar tidak terpecah belah. Dengan demikian, mereka
melakukan silaturahmi atas dasar saling menghormati dan menghargai satu sama
lainnya. Hal itu yang nantinya mengantarkan dapat terciptanya kehidupan yang
harmonis di Desa Pupuan.
Permainan modal juga ikut memberi sumbangan berarti bagi terwujudnya
keharmonisan hidup antaretnis di Desa Pupuan. Etnis Tionghoa yang mampu atau kaya
pada bidang ekonomi dapat memainkan modal ekonomi dan sosialnya sehingga dapat
berperan besar/penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Desa Pupuan. Oleh
karena itu, etnis Tionghoa juga disegani oleh etnis Bali, bahkan dipercaya ikut duduk
dalam struktur organisasi desa pakraman, yaitu sebagai anggota kertha desa. Demikian
juga salah satu keturunan dari etnis Tionghoa ditunjuk sebagai penanggung jawab
pembangunan beberapa tempat suci (pura) dan etnis itu sekaligus berperan sebagai
donatur (penyandang dana) dalam pembangunan fisik dan sosial di desa setempat.
Keberhasilan etnis Tiongha dalam memainkan modal ekonomi dan sosialnya,
menyebabkan mereka dapat diterima dengan baik oleh etnis Bali. Sementara itu, etnis
Bali juga memainkan modal kuasa yang dimilikinya, agar tetap dapat menghegemoni
etnis Tionghoa. Dengan demikian, etnis Bali tetap dapat bertahan pada posisi
supraordinat melalui produksinya berupa awig-awig, dresta, pararem, dan sebagainya.
Oleh karena etnis Tionghoa sebagai pendatang (tamiu) dan minoritas di Desa Pupuan,
mereka tentu saja bersikap patuh dan mendukung semua aturan yang dikeluarkan oleh
desa pakramansetempat dengan harapan keamanan diri ataupun keluarga dan usaha
xiv
yang dilakukan di Desa Pupuan dapat berjalan seperti biasa. Kondisi itu yang
menyebabkan pula kehidupan harmonis dapat tercipta dan terpelihara di Desa Pupuan.
Pengalaman sejarah dapat juga menjadi pilar terciptanya kehidupan harmonis
di Desa Pupuan. Hal tersebut cukup beralasan, karena sejak kedatangan etnis Tionghoa
itu ke Desa Pupuan pada tahun1820-an, yang dipelopori oleh Kang Ik Khim.
Selanjutnya diikuti oleh yang lainnya pada tahun 1900-an dan tahun 1920-an, yang
juga kebanyakan dari marga (shee) Kang sehingga etnis Tionghoa itu memandang
tempat perantauannya di Desa Pupuan sebagai tanah kelahirannya. Rasa memiliki itu
yang ditumbuhkembangkan oleh kedua etnis di Desa Pupuan, yang menyebabkan
hubungan harmonis dan saling menjaga rasa persaudaraan tetap terjaga, dan mereka
dapat hidup rukun sebagai keluarga besar yang mengantarkan kedamaian di antara
warga di Desa Pupuan.
Perjalanan sejarah era Orde Lama ataupun era Orde Baru yang kebijakan yang
diambil sangat diskriminatif bersifat rasial, dapat memperkuat rasa persaudaraan, di
antara etnis Bali dan etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Etnis Bali tidak melakukan
pelarangan ataupun pengusiran terhadap etnis Tionghoa, sebab etnis Tionghoa sudah
dianggap saudara (menyama). Demikian juga, ketika era Reformasi, etnis Tionghoa
menguatkan identitas dirinya dengan kembali memeluk agama Budha dan membangun
simbol-simbol identitasnya, seperti mendirikan Vihara Dharma Giri di Tahun 1990-an.
Perilaku etnis Tionghoa seperti itu, tidak membuat etnis Bali emosi, tetapi justru
membiarkannya sehingga hubungan harmonis tetap dapat dipertahankan.
xv
Peran negara (pemerintah pusat) dan pemerintah daerah, tidak dapat pula
dikesampingkan sumbangsihnya dalam menciptakan keharmonisan hidup masyarakat
di Desa Pupuan. Pemerintah pusat, melalui pemerintah desa dinas sebagai
representasinya melaksanakan perundang-undangan yang berlaku secara nasional
untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bertanah air bagi warga negaranya tanpa
kecuali, termasuk dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Demikian pula, pemerintah
daerah yang bersinergi dengan desa pakraman mengharapkan terciptanya tertib sosial,
melalui Perda No.3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman. Melalui desa pakraman
dikeluarkan beberapa ketentuan, seperti awig-awig, dresta,dan pararem. Masuk dan
bergabungnya etnis Tionghoa menjadi anggota desa pakraman, menyebabkan etnis
Tionghoa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan etnis Bali. Demikian juga
jika melanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang ada. Oleh karena
itu, baik etnis Bali ataupun etnis Tionghoa kedudukannya sama (equal) dan semuanya
patuh atau mentaati aturan yang sudah disepakati bersama sehingga kehidupan
harmonis tetap dapat dipertahankan.
Kedua, dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan etnis
Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali, tentu saja dipengaruhi oleh
dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik (kekuasaan) yang terjadi di tingkat lokal
maupun nasional. Dinamika itu, memicu terjadi atau timbulnya riak-riak, baik yang
bersifat positif (konstrukstif) ataupun negatif (destruktif).
Berikut ini dideskripsikan mengenai dinamika kuasa di balik hubungan
harmonis antaretnis Tionghoa dan etnis Bali di Pupuan, Tabanan Bali, yaitu
xvi
(1) Dinamika kuasa dalam aspek agama dan keyakinan, menunjukkan bahwa
terjadi dinamika di antara kedua etnis itu di Desa Pupuan. Hal tersebut terjadi karena
ada hegemoni dari etnis Bali pada aspek itu, yakni dengan memainkan modal budaya
(spiritual) ataupun pengetahuannya, pada momentum dan ruang (arena) yang tepat,
untuk memenangkan kontestasi dengan etnis Tionghoa, di bidang agama dan
keyakinan sehingga etnis Bali dapat mempertahankan posisi supraordinat itu atas etnis
Tionghoa. Sementara itu, etnis Tionghoa dalam upaya mengimbangi kekuasaan atau
dominasi dari etnis Bali, maka etnis itu memainkan juga modal ekomominya, dengan
jalan memberikan imbalan berupa uang (sesari) yang lebih besar dari etnis Bali pada
waktu menyelenggarakan ritual yang sama kepada para pemangku dan serati, serta
diberikan juga buah, jajan, dan daging yang masih “sukla”. Demikian juga tetangga
yang membantu (ngoupin) dalam menyiapkan kelancaran ritual diberikan imbalan,
berupa “lungsuran” yang justru lebih banyak sebagai ucapan terima kasih sehingga
etnis Tionghoa disegani oleh etnis Bali.
Di samping itu, etnis Tionghoa memainkan juga modal sosialnya, walaupun
sebagai kelompok minoritas dalam menghadapi dominasi etnis Bali setempat, dengan
jalan berperan aktif dalam arena publik melalui ritual budaya yang digelar, baik yang
bersentuhan dengan keyakinan dari warisan leluhurnya maupun yang bernuansa
kehinduan Bali. Etnis Tionghoa aktif juga memberikan sumbangan (dana punia), yang
menyebabkan etnis itu dilabeli sebagai donatur yang handal dalam pembangunan fisik
di Desa Pupuan. Dengan kelakuan itu, etnis Tionghoa di Desa Pupuan dapat dikatakan
xvii
mampu mengimbangi hegemoni etnis Bali dan disegani oleh warga karena tidak kikir
atau pelit, tetapi loyar sehingga kehidupan harmonis dapat dipelihara dengan baik.
Dengan demikian, sesungguhnya terjadi permainan atau kontestasi kuasa
(kekuasaan) dalam kehidupan kedua etnis, dalam aspek keagamaan ataupun keyakinan
di Desa Pupuan, yang menyebabkan terjadinya dinamika di dalamnya. Akan tetapi,
dinamika itu tidak menyebabkan terjadinya pertentangan atau perselisihan,yang dapat
menuju konflik.Hal tersebut disebabkan, karena di antara mereka saling
mengimbanginya sehingga kehidupan harmonis tetap dapat terjaga.
(2) Dinamika kuasa dalam aspek politik, yang berhubungan dengan kebijakan
pemerintah (penguasa), yaitu bahwa ada dinamika dalam hubungan (relasi) antaretnis
di Desa Pupuan, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan penguasa yang juga memainkan
modal kuasanya. Hal tersebut berdasarkan fakta-fakta sejarah, seperti dikeluarkannya
PP Nomor 10/1959 maupun PP Nomor 20 Tahun 1959, yang membuat kebingungan
etnis Tionghoa di Indonesia termasuk di Desa Pupuan, yakni ada yang ingin tetap
menjadi WNI, dan ada yang ingin menjadi warga negara Tiongkok. Karena itu, etnis
Tionghoa yang ada di Desa Pupuan yang memilih kewarganegaraan leluhurnya
(Tiongkok), keluar dari Desa Pupuan. Sementara itu, etnis Tionghoa yang memilih
WNI, tetap tinggal di Desa Pupuan, karena Desa Pupuan, dianggap olehnya sebagai
tanah kelahirannya. Situasi itu, menyebabkan hubungan antara etnis Tionghoa dengan
etnis Bali menjadi agak terganggu atau kurang kondusif, walaupun tidak menimbulkan
keretakan atau permusuhan di antara kedua etnis bersangutan.
xviii
Demikian juga, era Orde Baru kembali mempraktikkan politik diskriminasi
yang bersifat rasial kepada etnis Tionghoa, seperti dikeluarkannya Inpres No. 14 Tahun
1967, yang dirasakan juga dampaknya oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yaitu ada
pelarangan terhadap praktik Tri Dharma sehingga menyebabkan etnis Tionghoa
melakukan konversi agama (Hindu) tahun 1960-an. Situasi tersebut, kemudian disikapi
oleh elite kedua etnis di Desa Pupuan, dengan melakukan kompromi dan negosiasi
sehingga dapat menghasilkan sebuah kesepakatan (konsensus) bersama untuk menjaga
kerukunan (harmonis) di antara kedua etnis yang dianggap sudah seperti keluarga
besar.
Dinamika kuasa di balik terciptanya keharmonisan hidup di Desa Pupuan juga
terjadi, tidak dapat dilepaskan dari intervensi yang dilakukan oleh pemegang kuasa
(kekuasaan), yaitu pemerintah pusat secara nasional dan pemerintah lokal (daerah)
sebagai perpanjangan tangan dari pusat, yang ikut menjaga dan menjalankan regulasi
yang ditetapkan oleh atasannya. Walaupun demikian, peran dari organisasi sosial,yaitu
desa pakraman yang dilengkapi dengan awig-awigataupun hasil perarem
(kesepakatan/konsensus) yang dicapai dalam suatu pertemuan seluruh anggota (krama)
desa pakraman, ikut juga andil dalam upaya menciptakan ataupun menjaga
kerukunan(keharmonisan) hidup antarwarga (etnis) yang berbeda di Desa Pupuan.
(3) Dinamika kuasa dalam aspek sosial budaya, khususnya dalam konteks
pemakaian bahasa lokal (Bali), juga terjadi yang ditemukan di kancah dalam hal
pemakaian bahasa lokal (Bali), ketika berinteraksinya kedua etnis itu di Desa Pupua.
Etnis Bali, yang menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan sehari-harinya, yang
xix
digunakan pula sebagai salah satu identitas etnisnya. Dengan demikian, secara implisit
bahasa Bali yang dimiliki oleh etnis Bali juga berarti pula etnis Bali memiliki modal
kuasa atas bahasa (budaya), untuk dipertahankan dan dipergunakan dalam kehidupan
sosial ataupun keagamaan.
Dengan dimilikinya modal budaya itu oleh etnis Bali, maka dalam berinteraksi
dengan etnis lain, khususnya dengan etnis Tionghoa modal tersebut digunakan untuk
dapat menghegemoni etnis Tionghoa melalui pemakaian bahasa, yang dikenal dengan
sor singgih basa dalam berinteraksi dengan etnis Bali di masyarakat, baik bersifat
formal maupun nonformal. Oleh karena itu, etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas dan
sebagai penduduk pendatang (tamiu) tentu mengikuti sor singgih basa. Demikian juga,
etnis Tionghoa berusaha untuk mengimbangi dominasi etnis Bali itu, sehingga mereka
belajar bahasa Bali untuk kepentingan sosial, budaya, dan ekonomi. Jadi,
sesungguhnya dapat dikatakan, bahwa etnis Tionghoa belajar bahasa Bali ada maksud
secara tersembunyi, yakni untuk dapat memenangkan kontestasi dalam arena ekonomi
dan sosial dengan etnis Bali. Karena itu, etnis Tionghoa belajar secara sungguh-
sungguh berbagai kosak kata maupun sor singgih basa yang dipergunakan oleh etnis
Bali agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial, baik formal maupun nonformal
sehingga tidak ada hambatan.
Berdasarkan temuan di lapangan maka dapat dikatakan bahwa pemakaian
bahasa Bali semakin intens dilakukan etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada generasi
ketiga dan semakin intens dilakukan dengan adanya kebijakan penguasa (pemerintah)
pusat tentang pelarangan terhadap etnis Tionghoa dalam penggunaan unsur budaya
xx
termasuk bahasa yang berbau Tionghoa. Akan tetapi, sejak era Reformasi
diperbolehkan lagi menghidupkan kebudayaan yang bernafaskan Tionghoa.
Kuatnya hegemoni negara yang dimainkan oleh penguasa yang memiliki kuasa,
dapat menghegemoni etnis Tionghoa dalam bidang kebudayaan, khususnya bahasa
sehingga mereka melakukan penyesuaian namanya tanpa ada unsur Tionghoanya. Hal
itu diindahkan oleh etnis Tionghoa, karena takut dikenakan sanksi sebab dianggap
membangkang. Dengan demikian, etnis Tionghoa menjadi patuh dan menuruti
keinginan penguasa yang menyebabkan identitas nama etnis Tionghoa memakai nama
Indonesia, bahkan memakai nama lokal (Bali) di Desa Pupuan dan ada juga yang
bersifat campuran sehingga melahirkan nama campuran yang bersifat hibriditas.
Hal tersebut di atas yang menyebabkan terjadinya dinamika dalam pemakaian
bahasa Bali oleh etnis Tionghoa, dalam melakukan interaksi dengan etnis Bali. Etnis
Tionghoa juga menggunakan modal ekonomi dan sosialnya untuk mengambil alih dan
mempelajari unsur-unsur budaya Bali (bahasa) agar mereka aman dan mampu
beradaptasi dengan lingkungan. Kemampuan beradaptasi dan kefasihan dalam
menggunakan bahasa Bali menyebabkan etnis Tionghoa ini dapat diterima oleh etnis
Bali sebagai anggota atau warga desa setempat dan menyebabkan hubungan yang
harmonis tetap dapat dipelihara sampai saat ini.
(4) Dinamika kuasa dalam aspek sosial ekonomi, yang dalam konteks itu sudah
pasti sulit dihindari dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di suatu tempat, termasuk
di Desa Pupuan. Masing-masing kelompok etnis yang ada tentu saja berusaha untuk
memenangkan kontestasi yang sedang dihadapi pada arena yang sama. Dalam
xxi
kontestasi ini, tampaknya etnis Tionghoa lebih unggul dan dapat memenangkan
pertarungan melawan etnis Bali pada ranah ekonomi. Buktinya, banyak ruko dan tanah
kebun atau persawahan di Desa Pupuan dan sekitarnya dimiliki oleh etnis Tionghoa.
Dalam pertarungan memperebutkan sumber daya ekonomi itu, etnis Tionghoa
menggunakan “strategi” untuk menghadapi hegemoni maupun dominasi etnis Bali.
Strategi itu digunakan oleh etnis Tionghoa untuk dapat memenangkan kontestasi dan
setidak-tidaknya masih dapat bertahan pada posisinya yang sekarang, dan ternyata
berhasil dengan baik. Kekuatan modal ekonomi itu, yang dimainkan oleh etnis
Tionghoa dalam kontestasi dengan etnis Bali sehingga etnis Bali dapat menerima
kehadiran etnis Tionghoa dan bahkan diajak menjadi warga (krama) desa pakraman
Pupuan. Oleh karena itu, kekuasaan di bidang ekonomi ikut menentukan terciptanya
harmoni atau kerukunan di Desa Pupuan sampai saat ini.
Ketiga, model pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali di
Desa Pupuan, Tabanan, Bali dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari
perspektif etnopedagogik, temuan di lapangan dilakukan oleh kedua etnis, yaitu
melalui berbagai media, di antaranya (1) media organisasi sosial kemasyarakatan,
seperti perkumpulan (sekaa) Truna-Truni (STT) ataupun Karang Taruna; (2) media
aktivitas sosial kemasyarakatan, seperti dengan model ngayahataupun dengan model
ngoupin: (3) model permainan tradisional; (4) media tradisi mesatua (bercerita); dan
(5) media ritual budaya di ruang publik, yaitu dapat digunakan untuk menanamkan
nilai-nilai kearifan lokal, seperti kebersamaan, gotong royong, dan persaudaraan.
xxii
Sementara itu,implikasi dan makna kehidupan harmonis di Desa Pupuan, yaitu
(1) terpeliharanya keharmonisan hidup di antara warga, baik etnis Tionghoa dan etnis
Bali di Desa Pupuan; (2) kebangkitan ritual budaya etnis Tionghoa pasca-Orde Baru;
dan (3) munculnya generasi peranakan etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sementara itu,
makna yang didapat dari kehidupan harmoni dalam relasi antaretnis Tionghoa dan
Etnis Bali di Desa Pupuan, di antaranya (1) makna sebagai medium mewujudkan
ketenangan lahir dan batin, dan (2) makna sosial ekonomis.
Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini, maka ada beberapa
temuan yang didapatkan, yaitu:
Pertama, adanya kepentingan, permainan kuasa, dan modal yang dilakukan
oleh etnis Bali yang mayoritas terhadap etnis Tionghoa yang minoritas dengan
menggunakan nilai-nilai kearifan lokal, seperti THK, Tat Twam Asi, Penyamabrayaan,
dan sebagainya sehingga nilai-nilai kearifan lokal itu adakalanya bersifat ambivalensi.
Akan tetapi, etnis Tionghoa juga tetap berupaya melakukan perimbangan hegemoni
dari etnis Bali dengan memainkan modal ekonomi dan sosialnya sehingga etnis
Tionghoa juga memiliki daya tawar yang cukup memadai untuk dapat diterima oleh
etnis Bali yang mayoritas. Dengan demikian, temuan pada intinya menunjukkan bahwa
kehidupan harmonis di Desa Pupuan Tabanan Bali antaretnis Tionghoa dan etnis Bali
dapat diwujudkan karena adanya permainan kuasa yang bersifat positif atau produktif,
sebagaimana dalam teori diskurkus kekuasaan/pengetahuan dari Foucault.
Kedua, dalam dinamika kuasa di balik harmonis itu ditemukan bahwa
terjadinya dinamika yang sangat dinamis dan bersifat mencair pada relasi antaretnis di
xxiii
Desa Pupuan akibat ada permainan kuasa (kekuasaaan) dari pihak internal (lokal)
ataupun eksternal (nasional) dengan proses negosiasi dan berdialog, seperti diteorikan
oleh Habermas yang dilakukan oleh para elite kedua etnis untuk menciptakan situasi
dan kondisi yang dikehendaki sehingga stabilitas kehidupan sosial dapat dipertahankan
atau kehidupan yang harmonis antaretnis pada masyarakat pluralistik dapat tercipta.
Ditemukan juga dalam konteks itu bahwa hegemoni yang terjadi di antara etnis
Bali dan Tionghoa bukan saja bersifat searah seperti teori Gramsci, yaitu etnis
mayoritas menghegemoni etnis minoritas. Akan tetapi, bersifat dua arah, yaitu dalam
arti adakalanya etnis Bali menghegemoni etnis Tionghoa pada aspek tertentu, dan
sebaliknya, adakalanya etnis Bali terhegemoni oleh etnis Tionghoa pada bidang
ekonomi.
Ketiga, dalam model pendidikan yang ditumbuhkembangkan oleh etnis yang
ada di Desa Pupuan ditemukan berbagai media yang cukup efektif digunakan untuk
menanamkan nilai-nilai kearifan lokal secara lokalitas sehingga melalui media tersebut
semua pihak dapat menumbuhkan kesadaran betapa indahnya hidup dengan
kebersamaaan, menyama braya, penuh toleransi dan saling menghargai satu sama
lainnya yang sesungguhnya menjadi kunci dari hidup harmonis dengan lingkungan
sosial sekitarnya. Dengan demikian, masyarakat Desa Pupuan dapat
mengaktualisasikan motto Bhinneka Tunggal Ika dan doktrin multikulturalisme dalam
kehidupan sosialnya.
Akhirnya berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa saran yang disampaikan
pada kesempatan ini, yaitu (1) penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti untuk
xxiv
kesempurnaanya, mengingat keterbatasan peneliti dalam berbagai hal dengan
mengambil beberapa perluasan wilayah kajian terhadap keberadaan etnis Tionghoa di
Bali, sehingga dapat memperkaya studi etnisitas sebagai salah satu topik yang menarik
dalam kajian budaya; (2) pengampu kebijakan agar terus melakukan pembinaan untuk
menjaga tetap terpeliharanya kehidupan harmonis antarwarga atau antaretnis dalam
masyarakat pluralis dan multikultur sehingga persatuan dan kesatuan berbangsa dan
bernegara dapat terwujud dalam menghadapi era globalisasi dewasa ini
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……………………………………………………………….. iLembar Pengesahan…………………………………………………………..iiLembar Penguji………………………………………………………………. iiiSurat Pernyataan Bebas Plagiat……………………………………………… iv
xxv
Ucapan Terimakasih…………………………………………………………. vAbstract……………………………………………………………………… viiiAbstrak………………………………………………………………………. ixRingkasan…………………………………………………………………….. xDaftar Isi…………………………………………………………………….... xxvDaftar Tabel………………………………………………………………….. xxxDaftar Gambar……………………………………………………………….. xxxiDaftar Bagan…………………………………………………………………. xxxiiDaftar Peta…..……………………………………………………………….. xxxiiiDaftar Istilah dan Singkatan………………………………………………….. xxxiv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………..………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………..13
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 13
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………….. 13
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………. 14
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………….... 14
1.4.1 Manfaat Teoretis………………………………………...... 15
1.4.2 Manfaat Praktis…………...………………………………. 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DANMODEL PENELITIAN.………………………………………….... 17
2.1 Kajian Pustaka………………………………………………….... 17
2.2 Penjelasan Konsep……………………………………………….... 42
2.2.1Kuasa di Balik Harmoni……………………………………..53
2.2.2 Etnografi Kritis ……………………………………………
2.2.3 Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali.....…………………… 61
2.2.4 Etnopedagogik… ………………………………………….. 66
2.3 Landasan Teori…………………………………………….............
52
48
47
43
53
55
xxvi
2.3.1Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu,..………………....……70
2.3.1.1 Habitus……………………………………………… 72
2.3.1.2 Ranah (Arena)………………………………………. 74
2.3.1.3 Modal………………………………………………..
2.3.1.4 Strategi……………………………………………… 77
2.3.2Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan dan GenealogiMichel Foucault……………………………………………
2.3.2.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan…………. 7
2.3.2.2 Genealogi………………………………………….. 83
2.3.3Teori Pendidikan Kritis dari Habermas, Foucault, dan PauloFriere……………….……………………………………….91
2.4 Model Penelitian…………………………………………………. 106
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………….….. 111
3.1 Rancangan Penelitian…………………………………………….. 111
3.2 Lokasi Penelitian…………………………………………………. 11
3.3 Jenis dan Sumber Data………………………………………….... 11
3.3.1 Jenis Data………………………………………………….... 11
3.3.2 Sumber Data………………………………………………… 115
3.4 Teknik Penentuan Informan……………………………………....1
3.5 Instrumen Penelitian…………………………………………….... 118
3.6 Metode Pengumpulan Data……………………………………….. 98
3.6.1 Teknik Wawancara Mendalam……………………………..118
3.6.2 Teknik Observasi Langsung..…………………………........ 119
3.6.3 Teknik Studi Dokumentasi………………………………....120
93
95
95
98
100
99
97
98
67
63
63
56
58
60
62
91
91
95
87
75
xxvii
3.6.4 Teknik Triangulasi ……………………………………. ….. 101
3.7 Teknik Analisis Data………………………………………………. 121
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian………………………………… 103
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………………….. 105
4.1 Kondisi Geografis Desa Pupuan………………………………… 105
4.2 Sejarah Desa Pupuan …………………………………………….. 126
4.3 Sejarah Keberadaan Etnis Tionghoa di Desa Pupuan……………. 111
4.4 Demografi Desa Pupuan…………………………………………. 127
4.5 Mata Pencaharian Penduduk Desa Pupuan..……………………... 129
4.6 Sistem Sosial Kemasyarakatan di Desa Pupuan …………………. 130
4.7 Struktur Pemerintahan Desa Dinas dan Desa PekramanDesaPupuan ………………………………………………………….... 137
4.8 Keadaan Penduduk Desa Pupuan Menurut Agama/Kepercayaan……………………………………………………….1
BAB V BUDAYA HARMONI ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN ETNISBALI DIDESA PUPUAN, TABANAN, BALI………...................... 148
5.1 Karakteristik Etnis Tionghoa……………………………………... 148
5.2 Karakteristik Etnis Bali…………………………………………... 151
5.3 Berbagai Alasan Penyebab Terciptanya Harmoni……………….. 152
5.3.1 Tri Hita Karana (THK) Sebagai Ideologi Hegemonik………
5.3.2 Nilai Kearifan Lokal Menyama Braya…….………….......... 1
5.3.3Perkawinan Lintas Etnis (Amalgamasi)..……….………….. 18
5.3.4 Permainan Modal…………………………………………... 186
5.3.5 Pengalaman Sejarah………………………………………… 190
107
101
130
137
145
169
157
154
xxviii
5.3.6 Peran Negara (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Daerah…. 215
5.3.6.1 Desa Pakraman……………………………………. 216
5.3.6.2 Desa Dinas……………………………………........ 205
BAB VI DINAMIKA KUASA DI BALIK HUBUNGAN HARMONISDALAM KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DAN BALI DI DESAPUPUAN, TABANAN, BALI ………..…………………….. ...…… 249
6.1 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Agama dan Keyakinan…………..
6.2 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Politik………………. …………..
6.3 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Sosial Budaya……………………
6.4 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Sosial Ekonomi…………………. 286
BAB VII PERSPEKTIF ETNOPEDAGOGIK PADA MODEL PENDI-DIKAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS BALI
DI DESA PUPUAN, TABANAN, BALI………………………….
7.1 Media Organisasi Sosial Kemasyarakatan……………………….. 322
7.2 Media Aktivitas Sosial Kemasyarakatan…………………………. 331
7.3 Media Permainan Tradisional…………………………………….. 337
7.4 Media Tradisi Mesatua…………………………………………… 340
7.5 Media Ritual Budaya di Ruang Publik…………………………… 334
7.6 Implikasi dan Makna Kehidupan Harmonis di Desa Pupuan……………
7.6.1 Terpeliharanya Keharmonisan Di antara Warga dari EtnisTionghoa dan Etnis Bali di Desa Pupuan…………………... 350
7.6.2 Kebangkitan Ritual Budaya Etnis Tionghoa Pasca Orde Barudi Desa Pupuan……………………………………….…….. 354
7.6.3 Munculnya Generasi Peranakan Etnis Tionghoa di DesaPupuan Tabanan Bali ………………...…………………….. 357
7.6.4 Makna Kehidupan Harmoni dalam Relasi Antaretnis Tionghoa
320
219
216
224
247
235
338
334
306
274
298
291
312
316
323
326
331
xxix
etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali…………………… 36
7.6.4.1 Makna sebagai Medium Mewujudkan KetenanganLahir dan Bathin………………………………………
7.6.4.2 Makna Sosial Ekonomis………………………....................
BAB VIII SIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN………………………….... 345
8.1 Simpulan….…………………..……………………………............... 343
8.2 Temuan Penelitian…………………………………………………… 348
8.3 Saran……..…………………………………………………………... 350
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
338
340
xxx
DAFTAR TABEL
4.1 Keadaan Penduduk Desa Pupuan Tahun 2015…..……………………………..128
4.2 Jumlah Kepala Keluarga (KK) Desa Pupuan Tahun 2015……………………..129
4.3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Pupuan Tahun 2015..……………………...130
4.4 Jumlah Marga (Shee) Etnis Tionghoa Desa Pupuan Tahun 2015..…………….134
4.5 Keadaan Penduduk Desa Pupuan Berdasarkan Agama..……………………….146
xxxi
DAFTAR GAMBAR
4.1 Bale Kulkul di Pura Puseh Desa Pakraman Pupuan…………………………..126
4.2 Makam dari Marga (Shee) Kang di Kuburan Etnis Tionghoa di Desa
Pupuan…………………………………………………………………………135
4.3 Dua Kuburan dari Etnis Tionghoa dan Etnis Bali Berdampingan……………..145
6.4 Pintu Utama Masuk ke Vihara Dharma Giri di Desa Pupuan…………………269
6.5 Salah Satu Tugu Prasasti Asoka di Vihara Dharma Giri Desa ………………..270
7.6 Rejang Ayunan……………………………………………...………………..315
xxxii
DAFTAR BAGAN
2.1 Model Penelitian…………………………………………………………...……87
3.2 Analisis Data Model Interaktif………………………………………………...103
4.1 Struktur Organisasi Pemerintah Desa Pupuan…………………………………118
4.2 Struktur Organisasi Desa Pakraman Desa Pupuan……………………………140
4.3 Struktur Kepengurusan Organisasi Karang Semadi…………..……………….143
xxxiii
DAFTAR PETA
4.1 Pulau Bali…………………….………………………………………………...105
4.2 Wilayah Desa Pupuan……….…………………………………………............105
xxxiv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
ISTILAH
agensi : kapasitas atau kemampuan seseorang atau kelompok/institusiuntuk bertindak dan melakukan perubahan yang terbentuksecara sosial
awig-awig : aturan yang dibuat oleh krama oleh desa pakraman yangdijadikan pedoman dalam melaksanakan Tri Hita Karana
banten : bentuk atau wujud sebagai perlengkapan ritual dalamhinduisme
banjar : pengelompokan sosial dalam masyarakat yang lebih kecil daridesa adat dan sekaligus menjadi bagian dari desa adat
banjar pakraman : kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desaparaman
bendesa : sebutan seorang kepala desa adat di Bali
cacakan banjar : masuk hitungan sebagai anggota banjar
cap go meh : sebagai puncak perayaan Tahun Baru Imlek (Sin Cia) yangjatuh pada Tanggal 15 Cia Gwee atau bulan pertamapenanggalan/Tarikh Khongcu
cetya : tempat sembahyang yang ada di rumah masing-masing etnisTionghoa
xxxv
cengbeng (cingbing) : ritual tahunan etnis Tionghoa melakukan ziarah kekuburanleluhur/keluarga
confucianisme : sebutan terhadap ajaran Khong Hu Cu yang diberikan olehorang-orang Eropa. Confucianisme juga berisi ajaran yangterdiri dari (1)ajaran tentang pemujaan terhadap Tuhan(Thian) dan Thian dianggap sama dengan alam semesta;(2)ajaran tentang pemujaan terhadap leluhur, pemimpin negarayang satu dan loyalitas tertinggi terhadap negeri leluhur; dan(3) penghormatan terhadap mahaguru Khong Hu Cu
confucianist : sebutan bagi pengikut ajaran Khong Hu Cu
cu man cu : sebuah motto dalam ajaran Khong Hu Cu yang berarti hidupharus kaya, sedangkan kekayaan untuk hidup
dekonstruksi : membongkar dan membangun kembali dalam bentuk narasiatau bentuk lainnya sebuah konsep yang dikembangkan olehDerrida
desa, kala, patra : berarti disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan
desa pakraman : kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki satukesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup secara turuntemurun dalam ikatan Tri Kahyangan yang memiliki wilayahdan kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganyasendiri
diaspora : sebuah konsep yang digunakan untuk menunjukkan gejalajejaring manusia yang terhubung secara etnis dan kulturalyang tersebar sehingga sering dipadankan dengan konsepmigrasi, ketersebaran dari lokasi asal
diskursus : wacana menyatukan bahasa dan praktik yang merujuk padasejumlah aturan untuk berbicara subjek dan praktik untuk
xxxvi
mendapatkan makna. Secara sederhana wacana adalahsekumpulan teks atau tuturan yang memiliki arti
dresta : pandangan suatu masyarakat yang masih dipertahankansebagai warisan leluhurnya dalam tatakrama yang berlaku dimasyarakat
etnisitas : konsep tentang diri dan orang lain yang sengaja dikonstruksisecara diskursif dengan tujuan membagi nilai, norma, praktik,simbol dan artefak sehingga konsep etnisitas terkait eratdengan konsep ras tetapi etnisitas lebih bernuansa kulturalyaitu lebih berpusat pada kesamaan kepercayaandan praktik-praktik kultural
etnografi : sebuah pendekatan emperis sekaligus teoretis yang merupakanturunan Dari antropologi, yang bertujuan untuk menghasilkandeskripsi yang mendetail dan holistic serta analisis budayadengan kerja lapangan yang intensif
habitus : seperangkat nilai-nilai, praktik-praktik dan kecenderunganbatin yang menjadi kebiasaan tertanam pada seseorang,sebuah konsep dari Bourdieu
hegemoni : konsep yang dikembangkan oleh Gramsci yang mengandungpengertian pihak yang berkuasa melakukan ororitas sosial dankepemimpinannya terhadap kelas di bawahnya melaluikombinasi kekuatan dan mengutamakan persetujuan
hermeneutika : upaya filosofis untuk menemukan sebuah makna dalam teksmelalui tafsir
hibriditas : konsep dari Bhaba tentang perpaduan dua budaya yang sulitdikenali asal usulnya dan melahirkan idenditas baru
xxxvii
hoki : konsep keberuntungan dan nasib baik dalam kepercayaanTionghoa
hong sui : kepercayaan pada etnis Tionghoa pada faktor-faktor alamiahyang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia
hopeng : cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha padakepercayaan etnis Tionghoa
ideologi : sebagai ide-ide, gugus makna yang mengikat dan menjadidasar pembenaran dari semua kelompok sosial
imlek : perayaan Tahun Baru etnis Tionghoa yang juga disebut SinCia
inlander : sebutan untuk Bumiputra zaman kolonial Belanda
kasinoman : sebutan Juru arah dalam struktur desa adat di Bali
kelihan : sebutan peminpin adat pada desa pakraman
kelihan banjar adat : kepala banjar adat yang berada pada lingkungan desapakraman
kertha desa : dewan penasehat yang duduk pada struktur desa pakraman
kidung : nyanyian suci pada etnis Bali yang biasanya menggunakansekar madya
konco : tempat sembahyang etnis Tionghoa untuk mermuja DewaKong
xxxviii
khong hu cu : seorang ahli pikir bangsa Cina yang hidup pada tahun 551s.M- 479 s. M
krama : anggota atau warga desa pakraman/ banjar adat
krama desa/banjar : mereka yang menempati karang desa pakraman/banjarpakraman yang menjadi warga desa pakraman/banjarpakraman
krama wed : penduduk asli
krama tamiu : penduduk pendatang
kulkul : alat komunikasi tradisional dibuat dari kayu yangdisebutkentongan
lotiah : sebutan untuk kepala kampung bagi etnis Tionghoa
lauchu : ketua pelaksana ritual Ceng Beng setelah dilakukanpelemparan siopwe
melasti : melakukan pembersian pratima (simbol para stana dewa) kepantai
menyama braya : mengembangkan sikap persaudaraan
mimikri : konsep yang dikembangkan oleh K.Bhaba yang berartipeniruan (imitasi)
nan-yang: laut selatan
xxxix
odalan : upacara yang dilakukan untuk memperingati pendiriansebuah tempat suci (pura) yang biasanya berdasarkanperhitungan wewukon atau sasih
palemahan : istilah dari unsur Tri Hita Karana yang mengatur hubunganantara krama dengan lingkunan atau wilayah di desapakraman
parahyangan : istilah dari unsur Tri Hita Karana yang mengatur hubunganantara krama dengan Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa)
pararem : keputusan yang diambil setelah melalui rapat yang disebutsangkepan oleh desa pakraman
pawongan :istilah dari unsur Tri Hita Karana yang mengatur hubunganantarkrama
pecinan : sebutan untuk kampung etnis Tionghoa
pemangku : seorang rohaniawan Hindu yang masuk dalam kelompokPinandita
penjor : salah satu sarana ritual (upakara) sebagai simbol GunungAgung
perbekel : sebutan untuk kepala desa dinas di beberapa desa di Bali
petajuh : sebutan untuk seorang wakil dari kepala desa adat di Bali
petengen : istilah pada struktur desa adat di Bali yang berperan sebagaibendahara
xl
penyarikan : juru tulis (sekretaris) pada struktur desa adat di Bali
prajuru desa pakraman: pengurus desa pkraman di Provinsi Bali
ruang publik : ruang untuk menyampaikan argument dan debat publik secarademokratis yang diberikan kepada publik untuk mengaturdirinya sendiri dan opini publik terbentuk
rwa bhineda : dua yang berbeda tetapi saling melengkapi
sanggah : disebut juga merajan adalah tempat suci yang ada padakeluarga
sekaa : pengelompokan sosial yang mempunyai tujuan tertentu dalamusaha bersama
shee : istilah marga pada etnis Tionghoa
siopwe : sebagai sarana mediasi rokh para dewa untuk menentukanhari baik atau untuk menentukan siapa keluarga yangmendapatkan mandate utama
stereotif : representasi untuk mereduksi orang menjadi seperangkatsifat-sifat dasar yang berlebihan dan cenderung bersifatnegatif
tanah ayahan desa : tanah milik desa pakraman baik yang berada di dalam dan diluar desa pakaraman
taoisme : ajaran tentang Tao, yang diciptakan oleh seorang ahli bangsaCina yang bernama Lao Tse (lapal Wade lama) atau TjongTjoe (lapal Hokkian) yang hidup pada tahun 369 s.M-286 s.M
xli
taoist : sebutan atau istilah bagi para pengikut atau penganut Taoisme
tao/too : “jalan” dalam konteks mencari hidup utama yang sebenarnyasehingga terwujud keselarasan
tauke : anggota panitia pelaksana pelaksanaan Ceng Beng yangjumlahnya sembilan orang
teruna teruni : sebutan muda-mudi pada desa pakraman di Bali
timur asing : sebutan terhadap kelompok Etnis Tionghoa, Arab dan Indiadalam struktur sosial zaman kolonial Belanda
totok : murni (asli) tanpa campuran untuk membedakan etnisTionghoa Peranakan
tunggal kawitan : ketunggalan silsilah dalam hubungan kekerabatan
volksschool : sekolah desa
volksraad : dewan rakyat
wijk : kampung khusus
xlii
SINGKATAN
AGIL : adaptation, goal,intergration and latent pattern
ASEAN : association of southeast asian nations
BPD : badan permusyawaratan desa
GAM : gerakan aceh merdeka
Kepres : keputusan presiden
Gestok : gerakan satu oktober
G30S : gerakan tiga puluh september
Gestapu : gerakan september tiga puluh
HAM : hak azasi manusia
Inpres : instruksi presiden
IS : indishe staatsreglering
Kaur : kepala urusan
Keppres : keputusan presiden
KK : kepala keluarga
KBBI : kamus besar bahasa indonesia
KTP : kartu tanda penduduk
LPM : lembaga pemberdayaan masyarakat
MPRS : majelis permusyawatan rakyat sementara
NKRI : negara kesatuan republik indonesia
OPM : organisasi papua merdeka
ORBA : orde baru
ORLA : orde lama
PP : peraturan pemerintah
xliii
PKI : partai komunis indonesia
RR : regeerings reglement
RRC : republik rakyat china
RRT : republik rakyat tiongkok
RT : rukun tetangga
RW : rukun warga
SARA : suku, agama, ras dan antargolongan
SDA : sumber daya alam
SDM : sumber daya manusia
STT : sekaa truna truni
THK : tri hita karana
THHK : tiong hoa hwe kwan
WNA : warga negara asing
WNI : warga negara indonesia
VOC :verenigde oost indische compagn
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu negara kepulauan
terbesar di dunia dengan jumlah 14.000 pulau tersebar di sepanjang Khatulistiwa
dansecara demografi didiami oleh beragam etnis (suku bangsa), yaitu sekitar 300 suku
bangsa yang memiliki identitas kebudayaan sendiri sehingga disebut multietnik yang
bercirikan keragaman budaya (Warmaen, 2002: 3-17). Indonesia dengan kondisi itu maka
dikatakan sebagai bangsa yang majemuk, artinya bangsa yang terdiri atas aneka ragam
etnis (suku bangsa), beraneka ragam agama dan keyakinan, berbeda latar belakang
sejarah, dan kebudayaan daerah. Dalam kemajemukan etnis tersebut terdapat, antara lain,
etnis keturunan Tionghoa, Arab, dan India sehingga Indonesia berasaskan pada motto:
“Bhinneka Tunggal Ika”.
Bali sebagai salah satu wilayah dari NKRI sering dipandang oleh pihak luar
sebagai pulau yang didiami oleh satu etnis (monoetnis), yaitu etnis Bali, sebab diakui
bahwa penduduk Bali mayoritas beragama Hindu dan mayoritas didiami oleh etnis Bali,
tetapi dalam realitasnya Bali bersifat multienis.
Salah satu etnis yang ada di Bali adalah etnis Tionghoa yang mayoritas dari suku
Hokkian dan keberadaannya di Bali sudah cukup lama, yaitu antara Abad VII-IX Masehi
(Ardika, 2008: 52-53). Selanjutnya, dikatakan oleh Ardika (2008) bahwa etnis Tionghoa
2
pada umumnya ada yang tinggal di perkotaan dan ada juga ada yang tinggal di perdesaan.
Etnis Tionghoa yang tinggal di perkotaan umumnya kurang bergaul dengan masyarakat
lokal dan cenderung bersifat eksklusif. Sementara itu, etnis Tionghoa yang tinggal di
perdesaan justru sebaliknya yaitu sudah menyatu dengan masyarakat lokal sehingga
untuk kasus di Bali etnis Tionghoa tersebar hampir di seluruh wilayah di Bali, seperti
Kintamani, Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Sukawati, dan
Menangaberprofesi sebagai pedagang dan ada sebagai petani (Ardika, 2008: 54).
Etnis Tionghoa yang hidup harmonis dengan etnis Bali menarik untuk dikaji,
sebab di luar Bali justru hubungan etnis ini menunjukkan kecenderungan tidak harmonis
sehingga sering terjadi konflik yang berujung pada tindak kekerasan terhadap etnis
Tionghoa yang dilakukan oleh etnis non-Tionghoa (Purday, 2013: 255-256). Keberadaan
etnis Tionghoa di pedesaan (Desa Pupuan) menarik juga dikaji sebab bersifat kontradiksi
jika dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 tanggal 14 Mei 1959, yang
isinya adalah melarang golongan keturunan etnis Tionghoa melakukan aktivitas
perdagangan dan menetap di kota kecil atau pedesaan di luar ibukota kabupaten. Namun,
dalam realitasnya etnis Tionghoa ini juga ada yang bermukim dan membuka usaha di
perdesaan termasuk di Desa Pupuan dan sekitarnya.
Keberadaan etnis keturunan Tionghoa di Desa Pupuan menarik untuk dikaji lebih
jauh dengan terjadinya tragedi nasional pada tanggal 30 September 1965 yang dikenal
dengan G 30 S. Peristiwa ini juga sering disebut Gestapu atau Gestok yang disinyalir
dibidani oleh Partai Komunis. Dalam konteks itu,etnis Tionghoa dianggap ikut
bertanggung jawab sehingga muncul kesan stereotip kepadanya yang menyebabkan
3
ketegangan, tetapi dapat diselesaikan dengan negosiasi para tokoh atau elite etnis
Tionghoa dan etnis Bali. Sejak itu pula etnis Tionghoa mulai meningggalkan kepercayaan
leluhurnya dan memeluk agama Hindu.
Konversi agama itu dilakukan seiring dengan tindakan diskriminatif terhadap
etnis Tionghoa oleh rezim Orde Baru seperti dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 14 Tahun 1967 yang berisi pelarangan penggunaan adat istiadat, budaya, agama,
kepercayaan bagi etnis keturunan Tionghoa yang menyebabkan etnis Tionghoa di Desa
Pupuan meninggalkan budaya dan kepercayaan leluhurnya. Etnis ini akhirnya memilih
untuk memeluk agama Hindu dan menjadi anggota desa pakramanyang diterima dengan
baik oleh etnis Bali. Masuknya etnis Tionghoa pada salah satu simbol identitas etnis Bali,
tetapi tidak menimbulkan konflik dan justru diterima dengan baik sehingga terwujud
kehidupan yang harmonis. Fenomena ini perlu dikaji lebih jauh dari perspektif kajian
budaya.
Kehidupan berbangsa dan bernegara di era Reformasi 1998 tampak mulai ada
perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai hal dan lebih demokratis. Etnis
Tionghoa di era Reformasi ini mulai menapak sebuah harapan baru, dalam arti dapat
dengan lebih leluasa/bebas berekspresi dalam kebudayaan etnisnya sejak dikeluarkannya
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000 tertanggal 17 Januari 2000 oleh Presiden
KH. Abdurrahman Wahid, yang populer dengan nama Gus Dur.
Inpres itu berisi tentang penetapan Imlek sebagai hari libur fakultatif dan
memperjuangkan hak warga Tionghoa atas kepercayaan Khonghucu sebagai salah satu
aliran kepercayaan di Indonesia dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 produk
4
ORBA yang berkuasa selama 32 tahun yang dianggap sangat diskriminatif terhadap etnis
Tionghoa.Berdasarkan atas Inpres itu maka Gus Dur sangat dihormati dan diberi gelar
perhormatan sebagai “Bapak Tionghoa” di Indonesia (Hamid, 2010: 97-98).
Di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri juga dikeluarkan
kebijakan resmi pemerintah, yaitu dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur
Nasional berdasarkan Inpres No.19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang berlaku
nantinya pada Tahun Imlek 2003. Pengakuan tentang keberadaan yang terpenting dari
etnis keturunan Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, yaitu ketika pemerintah RI di
bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Agama Khonghucu sebagai
agama resmi yang berkembang di Indonesia bertepatan dengan perayaan Imlek Nasional
ke-2557 pada tanggal 4 Februari 2006 (Hadi, 2009: 51-71).
Kebijakkan pemerintah yang semakin demokratis di era Reformasi seperti
diuraikan di atas menyebabkan etnis Tionghoa mulai semakin berani menunjukkan
kebebasannya berekspresi di bidang budaya dan keyakinanannya (kepercayaannya)
dandisambut sangat antusias serta meriah oleh etnis keturunan Tionghoa di seluruh
Indonesia termasuk di Desa Pupuan
Keadaanyaberbeda sekali, sebab sejak zaman kolonial, pascakemerdekaan, baik
zaman Orde Lama (ORLA) maupun zaman Orde Baru (ORBA), etnis Tionghoaselalu
didiskriminasikan dan dipasung kebebasannya dalam menunjukkan eksistensinya sebagai
salah satu etnis di Indonesia. Fakta tersebut adalah sebagai pertanda dan penanda bahwa
pemerintah RI mengakui eksistensi etnis Tionghoa beserta kebudayaannya sebagai
bagian integral dari budaya Indonesia.
5
Di era Reformasi ini pula etnis Tionghoa dapat dengan leluasa menunjukkan
identitas etnisnya melalui penguatan-penguatan simbol kulturalnya, seperti dibangunnya
Vihara Dharma Giri pada tahun 1990-an.Walaupun secara formal tentang data
kependudukan (KTP) tetap dengan identitas agama/keyakinan Hindu, dalam praktiknya
ke agama lain, yaitu Budha. Dengan demikian, etnis ini lebih banyak pergi ke wihara atau
koncho daripada ke pura (Trikahyangan) yang ada di Desa Pupuan dan sangat berbeda
dengan era sebelum Reformasi di Indonesia. Walaupun demikian, tidak ada konflik yang
mencolok di lapangan dan sekali lagi menunjukkan hubungan atau relasi yang harmonis
pada kedua etnis bersangkutan sampai saat ini sehingga hal tersebut menarik juga untuk
dikaji lebih jauh.
Kehidupan yang harmonisdi Desa Pupuan dapat dibuktikan dengan adanya
perkawinan campuran (lintas etnis) yang bersifat eksogami, dalam arti dapat menikah
dengan etnis lain di luar etnis Tionghoa. Padahal, etnis Tionghoa memiliki kebudayaan
tersendiri sebagai simbol identitasnya yang mengutamakan perkawinan satu etnis. Begitu
juga etnis Bali memiliki budaya dengan simbol identitas yang berbeda, tetapi dapat saling
menerima.
Di lokasi penelitian (Desa Pupuan), informasi yang didapatkan, yaitu ada sekitar
sepuluh orang yang melakukan perkawinan lintas etnis, baik dari etnis Bali maupun etnis
Tionghoa. Hal tersebut menarik dikritisi sebab terjadi ketidaklaziman dalam perkawinan
etnis Tionghoa yang pada umumnya dilakukan dengan sesama etnisnya tetapi di lokasi
penelitian (Desa Pupuan) justru yang terjadi berbeda yaitu perkawinan lintas etnis
(Vasanty, 1987: 351-370).
6
Bukti lain yang menunjukkan keharmonisan itu adalah etnis Tionghoa juga masuk
menjadi anggota (krama) desa pakraman dan diterima dengan baik oleh etnis Bali
sehingga tidak menimbulkan konflik di desa pakraman di Desa Pupuan. Di samping itu
etnis Tionghoa juga mendirikan sanggah, Jro Gede dan Taksu yang berdampingan
dengan simbol-simbol kepercayaan etnis Tionghoa seperti caitya, ataupun konco dalam
rumahnya. Masuknya etnis Tionghoa pada salah satu simbol identitas etnis Bali, yaitu
desa pakraman, tentu juga menarik dikaji sebab etnis Tionghoa juga memiliki
kebudayaan sendiri sebagai simbol identitasnya (Sutjiati Beratha, Ardika, dan Dhana,
2010: 1-3).
Kajian tentang perkawinan lintas etnis yang dianggap tidak lazim dalam etnis
Tionghoa dan diterimanya etnis Tionghoa oleh etnis Bali dalam desa pakraman tanpa ada
penolakan sehingga tidak menimbulkan konflik (tetap harmonis). Hal itu sangat penting
dikaji lebih dalam untuk mengetahui ada apa di balik itu, padahal sangat kontradiktif atau
bertentangan dengan kultur yang dianut oleh masing-masing etnis tetapi tetap saja dapat
berlangsung.
Etnis Tionghoa yang masuk menjadi anggota desa pakramandapat dipandang
sebagai suatu fenomena tentang relasi antarwarga masyarakat dengan suatu kelompok
sosial tertentu yang dalam hal ini adalah krama desa pakraman. Menurut Susanto (1985:
37-38), suatu kelompok sosial terbentuk disebabkan ada suatu harapan yang dimiliki oleh
setiap anggotanya dan salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan yang bersifat
psikologis untuk memiliki dan digolongkan pada suatu kelompok sebagai tempat untuk
berlindung dan merasa aman. Selanjutnya, Susanto (1985) juga mengatakan bahwa suatu
7
kelompok juga merupakan kesatuan ekologi yang terbentuk melalui perhimpunan orang
yang menempati suatu daerah tertentu dalam jangka waktu yang cukup lama dan
mengalami integrasi sebagai akibat memiliki hubungan sosial ekonomi.
Berdasarkan pandangan itu maka perlu dikaji lebih jauh apakah fenomena sosial
tersebut terjadi didorong oleh berbagai alasan di antara kelompok yang berinteraksi.
Kajian ini dianggap menarik dan penting dilakukan karena masyarakat Indonesia yang
majemuk (pluralis) bersifat ambivalensi, yaitu di satu sisi kemajemukan itu menjadi
sebuah kebanggaan, tetapi di lain sisi sangat memprihatinkan. Membanggakan karena
kemajemukan memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi asset bangsa dalam
pembangunan seperti pembangunan pariwisata yang mengandalkan potensi budaya yang
berwarna- warni, dan menurut Sutjiati Beratha, Ardika, dan Dhana (2010: 2) disebutnya
sebagai mozaik kebudayaan.
Sebaliknya, dikatakan memprihatinkan sebab kondisi yang pluralis itu sering
menimbulkan berbagai persoalan seperti konflik di berbagai tempat di tanah air yang pada
dasarnya dipicu oleh adanya pertikaian (konflik) antaretnis termasuk di dalamnya berasal
dari etnis keturunan Tionghoa yang sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh
etnis non-Tionghoa (Purdey, 2013: 255-256).Konflik antaretnis seperti diuraikan oleh
Purdey itu justru dapat mengganggu upaya pencapaian integrasi nasional secara optimal
sebagaimana yang ditulis oleh Koentjaraningrat (1993) dan Atmadja (2008).
Harmoni adalah sesuatu yang dicita-citakan (diidealkan) oleh semua orang dalam
kehidupan bermasyarakat. Terciptanya harmoni itu tidak bersifat “given” (terberi atau
diterima) begitu saja, tetapi terbentuk melalui proses (sejarah) yang cukup panjang dan
8
perlu diperjuangkan. Dengan demikian,dalam proses terbentuknya hubungan yang
harmonis antara etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan tampaknya perlu dikaji
lebih jauh untuk mengetahui dan memahami tentang dinamika kuasa dalam kehidupan
yang sesungguhnya terjadi di antara kedua etnis tersebut.
Etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan,walaupun diakui secara kasat mata
ditemukan bahwa kedua etnis yang berbedadapat dan mau bekerjasama dalam suatu
aktivitas sosial tertentu, sesungguhnya belum tentu etnis bersangkutan selalu bersikap
egaliter dan menghormati satu dengan yang lainnya. Hal tersebut didasarkan pada
pandangan Foucault (dalam Bertens, 2014: 310-316) yang mengatakan bahwa kekuasaan
ada di mana-mana sehingga di manapun hubungan atau relasi sosial selalu ada nuansa
kekuasaan dan di antara pihak-pihak yang berinteraksi itu ada upaya saling menguasai
atau mendominasi. Foucault juga mengatakan bahwa siapa yang memiliki pengetahuan
sekaligus memiliki kekuasaan.
Pandangan Foucault tersebut mengindikasikan bahwa kedua etnis yang ada di
Desa Pupuan memainkan pengetahuan atau kekuasaannya dalam kontestasi di lapangan
untuk tetap mempertahankan posisinya masing-masing sehingga perlu dibuktikan
kebenaran dari teori tersebut. Jika teori itu benar maka perlu dibuktikan dan dikritisi
apakah pihak yang dikuasai mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, hegemonik,
dan bahkan kekerasan fisik dari kelompok dominan di lapangan melalui penelitian ini.
Demikian juga kehidupan harmonis yang ada di Desa Pupuan jika mengacu pada
pandangan Bourdieu (1930-2002) maka tidak menutup kemungkinan dapat tercipta atau
terwujud disebabkan oleh adanya permainan salah satu modal,yaitu modal kuasadalam
9
suatu arena (ranah) yang dilakukan oleh etnis dominan atau mayoritas untuk tetap dapat
menghegomoni etnis minoritas (etnis Tionghoa) agar etnis mayoritas (etnis Bali) tetap
pada posisi supraordinat sehingga etnis minoritas tetap pada posisi subordinat.
Etnis Bali sebagai etnis mayoritas juga dapat memainkan habitusnya seperti
pandangan Bourdieu bahwa pada tataran ranah atau arena, etnis mayoritas dengan modal
simbolik yang dimilikinya dapat dimainkannya terhadap kelompok lain dalam hal ini
etnis minoritas, yakni etnis Tionghoa, sehingga konsensus atau harmoni tetap bisa terjaga
(ajeg). Sementara itu, jika merujuk pada pandangan ataupun teori Talcott Parsons, yaitu
Teori Tindakan (Upe, 2010: 115-126) yang diistilahkan oleh Parsons dengan AGIL
(Adaptation, Goal, Integrationdan Latent Pattern) dikatakan bahwa stabilitas masyarakat
tetap eksis (harmonis) jika memenuhi persyaratan fungsional.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikaji atau dikritisi lebih lanjut apakah di
antara kedua etnis di Desa Pupuan dalam merajut hubungan yang serasi, selaras, dan
seimbang untuk terciptanya sebuah kehidupan yang harmoni sampai saat ini ada atau
tidak ada permainan kuasa yang terjadi sehingga diharapkan akan ditemukan suatu
dinamika kehidupan kedua etnis itu yang terjadi selama ini.
Harmoni sebagai keharusan sosial dapat pula dibentuk melalui model pendidikan,
baik pendidikan bersifat tradisional maupun bersifat modern melalui pedidikan formal
(persekolahan). Pendidikan tradisional itu dapat berlangsung di dalam keluarga yang
disebut pendidikan informal dan dapat berlangsung di masyarakat yang disebut
pendidikan nonformal. Dalam pendidikan keluarga (informal) ataupun pendidikan di
masyarakat (nonformal) diberikan oleh orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat tentang
10
berbagai hal yang berbubungan dengan kearifan lokal sehingga sering disebut model
pendidikan etnopedagogik. Melalui model pendidikan etnopedagogik ini dapat
ditumbuhkembangkan nilai-nilai kearifan lokal sehingga dapat diinternalisasikan dan
selanjutnya disosialisasikan oleh masing-masing individu dan kelompoknya untuk saling
menjaga kerukunan atau harmoni tersebut.
Dengan demikian, pendidikan itu pada hakikatnya dapat dipandang sebagai
ideologisasi, yaitu proses penanaman ideologi. Pendidikan itu juga tidak bisa lepas dari
nuansa politis, ideologis, dan setrategis. Oleh karena itu, apakah terciptanya keadaan yang
harmonis di Desa Pupuan dipengaruhi oleh praktik atau penerapan model pendidikan
etnopedagogik yang dilakukan oleh kedua etnis, yakni etnis Tionghoa dan etnis Bali.
Atas dasar itu maka dipandang perlu ada kajian lebih lanjut untuk menemukan
bagaimana model pendidikan yang dipraktikkan oleh kedua etnis tersebut dalam upaya
menanamkan gagasan atau ideologi berupa kearifan lokal (etnopedagogik) kepada
keluarga terdekat atau generasinya agar dapat tetap hidup berdampingan dengan damai,
rukun (harmonis) dalam masyarakat yang multikulturalisme.
Pengkajian topik dalam disertasi ini juga dipandang amat penting dilakukan
didasarkan pada asumsi bahwa ada seperangkat nilai dan norma yang dijadikan pedoman
dalam bertindak oleh kedua etnis di Desa Pupuan dalam menjaga kehidupan yang
harmonis, yaitu berupa nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini terlupakan dari studi-
studi yang dilakukan oleh para peneliti. Nilai-nilai kearifan lokal yang masih bertahan
dan berkembang pada komunitas yang berbeda etnis (di Desa Pupuan) itu nantinya dapat
11
dijadikan rujukan untuk disebarluaskan atau disosialisasikan ke daerah-daerah rawan
konflik yang dipicu oleh perbedaan etnis di seluruh Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, pembicaraan tentang etnisitas menjadi penting sebab
dalam beberapa tahun terakhir ini hampir setiap konflik yang terjadi di berbagai daerah
selalu melibatkan etnis (Purday, 2013: 255-256; Rahardjo, 2005: 5). Bahkan, di era global
ini budaya-budaya lokal yang bersifat keetnisan semakin menguat dan penguatan ini akan
dapat menjadi petaka yang melahirkan konflik antarbudaya yang tidak terselesaikan
(Huntington, 2002: 227).
Dengan demikian, kajian disertasi ini yang sejatinya juga bersinggungan
denganetnisitas menjadi penting dilakukan untuk mendapatkan sebuah potret atau
gambaran mengapa di Bali, dalam hal ini Desa Pupuan dapat tercipta sebuah harmoni
yang relatif stabil, sedangkan di luar daerah Bali amat paradoks. Melalui kajian ini
diharapkan ditemukan suatu formula atau resep yang dapat disosialisasikan untuk
mencegah terjadinya konflik antaretnis dan hal-hal yang tidak diinginkan dalam rangka
mengelola pluralitas dengan berpedoman pada motto “Bhinneka Tunggal Ika” dan
doktrin multikulturalisme.
Studi etnisitas memang diakui sudah banyak dilakukan oleh ilmuan sosial
humaniora terhadap etnis Tionghoa yang ada di daerah perkotaan. Namun,studi etnisitas
khususnya etnis Tionghoa yang ada di wilayah pedesaan masih jarang dilakukan padahal
jika dilakukan pengkajian lebih dalam tidak kalah menariknya seperti yang dikemukakan
oleh Habib (2004: 1-13).
12
Sejalan dengan pandangan Habib tersebut maka penelitian terhadap etnis
Tionghoa di Desa Pupuan dipandang masih perlu dilakukan. Kajian ini menurut
pandangan peneliti menjadi semakin penting dan menarik untuk didalami di tengah-
tengah munculnya disintegrasi bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa belakangan
ini yang menjadi isu atau permasalahan nasional terutama mengenai masalah integrasi
antaretnis, yang disoroti dari perspektif kajian budaya (cultural studies).
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan tiga masalah yang
perlu dikaji dalam penelitian disertasi ini, yaitu:
1) Mengapa etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali
dapat hidup berdampingan secara harmonis ?
2) Bagaimana dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan
etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali?
3) Bagaimana model pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan
etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali dalam menciptakan hubungan
harmonis dari perspektif etnopedagogik?
1.3Tujuan Penelitian
13
Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan yang diharapkan dapat dicapai dan
secara garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) tujuan yang bersifat umum,
dan (2) tujuan yang bersifat khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami kuasa di balik
harmonitentangrelasi etnis Tionghoa danetnis Bali di Desa Pupuan,Tabanan,Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1) mengetahui berbagai alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis Bali di
Desa Pupuan,Tabanan,Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis;
2) mengetahui dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan etnis
Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan,Tabanan, Bali;
3) mengetahi model pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali
di Desa Pupuan, Tabanan, Bali dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari
perspektif etnopedagogik
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagaimana sudah disinggung di latar belakang permasalahan penelitian bahwa
penelitian ini penting dilakukan sebab memiliki urgensi dan signifikansi untuk kondisi
bangsa dewasa ini dan ke depannya sehingga dapat mengantisipasi persoalan-persoalan
14
atau gejolak-gejolak sosial yang dapat memecah belah keutuhan bangsa dan negara ini.
Isu-isu yang bernuasa SARA sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak
ingin melihat bangsa dan negara ini utuh atau bersatu dan besar di antara negara-negara
yang ada di planet bumi ini.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun
secara praktis, dengan menggali kearifan-kearifan lokal (ideologi) yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah kehidupan komunitas atau masyarakat heterogen tertentu
seperti yang ada di Desa Pupuan, Tabanan, Bali, yaitu terjalinnya relasi yang harmonis
antara dua etnis yang berbeda, yakni etnis Bali dan etnis Tionghoa, dengan mengkritisi
hal-hal yang melatarbelakanginya sehingga dapat menguak tabir atau misteri yang selama
ini yang dijadikan pedoman atau resep untuk menjaga keharmonisannya di antara kedua
etnis tersebut. Untuk lebih jelasnya, manfaat atau urgensi penelitian ini dilakukan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat:
(1) memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan
berkontribusi pada bidang Kajian Budaya (Cultural Studies) dalam
mengkaji berbagai fenomena yang hidup dan berkembang pada
komunitas pemiliknya yang dalam hal ini pada etnis Tionghoa dan etnis
Bali, seperti kearifan lokal (local wisdom), ideologi, sistem nilai,
pengetahuan tradisional (local knowledge), sistem kepercayaan dan
15
relegi sehingga etnis yang berbeda dapat hidup berdampingan secara
harmonis;
(2) sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam mengkaji keunikan-keunikan
identitas etnis tertentu secara lokalitas yang tidak disentuh oleh
kebanyakan orang sehingga dimarginalkan dan hanya dapat ditampilkan
dengan bersandarkan pada sumber-sumber tertulis, tetapi justru
mengesampingkan peran perilaku (praksis) darimasyarakat yang
bersangkutan.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai:
(1) pedoman dan masukan kepada pengambil kebijakan
(pemerintah) dalam mengatasi masalah-masalah hubungan antaretnis
dan upaya pencegahannya atau tindakan preventif sehingga kehidupan
yang harmonis dalam masyarakat dan berbangsa tetap dapat diciptakan
dan dipertahankan selamanya;
(2) mendorong bagi para akademisi atau pemerhati permasalahan-
permasalahan sosial untuk melakukan kajian-kajian yang sejenis untuk
ikut berperan serta aktif memecahkan masalah-masalah yang terjadi
belakangan ini tentang disharmonis yang menjurus ke disintegrasi
hubungan antaretnis di luar Bali yang pada akhirnya dapat
membahayakan keutuhan bangsa ini yang dibangun dengan susah payah
oleh seluruh rakyat Indonesia pada masa lalu;
16
(3) acuan bagi masyarakat di Desa Pupuan,Tabanan,Bali, baik etnis Bali
maupun etnis Tionghoa, dalam mempertahankan keharmomonisan
dalam menjalin kehidupan antaretnis secara lokalitas dan menjauhkan
diri dari hal-hal yang dapat memicu permusuhan (disharmonis) antaretnis
pada masa-masa mendatang.
Top Related