Anemia Defisiensi Besi
Pendahuluan
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan
besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoiesis
berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini
ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total
iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, ferritin serum
menurun, pengecatan besi sumsum tulang negative, dan adanya respon terhadap
pengobatan dengan preparat besi (1,2).
Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara-negara tropic atau Negara dunia ketiga karena sangat berkaiatan erat
dengan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk
dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak
sosial yang cukup serius (1,2).
Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya asupan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptic, kanker lambung, kanker
kolon, diverticulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang;
b. Saluran genitalia wanita: menorrhagia, atau metrorhagia;
c. Salura kemih: hematuria;
d. Saluran nafas: hemoptoe.
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin C, dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue, atau kolitis kronik.
1
Pada orang dewasa, anemia yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang
sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan pada laki-laki yang paling sering
adalah perdarahan gastrointestinal, di Negara tropik paling sering karena infeksi
cacing tambang. Sementara itu, pada wanta paling sering karena menor-
metrorhagia (1-4).
Epidemiologi
Negara yang penduduknya sedikit mengkonsumsi daging dalam dietnya memiliki
resiko anemia defisiensi besi 6-8 kali lebih besar dari Amerika Utara dan Eropa.
Hal ini diperburuk dengan parasit di saluran pencernaan atau cacing tambang yang
menyebabkan perdarahan di saluran pencernaan.
Pada bayi baru lahir yang sehat, kejadian anemia defisiensi besi akan lebih sering
apabila bayi terbiasa mengkonsumsi susu sapi, bukan ASI. Hal ini disebabka susu
sapi lebih banyak mengandung kalsium, diamana kalsium akan menghambat
peyerapan besi. Pada laki-laki dewasa, jarang terjadi anemia ini kecuali karena
infeksi parasit, hal ini dikarenakan laki-laki dewasa membutuhkan hanya 1mg besi
setiap harinya, sedangkan makanan sehari-hari sudah mengandung 10-20mg besi.
Berbeda dengan laki-laki, wanita lebih mudah mengalami anemia ini dikarenakan
kebutuhan besi per hari wanita 2mg sedangkan porsi makan wanita umumnya
lebih sedikit dari laki-laki, ditambah lagi setiap bulannya wanita mengalami siklus
menstruasi. Setiap siklus menstruasi wanita bisa kehilangan 4-100 mg besi (4).
Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi
makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted
state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin
serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam
sumsum tulang negatif.. Apabila kekurangan besi berlajut terus maka penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secaraklinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
2
peningkatan kadar free protophorfirin atau zink protophorfyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer
sehingga disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pda epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku,epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya (1,2).
Manifestasi Klinis
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu :
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai
pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah
7-8g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena
penurunan hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali
sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan anemia lain yang
penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
a. Koilonychia: kuku sendok (spoon nail): kuku menjadi rapuh,
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti
sendok;
b. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang;
c. Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan;
d. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring;
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulka akhloridia.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly:
adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik
mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3
3. Gejala penyakit dasar
Pada Anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak,
dankulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami (1).
Diagnosis
Anamnesis terutama dapat ditanyakan riwayat gizi, asupan besi dalam makanan,
riwayat infeksi dan perdarahan, riwayat menderita penyakit kronis, riwayat
penyakit keluarga / genetik, riwayat pemakaian obat.
Pemeriksaan fisik akan didapatkan warna kulit: pucat, ikterus; kuku: coilonychia
(kuku sendok); mata: sklera ikterik, konjungtiva anemis; mulut: ulserasi,
perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan stomatitis angularis;
organomegali: splenomegali, hepatomegal; dan kelainan sistem saraf.
Dalam pemeriksaan laboratorium (5):
1. Indeks eritrosit dan sediaan apusan darah
Bahkan sebelum terjadi anemia, indeks eritrosit sudah menurun dan
pnurunan terjadi secara progresif sejalan dengan memberatnya anemia.
Sediaan apus darah menunjukan sel mikrositik hipokrom dan kadang
ditemukan sel target dan poikilosit berbentuk pensil. Hitung retikulosit
rendah jika dibandingkan dengan derajat anemia. Pada defisiensi besi,
seringkali jumlah trombosit meningkat sedang, terutama jika perdarahan
berlanjut.
2. Besi sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tualng tidak diperlukan untuk menilai cadangan besi
kecuali pada kasus dengan komplikasi. Pada anemia defisiensi besi, tidak
ada besi dari eritroblas cadangan (makrofag) dan yang sedang
berkembang. Eritroblas berukuran kecil dan mempunyai sitoplasma yang
bergerigi.
3. Besi serum dan daya ikat besi total
Besi serum turun dan daya ikat besi total (total iron binding capacity,
TIBC) meningkat sehingga TIBC kurang dari 10% tersaturasi.
4
4. Reseptor transferrin serum (sTfR)
Reseptor transferin dilepaskan dari sel ke dalam plasma. Kadar sTfR
meningkat pada anemia defisiensi besi.
5. Ferritin serum
Sebagian kecil ferritin serum bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya
sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel.
Kisaran normal pada pria lebih tinggi dari wanita. Pada anemia defisiensi
besi, kadar ferritin serum sangat rendah.
Penatalaksanaan
Terapi anemia defisiensi besi dapat berupa
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi ini perlu
dilakukan jika tidak anemia kambuh lagi.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
dengan memberikan besi per oral sebagai obat pilihan pertama karena
efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia ferrous sulphat (3 x 200
gr), ferrous gluconat, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate. Efek samping pemberian terapi ini dapat berupa mual, muntah,
serta konstipasi.
Selain pemberian besi secara oral, dapat juga diberikan besi parenteral.
Namun efek samping preparat besi parenteral lebih berbahaya dan
harganya lebih mahal. Indikasinya yaitu, intoleransi oral berat, kepatuhan
berobat kurang, colitis ulserativa, dan perlu peningkatan Hb secara cepat
(misalnya praoperasi, hamil trimester akhir). Preparat yang tersedia berupa
iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex. Dapat diberikan
secara intramuscular dalam atau intravena pelan. efek sampingnya berupa
reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut dan sinkop. Besarnya dosis dapat dihitung dengan: kebutuhan besi
(mg) = (15-Gb sekarang) x BB x 3 (2,5).
5
3. Pengobatan lain
Diet sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani. Selain itu dapat juga diberikan vitamin c
3 X 100 mg perhari untuk meningkatkan absorpsi besi. Anemia
kekurangan besi jarang memerlukan transfuse darah. Indikasi pemberian
transfuse darah pada anemia kekurangan besi : adanya penyakit jantung
anermik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat simtompatik,
misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangatmencolok. Penderita
memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat,seperti pada
kehamilan trimester akhir atau praoperasi. Jenis darah yang diberikan
adalah PRC dengan pemberian furosemide intravena.
Penutup
Anemia defisiensi besi terjadi karena kosongnya cadangan besi dalam tubuh.
Gejala yang timbul koilonychias, stomatitis angularis, disfagia, atrofi papil lidah
dan lainnya. Diagnosa ditegakan selain dari anamnesis juga dari pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium khususnya indeks eritrosit dan apusan darah.
Terapi yang sesuai tentunya mengatasi kekurangan besi dari pasien, dengan
pemberian preparat besi.
6
Daftar Pustaka
1. Bakta M. Hematologi Klinik Ringkas. Ed 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007. pp 26-39.
2. Bakta M, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar
Penyakit Dalam. Ed 5. Vol 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. editors. Jakarta: Interna Publishing; 2009. pp 1127-1137.
3. WHO. Anemia. [Accessed 2012 May]. Available from:
http://www.who.int/topics/anaemia
4. Harper JL. Iron Deficiency Anemia. Medscape Reference [Accessed 2012
May]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. Ed 4.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. pp 25-34.
7