ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA: EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM
ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga laporan Analisis Komoditas Kopi dan Karet Indonesia : Evaluasi
Kinerja Produksi, Ekspor dan Mafaat Keikutsertaan dalam Asosiasi Komoditas Internasional
dapat selesai tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak yang turut serta dalam
penyelesaian penyusunan laporan analisis ini.
Semoga analisis yang kami susun ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Jakarta, September, 2014
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
i
ABSTRAK
ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MAFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI
KOMODITAS INTERNASIONAL
Keterlibatan Indonesia dalam organisasi internasional Kopi dan Karet perlu
dievaluasi peluang dan manfaatnya. Sehingga dapat memberikan keuntungan bagi
kepentingan Indonesia.
Indonesia memproduksi dua macam jenis kopi, yaitu kopi arabika dan kopi robusta.
Kopi arabika termasuk jenis yang dapat tumbuh optimal 1000 meter dpl, sedangkan lahan
seperti itu umumnya merupakan lahan hutan di Indonesia. Berbeda dengan kopi jenis
robusta yang dapat tumbuh optimal di dataran yang lebih rendah, hal inilah yang
menyebabkan proporsi produksi kopi Indonesia rata-rata lebih dari 80% adalah jenis kopi
robusta.
International Coffee Organization atau ICO adalah organisasi utama antar
pemerintah untuk kopi, menjadi wadah bersama bagi exportir dan importir kopi untuk
menghadapi tantangan sektor kopi global. Organisasi ini diinisiasi untuk kolaborasi dengan
PBB dalam meningkatkan kerjasama antara negara konsumen kopi, distributor dan
produsen. Anggota Pemerintahan yang masuk ke dalam ICO mewakili 94% produksi kopi
dunia dan lebih dari 75% konsumsi kopi dunia.
Karet merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Produksi karet
Indonesia pada tahun 2013 mencapai 3,18 juta ton, sekitar 16% dari produksi tersebut
digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik (Ditjenbun, Kementan).
ii
Besarnya hasil karet Indonesia harus mampu dimanfaatkan untuk mengembangkan
hilirisasi produk karet Indonesia. Saat ini baru 16% produksi karet Indonesia digunakan
untuk industri domestik. Perlu keseriusan pemerintah dalam membuat peta jalan hilirisasi
karet. Selain itu, berbagai insentif fiskal dalam indutri ini perlu di evaluasi dalam mendorong
perkembangan industri karet dalam negeri. Sehingga rantai industri dapat berjalan dari hulu
sampai hilir dengan baik.
Struktur pasar kopi yang terfragmentasi dengan tiap negara/daerah, memiliki rasa
yang berbeda, peran pembeli yang kuat, potensi premium yang lebih kecil.
Karet adalah komoditas yang mendekati sifat homogen dan Indonesia diproyeksikan
akan mendapatkan manfaat lebih besar (US$ 78,21 – 312,84 juta dolar) bila para produsen
dapat mengkoordinasikan kebijakannya. Hasil karet Indonesia juga dapat digunakan untuk
mendorong industri dalam negeri yang selama ini belum dapat menyerap produksi. Apalagi
International Rubber Study Group (IRSG) mempunyai peran yang cukup besar serta
datanya menjadi referensi, sehinggi studi ini merekomendasikan keanggotaan pada IRSG.
Kata kunci: Kopi, International Coffee Organization, Karet, International Rubber Study Group
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Penelitian Terdahulu 3
BAB III METODOLOGI 4 BAB IV ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI KOMODITAS INTERNASIONAL 5 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 33
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Lima Negara Utama Penghasil Karet (Akhir 2012) 20
Tabel 4.2 : Skenario Premium Komoditas 32
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Produksi, Ekspor, Impor dan Persediaan Kopi Dunia (dalam Ton) 6 Gambar 4.2: Harga Kopi Dunia Periode 1998-2014 ($/kg, nominal$) 7
Gambar 4.3: Negara Penghasil Kopi Dunia (juta ton) 9 Gambar 4.5: Negara Importir Kopi Utama Dunia 10 Gambar 4.6: Produksi, Ekspor, Impor dan Konsumsi (dalam Ton) 12 Gambar 4.7: Produksi Kopi Arabika dan Robusta Indonesia 13 Gambar 4.8: Produksi Karet Dunia 18 Gambar 4.9: Harga Karet Dunia Periode 1998-2014
(Pasar Singapore, $/kg, nominal$) 19 Gambar 4.10: Persentase Eksportir Utama Karet Dunia 2012 20 Gambar 4.11: Negara Penghasil Utama Karet Dunia 2012 21 Gambar 4.12: Konsumsi Karet Dunia 22 Gambar 4.13: Persentase Konsumsi Karet Alam Dunia 2012 23 Gambar 4.14: Produksi dan Ekspor Karet Alam Indonesia 24 Gambar 4.15: Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia 25
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1 Hasil Regresi 1 Lampiran 1.2 Tabel Premium Kartel Internasional 2 Lampiran 1.3 Kuesioner 5
vii
COMMODITY ANALYSIS OF COFFEE AND RUBBER INDONESIA: PERFORMANCE EVALUATION OF PRODUCTION, EXPORTS AND mafaat PARTICIPATION IN ASSOCIATION INTERNATIONAL COMMODITIES
Indonesia's involvement in international organizations Coffee and Rubber opportunities and benefits need to be evaluated. So it can provide benefits for the benefit of Indonesia.
Indonesia produces two types of coffee, the coffee arabica and robusta coffee. Arabica coffee including types that can grow optimally 1000 feet above sea level, while the land as it is generally a forest in Indonesia. Unlike the robusta that can grow optimally at lower ground, this is what causes the proportion of Indonesian coffee production averaged more than 80% is kind of robusta coffee.
International Coffee Organization, is the main intergovernmental organization for coffee, into a container exporters and importers together for coffee to face the challenges of the global coffee sector. The organization initiated a collaboration with the United Nations to promote cooperation among countries in coffee consumers, distributors and manufacturers. Government members who enter into the International Coffee Organization represents 94% of world coffee production and more than 75% of world coffee consumption.
Rubber is one of the leading commodity in Indonesia. Indonesian rubber production in 2013 reached 3.18 million tons, about 16% of the production is used to meet domestic needs (Ministry of Agriculture).
The magnitude of the result of the Indonesian rubber should be able to be utilized to develop the Indonesian downstream rubber products. Currently only 16% of Indonesia's rubber production is used for domestic industry. It should be the government's seriousness in making a road map downstream rubber. Moreover, various fiscal incentives in these industries need to be evaluated in encouraging the development of the rubber industry in the country. So the industry chain can be run from upstream to downstream well.
The structure of the coffee market is fragmented with each country/region, has a different taste, a strong buyer role, the potential for a smaller premium. Rubber is the homogeneous nature of the commodity approach and Indonesia is projected to gain greater benefit (USD 78.21 to 312.84 million dollars) when the manufacturer can coordinate policies. Results of Indonesian rubber can also be used to encourage the domestic industry has not been able to absorb the production. Moreover, the International Rubber Study Group has a considerable role as well as the data to a reference, this study recommends IRSG membership. Keywords: Coffee, International Coffee Organization, Rubber, International Rubber Study
Group
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menempati peringkat ke-3 dunia setelah Brazil dan Vietnam dalam
produksi kopi di tahun 2013. Adapun untuk produksi karet alam di dunia, Indonesia
menempati peringkat kedua setelah Thailand. Besarnya produksi kopi dan karet
Indonesia masih belum mampu diserap industri domestik. Sebagian besar dari produksi
kopi dan karet Indonesia di ekspor, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam
negeri. Hal ini disebabkan belum kuatnya industri hilir karet, serta kurangnya budaya
minum kopi masyarakat Indonesia.
Besarnya proporsi komoditas kopi dan karet Indonesia meningkatkan salah satu
pendorong devisa. Hal tersebut membantu meningkatkan nilai ekspor non-migas
Indonesia. Terlebih kopi adalah komoditas setelah minyak dan gas yang paling diminati.
Perlunya peningkatan nilai tambah dua komoditas tersebut sebelum diekspor tentu akan
memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia, pemerintah perlu serius memperhatikan
tumbuh-kembangnya hilirisasi industri dua komoditas tersebut.
Keterlibatan Indonesia dalam organisasi internasional Kopi dan Karet perlu
dievaluasi peluang dan manfaatnya. Sehingga dapat memberikan keuntungan bagi
kepentingan Indonesia. Oleh karena itu, perlu disusun langkah-langkah dalam
memaksimalkan peran Indonesia untuk menjaga harga dua komoditas tersebut tetap
stabil pada tingkat yang menguntungkan.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi produksi, ekspor, impor, konsumsi kopi dan karet dunia?
2. Bagaimana kondisi produksi, ekspor, impor, konsumsi kopi dan karet Indonesia?
3. Bagaimana gambaran negara produsen dan eksportir kopi dan karet dunia?
4. Peran Indonesia dalam produksi dan ekspor kopi dan karet serta asosiasinya?
5. Kesimpulan dan rekomendasi terkait keikutsertaan saat ini dalam Asosiasi Produsen
Komoditi Internasional?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menentukan sikap akan keikutsertaan Indoneisa
dalam asosiasi kopi atau karet internasional dilihat dari potensi manfaat yang didapat.
1.4 Manfaat Penelitian
Kebijakan untuk mengevaluasi keanggotaan Indonesia dalam asosiasi komoditi
internasional kopi dan karet untuk melihat manfaat yang diberikan bagi Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Pertanian merupakan tulang punggung perekonomian dan merupakan sumber
lapangan kerja yang terbesar bagi kebanyakan negara berkembang. Pembangunan
pertanian antara lain ditujukan untuk mencapai pertumbuhan,
sustainability, stabilitas, pemerataan dan efisiensi (Warren C. Baum, 1988, dikutip dari
Persveranda, 2005).
Di Indonesia komoditas kopi merupakan salah satu sub sektor pertanian yang
mempunyai andil cukup penting penghasil devisa ketiga terbesar setelah kayu dan
karet. Kopi sebagai tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang
menarik bagi banyak negara terutama negara berkembang, karena perkebunan kopi
memberi kesempatan kerja yang cukup tinggi dan dapat menghasilkan devisa yang
sangat diperlukan bagi pembangunan nasional (Spillane, 1990).
BAB III METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif seperti
dilakukan dengan regresi multivariabel. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara
mendalam (in-depth interview) narasumber terkait di Jakarta, Medan, Palembang dan
Lampung.
Uji empirik yang dilakukan dalam studi ini ditujukan untuk melihat pengaruh dari
konsentrasi pasar terhadap overcharge atas harga komoditas tersebut karena adanya
asosiasi internasional yang berperan dalam penentuan harga. Hal tersebut sejalan dengan
tujuan utama studi ini, yaitu untuk mengevaluasi keikutsertaan Indonesia dalam asosiasi
komoditas di tingkat internasional.
BAB IV ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI
KOMODITAS INTERNASIONAL
4.1 Kopi
4.1.1 Produksi dan Harga Kopi Dunia
Produksi kopi dunia mulai 2009/2010 sampai 2012/2013 terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata pertumbuhannya mencapai 6,1% selama tiga
musim terakhir. Peningkatan produksi tertinggi antara musim 2009/2010 sampai
2010/2011 sebesar 9,3% menjadi 8,3 juta ton kopi. Pertumbuhan ini sebagian
besar di topang peningkatan produksi kopi jenis Arabika yang tumbuh 13,8%
menjadi 5,2 juta ton, dan pertumbuhan produksi kopi Robusta 2,5% menjadi 3,2
juta ton. Pada musim 2012/2013 produksi kopi dunia mencapai 9,19 juta ton,
rekor produksi terbesar. Musim 2013/2014 diprediksi terjadi penurunan produksi
sebesar minus 1,8% dari periode sebelumnya menjadi 9 juta ton kopi1.
1, 2United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, Circular Series Desember 2013
Grafik 4. 1: Produksi, Ekspor, Impor dan Persediaan Kopi Dunia (dalam Ton)
Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah
Ekspor kopi dunia selama lima tahun terakhir terus meningkat, rata-rata
pertumbuhan tiap tahunnya sekitar 4,2%. Pertumbuhan ekspor terbesar terjadi di
musim 2009/2010 sampai 2010/2011 sebesar 10,3% menjadi 6,8 juta ton. Pada
musim 2012/2013 merupakan rekor ekspor terbesar sebesar 6,9 juta ton. Proyeksi
untuk musim 2013/2014 tumbuh 0,6% dibandingkan tahun sebelumnya
menembus 7 juta ton. Rata-rata impor kopi selama lima musim terakhir tumbuh
sebesar 4% tiap tahunnya, proyeksi pertumbuhan impor untuk musim 2013/2014
turun sedikit sekitar 0,001% dari musim sebelumnya menjadi 6,7 juta ton.
Rata-rata konsumsi kopi global dari musim 2009/2010 sampai 2013/2014
tumbuh 1,3% tiap musimnya (termasuk proyeksi musim 2013/2014). Penurunan
terbesar konsumsi terjadi di musim 2010/2011, turun 2,5% menjadi 8 juta ton
dibanding musim sebelumnya. Untuk persediaan kopi global rata-rata tumbuh
6,9% tiap tahunnya. Penurunan pertumbuhan terbesar terjadi di musim 2011/2012
sebesar minus 11,6% menjadi 1,5 juta ton. Di musim selanjutnya 2012/2013
terjadi kenaikan persediaan tertinggi sebesar 33% menjadi 2,02 juta ton.
Grafik 4.2: Harga Kopi Dunia Periode 1998-2014 ($/kg, nominal$) Sumber: International Coffee Organization; Thomson Reuters Datastream; World Bank, diolah
Gambar 4.2 menyajikan data bulanan harga kopi dimana sejak tahun 1998
harga cenderung menurun sampai 2002 lalu menanjak dengan puncaknya pada
US$ 6,6 pada April 2011. Pola pergerakan kopi arabika dan robusta cenderung
mirip sampai 2009 dimana arabika naik drastis untuk lalu mencapai titik terendah
pada US 2,84 di Oktober 2013. Harga kopi Robusta sejak pertengahan 2008
relatif stabil pada US$ 2 per kg.
4.1.2 Negara Penghasil dan Eksportir Kopi Dunia
Brazil adalah raksasa di sektor kopi dengan produksi dua kali lipat dari
pesaing terdekatnya (Vietnam) dan enam kali lipat Indonesia yang berada di
urutan ketiga. Produksi kopi Brazil diperkirakan turun 5,3% pada musim
2013/2014 menjadi 3,18 juta ton dari musim sebelumnya, ini disebabkan pohon
kopi arabika memasuki penurunan siklus produksi setiap dua tahunan. Setelah
tiga tahun melakukan ekspansinya, panen kopi robusta diperkirakan akan
menyumbang dalam penurunan total produksi Brazil. Penurunan ini karena curah
hujan yang tidak teratur dan suhu rata-rata diatas batas wajar. Nilai ekspor kopi
Brazil diproyeksikan tumbuh 1,3% pada musim 2013/2014 menjadi 1,65 juta ton,
lebih dari satu perempatnya diekspor ke Uni Eropa.
0
1
2
3
4
5
6
7 19
98M
01
1998
M07
19
99M
01
1999
M07
20
00M
01
2000
M07
20
01M
01
2001
M07
20
02M
01
2002
M07
20
03M
01
2003
M07
20
04M
01
2004
M07
20
05M
01
2005
M07
20
06M
01
2006
M07
20
07M
01
2007
M07
20
08M
01
2008
M07
20
09M
01
2009
M07
20
10M
01
2010
M07
20
11M
01
2011
M07
20
12M
01
2012
M07
20
13M
01
2013
M07
20
14M
01
Coffee, Arabica, $/kg, nominal$ Coffee, Robusta, $/kg, nominal$
Gafik 4.3: Negara Penghasil Kopi Dunia (juta ton)
Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service Produksi Vietnam diperkirakan mencapai rekornya pada musim 2013/2014
sebesar 1,71 juta ton, naik 7,5% dari tahun sebelumnya. Peningkatkan ini
disebabkan oleh cuaca yang menguntungkan dan daerah panen yang semakin
luas. Luas panen kopi Vietnam terus berkembang dan kemungkinan diatas 625
ribu hektar. Ekspor kopi Vietnam diproyeksikan naik 3,8% pada musim 2013/2014
menjadi sekitar 1,47 juta ton biji kopi, 25% ekspornya dengan tujuan Uni Eropa.
Grafik 4.4: Negara Ekportir Utama Dunia
Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service
Amerika Tengah dan Meksiko tercatat memiliki produksi seperlima dari
produksi kopi arabika global. Dalam wilayah ini, pada musim 2013/2014
diproyeksikan terjadi penurunan kopi sebesar 8,2% menjadi 1,01 juta ton. Ini
disebabkan oleh penyakit yang menyerang daun kopi menyebabkan
berkurangnya kapasitas fotosisntesis dan berpengaruh terhadap hasil panen. Nilai
ekspor wilayah ini diproyeksikan turun 54 ribu ton menjadi 864 ribu ton.
Sementara produksi kopi Kolumbia diperkirakan sebesar 600 ribu ton pada musim
2013/2014, naik sedikit dari musim sebelumnya. Sementara nilai ekspornya
diproyeksikan meningkat 54 ribu ton naik 11,1% menjadi 540 ribu ton.
Produksi India diperkirakan akan menurun 3,4% pada musim 2013/2014
menjadi 307 ribu ton. Hal ini disebabkan hujan yang lebat selama musim hujan di
daerah penghasil kopi terbesar di India yang mempengaruhi hasil panen. Nilai
ekspor kopi India diproyeksikan akan turun 2% menjadi 220 ribu ton pada musim
2013/2014. Produksi kopi Indonesia menempati urutan ke-3 terbesar setelah
Brazil (36,6%) dan Vietnam (17,2%) pada musim 2012/2013. Meskipun masuk
peringkat ke-3 dunia, namun produksi Indonesia hanya 6,8% dari total produksi
dunia, sedikit diatas Kolumbia yang berada di posisi ke-4 sebesar 6,4%.
Sementara itu, Indonesia menempati urutan ke-4 (6,8%) atau 360 ribu ton kopi di
musim 2012/2013 dalam ekspor kopi setelah Brazil (26,6%), Vietnam (23,2%) dan
Kolumbia (7,9%).
4.1.3 Negara Konsumen dan Importir Kopi Utama Dunia
Uni Eropa tercatat menyumbang hampir setengah dari impor biji kopi dunia
dan diperkirakan akan meningkat 1,4% pada musim 2013/2014 menjadi 2,73 juta
ton. Dengan pemasok utama kopi untuk Uni Eropa seperti Brazil (28%), Vietnam
(25%) dan Honduras (7%). Tingginya konsumsi kopi di Eropa karena kopi sudah
menjadi bagian dari budaya masyarakat, dan produk-produk dari biji kopi
berkembang dengan baik di Eropa.
Grafik 4.5: Negara Importir Kopi Utama Dunia
Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah
Seperti halnya di Eropa, minum kopi di Amerika Serikat pun sudah menjadi
budaya. Hampir setiap blok kota di Amerika Serikat memiliki kedai kopi. Hal inilah
yang menyebabkan konsumsi kopi disana cukup tinggi dan menempatkan
Amerika Serikat menjadi negara pengimpor terbesar ke-2 setelah Eropa atau
sekitar 23,5% dari total impor dunia. Pada musim 2013/2014 diproyeksikan impor
biji kopi Amerika Serikat naik sedikit sebesar 0,6% menjadi 1,4 juta ton biji kopi.
Ada beberapa negara yang menjadi pemasok utama biji kopi Amerika Serikat,
antara lain Brazil (25%), Vietnam (18%) dan Kolumbia (13%).
Jepang menempati urutan ke-3 importir kopi dunia dengan impor 6,7% dari
total impor dunia, masyarakat jepang sendiri terbiasa dengan budaya minum kopi
instan. Di Jepang, banyak terdapat mesin penjual kopi otomatis yang
memudahkan warganya mengonsumsi kopi. Pada musim 2013/2014 impor kopi
Jepang diproyeksikan akan menurun 10,2% bila dibandingkan dengan musim
sebelumnya menjadi 402 ribu ton.
4.1.4 Kopi Indonesia
Produksi kopi Indonesia rata-rata tumbuh 1,4% tiap musim, namun
penurunan produksi terjadi di beberapa musim terakhir. Seperti di musim
2010/2011 yang turun minus 11,2% dari musim sebelumnya menjadi 559 ribu ton.
Produksi kopi Indonesia juga turun di musim selanjutnya, turun 11% menjadi 498
ribu ton. Pada musim 2013/2014 produksi kopi Indonesia diproyeksikan akan
turun minus 9,5% dari musim sebelumnya. Hal ini karena musim kemarau yang
datang di awal musim mengurangi pembungaan tanaman kopi, sementara hujan
yang berlebihan mengurangi hasil panen. Selain itu, kurang lebih 60% luas lahan
perkebunan kopi Indonesia telah berumur diatas 25 tahun yang menyebabkan
turunnya produktivitas kopi Indonesia (Ditjenbun 2012).
Grafik 4.6: Produksi, Ekspor, Impor dan Konsumsi (dalam Ton)
Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah
Sebagian besar produksi kopi Indonesia diekspor, rata-rata ekspor kopi
Indonesia 67,7% dari total produksi tiap tahunnya. Besarnya ekspor ini mengingat
konsumsi dalam negeri masih rendah, tidak sampai seperempat dari produksi kopi
Indonesia. Pada tahun 2013/2014 ekspor kopi Indonesia diprediksi turun 13%, hal
ini seiring dengan menurunnya produksi kopi kita. Untuk impor kopi, beberapa
musim terakhir impor kita menurun seperti musim 2010/2011 turun 0,9% menjadi
33,9 ribu ton kopi dan 2012/2013 turun 29,6% menjadi 64,8 ribu ton. Namun pada
musim 2011/2012, impor naik 171,7% menjadi 92,1 ribu ton dari tahun
sebelumnya. Hal ini seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri yang naik
40,8% dari tahun sebelumnya menjadi 142,8 ribu ton.
Grafik 4.7: Produksi Kopi Arabika dan Robusta Indonesia
Sumber: United States Department of Agriculture, Foreign Agriculture Service, diolah
Indonesia memproduksi dua macam jenis kopi, yaitu kopi arabika dan kopi
robusta. Kopi arabika termasuk jenis yang dapat tumbuh optimal 1000 meter dpl,
sedangkan lahan seperti itu umumnya merupakan lahan hutan di Indonesia.
Berbeda dengan kopi jenis robusta yang dapat tumbuh optimal di dataran yang
lebih rendah, hal inilah yang menyebabkan proporsi produksi kopi Indonesia rata-
rata lebih dari 80% adalah jenis kopi robusta. Pada musim 2012/2013 produksi
kopi arabika Indonesia 99 ribu ton, sedangkan kopi robusta 471 ribu ton.
Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan cara utama dalam
memasarkan produk-produk kopi yang dihasilkan Indonesia. Negara tujuan
ekspor Indonesia adalah negara-negara konsumen tradisional seperti Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang. Bersamaan dengan kemajuan zaman dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia, terjadi perubahan gaya hidup
masyarakat Indonesia yang pada akhirnya mendorong peningkatan konsumsi
kopi. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kopi Indonesia dari musim 2009/2010
sampai 2012/2013 adalah 13,6%, hal ini menunjukan prospek yang bagus bagi
pengembangan produk kopi Indonesia.
Sosialisasi terus menerus kepada masyarakat tentang manfaat kopi bagi
tubuh, merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan konsumsi kopi Indonesia.
Selain itu, masyarakat juga perlu belajar untuk mengolah kopi dengan baik
sehingga cita rasa dari kopi dapat di maksimalkan2.Kualitas cita rasa kopi 70%
ditentukan dari proses panen dan sangrai atau goreng, selebihnya dari kualitas
tanaman kopi. Saat ini konsumsi kopi per orang Indonesia kurang dari 1 kg per
tahun. Masih jauh dari rata-rata konsumsi negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat per tahunnnya lebih dari 6 kg. Ini seiring dengan peningkatan konsumsi
kopi dunia yang kualitas kopinya terus diperbaiki.
Potensi pengembangan produk kopi yang semakin tinggi pun menjadi
kesempatan bagi kedai-kedai kopi lokal. Seperti EXCELSO yang merupakan
bagian dari Group Kapal Api, kedai kopi ini pertama kali dibuka bulan September
tahun 1991 di Plaza Indonesia Jakarta. Dengan menggunakan konsep “Kopi,
Kopi, dan lebih banyak Kopi”, EXCELSO mengembangkan berbagai produk
olahan kopi yang mampu menarik konsumen. Saat ini EXCELSO tumbuh menjadi
salah satu gerai kopi terkuat di Indonesia, yang memiliki 100 kedai di 28 kota
besar di Indonesia. Bengawan Solo Coffee juga mampu membaca peluang yang
ada di pasar, pertama kali membuka kedai retailnya bulan Mei 2003 di ITC
Kuningan. Bengawan Solo Coffee saat ini memiliki 30 kedai yang terdapat di
Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Surabaya dan Medan.
Dengan peningkatan kesejahteraan dan gaya hidup masyarakat Indonesia,
khususnya di daerah perkotaan, potensi kopi domestik Indonesia sangat besar.
Terlebih Indonesia memiliki kopi-kopi lokal yang menjadi andalan seperti Kopi
Luwak, Kalosi Toraja, Kopi Lanang Toraja, Sumatra Mandheling dan Java Estate.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, pengusaha, petani dan berbagai pihak
terkait untuk membangun dan meningkatkan alur produksi sehingga
meningkatkan nilai tambah3.
4.1.5 Asosiasi Produsen Komoditi Internasional
Berbagai Asosiasi Komoditi Internasional yang bertujuan dalam stabilisasi
harga ekspor komoditi, berusaha untuk dapat seefektif organisasi lainnya seperti
OPEC yang dalam jangka lama dapat dalam stabilisasi harga terlihat dari anggota
yang masuk kedalam OPEC mewakili 60% dari total ekspor minyak bumi,
sehingga OPEC dapat mempengaruhi harga pasar4. Anggota dalam OPEC patuh
terhadap perjanjian atau kesepakatan dalam produksi minyak bumi, sehingga
kontrol volume produksi yang ketat dapat mempengaruhi harga. Dengan kekuatan
pasar yang dimilikinya, OPEC dapat menentukan pada tingkatan mana
2Wawancara dengan Muchtar Lutfie 3Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Wan Abbas 4http://www.eia.gov/finance/markets/supply-opec.cfm
seharusnya harga minyak berada, sehingga dapat mengoptimumkan keuntungan
anggota.
Selain menentukan jumlah pasokan atau memberlakukan kuota dalam
mengatur harga sesuai tingkat yang diinginkan, organisasi atau perjanjian kartel
juga melakukan perjanjian kontrak multilateral jangka panjang dan melakukan
penjualan dan pembelian dari buffer stock untuk menentukan harga. International
Coffee Aggrements menggunakan kuota pasokan dalam menentukan harga.
Jenis produk dan pasar juga mempengaruhi keberhasilan pengendalian
harga oleh kartel seperti OPEC, elastisitas produk yang lebih inelastis akan lebih
efektif dalam menentukan harga. Selain itu, jumlah konsumen yang banyak juga
semakin membuat kartel lebih efektif. Menurut survey yang dilakukan Connor J.
M. (2005) kartel internasional jauh lebih efektif dalam menentukan harga daripada
kartel domestik, lebih efektif 75% dalam menaikan harga daripada kartel
domestik.
4.1.6 International Coffee Agreement dan International Coffee Organization
International Coffee Agreement memiliki tujuan untuk menguatkan sektor
kopi global dan mempromosikan ekspansi berkelanjutan dalam lingkungan
berbasis pasar untuk kemajuan semua anggota disektor ini. Pihak yang terlibat
dalam perjajian mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi
kewajiban mereka berdasarkan perjanjian dan sepenuhnya saling bekerja sama.
Hal ini untuk mencapai tujuan bersama dari perjanjian. Setiap pihak yang
termasuk dalam perjanjian merupakan anggota tunggal. Anggota dapat
mengubah kategori keanggotaannya pada kondisi yang disetujui oleh dewan.
International Coffee Organization didirikan berdasarkan International Coffee
Agreement tahun 1962 dan akan terus berlanjut untuk mengelola ketentuan dan
mengawasi pelaksanaan dari perjanjian ini. otoritas tertinggi dari organisasi
tersebut adalah International Coffee Council. Dewan akan dibantu sesuai dengan
Finance and Administration Committee, Promosi dan Promotion and Market
Development Committee dan Projects Committee. Dewan juga disarankan oleh
Private Sector Consultative Board, The World Coffee Conference dan
Consultative Forum on Coffee Sector Finance.
International Coffee Organization atau ICO adalah organisasi utama antar
pemerintah untuk kopi, menjadi wadah bersama bagi exportir dan importir kopi
untuk menghadapi tantangan sektor kopi global. Organisasi ini diinisiasi untuk
kolaborasi dengan PBB dalam meningkatkan kerjasama antara negara konsumen
kopi, distributor dan produsen. Anggota Pemerintahan yang masuk ke dalam ICO
mewakili 94% produksi kopi dunia dan lebih dari 75% konsumsi kopi dunia.
International Coffee Organization atau ICO didirikan di London tahun 1963
yang merupakan hasil International Coffee Agreement (ICA). International Coffee
Agreement (ICA) mulai diberlakukan pada tahun 1962 untuk jangka waktu lima
tahun, dan terus beroperasi dibawah perjanjian yang dinegosiasikan tersebut.
Termasuk ICA 1968 (dan dua perpanjangannya), ICA 1978 (dengan satu
perpanjangan), 1983 (dan empat perpanjangan), Perjanjian 1994 (dengan satu
perpanjangan) dan Perjanjian 2001 (dengan tiga perpanjangan). Kesepakatan
terbaru diadopsi oleh dewan International Coffee Organization September 2007
dan mulai berlaku secara definitif pada tanggal 2 Februari 2011.
International Coffee Organization (ICO) bernaung dibawah Perserikatan
Bangsa Bangsa karena pentingnya kopi yang menjadi salah satu komoditas yang
diperdagangkan secara luas setelah minyak dan gas. ICO memiliki dua jenis
anggota, anggota negara pengekspor kopi yang terdiri dari 39 (tiga puluh
sembilan) negara dan negara-negara yang masuk kedalam kategori negara
importir yang terdiri dari 6 (enam) anggota yaitu Uni Eropa, Norwegia, Swiss,
Tunisia, dan Amerika Serikat. Badan tertinggi ICO adalah International Coffee
Council yang mana mengadakan pertemuan dua kali tiap tahunnya. Badan
konsultasi sektor swasta ICO terdiri dari 16 (enam belas) perwakilan dari Industri
konsumsi dan produksi kopi yang juga mengadakan pertemuan dua kali tiap
tahunnya.
4.2. KARET ALAM 4.2.1 Sejarah Singkat Karet Alam
Karet pertama kali dikenal oleh orang asli Amerika jauh sebelum
kedatangan dari penjelajah Eropa. Seorang pendeta bernana d’Anghieria
melaporkan bahwa dia melihat suku asli Meksiko bermain dengan bola elastis.
Penelitian ilmiah pertama karet dilakukan oleh Charles de la Condamine, ketika
melakukan penelitian di Peru tahun 1735. Seorang insinyur Perancis yang ditemui
Condamine di Guinea, Fresnau mempelajari karet di tanah asalnya, dia
menyimpulkan bahwa ini tidak lebih dari “jenis minyak resin kental”.
Penggunaan karet pertama kali sebagai penghapus dilakukan oleh
Magellan, keturunan dari navigator Portugis yang terkenal. Sedangkan di Inggris,
Priestley mempopulerkan penggunaannya yang saat itu dikenal sebagai “karet
India”, saat itu karet digunakan untuk membuat botol menggantikan kulit
borrachas yang biasa digunakan untuk mengapalkan wine.
Pada tahun 1820 seorang industrialis Inggris, Nadier menghasilkan benang
karet dan berusaha menggunakannya untuk aksesori pakaian. Saat itu adalah
ketika Amerika dihinggapi demam karet, dan alas kaki tahan air yang digunakan
oleh masyarakat adat. Pada tahun 1840 secara tidak sengaja Goddyear
menemukan teknik vulkanisasi dan pada 1842 Hancock menemukan rahasia
vulkanisasi, 1845 R. W. Thomson menemukan ban pneumatic yaitu ban dalam
pada tahun 1850 berbagai mainan yang terbuat dari karet. Di tahun 1869 Michaux
menemukan Velocipede yang menyebabkan penemuan karet padat, dan
Bouchardt menemukan cara polimerasi isoprena antara tahun 1879 dan 1882.
Penemuan ban sepeda pertama kali tahun 1830 dan untuk pertama kali Michelin
mengadaptasi ban karet untuk mobil pada 1895.
Karet merupakan bahan baku penting yang memainkan peran utama dalam
peradaban modern, pada abad 19 para ilmuwan menemukan karet yang
merupakan polimer isoperna. Rusia dan Jerman membuat terobosan baru dengan
berusaha mensistesis karet. Namun produk yang dihasilkan tidak dapat bersaing
dengan karet alam. Awal mula dari usaha untuk mensistesiskan karet inilah yang
menjadi cikal bakal industri produk sintesis di seluruh dunia.
4.2.2 Produksi Dan Harga Karet Dunia
Rata-rata produksi karet dunia tumbuh 3,92% dari tahun 2008 sampai 2013.
Pertumbuhan sempat negatif di tahun 2009 yaitu turun 3,15% secara total,
penurunan tersebut imbas dari lesunya industri otomotif dan mempengaruhi
permintaan ban. Total produksi karet tertinggi terjadi pada tahun 2013 yang
mencapai lebih dari 12 juta ton, naik 3,73% dari tahun sebelumnya. Naiknya
produksi karet ini didorong oleh naiknya konsumsi karet (terutama untuk bahan
baku pembuatan ban) dunia seiring tumbuhnya industri otomotif.
Grafik 4.8: Produksi Karet Dunia Sumber: International Rubber Study Group (IRSG), diolah
Pergerakan bulanan harga karet alami (natural rubber) dunia disajikan pada
grafik 4.8 Terlihat bahwa sejak 1998 harga perlahan meningkat sampai US$ 3,05
di bulan Mei 2008 untuk lalu jatuh sampai US$1,2 di Desember 2008 dan terus
meningkat sampai US$ 6,3 di Februari 2011. Setelah itu harga cenderung
menurun dan sekarang pada kisaran US$ 2 per kg.
Grafik 4.9: Harga Karet Dunia Periode 1998-2014 (Pasar Singapore, $/kg, nominal$) Sumber: Singapore Commodity Exchange Ltd (SICOM); Bloomberg; Rubber Association of Singapore Commodity Exchange (RASCE); International Rubber Study Group; Asian Wall Street Journal; World Bank, diolah
4.2.3 Negara Penghasil Dan Eksportir Karet Dunia
Pada tahun 2012, Thailand masih menjadi produsen karet alam terbesar di
dunia dengan produksi 3,5 juta ton, disusul Indonesia 3,04 juta ton, Malaysia 950
ribu ton, India 904 ribu ton dan Vietnam 863,6 ribu ton.Pasokan karet alam dunia
sebagian besar di pasok dari Asia Tenggara, yaitu dari Thailand (34,4%),
Indonesia (24,8%), Malaysia (17,1%) dan Vietnam (10,3%).
0
1
2
3
4
5
6
7
1998
M01
19
98M
07
1999
M01
19
99M
07
2000
M01
20
00M
07
2001
M01
20
01M
07
2002
M01
20
02M
07
2003
M01
20
03M
07
2004
M01
20
04M
07
2005
M01
20
05M
07
2006
M01
20
06M
07
2007
M01
20
07M
07
2008
M01
20
08M
07
2009
M01
20
09M
07
2010
M01
20
10M
07
2011
M01
20
11M
07
2012
M01
20
12M
07
2013
M01
20
13M
07
2014
M01
Rubber, Singapore, $/kg, nominal$
Grafik 4.10: Persentase Eksportir Utama Karet Dunia 2012
Sumber: Agroinfo, FPTS, diolah
Tabel 4.1: Lima Negara Utama Penghasil Karet (Akhir 2012)
Indikator Thailand Indonesia Malaysia India Vietnam Total Area (Hektar) 2756000 3456000 1048000 737000 910500
Produksi (Ton) 3500000 3040000 950000 904000 863600 Rata-rata Produksi
(Ton/ha) 1,72 1,16 1,47 1,82 1,71 Sumber: Agroinfo, IRSG, ANRPC, diolah
Diantara kelima produsen karet utama dunia tersebut, India memiliki
produktivitas tertinggi sebesar 1,82 ton/ha, padahal luas areanya paling kecil
diantara yang lain dengan luas 737 ribu hektar. Sedangkan Indonesia memiliki
produktivitas terendah diantara produsen karet utama, produktivitas Indonesia
1,16 ton/ha. Kecilnya produktivitas ini salah satunya karena dukungan pemerintah
masih minim terhadap perkebunan karet alam yang 85% areanya merupakan
perkebunan rakyat. Berbeda dengan negara-negara produsen karet utama
lainnya yang mendapat dukungan berarti dari pemerintahnya.
Grafik 4.11: Negara Penghasil Utama Karet Dunia 2012
Sumber: Agroinfo, IRSG, ANRPC
4.2.4 Negara Konsumen Dan Importir Karet Utama Dunia
Rata-rata pertumbuhan konsumsi karet alam dunia dari tahun 2008 sampai
2013 sebesar 2,41% tiap tahunnya. Konsumsi karet sempat turun di tahun 2009
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 konsumsi
karet alam dunia mencapai 11,3 juta ton, naik 2,6% dari tahun sebelumnya.
Grafik 4.12: Konsumsi Karet Dunia
Sumber: International Rubber Study Group (IRSG)
Menurut data International Rubber Study Group (2012) konsumsi karet alam
dunia terus mengalami peningkatan disebabkan oleh semakin berkembangnya
industri bahan baku karet alam khususnya industri ban di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Jepang dan Jerman. Peningkatan harga minyak bumi di
pasar internasional juga mempengaruhi permintaan karet alam, hal ini karena
karet sintetis yang bahan bakunya dari fraksi minyak bumi harganya ikut naik.
Grafik 4.13: Persentase Konsumsi Karet Alam Dunia 2012
Sumber: Agroinfo, FPTS, diolah
Pada tahun 2012 negara-negara yang menjadi importir karet alam terbesar,
Tiongkok (33,5%) masih menduduki peringkat pertama dalam konsumsi karet
dunia. Disusul oleh Amerika Serikat dengan konsumsi sekitar 9,5%, India 8,7%,
Jepang 6,6% dan Malaysia 4,6%. Diperkirakan permintaan karet dari Tiongkok
akan menurun, hal ini berhubungan dengan koreksi pertumbuhan ekonominya
yang turun menjadi 7,5%. Hal ini menunjukkan turunnya produksi industri di
Tiongkok, selain itu persediaan karet alam Tiongkok diduga banyak.
4.2.5 Karet Indonesia
Gambar 4.14: Produksi dan Ekspor Karet Alam Indonesia
Sumber: BPS, Gapkindo, Statistik Perkebunan Karet Indonesia
Karet merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Pada tahun
2013, sektor ini menyumbang 4,61% dari total ekspor nonmigas Indonesia yang
mencapai USD 149,9 miliar. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai
pemasok utama karet alam global, ekspor karet alam Indonesia rata-rata tumbuh
3,69% tiap tahun dari 2008 sampai 2013. Ekspor karet alam Indonesia tumbuh
negatif pada tahun 2009 dan 2012. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekspor
menurun seiring dengan krisis global yang terjadi, lesunya pertumbuhan industri
otomotif berdampak pada karet alam yang 70% konsumsinya digunakan untuk
membuat ban. Sedangkan pada tahun 2012 ekspor karet Indonesia menurun
disebabkan melambatnya permintaan karet global bersamaan dengan lesunya
sektor otomotif dan pengguna akhir.
Produksi karet Indonesia pada tahun 2013 mencapai 3,18 juta ton, sekitar
16% dari produksi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik
(Ditjenbun, Kementan). Tahun lalu, ekspor karet Indonesia mencapai 2,67 juta ton
atau naik 9,28% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan ekspor
Indonesia tahun lalu yang cukup tinggi didorong oleh tingginya harga karet selama
bulan Desember 2012 sampai pertengahan Maret 2013, pada awal Januari 2013
harga karet sempat menyentuh USD 2,913 per kg, lebih tinggi dari rata-rata
sebelumnya USD 2,85 per kg.
Luasnya lahan perkebunan karet Indonesia (3,556 juta ha, terluas di dunia)
tidak menjamin paling tingginya jumlah karet yang dihasilkan. Sekitar 85% dari
perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat, selebihnya
perkebunan milik negara dan swasta. Produktifitas karet alam Indonesia apabila
dibandingkan dengan negara produsen karet alam lain masih tertinggal. Pada
tahun 2013, produktivitas karet kita 1104 kg/ha, masih kalah dengan Tiongkok
1160 kg/ha, India 1800/ha, Malaysia 1500 kg/ha, Sri Lanka 1550 kg/ha, Thailand
1790 kg/ha dan Vietnam 1720 kg/ha5.
Gambar 4.15: Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik diolah oleh GAPKINDO
Ekspor karet alam Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor utama naik
tahun 2013 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara total ekspor
Indonesia naik 9,28% menjadi 2,67 juta ton. Pada tahun 2013, Indonesia
mengekspor karet alam sebesar 609,8 ribu ton ke Amerika Serikat atau 22,6%
5Vibiz Consulting
dari total ekspor karet alam Indonesia, diikuti Tiongkok sebesar 511,7 ribu ton
atau 18,9% dan Jepang 425,9 ribu ton atau 15,8%.
Kondisi karet alam dunia saat ini sedang menghadapi tantangan berat
dengan menurunnya harga karet alam hingga mencapai USD 1,64 per kilogram
(kg). Dengan pelemahan ekonomi sejumlah negara tujuan ekspor karet Indonesia,
terutama Tiongkok yang pertumbuhan ekonominya terkoreksi menjadi 7,5%.
Terlebih, tekanan dari pembeli berlanjut terutama dengan berkembangnya isu
tingginya tingkat persediaan karet di negara konsumen, terutama Tiongkok. Selain
itu kelebihan pasokan dari negara produsen yang tidak terkontrol juga menjadi
penyebab menurunnya harga karet alam.
Saat ini produksi karet per hektar Indonesia sekitar 1,1 ton per hektar,
produktivitas Indonesia masih di bawah produsen karet lain seperti Malaysia (1,5
ton/ha) dan Thailand (1,8 ton/ha). Indonesia masih memiliki peluang untuk
meningkatkan produktivitas karetnya. Apalagi Indonesia memiliki perkebunan
karet terluas di dunia (lebih dari 3,5 juta ha) dan 85% perkebunan tersebut adalah
perkebunan rakyat yang melibatkan lebih dari 2 juta petani karet6. Keterlibatan
pemerintah diperlukan dalam meningkatkan produktivitas karet Indonesia,
diperlukan berbagai pembinaan terhadap petani karet untuk meningkatkan
produktivitasnya.
Besarnya hasil karet Indonesia harus mampu dimanfaatkan untuk
mengembangkan hilirisasi produk karet Indonesia. Saat ini baru 16% produksi
karet Indonesia digunakan untuk industri domestik. Perlu keseriusan pemerintah
dalam membuat peta jalan hilirisasi karet. Selain itu, berbagai insentif fiskal dalam
indutri ini perlu di evaluasi dalam mendorong perkembangan industri karet dalam
negeri. Sehingga rantai industri dapat berjalan dari hulu sampai hilir dengan baik7.
4.2.6 Association Of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC)
Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) adalah
organisasi antar pemerintah yang didirikan pada tahun 1970 dalam industri karet
alam. Keanggotaan ANRPC terbuka bagi pemerintah negara-negara penghasil
karet alam. Saat ini ANRPC memiliki 11 (sebelas) anggota yaitu: Kamboja,
Tiongkok, India, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, Sri lanka,
Thailand dan Vietnam. Sebelas negara ini menyumbang 93% dari produksi global
karet alam selama 2013.
Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) berfungsi
sebagai sumber statistik dan informasi lainnya terkait karet alam bagi negara- 6, 5 GAPKINDO, Dr. Rusdan Dalimunthe M. Sc.
negara anggota. ANRPC juga sebagai forum internasional untuk menganalisis
dan merumuskan kebijakan-kebijakan mengenai hal-hal yang menyangkut
kepentingan negara produsen karet alam. Fungsi spesifiknya sebagai berikut:
1. Melayani sebagai pusat sumber informasi yang otentik dan up to date dari
industri karet alam.
2. Mempromosikan kegiatan yang kondusif untuk pertumbuhan yang
berkelanjutan dalam produksi, pengolahan, pemasaran dan konsumsi karet
alam.
3. Mempromosikan karet alam sebagai bahan baku industri ramah lingkungan
dengan memproyeksikan kredensial hijau dan kontribusi sosial ekologis.
4. Mengidentifikasi tantangan dan peluang jangka pendek, menengah dan
panjang dengan melakukan studi yang cocok di industri karet.
5. Menjalin hubungan dengan instansi terkait termasuk organisasi karet
internasional untuk berbagi informasi dan kerjasama teknis dan membuat
rekomendasi kebjakan untuk anggota pemerintah bila diperlukan.
Badan tertinggi dari asosiasi ini adalah majelis yang terdiri dari semua
anggota pemerintah negara, majelis bersidang biasanya satu tahun sekali. Komite
Eksekutif ANRPC melaksanakan fungsi dari asosiasi antara sesi dari majelis. Ini
terdiri dari seluruh anggota pemerintahan dan diberdayakan untuk menentukan
hal-hal prosedural, frame aturan dan membentuk komite yang mungkin diperlukan
dari waktu ke waktu. Pada tanggal 30 Juni 2010, dua komite berikut berfungasi
dibawah Komite Eksekutif untuk memberikan masukan teknis dan membuat
rekomendasi tentang berbagai aspek industri karet, komitenya adalah Information
and Statistics Committee dan Industry Matters Committee.
Asosiasi juga memiliki dua grup kerja untuk memberikan input pada dua
area spesifik, yaitu Working Group of Experts for Demand-Supply Analysis dan
Expert Group on Project on Promotion of Natural Rubber as an environmentally-
friendly Raw Material and Renewable Resource.
4.2.7 International Rubber Study Group
Kejatuhan harga karet alam pada tahun 1930-an menjadi awal terbentuknya
perjanjian internasional diantara produsen untuk mengontrol tingkat output.
International Rubber Agreement ditandatangani bulan Mei 1934, tujuannya adalah
untuk mengatur jumlah output produksi negara anggota. Negara anggota
perjanjian ini secara kolektif mewakili lebih dari 90% produksi karet alam dunia
saat itu. Perjanjian ini berhasil dalam menjaga kestabilan harga melalui
pengendalian produksi karet alam para anggotanya.
Pada awalnya International Rubber Regulation Agreement direncanakan
berjalan sampai akhir 1938, namun pada tahun tersebut perjanjian ini diperbarui
sampai 31 Desember 1943. Pada waktu itu, hanya Inggris dan Belanda yang
memiliki perwakilan pemerintahan di perjanjian itu. Periode tersebut
pengembangan industri karet sintesis masif dilakukan oleh Amerika Serikat.
Menjelang akhir 1943, pemerintah Inggris dan Belanda mengumumkan bahwa
mereka tidak berniat untuk memperbarui perjanjian tersebut. Hal ini sebenarnya
bagian dari usaha mereka mengamankan pembentukan sebuah komite baru
secara lebih luas, tetapi tanpa kekuasaan regulator. Kenyataanya, perjajian
tersebut diperpanjang sampai akhir bulan April 1944.
Pada pertemuan di London bulan Agustus 1944, yang diikuti oleh
perwakilan industri dan tiga perwakilan pemerintah dari Amerika Serikat, Inggris
dan Belanda, diumumkan terbentuknya Rubber Study Group. Tujuannya adalah
memberikan sebuah forum untuk mendiskusikan permasalahan yang menyangkut
kepentingan bersama dan mengenai posisi masa depan dari industri karet.
Beberapa pertemuan awal Rubber Study Group cukup krusial dalam membentuk
kegiatan operasi dan kegunaannya pada anggota pemerintah yang berpartisipasi
yang bertujuan dalam menjaga bebas dan terbukanya pertukaran informasi dan
opini. Pertemuan pertama Rubber Study Group dilakukan di Washington bulan
Januari 1945.
Meskipun keanggotaan dari International Rubber Study Group (IRSG)
terbatas pada pemerintah negara saja, perusahaan dan organisasi yang
berhubungan dengan industri karet dapat menjadi anggota panel International
Rubber Study Group. Sebagai organisasi antar pemerintahan, fungsi IRSG
berfungsi melayani departemen pemerintahan yang dibiayainya. IRSG memiliki
hubungan yang dekat dengan segala sisi dari industri karet dan kesadaran pada
faktor yang mempengaruhi produksi, perdagangan, dan konsumsi karet. Statistik
dan data IRSG kerap menjadi rujukan utama. Anggota IRSG yang terdiri dari
pemerintah negara baik produsen maupun konsumen; Belgia, Perancis,
Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamerun, Uni Eropa, Italia, Belanda,
Spanyol, Inggris, Pantai Gading, Jerman, Federasi Rusia, Sri Lanka, dan Amerika
Serikat.
4.2.8 Hasil Analisis
Data overcharge dalam riil USD 2005 didapatkan dari hasil perhitungan
Connor dan Gunnars (2007) terhadap beberapa komoditas dunia. Data tersebut
selanjutnya disesuaikan dengan inflasi AS tahun 2005-2013. Tujuannya untuk
mendapatkan nilai nominal 2013. Sedangkan data ekspor komoditas untuk
menghitung indeks Herfindahl-Hirschman didapatkan dari International Trade
Center (ITC). Distribusi data antara indeks HHI dan Overcharge digambarkan
dalam scatterplot berikut:
Banyaknya observasi yang berada dalam confidence level 95 % yang
ditunjukkan dalam garis berbayang abu-abu yang menunjukkan korelasi yang
cukup kuat antara indeks konsentasi (HHI) dan premium yang didapatkan. Uji empirik dilakukan dengan menggunakan regresi cross-section dengan
metode Ordinary Least Square (OLS). Regresi yang dilakukan mencakup 37
observasi. Berikut ini adalah model regresi yang digunakan:
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑐ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒 = 𝛼 + 𝛽1HHI + 𝛽2Mineral + 𝛽3Food + 𝛽3Processed + 𝜀
Berikut ini adalah penjelasan variabel-variabel yang digunakan di dalam
model:
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑐ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒 = Overcharge dalam riil USD tahun 2005 (juta USD),
ditransformasi berdasarkan inflasi Amerika Serikat ke dalam USD 2013 (juta USD)
HHI = Indeks Herfindahl-Hirschman tahun 2005 untuk masing-masing komoditas.
Mineral = Variabel dummy bila komoditas tersebut merupakan mineral.
Food = Variabel dummy bila komoditas tersebut merupakan makanan,
vitamin ataupun asam protein.
Processed = Variabel dummy bila komoditas tersebut merupakan produk olahan,
seperti misalnya insektisida.
Seluruh variabel tersebut digunakan dalam model regresi Ordinary Least
Square (OLS). Hasilnya dijabarkan pada bagian selanjutnya.
Selanjutnya dilakukan keempat regresi sebagaimana telah dijelaskan di
atas. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Variabel Koefisien HHI -3.825 D_Makanan 4987.145 D_Mineral 9982.231 D_Industri 11751.85 Konstanta 3731.36 Adj R2 0.1163 F-stat 2.18
Tidak ada koefisien yang signifikansinya menembus 10% dan nilai R2 yang
disesuaikan (adjusted) juga tidak tinggi. Hasil regresi ini akan digunakan untuk
menghitung perkiraan overcharge harga komoditas kopi dan karet di bagian
selanjutnya. Bila disajikan dalam bentuk persamaan, maka persamaan yang
didapatkan dari regresi adalah:
Overcharge = 3731,36 – 3,8252HHI + 9982,231Mineral + 4987,145 Food +
11751,85 Processed
Setelah mendapatkan hasil regresi, studi ini mencoba menggunakan hasil
tersebut untuk menghitung overcharge komoditas kopi dan karet. Data HHI dan
overcharge yang digunakan dalam tahun yang sama, tahun 2005. Hasil yang
didapatkan merupakan gambaran umum korelasi antara HHI terhadap
overcharge. Hasil tersebut bisa digunakan untuk menghitung korelasi tahun 2013,
yaitu menggunakan HHI kopi dan karet tahun 2013. Berikut adalah hasil
perhitungan yang didapatkan:
• Komoditas Kopi HHI 2013 = 651,427
Overcharge 2013 = 3731,36 – 3,8252(651,427) + 9982,231(0) +
4987,145(1) + 11751,85(0)
= 6.226,666 juta USD
• Komoditas Karet HHI 2013 = 512,817
Overcharge 2013 = 3731,36 – 3,8252(512,817) + 9982,231(0) +
4987,145(1) + 11751,85(0)
= 6.756,877 juta USD Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan perkiraan overcharge harga
komoditas kopi dan karet pada tahun 2013. Overcharge harga komoditas kopi
tahun 2013 adalah sebesar 6.226,666 juta USD. Pada tahun tersebut proporsi
ekspor kopi Indonesia terhadap ekspor kopi dunia adalah 4,1%. Sehingga dari
total overcharge tersebut Indonesia berpotensi menikmati premium harga sebesar
255,293 juta USD.
Sedangkan overcharge harga komoditas karet tahun 2013 adalah sebesar
6.756,877 juta USD. Pada tahun tersebut proporsi ekspor karet Indonesia
terhadap ekspor karet dunia adalah 4,63%. Sehingga dari total overcharge
tersebut Indonesia berpotensi menikmati bagian premium sebesar 312,843 juta
USD.
Kalkulasi tersebut apabila asosiasi komoditas memiliki kekuatan pasar dan
soliditas antar anggota yang sama dengan kartel internasional pada appendix 2.
Untuk mengakomodiasi beberapa skenario maka untuk scenario low ditetapkan
premium sebesar 25 % dan medium mendapat premium 50 % dari studi Conner
dan Helmers (2007) sehingga menghasilkan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2 : Skenario Premium Komoditas
Skenario Kopi Karet Low 63.82 78.21 Medium 127.65 156.42 High 255.29 312.84
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
KESIMPULAN
Studi ini menelahaan kondisi dan struktur pasar komoditas kopi dan karet serta
efektivitas organisasi internasional komoditas. Karet adalah komoditas yang mendekati sifat
homogen dan Indonesia diproyeksikan akan mendapatkan manfaat lebih besar (US$ 78,21
– 312,84 juta dolar) bila para produsen dapat mengkoordinasikan kebijakannya. Hasil karet
Indonesia juga dapat digunakan untuk mendorong industri dalam negeri yang selama ini
belum dapat menyerap produksi. Apalagi International Rubber Study Group (IRSG)
mempunyai peran yang cukup besar serta datanya menjadi referensi, sehinggi studi ini
merekomendasikan keanggotaan pada IRSG.
Struktur pasar kopi yang terfragmentasi dengan tiap negara/daerah, memiliki rasa
yang berbeda, peran pembeli yang kuat, potensi premium yang lebih kecil, berdasarkan
studi Conner dan Helmers (2007), menghasilkan tabel sebagai berikut:
Skenario Premium Komoditas
Skenario Kopi Karet Low 63.82 78.21 Medium 127.65 156.42 High 255.29 312.84
REKOMENDASI KEBIJAKAN Saat ini kelembagaan petani kopi masih lemah, sehingga daya tawar dalam
menentukan harga masih lemah. Perlu didorong terbentuk asosiasi atau lembaga yang
menyatukan para petani kopi yang tidak hanya menaikan daya tawar dalam menentukan
harga, tetapi juga menjadi sarana meningkatkan keahlian petani. Kelembagaan ini akan
membantu meningkatkan kualitas dalam menanam, mengolah dan mendistribusikan kopi.
Melalui asosiasi atau kelembagaan petani, akses terhadap informasi terkini lebih mudah.
Karena saat ini akses petani terhadap informasi masih kurang8. Sehingga petani dapat
memaksimalkan peluang yang ada (baik informasi harga atau lainnya).
Kendala peningkatan produksi salah satunya karena sudah tuanya kondisi pohon
sehingga produktivitas berkurang. Perlu dilakukan peremajaan pohon kopi untuk
meningkatkan produktivitas atau membuat batang atas yang tahan terhadap penyakit9.
8 Wawancara dengan Sjafrizal Helmi (Dosen USU) 9Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Wan Abbas
Perlu penyediaan bibit berkualitas dalam jumlah besar, karena sebagian besar pohon kopi
sudah tua. Petani kopi masih banyak yang belum mengerti bagaimana cara mengolah kopi
pasca panen. Ini salah satu faktor yang menurunkan kualitas kopi dan berdampak pada
harga kopi. Saat ini (8 Juli 2014) kopi dengan grade 1 berharga Rp. 23.850,-, grade 2 Rp.
23.000,-, grade 3 Rp. 22.700,-, grade 4 Rp. 22.000,-, grade 5 Rp. 21.000,- dan grade asalan
Rp. 19.000-20.00010. Dengan selisih harga yang signifikan, petani bisa dapatkan
penghasilan tambahan bila dilakukan screening yang memadai. Produksi kopi Indonesia
memiliki kualitas yang tinggi dan sudah ternama. Kopi Aceh, Toraja, Jawa, Papua dan
tentunya Kopi Luwak sudah dikenal masyarakat global sehingga yang lebih dibutuhkan saat
adalah pengelolaan kualitas, ketersediaan pasokan secara terus menerus dan marketing
yang lebih baik
Hasil karet Indonesia sekitar 84% diekspor, sisanya digunakan untuk industri dalam
negeri. Belum berkembangnya industri hilir di Indonesia yang mendorong sebagian besar
karet Indonesia lebih banyak diekspor. Pada titik ini, pemerintah dapat mendorong industri
hilir karet dapat berkembang, sehingga nilai tambah dari karet dapat lebih tinggi. Dengan
produktivitas karet Indonesia sekitar 1,1 ton/ha, Indonesia masih dapat meningkatkan
produktivitas karetnya. Pemerintah perlu turun tangan dengan membantu peningkatan
produktivitas karet, seperti yang dilakukan pemerintah Thailand dan Malaysia dalam
mendukung produksi karetnya (Thailand 1,8 ton/ha, Malaysia 1,5 ton/ha). Dukungan
pemerintah yang diperlukan berbentuk riset untuk bibit unggul, pengelolaan tanaman, dan
stabilitas harga serta dana untuk pengembangan industri pengolahan karet terutama ban.
10Wawancara dengan kelompok tani Dunia Baru
DAFTAR PUSTAKA
Connor J. M.,.2005.Proce-Fixing Overchanges : Legal and Economic Evidence.Purdue University
Koop T., Alamsyah Z., Fatricia R.S., dan Brumer B.,2014.Have Indonesia Rubber Processors Formed a
Cartel?.Georg-August-Universitat-Gottingen
Luan N. K.,.2013.Natural Rubber Industry Report 2013.Fpt Securities
Pichop G. N., Kemegue F. M.,. 2005.International Coffee Agreement: Incomplete Membership and
Instability of the Cooperative Game. Southwest Business and Economic Journal
Radetzki M. A Handbook of: Primary Commodities in the Global Economy. Cambridge
Rubber Statistical News.2013.Review of The Year 2012-2013.Statistics & Planning Department
Rubber Board, Kottayam, Kerala, India.
Margaret C. Levenstein dan Valerie Y. Suslow. International Cartels, in 2 Issues In Competition Law
dan Policy 1107 (ABA Section of Antitrust Law 2008)
Lampiran 1.1 Hasil Regresi
. regress inflationadjusted hhi2005 mineral food processed
Source | SS df MS Number of obs = 37
-------------+------------------------------ F( 4, 32) = 2.18
Model | 1.0285e+09 4 257123934 Prob > F = 0.0931
Residual | 3.7666e+09 32 117707787 R-squared = 0.2145
-------------+------------------------------ Adj R-squared = 0.1163
Total | 4.7951e+09 36 133198470 Root MSE = 10849
--------------------------------------------------------------------
inflationa~d | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+------------------------------------------------------
hhi2005 | -3.825287 2.927767 -1.31 0.201 -9.788953 2.138378
mineral | 9982.231 11645.45 0.86 0.398 -13738.77 33703.23
food | 4987.145 11831.92 0.42 0.676 -19113.68 29087.98
processed | 11751.85 11447.1 1.03 0.312 -11565.13 35068.84
_cons | 3731.36 10986.95 0.34 0.736 -18648.33 26111.05
--------------------------------------------------------------------
Lampiran 1.2 Tabel Premium Kartel Internasional
No KOMODITAS
Million Real 2005 USD
2013-Inflation-adjusted Overchar HHI 2005
1 Aluminum Metal 45497.6 54142.144 420.4642346 2 Cable, high-voltage, Germany 39272.7 46734.513 663.4798434 3 Linerboard, US 13033.2 15509.508 1523.921803 4 Steel, flat stainless 11328.2 13480.558 1641.288827 5 Flat glass, US 10494.6 12488.574 533.5489277 6 DRAMs 5549.1 6603.429
7
Plastic Additives: Heat Stabilizers 6666.7 7933.373 564.5200403
8 PVC (polyvinyl-chloride) plastic 9268.3 11029.277 599.5646925
9 Plastic Additives: Impact Modifiers 5517.2 6565.468 564.5200403
10 Insurance brokers, commercial, US 3804.3 4527.117
11 Graphite Electrodes 5871.9 6987.561 1539.98598 12 Sulfuric acid, US 3980.7 4737.033
13 Cartonboard 4692.5 5584.075 804.4684949 14 Waste collection, Germany 2913.6 3467.184 1011.755533 15 Polypropylene plastic 3172.3 3775.037 599.5646925 16 Steel beams 4114.9 4896.731
17 Vitamin Premixes 2621.7 3119.823 1779.124823
18 TACA (europe/north Atlantic Shipping) 1985.6 2362.864
19 Vitamin E 2740.1 3260.719 1882.324595 20 Petroleum, Iceland 4239.2 5044.648
21 Cement I, Germany 1744.8 2076.312 22 High Fructose Corn Syrup, US 1959.4 2331.686 1787.739033
23 Citric Acid 2209.6 2629.424 3397.463949 24 Corn Glucose Syrup, US 1722 2049.18 1156.070188 25 Carbon Fiber 2627.7 3126.963 1399.889876 26 British Sugar 3190.4 3796.576
27 Tobacco Leaf, US 1648.8 1962.072 655.3180164 28 Vitamin C 1996.6 2375.954 2371.108408
29 Parcel Tankers, Chemical Shipping 651.6 775.404
30 Cement, Romania 957.5 1139.425 31 Vitamin A 1362.9 1621.851 1811.302011
32 Steel Tubes ("oil country tubes") 1156.3 1375.997 680.2534466
33 Copper Concentrate 872.1 1037.799 2365.668046 34 Carbon Black 735.1 874.769 584.412183
35 Gasoline, FR 712 847.28 36 Gasoline, IT 719.3 855.967 37 Cell Phones, IT 715.8 851.802 38 Telephone Services, local, Korea 611 727.09 39 Choline chloride (Vitamin B4) 1029.8 1225.462 2222.788609
40 Paper, carbonless 1232.2 1466.318 592.1234658
41 Construction, Nigeria LNG plants 483.6 575.484
42 Fine Arts (Art Auction Houses) 1092.5 1300.075 43 Methionine 419.4 499.086 2851.717669
44 Beta Carotene 562.4 669.256 45 Canthaxanthin 488.5 581.315 1013.887163
46 Compressed Gases, NL 612.8 729.232
47 Generic drugs, warfarin, penicilin, UK 344.6 410.074
48 Explosives, commercial, US 432.9 515.151
49 Cardizem CD hypertension drug, US 274.1 326.179
50 Lysine 397.9 473.501 1490.528938 51 Steel pipes, insulated heating 360.3 428.757 680.2534466 52 Construction, Netherlands 210.9 250.971
53 Vitamin B12 226.9 270.011 2141.518382 54 Vitamin B5 (Caplan) 318.3 378.777 2054.303074 55 Vitamin B4, North America 290.6 345.814
56 Anit-anxiety drugs, US 136.5 162.435
57 Telephone services, long-distance, Korea 147.6 175.644
58 Construction, Norway 141.5 168.385 59 Vitamin B3 (Niacin) 154 183.26 2054.303074
60 Broadband Internet Service, Korea 127.2 151.368
61 Diamonds, Industrial 136.3 162.197 2219.321672 62 Euro-Zone banks 100.6 119.714
63 Concrete, Eastern Germany 12.1 14.399 64 Vitamin B2 183.2 218.008
65 Insurance, industrial property, Germany 105.5 125.545
66 Construction, USAID in Egypt 215.5 256.445 67 Petroleum, Military fuels, Korea 116.1 138.159 68 Philippines telecom, US 96.9 115.311 69 Biotin (Vitamin H) 117.2 139.468 70 Infant Formula (Episode 1), Italy 176.1 209.559
71 Telephone services, international, Korea 78.7 93.653
72 Vitamin B6 86.1 102.459 2370.784727 73 Iron Oxide, Canada 84.2 100.198
74 Polyester staple, US and CA 63.6 75.684 75 Compressed gas, CA 76.2 90.678 76 Gasoline, Sweden 60.9 72.471 77 Infant Formula (Episode 2), Italy 52 61.88 78 Methylglucamine 31.5 37.485 79 Danish air routes 53.2 63.308
80 Vitamin B4 (Choline Chloride) Europe 60.1 71.519
81 Vitamin B1 34.4 40.936 2581.737455 82 Vitamin D 37.5 44.625 2054.303074
Lampiran 1.3 Kuesioner
KUESIONER
ANALISIS KOMODITAS KOPI DAN KARET INDONESIA : EVALUASI KINERJA
PRODUKSI, EKSPOR DAN MANFAAT KEIKUTSERTAAN DALAM ASOSIASI
KOMODITAS INTERNASIONAL
1 Apakah peran eksportir kopi dalam peningkatan produksi dan stabilitas harga?
2 Sejauhmana peran ICO terhadap ekspor kopi Indonesia ?
3 Sejauhmana peran ANPRC terhadap stabilisasi harga?
4 Sejauhmana Terkait dengan hilirisasi industri karet dan stabilitas harga?
Top Related