ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh
Ulya Mukhiqqotun Ni’mah 2103031
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2008
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah skripsi An. Sdri. Ulya Mukhiqqotun Ni’mah
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudari :
Nama : Ulya Mukhiqqotun Ni’mah
NIM : 2103031
Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHOH
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Semarang, 09 Januari 2008
Pembimbing I Pembimbing II
.
Dra. H. Noer Ali Dra. Nur Huda, M.Ag NIP. 150 177 474 NIP. 150 267 757
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 601291
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Ulya Mukhiqqotun Ni’mah
NIM : 2103031
Fakultas : Syari’ah
Jurusan : Al Ahwal Al Syakhshiyah
Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK IDDAH BAGI
WANITA YANG ISTIHADHAH
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
29 Januari 2008
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1
tahun akademik 2008/ 2009
Semarang, 29 Januari 2008
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
DR. H. Abu Hapsin, M.A., Ph.D. Drs. H.A. Noer Ali NIP. 150 238 492 NIP. 150 177 474 Penguji I Penguji II Drs. H. Ahmad Ghozali Drs. Saekhu, M.H. NIP. 150 216 992 NIP. 150 268 217 Pembimbing I Pembimbing II Drs. H.A. Noer Ali ` Dra. Nur Huda, M.Ag. NIP. 150 177 474 NIP. 150 267 757
ABSTRAK
Suatu perkawinan yang berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak akan menimbulkan pewarisan, ketentuannya dalam hukum waris islam. Sedangkan perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian atau karena meninggalnya suami mempunyai akibat beberapa akibat hukum diantaranya adalah iddah .
Iddah yang merupakan masa tunggu yang harus dihadapi oleh seorang wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Berdasarkan ketentuan al Quran, masa tunggu tersebut berbeda-beda sesuai dengan keadaan wanita yang bersangkutan sewaktu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Adakalanya wanita tersebut masih haid, sudah putus haid, belum pernah haid, hamil, adakalanya pula wanita tersebut sedang mengalami pendarahan (istihadhah).
Istihadhah yang merupakan darah yang keluar dari farji seorang wanita secara terus menerus baik darah itu keluar sehari, dua hari atau satu bulan setelah 15 hari mendapati darah haid yang penting wanita tersebut bisa membedakan antara dua darah, atau sejak awal mendapati darah wanita tersebut tidak tidak bisa membedakan antara dua darah karena darahnya hanya satu macam saja, maka hal seperti itu harus dikembalikan kepada kebiasaan wanita pada umumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah, 2) metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan ( library research). Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif, bukan dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: menurut pendapat Imam Malik iddah bagi wanita yang istihadhah adalah satu tahun, apabila wanita tersebut tidak bisa membedakan antara dua darah Apabila bisa membedakan antara dua darah maka wanita tersebut beriddah dengan hitungan quru’.
Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Malik yaitu qiyas dan istihsan. Beliau mengqiyaskan hitungan iddah tersebut dengan hitungan iddah bagi wanita yang tidak haid tetapi ia masih dalam usia haid. Wanita tersebut harus menunggu selama 9 bulan kemudian beriddah selama 3 bulan. Beliau memberikan alasan yang cukup rasional tujuan disyariatkannya iddah dimaksudkan untuk mengetahui kosongnya rahim, karena terdapat fakta kadang wanita yang hamil masih mengalami haid maupun pendarahan. Sedangkan istnbath yang kedua (istihsan) beliau gunakan dalam hal pemisahan antara sebelum sembilan bulan dan sesudahnya.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 09 Januari 2008
Deklarator,
Ulya Mukhiqqotun Ni’mah
MOTTO
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء )228: البقرة (
“Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri
menunggu tiga kali quru (Qs. Al Baqarah 228)
ي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثالثة والالئ
)4: الطالق (أشهر والالئي لم يحضن Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi menopausa di
antara perempuan-perempuan, jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya maka iddah mereka adalah tiga bulan dan
begitu pula perempuan yang tidak haid (Qs. Ath Thalaq 4)
PERSEMBAHAN
Karya ilmiah yang sederhana ini penulis persembahkan:
~ Ayahanda H. Abdul Ghofur dan ibunda Hj. Jazariatin, bapak H. Musthofa
serta ibu Muhtaroh tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang tulus
serta do’a-do’a yang selalu dipanjatkan untukku dengan tiada hentinya.
~ Kakak-kakakku dan adik-adikku tersayang terutama mas Wahib dan Hanik
Laila yang telah banyak membantuku dalam mencari literatur serta selalu
memberikan motivasi, kasih sayang dan dukungan baik moril maupun
materiil.
~ Sahabat-sahabatku terutama anak-anak kos I 24 yang selalu mendampingi
baik suka maupun duka.
Harapan penulis semoga buah karya yang sederhana ini mampu memberikan
motivasi untuk langkah-langkah berikutnya dalam mengarungi bahtera
kehidupan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya, sehingga tersusunlah skripsi ini meskipun dalam bentuk yang relatif
sederhana. Sholawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada nabi
Muhammad SAW, para keluarga, dan pengikutnya. Skripsi ini diajukan guna
memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua
pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan
apapun yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih terutama
penulis sampaikan kepada:
1. Drs. H. Muhyidin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Drs. H. A. Noer Ali, selaku dosen pembimbing I, serta ibu Dra. Nur
Huda, M. Ag., selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan
dalam menyusun skripsi ini.
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Ayahanda H. Abdul Ghofur dan ibunda Hj. Jazariatin tercinta atas segala kasih
sayang, do’a, pengorbanan dan kesabarannya.
5. Bapak H. Musthofa, ibu Muhtaroh serta mas Wahib yang senantiasa
memberikan dorongan, bantuan, serta motivasinya.
6. Kakak-kakakku dan Adik-adikku tersayang yang selalu memberikan motivasi
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
7. Dek Naza, mbak Wawa, dek Kamal, dek Acha yang senantiasa memberikan
hiburan serta inspirasi kepada penulis.
8. Sahabat-sahabatku baik di kampus maupun di kos yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang memberikan bantuan, semangat dan yang selalu
menemani disaat sedih dan senang.
7. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama
penulisan skripsi ini.
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa hanya
untaian terima kasih dengan tulus dan iringan do’a, semoga Allah membalas
semua amal kebaikan mereka dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah,
dan inayah-Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak memiliki kekurangan, untuk
itu penulis memohon kepada para pembaca untuk menginsafi dan memberikan
saran-saran yang bersifat membangun agar menjadi pertimbangan-pertimbangan
dalam penulisan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan
yang telah tersusun dengan sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi umat Islam pada umumnya. Kepada Allah SWT penulis
memohon semoga apa yang menjadi harapan penulis terkabulkan. Amien.
Semarang, 09 Januari 2008 Penulis Ulya Mukhiqqotun Ni’mah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tujuan dan maksud pernikahan adalah menggalang dan membina
rumah tangga antara sepasang istri secara harmonis penuh cinta kasih untuk
selama lamanya sampai akhir hayat.
Tetapi kadang-kadang suami istri gagal dalam usahanya untuk
mengemudikan rumah tangganya sampai akhir hayat. Ada saja kendala yang
merintanginya, apakah karena persiapannya yang tidak matang ketika akan
memasuki jenjang pernikahan atau karena watak mereka yang sangat berbeda
dan sering bertentangan atau karena pengaruh-pengaruh buruk dari orang lain.
Sehingga kalau sudah demikian, maka akan terjadi pertengkaran dan caci
maki. Karena itulah apabila mereka sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk
rujuk, dan hidup rukun maka jalan satu-satunya yang mereka tempuh adalah
perceraian.
Menurut ajaran Islam, perceraian diakui atas dasar ketetapan hati
setelah mempertimbangkan secara matang, serta dengan alasan yang bersifat
darurat atau sangat mendesak. Perceraian diakui secara sah untuk mengakhiri
hubungan perkawinan berdasarkan petunjuk syariat. Namun demikian,
Rasulullah SAW memperingatkan dalam sabdanya:
2
لالحلا ابغض: ن عمر عن النبى صلى اهللا عليه وسلم قالبن اع 1 )واه ابو داوودر(ق الالى اهللا تعالى الط
Artinya: Diceritakan dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada sesuatu yang halal yang dibenci Allah selain daripada thalak ”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian secara tersirat Rasulullah mengajarkan agar keluarga
muslim sedapat mungkin menghindarkan perceraian. Dan di balik kebencian
Allah itu terdapat suatu peringatan bahwa perceraian itu sangat berbahaya dan
berdampak negatif terhadap keluarga.
Suatu perkawinan yang berakhir dengan meninggalnya salah satu
pihak akan menimbulkan pewarisan, ketentuannya diatur dalam hukum waris
Islam. Sedangkan perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian atau
karena meninggalnya suami, maka mempunyai beberapa akibat hukum
diantaranya adalah iddah.
Secara singkat iddah dapat dirumuskan sebagai masa tunggu yang
dihadapi seorang wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya.2
Berdasarkan ketentuan al-Qur'an, masa tunggu tersebut berbeda-beda sesuai
dengan keadaan wanita yang bersangkutan sewaktu dicerai atau ditinggal mati
suaminya. Selain ada hubungannya dengan persoalan biologis (menentukan
keturunan, karena ada kemungkinan adanya bibit/sperma yang terdapat di
dalam rahim) masalah iddah juga termasuk masalah ‘ubudiyah (masalah
1Abi Dawud Sulaiman Ibn Al Asy’ab, Sunan Abi Dawud, Indonesia : Maktabah Dahlan,
hlm. 255 2 Ustad Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah, Surabaya : Bintang Terang, Cet. I, 1993,
hlm. 101
3
ketentuan agama). Jadi, ketentuan iddah tidak bisa/tidak boleh diganti dengan
pemeriksaan medis menurut ilmu kedokteran.3
Hal ini dikarenakan terdapat rahasia dibalik penetapan iddah yang
tidak hanya berpusat pada satu segi saja, akan tetapi ada beberapa hal yang
melatarbelakangi adanya iddah yaitu pembersihan rahim, kesempatan untuk
berfikir dan kesempatan untuk berduka cita.4
Dengan demikian, tampak jelas bahwa iddah memiliki berbagai
tujuan yang masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
tidak dapat merubah ketentuan panjang pendeknya iddah, terutama dalam
kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Akan tetapi perkembangan ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan dalam
kasus tertentu seperti wathi syubhat dan zina, sebab hubungan diantara pria
dan wanita dalam kasus ini hanya terikat pada masalah dukhul yang
mengganggu kesucian rahim.5
Seorang yang berada pada masa iddah bukan berarti terlepas sama
sekali dari suami yang menceraikannya. Begitu pula, suami itu tidak langsung
dapat membebaskan diri dan tanggung jawab terhadap istri selama masa
iddah.
Iddah diwajibkan karena cerai yang dijatuhkan suami yang masih
hidup atau yang sudah meninggal yang pernah menggauli (ba’da dukhul) baik
3 Abdul Muncith Muzadi, Fiqih Perempuan Praktis, Surabaya: Kalista, 2005, hlm. 94. 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, jilid VIII, Alih Bahasa: Muh. Tholib, Bandung: Al-Ma’arif,
cet. V, 1987, hlm. 140. 5 Abdul Muncith Muzadi, Op. Cit, hlm. 95
4
dengan cara thalak ataupun fasakh, akan tetapi lain halnya jika suami itu
belum pernah menggauli (maka tidak wajib iddah). Apabila pernah
berkhalwah maka istri wajib iddah sekalipun diyakini istri tersebut tidak
hamil.
Apabila suami yang menthalak istrinya yang semula tidak pernah
haid kemudian di dalam masa iddah ia haid, maka masa suci tempat
penthalakannya tidak terhitung quru’. Sebab tidak berada diantara dua periode
haid, tetapi harus beriddah tiga kali masa suci setelah haid yang
disambungkan dengan masa suci penthalakan tersebut. Bila istri mengalami
haid setelah habis masa iddahnya, maka tidak perlu memulai masa iddahnya
dengan hitungan quru’.6
Seperti telah disinggung di atas, masa iddah tidaklah selalu sama pada
setiap wanita. Al-Qur'an memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang
menegaskan bahwa masa iddah ditetapkan berdasarkan keadaan wanita
sewaktu diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan
atas proses perceraian, apakah cerai mati atau cerai hidup.
Iddah baik bagi wanita yang cerai hidup atau cerai mati adakalanya ia
masih mengalami haid ada juga yang sudah putus haid (menopause) dan
terkadang juga wanita tersebut sedang hamil. Dan semua hal itu sudah jelas di
dalam Al-Qur'an. Akan tetapi bagaimanakah iddah bagi wanita yang
istihadhah? Apakah hitungannya sama dengan iddah bagi wanita yang
6 Zainuddin Bin Abdul Azis Al Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in, jilid II, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1994, cet. I, hlm. 1405-1406.
5
mengalami haid atau iddah pada wanita yang hamil, ataukah wanita yang
sudah putus haid?
Istihadhah yang merupakan pendarahan yang keluar dari kemaluan
wanita, akan tetapi darah tersebut bukanlah darah haid karena darah tersebut
keluar di luar siklus haid seorang wanita.7 Darah istihadhah ini tidak berwarna
hitam, tetapi pada umumnya berwarna merah segar akan tetapi tidak memiliki
bau khusus seperti darah haid.8
Menurut pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, iddah wanita
tersebut (istihadhah) adalah 3 bulan apabila ia sudah putus haid dan 3 quru’
apabila ia masih haid. Sedangkan menurut Imam Malik iddah wanita tersebut
sampai satu tahun.9
Berawal dari pendapat Imam Malik yang berbeda dengan ulama’ fiqih
lainnya, Penulis berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang pendapat
tersebut dengan asumsi bahwa hal itu bisa menjadi kontribusi positif dan
menambah wacana serta memperkaya khazanah keilmuan kita, karena secara
sepintas pendapat Imam Malik itu terlihat kontradiktif dengan apa yang
terdapat dalam nash Al-Qur'an. Oleh karena itu penulis mendiskripsikannya
dalam sebuah skripsi “Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi
Wanita yang Istihadhah”.
7 Hendrik., Problema Haid, Solo: Tiga Serangkai, 2006, hlm. 154. 8 Ummu Ahmad Ghozy, Ketika Cewek Datang Bulan, Makasar: PT. Mirkad Media
Grafika, cet. I, 2007, hlm. 56. 9 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Beirut: Dar al- Kutub al
Islamiyah, t.th, hlm. 69
6
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang
hendak dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang
mengalami istihadhah?
2. Bagaimana istinbath hukum Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang
istihadhah?
C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI
Secara formal, tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk
memenuhi tugas akademik serta untuk melengkapi syarat guna memperoleh
gelar sarjana dalam ilmu Syari'ah di Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo
Semarang. Adapun tujuan umum penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang
istihadhah.
2. Untuk mengetahui istinbath hukum Imam Malik tentang iddah bagi
wanita yang istihadhah.
D. TELAAH PUSTAKA
Sebagai langkah awal dalam membahas permasalahan ini, penulis
terlebih dahulu menelaah buku-buku yang ada relevansinya dengan
permasalahan. Dan untuk menghindari kekhawatiran apakah permasalahan
7
yang diangkat sudah ada yang meneliti atau belum, maka perlu diuji
kevalidannya.
Dalam buku Pengetahuan Nikah Talak Dan Rujuk karangan Aqis Bil
Qishi diterangkan tentang iddah, macam-macam iddah serta hak-hak istri
ketika berada dalam masa iddah.
Kemudian dalam buku Risalah Nikah karangan ustad Abdul Muhaimin
As’ad disebutkan tentang pengertian iddah, serta lamanya iddah, penjelasan
beriddah dan hikmah disyariatkanya iddah.
Kemudian dalam buku Risalah Haidh, Nifas Dan Istihadloh karangan
K.H. Muhammad Ardani Bin Ahmad diterangkan tentang pengertian
istihadhah, macam-macam istihadhah, serta kewajiban bagi wanita yang
mengalami istihadhah.
Dalam buku Problema Haid, karangan Dr. H. Hendrik, M. Kes
diterangkan tentang pengertian istihadhah ditinjau dari segi syari’ah Islam
maupun medis, sifat-sifat istihadhah, bentuk serta variasi dari istihadhah dan
ketentuan atau kewajiban bagi wanita yang mengalami istihadhah.
Dalam buku Ketika Cewek Datang Bulan, karangan Ummu Ahmad al-
Ghozy, diterangkan pengertian istihadhah, ciri-ciri darah istihadhah, keadaan
wanita yang hampir sama dengan istihadhah, serta hukum istihadhah.
Selain buku-buku di atas penulis juga menggunakan kitab-kitab fiqih,
antara lain:
Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid karangan Ibnu
Rusyd dijelaskan tentang hitungan iddah menurut para imam madzhab serta
8
iddah dalam segala kondisi termasuk di dalamnya iddah bagi wanita yang
istihadhah akan tetapi pendapat tersebut hanya terbatas pada pendapat serta
dalilnya masing-masing, sehingga kajian terhadap dalil dan metode istinbath
yang digunakan oleh Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah
masih perlu dilakukan.
Selain itu, dalam kitab Fiqh Sunnah jilid I karangan Sayyid Sabiq
disebutkan pengertian istihadhah, bentuk atau darah istihadhah serta
hukumnya, sedangkan pendapat mengenai iddah, pengertian iddah, macam-
macam iddah serta batasan iddah terdapat dalam kitab Fiqh Sunnah jilid 8.
Imam Zarqoni dalam kitabnya yang berjudul “Syarah Zarqoni; Ala
Muwatho’ Imam Malik”, dalam bab “Jami’ Iddah At-Tholaq” menyebutkan:
iddah bagi wanita yang istihadhah yakni satu tahun lamanya, dengan alasan
manakala wanita itu tidak bisa membedakan antara darah haid atau darah
istihadhah.
Karya ilmiah yang membahas tentang iddah bagi wanita yang
istihadhoh belum pernah penulis temukan, akan tetapi karya tulis yang dibuat
oleh Irfan Mustofa berjudul “Analisa Konsep Iddah menurut Musdah Mulia
jenis penelitiannya adalah library research, pembahasan yang dikaji tentang
pendapat Musdah Mulia yang tidak menyetujui konsep iddah karena seakan-
akan mendiskriminasikan kaum perempuan, karena hal ini bertentangan
dengan konsep gender. Tetapi penulis tidak menyetujui konsep tersebut karena
bertentangan dengan al-Qur'an dan hadits.
9
Skripsi dengan judul analisis pendapat Imam Malik tentang sanksi bagi
perempuan yang menikah pada masa iddah, pembahasan yang dikaji tentang
sanksi bagi perempuan yang menikah pada masa iddah dan sudah dukhul
maka pernikahannya batal dan mereka diharamkan nikah kembali untuk
selamanya. Akan tetapi penulis tidak menyetujui pendapat tersebut karena
terasa memberatkan, padahal hukum Islam merupakan hukum yang fleksibel,
penulis lebih sepakat terhadap pendapat Imam Syafi’i yaitu mereka tetap
memperoleh sanksi hukum meskipun bukan sanksi pidana (untuk membuat
jera). Mereka harus dipisahkan selama masa iddah dan untuk berkumpul atau
menikah harus melakukan akad nikah baru.
Dari beberapa telaah pustaka di atas, maka penulis merasa perlu untuk
melakukan kajian terhadap permasalahan ini karena wanita yang mengalami
istihadhah saja terkadang bingung dengan apa yang harus ia lakukan dalam
hal ibadah apalagi ketika ia dithalak oleh suaminya dalam keadaan
istihadhah.
E. METODE PENULISAN SKRIPSI
Agar mendapatkan hasil yang diinginkan, maka metode penelitian
sangatlah diperlukan. Beberapa metode yang akan penulis gunakan antara
lain:
10
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang mengandalkan atau memakai sumber karya
tulis kepustakaan.10
2. Sumber Data
Karena penelitian ini merupakan studi terhadap karya dari seorang
tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka.
Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data
sekunder. 11
a. Data Primer
Yaitu data yang diambil dari sumber asli yang memuat suatu
informasi.12 Artinya sumber data yang digunakan merupakan karya
yang langsung diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema
penelitian.
Jadi, data-data primer ini merupakan karya atau kitab yang
dikarang oleh Imam Malik yaitu kitab Al-Muwatta’.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli atau
bersifat komplemen (pelengkap).13 Data ini berasal dari tangan kedua
atau bukan data yang datang langsung dari Imam Malik. Biasanya data
10 Masri Singarimbuan dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, cet.
VI, 1986, hlm. 45. 11Tatang M.Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995,
hlm:135. 12 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 91 13 ibid
11
ini tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen dan data ini penulis
gunakan untuk menganalisis dan memberikan penjelasan tentang
pokok permasalahan.
Dalam hal ini penulis mengambil data dari buku-buku yang ada
relevansinya dengan permasalahan yang sedang penulis bahas, seperti :
1.) Syarah al-Zarqoni karangan Sayyidi Muhammad al-Zarqoni
2.) Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq
3.) Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd.
3. Metode Pengumpulan Data
Dengan metode ini penulis mencoba untuk menyusun skripsi
dengan cara melakukan pengumpulan data lewat studi serta penelitian
terhadap buku-buku yang ada relevansinya terhadap permasalahan yang
sedang penulis kaji.
Metode ini penulis gunakan dengan jalan membaca, menelaah,
kemudian menginventarisasikan ayat-ayat al-Qur'an, kitab-kitab hadits
serta kitab-kitab fiqh lain yang sesuai dengan permasalahan yang ada
hubungannya dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Hal ini
penulis lakukan sebagai dasar untuk menganalisis pendapat Imam Malik
yang berkaitan dengan iddah bagi wanita yang istihadhah.
4. Metode Analisis Data
Langkah awal yang penulis lakukan dalam menganalisis data
adalah pengorganisasian data dalam bentuk mengatur, mengurutkan serta
mengelompokkan data sesuai dengan kategori, tujuan pengolahan serta
12
pengorganisasian data tersebut adalah untuk menemukan tema dan
keputusan kerja.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka digunakan untuk
menyusun serta menganalisis data-data yang terkumpul dengan
menggunakan metode deskriptif analitik yaitu suatu metode yang
menekankan pada pemberian sebuah gambaran baru terhadap data yang
terkumpul.14 Metode ini akan penulis gunakan untuk melakukan pelacakan
dan analisis terhadap pendapat serta biografi Imam Malik. Selain itu
metode ini akan penulis gunakan untuk menggambarkan dan menganalisis
pendapat Imam Malik saat beliau menggambarkan tentang iddah.
Selain itu penulis juga menggunakan metode content analysis
(analisis isi).15 Hal ini penulis lakukan guna mempertajam analisis data
yang diteliti.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih mudah untuk dipahami, maka
penulis menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam sub bab ini dikemukakan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penelitian, serta
sistematika penulisan.
14 S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm. 165 15Adalah telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumen-dokumen sebagai sumber
data. Biasanya berisi kalimat tertulis atau cetak akan tetapi tidak terbatas pada itu saja bisa berupa sumber, grafik, lukisan, foto, dan lain-lain. lihat. Michael H. Walizer dan Paul L. Wienir, Metode dan Analisis Penelitian, Yogyakarta: Erlangga, Cet. II, 1991, hlm. 48
13
BAB II : KONSEP DASAR IDDAH DAN ISTIHADHAH
Dalam bab ini dibahas tentang pengertian iddah,, dasar hukum
iddah, macam-macam iddah, hikmah serta hak-hak bagi wanita
yang sedang menjalani masa iddah dan juga pengertian tentang
istihadhah, macam-macam istihadhah, serta kewajiban bagi wanita
yang sedang mengalami istihadhah.
BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI
WANITA YANG ISTIHADHAH
Bab ini membahas biografi Imam Malik, pendapat Imam Malik
tentang Iddah bagi wanita yang istihadhoh serta metode istinbath
Imam Malik.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH
BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH
Dalam bab ini dibahas tentang bagaimana alasan Imam Malik
tentang iddah bagi wanita yang istihadhah serta apakah yang
melatarbelakangi pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita
yang istihadhah
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan, saran-saran, dan
penutup.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH DAN ISTIHADHAH
A. IDDAH
1. Pengertian Iddah
Istilah iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah.
Dimana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan
kebiasaan iddah ini. Kemudian ketika Islam datang kebiasaan ini diakui
dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang terkandung di
dalamnya. Kemudian para ulama sepakat iddah itu wajib hukumnya.1
Ditinjau dari etimologi, kata iddah adalah masdar fi’il madhi
,yang artinya “menghitung”.2 Jadi kata iddah artinya menghitung عد
hitungan atau sesuatu yang terhitungkan. Dari sudut bahasa kata iddah
merupakan kata yang biasa dipakai untuk mewujudkan pengertian hari-
hari haid dan hari-hari suci pada seorang perempuan, artinya perempuan
atau istri menghitung hari-hari haid atau hari-hari sucinya.3
Sedangkan secara terminologi, para ulama telah merumuskan
pengertian iddah menjadi beberapa pengertian, seperti Ash Shon’ani
memberi definisi iddah sebagai berikut:
هقارفو زوجها ةا بها المرأة عن التزويج بعد وفصتربتة لمد سما األشهروء اااألقرو دة اوال بالامإلها
1Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 8. terj. Muh. Tholib, Bandung: Al-Ma’arif, Cet. 2, 1993,
hlm. 139-140 2Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir , Darul Ma’arif, 1984, hlm. 969 3Abdul Rahman Al Jaziri, Kitab Fiqih ‘ala Madhahibil Ar Ba’ah, juz. IV, Darul Kutub Al
‘Ilmiah, hlm. 451.
15
″Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haid, atau beberapa bulan tertentu ″.4
Abu Zahroh memberi definisi iddah sebagai berikut:
احر النكثا نقضاء ما بقي منالجل ضرب أ″Iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan ″.5
Lebih lanjut Prof. Abu Zahroh mengatakan:
زوجية من الصم عرا نف الفرقة بين الرجل وأهله التتإذا حصلفوج زتتال ة وألمرالفرقة بل تتربص ا وقوعمجردآل الوجوه ب
ارعها الشدرى تنتهي تلك المدة التى قتحه ريغ
″Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan istrinya, tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami istri itu dari segala seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan istri wajib menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sampai habisnya masa tertentu yang telah ditentukan oleh syara ″.6
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah iddah diartikan sebagai
عهاجبراءة رحمها او لتعبد او لتف لمعرفةةأ فيها المرصدة تتربم على زوج
″ Masa yang harus dilalui oleh istri (yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya) untuk mengetahui kesucian rahimnya, mengabdi atau berbela sungkawa atas kematian suaminya ″. 7
2. Dasar Hukum Iddah
a. Al-Qur’an
4Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1984/1985, hlm. 274 5Ibid, hlm. 274 6Ibid, hlm. 275 7Abdurrahman Al-Jaziri, Op-Cit, hlm. 517
16
Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menunjukkan kewajiban
bagi perempuan untuk beriddah, di antaranya dalam Surat Al Baqarah
(2) ayat 228:
ثالثة قروءن هسفنبأالقات يتربصن المطو"Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ ". (Q.S. Al Baqarah: 228 )8
Dalam surat yang sama (Al Baqarah) ayat 234:
أنفسهن أربعة ن بصبرتين منكم ويذرون أزواجا وفن يتويالذو
أشهر وعشرا “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al Baqarah: 234).9
Dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 49:
ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن ا أييوهن وسرحوهن عتتمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها فم
اليمجسراحا “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Q.S. Al-Ahzab: 49).10
b. Al Hadits
Dalam Sunnah Nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum
tentang iddah diantaranya:
8Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahanya, Kudus : Mubarakatan Thoyyibah, tth,
hlm. 36 9Ibid, hlm. 38 10Ibid, hlm. 424
17
ابن عمر أنه طلق امرأته وهى حائض فى عهد رسول اهللا عنفسأل عمر بن الخطاب رسول اهللا صلى : صلى اهللا عليه وسلم
اهللا عليه وسلم عن ذلك؟فقال له رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ر هتط ثم، ضحيجعها ثم ليترآها حتى تطهر، ثم تاره فليرم"
مس فتلك العدة يوان شاء طلق قبل ان. شاء امسك بعدن ثم إ 11)ه مسلمروا". ( اءسالنا له ز وجل ان يطلقع ر اهللام اىالت
Diceritakan dari ibn umar sesungguhnya dia menthalak istrinya dalam keadaan haid pada masa Rasulullah SAW, umar bin khattab bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada Umar “Perintahkanlah ia untuk merujuk istrinya, kemudian menahanya sehingga suci, haid dan suci lagi. Maka jika ingin tahanlah dia sesudah itu. Dan jika sudah ceraikanlah sebelum ia menyentuhnya. Demikianlah Iddah yang diperintahkan oleh Allah yaitu perempuan yang harus dicerai pada Iddahnya” (H.R. Muslim).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa iddah adalah masa
menunggu bagi wanita yang dithalak suami (cerai hidup) atau
ditinggal mati suami (cerai mati), perbedaan status ini menjadi penentu
jenis iddah yang dijalani oleh seorang isteri. Adapun wanita yang suci
(tidak hamil) yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya empat
bulan sepuluh hari. Ini berarti bahwa masa iddah perempuan yang
dithalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga
kali suci bagi mereka yang berada pada masa haid, dan tiga bulan bagi
mereka yang sudah putus haid (menopause).
c. Undang-Undang ( Peraturan Tertulis )
11Imam Abi al- Husein Muslim, Shohih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1992,
hlm. 1093
18
Selain dalam al-Qur’an dan al-hadits iddah juga diatur dalam
undang-undang perkawinan, yaitu Undang-Undang No 1 tahun 1974
pasal 29 yang berbunyi :
1. Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal
11 ayat 2 Undang-Undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 ( seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 ( kali ) suci dengan sekurang
kurangnya 90 ( sembilan puluh ) hari, dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh ) hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.12
Mengenai waktu tunggu dalam KHI Pasal 153 yang berbunyi :
12 Undang-Undang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, hlm.45.
19
1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannnya putus bukan
karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh ) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 ( sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai ia
melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian tunggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.
20
5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani
iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali suci.
6. Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya
selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia
berhaid kembali, iddahnya menjadi tiga kali suci.13
3. Macam-Macam Iddah
Secara garis besar iddah dibagi menjadi dua:
1. Iddah karena meninggalnya suami.
Dalam hal ini posisi iddahnya ada dua kemungkinan, yaitu
wanita yang dalam keadaan hamil dan tidak hamil.14 Apabila wanita
yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka iddahnya
sampai melahirkan. Allah SWT berfirman:
)4: الطالق(... ن أن يضعن حملهنله الألحمال أجتأوالو “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…” (QS. Ath Thalaq:4)15
Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, baik ia
sudah atau belum bercampur dengan suaminya yang meninggal itu,
maka iddah mereka 4 bulan 10 hari. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ( 2 )ayat 234.
هن أربعة فسأنن بصبن يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتريالذو أشهر وعشرا
13 Himpunan Peratuiran Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Bandung:
Fokus Media, cet. I, 2005, hlm 49 14Sayid Sabiq, Ibid, hlm. 147 15Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 558
21
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-istri (hendaklah para isteri itu) beriddah empat bulan sepuluh hari “. (Q.S. Al Baqarah: 234).16
2. Iddah karena perceraian/thalak
Mengenai iddah karena thalak ini maka ada beberapa macam:
a. Wanita yang dithalak suaminya dalam keadaan hamil maka
iddahnya sampai melahirkan.
b. Wanita yang dithalak suaminya karena masih mempunyai haid,
maka iddahnya adalah 3 kali suci. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
c. Wanita yang dithalak suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula
haid baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka iddahnya 3
bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ath
Thalaq ayat 4:
دتهن فع متبترسن من المحيض من نسائكم إن ايئي ئاللاو لم يحضنيئاللاوثالثة أشهر
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid… (QS. Ath Thalaq: 4)17
d. Wanita yang dicerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada iddah
baginya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Ahzab
ayat 49.
16Ibid, hlm. 38 17Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm.
22
ذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل إوا نم آنيها الذيا أيتدونها فمتعوهن ع تأن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة
جميالوسرحوهن سراحا “Hai orang-orang yang beriman jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampuirinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya” (Q.S. Al-Ahzab: 49)18
4. Hikmah dan Tujuan Iddah
Ditetapkannya iddah bagi istri setelah putus perkawinannya,
mengandung beberapa hikmah, antara lain sebagai berikut:19
a. Iddah bagi istri yang dithalak raj’i20
Bagi wanita yang dithalak raj’i oleh suaminya mengandung arti
memberi kesempatan bagi mereka untuk saling memikirkan,
memperbaiki diri, mengetahui dan memahami kekurangan serta
mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Kemudian mengambil
langkah dan kebijaksanaan untuk bersepakat rujuk kembali dengan
suami istri.
b. Iddah bagi istri yang dithalak ba’in21
18Ibid, hlm. 424 19Departemen Agama, Op-Cit, hlm. 275 20Yaitu thalak dimana suami boleh rujuk (kembali) kepada bekas istrinya dengan tidak perlu
melakukan perkawinan atau akad nikah baru, asalkan istrinya itu masih dalam masa iddah seperti halnya thalak satu atau thalak dua. Lihat Ustadz Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah, Surabaya : Bintang Terang, cet-I, 1993, hlm. 91
21Yaitu Thalak dimana suami tidak boleh merujuk kembali bekas istrinya, kecuali dengan melakukan akad nikah baru setelah bekas istrinya itu dikawini orang lain, ba’da dukhul dan diceraikan. Lihat Aqis Bil Qisthi, Pengetahuan Nikah, Talak dan Rujuk, Surabaya : Putra Jaya, Cet I, 2007, hlm. 67
23
Iddah bagi istri yang dithalak baik oleh suaminya atau
perceraian dengan keputusan pengadilan berfungsi:
1. Untuk meyakinkan bersihnya kandungan istri dari akibat
hubungannya dengan suami, baik dengan menunggu beberapa kali
suci atau haid, beberapa bulan atau melahirkan kandungannya.
Sehingga terpelihara kemurnian keturunan dan nasab anak yang
dilahirkan.
2. Memberi kesempatan untuk bekas suami untuk nikah kembali
dengan akad nikah yang baru dengan bekas istrinya selama dalam
masa iddah tersebut jika itu dipandang maslahat.
c. Iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya
1. Dalam rangka ber belasungkawa dan sebagai tanda setia kepada
suami yang dicintai.
2. Menormalisir keguncangan jiwa istri akibat ditinggalkan oleh
suaminya.
Menurut Zaenuddin Abd. Al Aziz Al Maribari, iddah adalah
masa penantian perempuan untuk mengetahui apakah kandungan istri
bebas dari kehamilan atau untuk tujuan ibadah atau untuk masa
penyesuaian karena baru ditinggal mati suaminya.22
Sedangkan tujuan iddah menurut syariat digunakan untuk
menjaga keturunan dari percampuran benih lain atau untuk mengetahui
kebersihan rahim (li ma’rifatul baroatur rohim, lita’abbudi, li
22Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam
Islam, Bandung: Mizan, cet. I, 2001, hlm. 173
24
tahayyiah) yaitu mempersiapkan diri dan memberikan kesempatan
terjadinya proses ruju’.23
5. Hak dan Kewajiban Bagi Istri yang Beriddah
Perempuan iddah memiliki hak dan kewajiban yang harus
dijalankan menurut syariat Islam. Adapun hak perempuan pada masa
iddah adalah:
1. Istri yang beriddah thalak raj’i
Untuk wanita yang thalak raj’i atau thalak yang masih ada
kemungkinan bagi mantan suaminya untuk merujuknya lagi, berhak
mendapatkan :24
a. Tempat tinggal (rumah)
b. Pakaian dan nafkah untuk kebutuhan hidup
Kedua hal tersebut diatas hanya diberikan kepada istri yang
taat, sedangkan istri yang durhaka tidak berhak mendapatkan apa-apa,
Rasulullah bersabda:
: لم وسهيلاهللا صلى اهللا ع ال رسولقعن فاطمة بنت قيس ، جها عليها زو آان لذالنفقة والسكنى للمرأة إا نماا اهل
25 )د والنساءمرواه اح (الرجعة“Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal hak bagi wanita yang suaminya mempunyai hak merujuknya” (H.R. Ahmad dan Nasa’i).
c. Warisan
Hal ini masih dimiliki oleh wanita yang dithalak raj’i
karena pada dasarnya perkawinan dengan suaminya dianggap
23Ibid, hlm. 176 24Aqis Bil Qitsi, Ibid, hlm. 74 25M. Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Juz 5, Beirut: al-kutub al-Islamiyah, 1976, hlm. 394
25
masih utuh disaat iddah masih berjalan. Begitu juga jika yang
meninggal itu si istri, maka mantan suaminya juga berhak atas
harta peninggalan mantan istrinya. Hal ini disebabkan karena
ikatan perkawinan keduanya dapat terjalin kembali jika mantan
suaminya tersebut merujuknya.26
2. Istri yang beriddah thalak ba’in
Untuk wanita yang iddah thalak ba’in atau thalak yang tidak
membolehkan ruju’ kembali bagi bekas suaminya sebelum dinikahi
laki-laki lain,27 berhak mendapat:
a. Bagi istri yang tidak hamil
Bagi perempuan yang iddah thalak ba’in, baik dengan
thalak tebus maupun dengan thalak tiga yang tidak dalam keadaan
hamil mereka hanya memperoleh tempat tinggal. Firman Allah
SWT :
)6طالق، لا.. (ة أالي حيث سكنتم من وجدآممن نهوكنسأ“Tinggalkanlah mereka di tempat kediaman yang sepadan dengan keadaan kamu” (Ath Thalaq: 6). 28
b. Bagi istri yang hamil
26Fatkhurrahman, Ilmu Waris, Surabaya: Al-Ikhlas, 1968, hlm.115 27Moh.Rifa’i, dkk, Kifayatul Akhyar (Terjemah Khulashoh),Semarang, CV. Toha Putra,
1983, hlm. 337 28Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 559
26
Bagi istri yang di thalak ba’in dan dalam keadaan hamil
berhak memperoleh tempat tinggal, nafkah dan pakaian. Firman
Allah SWT:
ن أوالت حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن إن آو )6.الطالق... (أالية
“Jika mereka (janda yang diceraikan) mengandung, maka beri nafkahlah mereka olehmu sampai lahir kandungannya” (QS. Ath-Thalaq: 6). 29
3. Istri yang beriddah wafat
Bagi istri yang beriddah wafat, mereka tidak mempunyai hak
sama sekali meskipun ia mengandung, karena ia dan anak yang dalam
kandungannya telah mendapat hak pusaka (warisan) dari suaminya
yang meninggal. Rasulullah SAW bersabda:
ال "الزوجها، قا فى عنهتو فى الحامل الم،فعهري رب جانعو 30 )بيهقىلرواه ا" (اهلة قنف
“Dari Jabir RA dan ia menganggapnya hadits marfu’ tentang istri hamil yang suaminya meninggal, ia berkata berkata: “istri itu tidak mendapatkan nafkah”. (HR. Baihaqi).
Bagi perempuan yang beriddah wafat thalak raj’i menurut
kesepakatan Ulama’ fiqih berhak menerima harta warisan, sedangkan
wanita yang menjalani iddah wafat thalak ba’in ia tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari suaminya yang wafat.31
Sedangkan kewajiban bagi perempuan yang beriddah adalah:
29Departemen Agama RI, Loc.Cit 30 Ibnu Hajar al-Asyqalani, Bulughul Maram, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 241 31Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, Cet
I, 1997, hlm. 640
27
a. Tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain, baik secara terang-
terangan maupun sindiran.
Bagi perempuan yang menjalani iddah wafat, pinangan
dapat dilakukan dengan cara sindiran, Allah SWT berfirman:
اح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء أو أآننتم نال جو في أنفسكم
“Dan tidak ada bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. Al-Baqarah: 235)32
b. Tidak boleh nikah atau dinikahi
Allah SWT berfirman:
) 235. رةقالب(وا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله مزعال تو“Dan janganlah berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. (QS. Al-Baqarah: 235).33
c. Dilarang keluar rumah (wajib tinggal di rumah sampai iddahnya
selesai).
Allah SWT berfirman:
تين بفاحشة أي بيوتهن وال يخرجن إال أنن مجوهنر تخال )1 ،الطالق(مبينة
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah rumah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang (QS. Ath-Thalak: 1).34
d. Wajib Ihdad
Secara etimologi, kata ihdad berasal dari kata (had) حددال yang artinya عونلمما (di cegah).35 Sedangkan secara terminologi
32Departemen Agama RI, hlm 38. 33Ibid. 34Ibid, hlm 945 35Ahmad Warson Munawwir, Ibid, hlm. 262
28
yaitu mencegah diri dari lambang-lambang perhiasan dan
keindahan serta mencegah diri dari menggunakan alat-alat
kosmetik untuk mempercantik diri seperti halnya yang digunakan
wanita ketika berdandan untuk suaminya. 36
Dalam sebuah hadits disebutkan :
ال تحد :يه ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قالعن ام عطاال على زوج، اربعة اشهر . امرأة على ميت فوق ثالث
وال . وال تلبس ثوبا مصبوغا اال ثوب عصب. وعشراتكتحل وال تمس طيبا اال اذا طهرت، نبذة من قسط او
37) لمسرواه م(اظفار
“Dari umi athiyah bahwasanya rasulallah Saw bersabda: tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari. Dan jangan ia pakai pakaian yang warnanya mencolok kecuali kain yang warnanya gelap dan jangan ia bercelak dan jangan memakai wangi wangian kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar ( dua macam dupa atau wangi wangian untuk membersihkan bekas haid). “ (H.R. Muslim).
B. ISTIHADHAH
1. Pengertian Dan Dasar Istihadhah
Istihadhah ialah darah yang keluar terus menerus dari seorang
wanita, tanpa berhenti sama sekali atau berhenti sebentar seperti berhenti
sehari atau dua hari dalam sebulan. 38
Yang menjadi dasar hukum istihadhah adalah hadits Nabi SAW :
36Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press, cet VI, 2000, hlm. 632
37Imam Abi al Husain Muslim, Ibid, hlm. 1126 38Abdullah bin Jarullah, Tanggung Jawab Wanita, Jakarta: CV. Agung Lestari, cet I,1994,
hlm. 91
29
ىالنب الى بيشحبي اجاءت فاطمة بنت : قالت ن عائشةعستحاض اهللا انى امراةايارسول : عليه وسلم فقالت هللاى لصانما ذلك عرق وليس فقال ال ؟ةصال الفأ دعا. ر اطهفال
رت فاغسل بد اواذا ةال الصعىفدة بالحيضة فإذا اقبلة الحيض 39)ملرواه مس (الدام وصلى
"Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaiys datang kepada Nabi SAW kemudian berkata: Ya Rasulullah SAW sungguh aku mengalami istihadhah maka aku tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Maka Rasulullah SAW bersabda tidak, karena itu adalah darah penyakit bukan darah haid. Apabila datang haid maka tinggalkanlah shalat dan ketika darah iti berhenti maka mandilah dan jalankanlah shalat." (H.R. Muslim)
2. Kondisi Wanita Istihadhah
Ada tiga kondisi bagi wanita Mustahadhah :40
a. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas
waktunya. Dalam kondisi seperti ini, hendaklah dia berpedoman
kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada
saat itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.
Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku
baginya hukum-hukum istihadhah.
b. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum istihadhah,
karena istihadhah tersebut terus menerus terjadi padanya mulai pada
saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia
melakukan tamyiz (pembedaan), seperti jika darahnya berwarna hitam,
atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku
39Imam Abi al-Husain Muslim, Op-Cit, hlm. 162 40Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, Beirut, Darul Kitabul Araby, cet II, 1992, hlm.87
30
baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi
adalah istihadhah dan berlaku hukum-hukum istihadhah.
c. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan
secara tepat darahnya. Seperti istihadhah yang dialaminya terjadi terus
menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara
darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin
dianggap seperti darah haid. Dalam kondisi seperti ini, hendaklah ia
mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa
haidnya adalah 6 atau 7 hari pada setiap bulan dihitung mulia dari saat
pertama kali mendapati darah, sedangkan selebihnya merupakan
istihadhah.
3. Macam-macam Istihadhah
Sebab orang istihadhah itu ada kalanya baru sekali mengeluarkan
darah/belum pernah haid dan suci langsung melebihi 15 hari (Mubtada’ah)
atau perempuan tersebut sudah pernah haid dan suci (mu’tadah) berpegang
pada adat kebiasaanya, dan ada kalanya darahnya dua warna (qowi &
dhoif) sehingga ia dapat membedakannya (mumayyizah), atau darahnya
hanya 1 macam saja, sehingga ia tidak dapat membedakanya (ghoiru
mumayyizah).41 sedangkan macam-macam istihadhah adalah: 42
a. Mubtada’ah Mumayyizah
Mubtada’ah mumayyizah (orang istihadhah yang pertama) ialah
orang istihadhah /orang yang mengeluarkan darah melebihi 15 hari
41Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, prof. Dr, Kuliah Ibadah, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 1992, hlm. 118
42KH. Muhammad Ardani Bin Ahmad, Risalah Haid Nifas dan Istihadhah, Surabaya: Al-Miftah,1992, hlm. 49
31
yang sebelumnya belum pernah haid, serta mengerti bahwa darahnya 2
macam (darah kuat dan darah lemah) atau melebihi dua macam.
Hukumnya:
Mubtada’ah mumayyizah itu haidnya itu haidnya dikembalikan kepada
darah qowi (kuat), yakni semua darah qowi adalah haid sedangkan
darah dhoif adalah darah istihadhah, meskipun lama sekali (beberapa
bulan/beberapa tahun). Akan tetapi dihukumi demikian bila memenuhi
4 syarat:
1.) Darah qowi tidak kurang dari sehari semalam (24 jam)
2.) Darah qowi tidak melebihi dari 15 hari
3.) Darah dhoif tidak kurang dari 15 hari.
4.) Akan tetapi kalau darah dhoif berhenti sebelum 15 hari maka tidak
harus memenuhi syarat tersebut.
b. Mubtada’ah Ghoiru Mumayyizah
Yaitu orang istihadhah yang belum pernah haid serta darahnya
hanya satu macam saja, (hanya darah merah atau darah hitam saja).
Hukumnya :
Mubtada’ah Ghoiru Mumayyizah itu haidnya sehari semalam terhitung
terhitung dari permulaan keluarnya darah, lalu sucinya 29 setiap bulan.
Artinya kalau darahnya terus keluar sampai sebulan atau beberapa
bulan, maka setiap bulan (30 hari) haidnya sehari semalam, sedangkan
sucinya (istihadhah) 29 hari. Tetapi kalau keluarnya darah tidak
mencapai sebulan, maka haidnya sehari semalam, lainnya istihadhah
(suci). Akan tetapi kalau pada suatu bulan darahnya tidak melebihi15
hari, maka semua darah haid.
c. Mu’tadah Mumayyizah
32
Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan suci serta mengerti
bahwa dirinya mengeluarkan darah dua macam atau lebih (qowi dan
dhoif)
Hukumnya;
Dalam hal ini ada tiga macam hukum yang berbeda:
1.) Waktu serta kira-kira (banyak sedikitnya) darah qowi sama dengan
waktu serta kira-kiranya kebiasaan haid yang sebelumnya.
Misal:
Kebiasaan haidnya 5 hari mulai tanggal 1, lalu pada bulan
berikutnya mengeluarkan darah hitam 5 hari mulai tanggal 1, lalu
darah merah sampai akhir bulan. Maka yang 5 hari adalah haid dan
seterusnya istihadhah (suci).
a.) Waktu dan ukuran darah qowi tidak sama dengan
kebiasaannya, namun antara masanya kebiasaan haid dengan
darah qowi tidak ada 15 hari.
b.) Waktu atau ukuran darah qowi tidak sama dengan
kebiasaannya serta antara masa kebiasaan haid dan darah qowi
15 hari.
d. Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah
Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan sucim darahnya
hanya satu macam serta wanita yang bersangkutan ingat akan ukuran
dan waktu haid dan suci yang menjadi kebiasaannya.
Hukumnya :
33
Wanita yang demikian itu banyak atau sedikit serta waktunya haid dan
suci disamakan dengan adatnya. Baik itu haid seperti setiap bulan
ataupun setiap dua bulan atau setiap satu tahun atau kurang dari satu
bulan, baik kebiasaan itu baru terjadi sekali atau sudah berulang kali.
e. Al-Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah Li Adatiha wa Waqtan (Al-
Mutahayyiroh)
Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan suci, darahnya
satu macam dan ia tidak ingat/tidak mengerti akan ukuran serta waktu
adapt haidnya yang pernah ia jalankan. Wanita yang demikian disebut
“Mutahayyiroh”
Hukumnya:
Wanita Mutahayyiroh tersebut tidak dapat ditentukan haid dan sucinya,
karena seluruh masa keluarnya darah bisa mengundang banyak
kemungkinan, bisa haid atau sedang berhenti darah nya, wanita
tersebut dihukumi seperti orang haid, di dalam sebagian hukum, yaitu:
1.) Haram dinikmati antara lutut dan pusar.
2.) Membaca Al-Qur’an diluar shalat
3.) Menyentuh atau membawa Al-Qur’an
4.) Berdiam di masjid
5.) Lewat di masjid, kalau khawatir mengotori masjid
Dan seperti orang suci dalam sebagian hukum, yaitu:
1.) Boleh/wajib shalat.
2.) Boleh/wajib puasa
34
3.) Boleh thawaf
4.) Boleh dicerai
5.) Boleh mandi/bahkan wajib
Karena setiap waktu keluar darah kemungkinan untuk menepati
waktu terhentinya haid yang di adakan, maka wanita tersebut wajib
mandi tiap-tiap akan menjalankan shalat fardhu setelah masuk waktu
sholat.
f. Al-Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah La Dzakirah Li Adatiha Qodron wa
Waqtan (Mutahayyiroh Bi Nisbati Liwaqtil Aadhah)
Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan suci darah nya
hanya satu macam dan ia hanya ingat pada banyak sedikitnya haid
yang menjadi adat nya tadi namun tidak ingat akan waktunya.
Hukumnya:
Pada masa yang diyakini suci, hukumnya suci. Sedangkan pada
waktu yang sedang diyakini haid, maka hukumnya haid, maka
hukumnya haid. Dan pada masa yang ragu-ragu/mengandung banyak
kemungkinan maka hukumnya seperti Mutahayyiroh.
g. Al-Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Az-Dzakirah Li Adatiha Waqtan
Laa Qodron /Mutahayyiroh Bi Nisbati Liqodril Aadah.
Yaitu orang Istihadhah yang pernah haid dan suci, warna
darahnya hanya satu macam atau tidak bisa membedakan darah, dan ia
ingat akan waktu haid adatnya, tapi tidak ingat pada banyak sedikitnya.
Hukumnya:
35
Pada hari yang diyakini haid hukumnya haid, pada hari yang diyakini
suci hukumnya suci. Sedangkan pada hari yang mengandung banyak
kemungkinan maka hukumnya seperti Mutahayyiroh.
4. Bentuk Atau Macam Darah Istihadhah Menurut Ilmu Kedokteran
Bentuk atau macam darah istihadhah menurut ilmu kedokteran
adalah 43
a. Placenta Previa
Placenta previa adalah placenta yang letaknya tidak normal,
yaitu pada bagian bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau
seluruh pembukaan jalan lahir. Penyebab placenta previa belum
diketahui secara pasti. Frekuensi terjadinya placenta previa meningkat
pada seorang wanita yang sudah sering melahirkan, memiliki riwayat
pembedahan (seksio sesarea) atau aborsi pada kehamilan sebelumnya.
b. Bloody show
Bloody show adalah suatu cairan discharge (lendir atau getah)
yang bercampur dengan darah segar. Bloody show biasanya menjadi
salah satu pertanda bahwa seorang yang hamil tua sudah mengalami
proses melahirkan. Bloody show secara normal berbau khas dan agak
amis, tetapi dapat juga berbau busuk jika terjadi penyumbatan,
pengeluaran dan infeksi.
c. Pendarahan akibat penggunaan preparat hormonal (obat-obatan KB)
43Hendrik, Problema Haid, Solo: Tiga Serangkai, Cet I, 2006, hlm. 156-160
36
Pendarahan karena penggunaan preparat hormonal ini biasanya
sering terjadi pada wanita pengkonsumsi pil-pil dan suntikan keluarga
berencana (obat-obatan KB). Pendarahan yang terjdi biasanya
disebabkan ketidakteraturan dalam pengansumsi obat-obatan KB,
kelebihan dalam penggunaan obat-obatan dapat mengakibatkan
kelainan dalam pola siklus haid.
Sifat-sifat pendarahan yang paling terjadi diantaranya berupa
bercak-bercak darah dan perdarahan pervaginam yang tidak teratur
atau tidak sesuai dengan waktu haid yang semestinya
(metrorogia/istihadhah).
Penyebab terjadinya istihadhah paling sering adalah gangguan
psikis (kejiwaan), seperti stress merupakan psikis yang sering dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari, baik urusan pekerjaan, rumah tangga dan
sebagainya.
5. Hukum Wanita Istihadhah
Pada penjelasan diatas maka dapat kita mengerti kapan darah itu
sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah. Jika yang terjadi
adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid. Sedangkan
jika yang terjadi adalah darah istihadhah maka yang berlaku adalah hukum
istihadhah.
37
Hukum istihadhah sama halnya dengan hukum wanita dalam
keadaan suci, tidak ada bedanya antara perempuan mustahadhah dan
wanita suci, kecuali dalam hal berikut:
a. Wanita mustahadhah wajib berwudlhu setiap kali hendak shalat.
Berdasarkan hadits Nabi SAW.
ت فاطمة بنت ابي حبيش الى النبى ءجا: قالت :ن عائشةعحاض أستة ال اهللا إنى امريارسو: صلى اهللا عليه وسلم فقالت
أفأدع الصالة؟ فقال ال انما ذلك عرق وليس . فال اطهر ثم أغسلي وتوضئ. حيضكمة ايام بالحيضة اجتنبي الصال
44)بن ماجةارواه (وإن قطر الدام على الحصير . ةلكل صال"Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaiys datang kepada Nabi SAW kemudian berkata: Ya Rasulullah SAW sungguh aku mengalami istihadhah maka aku tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Maka Rasulullah SAW bersabda tidak, karena itu adalah darah penyakit bukan darah haid maka tinggalkanlah shalat pada hari-hari haidmu. Kemudian mandilah dan berwudlulah ketika hendak shalat. Walaupun darah itu menetes diatas alas (HR. Ibnu Majah)
Berdasarkan arti dari hadits di atas memberikan pemahaman
bahwa wanita mustahadhah tidak berwudlu untuk shalat yang telah
tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya.
b. Ketika hendak berwudlu, membersihkan sisa-sisa darah yang
melekatkan kain dengan kapas (pembalut wanita) pada farjinya untuk
mencegah keluarnya darah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw.
أنها . نت جحشب ةه حمنما عنبة،ي شيب بكر بن أودثنا ابحفأتت . استحيضت على عهد رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم
44Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan ibnu Majah, Juz 1, t.th, Dar Al –Fikr, hlm.
204
38
ة يضت ححضني است إفقالت. اهللا صلى اهللا عليه وسلملرسوه أشد من إن: قالت له" احتشى آرسفا"قال لها. شديدةة منكر 45 )ةاجم نب اواهر (ثجا ثج أإنى. ذلك
“Diceritakan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ibunya
Hamnah binti Jahsy. Sesungguhnya saya mengalami istihadhah pada masa Rasulullah SAW. Kemudian saya datang kepada Rasulullah SAW. Kemudian saya berkata: Sesungguhnya saya mengalami istihadhah yang sangat banyak. Kemudian Beliau bersabda: gunakanlah kapas. Kemudian saya berkata: darahnya lebih banyak dari itu, beliau bersabda maka pakailah penahan”. (HR. Ibnu Majah)
Dari pemahaman tersebut walaupun masih ada darah yang
keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya.
Karena sabda Nabi kepada Fatimah binti Abi Hubaisy ‘‘tinggalkanlah
shalat pada hari-hari haid mu, kemudian mandi lah dan berwudlulah
untuk setiap kali shalat, lalu shalat lah meskipun darah menetes diatas
alas’’.
c. Jima’ (senggama)
Para ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan atau tidak
bersetubuh bagi dan kepada perempuan yang tertimpa Istihadhah
apabila dengan meninggalkan jima’ (bersetubuh) tidak dikhawatirkan
akan terjadinya zina, akan tetapi yang benar ialah boleh melakukan
jima’ secara mutlak, baik dikhawatirkan secara adanya perbuatan zina
atau tidak.
6. Wanita Yang Hampir Sama Mustahadhah
45Ibid, hlm. 205
39
Karena suatu sebab, wanita mengalami pendarahan pada farjinya,
karena sudah dioperasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua
macam:
a. Diketahui bahwa wanita tidak memungkinkan untuk haid lagi setelah
operasi, misalnya operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang
mengakibatkan darah yang tidak bisa keluar lagi darinya. Maka tidak
berlaku baginya hukum mustahadhah .
b. Wanita-wanita tersebut tidak diketahui bahwa dia tidak bisa haid lagi
setelah operasi, tetapi diperkirakan dia bisa haid sekali lagi. Maka
berlaku baginya hukum mustahadhah .46 Berdasarkan pada potongan
hadits Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
ايامالة صال تنبيج ايضةلحليس با و عرقكانما ذل... 47) ماجةن ب اواهر (كيضمح
“Ia hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat ”
46Ummu Ahmad al-Ghozy, Ketika Cewek Datang Bulan, PT: Mirqat Media Grafika, Cet I,
2007, hlm. 63-64 47Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Op-Cit
38
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH
BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH
A. BIOGRAFI IMAM MALIK
1. Kelahiran Imam Malik (93-179 H)
Imam Malik adalah Imam kedua dari Imam Empat dalam Islam
dari segi umur beliau dilahirkan 13 tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah.1
Nama lengkapnya Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abu Amar
Ibn Al-haris. Beliau lahir di Madinah tahun 93 H. Beliau berasal dari
keturunan Bangsa Himyar, jajahan Negeri Yaman.2
Ayah Imam Malik adalah Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Abi
Al-Haris Ibn Sa’ad Ibn Auf Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid.3 Ibunya bernama
Siti Aliyah binti Syuraik Ibn Abdul Rahman Ibn Syuraik Al-Azdiyah. Ada
riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan
ibunya selama 2 tahun ada pula yang mengatakan sampai 3 tahun.4
Imam Malik Ibn Anas dilahirkan saat menjelang periode sahabat
Nabi SAW di Madinah.5 Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga
termasuk ulama’ 2 zaman, ia lahir pada masa Bani Umayyah tepat pada
1 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab, Jakarta: PT. Bumi Aksara,
cet. II, 1993, hlm. 71. 2 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, cet. I,
1997, hlm. 103. 3 Moenawir Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, cet.
VIII, hlm. 84. 4 Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit. 5 Abdur Rahman, Syariah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, cet. I, 1993, hlm.
44.
39
pemerintahan Al-Walid Abdul Malik (setelah Umar ibn Abdul Aziz) dan
meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman pemerintahan
Al-Rasyid (179 H).6
2. Pendidikan Imam Malik
Imam Malik terdidik di Kota Madinah pada masa pemerintahan
Kholifah Sulaiman Ibn Abdul Malik dari Bani Umayyah, pada masa itu
masih terdapat beberapa golongan pendukung Islam antara lain sahabat
Anshar dan muhajirin. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-
Qur'an yakni bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya.
Beliau juga hafal Al-Qur'an diluar kepala. Selain itu beliau juga
mempelajari hadits Nabi SAW, sehingga beliau mendapat julukan sebagai
ahli hadits.7
Sejak masa kanak-kanak Imam Malik sudah terkenal sebagai
ulama’ dan guru dalam pengajaran Islam. Kakeknya yang senama
dengannya, merupakan ulama’ hadits yang terkenal dan dipandang sebagai
perawi hadits yang hidup sampai Imam Malik berusia 10 tahun. Dan pada
saat itupun Imam Malik sudah mulai bersekolah, dan hingga dewasa
beliau terus menuntut ilmu.8
Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang ilmu
pengetahuan seperti ilmu Hadits, Al-Rad al-Ahlil Ahwa Fatwa, Fatwa dari
6 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosdakarya, cet. II,
2000, hlm. 79. 7 Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit. 8 Abdurrahman, op. cit., hlm. 146.
40
para sahabat-sahabat dan ilmu fiqh ahli ra’yu (fikir).9 Selain itu sejak kecil
beliau juga telah hafal al-Qur'an. Hal itu beliau lakukan karena senentiasa
beliau mendapatkan dorongan dari ibundanya agar senantiasa giat
menuntut ilmu.
3. Kehidupan Imam Malik
Setelah ditinggal oleh orang yang menjamin kehidupannya, Imam
Malik harus mampu membiayai barang dagangan seharga 400 dinar yang
merupakan warisan dari ayahnya, tetapi karena perhatian beliau hanya
tercurahkan pada masalah-masalah keilmuan saja sehingga beliau tidak
memikirkan usaha dagangnya, akhirnya beliau mengalami kebangkrutan
dan kehidupan bersama keluarganya pun semakin menderita.10
Selama menuntut ilmu Imam Malik dikenal sangat sabar, tidak
jarang beliau menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu Al-Qasyim pernah
mengatakan “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa
sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya,
kemudian dijual di pasar.11
Setelah Imam Malik tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan hidup
keluarganya kecuali dengan mengorbankan tekad menuntut ilmu, mulailah
Imam Malik menyatakan seruannya kepada pengusaha, agar para ahli
dijamin dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk menekuni ilmu yaitu
9 Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 75. 10 Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqih, Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I,
2000, hlm. 278. 11 Abdullah Musthofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta:
LPPSM, cet. I, 2000, hlm. 79.
41
dengan memberi gaji atau penghasilan lain untuk menjamin kehidupan
mereka.
Namun tak ada seorang pun para pengusaha yang menghiraukan
seruan Imam Malik. Karena pada saat itu daulah Umayyah sedang sibuk
memperkokoh dan menetapkan kekuasaannya, mereka sedang menarik
simpati para ilmuwan yang tua bukan yang muda.
Hingga akhirnya secara kebetulan Imam Malik bertemu dengan
pemuda dari Mesir yang juga menuntut ilmu, pemuda itu bernama Al-
Layts Ibn Sa’ad dan keduanya saling mengagumi kecerdasan masing-
masing. Sehingga tumbuhlah semangat persaudaraan atas dasar saling
hormat.12
Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan
penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih serta
memakai wangi, tetapi Al-Layts ibn Sa’ad mengetahui kondisi Imam
Malik yang sebenarnya. Sehingga sepulang kenegerinya, Al-Layts tetap
mengirimkan hadiah uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu
kholifah yang berkuasa menyambut baik seruan Imam Malik agar
penguasa memberikan gaji/penghasilan kepada para ahli ilmu.13
4. Guru-Guru Imam Malik
Saat menuntut ilmu Imam Malik mempunyai banyak guru. Dalam
kitab “Tahdzibul Asma wa Lughat” menerangkan bahwa Imam Malik
12 Abdur Rahman Asy-Syarqawi, loc. cit. 13 Ibid
42
pernah belajar kepada 900 syeikh, 300 darinya golongan tabi’in dan 600
lagi dari tabi’it tabi’in.14 dan guru-gurunya yang terkenal diantaranya:
a. Abu Radim Nafi bin Abd. Al-Rahman
Dalam bidang Al-Qur'an, Imam Malik belajar membaca dan
menghafal Al-Qur'an sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu tajwid yang
baku dari ulama yang sangat terkenal, Abu Radim Nafi’ bin Abd. Al-
Rahman yang sangat terkenal dalam bidang ini hingga masa
sekarang.15
b. Nafi’
Nafi’ merupakan seorang ulama hadits yang besar pada masa
awal kehidupan Malik. Nafi’ mempelajari ilmu ini dari gurunya yang
masyhur (Abdullah ibn Umar) karena Nafi’ pada mulanya adalah
budak yang dimerdekakannnya setelah 30 tahun melayaninya. Orang
yang mengetahui kedudukan Abdullah bin Umar dalam khazanah
hadits niscaya akan memahami betapa beruntungnya Nafi’ dapat
belajar dari tokoh yang sedemikian besar.16
c. Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh (Rabi’ah al-Ray)
Beliau berguru padanya ketika masih kecil. Imam Malik
banyak mendengarkan hadits-hadits Nabi dari beliau. selain itu beliau
juga merupakan guru Imam Malik dalam bidang hukum Islam.17
14 Jaih Mubarok, loc. cit. 15 Abdurrahman L. Doi, Inilah Syariat Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, cet. I. 1990, hlm.
137. 16 Ibid 17 Jaih Mubarok, loc. cit.
43
d. Muhammad bin Yahya Al-Anshari
Beliau merupakan guru Imam Malik yang lain, termasuk juga
ke dalam kelompok tabi’in. dia biasa mengajar di Masjid Nabawi
Madinah.
Sedangkan guru-guru beliau yang lain adalah Ja’far ash-Shadiq,
Abu Hazim Salmah bin Nidar, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id, dan
lain-lain.
5. Murid-Murid Imam Malik
Imam Malik mempunyai banyak sekali murid yang terdiri dari para
ulama’. Qodhi Ilyad menyebutkan bahwa lebih dari 1000 orang ulama’
terkenal yang menjadi murid Imam Malik, diantaranya: Muhammad bin
Muslim Al-Zuhri, Rabi’ah bin Abdurrahman, Yahya bin Said Al-Anshori,
Muhammad bin Ajlal, Salim bin Abi Umayah, Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq
dan Sulaiman bin Mahram Al-Amasi.18
Sedangkan yang seangkatan adalah Sufyan bin Said Al-Sauri, Lais
bin Saad Al-Misri, al-Auza’i, Hamad bin Zaid, Sufyan bin Uyaynah,
Hammad bin Salamah, Abu Hanifah dan putranya Hammad, Qodhi Abu
Yusuf, Qodhi Syuraik bin Abdullah dan Syafi’i, Abdullah bin Mubarok,
Muhammad bin Hasan, Qodhi Musa bin Thoriq dan Walid bin Muslim.
18 Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 75
44
6. Karya Imam Malik
Di antara karya Imam Malik adalah kitab Al-Al-muwatha’ yang
ditulis pada tahun 144 H. Atas anjuran kholifah Ja’far Al-Mansyur.
Menurut penelitian Abu Bakar Al-Abhary Atsar Rosulullah SAW, para
sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab Al-Al-muwatha’ sejumlah
1.720 orang.
Pendapat Imam Malik bisa sampai pada kita melalui 2 buah kitab,
yaitu Al-Al-muwatha’ dan Al-Mudawwamah al-Kubro.19 Kitab Al-
muwatha’ mengandung 2 aspek yaitu aspek hadits dan aspek fiqih.
Adanya aspek hadits karena Al-Al-muwatha’ banyak mengandung hadits
yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat atau tabi’in. hadits itu
diperoleh dari 95 orang yang kesemuanya dari penduduk Madinah, kecuali
6 orang diantaranya: Abu Al-Zubair (makkah), Humaid Al-Ta’wil dan
Ayyub Al-Sahtiyang (basrah), Atha’ bin Abdullah (khurasan), Abdul
Karim (jazirah), Ibrahim ibn Abi Ablah (syam).20
Sedangkan yang dimaksud aspek fiqih adalah karena kitab Al-Al-
muwatha’ disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab pembahasan
layaknya kitab fiqih. Ada bab thaharah, sholat, zakat, puasa, nikah, dan
lain-lain.21
Kitab lain karangan Imam Malik adalah kitab Mudawwamah Al-
Kubro yang merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih 1.036
masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh As’ad ibn Al-
19 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 117. 20 Ibid 21 Ibid, hlm. 118.
45
Furaid Al-Naisabury yang berasal dari tunis yang pernah menjadi murid
Imam Malik.
Al-muwatha’ sebenarnya ditulis oleh As’ad ibn Al-Furaid ketika di
Irak, ketika ia bertemu dengan Yusuf dan Muhammad yang merupakan
murid Abu Hanifah, ia banyak mendengarkan masalah fiqih aliran Irak.
Kemudian ia pergi ke Mesir dan bertemu Al-Qosim (murid Imam Malik).
Dengan permasalahan fiqih yang diperolehnya dari Irak, dia menanyakan
kepada Al-Qosim, dan akhirnya jawaban-jawaban itulah yang menjadi
kitab Mudawwamah al-kubro.22
B. PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA
YANG ISTIHADHAH
Iddah yang merupakan jarak waktu yang ditentukan oleh syari’at Islam
bagi seorang perempuan yang bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya,
sampai ia diperkenankan menikah lagi. Ketentuan jarak waktu menunggu ini
dikenakan terhadap istri yang diceraikan oleh suaminya dengan proses
thalak,23 fasakh,24 khuluk25 dan sebagainya, asalkan di dalam pernikahan itu
sudah berlangsung koitus (ba’da dukhul). Hal ini juga berlaku bagi istri yang
22 Ibid, hlm. 119. 23 Thalak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri dengan
memakai kata-kata tertentu. Lihat: Departemen Agama, Ilmu Fiqih II, Jakarta: Dirjen Binbaga, 1984/1985, hlm. 226.
24 Fasakh ialah putusnya perkawinan dengan jalan pembatalan ikatan tali perkawinan (nikah) yang dilakukan oleh hakim, setelah ada usulan dari si istri. Lihat: Ustad Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah, Surabaya: Bintang Terang, cet. I, 1993, hlm. 96.
25 Khuluk yaitu thalak (perceraian) yang t imbul atas inisiatif istri dengan membayar tebusan (iwad) kepada suami. Lihat: Aqis bil Qisthi, Pengetahuan Nikah, Thalak dan Rujuk, Surabaya: Putra Jaya, 2007, hlm. 81.
46
ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan bagi istri yang belum digauli
menurut pendapat ulama tidak ada iddah baginya.
Bagi istri yang sudah pernah berhubungan (dukhul), terkadang masih
mengalami haid ataupun sebaliknya. Istri yang tidak haid terkadang masih
kecil dan terkadang sudah putus haid. Istri yang masih haid terkadang sedang
hamil, haidnya berjalan teratur atau terkena pendarahan. Sedangkan masalah
iddah telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya.
Mengenai wanita yang istihadhah, Imam Malik berpendapat bahwa
iddahnya satu tahun. Alasanya wanita tersebut disamakan dengan istri yang
sudah tidak haid. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dalam kitab Al-
Al-muwatha’:
عدة : حدثني مالك، عن ابن شهاب عن سعيد بن مسيب، أنه قال 26. سنةالمستحاضة
Diceritakan dari Imam Malik, dari ibn Shihab dari Said bin Musayab, iddah bagi wanita istihadhah satu tahun.
Istri tersebut harus menunggu selama 9 bulan, jika masa tersebut istri
masih belum haid, maka ia menjalani haid tiga bulan.27
Imam Malik mengemukakan alasan secara rasional, iddah itu
dimaksudkan untuk mengetahui kekosongan rahim wanita dari kehamilan.
Karena terdapat fakta, ada wanita yang hamil kadang mengalami haid.
Sedangkan pendapat Imam lain dapat kita temukan dalam kitab
“Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid ”,28 yaitu :
26 Imam Malik bin Anas, Al-Muwatho’, Bairut: Darul Ihya’ul Ulum, hlm. 437 27 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, juz I, Baerut: Dar Al-Kutub
Al-Islamiyah, t.th, hlm.69. 28Ibid.
47
1. Pendapat Abu Hanifah yang berpendapat bahwa iddahnya adalah bilangan
haid yaitu tiga bulan apabila ia sudah putus haid dan tiga quru’ apabila ia
masih haid. Alasannya wanita itu mengalami haid pada tiap bulan. maka
Allah menjadikan iddahnya dengan bilangan bulan, pada saat haidnya
menghilang atau ketidakjelasan haid sama dengan menghilangnya haid.
2. Pendapat Imam Syafi’i bahwa iddah wanita yang istihadhah berdasarkan
pembedaan, jika darahnya dapat di beda-bedakan (darah merah tua adalah
darah hari-hari haid dan darah yang berwarna kuning adalah darah hari-
hari suci). Jika kedua jenis darah tersebut dapat dibedakan maka ia
beriddah tiga bulan apabila ia sudah putus haid atau tiga quru’ apabila ia
masih haid. Imam Syafi’i berpendapat demikian berkenaan dengan
pendapatnya mengenai wanita yang mengetahui hari-hari haid dan
istihadhah, agar ia berbuat berdasarkan pengetahuannya bahwa hal itu
disamakan dengan shalat.
C. Istinbath Hukum Imam Malik
Imam Malik merupakan imam madzhab yang memiliki perbedaan
istinbath hukum dengan imam madzhab lainnya. Imam Malik sebenarnya
belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam
berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan
generasi yang muncul sesudah itu, mengumpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam
Malik kemudian menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun tidak
ditulis sendiri oleh Imam Malik, akan tetapi mempunyai kesinambungan
pemikiran, paling tidak beberapa isyarat itu dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa
48
Imam Malik terutama dalam bukunya “al-muwatha’`”. Dalam “al-
muwatha’`”, secara jelas Imam Malik menerangkan bahwa dia mengambil
“tradisi orang-orang madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-
Qur'an dan sunnah. Bahkan ia mengambil hadits munqothi’ dan mursal selama
tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
Mengenai metode istinbath hukum Imam Malik telah dijelaskan oleh
Al-Qadi Iyad dalam kitab al Madarik Dar al-Rasyid ,dan juga salah seorang
fuqoha malikiyah. Kemudian dalam kitab al Bahjah yang disimpulkan oleh
pengarang kitab Tarikh al Madzahibil Islamiyah disebutkan sebagai berikut:
وخالصة ماذآره هذان العالمان وغيرهما ان منهاج امام دار الهجرة انه يأخذ بكتاب اهللا تعالى اوال، فان لم يجد فى آتاي اهللا تعالى نصااتجه الى السنة، ويدخل فى السنة عنده احاديث رسول اهللا
وفتاوي الصحابة واقضيتهم، وعمل اهل المد صلىلله عليه وسلم، 29.ومن بعد السنة بشتى فروعها يجئ القياس. ينة
" Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ulama ini dan
yang lainnya bahwasanya metode ijtihad Imam Darul Hijriyah itu adalah apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash didalamnya maka dia mencarinya di dalam sunnah, dan menurut beliau yang masih tergolong kategori sunnah perkataan Rasulullah saw, fatwa-fatwa sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah. Setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas”.
Walaupun para ulama hadits yang ditemui oleh Imam Malik termasuk
kelompok ulama’ tradisional yang menolak pemakaian akal dalam kajian
hukum, namun pengaruh Rabi’ah bin Yahya bin Sa’id tetap kuat pada corak
kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum madzhab
Malik yang bersumber pada : Al-qur’an, hadits, tradisi masyarakat Madinah,
fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, sadd al- dzara’i.
29 Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Beirut: Dar Al-Fikr,
Juz II, tth, hlm. 423
49
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiedieqy mengatakan Imam Malik
bin Anas mendasarkan fatwanya kepada kitabullah, sunnah yang beliau
pandang shohih, amal ahli Madinah, qiyas, istihsan.30
Menurut as- satibi dalam kitab al- muwafaqot menyimpulkan dasar-
dasar Imam Malik ada empat yaitu Al-qur’an, hadits, ijma, ra’yu. Sedangkan
fatwa sahabat dan amal ahli Madinah digolongkan dalam sunnah. Ro’yu
meliputi maslahah mursalah, sadd al zara’I, adat (urf), istihsan dan istishab.
Secara garis besar, dasar-dasar Imam Malik dalam menetapkan suatu
hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Al-Qur'an
Ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan Bahasa Arab yang di riwayatkan secara mutawatir dan tertulis
dalam mushaf.31 Dalam mengambil hukum di dalam Al-Qur'an beliau
berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur'an atau keumumannya, meliputi
mafhum al-muwafaqoh dan mafhum aula dengan memperhatikan illatnya.
b. Sunnah (Hadits)
Ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi SAW
yang berkaitan dengan hukum.32 Dalam mengambil hukum, Imam Malik
mengikuti cara yang dilakukan dalam mengambil hukum di dalam Al-
Qur'an. Beliau lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah
dari pada dhahir sunnah (sunnah mutawatiroh atau masyhur).
c. Amal Ahli Madinah
30 Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiedieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki, 1997, hlm. 88 31 Drs. Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, cet. I,
hlm. 28. 32 Ibid, hlm. 61.
50
Madzhab Maliki memberikan kedudukan yang penting kepada
perbuatan orang-orang Madinah, sehingga kadang-kadang
mengesampingkan hadits Ahad, karena amal ahli Madinah merupakan
pemberitaan oleh jama’ah, sedangkan hadits ahad hanya merupakan
pemberitaan perorangan. Apabila pekerjaan itu bertentangan dengannya
dan pekerjaan orang-orang Madinah, menurut pandangannya sama
kedudukannya dengan yang diriwayatkan mereka, dimana mereka
mewarisi pekerjaan tersebut dari nenek-moyang mereka secara berurutan
sampai kepada para sahabat.33
Imam Malik menggunakan dasar amal ahli Madinah karena mereka
paling banyak mendengar dan menerima hadits. Amal Ahli Madinah yang
digunakan sebagai dasar hukum merupakan hasil mencontoh Rasulullah
SAW bukan dari ijtihad Ahli Madinah, serta amal ahli Madinah sebelum
terbunuhnya Ustman bin Affan.34
d. Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat merupakan fatwa yang berasal dari sahabat besar
yang didasarkan pada al-naql. Dan fatwa sahabat itu berwujud hadits yang
wajib diamalkan. Karena menurut Imam Malik para Sahabat tersebut tidak
akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah
SAW. Dalam hal ini Imam Malik mensyaratkan fatwa sahabat tersebut
harus tidak bertentangan dengan hadits marfu’.35
33 Khozin Siroj, Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi
UII, 1981, hlm. 55 34 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 107. 35 Ibid, hlm. 108.
51
e. Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan
Qiyas yaitu menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah
ditetapkan oleh nashnya karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam
‘illat hukum.36 Dan qiyas ini merupakan pintu awal dalam ijtihad untuk
menemukan hukum yang tidak ada nashnya baik dalam Al-Qur'an maupun
sunnah.
Maslahah mursalah yaitu memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan
jalan menolak segala sesuatu yang menolak makhluk.37 Sedangkan
istihsan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang
merupakan bagian dalam dalil yaitu bersifat kulli (menyeluruh) dengan
maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal dari pada qiyas, sebab
menggunakan istihsan itu, bukan berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya
pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.38
Dalam hal ini, ketika Imam Malik menemui sebuah kasus dan tidak
menemukan pemecahannya pada Al-Qur'an, hadits, serta ijma’ para
sahabat Madinah. Barulah ia menqiyaskan kasus yang baru itu dengan
kasus yang mirip yang pernah terjadi. Jika pada dua kasus terjadi banyak
illat (sebab, alasan) yang serupa atau hampir serupa. Akan tetapi jika hasil
penqiyasan itu ternyata berlawanan dengan kemaslahatan umum, baginya
36 Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002, cet. VIII, hlm. 74. 37 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet.
IV, hlm. 199. 38 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 109.
52
lebih baik menetapkan keputusan hukumnya atas dasar prinsip
kemaslahatan umum.39
Imam Malik menggunakan maslahah mursalah pada kepentingan
yang sesuai dengan semangat syari’ah dan tidak bertentangan dengan
salah satu sumbernya serta pada kepentingan yang bersifat dlarury
(meliputi pemeliharaan agama, kehidupan, akal, keturunan, dan
kekayaan).40
f. Sadd al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-zara’i41 sebagai landasan dalam
menetapkan hukum, karena menurutnya semua jalan atau sebab yang
menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram . Dan semua
jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.42
39 Abdurrahman Asy-Syarqawi, op. cit., hlm. 270. 40 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991, cet. I, hlm. 131. 41 Sadd Al-Zara’i yaitu menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Lihat: Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 102. 42 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 112.
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH
A. Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi Wanita yang
Istihadhah
Dari pembahasan yang telah penulis kemukakan diatas, maka penulis
berusaha menganalisis pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang
istihadhah. Yang mana pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan
tentang keunikan Imam Malik dibandingkan ulama’ lain seperti Abu Hanifah
dan Imam Syafi’i dalam hal penggunaan istinbath hukum, sehingga
berdampak pada hukum yang dikeluarkan, dengan dasar istinbath hukum yang
berbeda maka berbeda pula hukum yang dihasilkan.
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara Imam Malik dengan
Imam lainnya dalam penggunaan istinbath hukum. Imam Malik lebih
mendahulukan amal ahli madinah dan menganggap qoul sahabat sebagai dalil
Syar’i yang harus didahulukan dari pada qiyas.
Menurut Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha’ disebutkan :
حدثنى عن ملك عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب انه آان 1. الطالق للرجال والعدة للنساء: يقول
"Diceritakan dari Malik bin Sa’id, dari Said bin Musayyab, Imam Malik berkata : thalak adalah untuk laki- laki dan Iddah untuk perempuan ".
1Imam Malik Bin Anas, Al- Muwatha’, Beirut : Daar Al- Fikr, t.th, hlm. 356
54
69
Iddah yang merupakan tenggang waktu tertentu yang harus dihitung
oleh seorang wanita sejak ia berpisah dengan suaminya, baik perpisahan itu
disebabkan karena thalak maupun karena suaminya meninggal dunia dan
dalam masa tersebut, wanita itu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain.
keadaan wanita tersebut bisa saja suci, haid, sudah putus haid hamil atau
sedang mengalami pendarahan (istihadhah).
Berkaitan dengan iddah bagi wanita istihadhah, menurut Imam Malik
adalah satu tahun. Hal ini beliau ungkapkan dalam kitabnya :
حدثنى عن ملك عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب انه قال عدة 2لمستحاضة سنة ا
Kemudian dalam kitab Syarah al- Zarqoni disebutkan :
مالك عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب انه قال عدة المستحاضة سنة إن لم تميز بين الدمين بال خالف فان ميزت فعد تها باألقراء البالسنة على المشهور وقول ابن القاسم وقال ابن وهب
3. طلقا وهما رويتان عن مالكبالسنة م"Diceritakan dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Musayyab, bahwa Imam Malik berkata: iddah bagi wanita istihadhah adalah satu tahun. Apabila wanita tersebut tidak bisa membedakan antara dua darah (darah haid dan darah istihadhah) apabila ia bisa membedakan antara dua darah tersebut maka iddahnya dengan hitungan quru’ bukan dengan hitungan tahun (menurut al- qosim ). Sedangkan menurut Ibn Wahab iddahnya adalah satu tahun saja."
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa iddah bagi wanita yang
istihadhah pada dasarnya berdasarkan pembedaan. Apabila ia bisa
membedakan antara dua darah, maka ia Beriddah dengan hitungan quru’
sedangkan bila ia tidak bisa membedakan antara dua darah maka ia Beriddah
dengan hitungan tahun.
Selanjutnya Imam Malik memberikan batasan (rincian) tentang
hitungan iddah sampai satu tahun, diterangkan dalam kitabnya:
2Ibid. 3Imam Syayyidi Muhammad al-Zarqoni, Syarah Az-Zarqani Juz III, Beirut: Dar al-Fiqr,
t.th., hlm. 212
55
69
التى ترفعها حيضتها حين يطلقها األمر عندنا فى المطلقة : قال مالك زوجها انها تنتظر تسعة اشهر، فان لم تحض فيهن اعتدت ثالثة اشهر، فان حاضت قبل ان تستكمل االشهر الثالثة استقبلت الحيض، فان مرت بها تسعة اشهر قبل ان تحيض اعتدت ثالثة اشهر، فان
، فان حاضت الثانية قبل ان تستكمل االشهر الثالثة استقبلت الحيضمرت بها تسعة اشهر قبل ان تحيض اعتدت ثالثة اشهر، فان حاضت الثالثة آانت قد استكملت عدة الحيض، فان لم تحض استقبلت ثالثة اشهر، ثم حلت، ولزوجها عليها فى ذلك الرجعة قبل
4 .بت طلقها ان نحل اال ان يكون قد
" istri yang diceraikan kemudian tidak haid, sedang ia masih dalam usia haid maka wanita tersebut beriddah selama sembilan bulan, jika masa itu (sembilan bulan) istri tersebut tidak haid maka ia menjalani iddah selama tiga bulan. Apabila ia haid sebelum sempurna masa tiga bulan, maka haid tersebut dihitung dan menunggu kedatangan haid berikutnya. Apabila telah berlalu masa sembilan bulan tetapi belum datang haid yang kedua maka ia beriddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid sebelum selesai tiga bulan dari haid yang kedua, maka ia menunggu haid yang ketiga. Jika sudah berlalu masa sembilan bulan sebelum datangnya haid,. Maka ia beriddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid yang ketiga kalinya pada masa tiga bulan, maka telah sempurnalah haidnya dan selesai pula masa iddahnya, suaminya boleh merujuk selama istri tersebut belum lepas dari iddahnya. "
Imam Malik memberikan batasan demikian karena beliau
menyamakan iddah bagi wanita yang istihadhah dengan wanita yang tidak
haid, sedang ia masih dalam usia haid. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh
Imam Malik melalui atsar Umar bin Khattab:
ايما امراءة طلقت ، فحاضت حيضة او : قال عمر بن الخطاب حيضتين ثم رفعتها حيضتها ، فإنها تنتظر تسعة اشهر، فإن بان بها
5. حمل فذلك واال اعتدت بعد التسعة االشهر ثالثة اشهر ثم حلت"Umar bin khatab berkata: wanita yang dithalak suaminya dalam keadaan haid baik haidnya baru sekali atau dua kali kemudian haidnya berhenti, maka ia harus menunggu selama sembilan bulan untuk
4Imam Malik bin Anas, op. cit. 5Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz I, Beirut: Dar al-Kutun al-
Islamiyah, t.th., hlm. 69
56
69
mengetahui kehamilannya, Apabila setelah sembilan itu ia tidak hamil maka ia beriddah selama tiga bulan dan wanita tersebut halal untuk dinikahi."
Pendapat Imam Malik yang lain dapat kita temukan dalam kitab
bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid :
واما المستحاضة فعدتها عند مالك سنة اذا لم تميز بين الدمين، فإن واالخري . احدهما ان عدتها السنة: ميزت بين الدمين فعنه رويتان
6. انها تعمل على التمييز فتعتد با ألقراء"Menurut Imam Malik wanita yang istihadhah adalah satu tahun apabila tidak bisa membedakan antara dua darah. Apabila wanita tersebut bisa membedakan antara dua darah terdapat dua pendapat yaitu iddahnya adalah satu tahun, sedangkan Imam yang lain mengatakan iddahnya dengan hitungan quru’. "
Selanjutnya beliau memberikan alasan :
وانما ذهب مالك الى بقاء السنة ألنه جعلها مثل التى التحيض وهي 7. من اهل الحيض
"Mengenai pendapat Imam Malik untuk menunggu satu tahun, ia mengemukakan alasan bahwa istri tersebut disamakan dengan wanita yang sudah tidak haid, padahal ia termasuk orang yang seharusnya haid".
Imam Malik berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari : فلتترك الصالة قدر ذلك، ثم اذا حضرت الصالة فلتغسل ولسنثفر ثم
8تصلى “Tinggalkan shalat pada hari-hari haidmu, jika kadar darah tersebut telah hilang darimu, maka bersihkanlah darah itu”
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, Imam Malik berpendapat iddah
bagi wanita yang istihadhah berdasarkan pembedaan (satu tahun apabila ia
tidak bisa membedakan antara dua darah, 3 quru’ apabila ia bisa membedakan
6Ibid 7Imam Malik bin Anas, op. cit. 8 Abi Dawud Sulaiman bin asy’ats, Sunan Abi Dawud, Indonesia: Maktabah Dahlan, tth,
hlm. 72.
57
69
dua darah) alasannya wanita tersebut disamakan dengan wanita yang tidak
haid sedang ia masih dalam usia haid.
Pendapat Imam Malik berbeda dengan pendapat ulama-ulama lin,
menurut mereka iddah bagi wanita yang istihadhah adalah hitungan bulan
atau hitungan quru’. Hal ini dapat kita temukan dalam kitab Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid :
قال ابو حنيفة عدتها اال قراء ان لم تميرت لها وان لم تتميزلها فثالثة
اشهر“Abu Hanifah berpendapat iddahnya (wanita istihadhah) adalah bilangan haid, jika darah itu sudah jelas maka ia Beriddah tiga bulan”
عدتها بالتمييز اذا انفصل عنها الدم، فيكون االحمر : وقال الشافعي القانى من الحيض ويكون االصفر من ايام الطهر، فإن طبق عليها
.صحتهاالدم اعتدت بعد دايام حيضتها فى “Imam Syafi’i berpendapat iddah perempuan tersebut berdasarkan perbedaan, jika darahnya merah tua adalah haid, sedangkan darah yang berwarna kuning termasuk hari-hari suci. Jika darah itu sesuai baginya, maka ia Beriddah dengan bilangan hari-haru quru’”.
Para ulama sepakat bahwa iddah bagi perempuan yang tidak haid baik
karena masih kecil atau sudah tidak haid (menopause), apabila ia dicerai oleh
suaminya maka ia Beriddah selama 3 bulan. Akan tetapi bagi wanita yang
dicerai oleh suaminya dalam keadaan masih haid kemudian tidak mengalami
haid lagi sedangkan ia masih berada dalam usia haid maka para ulama
memberikan alasan yang berbeda.
Menurut Imam Malik iddah bagi wanita yang tidak mengalami haid
sedang ia masih dalam usia haid dan tidak ada keraguan adanya kehamilan
atau sebab lain (menyusui atau sakit), maka istri tersebut harus menunggu
selama 9 bulan. Jika dalam masa tersebut istri tidak mengalami haid, maka is
menjalani iddah selama 3 bulan. Pendapat Imam Malik ini berdasarkan atsar
Umar bin Khattab.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Hanafi, iddah bagi wanita yang
berhenti haidnya sedangkan ia masih dalam usia haid ia harus menunggu
58
69
sehingga memasuki usia putus haid. Ketika itu sudah jelas maka, ia Beriddah
dengan hitungan bulan atau dengan hitungan quru’ ungkapan ini terdapat
dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Maqashid :
وقال ابو حنيفة والشافعي والجمهور في التي ترفع حيضتها وهي ال تيأس منها في المستأنف انها تبقي أبدا تنتظر حتي تدخل في السن
9.حيض قبل ذلكالذي تيأس فيه من المحيض وحينئذ تعتد باالشهر وتPerbedaan pendapat ini dikarenakan perbedaan para ulama dalam
memahami firman Allah dalam surat al-Thalaq , ayat 4:
ة أشهر والالئي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثالث والالئي لم يحضن
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (Menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. 10
Imam Malik mengartikan kata ya-is adalah wanita yang tidak dapat
dipastikan telah putus haid. Beliau menjadikan firman Allah إن ارتبتم (jika
kamu ragu-ragu) berkaitan dengan hukum bukan dengan haid (yaitu jika kamu
ragu-ragu tentang istri yang telah putus haid). Sedangkan bagi wanita yang
selama 9 bulan tidak mengalami haid sedang usianya masih memungkinkan
terjadinya haid, Imam Malik berpendapat bahwa ia Beriddah selama 3 bulan
(9 bulan untuk mengetahui kehamilannya, 3 bulan untuk iddahnya)
Imam Syafi’i dan Hanafi mengartikan kata ya-is adalah wanita yang
sudah putus haid. Bagi wanita yang berhenti haidnya sedang ia masih
mungkin mengalami haid maka ia harus menunggu sampai ia memasuki usia
tersebut (usia putus haid).
9Ibnu Rusyd, op. cit, hlm 68-69 10Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Kudus: Mubarokatan Thoyyibah,
t.th., hlm. 558
59
69
Berkaitan dengan iddah bagi wanita yang istihadhah Imam Malik
berpendapat bahwa iddahnya satu tahun sedangkan menurut Imam Syafi’i
dan Imam Hanafi Iddah wanita yang istihadhah berdasarkan pembedaan (3
bulan apabila ia sudah putus haid tiga quru’ apabila ia masih haid).
Imam Syafi’i dan Hanafi beralasan wanita tersebut harus dapat
membedakan antara dua darah (darah haid dan darah istihadhah). Menurut
Imam Hanafi beralasan umumnya wanita haid adalah tiap bulan mengeluarkan
darah, apabila haidnya menghilang (tidak jelas) sama dengan menghilangnya
haid maka ia Beriddah selama 3 bulan. Sedangkan Imam Syafi’i beralasan
bahwa darah merah adalah darah haid dan darah kuning adalah darah hari-hari
suci, maka ia Beriddah dengan hitungan quru’ ( 3 bulan apabila ia sudah putus
haid atau 3 quru’ apabila ia masih haid) .
Dalam permasalahan ini penulis beranggapan bahwa pendapat Imam
Malik tentang iddah bagi wanita istihadhah terlalu memberatkan karena salah
satu tujuan dari iddah adalah untuk mengetahui kehamilan seseorang, al-
Qur’an memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa iddah terlama adalah
empat bulan sepuluh hari (bagi wanita yang dicerai mati), tiga bulan bagi
wanita yang sudah putus haid atau belum pernah haid dan tiga quru’ bagi
wanita yang masih haid. Sedangkan bagi wanita yang dithalak suaminya
(pernah haid sekali atau dua kali) kemudian pada masa iddahnya ia tidak haid
menurut penulis iddahnya adalah tiga bulan. Apabila tiga bulan tersebut
diketahui ia hamil maka wanita tersebut harus Beriddah sampai ia melahirkan.
60
69
Akan tetapi apabila waktu tiga bulan tersebut ia tidak hamil maka habislah
masa iddahnya.
Sedangkan wanita yang istihadhah adalah wanita yang selalu
mengeluarkan darah dari farjinya bukanlah wanita yang berhenti
mengeluarkan darah, baik darah itu keluar selama 4 atau 5 hari setelah 15 hari
mengeluarkan darah haid, atau darah tersebut keluar terus menerus selama
satu tahun yang penting wanita tersebut bisa membedakan antara darah
istihadhah dan darah haid.
Menurut penulis iddah bagi wanita yang istihadhah sebaiknya
dikembalikan kepada hukum asal, artinya wanita tersebut harus bisa
membedakan antara darah haid dan darah istihadhah. Selain itu wanita
tersebut juga berdasarkan kepada haid atau tidaknya wanita tersebut. Seperti
dalam kaidah fiqih:
11االصل بقاء ماآان على ماآان “Yang menjadi pokok adalah tetapnya sesuatu kepada keadaan
semula”. Jadi menurut penulis iddah bagi wanita istihadhah dikembalikan
kepada hukum asal. Apabila wanita tersebut masih haid maka ia Beriddah
selama 3 quru’, apabila ia sudah putus haid maka ia Beriddah dengan
hitungan bulan (tiga bulan).
B. Analisis Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Iddah Bagi Wanita yang
Istihadhah
11 Imam Musbikin Qawaid Al- Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, cet.I, 2001,
hlm. 53
61
69
Dalam menentukan hukum pertama-tama Imam Malik mencarinya di
dalam al-Qur’an. karena al-Qur’an merupakan sumber hukum Syari’at Islam
yang pertama, dengan al-Qur’an pula kita akan mengetahui hukum Allah
SWT. Di dalam al-Qur’an syari’at secara keseluruhan diterangkan. Oleh
karena itu al-Qur’an mempunyai daya tahan sepanjang zaman dan dapat
sesuai dengan kondisi setiap masyarakat. selain itu hukum di dalam al-Qur’an
juga bersifat mujmal yang perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad.12
Di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an terkadang kita memerlukan
penjelasan atau takwil dengan cara mempelajari hadits. Hadits sangat
diperlukan karena bukan saja sebagai sumber yang kedua bagi Syari’at Islam
akan tetapi juga karena sebagai penafsir al-Qur’an, pensyarah, menafsirkan
yang mujmal dan mentaqyidkan yang mutlaq.13
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an kita memerlukan pentakwilan,
apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan
pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara
dhohir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam dhohir dalam sunnah
sekalipun jelas maka yang didahulukan adalah dhohir al-Qur’an tetapi apabila
makna yang terkandung oleh sunnah tersebut dikuatkan dengan ijma’ ahli
Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam dhohir
sunnah dari pada dhohir al-Qur’an (sunnah mutawatiroh atau sunnah
mashuroh) .
12 Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, pengantar ilmu fiqih, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997, hlm. 176 13 Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Madzhab,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 186
62
69
Praktek keagamaan menurut para sahabat Imam Malik, tidak lain
adalah praktek yang diwarisi para masa Rasulullah saw, kemudian praktek
tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya sampai kepada Imam Malik.
Dengan demikian perilaku sehari hari penduduk Madinah (ijma ahli Madinah)
yang berasal dari qur’an, hasil mencontoh Rasulullah saw bukan berasal dari
ijtihad ahli Madinah. Sehingga amal ahli Madinah ini dijadikan sebagai
sumber hukum dalam islam dan kedudukannya sebagai hadits mutawatir.
Selanjutnya jika hukum tersebut tidak ditemukan dalam sumber-
sumber tersebut, maka Imam Malik merujuk kepada fatwa sahabat. Fatwa
sahabat yang dimaksud adalah berwujud hadits-hadits yang bersumber dari
para sahabat besar yang mempunyai pengetahuan terhadap suatu masalah
sehingga hadits tersebut wajib diamalkan.
Imam Malik mensyaratkan fatwa sahabat yang bisa dijadikan sebagai
hujjah tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’. Selain itu fatwa sahabat
yang merupakan hasil ijtihad mereka.
Setelah berbagai metode yang ditempuh diatas belum juga
menemukan suatu ketetapan hukum, kemudian Imam Malik ibn Anas
menggunakan qiyas. Qiyas menurut ulama’ ushul ialah menghubungkan suatu
kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya,
dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua
kejadian itu dalam illat hukumnya.14
14 Prof. Dr. Abdul wahhab khallaf, Kaidah- Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, cet. VIII, 2002, hlm. 74
63
69
Metode qiyas yang digunakan Imam Malik tidak berbeda dengan
Imam Abu Hanifah hanya saja konsep istihsannya yang berbeda. Kalau Abu
Hanifah melakukan istihsan dengan mengalihkan furu’ pada asal yang lain,
illatnya lemah tetapi hasil hukumnya lebih baik, makna konsep istihsan Imam
Malik adalah beralih dari qiyas pada maslahat.
Selanjutnya metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik
adalah maslahah yang bersifat umum bukan sekedar maslahah yang hanya
berlaku untuk orang-orang tertentu. Selain itu maslahah tersebut juga tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan nash (baik Al-Qur’an maupun Sunnah).
Metode istinbath hukum terakhir yang digunakan Imam Malik yang
terakhir adalah Sadd al-Dzara’i. Imam Malik menggunakan landasan ini
karena semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang
hukumnya haram atau terlarang dan semua jalan atau sebab yang menuju
kepada halal, halal pula hukumnya.
Secara bahasa Sadd al-Dzara’i dapat diartikan sebagai sarana yaitu
sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan, dan tujuan yang dimaksud
ada kalanya perbuatan-perbuatan taat dan adakalanya perbuatan maksiat.
Andainya akan sarana tersebut membawa kepada perbuatan maksiat maka
sarana tersebut harus ditutup karena dapat menimbulkan mafsadat.
Dalam pembahasan ini Imam Malik menggunakan istinbath
hukumnya berupa qiyas, beliau mengqiyaskan iddah bagi wanita yang
istihadhah diqiyaskan dengan iddah bagi wanita yang tidak haid sedang ia
masih dalam usia haid. Beliau berpegang pada dhahir al-Qur’an surat ath-
Thalak ayat 4:
64
69
إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي يئسن من المحيض من نسائكم واللائي لم يحضن وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ومن يتق
)4: الطلق (الله يجعل له من أمره يسرا Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.15
Hukum asal dalam ayat tersebut adalah iddah bagi wanita yang tidak
haid atau sudah putus haid. Far’un (cabangnya) adalah iddah bagi wanita
istihadhah sedangkan illatnya jika kamu ragu-ragu tentang wanita yang telah
putus haid bukan wanita yang ragu-ragu tentang masa iddah.
Pemisahan antara sebelum sembilan bulan dan sesudahnya
berdasarkan istihsan. Menurut bahasa istihsan adalah menganggap sesuatu itu
baik. Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqh istihsan adalah berpalingnya
seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang nyata (qiyas jali) kepada tuntunan
qiyas yang samar (qiyas khafi) atau dari hukum yang umum (kuli) kepada
hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan ia mencela akalnya
dan dimenangkan baginya perpindahan.16
Dari definisi istihsan di atas, secara jelas istihsan terbagi menjadi dua
macam yaitu pentarjihan qiyas yang tersembunyi atas qiyas nyata karena
adanya suatu dalil dan pengecualian kasuistik dari suatu hukum umum karena
adanya suatu dalil. Dalam hal iddah bagi wanita yang istihadhah Imam Malik
15 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Kudus: Mubarakatan Thoyyibah,
t.th, hlm. 558 16Abdul Wahhab Khallaf, op. cit..
65
69
menyamakan dengan iddah wanita yang telah putus haid. Qiyas jali (iddah
wanita yang telah putus haid adalah tiga bulan) qiyas khafi (iddah wanita yang
telah putus haid tetapi ia masih dalam usia haid, maka ia harus menunggu
selama sembilan bulan kemudian Beriddah tiga bulan). Maksudnya untuk
mengetahui kekosongan rahim wanita dari kehamilan karena terdapat fakta
ada wanita yang hamil terkadang mengalami haid ataupun pendarahan
(istihadhah)
Dengan demikian menjadi jelas bahwa istihsan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan merupakan
bentuk yang pertama dan kedua dari qiyas. Baik qiyas itu qiyas yang
tersembunyi maupun qiyas yang jelas. Tegasnya istihsan selalu melihat
dampak suatu ketentuan hukum yang sampai suatu ketentuan hukum
membawa dampak yang merugikan dan dampak suatu hukum harus
mendatangkan maslahat atau menghilangkan madlarat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka penulis
mengambil beberapa kesimpulan :
1. Darah istihadhah yang merupakan darah yang keluar dari farji seorang
wanita secara terus menerus, baik darah tersebut keluar sehari atau dua
hari setelah 15 hari mengeluarkan darah haid, atau darah tersebut keluar
terus menerus dari awal pertama kali ia mendapatkan darah yang penting
wanita tersebut bisa membedakan antara dua darah tersebut (darah haid
dan darah istihadhah). Akan tetapi apabila ia tidak bisa melakukan
pembedaan , maka hal tersebut dikembalikan kepada kebiasaan wanita
pada umumnya.
2. Menurut penulis pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita
istihadhah adalah satu tahun terlalu memberatkan karena Al-Qur’an
memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa iddah terlama adalah
empat bulan sepuluh hari. Selain itu hukum Islam merupakan hukum yang
fleksibel dan selalu memberikan kemudahan kepada umatnya. pada
kenyataannya wanita yang istihadhah adalah wanita yang selalu
mengeluarkan darah dari farjinya bukan wanita yang sudah berhenti
mengeluarkan darah dari farjinya (berhenti mengeluarkan darah). Dalam
hal ini penulis lebih condong kepada Imam Syafi’i yaitu dikembalikan
67
69
kepada hukum asal, apabila wanita tersebut masih haid maka iddahnya
dengan hitungan quru’ sedangkan apabila wanita tersebut sudah putus
haid maka iddahnya dengan hitungan bulan (tiga bulan). Disamping itu
wanita tersebut juga harus melakukan pembedaan antara dua darah ( darah
merah adalah darah haid dan darah kuning adalah darah istihadhah ) .
B. Saran-saran
1. Pemikiran ulama klasik seperti halnya Imam Malik merupakan ijtihad
terbuka atas kritik dan tidaklah sebuah teks yang paten kebenarannya
seperti al-Qur’an. karena itulah dalam pembacaan Imam Malik seharusnya
kita menempatkan sebagai pemikiran yang tidak absolut dan critic able.
2. Hukum suatu masalah yang lahir dari ijtihad merupakan hukum yang
keberadaannya dapat berubah sesuai kondisi dan zaman serta
kemaslahatan umat. Dan umat Islam seharusnya lebih kritis dalam
menyikapi perubahan zaman dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai
religius.
3. Insan akademik khususnya akademisi harus mampu menjawab persoalan
yang dihadapi Islam untuk menjawab tantangan zaman, karena akademisi
IAIN secara khusus merupakan intelektual yang bergelut di dalam bidang
keagamaan.
68
69
C. Penutup
Dengan rasa syukur yang seikhlas-ikhlasnya serta ucapan
Alhamdulillah atas segala petunjuk-Nya dan pertolongan dari Allah swt
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang bentuknya sederhana sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
Penulis menyadari, sekalipun telah mencurahkan segala usaha dan
kemampuan dalam penyusunan skripsi. Namun, masih banyak kekurangan di
sana-sini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang positif dari
pembaca dari kesempurnaan skripsi ini, dan atas itikat baik tersebut, penulis
menyampaikan terima kasih.
Semoga skripsi ini dapat diterima untuk memperoleh, memenuhi dan
melengkapi syarat-syarat gelar sarjana Strata 1. Dan sebagai penutup semoga
skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi
penulis, masyarakat, bangsa dan negara serta agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad Ardani bin, Risalah Haid Nifas dan Istihadhah, Surabaya: Al-Miftah,1992
Al Asy’ab, Abi Dawud Sulaiman Ibn, Sunan Abi Dawud, Indonesia : Maktabah Dahlan
Al Jaziri, Abdul Rahman, Kitab Fiqih ‘ala Madhahibil Ar Ba’ah, Darul Kitab Al ‘Ilmiah
Al Malibari, Zainuddin Bin Abdul Azis, Terjemahan Fathul Mu’in, jilid II, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, cet. I.
al-Asyqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Dar al-Kutub al-Ilmiyah
al-Ghozy, Ummu Ahmad, Ketika Cewek Datang Bulan, PT: Mirqat Media Grafika, Cet I, 2007
Al-Maraghi, Abdullah Musthofa, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LPPSM, cet. I, 2000
Al-Suyuti, Imam Jalaludin, Al-Muwatho’, Bairut: Darul Ihya’ul Ulum
Amin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Anas, Imam Malik bin, Al- Muwatha’, Beirut : Daar Al- Fikr, thn
As’ad, Ustad Abdul Muhaimin, Risalah Nikah, Surabaya : Bintang Terang, Cet. I, 1993
Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Kuliah Ibadah, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 1992
Ash-Shiedieqy, Teungku Muhammad Hasby, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki, 1997
Ash-Shiedieqy, Teungku Muhammad Hasby, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
Ash-Shiedieqy, Teungku Muhammad Hasby, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
Asy-Syarqawi, Abdur Rahman, Riwayat 9 Imam Fiqih, Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I, 2000
Asy-Syaukani, M., Nail al-Authar, Juz 5, Beirut: al-kutub al-Islamiyah, 1976
Asy-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab, Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. II, 1993
az-Zarqoni, Imam Syayyidi Muhammad, Syarah Az-Zarqani Juz III, Beirut: Dar al-Fiqr, t.th
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, Cet I, 1997
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Kudus: Mubarokatan Thoyyibah, t.th
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1984/1985
Doi, Abdurrahman L., Inilah Syariat Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, cet. I. 1990
Fatkhurrahman, Ilmu Waris, Surabaya: Al-Ikhlas, 1968
Ghozy, Ummu Ahmad, Ketika Cewek Datang Bulan, Makasar: PT. Mirkad Media Grafika, cet. I, 2007
Hasan, M. Ali, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet. IV
Hasyim, Syafiq, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, Bandung: Mizan, cet. I, 2001
Hendrik Problema Haid, Solo: Tiga Serangkai, 2006
Jarullah, Abdullah bin, Tanggung Jawab Wanita, Jakarta: CV. Agung Lestari, cet I,1994
Khalil, Moenawir, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, cet. VIII
Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII, 2002
Margono, S., Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosdakarya, cet. II, 2000
Musbikin, Imam, Qawaid Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 2001
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991, cet. I
Muslim, Imam Abi al-Husein, Shohih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1992
Muzadi, Abdul Muncith, Fiqih Perempuan Praktis, Surabaya: Kalista, 2005
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press, Cet VI, 2000
Qisthi, Aqis Bil, Pengetahuan Nikah, Talak dan Rujuk, Surabaya : Putra Jaya, Cet I, 2007
Rahman, Abdur, Syariah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, cet. I, 1993
Rifa’i, Moh., dkk, Kifayatul Akhyar (Terjemah Khulashoh),Semarang, CV. Toha Putra, 1983
Rusyd, Ibn., Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid I, Beirut, Darul Kitabul Araby, cet II, 1992
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunah, Jilid VIII, Alih Bahasa: Muh. Tholib, Bandung: Al-Ma’arif, cet. V, 1987
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005
Siroj, Khozin, Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1981
Syukur, Sarmin, Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, cet. I
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, cet. I, 1997
Yazid, Abi Abdillah Muhammad bin, Sunan Ibnu Majah, Juz 1, Dar Al –Fikr
Top Related