ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI
KEPULAUAN SERIBU
R. LUKI KARUNIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
vi
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI
KEPULAUAN SERIBU
R. LUKI KARUNIA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Nama : R. Luki Karunia NIM : C 526010104
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Daniel R. Monintja, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 08 Mei 2009
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 ini adalah Analisis Kebijakan Peningkatan
Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Secara khusus, penulis menyampaikan penghargaan dan ungkapan terima
kasih kepada Bapak Prof.Dr.Ir. John Haluan,M.Sc, Prof. Dr. Ir. Daniel R.
Monintja, dan Ibu Dr.Ir. Anny Ratnawati, MS selaku pembimbing.
Penghargaan dan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada
Bapak Ir. H. M. Djoko Ramadhan selaku Bupati Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu pada periode penulisan disertasi ini dan Ibu Ir. Liliek Litasari,
M.Si. selaku Kepala Suku Dinas Perikanan dan Kelautan beserta staf Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI
Jakarta, para sahabat serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu dan telah membantu selama pengumpulan data serta mendukung
penyelesaian naskah disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih.
Pada akhirnya, penghargaan dan ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayahanda, ibunda terkasih, serta seluruh keluarga. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009
R. Luki Karunia
iv
RINGKASAN
R.LUKI KARUNIA. Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, DANIEL R. MONINTJA, dan ANNY RATNAWATI.
Pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2006, meningkat sebesar 123,89 persen. Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 96,55 persen dan 142,41 persen jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di kedua kecamatan tersebut pada tahun 2006. Berdasarkan tahapan keluarga sejahtera pada tahun 2007 terdapat 782 keluarga miskin (pra sejahtera) di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu mencakup sekitar 15,1 persen dari jumlah seluruh keluarga yang terdapat di wilayah tersebut. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di wilayah DKI Jakarta yang rata-rata di bawah 5 %. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu masih cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang tepat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan kepulauan seribu.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu model kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan kepulauan seribu. Model tersebut kemudian dilakukan pengujian dan menganalisis signifikansi dari masing-masing variabel. Analisis kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap diawali dengan analisis potensi ekonomi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa keberhasilan kebijakan peningkatan kesejahteraan akan dipengaruhi oleh ada tidaknya potensi ekonomi di wilayah tersebut. Potensi ini akan coba di potret dengan melihat PDRB, pertumbuhan ekonomi dan struktur ekonomi yang dilanjutkan dengan melihat sektor unggulan yang ada dengan menggunakan analisis location Quotient dan analisis shift share. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana potensi ekonomi sektor perikanan selama ini, karena pada dasarnya kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat didukung terlebih dahulu dengan potensinya sendiri. Hasil analisis menunjukkan sektor perikanan mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di kabupaten/kota lain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai nilai location quotient positif dan juga differential shift positif. Nilai positif ini mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini ditandai dengan nilai proportional shift negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah lain.
Analisis berikutnya adalah pengembangan model melalui Structural Equation Modelling (SEM). Berdasarkan hasil analisis SEM, ditemukan beberapa komponen utama yang saling berinteraksi dan berkorelasi secara signifikan positif dalam peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Hubungan antara faktor determinan dengan peningkatan kesejahteraan
v
nelayan di Kepulauan Seribu secara kuantitatif menunjukkan bahwa aspek penguatan kelembagaan (x1) memiliki pengaruh yang paling besar yaitu 0.398 diikuti oleh kewirausahaan (x3) sebesar 0.359, dan pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (x3) sebesar 0.239. Pada aspek kelembagaan kelembagaan keuangan mikro (LKM) merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659.
Setelah mendapatkan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatakan kesejahteraan dilanjutkan dengan melakukan analisis SWOT guna mencari alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan dimulai dari aspek kelembagaan. Beberapa hal tersebut (i) perlunya kelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan PEMDA serta penyediaan prosedur dan mekanisme pemberian bantuan yang jelas, (ii) peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola kelembagaan dan penerima bantuan program pemberdayaan, (iii) pengembangan jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan, (iv) peningkatan akses masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman guna memotong mata rantai dengan tengkulak, (v) pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha. Pada aspek kewirausahaan beberapa kebijakan yang dihasilkan : (i) perlunya upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan dalam membangun kemitraan (ii) pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal, (iii) meningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pengembangan alternatif wirausaha, (iv) peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau, (v) segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan, (vi) regulasi dan kemudahan perijinan usaha kecil menangah dan koperasi. Aspek yang terakhir adalah pemberdayaan menghasilkan (i) Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan permodalan, (ii) memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata sosial yang ada, (iii) penggalian potensi yang berorientasi pada keunggulan kompetitif produk hasil perikanan, (iv) pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan., (v) pengembangan nelayan menjadi nelayan dengan skala lebih besar.
Pemerintah perlu segera mengkaji kembali berbagai regulasi/kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan selama ini. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang memiliki spesifikasi wilayah kepulauan, lebih tepat jika program dan kegiatan pembangunan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan nelayan dengan cara penguatan kelembagaan yang ada. Pemerintah daerah hendaknya segera mengkaji kembali seluruh kebijakan pembangunan secara spesifik, komprehensif, dan integratif.
Kata-kata kunci: Kebijakan, penguatan kelembagaan, kewirausahaan,
pemberdayaan, dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 1 Juni 1971 sebagai anak kedua
dari pasangan Rahardjo Kusumo dan Sri Redjeki. Pendidikan tingkat sarjana ditempuh di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Udayana, lulus tahun 1994 yang kemudian diteruskan pada Universitas Indonesia guna mendapatkan gelar profesi Akuntan. Pada tahun 1996, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti studi pada bidang Economics Development with a concentration in Development Planning Studies di University of Hiroshima dan menamatkannya pada tahun 1999. Pada tahun 2001, melanjutkan ke program doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), pada sub-program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP), Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP).
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Lembaga Administrasi Negara sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang. Saat ini penulis menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis merangkap sebagai Ketua Program Studi Manajemen Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Ilmu Admnistrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN). Selain bekerja sebagai PNS, penulis juga aktif mengajar pada beberapa universitas di Jakarta seperti ABFI Perbanas, IPMI Business School, Bakrie School of Management (BSM) dan Universitas Mercu Buana.
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Fasilitas kesehatan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 4 2 Indeks komposit ketertinggalan desa di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu …………………………………………….. 5 3 Indeks komposit ketertinggalan Kelurahan pada Wilayah DKI…. 5 4 Perkembangan jumlah RT miskin Kab. Adm. Kepulauan Seribu 5 5 Perbandingan jumlah dan prosentase penduduk miskin ………… 6 6 Tahapan keluarga sejahtera propinsi DKI Jakarta ……………… 7 7 Perbandingan situasi antara nelayan tradisional dan modern …… 18 8 Hasil analisis penelitian sebelumnya …………………………… 78 9 Komparasi tujuan penelitian dan penelitian sebelumnya.............. 83 10 Jumlah pulau menurut kelurahan ................................................. 85 11 Jenis dan makna faktor/konstruk dalam path diagram................ 99 12 Goodness of fit index................................................................... 105 13a Rasio jenis kelamin menurut kecamatan tahun 2006-2007 …….. 110 13b Kepadatan penduduk tahun 2006-2007 ……………………….. 111 14 Angka kelahiran kasar tahun 2006-2007 ……………………….. 113 15 Tingkat partisipasi KB tahun 2007 …………………………….. 114 16 Angka kematian kasar tahun 2006-2007 ………………………. 115 17 Angka harapan hidup Propinsi DKI Jakarta tahun 2004-2006 116 18 Angka partisipasi murni tahun 2006-2007 ................................. 117 19 Rasio murid terhadap guru tahun 2004 dan tahun 2006 ……… 118 20 Keadaan ketenagakerjaan dan pengangguran di tahun 2007 120 21 Komposisi alat penangkapan ikan……………………………… 121 22 Pengusahaan alat penangkapan ikan…………………………… 122 23 Pemasaran hasil perikanan
tangkap………………………………. 123
24 Pemasaran hasil perikanan budidaya …………………………… 123 25 Perkembangan PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi…………. 125 26 Laju pertumbuhan PDRB menurut lapangan usaha atas dasar
harga konstan …………………………………………………. 126
27 Laju pertumbuhan PDRB Kepulauan Seribu sektor pertanian menurut subsektor ADHK Tahun 2000………………………..
126
28 Rasio location quotient (LQ) periode 2002-2007 ……………… 130 29 Persentase pangsa regional dengan migas periode 2002-2007 ….. 131 30 Persentase pangsa regional tanpa migas periode 2002-2007……. 133 31 Hasil perhitungan dengan metode shift share (rupiah)………… 135 32 Penilaian responden terhadap indikator kesejahteraan............... 141 33 Penilaian responden terhadap penguatan kelembagaan................ 142 34 Penilaian responden terhadap pemberdayaan sumberdaya
manusia ...................................................................................... 142
xv
Halaman 35 Penilaian responden terhadap kewirausahaan................................ 143 36 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk penguatan
kelembagaan……………………………………………………… 147
37 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan……………………………………
148
38 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kewirausahaan 149 39 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kesejahteraan
nelayan………………………………………………………… 150
40 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk model peningkatan kesejahteraan nelayan……………………………………………
152
41 Hubungan antarvariabel pada model akhir……………………… 153 42 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
nelayan………………………………………………………….. 155
43 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan 155 44 Faktor pendorong dan penghambat penguatan kelembagaan….. 161 45 Matriks urgensi faktor internal penguatan kelembagaan……….. 162 46 Matriks urgensi faktor eksternal penguatan kelembagaan……….. 163 47 Matriks skoring faktor internal dan eksternal kelembagaan …….. 164 48 Matriks skor strategi SWOT penguatan kelembagaan………….. 165 49 Alternatif kebijakan penguatan kelembagaan…………………… 166 50 Faktor pendorong dan penghambat peningkatan
kewirausahaan… 168
51 Matriks urgensi faktor internal peningkatan kewirausahaan… 169 52 Matriks urgensi faktor eksternal peningkatan kewirausahaan… 169 53 Matriks skoring faktor internal dan eksternal kewirausahaan…. 170 54 Matriks skor strategi SWOT peningkatan kewirausahaan… 171 55 Alternatif kebijakan peningkatan kewirausahaan………………. 172 56 Faktor pendorong dan penghambat pemberdayaan SDM……… 173 57 Matriks urgensi faktor internal pemberdayaan SDM…………… 174 58 Matriks urgensi faktor eksternal pemberdayaan SDM…………. 174 59 Matriks skoring faktor internal dan eksternal pemberdayaan
SDM 175
60 Matriks skor strategi SWOT pemberdayaan SDM………….. 176 61 Alternatif kebijakan pemberdayaan SDM………………….. 177
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Diagram kerangka pikir peningkatan kesejahteraan nelayan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ................................ 15 2 Rantai nilai pengembangan kewirausahaan ............................... 40 3 Gabungan jasa ekosistem……………………………………… 46 4 Sistem kebijakan publik.............................................................. 62 5 Model hirarki kebijakan publik ................................................ 63 6 Lokasi penelitian …………………………………………….. 86 7 Diagram jalur hubungan struktural antar variabel penelitian…… 98 8 Confirmatory factor analysis tingkat kesejahteraan nelayan…… 100 9 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan…………. 100 10 Confirmatory factor analysis pemberdayaan SDM Nelayan 101 11 Confirmatory factor analysis pengembangan kewirausahaan 101 12 Pendekatan Penelitian …………………………………………. 107 13 Strukur ekonomi dengan migas ………………………………… 127 14 Struktur ekonomi tanpa migas ………………………………….. 128 15 Peranan sektor pertanian menurut subsektor tahun 2006……… 128 16 Proporsi pangsa regional setiap sektor tanpa migas 2002-2007 132 17 Proporsi pangsa regional sektor pertanian tanpa migas………… 133 18 Konseptualisasi model peningkatan kesejahteraan nelayan……. 146 19 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan…………. 147 20 Confirmatory factor analysis pemberdayaan SDM…………. 148 21 Confirmatory factor analysis kewirausahaan………..…………. 149 22 Confirmatory factor analysis kesejahteraan nelayan…………. 150 23 Confirmatory factor analysis model peningkatan kesejahteraan Nelayan………………………………………………………. 151 24 Kerangka pendekatan analisis kebijakan pembangunan perikanan 158 25 Zona kategori kebijakan pembangunan……………………….. 159 26 Penentuan prioritas kebijakan pembangunan…………………. 160 27 Kuadran penguatan kelembagaan……………………………. 166 28 Kuadran peningkatan kewirausahaan…………………………. 171 29 Kuadran pemberdayaan sumberdaya manusia………………… 176
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan
(sustainable development) yang dilakukan secara berencana dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut
pemerintah telah membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan dalam bidang
perencanaan pembangunan sejak masa pembangunan.
Tujuan dari setiap program pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah adalah dalam rangka untuk mencapai perubahan-perubahan ke arah
yang positif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal tersebut merupakan
fenomena yang tidak sederhana karena terjadi interaksi antara faktor alam, sosial,
ekonomi dan politik. Daerah-daerah dengan sumber daya yang relatif sedikit, baik
sumber daya alam maupun sumber daya manusianya biasanya memiliki
pertumbuhan ekomomi yang cenderung lebih lambat bila dibandingkan dengan
daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang kaya dan beragam.
Salah satu sumber ekonomi yang diharapkan dapat menolong bangsa ini
keluar dari krisis ekonomi dan menghantarkan menjadi bangsa yang maju, adil
dan makmur adalah sektor kelautan dan perikanan, seperti terlihat jelas selama
masa krisis antara tahun 1997 sampai dengan 1999. Fakta menunjukkan selama
krisis ada tiga permasalahan mendasar, yaitu (1) kurangnya sembilan bahan pokok
dipasaran, (2) menurunnya kesempatan kerja yang mengakibatkan banyaknya
proses PHK dan (3) menurunnya perolehan devisa. Ketiga permasalahan besar
tersebut ternyata tidak terjadi pada sektor perikanan yang dibuktikan selama masa
krisis ini, sektor perikanan masih menikmati pertumbuhan positif. Hal ini
menunjukkan sektor perikanan sebenarnya merupakan sektor yang dapat
diandalkan oleh bangsa Indonesia.
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut
besar dan beragam dikarenakan total luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km2.
Menurut Aziz et al. (1998) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia
2
adalah sebesar 6,18 juta ton per tahun, ikan demersal 1,78 juta ton per tahun, ikan
karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan
cumi-cumi 28,25 ribu ton. Melihat potensi yang sedemikian besar dan peran yang
masih dapat diandalkan pada masa-masa yang akan datang, sektor perikanan ini
sudah selayaknya diperhatikan. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan,
khusunya sub sektor perikanan bertujuan diantaranya untuk: meningkatkan
pendapatan nelayan, meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan produk-
produk perikanan yang berdaya saing tinggi dan meningkatkan lapangan
pekerjaan.
Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, serta untuk menjaga
kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini
diperluas cakupannya, sehingga tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga untuk
meningkatkan konstribusi Sub Sektor Perikanan Tangkap terhadap perekonomian
nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi, baik dalam bentuk
penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) (Manggabarani 2005).
Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap Indonesia dengan potensi
sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu besar seperti disebutkan diatas
seharusnya dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional
Indonesia, terutama terhadap tiga komponen penting pembangunan, yaitu
pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat
kemiskinan.
Akan tetapi hal tersebut belum dapat dibuktikan oleh sektor perikanan
terutama perikanan tangkap di Indonesia. Sebagai gambaran Departemen
Kelautan dan Perikanan (2004) melaporkan, bahwa berdasarkan data Lembaga
SMERU dan BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia yang notabene
nya adalah masyarakat nelayan sebanyak 3,91 juta KK (16,42 juta jiwa)
penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan Poverty Headcount
Index (PHI) sebesar 0,32.
3
Paham kesejahteraan (welfare) sejalan dengan terma keadilan (equality)
seperti dijelaskan Amartya Sen (1995) terkait penting dengan mengapa keadilan
merupakan poin penting dalam peningkatan kesejahteraan dan keadilan terhadap
apayang dimaksud dalam peningkatan kesejahteraan ini. Dua pertanyaan ini
memang berbeda tetapi sebenarnya dua hal tersebut terkait satu sama lainnnya.
Sen menyatakan bahwa kritik atau evaluasi terhadap suatu ketidakadilan tidak
dapat dilakukan apabila kita tidak mengetahui secara tepat tentang apa yang
dimaksud dengan ketidakadilan itu. Kritik terhadap keadilan lebih menyangkut
pertanyaan kedua, yaitu keadilan terhadap apa. Misalnya, apakah keadilan
terhadap pendapatan (income), kekayaan (wealths), kesejahteraan (welfare),
kesempatan (opportunities), kesuksesan (achievement), kebebasan (freedoms) dan
atau terhadap hak-hak (rights).
Pendekatan umum yang dilakukan Sen (1995) dalam mengukur
kesejahteraan adalah pengukuran atas jumlah orang miskin (poverty head count)
dan secara agregat mengukur proporsi jumlah orang miskin terhadap total
penduduk sebagai indeks kemiskinan (poverty indexs). Orang miskin itu sendiri
dirumuskan sebagai mereka yang pendapatannya berada dibawah garis
kemiskinan (below poverty line), yang variasi ukurannya beraneka ragam tetapi
orientasi pada dua variabel utama yaitu jumlah uang yang diperoleh atau asupan
kalori perhari, artinya semakin besar jumlah penduduk miskin atau indeks
kemiskinan semakin tidak sejahteran daerah itu. Pendekatan Sen yang menjadikan
pengukuran atas jumlah orang miskin sebagi pengukuran kesejahteraan suatu
daerah memberikan fakta bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu adalah suatu
contoh daerah dimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah.
Padahal, wilayah ini memiliki potensi dan sumber daya alam laut yang cukup
besar.
Pada bulan Juli Tahun 2001, Presiden Republik Indonesia menandatangani
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001 (PP No 55/2001). Peraturan tersebut,
berisi keputusan mengenai Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Kepulauan Seribu, yang
sebelumnya menjadi salah satu kecamatan di Kota Jakarta Utara, ditingkatkan
statusnya menjadi kabupaten administrasi.
4
Melalui peningkatan status itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Administrasi Kepulauan Seribu diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan pengelolaan Kepulauan Seribu
dalam segala aspek, antara lain kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya
alam, ekonomi, kesejahteraan rakyat dan sosial budaya.
Fakta di lapangan menunjukkan hingga enam tahun terbentuk, Kepulauan
Seribu masih dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sarana dan ketertinggalan
pembangunan. Sampai saat ini, dilihat dari sisi sosial ekonomi, kesejahteraan
masyarakat Kepulauan Seribu masih sangat rendah, diindikasikan dari 4.920
kepala keluarga masih terdapat 660 keluarga yang hidup di bawah garis
kemiskinan atau sekitar 13,5 % (Soebagio 2005).
Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, minimnya sarana dan
prasarana serta persebaran penduduk yang tidak merata menjadi kendala yang
mengakibatkan semua kelurahan di Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori
desa tertinggal. Beberapa contoh terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di
wilayah Kepulauan Seribu, antara lain fasilitas kesehatan dan pendidikan. Tabel 1
dibawah tampak menggambarkan bahwa pada periode 1996-2000 fasilitas
kesehatan yang terdapat di wilayah Kepulauan Seribu masih sangat sedikit.
Tabel 1. Fasilitas kesehatan di wilayah kepulauan seribu tahun 1996-2000
Fasilitas Kesehatan Tahun Rumah
Sakit Rumah Bersalin
Poliklinik BKIA Puskesmas Pos KB Posyandu
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1996 - - 1 6 4 10 13 1997 - - 3 4 4 10 10 1998 - - - 4 3 13 6 2000 - - - 4 4 4 22
Sumber: Kota Jakarta Utara Dalam Angka 1996-2000, BPS
Seluruh desa/kelurahan yang ada di wilayah Kepulauan Seribu termasuk
dalam kategori desa tertinggal (Tabel 2). Kondisi ini terlihat dari nilai indeks
komposit seluruh desa/kelurahan di Kepulauan Seribu yang masih lebih rendah
bila dibandingkan dengan indeks komposit ketertinggalan dari desa-
desa/kelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta.
5
Tabel 2 Indeks komposit ketertinggalan desa di wilayah kepulauan seribu
Kode Kecamatan Kode Desa Indeks
Komposit *) (1) (2) (3) (4) (5) 020 Kep. Seribu Utara 002 Pulau Harapan 3.0526 010 Kep. Seribu Selatan 002 Pulau Pari 3.1053 010 Kep. Seribu Selatan 001 Pulau Tidung 3.2105 010 Kep. Seribu Selatan 003 Pulau Untung Jawa 3.2632 020 Kep. Seribu Utara 003 Pulau Kelapa 3.2632 020 Kep. Seribu Utara 001 Pulau Panggang 3.3158
Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: *) Besarnya angka indeks komposit tersebut masih berada di bawah indeks komposit
desa/kelurahan lain di wilayah DKI Jakarta
Indeks ketertingalan desa/kelurahan untuk desa/kelurahan kepulauan
Seribu sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa/kelurahan lain yang ada
di wilayah DKI Jakarta (Tabel 3).
Tabel 3. Indeks komposit ketertinggalan kelurahan di wilayah DKI
Kode Kecamatan Kode Desa/kelurahan Indeks Komposit *)
(1) (2) (3) (4) (5) 010 Jagakarsa ( Selatan ) 003 Ciganjur 3.8947 030 Cipayung ( Timur ) 005 Setu 3.7895 020 Menteng ( Pusat ) 003 Cikini 3.8421 050 Tambora ( Barat ) 010 Roa Malaka 3.8421 010 Penjaringan ( Utara ) 001 Kamal Muara 3.7895
Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: *) Besarnya angka indeks komposit terendah beberapa kelurahan yang berada di wilayah DKI
Jakarta
Pada Tabel 4 dibawah ini digambarkan jumlah rumah tangga miskin dan
anggota rumah tangga miskin yang mengalami kenaikan pada tahun 2008.
Tabel 4 Perkembangan jumlah RT dan ART miskin kepulauan seribu
Tahun Peningkatan (%) NO Kecamatan 2004 2005
RT mis ART mis RT mis ART mis RT mis ART mis (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 Kep.Seribu Selatan 185 761 386 1.462 108.65 92.12 2 Kep Seribu Utara 267 1.099 656 2.373 145.69 115.92 Total 452 1.860 1.042 3.835 130.53 106.18
Sumber : BPS (2007)
6
Seluruh rumah tangga miskin yang berada di wilayah Kabupaten Adm.
Kepulauan Seribu mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika
dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2007, yaitu meningkat sebesar 123,89
persen (Tabel 4).
Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat digambarkan bahwa
pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mengalami
peningkatan, masing-masing sebesar 96,55 persen dan 142,41 persen jika
dibandingkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di kedua
kecamatan tersebut pada tahun 2006. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
hingga tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang ada di Kabupaten
Kepulauan Seribu semakin banyak.
Tabel 5 Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin Kab/Kota
2005 2006 2005 2006 (1) (2) (3) (4) (5)
Kab. Adm. Kepulauan Seribu 3.40 3.20 14.64 16.64 Kota Jakarta Selatan 64.00 76.30 3.36 3.74 Kota Jakarta Timur 71.20 85.10 2.85 3.55 Kota Jakarta Pusat 28.50 43.60 3.17 4.92 Kota Jakarta Barat 57.40 89.50 2.84 4.22 Kota Jakarta Utara 91.70 109.40 6.48 7.58
Prop. DKI Jakarta 316.20 407.10 3.61 4.57 Sumber ; BPS (2007)
Begitu pula apabila ditinjau dari segi penduduknya, menurut konsep
kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa yang termasuk
dalam kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun
non makanan yang bersifat mendasar.
Meskipun dari segi jumlah penduduk miskin yang berada di wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sedikit mengalami penurunan,
akan tetapi bila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta secara keseluruhan
persentase penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut mengalami peningkatan
7
sebesar 2,00 persen hingga mencapai angka 16,23 persen dari seluruh jumlah
penduduk miskin yang ada di DKI Jakarta (Tabel 5).
Angka kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu jauh diatas kota-kota lain yang ada di wilayah DKI Jakarta. Angka
kemiskinan tersebut merupakan angka yang tertinggi di wilayah DKI Jakarta. Hal
ini disebabkan antara lain karena tingkat kesejahteraan mereka yang semakin
menurun.
Hal ini bisa dilihat pada Tabel 6 di bawah ini yang menggambarkan
tahapan keluarga sejaktera di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2006.
Tabel 6. Tahapan keluarga sejahtera Propinsi DKI Jakarta tahun 2006
Kab/Kota PS % KS-1 % KS-2 % KS-3 % KS-3+ % Jlh
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
Jakarta Selatan 205 0.06 52.293 15.9 92.234 28.2 133.314 40.7 49.570 15.1 327.616
Jakarta Timur 8.757 1.9 103.086 22.7 156.289 34.5 147.860 32.6 37.331 8.2 453.323
Jakarta Pusat 127 0.07 54.974 31.6 58.286 32.4 48.194 27.7 14.403 8.3 173.984
Jakarta Barat 1.208 0.4 71.006 21.4 115.462 34.7 108.093 32.5 36.554 11.0 332.323
Jakata Utara 11.825 4.2 54.153 19.4 100.003 35.9 87.929 31.6 24.616 8.8 278.526
Kep. Seribu 797 15.3 1.524 29.3 2.270 43.6 556 10.7 65 1.3 5.212
Sumber : BPS (2007)
Selain dengan pendekatan rumah tangga dan penduduk, untuk melihat
kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan jumlah keluarga. Menurut BKKBN,
berdasarkan pendekatan keluarga tersebut terdapat beberapa tahapan keluarga
sejahtera, yaitu keluarga pra sejahtera (miskin), keluarga sejahtera 1 (KS-1),
keluarga sejahtera 2 (KS-2), keluarga sejahtera 3 (KS-3), dan keluarga sejahtera 3
plus (KS-3+).
Tabel 6 di atas dapat tampak bahwa berdasarkan tahapan keluarga
sejahtera pada tahun 2008 terdapat 782 keluarga miskin (pra sejahtera) di wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu mencakup sekitar 15,1 persen dari jumlah
seluruh keluarga yang terdapat di wilayah tersebut. Angka ini jauh tertinggal
dibandingkan daerah lain di wilayah DKI Jakarta yang rata-rata di bawah 5 %.
8
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di
wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan cukup tinggi. Oleh karena
itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang tepat dalam rangka untuk menanggulangi
kemiskinan di wilayah tersebut.
Apabila ditinjau dari segi potensinya, dapat diketahui bahwa Kepulauan
Seribu memiliki potensi wilayah yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan
dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya. Dengan luas
wilayah kurang lebih hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yaitu luas daratan
mencapai 897,71 Ha dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50 km2,
kondisi ini merupakan salah satu potensi yang menguntungkan bagi daerah
tersebut yang dapat digunakan sebagai modal pembangunan daerah setempat
apabila mampu dimanfaatkan dengan optimal. Akan tetapi, pada kenyataannya
sampai saat ini masyarakat Kepulauan Seribu belum semaju yang dibayangkan
bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di wilayah DKI Jakarta lainnya,
sehingga hal ini menimbulkan adanya dugaan bahwa sumber daya yang dimiliki
belum mampu dimanfaatkan secara optimal.
Kondisi ini mengharuskan pemerintah daerah untuk cermat dalam
merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan yang berkaitan dengan
pembangunan sektor perikanan tangkap di Kepulauan Seribu. Kebijakan
pemerintah dibidang perikanan tangkap yang bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan daerah misalnya, bisa berakibat kontra produktif terhadap peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan bila tidak dirumuskan dengan
pertimbangan dan analisa yang komprehensif terhadap potensi, kebutuhan dan
karakteristik sosial ekonomi.
Fenomena kemiskinan nelayan tersebut juga dikemukanan oleh Fauzi
(2005), bahwa sebagian besar nelayan Indonesia, yaitu pelaku perikanan tangkap
berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong masyarakat miskin dengan
pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan. Apabila dikaitkan dengan
Tujuan Pembangunan Milineum atau Millenium Development Goals (MDGs)
pendapatan sebesar US$ 10 per kapita per bulan sudah termasuk ke dalam extreme
poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Kondisi seperti demikian
menggambarkan bahwa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan belum dapat
9
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan.
Kemiskinan, ternyata juga telah menyebabkan rendahnya kapasitas
masyarakat pesisir khususnya nelayan. Rendahnya kapasitas masyarakat nelayan,
dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan. Usaha nelayan
biasanya bersifat individual, tradisional, dan biasanya hanya terpaku pada
kegiatan penangkapan ikan saja, yaitu berupa ikan segar hasil tangkapan.
Sedangkan kegiatan pasca-panen yang dapat menghasilkan nilai tambah justru
dilakukan oleh pedagang dan pengolah ikan yang mengambil alih tugas-tugas
peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk produk (proses pengolahan),
perubahan waktu penjualan (proses penyimpanan), dan perubahan tempat
penjualan (proses transportasi). Akibatnya porsi nilai tambah yang didapatkan
oleh nelayan relatif kecil.
Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tadi, sebenarnya
pemerintah telah banyak melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan
kemiskinan. Berbagai kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan diduga
belum mampu menjadi pembangkit kinerja pembangunan perikanan tangkap yang
berada di wilayah Kepulauan Seribu.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka penelitian mengenai
kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dan kaitannya dengan variabel-
variabel yang mempengaruhinya penting untuk dilakukan. Penelitian ini berjudul
“Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu”.
1.2 Perumusan Masalah
Amartya Sen (1999), saat menerima hadiah nobel di Stockholm tanggal 8
Desember 1998, mengatakan “a camel is a horse designed by a committe”. Sen
mengatakan onta (camel) tentu bukanlah kuda (horses), tetapi para pengembil
keputusan dalam suatu negara yang ingin mendesain “kuda” akhirnya tidak dapat
mengelak kemungkinan hasilnya menjadi “onta” dikarenakan harus mengayomi
10
berbagai perbedaan kepentingan dalam praktek kenegaraan. Sen mengatakan
bahwa perumusan suatu pilihan sosial kemasyarakatan (social atau public choice)
seperti tujuan suatu negara, daerah atau komunitas dapat menjadi sangat abstrak
dikarenakan banyaknya kepentingan dalam pembuatan suatu kebijakan. Seringkali
rumusan suatu kebijakan menjadi tidak berarti (negative definition) atau gagal
pada saat diimplementasikan. Hal ini mencerminkan kegagalan para perumus
kebijakan ketika membuat suatu kebijakan.
Kesulitan merumuskan suatu pilihan atau tujuan suatu kebijakan
dijelaskan oleh Kennneth Arrow (1950;1951) dalam teori kemustahilannya
(impossibility theorem). Dalam pandangan Arrow, rasionalitas, konsistensi dan
kebenaran tidak menjadi penting dalam suatu pilihan suatu kebijakan, tetapi
kekuasaan lebih menjadi faktor yang paling dominan. Arrow menjelaskan dengan
prinsip majority rule yaitu suatu pilihan atas suatu keputusan akan tetap disebut
“benar” bila didukung suara mayoritas. Oleh karena itu faktor politik sangat
berpengaruh dalam pembuatan suatu kebijakan. Rawls (1971) mendefinisikan
kesejahteraan terkait dengan pemerataan pendapatan (equitable distribution of
income). Menurut Rawls suatu ketidak adilan (inequality) atau mungkin lebih
tepat disebut kesenjangan pendapatan (income gap) dapat dibenarkan sepanjang
mereka yang paling miskin (the most poor people) dalam suatu masyarakat tetap
memperoleh suatu jaminan sosial. Karena itu baginya kesejahteraan lebih diukur
dari sejauh mana kebijakan yang dibuat guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat itu dibuat.
Justifikasi penelitian ini secara praktek bertujuan menganalisis kebijakan
yang dibuat pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan yang
bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat pesisir melalui Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) melalui pengembangan
kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penguatan modal
dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir.
Justifikasi penelitian secara konseptual berdasarkan konsep teori
kesejahteraan menurut Gunawan (2007) yaitu upaya penanggulangan kemiskinan
yang merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan
program pembangunan. Kebijakan khusus berhubungan dengan peningkatan
11
kesejahteraan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang seharusnya
mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah tersebut ditindaklanjuti melalui
strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan
kesejahteraan sebagai berikut : (1) modal usaha dan kewirausahaan, (2)
pemberdayaan sumberdaya manusia, (3) prasarana, sarana dan sistem informasi,
serta (4) penguatan kelembagaan.
Walaupun banyak variabel yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat, kebijakan pembangunan perikanan tangkap dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan dalam penelitian dibatasi dan
diasumsikan dipengaruhi oleh tiga faktor utama sesuai dengan konsep kebijakan
dari Departamen Kelautan dan Perikanan serta beberapa konsep secara teoritis ,
yaitu 1) penguatan kelembagaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3)
kewirausahaan. Dari ketiga faktor yang diasumsikan mempengaruhi kesejahteraan
nelayan perikanan tangkap skala kecil tersebut, sampai saat ini belum diketahui
secara pasti sejauhmana faktor-faktor tersebut mempengaruhi peningkatan
kesejahteraan nelayan tangkap skala kecil.
Mencermati rangkaian masalah tersebut, diperlukan model kebijakan
peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu yang dapat menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut:
(1) Apakah faktor penguatan kelembagaan mempengaruhi kesejahteraan
nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling
berpengaruh serta apa yang diperlukan dalam penguatan kelembagaan untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
(2) Apakah faktor pemberdayaan sumberdaya manusia mempengaruhi
kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang
paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan terhadap kebijakan yang ada
untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
(3) Apakah faktor kewirausahaan mempengaruhi kesejahteraan nelayan
perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh,
serta apa yang diperlukan dalam aspek kewirausahaan yang ada untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
12
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah:
(1) Menganalisis dan membahas pengaruh faktor penguatan kelembagaan
terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel
apa yang paling berpengaruh serta apa yang diperlukan dalam penguatan
kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap
skala kecil
(2) Menganalisis dan membahas pengaruh faktor pemberdayaan sumberdaya
manusia terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan
variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan terhadap
kebijakan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan
tangkap skala kecil.
(3) Menganalisis dan membahas pengaruh faktor kewirausahaan terhadap
kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang
paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan dalam aspek kewirausahaan
yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap
skala kecil.
Tujuan operasional dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh (effects) dan interaksi dari berbagai komponen yang berinteraksi dalam
kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, sehingga dapat diperoleh masukan bagi para perumus
kebijakan, para implementor, dan evaluator kebijakan ketika mereka berencana
untuk merumuskan strategi pengelolaan atau bahkan hendak mengkaji kembali
kebijakan peningkatan kesejahteraan yang ada agar lebih bernilai strategis di masa
mendatang.
1.4 Manfaat Penelitian
(1) Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini menjadi masukan dalam penyusunan
kebijakan publik tentang peningkatan kesejahteraan nelayan kecil.
13
(2) Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini menjadi bahan studi lanjutan
bagi pengembangan model peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil.
(3) Bagi masyarakat pesisir (nelayan), hasil penelitian ini sebagai informasi
tentang model yang paling sesuai dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan nelayan skala kecil.
1.5 Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Campbell (2000) tentang
mata pencaharian yang berkelanjutan (the sustainable livelihoods framework),
setiap kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat perikanan disesuaikan
dengan kondisi masyarakat dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia.
Konsep tersebut mengemukakan bahwa untuk membangun mata pencaharian
yang berkelanjutan perlu memperhatikan aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat
pesisir (nelayan), yaitu diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan,
kecakapan dan kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada di
sekitarnya; (3) social assets, dukungan yang didapat dari masyarakat sekitar dan
keluarga; (4) physical assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkan, serta (5)
financial assests, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang
dijalankan
Berdasarkan konsep tersebut yang dihubungkan dengan kebijakan peningkatan
kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, serta asumsi bahwa
keberhasilan kebijakan peningkatan kesejahteraan akan dipengaruhi oleh ada
tidaknya potensi ekonomi di wilayah kepulauan seribu. Potensi ini akan coba di
potret dengan melihat PDRB, pertumbuhan ekonomi dan Struktur ekonomi yang
dilanjutkan dengan melihat sektor unggulan yang ada dengan menggunakan
analisis Location Quotient (LQ) dan analisis shift share. Analisis ini diperlukan
untuk mengetahui sejauh mana potensi ekonomi terutama sektor perikanan selama
ini. Karena pada dasarnya kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat
didukung terlebih dahulu dengan potensinya sendiri.
Selanjutnya, dengan asumsi bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil adalah
14
pemberdayaan SDM, kewirausahaan, dan penguatan kelembagaan, maka
penelitian ini akan menelaah masing-masing faktor baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama. Selain mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh,
dianalisis juga variabel-variabel yang mempengaruhi faktor-faktor tersebut.
Analisis selanjutnya adalah mengetahui hubungan dari masing-masing variabel
apakah hubungan tersebut bersifat sinergis (saling memperkuat) atau antagonis
(saling melemahkan). Untuk mengetahui keterkaitan variabel-variabel penting
yang berpengaruh dan saling mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan
perikanan tangkap skala kecil tersebut dilakukan dengan menggunakan metode
analisis Structural Equation Modeling (SEM), seperti yang dijelaskan oleh
Ghozali dan Fuad (2005).
Berdasarkan hasil analisis SEM kemudian disusun strategi peningkatan
kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil melalui perbaikan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Dari serangkaian analisis tersebut diharapkan
dapat diketahui sejauhmana perikanan tangkap di Kepulauan Seribu berada pada
tingkat yang optimum dan sejauhmana faktor-faktor pembedayaan SDM,
kewirausahaan dan kelembagaan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan
nelayan perikanan tangkap skala kecil.
Setelah mendapatkan faktor yang paling berpengaruh terhadap
peningkatakan kesejahteraan nelayan analisis dilanjutkan dengan menggunakan
SWOT guna mencari alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna
meningkatkan kesejahteraan nelayan Kepulauan Seribu.
Skema pada Gambar 1 menjelaskan bahwa penelitian ditujukan untuk
mengkaji model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil
yang difokuskan pada faktor kelembagaan, pembedayaan SDM, dan
kewirausahaan terhadap kondisi nelayan dan sumberdaya saat ini sebagai suatu
pengembangan model pemberdayaan nelayan, yang hasilnya digambarkan sebagai
kinerja pembangunan perikanan tangkap skala kecil yang konprehensif,
berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.
15
Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan
Sektor Unggulan (Guna melihat peran
sektor Perikanan)
Era OTDA: 33 Provinsi
480 Kab/Kota
Model Kebijakan Peningkatan
Kesejahteraan Nelayan skala kecil
Permasalahan: 1. Sebagian besar desa/kelurahan
termasuk desa tertinggal; 2. Tingginya jumlah rumah tangga
miskin dan penduduk miskin dari tahun ke tahun;
3. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan
4. Produktivitas Ekonomi Kelautan Rendah;
5. Rendahnya jiwa kewirausahaan pada nelayan
Gambar 1 Diagram kerangka pikir peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
Kab.Adm Kepulauan Seribu
(Kab. Baru)
PENGUATAN KELEMBAGAAN
PEMBERDAYAAN SDM NELAYAN
KEWIRAUSAHAAN
16
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Nelayan Perikanan Tangkap Skala Kecil
Klasifikasi perikanan skala kecil atau besar, perikanan pantai atau lepas
pantai, artisanal atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan
mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokkannya
berdasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, dan jarak
daerah penangkapan dari pantai (Smith 1983).
Menurut Charles (2001), skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai
aspek, diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan
daerah penangkapan yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan, dan
berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokkan tersebut dilakukan melalui
perbandingan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) dengan perikanan skala
besar (big-scale fisheries), walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih
perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih lanjut karakteristik
perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith (1983), bahwa skala usaha
perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan
situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan
besar yaitu nelayan industri dan tradisional. Perikanan tradisional menurut Smith
(1983) diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang
menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.
2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga
adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar
penangkapan.
3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.
4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.
5) Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan.
6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai
sangat rendah.
17
7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisir dengan
baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual dilaut.
8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama
keluarganya.
9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis
maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai
batas minimal.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004,
perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah
kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan
didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan
yang tidak dalam dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, mengolah dan atau mengawetkannya. Usaha perikanan
selanjutnya didefinisikan sebagai semua usaha perorangan atau badan hukum
untuk menangkap dan membudidayakan ikan untuk tujuan komersil. Usaha
perikanan mencakup aspek produksi, pengolahan/pasca panen dan pemasaran,
sehingga terdapat rangkaian kegiatan yang membentuk suatu sistem usaha
perikanan.
Kesteven (1973) mengelompokkan nelayan ke dalam tiga kelompok yaitu
nelayan industri, artisanal dan subsisten, di mana nelayan industri dan artisanal
berorientasi komersial sedangkan hasil tangkapan nelayan subsisten biasanya
tidak untuk dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan
konsumsi sendiri beserta keluarga atau untuk dijual secara barter. Lebih lanjut
Smith (1983) yang dilengkapi oleh referensi Kesteven (1973), membuat rincian
perbandingan perikanan skala tradisional dan industri berdasarkan technico-socio-
economic yang di dalamnya termasuk karakteristik perikanan skala kecil.
18
Tabel 7 Perbandingan situasi sosioekonomi-teknis antara nelayan tradisional dengan nelayan industri.
Komersial Subsisten
Artisanal
Katagori
Industrial Tradisional
1. Unit penangkapan Tepat, dengan divisi pekerjaan dan prospek jelas
Tepat, kecil, spesialisasi dengan pekerjaan yang tidak terbagi
Tenaga sendiri, atau keluarga, atau grup masyarakat
2. Kepemilikan Dikonsentrasikan pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan
Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman, atau nelayan-nelayan gabungan
Tersebar diantara partisipan-partisipan
3. Komitmen waktu Biasanya penuh waktu Seringkali merupakan pekerjaan sampingan
Kebanyakan paruh waktu
4. Kapal Bertenaga, dengan peralatan yang memadai
Kecil; dengan motor di dalam (atau motor tempel kecil di luar)
Tidak ada, atau berbentuk kano
5. Perlengkapan Buatan mesin, atau pemasangan lainnya
Sebagian atau seluruhnya menggunakan material-material buatan mesin
Material-material buatan tangan, dipasang oleh pemilik
6. Sifat Pekerjaan Dengan bantuan mesin Bantuan mesin yang minim
Dioperasikan dengan tangan
7. Investasi Tinggi, dengan proporsi yang besar di luar nelayan
Rendah; penghasilan nelayan (seringkali diambil dari pembeli hasil tangkapan)
Sangat rendah sekali
8. Penangkapan (per unitpenangkapan)
Besar Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah
9. Produktivitas (per orang nelayan)
Tinggi Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah
10. Pengaturan Hasil Tangkapan
Dijual ke pasar yang terorganisir
Penjualan untuk lokal yang tak terorganisir, sebagian dikonsumsi sendiri
Umumnya dikonsumsi oleh nelayan itu sendiri, keluarganya, dan kerabatnya; atau ditukar
11. Pengolahan Hasil Tangkapan
Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi bukan untuk manusia
Beberapa dikeringkan, diasap, diasinkan; untuk kebutuhan manusia
Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi
12. Keberadaan Ekonomi Nelayan
Seringkali kaya Golongan ke bawah Minimal
13. Kondisi Sosial Terpadu Kadang terpisah Masyarakat yang terisolasi
Keterangan: Kategori (1), (4)-(10) dan (13) dari Kesteven (1973). Ungkapan di dalam kurung adalah tambahan perubahan karakteristik menurut Kesteven.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004,
nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
19
Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh
Indonesia.
Dari sisi sumberdaya, wilayah pantai merupakan kawasan yang memiliki
sumberdaya alam paling kaya dan merupakan bagian paling produktif di antara
seluruh perairan bahari. Bahkan menurut Mulyana (1999) wilayah pesisir atau
pantai menghasilkan sebagian besar (80%) produksi perikanan dunia. Walaupun
demikian masyarakatnya dalam kondisi miskin bahkan secara ekonomi dianggap
kelompok dengan opportunity cost yang rendah. Pendapat lain diungkapkan oleh
Subade dan Abdullah (1993), bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan
karena rendahnya opportunity cost mereka. Oleh karenanya hampir seluruh
kegiatan di wilayah ini menarik dipelajari dan diteliti termasuk kegiatan perikanan
yang sebagian besar dilakukan di wilayah ini.
Dalam berbagai hal terutama yang berkaitan dengan badan legal seperti
perbankan, nelayan tidak mudah memperoleh akses yang diharapkannya karena
ada penilaian rendahnya opportunity cost tersebut. Opportunity cost nelayan
adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau kegiatan ekonomi lain yang
terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain
opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja
mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan
cenderung tetap melaksanakan kegiatannya meskipun kegiatan tersebut tidak lagi
menguntungkan dan tidak efisien. Ada lagi yang mengatakan bahwa opportunity
cost nelayan khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung
mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan sebagai mata
pencahariannya, yaitu tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa
dikerjakan.
Panayotou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam
kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a
particular way of life). Pendapat Panayotou ini dijelaskan oleh Subade dan
Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih puas hidup dari
menangkap ikan daripada sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada
peningkatan pendapatan. Karena prinsip yang demikian, maka apapun yang
20
terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai masalah bagi mereka. Karena
itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi
nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan
kehidupannya.
Smith (1979), menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and
rigidity of fishing assets) adalah alasan utama nelayan tetap terperangkap dalam
kemiskinan, dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan
fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat
produktivitas rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau
melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya,
nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang mungkin tidak efisien
secara ekonomis.
Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar
terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor
penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal
dari nelayan negara lain (Widiyanto et al., 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa
salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan
nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi
karena rendahnya pendidikan dan penguasaan keterampilan bidang perikanan.
Oleh karena itu pemberdayaan sumberdaya perikanan laut sudah semestinya
dilakukan melalui pendekatan dengan nelayan, antara lain dengan melakukan
pemberdayaan kepada kelompok nelayan kecil agar mereka dapat
mengorganisasikan kegiatan usahanya.
2.2 Definisi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan di berbagai bidang
yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin dapat
berakibat antara lain, yaitu : (1) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban
masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, (3) rendahnya
partisipasi aktíf masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan
21
ketenteramaman masyarakat; (5) menurunnya kepercayaan masayarakat
terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6)
kemungkinan pada merosotnya mutu generasi (lost generations).
Walaupun nelayan skala kecil menjadi kontributor terbesar dalam produksi
perikanan tangkap, namun nelayan masih selalu diidentikkan dengan kemiskinan
(Elfindri, 2002). Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan
masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural,
kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001).
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur
sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan,
ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan
sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara
variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya
semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka
kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi,
hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Keadaan sosial ekonomi
masyarakat yang terjadi di sekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan
dan kesejahteraan mereka.
Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada
pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal,
kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan
pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan.
Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan
kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut
juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, antar institusi
sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan
super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah pusat dan daerah
memiliki komitmen khusus bagi kepentingan masyarakat miskin, dengan kata lain
perlu dilakukan affirmmative actions.
22
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-
variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit
untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau
tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel kemiskinan
kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan,
kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan.
Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan (patron)
baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan
upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001). Seperti yang
dinyatakan Shari (1990) dan Mashuri (1993) bahwa penyebab utama kemiskinan
nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan
tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan buruh. Selain itu,
keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah (Saedan,
1999).
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks, karena tidak saja
berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat,
tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan,
ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi
(voicelessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan
manusia (human development).
Berdasarkan definisinya, Levitan (1980) yang diacu dalam Adiwibowo
(2000) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan barang
dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak.
Sedangkan ahli ekonomi lebih sering mendefinisikannya sebagai fenomena
ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata
pencaharian yang cukup mapan sebagai tempat untuk menggantungkan hidup.
Namun sesungguhnya tidak semata-mata diakibatkan oleh kurangnya pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, melainkan lebih dari itu. Esensi
Kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan orang atau keluarga miskin untuk
melangsungkan dan mengembangkan perekonomiaanya.
23
Secara lebih mendalam, Adiwibowo (2000) membedakan paling sedikit
ada 6 (enam) macam kemiskinan, yaitu : (1) kemiskinan subsisten (penghasilan
rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.), (2)
kemiskinan perlindungan (lingkungan buruk: sanitasi, sarana pembuangan
sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, (3)
kemiskinan pemahaman (kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas
informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan
potensi untuk mengupayakan perubahan), (4) kemiskinan partisipasi (tidak ada
akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri
dan komunitas), (5) kemiskinan identitas (terbatasnya pembauran, terfragmentasi
antara kelompok sosial), (6) kemiskinan kebebasan (stres, rasa tidak berdaya,
tidak aman baik tingkat pribadi maupun komunitas).
Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar permasalahannya
yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: (1) kemiskinan alamiah, yakni
kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya sumberdaya dan atau karena
tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah, (2) kemiskinan buatan, yakni
kemiskinan yang terjadi karena strutur sosial yang ada membuat anggota atau
kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas
secara merata.Definisi lain mengenai kemiskinan adalah seperti yang disebutkan
oleh KPK (Komisi Penanggulangan Kemiskinan), yang mendefiniskan penduduk
miskin ke dalam beberapa golongan, masing-masing:
1) Usia di atas 55 tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak
produktif (usia lanjut dan miskin). Program untuk kelompok ini bersifat
pelayanan sosial.
2) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu usia sedang tidak
produktif (usia kerja tetapi menganggur). Program yang dilakukan adalah
investasi ekonomi dan merupakan fokus penanggulangan kemiskinan.
3) Usia di bawah 15 tahun (young poor), yaitu kelompok yang belum
produktif. Program yang dilakukan yaitu penyiapan sosial.
Kemiskinan merupakan suatu proses panjang yang melibatkan tarik-
menarik serta interaksi berbagai faktor. Kemiskinan muncul bukan sebagai sebab
tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi ketidakadilan, ketimpangan dan
24
ketergantungan dalam struktur masyarakat. Chambers (1983) yang diacu dalam
Adiwibowo (2000) mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya
terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan (deprivation trap).
Kemiskinan berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik.
Rumusan pengertian kemiskinan mencakup unsur-unsur: (1) ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan perumahan air
bersih, transportasi dan sanitasi); (2) kerentanan; (3) ketidakberdayaan; dan (4)
ketidakmampuan untuk menyalurkan aspirasinya. Sedangkan dimensi kemiskinan
mencakup empat hal pokok, yaitu: (1) kurangnya kesempatan (lack of
opportunity); (2) rendahnya kemampuan (low of capabilities); (3) kurangnya
jaminan (low-level of security); (4) dan ketidakberdayaan (low of capacity or
empowerment).
Kemiskinan dapat dikategorikan berdasarkan penyebabnya, antara lain
struktural, kultural, dan alamiah. Penyebab kemiskinan struktural adalah yang
berhubungan dengan kebijakan, peraturan dan lembaga yang ada dimasyarakat
yang menghambat produktifitas dan mobilitas masyarakat. Adapun penyebab
kulturalnya adalah berkaitan dengan adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak
produktif, tingkat pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan dan gizi yang
buruk, sedangkan faktor alamiah adalah faktor kondisi alam dan geografis,
misalnya keterisolasian daerah.
Indikator kemiskinan yang selama ini lazim digunakan adalah garis
kemiskinan (poverty line), yang menunjukkan ketidakmampuan seseorang
melampaui ukuran pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Garis kemiskinan
adalah ukuran yang didasarkan pada kebutuhan konsumsi minimum yang
mencakup konsumsi makanan dan non makanan.
Disamping pengertian kemiskinan secara universal, diperlukan pula
pengertian kemískinan pada tingkat lokal yang ditentukan oleh komunitas
setempat dan pemerintah daerah terkait. Dengan demikian kriteria kermiskinan,
pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah dan upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan dapat lebih obyektif dan tepat sasaran.
Uraian tersebut lebih bersifat pada pada pemahaman kemiskinan yang lebih
25
material, walaupun disadari masih terdapat berbagai pandangan lain yang non-
material. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh indikasi-indikasi masalah
kemiskinan yang nampak pada dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Fauzi (1992) mendeifinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal
kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan
dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa). Secara anatomis, pada dasarnya
kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu kemiskinan alamiah
dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah dapat timbul karena faktor alam
yang tidak mendukung, misalnya sumberdaya yang langka atau tidak bisa lagi
menjadi daya dukung kebutuhan manusia. Kemiskinan struktural terjadi karena
struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Birokrasi yang
berbelit-belit dan sistem mekanisme pasar yang tidak sehat misalnya merupakan
beberapa sebab kemiskinan struktural.
Menurut Rasdani (1993), kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang
modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya
pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk
memperbaiki nasibnya. Selain itu, tidak punya kemampuan dari dalam untuk
mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan
kemiskinan (culture of poverty).
Kusnadi (2002) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial
ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait.
Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami.
Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur
alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non-alamiah, berkaitan dengan
keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem
bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan
jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak
seperempat abad terakhir ini.
Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria (1996) yang
diacu oleh Kusnadi (2002) mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan
26
nilai konsumsi total 9 bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga
setempat. Kebutuhan hidup minimum yang dipergunakan sebagai tolok ukur
adalah 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg inyak goreng, 9 kg
garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter
batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun
dijadikan sebagai garis batas kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi
dalam beberapa katagori sebagai berikut:
a) Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari
200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.
b) Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125-200%
dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.
c) Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75-125% dari nilai
total 9 bahan pokok dalam setahun.
d) Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari
75% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.
2.3 Definisi Kesejahteraan
Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi
kemiskinan merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan
program pembangunan. Menurut gunawan (2007) kebijakan khusus pemerintah
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan
merupakan bagian integral pembangunan nasional yang harus mempunyai arah
pembangunan yang jelas. Arah pembangunan tersebut harus ditindaklanjuti
melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan
peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan yang terdiri dari
beberapa hal.
Pertama, modal usaha guna mengembangkan kewirausahaan yaitu
memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara mengembangkan mekanisme
penyaluran dana bantua dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif unggulan dalam
meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus untuk
tabungan dan akumulasi modal masyarakat.
27
Kedua, pemberdayaan sumberdaya manusia, yaitu memperkuat kapasitas
sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan
organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan
produktivitas dan daya saing melalui pelatihan,peyuluhan dan pemdampingan.
Ketiga, penguatan kelembagaan yaitu upaya meningkatkan kemampuan
kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi,
penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran
serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi
lokal.
Keempat, prasarana dan sarana serta sistem informasi yaitu
mengembangkan prasarana dan sarana serta jaringan pemasaran sehingga
masyarakat dengan mudah mendapatkan input produksi dan menjual produk
kepasar lokal, regional dan nasional melalui kemitraan dengan dunia usaha dan
penyedia jasa pendukung. Serta sistem informasi yaitu meningkat kemampuan
pemantauan, pengendalian, dan pelapora berbasis sistem informasi manajemen
dan sistem informasi geographis agar pelaksanaan pembangunan bisa dilakukan
secara tepat arah, tepat sasaran dan tepat tujuan.
2.3.1 Tingkat kesejahteraan
Kesejahteraan bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai
prdoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap factor yang
menentukan tingkat kesejahteraan. Konsep tentang kesejahteraan juga berkaitan
dengan konsep tentang kemiskinan. Menurut Sayogyo (1977), klasifikasi tingkat
kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita pertahun
yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu: (1) miskin, apabila pengeluaran
per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480
untuk daerah kota, (2) miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun
lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota, (3)
paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara
180 kg beras untuk pedesaan dan 270 beras untuk daerah kota.
Kesehatan dapat juga dipakai sebagai ukuran kesejahteraan seseorang.
Faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat antara lain konsumsi makan
28
makanan bergizi, sarana kesehatan serta keadaan sanitasi lingkungan yang tidak
memadai.
Tinjauan tentang kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui
kondisi maupun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan)
adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan)
dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan
suatu bangsa dan indikator dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pendidikan dalam kehidupan dewasa ini sudah dianggap sebagai kebutuhan dasar
yang tidak dapat ditunda pemenuhannya.
Selain itu, faktor gizi juga merupakan indikator utama dalam komponen
gizi dan konsumsi yang digunakan dalam menggambarkan taraf hidup
masyarakat. Penyebab kekurangan gizi yang menggambarkan taraf hidup
masyarakat yang lebih rendah lebih lanjut dikatakan bahwa tingkat ekonomi yang
masih rendah menyebabkan masyarakat belum mampu memperoleh pelayanan
kesehatan.
Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui
kondisi maupun fasilitas tempat tinggal yang dimiliki. Perumahan adalah salah
satu kebutuhan dasar yang paling penting selain makanan dan pakaian untuk
mencapai kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi
sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumah
tangga/masyarakat.
UU No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan soaial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang menungkinkan
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
29
Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah
tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa,
rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan
dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan dan pola
pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan
pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan.
Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi
perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus
(BPS, 1991).
Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang
diacu dalam Primayuda (2002), yang disebut keluarga sejahtera adalah: (1)
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang,
pangan, perumahan, sosial maupun agama; (2) Keluarga yang mempunyai
keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarganya;
dan (3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga,
berkehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk, disamping
terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak
memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua
aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan
dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS
(1991) yang sudah dimodofikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan
dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas:
(1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan tempat
tinggal; (4) Fasilitas tempat tinggal; (5) Kesehatan anggota keluarga; (6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medis/paramedis,
termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan obat-
obatan; (7) Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan; (8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi; (10) Perasaan aman dari
gangguan kejahatan; dan (11) Kemudahan dalam melakukan olah raga.
30
Tingkat Kesejahteraan Keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002) adalah sebagai
berikut:
1) Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang,
papan dan kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera Tahap-1 (S-1), adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasrnya, akan tetapi belum dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keluarga
Berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tinggal
serta kebutuhan transportasi.
3) Keluarga Sejahtera Tahap-2 (S-2), adalah keluarga yag telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar dan juga telah dapat memenuhi kebutuhan
sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan
kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh
informasi.
4) Keluarga Sejahtera Tahap-3 (S-3), adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar, prsikologis dan pengembangannya akan
tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan
secara aktif di masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga
kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga,
pendidikan dan sebagainya.
5) Keluarga Sejahtera Tahap-3 plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial
psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula
memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
2.3.2 Pemberdayaan sumberdaya manusia
Kata pemberdayaan (empowerment) mengandung arti adanya sikap mental
yang tangguh atau kuat, sehingga kegiatan yang berbasis pembedayaan adalah
pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol
tersebut kemudian mengkomunikasikan kekuatan untuk mengubah hal-hal yang
ada dalam diri kita (inner space), orang lain yang dianggap penting dan
31
masyarakat sekitar proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan.
Pertama kecenderungan primer yang prosesnya sering disebut sebagai makna
pemberdayaan. Kecenderungan ini menekankan pada proses pengalihan sebagian
kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang
bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Kedua kecenderungan
sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi
agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
pilihan hidupnya. Sesungguhnya, di antara kedua kecenderungan tersebut adalah
saling terkait, bahkan bisa saja agar kecenderungan primer dapat terwujud,
seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Pranarka dan
Vidhyandika , 1996).
Berdasarkan konsep tersebut, proses pemberdayaan secara umum meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) Merumuskan relasi kemitraan, 2)
Mengartikulasikan tantangan-tantangan dan mengidentifikasi berbagai kekuatan
yang ada, 3) Mendifinisikan arah yang ditetapkan, 4) mengeksplorasi sistem-
sistem sumber, 5) Menganalisis kapabilitas sumber, 6) Menyususn frame
pemecahan masalah, 7) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber dan memperluas
kesempatan-kesempatan, 8) Mengakui temuan-temuan, 9) Mengintegrasikan
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.
Pada dasarnya pemberdayaan diletakan pada kekuatan tingkat individu dan
sosial. Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis kontrol
individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut
undang-undang. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat
selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam
rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada
akhirnya akan menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Oleh
karena itu Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat dunia
ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui
upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri.
32
Berkaitan dengan pemberdayan nelayan sebagai bagian dari masyarakat
pesisir, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memberdayakan
masyarakat pesisir, di antaranya adalah 1) Strategi Fasilitasi, yaitu mengharapkan
kelompok yang menjadi sasaran program sadar terhadap pilihan-pilihan dan
sumberdaya yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu
agen perubah secara bersama-sama dengan kliennya (masyarakat) mencari
penyelesaian. 2) Strategi edukatif, yaitu strategi yang diperuntukan bagi
masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan dan keahlian terhadap segmen
yang akan diberdayakan. 3) Strategi persuasive, yaitu strategi yang ditujukan
untuk membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku. Strategi ini
lebih cocok digunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau
mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan. 4) Strategi kekuasaan,
yaitu strategi yang efektif membutuhkan agen perubah yang mempunyai sumber-
sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai
kemampuan untuk monopolis akses. Untuk terlaksananya strategi-strategi
tersebut, program unggulan harus dibuat dan dilaksanakan secara terstrukur dan
terencana dengan komitmen yang kuat.
Selanjutnya dikatakan bahwa program-program pemberdayaan masyarakat
pesisir yang seyogyanya dilakukan, adalah: 1) Peningkatan kesejahteraan nelayan
yang dilakukan melalui pembangunan desa pantai disertai pembinaan intensif,
meningkatkan aktivitas sekunder dengan melibatkan nelayan, menggalakan
pengembangan usaha skala kecil dan menengah, membentuk sistem agribisnis
perikanan terpadu, pembinaan tehadap lembaga-lembaga keuangan dalam
mendukung usaha perikanan, pengembangan usaha berbasis sumberdaya pantai
dan industri kecil. 2) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan.
Dilakukan melalui peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK perikanan,
teknologi pengolahan bagi pengumpul dan pedagang ikan dan pengembangan
kemampuan perguruan tinggi pendukung. 3) Pengembangan industri perikanan
dan kelautan. Pengembangan industri perikanan dan kelautan di daerah harus
dilakukan dengan kebijakan pendekatan total (total approach). Untuk itu banyak
hal yang perlu mendapat perhatian yang dapat digolongkan ke dalam 3 aspek
33
yaitu : (1) Administrasi dan manajemen, (2). Badan usaha dan, (3). Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
Berkaitan dengan strategi pemberdayaan dikatakan bahwa pengelolaan
sumberdaya berbasis masyarakat (Community Based Management = CBM) adalah
suatu strategi untuk mencapai pembangunan berpusat pada masyarakat, dimana
pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam
masyarakat di daerah.
Pengelolaan dengan konsep CBM ini hampir tidak ada campur tangan
pemerintah. Pengelolaan dengan CBM ini memiliki resiko jika sumberdaya
manusianya tidak siap. Namun demikian, dalam konsep pengelolaan sumberdaya
alam berbasis masyarakat dalam kenyataannya juga tidak sepenuhnya berhasil
tanpa keterlibatan pemerintah dalam implementasinya. Masyarakat memiliki
banyak kekurangan terutama dalam kualifikasi pendidikan, kesadaran akan
pentingnya lingkungan, keuangan/permodalan dan sebagainya.
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan
pengelolaan sumberdaya alam yang meletakan pengetahuan dan kesadaran
lingkungan masyarakat local sebagai dasar pengelolaannya. Pengembangan
masyarakat dengan CBM dikaitkan dengan kepercayaan (religion). Oleh sebab itu
pengelolaan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang mengakomodir
berbagai kepentingan (termasuk pemerintah) dalam pengelolaan sumberdaya alam
yang disebut CO-Operative Management (CO- Management)
Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen
Kelautan dan Perikanan (2002) disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik
masyarakat pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka pemberdayaan
nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif,
yakni pembangunan dengan memiliki ciri-ciri: (1) berbasis lokal (melibatkan
sumberdaya lokal sehingga return to local resource dapat dinikmati oleh
masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan adalah sumberdaya
manusia dan sumberdaya alam, (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
(menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi),
34
(3) berbasis kemitraan (kemitraan yang mutualistis antara orang lokal atau orang
miskin dengan orang yang lebih mampu, untuk membuka akses orang miskin
terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik atau
profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas), (4) secara holistik atau multi
aspek (pembangunan mencakup semua aspek, setiap sumberdaya lokal patut
diketahui dan didayagunakan), dan (5) bekelanjutan (keberlanjutan dari
pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan sosial).
Disebutkan pula, bahwa khusus pembangunan di kawasan pesisir dan
umumnya pembangunan perikanan dan kelautan, masalah kualitas SDM dan
lingkungan sepatutnya mendapat perhatian khusus, karena secara umum
masyarakat pesisir memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang masih rendah.
Oleh karena itu dalam investasi SDM masyarakat pesisir sudah sepatutnya
mempertimbangkan kedua hal tersebut, walaupun investasi SDM dinilai mahal,
tidak quick yielding dan tidak nyata (feasible) manfaatnya menurut perhitungan
ekonomi konvensional, khususnya bila harus dinilai dengan indikator seperti
benefit cost ratio (B/C) atau internal rate of return (IRR). Meskipun demikian
investasi ini perlu dilakukan, dengan pertimbangan khusus atau adanya kebijakan
keberpihakan (affirmative policy).
Dengan SDM yang memadai, maka di masa yang akan datang pengelolaan
sumberdaya, bisnis, organisasi, dan kelembagaan produksi di daerah pesisir dapat
dilakukan dengan lebih baik. Sehingga dampak positif akan dapat dirasakan baik
oleh individu, maupun masyarakat pesisir terutama nelayan secara keseluruhan.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa pemberdayaan dapat dilakukan melalui
Pendekatan Empat-Daya (4D), yaitu upaya pemberdayaan masyarakat pada aspek-
aspek manusia (Daya-Manusia), usaha (Daya-Usaha), lingkungan (Daya-
Lingkungan) dan sumberdaya (Daya-Sumbedaya). Pendekatan ini merupakan
bagian dari strategi pembangunan komprehensif. Pendekatan 4D juga merupakan
modifikasi pendekatan tri-bina yang pernah digunakan dalam program
pengentasan kemiskinan. Komponen tri-bina adalah bina manusia, bina
lingkungan dan bina usaha. Modifikasi dilakukan karena dua hal. Pertama, kata
pembinaan lebih berkonotasi tidak adanya partisipasi dan bersifat top-down.
35
Untuk itu diubah dengan kata pemberdayaan yang lebih bernuansa bottom-up dan
pelibatan masyarakat. Kedua, ditambahkannya aspek sumberdaya karena
pembangunan di pesisir sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam,
termasuk sumberdaya ikan, yang keberadaannya sangat rentan terhadap tindakan
manusia dan oleh sebab itu perlu diperhatikan secara khusus. Untuk itu maka
dimunculkan aspek sumberdaya dalam bentuk Daya-Sumberdaya. Penjelasan
keempat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
Dayamanusia adalah pendekatan pemberdayaan masyarakat kecil melalui
pengembangan SDM. Aspek-aspeknya mencakup (1) investasi pada human
capital, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, (2) peningkatan
kapasitas organisasi dan kelompok dalam upaya membentuk dan menumbuhkan
collective action, (3) memperluas dan mengintegrasikan mandat agar supaya
collective action makin sinergis, (4) menumbuhkan budaya kerja keras dan hemat,
serta (5) mengurangi sikap dan perilaku negatif.
Daya uasaha adalah pemberdayaan masyarakat melalui pencipataan usaha
yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat sendiri. Aspek-aspeknya mencakup
(1) meningkatkan keterampilan teknis dan analisis dengan berdasarkan
pengetahuan dasar dan pengetahuan teknis, (2) meningkatkan akses terhadap
teknologi, modal, pasar, dan informasi pembangunan, (3) membangun kemitraan
mutualistis antara pengusaha kuat dan lemah, (4) membangun sistem insentif
sebagai basis pengembangan usaha, (5) menyediakan peraturan yang kondusif
bagi usaha dan meniadakan peraturan yang tidak relevan dan tidak perlu.
Daya lingkungan merupakan pendekatan pemberdayaan dan pembinaan
masyarakat melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana
produksi serta peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan
hidupnya. Pendekatan ini mencakup aspek-aspek (1) membangun infrastuktur
yang menjadi faktor penarik investasi, (2) meningkatkan perencanaan dan
pembangunan kawasan dengan mempertimbangkan daya dukung dan kesesuaian
lingkungan, (3) mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi
eksistensinya, (4) memperkaya sumberdaya melalui kegiatan-kegiatan rehabilitasi,
mitigasi bencana, pengendalian pencemaran serta restocking.
36
Daya sumberdaya pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui pelibatan
mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang mencakup aspek-
aspek (1) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pengelolaan sumberdaya
sehingga akan terwujud sistem pengelolaan sumberdaya yang berbasis
masyarakat, (2) memberikan konsesi pengelolaan laut bagi masyarakat lokal
sehingga ada perhatian dan rasa memiliki akan sumberdaya tersebut, (3)
menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal dalam hal
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya, (4) menerapkan sistem monitoring,
pengendalian dan pengawasan lapangan atau MCS sistem, (5) menerapkan
teknologi ramah lingkungan dan sumberdaya, (6) membangun kesadaran akan
pentingnya merawat dan menjaga keberlanjutan sumberdaya.
Campbell (2000) mengenalkan konsep Kerangka Mata Pencaharian yang
Berkelanjutan (The Sustainable Livelihoods Framework). Dalam kerangka
tersebut dikatakan bahwa untuk membangun mata pencaharian yang
berkelanjutan, perlu diperhatikan asset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir
(nelayan), diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan
kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada disekitarnya; (3) social
assets, dukungan yang di dapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; (4) physical
assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkanseperti jalan, suplai air bersih,
pelabuhan dan sebagainya; serta (5) financial assests, modal yang dapat diperoleh
untuk aktivitas usaha yang dijalankan.
Berdasarkan konsep dan pendekatan di atas, maka sasaran pemberdayaan
masyarakat pesisir, khususnya nelayan diformulasikan sebagai berikut:
1) Terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan,
papan, kesehatan, dan pendidikan.
2) Tersedianya prasarana dan sarana produksi lokal yang memungkinkan
masyarakat dapat mengakses dengan harga murah dan berkualitas yang
baik.
3) Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif
(collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu.
4) Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki
ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), pasar yang jelas
37
(market-based), berkelanjutan berdasarkan kapasitas sumberdaya
(environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi
masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan
teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan
penelitian (scientific-based).
5) Terciptanya jaringan transportasi dan komunikasi yang memadai, sebagai
basis jaringan ekonomi, baik antar kawasan pesisir maupun antara pesisir
dan pedalaman.
6) Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan
ekonomi di wilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan
pendayagunaan sumberdaya alam laut.
2.3.3 Kewirausahaan (Entrepreunership)
Menurut Nikijuluw (2005), kewirausahaan (entrepreunership) berasal dari
kata wirausaha (entrepreunerial). Menurut Longman Dictionary of
Contemporary English, wirausaha adalah kemampuan seseorang untuk memulai
bisnis, menata semua urusan bisnisnya, selanjutnya mengambil risiko dalam
rangka memperoleh keuntungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
wirausaha disamakan dengan wiraswasta yang artinya orang yang pandai atau
berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru,
memasarkannya, serta mengatur permodalanan operasinya.
Selanjutnya Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa dengan dasar kedua
definisi ini, kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan
pelaku UKM perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian
rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan
dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya,
seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan
keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya. Bila dia pelaku UKM maka yang
bersangkutan emiliki kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya,
untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi
dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya.
38
Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005)
memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha (entrepreneurial intelligence) yang
menurut mereka adalah dasar bagi seseorang, siapapun dia, apakah pelaku UKM
atau konglomerat, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah
dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan
kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai
tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan
bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali
dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya
secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara
berkelanjutan.
Apakah para pelaku UKM perikanan memiliki kemampuan ini?
Jawabannya ya atau ada, tetapi mungkin tidak banyak. Karena itu perlu
dikembangkan kemampuan berwirausaha di kalangan UKM perikanan sehingga
sumberdaya perikanan yang tersedia di sekitar mereka dapat dimanfaatkan dengan
baik bagi dirinya dan masyarakat lain.
Definisi atau batasan lain yaitu kemitraan usaha. Kemitraan (partnership)
berasal dari kata mitra (partner) yang berarti kawan sekerja. Mitra usaha dalah
rekan dalam bisnis atau usaha (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara itu
dalam Longman Dictionary of Contemporary English, kemitraan diartikan
sebagai: (1) kerjasama dalam berusaha; (2) suatu usaha yang dimiliki oleh dua
atau lebih pihak yang bersama mencari keuntungan dan memikul kerugian; dan
(3) suatu hubungan antara dua orang, organisasi atau negara yang bekerjasama
secara reguler.
Kemitraan usaha perikanan adalah kerjasama antara dua pihak, utamanya
antara pihak usaha besar di satu sisi dan pihak UKM di sisi lain dalam
memanfaatkan sumberdaya perikanan guna mencapai tujuan yang telah disepakati
dan ditetapkan bersama. Dengan demikian kemitraan usaha perikanan memiliki
kedudukan penting dalam pembinaan dan pengembangan UKM. Melalui
kemitraan, kekurangan UKM dapat disubstitusi dengan kelebihan usaha skala
39
besar. Demikian juga kekurangan dan masalah usaha skala besar dapat dengan
lebih efisien diatasi oleh UKM.
Pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha perikanan memiliki
akar yang kuat dalam UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Karena amanat
UU 31/04 ini maka pengembangan kewirausahaan dan kemitraaan usaha perlu
dipromosikan dan dilaksanakan untuk kemajuan bangsa.
Pada pasal 2, dikatakan bahwa pengelolaan perikananan diantaranya
dilakukan berdasarkan asas keadilan, kemitraan, pemerataan dan keterpaduan.
Pengelolaan perikanan diantaranya dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan
taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, mendorong perluasan dan
kesempatan kerja serta meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya
saing (pasal 3).
Pemerintah diamanatkan untuk melaksanakan pembinaan dan
pemberdayaan UKM perikanan. Pasal 62 UU 31/2004 disebutkan bahwa
pemerintah mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan dan pembudidaya
ikan, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Juga disebutkan bahwa
pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan
dengan UKM perikanan dalam kegiatan usaha perikanan yang mencakup
penangkapan, budidaya, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan(pasal 63)
UKM perikanan diberdayakan diantaranya melalui penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan serta pengembangan kelompok dan
koperasi (pasal 60). Komitmen pemerintah bukan saja supaya nelayan Indonesia
bisa menguasai teknologi untuk berkiprah di perairan Indonesia saja tetapi juga
supaya mereka mampu bekerja di luar negeri. Untuk itu pemerintah
mengembangkan lembaga pendidikan dan latihan bertaraf internasional (pasal 57).
Pemerintah juga diamanatkan untuk bekerjasama dengan lembaga lain, di tingkat
nasional dan internasional untuk menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan perikanan (pasal 58).
Pengembangan kewirausahaan di kalangan perikanan adalah suatu proses
yang berkelanjutan dan barangkali tidak ada akhirnya. Dalam bentuknya sebagai
suatu proses yang tidak berakhir maka pangkal dan proses tersebut adalah
40
membangun nilai-nilai dan kesadaran berusaha atau berbisnis di kalangan UKM
perikanan. Tanpa adanya nilai-nilai dan kesadaran berbisnis maka langkah
selanjutnya adalah pengembangan kewirausahaan ini tidak akan terwujud.
Gambar 2 Rantai nilai pengembangan kewirausahaan (Nikijuluw, 2005).
Dari gambar di atas menjelaskan bahwa setelah memiliki kesadaran dan
nilai-nilai dalam dirinya berbisnis itu perlu dilakukan dan melalui harkat dan
martabatnya dapat ditingkatkan maka langkah selanjutnya yaitu: (1) membangun
penguasaan akan ketrampilan dasar teknologi yang berkaitan dengan perikanan;
(2) membangun ketrampilan usaha dan manajerial; (3) meningkatkan praktek dan
pengalaman usaha; dan (4) mengembangkan niat kewirausahaan secara terus
menerus ke depan.
2.3.4 Kelembagaan
Menurut Arifin dan Rahbini (2001), definisi kelembagaan mencakup dua
demarkasi penting, yaitu konvensi (conventions) dan aturan main (rules of the
games). Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal dan diikuti secara baik
oleh anggota masyarakat, yang membuat naungan (liberty) dan hambatan
(constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis
secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga
dapat tidak ditulis secara formal seperti pada aturan adat dan norma yang dianut
masyarakat. Kelembagaan ini umumnya dapat diprediksi (predictable) dan cukup
stabil, serta dapat diaplikasikan pada sutuasi berulang.
Menurut bapak ekonomi kelembagaan (the patron saint) Thorstein Veblen
(1926) yang diacu dalam Arifin dan Rahbini (2001), kelembagaan adalah settled
habits of thought common to the generality of men. Kelembagaan dianggap
sebagai suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang
menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi (predictable) dalam hubungan antar
Nila
i-nila
ike
sada
ran
bisn
is
Ket
ram
pila
nD
asar
Ket
ram
pila
nU
saha
Prak
tek
dan
Peng
alam
anU
saha
Kem
ampu
anW
iraus
aha
Rantai Nilai KewirausahaanN
ilai-n
ilai
kesa
dara
nbi
snis
Ket
ram
pila
nD
asar
Ket
ram
pila
nU
saha
Prak
tek
dan
Peng
alam
anU
saha
Kem
ampu
anW
iraus
aha
Rantai Nilai Kewirausahaan
41
manusia. Walaupun kelembagaan social sangat peduli pada pemecahan masalah-
masalah koordinasi social, kelembagaan tidak mesti mengawasi dirinya sendiri
(self-policing). Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal seperti Negara,
untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena seseorang dapat saja
mempunyai insentif untuk mencuri hak-hak orang lain.
Menurut tokoh panutan yang lain John R. Commons (1934) yang diacu
dalam Arifin dan Rahbini (2001), definisi kelembagaan adalah collective action in
restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah
kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan
dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap
perilaku ekonomi juga sering disebut kelembagaan, sehingga setiap yang dinamis
atau tidak statis, yang terproses atau tidak semata komoditas, yang beraktivitas
atau tidak semata perasaan dan kepekaan, yang berupa amanajemen atau tidak
sekadar keseimbangan, semuanya tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan
demikian, kelembagaan itu dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata
cara untuk kelangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going
concerns). Jadi kelembagaan itu adalah kegiatan kolektif dalam suatu control atau
yurisdiksi, pembebasan atau liberasi, dan perluasan atau ekspansi kegiatan
individu, seperti yang telah disebutkan di atas.
Ruang lingkup kelembagaan juga dapat dibatasi pada hal-hal berikut ini:
1) Kelembagaan adalah kreasi manusia (human creations). Beberapa bagian
penting dari kelembagaan adalah hasil akhir dari upaya atau kegiatan
manusia yang dilakukan secara sadar. Apabila manusia itu hanya pasif
saja dalam suatu system, system itu tak ubahnya seperti kondisi alami atau
system fisik yang mungkin saja dapat lebih menguasai kelangsungan
kepentingan manusia.
2) Kumpulan individu (group of individuals). Kelembagaan hanya berlaku
pada sekelompok individu, setidaknya dua orang atau bagi seluruh anggota
masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan dirumuskan dan diputuskan
bersama-sama oleh kelompok individu, bukan secara perorangan.
3) Dimensi waktu (time dimension). Karakteristik suatu institusi itu adalah
apabila dapat diaplikasikan pada situasi yang berulang (repeated
42
situations) dalam suatu dimensi waktu. Kelembagaan tidak diciptakan
hanya untuk satu atau dua momen pada suatu kurun waktu tertentu saja.
4) Dimensi tempat (place dimension). Suatu lingkungan fisik adalah salah
satu determinan penting dalam aransemen kelembagaan, yang juga dapat
berperan penting dalam pembentukan struktur kelembagaan. Akan tetapi,
aransemen kelembagaan juga dapat berperan sangat penting pada
perubahan kondisi atau lingkungan fisik. Hal inilah yang sering dikenal
sebagai hubungan timbal balik (feed-back relationship).
5) Aturan main dan norma (rules and norms). Kelembagaan itu ditentukan
oleh konfigurasi aturan main dan norma, yang telah dirumuskan oleh suatu
kelompok masyarakat. Anggota masyarakat harus mengerti rumusan-
rumusan yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianut dalam
kelembagaan tersebut.
6) Sistem pemantauan dan penegakan hukum (monitoring and law
enforcement). Aturan main dan norma harus dipantau dan ditegakkan oleh
suatu badan yang kompeten, atau oleh masyarakat secara internal pada
tingkat individu. Artinya, system pemantauan dan penegakan aturan ini
tidak sekadar aturan diatas aturan, tetapi lebih lengkap.
7) Hirarki dan jaringan (nested levels and institutions). Suatu kelembagaan
bukanlah struktur yang terisolasi, melainkan merupakan bagian dari hirarki
dan jaringan atau sistem kelembagaan yang lebih kompleks. Pola
hubungan ini sering menimbulkan keteraturan yang berjenjang dalam
masyarakat, sehingga setiap kelembagaan pada masing-masing tingkatan
dapat mewarnai proses evolusi dari setiap kelembagaan yang ada.
8) Konsekuensi kelembagaan (consequences of institutions). Disini
umumnya dikenal dua tingkatan konsekuensi. Pertama, kelembagaan
meningkatkan rutinitas atau keteraturan atau tindakan manusia yang tidak
memerlukan pilihan yang lengkap dan sempurna. Tetapi kelembagaan
dapat mempengaruhi tingkah laku individual melalui sistem insentif dan
disinsentif. Kedua, kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya
suatu pola interaksi yang stabil yang diinternalisasi oleh setiap individu.
Hal inilah yang menimbulkan suatu ekspektasi keteraturan di masa
43
mendatang, tentunya dalam batas-batas aransemen kelembagaan structural.
Oleh karena itu, kelembagaan dapat menurunkan ketidakpastian.
Dari uraian definisi dan ruang lingkup kelembagaan di atas, kelembagaan
menentukan “bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus
mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh
mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain (kebolehan atau liberty),
bagaimana mereka dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan
kolektif (kemampuan atau hak), dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh
kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya. Bromley (1989 diacu
dalam Arifin dan Rahbini 2001 ) secara tegas mengatakan bahwa kelembagaan itu
adalah serangkaian hubungan keteraturan (ordered relationships) antara beberapa
orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai hak
orang lain, dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan
tersebut.
Ekonomi kelembagaan lahir karena para penemunya sangat peduli
(concerned) tentang penelusuran bagaimana suatu sistem ekonomi disusun,
dijalankan dan digerakkan, serta bagaimana struktur dalam sistem ekonomi itu
berubah karena adanya respons terhadap kegiatan kolektif. Ekonomi
kelembagaan melihat individu atau seseorang sebagai anggota dari perusahaan,
anggota dari suatu keluarga, atau anggota dari suatu organisasi tertentu. Hal ini
jelas sangat berbeda dengan ekonomi neo-klasik atau ekonomi ortodoks, karena
persepsi dan metodologi individualisme, memperlakukan individu atau seseorang
sebagai autonomous maximizer yang cukup rasional dan ingin memuaskan
keinginannya, dan sebagai satu unit analisis ekonomi yang komplet yang dapat
naik atau turun tingkat kepuasannya apabila mengkonsumsi satu tambahan barang
atau jasa.
Sejak awal kelahirannya, ekonomi kelembagaan dimaksudkan sebagai
salah satu bentuk alternative pemecahan masalah-masalah ekonomi. Ekonomi
kelembagaan dapat memberikan rekomendasi penting untuk para perumus
kebijakan karena seringkali permasalahan ekonomi justru hanya dapat dilihat dari
sisi kelembagaan sebagai penghambat (konstrain) dalam perekonomian. Dengan
44
demikian, titik persamaan (dan perbedaan) antara ekonomi kelembagaan dan
dalam ekonomi neo-klasik atau ekonomi ortodoks akan digunakan untuk
membedakannya dengan ekonomi kelembagaan.
Suatu lembaga dapat berjalan apabila ada : 1). Aparatur yang bekerja di
lembaga tersebut, 2). Fasilitas ruang, peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya
untuk mengoperasikan lembaga tersebut Dahuri (2001). Ada tiga unsur di dalam
kelembagaan, seperti yang diungkapkan oleh Adiwibowo (2000), bahwa ciri
kelembagaan sosial yaitu 1) ada batas yuridiksi, 2) kepemilikan yang sebenarnya
(property right ), 3) aturan representasi.
Batas yuridiksi menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu
institusi dalam suatu masyarakat, yang berperan dalam mengatur lokasi
sumberdaya. Batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas
otoritas yang dimiliki. Konsep kepemilikan (property right) adalah pengatur
hubungan antar anggota masyarakat dalam menyatakan kepentingannya terhadap
sumberdaya. Sedangkan aturan yang repsentasi mengatur permasalahan siapa saja
yang berhak berpartisipasi terhadap proses pengambilan keputusan. Keputusan
apa yang diambil dan apa akibat terhadap performance, akan ditentukan oleh
kaidah repsentasi yang digunakan.
Lembaga sosial biasanya lebih mengakar pada masyarakat. Hal tersebut
disebabkan oleh proses tumbuhnya suatu lembaga sosial di masyarakat telah
melalui beberapa tahapan ujian dari masyarakat itu sendiri Adiwibowo (2000).
Lembaga sosial pada awalnya hanya merupakan kelakuan antar individu, tetapi
karena kelakuan antar undividu tersebut sering dilakukan maka akan menjadi
sebuah kebiasaan. Apabila kebiasaan ini disertai dengan sanksi hukum bagi
anggota yang melanggar, maka kebiasaan ini akan menjadi sebuah sistem hukum
yang pada akhirnya menjadi norma yang bisa tertulis atau tidak. Norma akan
membudaya dalam sistem nilai budaya masyarakat setempat dan dilakukan secara
spontan atau semacam gerak refleks. Apabila semacam ini sudah tercapai berarti
kebiasaan tersebut telah melembaga.
45
2.4 Pengukuran Tingkat Kesejahteraan dengan Menggunakan Millennium
Assessment
Millenium Ecosystem Assessment (MA) dibentuk dengan melibatkan pihak
pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan ilmuwan untuk
mendapatkan penilaian yang terintegrasi terhadap perubahan ekosistem yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia, serta untuk menganalisa pilihan-pilihan yang
tersedia guna meningkatkan fungsi ekosisten agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Selain bermanfaat dalam penyediaan informasi yang penting bagi
pemerintah, swasta dan masyarakat secara umum, Millenium Assessment juga
dapat membantu mendapatkan tujuan yang dirumuskan oleh Millenium
Development Goals PBB, sekaligus merupakan perwujudan Plan of
Implementation dari World Summit on Sustainable Development.
Kerangka pikir yang dikembangkan oleh Millenium Assessment dapat
memberi kesempatan kepada para pengambil kebijakan untuk mengidentifikasi
pilihan-pilihan (options) yang dapat membuat kehidupan manusia menjadi lebih
baik dan mencapai tujuan yang lestari. Semua negara dan masyarakat di dunia
berjuang menghadapi tantangan untuk memenuhi permintaan yang semakin
meningkat terhadap pangan, air bersih, kesehatan dan kesempatan kerja. Para
penentu kebijakan di sektor swasta dan publik harus pula mencari keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial dengan konservasi
lingkungan. Semua kepedulian ini secara langsung maupun tak langsung terkait
dengan ekosistem dunia.
Jasa ekosistem adalah manfaat yang diperolah manusia dari suatu
ekosistem. Manfaat ini dapat berupa jasa penyediaan, pengaturan dan jasa
kultural, yang secara langsung mempengaruhi kehidupan manusia, serta jasa
pendukung yang diperlukan untuk menghasilkan dan mempertahankan jasa
lainnya. Perubahan terhadap jasa ini akan mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat melalui dampak yang ditimbulkannya terhadap keamanan, bahan
dasar untuk kehidupan yang layak dan kesehatan, serta hubungan sosial dan
kultural. Unsur pokok kesejahteraan dipengaruhi oleh manusia dan dapat
mempengaruhi kebebasan (freedoms) dan pilihan (choice) yang tersedia bagi
manusia. Jika terjadi perubahan terhadap jasa ini maka kesejahteraan manusia
46
dalam berbagai hal akan turut terpengaruh. Hal ini ditunjukkan pada gambar 4
dibawah ini.
Gambar 3 Hubungan jasa ekosistem dengan kesejahteraan manusia
Permintaan akan jasa ekosistem ini sekarang menjadi sedemikian besarnya
sehingga trade-off antar jasa tersebut dapat menjadi suatu faktor penentu yang
penting. Sebagai contoh, suatu negara dapat meningkatkan jumlah produksi
pangan melalui konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian. Namun
demikian, tindakan tersebut dapat mengurangi jasa lain yang memiliki
kepentingan yang sama atau bahkan lebih besar, misalnya tersedianya air yang
bersih, kayu, sarana ekoturisme, atau jasa pengaturan terhadap banjir dan kontrol
terhadap kekeringan. Selama ini telah banyak terdapat indikasi bahwa kebutuhan
manusia terhadap ekosistem akan tetap meningkat pada dekade mendatang. Pada
tahun 2050 diperkirakan penduduk dunia akan meningkat empat kali lipat,
sehingga permintaan dan konsumsi akan sumber-sumber biologi dan fisik akan
bertambah pesat pula, sekaligus meningkatkan dampak terhadap ekosistem dan
jasa yang dapat diberikan oleh ekosistem.
Kesejahteraan manusia memiliki berbagai dimensi, antara lain bahan
47
(materi) dasar untuk mendapatkan hidup yang layak, kebebasan (freedom) dan
pilihan (choice), kesehatan, hubungan sosial yang baik, serta keamanan (safety).
Kemiskinan juga bersifat multi-dimensi dan merupakan suatu kondisi yang sangat
berbeda dari kesejahteraan. Kesejahteraan, kekurangan atau kemiskinan ini
diuraikan dan dieksperesikan sesuai dengan kondisi dan situasi, mencerminkan
keadaan fisik setempat, keadaan sosial, serta faktor perorangan seperti kondisi
geografi, lingkungan, usia, gender dan kultural. Pada semua kondisi, ekosistem
tetap merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mencapai kesejahteraan
manusia karena banyaknya jasa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dari
ekosistem ini, termasuk jasa penyediaan, pengaturan, kultural dan penunjang.
Intervensi atau campur tangan manusia dalam mengelola ekosistem dapat
melipat gandakan manfaat ekosistem ini untuk manusia. Namun demikian, dalam
dekade terakhir ini terdapat banyak bukti tentang meningkatnya dampak manusia
pada berbagai tipe ekosistem diseluruh dunia, sehingga menambah kepedulian
mengenai konsekuensi spasial (ruang) dan temporal (waktu) dari perubahan
ekosistem yang berpengaruh buruk terhadap kesejahteraan manusia. Perubahan
ekosistem dapat mempengaruhi kesejahteraan manusia melalui berbagai cara
yaitu:
1) Keamanan (security) dipengaruhi oleh dua hal yaitu (i) perubahan pada
jasa penyediaan yang dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dan bahan
lain dan kemungkinan terjadinya konflik akibat sumberdaya yang
menurun, dan (ii) perubahan dalam jasa pengaturan, yang dapat
mempengaruhi frekuensi dan besarnya banjir, kekeringan, tanah longsor,
atau bencana yang lain. Keamanan ini juga dapat dipengaruhi oleh
perubahan jasa kultural. Misalnya suatu acara seremonial yang penting
atau atribut spiritual dari ekosistem hilang, maka akan berpengaruh pada
melemahnya hubungan sosial dalam suatu masyarakat. perubahan ini pada
akhirnya akan mempengaruhi kesejahteraan, kesehatan, kebebasan dan
pilihan, keamanan dan hubungan sosial yang baik.
2) Akses terhadap bahan dasar untuk penghidupan yang layak sangat terkait
erat dengan jasa penyediaan, seperti pangan dan produksi serat, serta jasa
pengaturan, termasuk penjernihan air.
48
3) Kesehatan terkait erat dengan jasa penyediaan seperti produksi pangan dan
jasa pengaturan, termasuk hal-hal yang mempengaruhi distribusi serangga
yang menyebarkan penyakit dan patogen yang ada di dalam air dan udara.
Kesehatan dapat pula terkait dengan jasa cultural melalui jasa rekreasi dan
spiritual.
4) Hubungan sosial dipengaruhi oleh perubahan jasa kultural, yang
selanjutnya akan mempengaruhi kualitas dari pengalaman manusia.
5) Kebebasan (freedoms) dan pilihan (choice) sebagian besar tergantung pada
keberadaan komponen kesejahteraan masyarakat dan, oleh karenanya,
dipengaruhi oleh perubahan dalam jasa penyediaan, pengaturan atau
kultural dari suatu ekosistem.
Kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan melalui interaksi manusia yang
berkesinambungan dengan ekosistem, yang didukung oleh instrumen, institusi,
organisasi dan teknologi yang dibutuhkan. Melalui keikutsertaan dan transparansi,
interaksi tersebut akan merupakan kontribusi yang besar terhadap kebebasan dan
pilihan, disamping meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan ketahanan ekologi adalah batas minimum dari stok
ekologi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kelestarian jasa ekosistem.
Namun manfaat yang didapat oleh institusi dan teknologi ini tidak
diperoleh secara otomatis dan tidak pula dibagi secara merata. Peluang tersebut
lebih mudah didapat oleh negara dan masyarakat yang kaya dibandingkan dengan
negara dan masyarakat yang yang miskin; beberapa institusi dan teknologi
malahan memperburuk kondisi lingkungan; governance yang bertanggungjawab
ternyata sulit diwujudkan; untuk mempertahankan partisipasi dalam pengambilan
keputusan – suatu elemen penting dari governance yang bertanggungjawab –
ternyata mahal dalam hal waktu dan sumberdaya. Akses yang tidak merata
terhadap jasa ekosistem seringkali neningkatkan kesejahteraan bagi hanya
sebagian kecil masyarakat, melalui biaya dari sebagian besar masyarakat lainnya.
Konsekuensi dari penurunan dan degradasi jasa ekosistem ini dapat
dikurangi melalui substitusi pengetahuan, serta substitusi manufaktur atau
sumberdaya manusia. Sebagai contoh, penambahan pupuk pada lahan pertanian
selama ini dapat dipakai untuk menahan penurunan kesuburan tanah di berbagai
49
wilayah dunia di mana masyarakatnya memiliki sumberdaya ekonomi untuk
membeli input pupuk ini; fasilitas penjernihan air kadang-kadang dapat
menggantikan fungsi dari daerah aliran sungai dan lahan basah untuk memurnikan
air. Namun perlu diingat bahwa ekosistem merupakan suatu sistem yang
kompleks dan dinamis dan terdapat ambang batas dari berbagai substitusi ini,
khususnya yang terkait dengan jasa pengaturan, kultural dan pendukung. Tak ada
substitusi bagi kepunahan spesies yang penting.
Mengingat lambannya proses dalam sistem ekologi dan manusia,
konsekuensi dari perubahan ekosistem yang terjadi pada saat ini mungkin tidak
akan terasa sampai dekade mendatang. Jadi, untuk mempertahankan jasa
ekosistem, dan juga mempertahankan kesejahteraan manusia, diperlukan
pemahaman yang mendalam dan pengelolaan yang bijak dari hubungan antara
kegiatan manusia, perubahan ekosistem dan kesejahteraan, untuk jangka waktu
pendek, menengah dan jangka panjang. Pemanfaatan jasa ekosistem yang
berlebihan akan mengurangi ketersediaan jasa tersebut untuk masa mendatang.
Hal ini dapat dicegah melalui pemanfaatan jasa yang lestari.
Untuk memperoleh pemanfaatan yang lestari diperlukan institusi
(kelembagaan) yang efektif dan efisien. Institusi yang efektif dan efisien ini dapat
mengatur akses terhadap jasa ekosistem melalui mekanisme kebebasaan,
kesetaraan, keadilan, kemampuan dasar, dan keselarasan. Institusi yang bersifat
seperti itu mungkin juga membutuhkan penengahan terhadap konflik antara
kepentingan individu dan kepentingan kelompok yang mungkin timbul.
Pengelolaan ekosistem untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
akan berbeda jika fokusnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin
dan lemah atau jika difokuskan kepada masyarakat yang kaya dan berkuasa.
Untuk kedua kelompok tersebut, diperlukan akses yang setara dan aman terhadap
jasa ekosistem.
Memahami faktor yang dapat menyebabkan perubahan dalam ekosistem
dan jasa ekosistem merupakan suatu hal yang sangat penting untuk merumuskan
intervensi yang memiliki dampak positif dan sekaligus meminimumkan dampak
negatif. Dalam konsep millennium assessment ini dipakai istilah “penggerak”
(driver), yaitu merupakan suatu faktor yang dapat merubah suatu aspek dari
50
ekosistem tertentu. Suatu penggerak yang sifatnya langsung dapat dipastikan akan
mempengaruhi proses ekosistem, sehingga dapat diidentifikasi dan diukur pada
derajat ketelitian tertentu. Suatu penggerak yang bersifat tidak langsung bekerja
secara lebih tersebar, seringkali dengan mengubah satu penggerak langsung atau
lebih, dan pengaruhnya dapat diketahui melalui dampaknya terhadap penggerak
langsung. Penggerak langsung dan tidak langsung ini seringkali bekerja secara
sinergis. Perubahan dalam penutupan lahan, sebagai contoh, dapat meningkatkan
peluang introduksi spesies asing yang invasif. Demikian halnya dengan kemajuan
teknologi yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju perekonomian.
Para pengambil kebijakan memiliki peran yang sangat penting dalam
mempengaruhi ekosistem, jasa ekosistem dan kesejahteraan manusia Kebijakan
ini dirumuskan pada tiga tingkatan yang berbeda, meskipun perbedaan antar
tingkatan tersebut seringkali kabur dan sulit untuk dipisahkan oleh (1) individu
dan kelompok kecil pada tingkatan lokal (misalnya suatu tegakan hutan atau
kebun) yang secara langsung dapat merubah sebagian dari ekosistem; (2) oleh
pengambil kebijakan perorangan dan kelompok pada tingkatan kabupaten,
provinsi dan nasional; dan (3) oleh pengambil kebijakan perorangan dan
kelompok pada tingkat internasional, seperti konvensi internasional dan perjanjian
multi-lateral.
Proses pengambilan keputusan merupakan suatu kegiatan yang sangat
rumit dan bersifat multi-dimensional. Penggerak yang dapat dipengaruhi oleh para
pengambil kebijakan dikenal sebagai penggerak endogen (berasal dari dalam),
sementara penggerak yang tidak dapat dikontrol oleh pengambil kebijakan disebut
penggerak eksogen (berasal dari luar). Dari sudut pandang para petani, misalnya,
jumlah pupuk yang diberikan pada suatu lahan pertanian merupakan penggerak
endogen, sementara harga pupuk merupakan penggerak eksogen, mengingat
bahwa petani tidak dapat mempengaruhi harga pupuk tersebut. Penggerak
eksogen dan endogen, dalam berbagai skala temporal (waktu), spasial (ruang) dan
organisasi, serta interaksi diantara berbagai penggerak akan secara khusus dikaji
dalam millennium assessment.
Bagi para pengambil kebijakan, suatu penggerak dapat bersifat eksogen
atau endogen, tergantung dari skala spasial dan temporal yang ditentukan.
51
Contohnya, seorang pengambil kebijakan dapat menentukan pilihan teknologi,
melakukan perubahan dalam tataguna lahan, dan menentukan input eksternal
(misalnya pupuk atau irigasi) secara langsung, namun memiliki kontrol yang
sangat kecil terhadap harga dan pasar, hak atas kepemilikan, teknologi
pengembangan, atau iklim setempat. Sebaliknya, seorang pengambil kebijakan
pada tingkatan nasional atau regional memiliki kontrol yang lebih kuat terhadap
berbagai faktor, seperti kebijakan makroekonomi, teknologi pengembangan, hak
atas kepemilikan, pembatasan perdagangan (trade barrier), harga dan pasar. Tetapi
pada jangka pendek, individu tersebut tetap memiliki kontrol yang terbatas
terhadap iklim global atau populasi global. Pada skala waktu yang lebih panjang,
penggerak yang bersifat eksogen bagi pengambil kebijakan pada jangka pendek,
seperti populasi, dapat menjadi penggerak endogen karena pengambil kebijakan
tersebut dapat mempengaruhi populasi melalui, contohnya, pendidikan,
pengembangan kaum wanita dan kebijakan mengenai migrasi.
Penggerak perubahan yang bersifat tidak langsung terdiri dari: (1)
demografi (misalnya ukuran populasi, usia, struktur gender, penyebaran secara
spasial); (2) ekonomi (misalnya pendapatan per kapita, kebijakan makroekonomi,
perdagangan internasional, aliran kapital); (3) sosial-politik (misalnya
demokratisasi, peran kaum wanita, peran masyarakat madani, peran pihak swasta,
serta mekanisme menengahi persengkataan pada tingkat internasional); (4) ilmu
pengetahuan dan teknologi (misalnya laju investasi dalam riset dan
pengembangan, serta laju adopsi teknologi, termasuk bioteknologi dan informasi
teknologi); dan (5) kultural dan agama (misalnya pilihan yang diambil oleh
individu mengenai apa dan seberapa banyak yang dimanfaatkan).
2.5 Kemiskinan Nelayan di Indonesia
Masyarakat pesisir (nelayan) di Indonesia identik dengan kemiskinan
meskipun dari banyak literatur menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan adalah
suatu atribut global, terkecuali untuk negara-negara maju seperti Jepang.
Kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena suatu kesalahan pengelolaan
sumberdaya ikan, dimana sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki
oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada
52
seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan
sumberdaya (Subade and Abdullah, 1993; Panayotou, 1992; Johnston, 1992).
Sementara itu, Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai
masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oleh
sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga
(kecil), maka nelayan kecil yang menanggung eksternalitas disekonomi akibat
kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan.
Secara terstuktur, Dahuri (2000) mengajukan alasan kemiskinan nelayan,
yang intinya kemiskinan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu biaya tinggi yang
harus dibayar dan penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan.
Seterusnya bila, diteliti lebih jauh, biaya tinggi disebabkan karena struktur pasar
yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerimaan yang rendah adalah
karena volume hasil tangkapan dan/atau harga ikan yang rendah. Dahuri (2000)
mengklasifikasikan alasan kemiskinan nelayan kedalam empat hal yaitu (1)
kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan, (2) kemiskinan karena
kekurangan prasarana, (3) kemiskinan karena kualitas sumberdaya manusia yang
rendah, dan (4) kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dan
memberikan insentif usaha. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan
nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait
karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang
dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin
diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa
menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor
tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan
di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh
dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun
usaha dengan hubungan kemitraan seperti demikian tidak begitu banyak dan
berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak.
Panayotou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap bertahan dalam
kemiskinan, karena tidak ada pilihan untuk menjalani kehidupan itu (preference
53
for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1992) ini dikuatkan oleh
Subade dan Abdullah (1993), yang menekankan bahwa nelayan lebih senang dan
memiliki kepuasaan hidup dari menangkap ikan dan bukan semata-mata
beorientasi pada peningkatan pendapatan. Sehingga dengan way of life yang
demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, bukanlah masalah
baginya, sementara prinsip hidup sangat sukar untuk diuah. Karena itu maka
meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi
nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan
kehidupan itu.
Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di
berbagai negara Asia menyimpulkan, bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and
rigidity of fishing assets) adalah alasan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau
bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar
dari kemiskinan tersebut. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset
perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk
dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat
produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih
fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu, meskipun rendah
produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang
sesungguhnya secara ekonomis tidak lagi efisien.
Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu, bahwa
nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost
mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi adalah kemungkinan atau
alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh
selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan
lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila
opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya
meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan,
khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil.
54
Dengan demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain tetap bekerja sebagai
nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai
masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas dis-ekonomi (kejadian-kejadian
yang terjadi di luar sumberdaya ikan yang menimbulkan biaya yang harus
dibebankan kepada masyarakat nelayan, sedangkan keuntungan diterima oleh
orang lain) yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala
industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecilah yang akan
menanggung eksternalitas dis-ekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan
pengelolaan dan deplesi sumberdaya ikan. Hal tersebut terjadi karena sumberdaya
ikan tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu
banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab
dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya. Seperti dikemukakan oleh Feeny
(1990) bahwa sumberdaya milik bersama setidaknya memiliki 2 karakteristik,
yaitu eksludabilitas (exludability) yaitu kondisi dimana pengawasan terhadap
sumberdaya oleh penggunanya cukup sulit dilakukan atau hampir tidak mungkin
dilakukan dan substraktabilitas (substractability), yaitu situasi persaingan dimana
bila yang seseorang memperoleh lebih banyak, maka orang lain memperoleh lebih
sedikit. Jadi substraktabilitas mengandung makna persaingan di dalam
pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian sumberdaya milik bersama adalah
jenis sumberdaya alam dimana pengawasan terhadapnya sulit dilaksanakan dan
pemanfaatan secara bersama-sama melibatkan persaingan.
Kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan dan eksternalitas dis-ekonomi ini
merupakan variabel mendasar yang selama ini tidak diprogramkan sebagai upaya
untuk membangun perikanan di Indonesia (Nikijuluw, 2001).
Di bawah kelas sumberdaya milik bersama, terdapat sistem pemilikan
sumberdaya (1) akses terbuka atau tidak dimiliki oleh siapapun, (2) kepemilikan
swasta, (3) kepemilikan komunal atau oleh sekelompok masyarakat, dan (4)
kepemilikan pemerintah.
Sumberdaya akses terbuka, seperti selama ini diatributkan pada
sumberdaya perikanan Indonesia, adalah sistem dimana tidak seorangpun yang
55
memiliki sumberdaya tersebut. Akibatnya sumberdaya itu terbuka bagi siapa saja
untuk dimanfaatkan. Kondisi sumberdaya ikan akses terbuka biasanya adalah
kemunduran jumlah ikan, penangkapan secara berlebih-lebihan, penggunaan alat
tangkap yang merusak, dan tidak ada seorangpun yang mau bertanggung jawab
terhadap kelanjutan sumberdaya.
Kemiskinan sebagai akibat akses terbuka dan pengelolaan sumberdaya
secara tidak efektif karena lebih dari 80% armada perikanan Indonesia adalah
armada skala kecil dan umumnya menganut prinsip rejim dan kepemilikan aset
terbuka (open access) maka dampak perikanan akses terbuka ini sangat nyata bagi
Indonesia.
Dengan sumberdaya ikan yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka setiap
orang berhak masuk atau keluar dari sumberdaya tanpa perlu mendapat izin dari
yang lain. Kondisi akses terbuka, pada awalnya akan menghasilkan keuntungan
bagi industri perikanan maupun nelayan secara individu. Namun keuntungan yang
dimiliki ini tidak akan bertahan lama. Karena setiap keuntungan yang diperoleh
akan memacu investasi baru. Baik nelayan yang sudah ada dalam industri maupun
mereka yang di luar industri akan melihat adanya keuntungan pada industri
tersebut sebagai daya tarik untuk masuk ke dalam industri.
Nelayan yang sudah terlebih dahulu ada akan meningkatkan investasi
usahanya, dalam bentuk penambahan kapal baru, atau meningkatkan jumlah
frekwensi penangkapan. Dengan demikian upaya penangkapan ikan akan
bertambah. Sementara itu orang lain yang berada di luar industri akan masuk ke
dalam industri dalam bentuk investasi baru.
Bila proses ini berjalan terus, maka yang akan terjadi adalah perebutan
yang semakin kompetetif (purely and perfectly competitive) terhadap sumberdaya
yang ada yang semakin hari semakin meningkat. Oleh karena besar dan stok
sumberdaya ada batasnya (carrying capacity) dan adanya sifat substraktabilitas
sumberdaya yang common property, maka kompetisi yang terjadi akan membuat
semakin kecil perolehan keuntungan. Bila sebelumnya, sumberdaya menghasilkan
keuntungan supernormal, dengan makin bertambahnya nelayan dan kapal
penangkapan ikan, maka pendapatan setiap orang nelayan akan berkurang. Proses
56
ini pada akhirnya akan membuat penerimaan nelayan dari penjualan ikan secara
rata-rata, hanya mampu untuk menutupi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
pengangkapan tersebut.
Kejadian-kejadian seperti diuraikan tersebut, sering dikatakan sebagai
tragedi akses terbuka. Feeny (1990) menguraikannya sebagai tragedi milik
bersama. Disebutkan sebagai suatu tragedi karena terjadinya proses pemiskinan,
nelayan yang tadinya bisa meraih keuntungan pendapatan akhirnya mengalami
penurunan pendapatan. Tragedi ini semakin parah karena lebih banyak orang yang
terperangkap dalam usaha memanfaatkan sumberdaya milik bersama ini, terutama
di negara berkembang dimana kondisi tenaga kerja relatif banyak tetapi lapangan
dan kesempatan kerja relatif kecil, sehingga akan terjadi aliran orang-orang yang
terus masuk ke industri perikanan yang memang dicirikan dengan sumberdaya
akses yang terbuka.
Karena kompetisi antara nelayan terus terjadi, maka individu yang satu
berusaha melebihi yang lainnya. Semakin cepat dan semakin banyak seseorang
mendapat ikan akan semakin baik bagi yang bersangkutan. Dengan permintaan
ikan di pasar yang terus meningkat maka setiap orang akan berusaha memenuhi
permintaan itu. Akhirnya, nelayan cenderung menggunakan cara-cara yang tidak
benar dengan merusak sumberdaya dan merusak lingkungan. Sampai pada kondisi
ini maka tragedi milik bersama magnitude dan skalanya.semakin besar
Di Indonesia, secara nasional tragedi itu telah terjadi dan hal tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut: Potensi lestari ikan laut Indonesia berdasarkan
evaluasi potensi terakhir oleh Departemen Kelautan Perikanan adalah sekitar 6,18
juta ton per tahun. Potensi lestari artinya bahwa jumlah ini bisa diambil dari laut
setiap tahun secara kontinyu tanpa adanya kemunduran atau degradasi
sumberdaya. Namun berdasarkan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, maka yang bisa diambil dari laut
yaitu sekitar 80% dari potensi lestari, atau hanya sekitar 5 juta ton per tahun.
Angka 5 juta ton dinamakan jumlah tangkapan diperbolehkan (total allowable
catch)
57
Dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan ini yang sudah dimanfaatkan
dalam bentuk hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia
pada tahun1998 sekitar 3,8 juta ton, atau sekitar 76%, sehingga masih ada sekitar
1,2 juta ton yang dapat diambil lagi dari laut. Namun jumlah yang tersisa tersebut
diprediksi akan semakin kecil karena banyak kapal asing yang mencuri ikan,
banyak kapal ikan yang tidak melapor kepada yang berwajib, atau laporan di
bawah angka yang sebenarnya.
Bila dinilai dengan, katakanlah, Rp 5.000 per kg ikan maka nilai hasil
tangkapan pada tahun 1998 adalah Rp 19 trilyun. Nilai sebesar ini dihasilkan oleh
sekitar 4 juta orang nelayan (skala besar dan kecil, industri dan tradisional).
Dengan demikian dalam setahun, seorang nelayan menghasilkan sekitar Rp
4.750.000, nilai kotor sebelum dikurangi biaya operasional dan investasi. Dalam
sebulan, berarti setiap nelayan menghasilkan nilai hasil tangkapan kotor sekitar
Rp 395.833.
Pendapatan rata-rata nelayan per bulan ini memang tergolong rendah.
Apalagi jumlah ini harus digunakan untuk membiayai kegiatan penangkapan ikan
itu sendiri dan juga untuk kebutuhan keluarga yang umumnya sekitar 4 jiwa per
keluarga.
Inilah tragedi itu. Meskipun banyak upaya sudah dilakukan untuk
menghentikan, namun tampaknya sulit, karena caranya yang salah, kurang
mengena, kurang strategis, dan tidak tepat sasaran. Sementara itu nelayan tetap
bertambah karena sumberdaya ikan tetap bersifat akses terbuka. Jadilah usaha
perikanan sebagai perangkap kemiskinan.
Hasil penurunan derajat kemiskinan yang dilakukan selama tiga dekade di
Indonesia tenyata masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi
politik, konflik sosial, dan bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini
terlihat dari angka kemiskinan pada tahun 1976 dari 54,2 juta jiwa (40% dari total
penduduk) menurun menjadi 22,5 juta jiwa (11,3% dan total penduduk) pada
tahun 1996. Namun badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada bulan Juli
1997 berakibat pada angka penduduk miskin meningkat tajam menjadi 49,5 juta
58
jiwa atau 24,23% dari total penduduk (berdasarkan data BPS bulan Desember
1998).
Pengalaman pada masa lalu memperlihatkan beberapa kelemahan
pembangunan antara lain : (1) masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
makro dari pada pemerataan, (2) sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi
kebijakan, (3) lebih bersifat karitatif daripada transformative, (4) memposisikan
masyarakat sebagai objek dari pada subyek, (5) cara pandang tentang
penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada karitatif daripada
produktivitas, (6) asumsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang
sama (uniformitas daripada pluralistik. Tantangan yang dihadapi dalam upaya
penanggulangan kemiskinaan saat ini adalah tuntutan untuk menerapkan
paradigma, yaitu : (1) pengelolaan pemerintahan yang baik, (2) otonomi daerah
dan desentralisasi, dan (3) upaya pembangunan yang lebih berpihak kepada
masyarakat miskin.
Tentang masalah kemiskinan di Indonesia data Badan Pusat Statistik
(2003) menunjukan, bahwa populasi penduduk miskin di Indonesia sebelum krisis
pada tahun 1996 sekitar 11,34%, setelah krisis pada tahun 1998 sekitar 24,23%,
dan di akhir tahun 2000 sekitar 18,95%. Oleh karena itu strategi pokok
penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menurunkan populasi penduduk
miskin dari sekitar 18,95% (atau sekitar 37,8 juta jiwa) di tahun 2001 menjadi
sekitar 14% (atau sekitar 26,8 juta jiwa) di akhir tahun 2004. Sedangkan sebaran
penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan, bahwa lebih dari 59% berada di
Jawa-Bali, 16% di Sumatera dan 25% di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan
Irian Jaya. Terpusatnya kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan
pola sebaran penduduk yang sebagian besar berada dii Jawa-Bali, sehingga
penduduk di Jawa-Bali rentan terhadap krisis ekonomi dan berpengaruh terhadap
kenaikan jumlah penduduk miskin.
Hasil pendataan BPS pada tahun 1999 menunjukkan sebagian besar dari
rumahtangga miskin rata-rata mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah
rata-rata anggota rumahtangga ini lebih besar dibanding jumlah rata-rata
anggota rumahtangga tidak miskin (3,9). Ini menunjukkan bahwa rumahtangga
59
miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumahtangga tidak
miskin.
Ciri lain rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala
rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa
72,01% dari rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga
yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipinipin oleh kepala rumahtangga yang
berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga
miskin di perkotaan. Sekitar 57,02% rumahtangga miskin diperkotaan dipimpin
oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 31,38% dipinipin oleh kepala
rumiah tangga berpendidikan SD.
Karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan aspek kegiatan ekonomi
dapat ditinjau dari sumber penghasilannya. Menurut data BPS pada tahun 1996
penghasilan utama 63,01% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan
pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk
perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya (2,88%) merupakan
penerima pendapatan. Pada tahun 1998 penghasilan utama 56,67% rumahtangga
miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 7,43% dari kegiatan industri, dan 34 %
dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan
selebihnya (1,9%) merupakan penerima pendapatan. Hal ini menunjukkan sektor
pertanian merupakan sumber penghasilan utama yang dominan bagi rumahtangga
miskin dibandingkan dengan sektor laínnya.
Dengan membedakah menurut karakteristík wilayah perdesaan-perkotaan
sebagian besar, sekitar 75,7% rumahtangga miskin berada di perdesaan yang
mengandalkan kehidupannya pada sumber penghasilan di sektor pertanian.
Lebih dari 75% rumahtangga miiskin di perkotaan memperoleh penghasilan
utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, dan hanya 24 % yang
mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga
perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekonomi
perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam
pula bagi rumahtangga miskin di perkotaan.
60
Karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan scatus pekerjaan, data BPS
menunjukkan pada tahun 1996 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja
dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan
termasuk pekerja lepas sebesar 80,05%. Di perkotaan terdapat 62,37%
rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusahasendiri/berusaha
dibantu pekerja keluarga dan 35,92% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai
pekerja/buruh. Pada tahun 1998 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja
dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan
termasuk pekerja lepas sebesar 77,95%. Di perkotaan terdapat 53,89%
rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusaha sendiri/
berusaha dibantu pekerja keluarga dan 43,35% rumahtangga miskin yang bekerja
sebagai pekerja/buruh. Pada tahun 1999 kepala rumahtangga miskin perdesaan
bekerja dengan status berusaha sendirí atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar
dan termasuk pekerja lepas sebesar 77,91%. Di perkotaan terdapat 61,21%
rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusaha sendiri/berusaha
dibantu pekerja keluarga dan 36,67% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai
pekerja/buruh.
Gambaran karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan status pekerjaan
diatas, menunjukkan kondisi tahun 1998 terjadi peningkatan persentase
rumahtangga miskin yang bekerja sebagai buruh/karyawan. Kecenderungan
tersebut mengindikasikan krisis yang terjadi pada tahun 1998 menjangkau
sektor formal, sehingga relatif lebih banyak buruh/karyawan yang jatuh miskin
pada tahun 1998 dibandng 1996. Sedikit perbaikan sudah mulai nampak pada
tahun 1999, walaupun kondisinya masih sedikit lebih buruk dari tahun 1996.
Yang lebih perlu diperhatikan adalah dominannya rumahtangga miskin yang
berstatus pekerja lepas/berusaha sendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga baik di
perdesaan maupun di perkotaan, walaupun rumah tangga miskin yang berstatus
karyawan/pekerja/buruh juga cukup banyak.
2.6 Kebijakan Publik
Young dan Quinn (2002 diacu oleh Suharto, 2005) memberikan definisi
kebijakan publik secara luas, yakni sebagai ”whatever governments choose to do
or to do”. Sementara itu, Anderson yang dikutip oleh Young dan Quinn (2002
61
diacu oleh Suharto, 2005), mengemukakan definisi kebijakan publik yang lebih
spesifik, yaitu sebagai “a purposive course of action followed by an actor or set of
actors in dealing with a problem or matter of concern”. Beberapa konsep kunci
yang termuat dalam kebijakan publik:
1) Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh
badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial
untuk melakukannya.
2) Kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah
dunia nyata, dan upaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang
berkembang di masyarakat.
3) Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik
biasanya bukan sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa
pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu
demi kepentingan orang banyak.
4) Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk
memecahkan masalah social. Namun kebijakan publik bisa juga
dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah social akan dapat
dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya
memerlukan tindakan tertentu.
5) Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang actor.
Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap
langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan
sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah
dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan
pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah.
Kebijakan publik sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah, hal
ini disebabkan sebagian besar dana untuk kebijakan tersebut dihimpun dari
masyarakat (publik) melalui pajak. Namun saat ini telah terjadi pergeseran
paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government
(pemerintah) ke governance (tatakelola), sehingga kebijakan publik dipandang
tidak lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari
62
“penguasa orang banyak” yang diidentikkan dengan pemerintah, ke “bagi
kepentingan orang banyak” yang identik dengan istilah stakeholder atau
pemangku kepentingan.
2.6.1 Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan
untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan
tentang proses kebijakan. Analis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan
yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam argumentasi dan
debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Analisis kebijakan diletakkan pada
konteks sistem kebijakan, yang menurut Dunn, dengan mengutip Thomas R.Dye
dalam Nugroho (2007) dapat digambarkan sebagaimana Gambar 4
Gambar 4 Sistem kebijakan publik
Menurut Dunn (1999), metode analisis kebijakan menggabungkan lima
prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu:
1) Definisi: Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan.
2) Prediksi: Menyediakan informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi di
masa datang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak
melakukan sesuatu.
3) Preskripsi: Menyediakan informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif
kebijakan di masa mendatang.
PELAKU KEBIJAKAN
LINGKUNGAN KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK
63
4) Deskripsi: Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan
masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
5) Evaluasi: Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah.
2.6.2 Hirarki kebijakan publik
Menurut Arifin dan Rahbini (2001), model hirarki kebijakan publik timbul
dan berkembang dari suatu proposisi bahwa perubahan aransemen kelembagaan
sangat berhubungan dengan hakikat, model dan analisis kebijakan publik.
Walaupun terdapat beberapa model kebijakan publik seperti model linier,
melingkar dan sebagainya, model hirarki kebijakan sering dijadikan referensi
dalam analisis ekonomi kelembagaan dan ekonomi politik secara umum. Model
hirarki perumusan kebijakan mengenal tiga tingkatan, yaitu: (1) Tingkatan politis
(kebijakan); (2) Tingkatan organisasi (institusi, aturan main); dan (3) Tingkatan
implementasi (untuk evaluasi, feed-back).
Gambar 5 Model hirarki kebijakan publik
Pada tingkat politis, terdapat lembaga tinggi negara dan atau lembaga
legislatif seperti DPR; sedangkan pada tingkat organisasi ditempati oleh lembaga-
Tingkat PolitisLembaga Tinggi Negara: DPR dan sebagainya
Tingkat OrganisasiLembaga Departemen/Non Departemen
Aransemen Kelembagaan
Aransemen Kelembagaan
Tingkat Operasional(Individu: Petani, Perusahaan, dan sebagainya)
Bentuk dan Pola Interaksi
Hasil Akhir (Outcome)
Evaluasi (Assessment)
Tingkat PolitisLembaga Tinggi Negara: DPR dan sebagainya
Tingkat OrganisasiLembaga Departemen/Non Departemen
Aransemen Kelembagaan
Aransemen Kelembagaan
Tingkat Operasional(Individu: Petani, Perusahaan, dan sebagainya)
Bentuk dan Pola Interaksi
Hasil Akhir (Outcome)
Evaluasi (Assessment)
64
lembaga departemen dan non-departemen. Individu perorangan, petani, rumah
tangga, dan perusahaan berada pada tingkat operasional atau implementasi
kebijakan publik (Gambar 5).
Tingkat politis dengan tingkat organisasi terikat oleh suatu aransemen
kelembagaan, yang menjabarkan aturan main mengenai bagaimana organisasi-
organisasi bekerja dan beroperasi. Aransemen kelembagaan berikutnya terlihat
menghubungkan antara tingkat organisasi dengan tingkat operasional, yang jelas
juga dipengaruhi oleh aransemen kelembagaan antara tingkat politis dengan
tingkat operasional, yang jelas juga dipengaruhi oleh aransemen kelembagaan
antara tingkat politis dan tingkat organisasi.
Masukan dari bawah (feedback) merupakan kunci suatu perumusan
kebijakan publik. Jika tata krama dan hukum adat masih dominan dalam hal
aturan main tata krama kemasyarkatan, inovasi dan perubahan kelembagaan dapat
juga dilakukan melalui jalur yang semestinya. Perumusan kebijakan tanpa
mengikutsertakan evaluasi (assessment) dan umpan balik dari bawah hanya akan
menimbulkan suatu sistem kekuasaan yang otoriter dan totaliter, sesuatu yang
tidak diinginkan oleh sistem perekonomian. Jika telah terlanjur menjadi
kebijakan, kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik oleh pejabat pemerintah
juga harus ada dan harus jelas mekanisme politiknya. Alasannyapun jelas karena
sumber-sumber ekonomi, kekuatan hukum dan politik yang terlibat adalah domain
publik yang harus diawasi.
2.7 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan
di Indonesia
Berdasarkan pengalaman masa lalu dan tantangan yang dihadapi saat ini,
maka diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam penanggulangan
kemiskinan, untuk itu perlu dirumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan
nasional yang komprehensif, terpadu antar kebijakan dan antar pelaku
pemerintahan pusat-daerah bersama-sama dengan masyarakat madani, swasta,
serta kelompok masyarakat lokal.
Dalam rangka mempertajam kebijakan penanggulangan kemiskinan maka
orientasi penanggulangan kemiskinan diarahkan pada : (1) upaya mengkatkan
65
produktvitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan dengan basis
pengembangan ekonomi lokal melalui dukungan pendanaan perbankan dan
lembaga pembiayaan lainnya, dan (2) upaya meringankan beban pengeluaran
miasyarakat miskin dengan peningkatan akses terhadap kebutuhan pendidikan,
kesehatan, jaminan sosial, dan penyediaan infrastruktur sosial ekonomi lokal
melalui intervensi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Beberapa tujuan dan sasaran yang dilakukan pemerintah dalam rangka
menanggulangi problem kemiskinan di Indonesia adalah :
1) Menciptakan iklim dan lingkungan yang mampu mendorong perluasan
kesempatan bagi masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam
kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dan memperoleh
pelayanan publik yang tidak diskriminatif.
2) Meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat miskin dalam
pengambilan kebijakan dan perencanaan publik melalui peningkatan
kualitas sumber daya manusia, dan pemantapan kelembagaan sosial,
ekonomi, dan politik bagi kelompok masyarakat miskin .
3) Meningkatkan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk
peningkatan pendapatan melalui perbaikan kesehatan dan
pendidikan, ketrampilan usaha, permodalan, prasarana, teknologi,
serta informasi pasar.
4) Membangun sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan
Kelompok masyarakat yang terkena bencana alam, dampak negative
krisis ekonomi dan konflik sosial.
5) Mendorong terciptanya kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan
pemerintah dalam upaya membantu kelompok masyarakat miskin.
6) Mempercepat penurunan kemiskinan absolut serta melindungi
keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan
sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi, bencana alam dan
konflik sosial.
7) Menurunkan jumlah penduduk miskin dari sekitar 18,95% (atau
sekitar 37,8 juta jiwa) di tahun 2000 menjadi sekitar 14,01 % (atau
sekitar 26,8 juta jiwa) di awal tahun 2004.
66
Hal tersebut dengan mempertimbangkan upaya penanggulangan
kemiskinan adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin dalam jangka panjang,
yaitu pada període tahun 2001- 2015, yang terkait dengan sasaran pïnanggulangan
kemiskinan secara internasional untuk mempercepat pengurangan jumlah
penduduk miskin secara absolute sebesar 50% dari angka kemiskinan tahun 1999.
Tingkat sasaran tersebut menunjukkan angka yang relatif tidak jauh
berbeda dengan target penurunan jumlah penduduk miskin yang tertuang dalam
Propenas 2000, dimana sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun (2000-2004)
adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolut sebesar 4 % dari tingkat
kemiskinan tahun 1999. Dengan penurunan tersebut, jumlah penduduk miskin
pada tahun 2004 beikurang menjadi 28,86 juta jiwa. Target tersebut didasarkan
pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) Penurunan jumlah pengangguran secara
bertahap dari 6,03 (6,4% dari seluruh angkatan kerja) sehingga mencapai 4,7%
pada tahun 2004, (2) Pertumbuhan ekonorm nasional rata-rata 4-5% pada tahun
2001, 5-6% tahun 2002, 5-6% tahun 2003, dan 6-7% tahun 2004, (3) Laju inflasi
rata-rata 6-8% pada tahun 2001, 5-7% tahun 2002, 4-6% tahun 2003, dan 3-5%
tahun 2004, dan (4) Adanya kemampuan pembiayaan pemerintah, pemerintah
daerah dan dukungan dari swasta dan donor.
Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan amanat konstitusional bagi
pencapaian tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang
1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan mandat Undang-undang
Dasar 1945 yang tertuang dalam beberapa pasal terutama pasal 17 ayat 2 yang
berbunyi "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan", pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "tiap- tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran", dan pasal 34 : "Fakir miskin dan anak-anak, terlantar
dipelihara oleh negara".
67
Dalam kerangka pelaksanaan strategi maka kebijakan penanggulangan
kemiskinan meliputi :
1. Kebijakan perluasan kesempatan (promotíng opportunity) berkaitan dengan
penciptaan iklim dan lingkungan yang kondusif dalam rangka penanggulangan
kemiskinan. Kebijakan tersebut meliputi:
1) peningkatan alokasi fískal untuk penanggulangan kemiskinan,
2) menciptakan sistem pajak dan subsidi yang adil,
3) merangsang investasi untuk daerah-daerah miskin,
4) peningkatan stabilitas moneter terutama yang berkaitan dengan
pengendalian harga-harga kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh
masyarakat kurang mampu.
5) peningkatan kinerja pelayanan publik;
6) kebijakan peningkatan praktek pemerintahan yang baik dalam
pengelolaan kebijakan penanggulangan kemiskinan;
7) peningkatan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
penanggulangan kemiskinan;
2. Kebijakan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) berkaitan
dengan upaya penguatan masyarakat beserta organisasi dan kelembagaannya
untuk mampu mengakses dan terlibat dalam pengambilan kebijakan dan
perencanaan publik. Kebijakan tersebut meliputi :
1) Pendampingan manajemen dan informasi kepada lembaga ekonomi-sosial
masyarakat miskin;
2) Pengembangan forum lintas pelaku dalam komumkasi dan konsultasi baik
antara pemerintah dan lembaga masyarakat, maupun antar lembaga
masyarakat dalam kegiatan pengambilan keputusan publik;
3) Penguatan legalitas bagi penyusunan acuran masyarakat lokal dalam
rangka otonomi daerah;
4) Penguatan akses terhadap kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan,
perumahan, serta prasarana transportasi dan komunikasi;
5) Peningkatan kapasitas lembäga dan organisasi masyarakat lokal dalam
pengembangan demokrasi, partisipasi, dan resolusi konflik dalam rangka
pemantapan ketahanan sosial masyarakat;
68
6) Penguatan akses dan kemampuan finansial, kemampuan organisasi
modern, dan intenalisasl budaya industri dalam proses industrialisasi
dan pengembangan bisnis;
7) Pembangunan akses kepada pasar tenaga kerja yang lebih adil, baik antara
tenaga kerja formal, informal maupun antara tenaga kerja laki-laki dan
perempuan,
8) Pengembangan jaringan kerjasama antar organisasi masyarakat,
pemerintah, dan swasta dalam rangka peningkatan pemasaran produk,
penguatan posisi politis, kedudukan sosial dan etika berdemokrasi.
Kebijakan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) ditujukan
untuk:
1) Adanya peningkatan kemampuan manajemen dan akses informasi
kepada lembaga ekonomi-sosial masyarakat miskin;
2) Adanya forum lintas pelaku dalam komunikasi dan konsultasi baik
antara pemerintah dan lembaga masyarakat, maupun antar lembaga
masyarakat dalam kegiatan pengambilan keputusan publik; Adanya
penguatan legalitas bagi penyusunan aturan masyarakat lokal dalam
rangka otonomi daerah;
3) Semakin menguatkan akses terhadap kebutuhan dasar: pendidikan,
kesehatan, perumahan, serta prasarana transportasi dan komumkasi
4) Meningkatkan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal dalam
pengembangan demokrasi, partisi pasi, dan resolusi konflik dalam
rangka pemantapan ketahanan sosial masyarakat;
5) Menguatnya akses dan kemampuan finansial, kemampuan organisasi
modemi, dan intemialisasi budaya industri dalam proses industrialisasi
dan pengembangtín bisnis; Terbangunnya akses kepada pasar tenaga
kerja yang lebih adil, baik antara tenaga kerja formal, informal maupun
antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan, Berkembangnya jaringan
kerjzsama antar organisasi masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam
rangka peningkatan pemasaran produk, penguatan posi si politis,
kedudukan sosial dan etika berdemokrasi.
69
3. Kebijakan peningkatan kemampuan (capacity building) berkaitan dengan
upaya peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk
meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan
pendidikan,peningkatan ketrampilan usaha, ketrampilan usaha, permodalan,
prasarana, teknologi, serta informasi pasar. Kebijakan tersebut meliputi :
1) Peningkatan penyediaan dan pelayanan kebutuhan dasar yang langsung
pada masyarakat miskin, terutama pangan, pendidlkan, kesehatan, air bersih
dan prasarana dan sarana dasar lainnya.
2) Pemberian potongan harga atau subsidi dalam berbagai pelayanan sosial
dasar secara ädil dan merata.
3) Penyediaan bantuan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang menunjang
kegiatan ekonomi produktíf masyarakat miskin.
4) Penyediaan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kemampuan
serta pengembangan usaha bagi masyarakat miskin serta usaha mikro dan
kecil.
5) Kebijakan perbankan untuk peningkatan akses kredit dengan bunga
terjangkau bagi penduduk miskin, usaha mikro, usaha kecil dan menengah.
6) Perbaikan akses dan regulasi yang mendukung kegiatan usaha mikro, kecïl
dan menengah, terutama di pemerintah daerah.
7) Pengembangan kelembagaan keuangan mikro dan perbankan yang mudah
diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah.
8) Meningkatkan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah melalui
peningkatan skill, modal, teknologi, informasi, dan legal.
9) Pendampingan terhadap keluarga dan kelompok masyarakat miskin dalam
pengembangan usaha dan kebiasaan hidup produktif.
4. Kebijakan peningkatan kemampuan (capacity building):
1) Adanya potongan harga atau subsidi dalam berbagai pelayanan sosial
dasar secara adil dan merata.
2) Terbangunnya prasarana dan sarana sosial ekonomi yang menunjang
kegiatan ekonomi produktif masyarakat miskin.
3) Meningkatnya kemampuan serta pengembangan usaha bagi masyarakat
miskin serta usaha mikro dan kecil.
70
4) Adanya aksés perbankan untuk kredit dengan bunga terjangkau bagi
penduduk miskin, usaha mikro, usaha kecil dan menengah
5) Adanya akses dan regulasi yang mendukung kegiatan usaha mikro, kecil
dan menengah, terutama di pemerintah daerah.
6) Berkembangnya kelembagaan keuangan mikro dan perbankan yang
mudah diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah.
7) Meningkatnya kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah melalui
peningkatan skill, modal, teknologi, informasi, dan legal.
8) Berkembangnya usaha keluarga dan kelompok masyarakat miskin dan
kebiasaan hidup produktif.
9) Berkembangnya jaringan produksi dan pemasaran antar usaha mikro,
kecil, dan menengah bersama-sama dengan pemerintah dan organisasi non
pemerintah atas dasar local resources based dan demand dríven.
2.7.1 Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP)
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) merupakan
salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dilaksanakan
oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan pertisipasi masyarakat dan
kegiatan usaha ekonomi lainnya yang berbasis sumberdaya lokal dan
berkelanjutab, sehingga dapat mendorong dinamika pembangunan sosial ekonomi
di kawasan pesisir. Program PEMP dilaksanakan sejak tahun 2001 dan akan
berakhir pada tahun 2009. Secara garis besar, periode pelaksanaan Program
PEMP dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu : (1) tahap inisiasi program
(2001-2003), (2) tahap institusionalisasi program (2004-2006) dan (3) tahap
diversifikasi program (2007-2009).
Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan didasarkan pada
karakteristik masyarakat pesisir sehingga masyarakat merasa memiliki dan
membutuhkan program ini.
71
Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (lapangan kerja dan
pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan, dan agama),
lingkungan sumberdaya perikanan dan laut serta permukiman dan infrastruktur.
Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan
berusaha serta meningkatkan pendapatan. Aspek social penting untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, iman dan takwa serta sikap dan perilaku. Aspek
lingkungan penting untuk pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, serta perbaikan
permukiman. Aspek infrastruktur dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas
pelaksanaan kegiatan ekonomi dan social. Keempat aspek tersebut (ekonomi,
social, lingkungan, dan infrastruktur) harus ditunjang oleh kelembagaan social
ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat
ditingkatkan secara optimal.
Keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan (ekonomi) akan
dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang bisa dikembangkan dan permodalan yang
dapat disediakan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Kegiatan usaha itu
sendiri keberhasilannya akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya laut dan
pesisir yang ada, teknologi yang tersedia seta kualitas sumberdaya manusia yang
akan mengelolanya. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku,
iman dan takwa, serta wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisinya
sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan, dan agama
serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan
dalam ranka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan
dan kelembagaan yang dikelolanya.
Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan
pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat diperlukan terutama
dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya
kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar, dan tata ruang kawasan pesisir.
Pengembangan kegiatan usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir
dan laut memerlukan perencanaan yang matang agar dalam pelaksanaannya tidak
menyebabkan kerusakan sumberdaya yang bersangkutan. Oleh karena itu,
kegiatan tersebut harus dimulai dengan identifikasi potensi dan permasalahan
72
wilayah pesisir dan laut yang disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan, dan
kemampuan masyarakat serta kebijakan pemerintah dan infrastruktur yang
mendukungnya.
Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir harus didukung
oleh kegiatan ekonomi masyarakat yang berbasis pada potensi sumberdaya local
dengan memprioritaskan partisipasi masyarakat setempat dan memperhatikan
skala dan tingkat kelayakan ekonomi. Pengembangan organisasi dan kelembagaan
social ekonomi masyarakat yang berbasis pada budaya local perlu dilakukan
untuk mendukung aktivitas social dan ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini
penting terutama untuk membantu mengantisipasi dan menyelesaikan konflik
social yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
Upaya pencapaian keberhasilan program PEMP ini diawali dengan
sosialisasi program pada semua pihak terkait yang meliputi dinas teknis,
masyarakat sasaran program, tokoh masyarakat, dan para pemangku kepentingan
lainnya guna mendapatkan respon dan masukan untuk menyempurnakan program
yang telah disusun. Pada kondisi sosial (tingkat pendidikan, mental, perilaku)
masyarakat pesisir yang belum optimal, agar program dapat berjalan dengan baik
dan berkesinambungan, maka sangat diperlukan tenaga pendamping professional.
Pemantauan dan evaluasi harus dilakukan agar program dapat berjalan sesuai
dengan harapan.
Evaluasi kerja PEMP dilakukan dari tahun ketahun dilakukan secara
berkesinambungan dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Mengetahui status keberhasilan kinerja pelaksanaan Program PEMP
secara nasional
2) Mengetahui status keberhasilan kinerja dan capaian-capaian pelaksanaan
Program PEMP di sejumlah lokasi
3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status kinerja Program
PEMP
4) mendapatkan berbagai data dan informasi yang akurat, obyektif sebagai
basisi untuk melakukan perumusan umpan balik dan perbaikan kinerja
Program PEMP pada masa yang akan datang.
73
2.7.2 Komite penanggulangan kemiskinan
Sebagai upaya Pemerintah dalam mempercepat pengurangan jumlah
penduduk miskin di Indonesia, pada tanggal 7 Desember 2001, pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 124 Tahun 2001 tentang
Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang disempurnakan lagi dengan
Keppres No. 8 dan No. 34 Tahun 2002 untuk memperlancar tugas dan fungsi
KPK tersebut. Komite ini berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden (Sumodiningrat, 2003). Strategi pemberdayaan masyarakat KPK
adalah meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan
pendapatannya dan mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin.
Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan
usaha masyarakat terutama UMKM yang meliputi penajaman program, pendanaan
dan pendampingan. Pendampingan adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas
sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program, agar
pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik.
Sedangkan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dilakukan melalui
penajaman alokasi APBN, yaitu melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
dengan melakukan tiga pemberdayaan, yaitu pada usahanya berupa bantuan
permodalan dan pendampingan, pada manusianya yaitu berkaitan dengan
pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesehatan; dan sarana-
prasarananya/lingkungannya yang mendukung usaha atau kegiatan produktif
masyarakat miskin. Selain itu penajaman APBN juga dilakukan melalui Bantuan
Operasional Pembangunan (BOP) kepada departemen/LPND/instansi terkait
untuk melakukan pembinaan teknis terhadap lembaga-lembaga di Tingkat Daerah,
Pembinaan teknis yang diterapkan meliputi pembinaan kepada manusianya,
usahanya, kelembagaannya, monitoring evaluasi dan pengendaliannya.
Hambatan-hambatan yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan
UMKM di antaranya adalah keterbatasan sumberdaya finansial, badan hukum dan
manajemen yang konvensional, sehingga sektor ini sulit tersentuh oleh pelayanan
lembaga keuangan formal (bank). Upaya pemerintah untuk membantu UMKM
misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum
74
cukup efektif mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar
di seluruh Indonesia.
Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah
penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal
karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik UMKM yang cenderung
dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu
memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang
ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka
keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga
keuangan formal, sebelum dana untuk pelayanan keuangan mikro itu tersalur
kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut).
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri memuat 3 (tiga)
elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama,
menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan
riil masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama).
Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel,
agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan
pelayanan.
Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan alternatif
bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang
“merakyat”. Yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan
prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar
apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam
rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan
pengembangan UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar
perekonomian Indonesia.
Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa
keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan
penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya
(baca: masyarakat miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan
75
dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk
melayani nasabah menuntut juga kemampuan si nasabah untuk dapat mengelola
keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya.
Selama ini keengganan dari pihak perbankan bank komersial dalam
menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa
kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin
sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Hal itu dikarenakan pihak perbankan
memandang, bahwa pelayanan terhadap masyarakat miskin akan menyebabkan
biaya tinggi dan penuh resiko. Tingginya biaya disebabkan oleh skala kredit yang
terlalu kecil untuk bank komersial, tidak mampu memberikan agunan, pendapatan
yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak
lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung
untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih
prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.
Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu
untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada
masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial
yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana
keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi
institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari
kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena
kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat
berkurang. Kemudian peran dari KSM—organisasi yang terdiri dari orang-orang
sesuai strata ekonominya yang diharapkan mampu menekan anggotanya dalam
mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral.
Mekanisme penyaluran itu membutuhkan keberadaan seorang
pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism
berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor
mikro seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan
pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses
pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu
dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang
76
berasal dari kegiatan LKM itu sendiri, atau berasal dari sisa laba BUMN yang
merupakan hasil kerjasama dengan pemerintah.
Dengan terbitnya kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah,
khususnya Kabupaten/Kota lebih mempunyai ruang yang luas untuk mengelola
rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan aspirasi masyarakatnya.
Seiring dengan hal ini, penanggulangan kemiskinan juga harus dilakukan pada
tingkat daerah terkecil, namun fungsi dasar pemerintah daerah tetap sebagai
fasilitator, regulator, serta motivator. Artinya pemerintah daerah mempunyai
peran yang sangat sentral karena lebih mengerti dan memahami potensi,
tantangan, kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing. Pelibatan unsur-unsur
lain di luar daerah juga tetap menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena
apabila pemerintah daerah mengabaikan hal ini, maka kegagalan pembangunan
Indonesia selama masa orde lama dan baru akan terulang kembali.
Terkait dengan KPK Daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan
khususnya untuk masyarakat miskin produktif, maka pemberdayaan dan
pengembangan UMKM menjadi prioritas utama. Konsekuensinya pemberdayaan
dan pengembangan LKM sesuai dengan aspek lokalitas dan karakteristik UMKM
menjadi salah satu syarat dasar. Pertanyaannya, bagaimana keterkaitan di antara
keduanya? LKM di tingkat daerah dengan segala fleksibilitasnya dalam
menyalurkan kredit mikro untuk sektor UMKM daerah dapat dijadikan mitra bagi
perbankan umum yang menganut prinsip kehati-hatian, untuk menjangkau sektor
UMKM yang selama ini dianggap tidak bankable.
Kemitraan kerja ini dapat melalui dua saluran. Pertama, LKM bertindak
hanya sebagai penyalur dan pendamping bagi pengusaha UMKM yang mendapat
kucuran kredit dari perbankan. Fungsi executing tetap dipegang oleh perbankan.
Kedua, LKM berfungsi sebagai penyalur dan pemutus kredit (kredit), dan bank
bertindak sebagai pengucur kredit (perbankan mengucurkan kredit kepada LKM
untuk kemudian disalurkan kepada sektor UMKM).
Pengembangan kemitraan kerja ini, harus didukung oleh unsur-unsur
daerah yang lain, seperti dunia usaha dalam bentuk penciptaan kemitraan di
bidang produksi, manajemen dan pemasaran, lembaga litbang dan perguruan
tinggi sebagai pemantau, evaluasi dan penyempurnaan suatu kebijakan, serta
77
pemerintah daerah dalam bentuk penciptaan kondisi makro dan mikro di tingkat
daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha.
Sementara itu, peran pendampingan juga LKM dapat dijalankan oleh LSM.
2.7.3 Program-program lainnya
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah juga telah dan
sedang melaksanakan sekitar 15 (lima belas) program penanggulangan
kemiskinan, termasuk program jaring pengaman sosial (JPS), yakni: Program
Inpres Desa Tertinggal (IDT); Program Pengembangan Kecamatan (PPK);
Program Kredit Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna dalam rangka Pengentasan
Kemiskinan (KP-TTG-Taskin); Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam
(UED-SP); Program Kredit Usaha Tani (KUT); Pogram Makanan Tambahan
Anak Sekolah (PMT-AS); Program Operasi Pasar Khusus Beras (OPK-Beras);
Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
(PDM-DKE); Program Beasiswa dan Dana Biaya Operasional Pendidikan Dasar
dan Menengah (JPS-Bidang Pendidikan); Program JPS-Bidang Kesehatan;
Program Padat Karya Perkotaan (PKP); Program Prakarsa Khusus Penganggur
Perempuan (PKPP); Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Pembangunan
Prasarana Subsidi Bahan Bakar Minyak (PPM-Prasarana Subsidi BBM); Program
Dana Bergulir Subsidi Bahan Bakar Minyak untuk UKM; Program Dana Tunai
Subsidi Bahan Bakar Minyak (Hendriwan, 2003).
2.8 Penelitian Terdahulu
Melengkapi kajian terhadap berbagai aspek yang berpengaruh dalam
peningkatan kesejahteraan nelayan, khususnya di wilayah kepulauan seribu,
penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu yang mengambil
locus di wilayah Kepulauan Seribu. Beberapa disertasi yang menjadi referensi
dalam penelitian ini diantaranya adalah Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil
(Studi Kasus di Gugus P. Pari Kepulauan Seribu), Keberlanjutan Pembangunan
Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari,
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Model Pembangunan Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan. Pembahasan dan hasil analisis dari
ketiga penelitian tersebut ditunjukkan pada Tabel 8.
78
Tabel 8 Hasil analisis penelitian sebelumnya
Penelitian
Sebelumnya
Hasil yang Diperoleh dari
Penelitian Sebelumnya
(Penelitian Pertama ) Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu)
1 Tidak terdapat parameter/variabel yang dominan berpengaruh terhadap
penurunan kualitas perairan di gugus P. Pari, jika dibandingkan dengan
persyaratan kualitas air laut untuk budidaya menurut SK No. Kep-
02/MENKLH/I/88.
2 Model pariwisata pantai di gugus P. Pari masih pada tahap sesuai,
sedangkan untuk pariwisata bahari tidak sesuai lagi.
3 Model budidaya laut menyatakan bahwa rumput laut tidak lagi menjadi
komoditas utama untuk semua gobah. Ikan kerapu dan teripang sebagai
alternatif komoditas utama untuk dibudidayakan di gobah gugus P. Pari.
4 Model perikanan tangkap (TKP) di perairan gugus P. Pari yang dihitung
dengan metode CYP adalah: Ln (Ut + 1) = 1,34890 + 0,44315 ln(Ut) –
0,00656 (Et + Et + 1). Analisis dinamik memperoleh titik keseimbangan
terdapat pada tingkat hasil tangkapan kurang dari 200 ton, dan tingkat
hari kerja operasi sebanyak 30.000 hari, dengan trayektori ke arah
keseimbangan dicapai pada waktu kurang lebih 50 tahun.
5 Kegiatan pariwisata yang sesuai, baik di P. Burung maupun di P. Kongsi
adalah pariwisata pantai dengan penetapan wilayah perairan 100 m
tegak lurus dari garis pantai kedua pulau tersebut, sehingga tidak
mengganggu kegiatan budidaya.
6 Kegiatan budidaya teripang diarahkan untuk diadakan di gobah Soa
Besar dan gobah Buntu, sedangkan budidaya ikan Kerapu di gobah
Kuanji dan gobah Kurungan. Untuk gobah yang lain tergantung pilihan
apakah budidaya teripang atau ikan kerapu.
7 Kegiatan penangkapan ikan diarahkan untuk dilakukan di perairan luar
tubir dengan ikan Pelagis sebagai tujuan penangkapan.
8 Formula alternatif skenario kebijakan pemanfaatan gugus P. Pari yang
digambarkan oleh alokasi tenaga kerja dengan manfaat ekonomi
maksimum adalah skenario II, yaitu: U = h10,3 h2
0,6 h30,1, dengan
pendapatan Rp 845.000,00 per tenaga kerja per bulan.
79
Penelitian
Sebelumnya
Hasil yang Diperoleh dari
Penelitian Sebelumnya
(Penelitian kedua) Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
1 Indeks keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil (IBPK) di
Kelurahan P. Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta lebih tinggi
dibandingkan dengan IBPK di Kelurahan P. Pari Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara.
2 Berdasarkan penilaian terhadap 5 (lima) aspek (dimensi) keberlanjutan
pembangunan pulau-pulau kecil di dalam disertasi ini, yaitu: aspek
ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan,
maka aspek ekonomi merupakan aspek pembangunan yang paling
rendah IBPK-nya, baik di Kelurahan P. Panggang maupun di Kelurahan
P. Pari. Aspek ekonomi ini masih berada pada kategori keberlanjutan
“kurang” karena indeksnya berada pada selang 25 – 50.
3 Dari 61 atribut (variabel) yang digunakan sebagai dasar penilaian,
terdapat 2 (dua) atribut yang tidak sensitif berkontribusi terhadap hasil
akhir perhitungan IBPK, yaitu atribut besarnya pengaruh daerah sekitar
(atribut pada dimensi sosial) dan atribut metode budidaya laut yang
tidak ramah lingkungan (atribut pada dimensi teknologi); Atribut ini
untuk selanjutnya dapat dihilangkan.
4 Di dalam dimensi ekologi terdapat 4 (empat) atribut yang paling sensitif
terhadap IBPK, yaitu pencemaran perairan, pembuangan limbah di dasar
perairan, penutupan terumbu karang hidup, dan kondisi pemanfaatan air
tanah. Dari 4 atribut tersebut yang perlu diperbaiki kondisinya adalah
penutupan terumbu karang hidup, sedangkan 3 atribut lainnya masih
dalam kondisi baik sehingga harus dapat dipertahankan.
5 Di dalam dimensi ekonomi juga terdapat 4 (empat) atribut yang paling
sensitif, yaitu transfer keuntungan, kontribusi terhadap GDP,
penghasilan relatif terhadap UMR, dan besarnya pasar. Dari 4 atribut
tersebut hanya atribut kontribusi terhadap GDP yang masih dalam
kondisi baik dan perlu dipertahankan. Tiga atribut yang lainnya perlu
diperbaiki kondisinya untuk dapat meningkatkan indeks dan status
keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil di 2 (dua) kelurahan yang
diteliti.
6 Di dalam dimensi sosial terdapat 5 (lima) atribut yang relatif paling
sensitif dibandingkan dengan atribut lainnya, yaitu partisipasi keluarga
80
dalam pemanfaatan sumberdaya alam, tingkat pendidikan, frekuensi
penyuluhan dan pelatihan, frekuensi pertemuan warga, dan frekuensi
konflik. Tiga atribut yang terakhir masih dalam kondisi yang baik
sehingga perlu dipertahankan, sedangkan 2 (dua) atribut yang pertama
perlu perbaikan karena kondisi keberlanjutannya masih kurang.
7 Di dalam dimensi teknologi terdapat 3 (tiga) atribut yang paling sensitif,
yaitu penggunaan alat bantu penangkapan ikan, selektivitas alat tangkap,
dan jenis alat penangkapan ikan. Dari 3 (tiga) atribut ini yang masih
perlu diperbaiki adalah atribut penggunaan alat bantu penangkapan ikan,
sedangkan 2 (dua) atribut yang lainnya masih dalam kondisi baik
ditinjau dari kriteria keberlanjutannya.
8 Di dalam dimensi hukum dan kelembagaan terdapat 4 (empat) atribut
yang relatif paling sensitif, yaitu adanya tokoh panutan yang disegani
masyarakat, ketersediaan aturan adat dan kepercayaan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, ada tidaknya
aturan “limited entry”, dan ketersediaan personil penegak hukum di
lokasi. Dari 4 (empat) atribut di atas, 2 (dua) atribut yang pertama
kondisinya masih baik dan perlu dipertahankan, sedangkan 2 (dua)
atribut yang terakhir masih perlu diperbaiki. Atribut ketersediaan
personil penegak hukum di lokasi yang masih perlu diperbaiki adalah di
Kelurahan P. Pari, sedangkan di Kelurahan P. Panggang kondisinya
masih baik.
9 Disertasi ini juga menyimpulkan bahwa metode “Rapsmile” (Rapid
Appraisal of Small Island Development) cukup baik digunakan sebagai
alat untuk menilai status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil.
Metode ini dapat mencakup jumlah variabel (atribut) yang besar,
sehingga bersifat holistik tetapi cukup mudah penilaiannya karena
dinilai berdasarkan skor peringkat (ordinal). Metode ini juga dapat
menilai atribut yang tidak sensitif di dalam penilaian, sehingga pada
akhirnya akan ditemukan atribuf-atribut yang cukup sensitif saja yang
digunakan di dalam penilaian status keberlanjutan pulau-pulau kecil.
10 Kajian terhadap model ekonomi-ekologis yang dilakukan di dalam
disertasi ini menyimpulkan bahwa itu sudah kondisi ekonomi dan
ekologis di Kepulauan Seribu saat ini dalam kondisi tidak seimbang.
Jumlah ternaga kerja (dalam satuan orang-hari) terlalu besar, sehingga
harus dikurangi hingga sekitar Rp 250.000,00 – Rp 300.000,00
orang/hari. Rasio biaya per tenaga kerja terhadap harga jual per satuan
81
produksi ikan (rasio c/p) masih terlalu besar dibandingkan dengan
besarnya stok ikan dan jumlah tenaga kerja yang ada saat ini.
11 Berdasarkan hasil analisis Rapsmile dan analisis model ekonomis-
ekologis tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa pembangunan pulau
pulau kecil di Kelurahan P. Panggang dan P. Pari Kepulauan Seribu
belum berkelanjutan.
(Penelitian
ketiga) Model
Pembangunan
Kabupaten
Administrasi
Kep.Seribu
Berbasis
Industri
Perikanan
1 Dalam model optimal pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu berbasis industri perikanan, ditemukan bahwa dominansi indikator
lingkungan industri berpengaruh terhadap keberadaan lingkup usaha
perikanan (LUP), implementasi kewenangan bagi pemerintah (KBP), dan
implementasi kewenangan bagi pemerintah daerah otonom (KBO).
Dalam hubungan antarvariabel, dapat dibuktikan bahwa tujuan
pembangunan perikanan (TPP) merupakan variabel bebas yang
berinteraksi secara signifikan dengan kewenangan bagi pemerintah (KBP)
dan kegiatan perikanan tangkap (TKP). Hal ini menjadi titik balik
(turning point) bagi paradigma pembangunan perikanan di Indonesia.
2 Dalam pencapaian tujuan pembangunan perikanan (TPP), ditemukan
bahwa mau tidak mau pemerintah maupun pemerintah Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu harus mempersiapkan dengan matang
aplikasi model pembangunan pada tataran administratif, teknis, dan
operasional sebelum mengimplementasikan diversifikasi
kebijakan/regulasi yang mengatur secara tegas jenis-jenis kegiatan
tertentu untuk diberlakukan pada wilayah-wilayah yang memiliki
spesifikasi dan karakteristik tertentu. Selain itu, dalam kerangka umum
pembangunan wilayah kepulauan, kehadiran stimulus fiskal bagi
pengembangan industri perikanan (terutama perikanan budidaya) menjadi
salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan perikanan.
3 Secara khusus, model optimal bagi pembangunan Kab. Administrasi
Kepulauan Seribu berbasis industri perikanan menghendaki status
variabel tujuan pembangunan perikanan menjadi variabel bebas dalam
interaksinya dengan kewenangan bagi pemerintah (KBP) dan kegiatan
perikanan tangkap (TKP). Implikasinya adalah apabila pemerintah
maupun pemerintah daerah yang selama ini sudah terbiasa dengan pola
kerja top-down, maka untuk mengejar ketertinggalan pembangunan
sektor perikanan di wilayah-wilayah kepulauan harus melakukannya
dengan cara bottom-up.
82
4 Kegiatan perikanan budidaya (BDY) hingga saat ini belum memberikan
kontribusi signifikan bagi tujuan pembangunan perikanan (TPP) dalam
pembangunan perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
yang memiliki karakteristik dan spesifikasi wilayah kepulauan. Keadaan
ini terjadi karena pemerintah maupun pemerintah daerah belum memberi
insentif yang proporsional sebagai stimulus bagi masyarakat pesisir dan
nelayan untuk mengembangkan kegiatan perikanan budidaya (BDY).
5 Dari 8 (delapan) indikator tujuan pembangunan perikanan yang
membentuk model optimal pembangunan berbasis industri perikanan di
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, ternyata secara realistik
hanya terdapat 5 (lima) indikator yang berinteraksi dalam pencapaian
tujuan pembangunan perikanan (TPP), yaitu:
- Daya saing industri berbasis perikanan;
- Pertumbuhan industri berbasis perikanan;
- Dukungan ekologi industri berbasis perikanan;
- Dukungan sosial industri berbasis perikanan; dan
- Faktor eksternalitas pembangunan industri berbasis perikanan.
Sumber: Saksono (2008), Penulis (2009)
Disadari bahwa terdapat banyak penelitian tentang Kepulauan Seribu baik
sebagai obyek maupun locus studi. Mencermati keadaan ini, diperlukan
spesifikasi ruang lingkup bidang penelitian untuk lebih menonjolkan karakteristik
dan kekuatan penelitian ini. Langkah yang ditempuh adalah melakukan komparasi
terhadap masing-masing tujuan dari setiap penelitian yang pernah dilakukan di
wilayah Kepulauan Seribu sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8.
Oleh karena itu pada table 9 dibawah ini akan dibuat komparasi tujuan
penelitian dari beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan pada
wilayah kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Komparasi ini bertujuan
untuk membandingkan perbedaan tujuan dari beberapa penelitian yang pernah
dilakukan sehingga bias digunakan sebagai acuan dari pembuatan model yang
akan dilakukan pada penelitian ini.
83
Tabel 9 Komparasi tujuan penelitian dari beberapa penelitian sebelumnya di wilayah Kabupaten Adm Kepulauan Seribu
Judul Disertasi Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu)
Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Model Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan
Tujuan Penelitian: Tujuan Penelitian: Tujuan Penelitian: 1) Menentukan parameter/
variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan, serta mengelompokkan wilayah perairan sesuai kemiripan parameter/variabel lingkungan tersebut.
2) Membangun model pemanfaatan pulau-pulau kecil: model pariwisata dan model budidaya laut berdasarkan kesesuaian kondisi perairan, serta model penangkapan ikan berdasarkan kajian stok ikan, selanjutnya menciptakan model integrasi pemanfaatan gugus P. Pari sesuai daya dukung lingkungannya.
3) Menata ruang perairan gugus P. Pari sesuai peruntukkan dengan memperhatikan keterpaduan ekologis.
4) Memformulasikan alternatif skenario pembangunan optimal dan berkelanjutan serta menyusun konsep pemanfaatan perairan yang digambarkan dengan pemanfaatan tenaga kerja di gugus P. Pari.
1) Menilai keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil di Kel. P. Panggang dan Kel. P. Pari Kab. Adm. Kep. Seribu DKI Jakarta, melalui penyusunan indeks dan status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil dan analisis keseimbangan ekonomi-ekologis, yakni IBPK, atau “Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil”.
2) Mendeterminasi tingkat kemajuan maupun ketertinggalan atribut-atribut aspek pembangunan di daerah studi serta membuat evaluasi dinamika variabel ekonomi dan ekologi untuk memudahkan perencanaan pembangunan selanjutnya agar sesuai dengan kriteria pembangunan yang berkelanjutan.
3) Mengembangkan metode evaluasi status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil, sehingga dapat digunakan secara luas di Indonesia baik oleh instansi Pemerintah maupun oleh swasta.
1) Menganalisis dan membahas interaksi antar faktor dan dimensi pembangunan perikanan, yakni: kewenangan bagi Pemerintah, kewenangan bagi Pemerintah Daerah Otonom, lingkungan usaha perikanan, kegiatan perikanan tangkap, kegiatan perikanan budidaya, dan kegiatan pengolahan hasil perikanan terhadap tujuan pembangunan perikanan dalam pembangunan daerah berbasis industri perikanan.
2) Menganalisis dan membahas kebijakan pembangunan perikanan pada daerah kepulauan dalam pencapaian tujuan pembangunan perikanan.
3) Menganalisis dan membahas sistem pembangunan perikanan dalam pembangunan Kab. Adm. Kep. Seribu berbasis industri perikanan.
4) Menganalisis dan membahas kegiatan usaha perikanan terhadap tujuan pembangunan perikanan di Kab. Adm. Kep. Seribu.
5) Merancang suatu model pengembangan pembangunan yang sesuai untuk Kab. Adm. Kep. Seribu berbasis industri perikanan
Sumber: Saksono (2008), Penulis (2009)
84
Berdasarkan komparasi tujuan penelitian terhadap 3 penelitian terdahulu
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9, selanjutnya ditetapkan tujuan dalam
konteks penelitian ini, yaitu menguji dan melakukan analisis terhadap interaksi
antarvariabel dalam suatu model kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan
dengan menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM). Diharapkan
melalui kajian ini, dapat ditemukan rancangan model yang tepat sebagai model
optimal kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan. Selain itu, dengan
mempedomani model tersebut, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu dapat berpikir lebih strategis dalam menetapkan skala prioritas program
dan/atau kegiatan, merespon aspirasi masyarakat dalam mekanisme perencanaan
pembangunan daerah (bottom-up planning) serta melakukan langkah-langkah
konkrit terutama dalam implementasi berbagai kebijakan Pemerintah maupun
Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Obyek kajian dalam penelitian ini,
pembahasannya sengaja dikerucutkan agar lebih fokus mengingat sejumlah
keterbatasan yang dimiliki peneliti sendiri, yakni keterbatasan waktu, tenaga, dan
terutama pembiayaan bagi penyelenggaraan penelitian.
85
3 METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian mulai dari persiapan sampai pada pengolahan data
berlangsung dari bulan February 2006 sampai dengan Desember 2006. Penelitian
ini dilakukan di Kepulauan Seribu , dimana secara geografis terletak pada
106020’00” BT hingga 106057’00” BT dan 5010’00” LS hingga 5057’00” LS.
Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun
2000 tentang wilayah Kepulauan Seribu dinyatakan bahwa Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu terdiri dari 2 Kecamatandan 6 kelurahan. Total
jumlah pulau di Kecamatan Kepulauan Seribu adalah 110 pulau yang secara
Administratif dibagai menjadi 6 wilayah kelurahan yaitu kelurahan Pulau
Panggang, Pulau Tidung, Pulau Kelapa, Pulau Untung Jawa, Pulau Harapan dan
Pulau Pari. Dari keenam kelurahan tersebut Kelurahan Pulau Kelapa memiliki
pulau yang paling banyak (36 pulau) dan yang paling sedikit pulaunya adalah
Kelurahan Pulau Tidung (6 pulau).
Tabel 10 Jumlah pulau menurut Kelurahan di Kabupaten Adm Kepulauan Seribu. No Kelurahan Jumlah Pulau Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1 Kelurahan P.Panggang 13 2 Kelurahan P.Kelapa 36 3 Kelurahan P.Harapan 30 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 1 Kelurahan P.Tidung 6 2 Kelurahan P.Pari 10 3 Kelurahan P.Untung Jawa 15 Jumlah 110
Sumber : Buku Saku Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2005
86
Gambar 6 Lokasi penelitian
3.2 Jenis, Sumber, dan Ukuran Sampel Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan di lapangan,
meliputi berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan upaya peningkatan
kesejahteraan nelayan. Data tersebut diperoleh melalui wawancara menggunakan
87
sejumlah kuesioner yang dibagikan kepada para responden dan observasi
(mengamati langsung situasi dan kondisi di lapangan). Sedangakn data sekunder
adalah data yang sudah diolah dan hampir semuanya berasal dari Badan Pusat
Statistik, BAPPEKAP dan suku dinas perikanan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Berdasarkan jenisnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri
dari 2 (dua) jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif
merupakan data yang berupa angka-angka untuk kebutuhan analisis dalam
penelitian ini. Data sekunder semuanya berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS)
baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Data-data yang
digunakan tersebut antara lain berasal dari: (1) publikasi Kabupaten Kepulauan
Seribu dalam angka yang digunakan untuk mengetahui informasi tentang keadaan
Kabupaten Kepulauan Seribu, (2) publikasi Kota Jakarta Utara dalam angka yang
digunakan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan Kepulauan Seribu
sebelum menjadi Kabupaten, (3) data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Propinsi DKI Jakarta atas dasar harga berlaku dan data PDRB Propinsi DKI
Jakarta atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha, (4) publikasi
pendapatan regional Kepulauan Seribu yang akan digunakan untuk mengetahui
perkembangan keadaan perekonomian, struktur ekonomi dan laju pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu, (5) publikasi-publikasi lainnya, antara lain
yang berupa publikasi indikator ekonomi dan indikator kesejahteraan rakyat.
Adapun data kualitatif dalam penelitian ini adalah data yang tidak
dinyatakan dalam angka-angka yang berasal dari hasil kuisioner dan wawancara
di lapangan.
Ukuran sampel memegang peranan penting dalam estimasi dan interpretasi
hasil analisis Structural Equation Modelling (SEM). Menurut Ferdinand (2006)
mengatakan bahwa ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100 – 200. Bila
ukuran sampel menjadi terlalu besar, misalnya lebih daripada 400, maka metode
menjadi “sangat sensitif”, sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran-ukuran
Goodness of Fit yang baik. Ferdinand (2006) juga menyarankan bahwa ukuran
sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated parameter.
88
Dengan demikian, bila estimated parameter-nya berjumlah 12, maka
jumlah sampel minimum adalah 60 (Ferdinand, 2000). Adapun pedoman ukuran
sampel menurut Ferdinand (2000) adalah:
(1) 100 – 200 sampel untuk teknik Maximum Likelihood Estimation (ML).
(2) Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi. Pedomannya adalah
5 – 10 kali jumlah parameter yang diestimasi.
(3) Tergantung pada jumlah indikator yang digunakan dalam seluruh variabel
laten. Jumlah sampel adalah jumlah indikator dikali 5 – 10. Bila terdapat 20
indikator, besarnya sampel adalah antara 100 – 200.
(4) Bila sampelnya sangat besar, maka peneliti dapat memilih teknik estimasi.
Misalnya bila jumlah sampel di atas 2500, maka teknik estimasi
Asymtotically Distribution Free Estimation (ADF) dapat digunakan.
Mengacu pada teknik Maximum Likelihood Estimation (ML), maka jumlah
sampel yang dibutuhkan untuk analisis SEM dalam penelitian ini berkisar antara
100 – 200 sampel. Ukuran sampel ini ditetapkan dengan pertimbangan syarat
keterwakilan aspek kajian dan kebutuhan analisis. Teknik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling. Hal ini dilakukan mengingat jumlah populasi
penelitian yang terlalu besar dan tersebar tidak merata di 11 (sebelas) pulau
berpenghuni di kawasan Kepulauan Seribu.
Berdasarkan teknik ini, kemudian ditetapkan jumlah sampel sebanyak 160
orang responden. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dengan jumlah penduduk
yang lebih banyak diambil 90 orang responden berasal dari kelurahan Pulau
Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan masing-masing sebanyak 30 orang
reseponden. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dengan jumlah penduduk yang
lebih sedikit diambil 60 orang responden berasal dari kelurahan Pulau Tidung,
Pulau Pari dan Pulaua Untung Jawa masing-masing sebanyak 20 orang
reseponden.
Responden penelitian terdiri dari para pemangku kepentingan
(stakeholders) di bidang kelautan dan perikanan, yaitu: kelompok usaha skala
mikro, kecil, menengah (UMKM) dan besar, kalangan nelayan, pembudidaya,
89
pengolah hasil-hasil perikanan, Pemerintahan Daerah, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan Akademisi.
3.3 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya
Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan pendekatan
teroritis. Pendekatan teoritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap
konsep-konsep yang dikembangkan, sehingga model akhir yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan dan mendapat kebenaran secara ilmiah. Model dalam
penelitian ini berusaha mengungkap bagaimanakah seharusnya kebijakan yang
dibuat pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan
kepulauan Seribu. Kebijakan pemerintah tersebut sebagai upaya guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan yang
merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan program
pembangunan. Menurut gunawan sumodiningrat (2007) arah pembangunan
tersebut harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan
dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi
kemiskinan yang terdiri dari beberapa hal.
Pertama, penguatan kelembagaan (X1) yaitu upaya meningkatkan
kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan
teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan
pemasaran serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan
kondisi lokal.
Kedua, pemberdayaan sumberdaya manusia (X2) yaitu memperkuat
kapasitas sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan
manajemen dan organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan
guna meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui pelatihan,peyuluhan dan
pendampingan.
Ketiga, modal usaha guna mengembangkan kewirausahaan (X3) yaitu
memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara mengembangkan mekanisme
penyaluran dana bantua dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif unggulan dalam
90
meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus untuk
tabungan dan akumulasi modal masyarakat.
3.3.1 Variabel kesejahteraan
UU No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan soaial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang menungkinkan
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak
memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua
aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan
dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS
(1991) yang sudah dimodofikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan
dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas:
(1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan tempat
tinggal; (4) Fasilitas tempat tinggal; (5) Kesehatan anggota keluarga; (6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medis/paramedis,
termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan obat-
obatan; (7) Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan; (8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi; (10) Perasaan aman dari
gangguan kejahatan; dan (11) Kemudahan dalam melakukan olah raga.
Variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan tingkat
kesejahteraan nelayan adalah pendapatan rumah tangga (Y1), keadaan tempat
tinggal (Y2), dan kondisi kesehatan (Y3).
3.3.2 Variabel penguatan kelembagaan
Penguatan kelembagaan yaitu upaya meningkatkan kemampuan
kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi,
penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran
91
serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi
lokal. Penguatan kelembagaan yang akan digunakan sebagai indikator dalam
penelitian ini adalah kelembagaan yang berupa : organisasi nelayan (X11);
lembaga keuangan mikro (X12); dan lembaga pemerintahan (X13).
Definisi dari organisasi nelayan adalah organisasi yang melaksanakan
pelayanan dalam bidang kesejahteraan sosial baik untuk anggotanya sendiri
maupun masyarakat (organisasi selain organisasi politik), dan telah mempunyai
struktur yang tetap (susunan pengurus seperti ketua, sekretaris, dan bendahara),
baik yang berbadan hukum maupun tidak, dikelola oleh gabungan beberapa
nelayan. Definisi lembaga keuangan mikro (LKM) menurut Komite Nasional
Pemberdayaan Keuangan Mikro Indonesia adalah badan usaha keuangan yang
menyediakan layanan jasa keuangan mikro, yang tidak berbentuk bank dan tidak
berbentuk koperasi, serta bukan pegadaian, namun termasuk badan kredit desa
yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bank. Sedangkan, definisi dari lembaga
pemerintah pada penelitian ini bisa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
3.3.3 Variabel pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan
Definisi dari pemberdayaan adalah penguatan kapasitas sumber daya
manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi aparat
dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan produktivitas dan
daya saing melalui pelatihan,peyuluhan dan pendampingan. Penguatan sumber
daya manusia nelayan yang akan digunakan sebagai indikator dalam penelitian ini
berupa : pengadaan penyuluhan (X21); penyelenggaraan pelatihan (X22); dan
penyelenggaraan pendidikan (X23).
Definisi penyuluhan dan pelatihan mempunyai kemiripan yaitu
serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian,
pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap individu. Perbedaan
prinsipnya adalah pada pelatihan lebih ditekankan praktek dari pada teori. Hal ini
sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974 yang menyebutkan
bahwa pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar
untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan diluar sistem pendidikan yang
berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih
mengutamakan praktek dari pada teori. Oleh karena itu perbedaan dengan
92
pendidikan sangat jelas yaitu pendidikan memberikan gelar atau ijazah resmi yang
dimulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi.
3.3.4 Variabel kewirausahaan
Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan
atau GNMMK (1995) mendifinisikan kewirausahaan adalah semangat, sikap,
perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan
yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja,
teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka
memperoleh keuntungan. Penguatan kewirausahaan nelayan yang akan digunakan
sebagai indikator penelitian ini berupa : kepemilikan ketrampilan usaha (X31);
praktek dan pengalaman usaha (X32); dan adanya niat berusaha (X33).
Definisi kepemilikan ketrampilan seorang nelayan adalah orang yang
mempunyai kemampuan melihat dan menilai peluang atau kesempatan bisnis
yang ada serta menghimpun sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna
mendapatkan laba atau hasil serta mengambil tindakan yang tepat guna
memastikan keberhasilan. Definisi pengalaman usaha adalah lamanya seseorang
menggeluti suatu usaha atau pekerjaan sehingga yang bersangkutan mempunyai
pengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan niat berusaha adalah
dorongan yang kuat dari seorang individu untuk melakukan pekerjaan selain
pekerjaan yang sehari-harinya mereka kerjakan.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Analisis location quotient (LQ)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui sektor-sektor unggulan yang ada
di Kabupaten Kepulauan Seribu. Secara umum, metode ini dapat dimanfaatkan
untuk mengidentifikasikan sumber-sumber pertumbuhan regional, menganalisa
kecenderungan dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil kegiatan
ekonomi di suatu daerah bagian (Kabupaten Kepulauan Seribu) dalam lingkup
daerah himpunannya (Propinsi DKI Jakarta).
Metode Location Qoutient (LQ) ada 2 macam yaitu static location quotient
(SLQ) dan dynamic location quotient (DLQ). Berikut ini akan diuraikan kedua
macam metode LQ tersebut.
93
SLQ merupakan perbandingan kontribusi nilai tambah suatu sektor di
daerah bagian (Kabupaten Kepulauan Seribu) dengan kontribusi nilai tambah
sektor sejenis di daerah himpunan (Propinsi DKI Jakarta). Formula SLQ adalah
sebagai berikut:
( ) ( )tti
tj YXYSLQ ///X t
ij=
dimana:
tijX : nilai tambah sektor i di daerah bagian j pada akhir tahun
pengamatan
tiX : nilai tambah sektor i di daerah himpunan pada akhir tahun
pengamatan
tjY : PDRB daerah bagian pada akhir tahun pengamatan
Yt : PDRB daerah himpunan pada akhir tahun pengamatan
Apabila nilai rasio SLQ>1 menunjukkan bahwa sektor/subsektor tersebut
merupakan sektor unggulan bagi daerah bagian (Kabupaten Kepulauan Seribu),
dan mampu bersaing dengan sektor/subsektor yang sama di daerah lain dalam
himpunannya (Propinsi DKI Jakarta).
Sebaliknya jika rasio SLQ<1 menunjukkan bahwa sektor/subsektor
tersebut bukan merupakan unggulan bagi daerah karena masih kalah bersaing
dengan daerah bagian lain dalam daerah himpunannya. Karena hanya dilihat pada
satu titik waktu, maka ini berarti bahwa sektor yang unggul peranannya pada
suatu waktu belum tentu unggul pada waktu yang akan datang, sehingga
diperhitungkan juga tingkat pertumbuhan masing-masing sektor, yaitu dengan
DLQ.
Metode kedua mempunyai prinsip yang sama dengan SLQ namun
mengintroduksikan laju pertumbuhan dengan asumsi bahwa setiap nilai tambah
sektoral maupun total nilai tambah mempunyai rata-rata laju pertumbuhan sendiri-
sendiri selama periode waktu tertentu. Formula untuk DLQ adalah sebagai
berikut:
( )( ) ( )( ) ( )( ) ( )( ) ttii
tjj
tijij GYGXGYGXDLQ ++++= 1*/1*/1*/1* 0000
dimana:
94
0ijX : nilai tambah sektor i di daerah bagian j pada awal tahun
pengamatan 0iX : nilai tambah sektor i di daerah himpunan pada awal tahun
pengamatan 0jY : total nilai tambah daerah bagian pada awal tahun pengamatan 0Y : total nilai tambah daerah himpunan pada awal tahun pengamatan
ijG : pertumbuhan rata-rata sektor i di daerah bagian
iG : pertumbuhan rata-rata sektor i di daerah himpunan
jG : pertumbuhan rata-rata total daerah bagian
G : pertumbuhan rata-rata total daerah himpunan
Rasio DLQ>1 menunjukkan bahwa proporsi laju pertumbuhan suatu
sektor di daerah bagian terhadap laju pertumbuhan total daerah bagian tersebut
lebih cepat bila dibandingkan dengan proporsi laju pertumbuhan sektor tersebut
terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan daerah himpunannya.
Jika DLQ<1, maka dapat dikatakan bahwa proporsi laju pertumbuhan
suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi daerah bagian secara keseluruhan
lebih rendah dibandingkan dengan proporsi laju pertumbuhan sektor tersebut
terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan daerah himpunannya.
Hasil perhitungan SLQ dan DLQ dapat diterangkan secara ringkas, yaitu
(1) SLQ>1 dan DLQ>1 berarti merupakan sektor unggulan dan mempunyai daya
saing; (2) SLQ>1 dan DLQ<1 berarti merupakan sector unggulan tetapi tidak
mempunyai daya saing; (3) SLQ<1 dan DLQ>1 berarti mempunyai potensi dan
mempunyai daya saing; (4) SLQ<1 dan DLQ<1 berarti tidak mempunyai potensi
dan tidak memiliki daya saing.
3.4.2 Analisis shift share
Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui
pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk
mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan
pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada
tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional.
Analisis ini juga dapat digunakan untuk mengkaji pergeseran struktur
perekonomian daerah dalam kaitannya dengan peningkatan perekonomian daerah
95
yang bertingkat lebih tinggi. Perekonomian daerah yang didominasi oleh sektor
yang lamban pertumbuhannya akan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan
perekonomian daerah di atasnya.
Dalam penelitian ini, analisis shift share digunakan untuk mengetahui
besarnya posisi relatif dari peranan dan pertumbuhan sektor-sektor di Propinsi
DKI Jakarta terhadap kegiatan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu.
Penggunaan angka propinsi sebagai pembanding berdasarkan pada asumsi bahwa
peranan dan pertumbuhan daerah himpunan menggambarkan kondisi rata-rata
seluruh daerah bagian dari daerah himpunan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) komponen dalam analisis shift share, yaitu:
1. Pangsa Regional (PR), merupakan pengaruh dari pertumbuhan ekonomi
daerah himpunan, yaitu pertumbuhan PDRB Propinsi DKI Jakarta terhadap
nilai tambah sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu.
( ) 1 - * X PR 00ij YYt=
Nilai pangsa regional untuk suatu sektor di daerah bagian menunjukkan suatu
jumlah dimana tingkat pertumbuhan sektor tersebut sama dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi keseluruhan daerah himpunannya.
2. Differential Shift (DS) adalah perbedaan antara pertumbuhan ekonomi daerah
(kabupaten) dan nilai tambah bruto sektor yang sama di tingkat propinsi.
Dalam penelitian ini, DS menunjukkan pergeseran yang berbeda antara
Kabupaten Kepulauan Seribu dan kabupaten lainnya, untuk mengukur
seberapa jauh nilai tambah suatu sektor di kabupaten tersebut memiliki laju
pertumbuhan yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada laju pertumbuhan
nilai tambah sektor sejenis di kabupaten lain.
( ) ( ) 0i
ti
0ij
tij
0ij XX - XX * X DS =
Bila sektor-sektor memiliki differential shift (DS) yang positif berarti sektor
tersebut memiliki keunggulan komparatif terhadap sektor yang sama di daerah
lain. Selain itu, sektor-sektor yang memiliki DS positif berarti bahwa sektor
tersebut terkonsentrasi di daerah dan mempunyai pertumbuhan yang lebih
cepat dibandingkan dengan daerah lainnya. Apabila DS negatif maka tingkat
pertumbuhan sektor tersebut relatif lamban.
96
3. Proportional Shift (PS), adalah pertumbuhan Nilai Tambah Bruto suatu sektor
i dibandingkan total sektor di tingkat propinsi. Dalam penelitian ini PS
menggambarkan pengaruh relatif dari pertumbuhan sektoral ekonomi Propinsi
DKI Jakarta terhadap pertumbuhan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu.
( ) ( ) 0t0i
ti
0ij YY - XX * X PS=
Apabila PS bertanda positif menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki laju
pertumbuhan cepat di daerah himpunannya. Sedangkan, apabila PS bertanda
negatif berarti sektor tersebut mempunyai laju pertumbuhan lambat di daerah
himpunannya.
3.4.3 Analisis dan pengembangan model menggunakan Structural Equation
Modelling (SEM)
SEM merupakan sekumpulan teknik-teknik yang memungkinkan
pengujian beberapa variabel dependen dengan beberapa variabel independen
secara simultan. Ferdinand (2002:7) mengungkapkan bahwa SEM memungkinkan
untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat regresif maupun
dimensional. Pada saat seorang peneliti menghadapi pertanyaan penelitian berupa
identifikasi dimensi-dimensi sebuah konsep atau konstruk dan pada saat yang
sama ingin mengukur pengaruh atau derajat hubungan antar faktor yang telah
diidentifikasi dimensi-dimensinya, maka SEM akan memungkinkan untuk
melaksanakannya. SEM juga merupakan pendekatan terintegrasi antara analisis
faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis) (Solimun, 2002:65).
Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan pendekatan
teroritis. Pendekatan teoritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap
konsep-konsep yang dikembangkan, sehingga model akhir yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan dan mendapat kebenaran secara ilmiah. Dalam kaitan ini,
telaah pustaka, eksplorasi terhadap hasil-hasil penelitian yang berkaitan, dan
diskusi pakar menjadi hal penting untuk dilakukan. Berdasarkan telaah
pendahuluan, beberapa komponen yang berinteraksi dalam kebijakan peningkatan
kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah
pemberdayaan SDM nelayan, peningkatan kewirausahan dan penguatan
kelembagaan.
97
Dinamika setiap komponen utama tersebut dipengaruhi oleh interaksi
dengan komponen lainnya yang lebih kecil dan secara rinci dapat dijelaskan:
(1) Penguatan kelembagaan (X1), dapat berinteraksi/dipengaruhi oleh:
1) Aspek organisasi nelayan (X11);
2) Aspek lembaga keuangan mikro (X12); dan
3) Aspek lembaga pemerintahan (X13).
(2) Pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (X2), dapat berinteraksi/
dipengaruhi oleh:
1) Aspek pengadaan penyuluhan (X21);
2) Aspek penyelenggaraan pelatihan (X22); dan
3) Aspek penyelenggaraan pendidikan (X23).
(3) Kewirausahaan bagi nelayan (X3), berinteraksi/dipengaruhi oleh :
1) Aspek ketrampilan usaha (X31);
2) Aspek praktek dan pengalaman usaha (X32); dan
3) Aspek niat berusaha (X33).
Dalam kaitan ini, analisis SEM dalam penelitian akan dikembangkan
untuk melihat terjadinya interaksi diantara komponen tersebut dan mengetahui
interaksi mana yang paling berperan dalam pembangunan Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu berbasis industri perikanan. Gambaran interaksi
diantara komponen tersebut kemudian diilustrasikan dalam rancangan awal path
diagram.
a) Pembuatan path diagram
Setelah menyusun model berbasis teori, langkah selanjutnya adalah
menerjemahkan model tersebut ke dalam diagram jalur (path diagram) agar dapat
diestimasikan dengan menggunakan program AMOS. Pembuatan path diagram
merupakan kegiatan penggambaran interaksi komponen-komponen yang
dikembangkan secara teoritis dan kemudian menjadi konstruk penelitian. Dalam
penggambaran ini, konstruk/variabel laten penelitian tersebut harus dilengkapi
dengan dimensi/variabel terukur.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam model struktural dikenal dua
variabel, yaitu variabel eksogen dan endogen. Sedangkan untuk persamaan-
98
persamaan struktural yang dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas
antar berbagai konstruk, persamaan tersebur pada dasarnya dibangun dengan
pedoman sebagai berikut: variabel endogen (terikat) = variabel eksogen + variabel
endogen + error (Ferdinand, 2002:167). Variabel eksogen adalah variabel yang
nilainya ditentukan di luar model, seperti variabel bebas dan variabel instrumen
(juga disebut predetermined variables). Sedangkan variabel endogen adalah
variabel yang nilainya ditentukan berdasarkan model, seperti variabel tidak bebas.
Dalam kaitan ini, telaah pustaka menjadi hal penting untuk menetapkan
variabel terukur yang tepat. Path diagram dibuat dengan menggunakan program
AMOS 7.0 Professional. Rancangan path diagram untuk merumuskan model
kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dapat dilihat pada gambar 7 dibawah
ini.
Persamaan struktural dalam penelitian ini adalah persamaan rekursif
dimana memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Antara εij (galat) saling bebas (independent)
2. Antara εij dengan Y, Y1, Y2, Y3, X1, X2, dan seterusnya saling bebas
3. Arah pengaruh kausalitas dari variabel endogen adalah searah, atau tidak ada
variabel endogen yang mempunyai pengaruh bolak-balik (resiplokal).
Gambar 7 Diagram jalur hubungan struktural antar variabel penelitian
99
Penjelasan faktor/konstruk yang digunakan dalam path diagram pada
Gambar 7 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Jenis dan makna faktor/konstruk dalam path diagram serta simbolnya dan measurement model
No. Faktor/ Konstruk Keterangan
Simbol dalam Measurement
Model 1. X1 Penguatan Kelembagaan ζ1 2. X11 Organisasi nelayan X11 3. X12 Lembaga keuangan mikro X12 4. X13 Lembaga pemerintahan X13 5. X2 Pemberdayaan SDM nelayan ζ2 6. X21 Pengadaan penyuluhan X21 7. X22 Penyelenggaraan pelatihan X22 8. X23 Penyelenggaraan pendidikan X23 9. X3 Kewirausahaan bagi Nelayan ζ3 10. X31 Ketrampilan usaha X31 11. X32 Praktek dan pengalaman usaha X32 12. X33 Niat berusaha X33 13. Y Kesejahteraan nelayan η1 14. Y1 Pendapatan rumah tangga Y11 15. Y2 Keadaan tempat tinggal Y12 16. Y3 Kondisi kesehatan Y13
sumber: Hasil pengolahan data
b) Pengujian masing-masing variabel
b.1) Tingkat kesejahteraan nelayan (Y)
Variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan tingkat
kesejahteraan nelayan adalah pendapatan rumah tangga (Y1), keadaan tempat
tinggal (Y2), dan kondisi kesehatan (Y3).
Pengujian apakah variabel-variabel ini dapat digunakan untuk membentuk
faktor atau konstruk dilakukan dengan jalan melihat nilai probabilitas (p) dari nilai
koefisien lambda (λ). Jika nilai probabilitas (p) koefisien lambda lebih kecil dari
nilai α (0,05), maka indikator tersebut dapat digunakan untuk membentuk faktor
atau konstruk. Begitu pula sebaliknya, jika nilai probabilitas (p) koefisien lambda
lebih besar dari nilai α (0,05), maka indikator tersebut tidak dapat digunakan
untuk membentuk faktor atau konstruk.
100
Adapun model pengukuran confirmatory factor analysis untuk mengukur
tingkat kesejahteraan nelayan terdapat pada gambar 8 dibawah ini.
Gambar 8 Confirmatory factor analysis tingkat kesejahteraan nelayan
b.2) Penguatan kelembagaan
Variabel-variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan
penguatan kelembagaan adalah organisasi nelayan (X11), lembaga keuangan
mikro (X12), dan lembaga pemerintahan (X13). Adapun model pengukuran
confirmatory factor analysis untuk penguatan kelembagaan dapat dilihat pada
gambar berikut .
Gambar 9 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan
Tingkat Kesejahteraan
Nelayan (Y)
Pendapatan Rumah Tangga (Y1)
Keadaan Tempat Tinggal (Y2)
Kondisi Kesehatan (Y3)
Penguatan Kelembagaan
(X1)
Organisasi Nelayan (X11)
Lembaga Keuangan MIkro (X12)
Lembaga Pemerintahan (X13)
101
b.3) Pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (X1)
Variabel-variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan
pemberdayaan SDM nelayan adalah penyelenggaraan penyuluhan (X21),
penyelenggaraan pelatihan (X22), dan penyelenggaraan pendidikan (X23).
Untuk membentuk faktor atau konstruk. Adapun model pengukuran confirmatory
factor analysis untuk pemberdayaan nelayan dapat dilihat pada Gambar berikut.
Gambar 10 Confirmatory factor analysis pemberdayaan SDM nelayan
b.4) Pengembangan kewirausahaan (X3)
Variabel-variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan
pengembangan kewirausahaan adalah nilai ketrampilan usaha (X31), praktek dan
pengalaman usaha (X32), dan adanya niat dalam berusaha (X33).
Gambar 11 Confirmatory factor analysis pengembangan kewirausahaan
Pemberdayaan Sumber Daya Nelayan (X2)
Pengadaan Penyuluhan (X21)
Penyelenggaraan Pelatihan (X22)
Penyelenggaraan Penyuluhan (X23)
Pengembangan Kewirausahaan
(X3)
Ketrampilan Usaha (X31)
Pengalaman Usaha (X32)
Niat Berusaha (X33)
102
c) Pemilihan matriks input dan estimasi model
Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari
matriks kovarian dan matriks korelasi. Dalam beberapa penelitian, matriks
kovarian lebih sering digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan
perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda.
Setelah model dispesifikasikan secara lengkap, langkah berikutnya adalah
memilih jenis input. Matriks input yang dipilih dalam penelitian ini adalah matrix
kovarians. Alasan memilih input data matrix covarians adalah karena matriks
covarians memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid
antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda. Selain itu matriks
covarians lebih sesuai untuk memvalidasi hubungan kausal.
Selanjutnya untuk memilih teknik analisis dengan mempertimbangkan
ukuran sampel. Setelah memilih matriks input, maka perangkat lunak (AMOS
atau AMOS) akan melakukan estimasi koefisien path. Dalam melakukan estimasi
model, ukuran sampel memegang peranan yang cukup penting. Teknik-teknik
estimasi yang tersedia adalah:
(a) Maximum LikelihoodEstimation (ML),
(b) Generalized Least Square Estimation (GLS),
(c) Unweighted Least Square Estimation (ULS),
(d) Scale Free Least Square Estimation (SLS), dan
(e) Symtotically Distribution-free Estimation (ADF).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Maximum Likelihood (ML).
c.1) Identifikasi Model
Masalah identifikasi merupakan masalah ketidakmampuan dari model yang
dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Masalah identifikasi dapat
muncul melalui gejala sebagai berikut:
a. Standard error untuk satu sampai beberapa koefisien sangat besar
b. Program tidak mampu menghasilkan matriks informasi yang seharusnya
c. Munculnya angka-angka yang tidak diinginkan, seperti varians error
yang negatif
d. Munculnya angka korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi
yang diperoleh
103
c.2) Asumsi-asumsi SEM yang harus dipenuhi
1. Ukuran sampel
Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan SEM adalah
minimum berjumlah 100, selanjutnya menggunakan perbandingan 5
observasi untuk setiap parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, bila
mengembangkan model dengan lebih 20 parameter maka minimum
digunakan 100 sampel.
2. Normalitas dan linearitas
Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas
terpenuhi sehingga data dapat diolah lebih lanjut dengan pemodelan SEM.
Normalitas dapat diuji dengan melihar gambar histogram data atau dapat
diuji dengan model statistik. Uji normalitas dilakukan dengan
menggunakan uji skewness yang menunjukkan bahwa hampir seluruh
variabel normal pada tingkat signifikansi 0,01 (1%). Hal ini terlihat pada
nilai CR dari skewness yang berada di bawah ± 2,58 (Arbuckle, 1997:78).
Nilai mutivariat pada uji normalitas adalah koefisien kurtosis multivariate,
apabila hasil yang diperoleh masih di bawah nila batas ± 2,58, ini berarti
bahwa ada data yang digunakan berdistribusi multivariat normal.
3. Outliners (data-data pencilan)
Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik
secara univariat maupun multivariat yaitu yang muncul karena kombinasi
karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari
observasi-observasi lainnya.
c.3) Menguji kelayakan model yang dikembangkan
1) Degree of freedom (derajat kebebasan)
Harus bernilai positif
2) Chi Square statistic ( 2χ ) dan probabilitas
Alat uji fundamental untuk mengukur overall fit adalah likelihood ratio chi
square statistic. Model ysng baik harus mempunyai chi square = 0 berarti
tidak ada perbedaan. Tingkat signifikan penerimaan yang
104
direkomendasikan adalah apabila p ≥ 0,05 (Hair et al., 1998:389) yang
berarti matriks input sebenarnya dengan matriks input yang diprediksi
tidak berbeda secara statistik.
3) CMIN/DF
CMIN/DF adalah ukuran yang diperoleh dari nilai chi-square dibagi
dengan degree of freedom. Menurut Hair et al. (1998:340) nilai yang
direkomendasikan untuk menerima kesesuian sebuah model adalah nilai
CMIN/DF yang lebih kecil atau sama dengan 2,0 atau 3,0.
4) Goodness of Fit Index (GFI)
Digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam
matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi
yang terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model
secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang yang
diprediksi dibandingkan dengan data yang sebenarnya. Nilai Goodness of
Fit Index biasanya dari 0 sampai 1. Semakin besar jumlah sampel
penelitian maka nilai GFI akan semakin besar. Nilai yang lebih baik
mendekati 1 mengindikasikan model yang diuji memiliki kesesuaian yang
baik (Hair et al., 1998:387) nilai GFI dikatakan baik adalah ≥ 0,90.
5) Tucker-Lewis Index (TLI)
TLI adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan
sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang
direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah
≥ 0,9 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit. TLI
merupakan index fit yang kurang dipengaruhi oleh ukuran sampel.
6) Comparative Fit Index (CFI)
CFI juga dikenal sebagai Bentler Comparative Index. CFI merupakan
indeks kesesuaian incremental yang juga membandingkan model yang
diuji dengan null model. Indeks ini dikatakan baik untuk mengukur
kesesuaian sebuah model karena tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel
105
(Hair et al., 1998:289). Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang
diuji memiliki kesesuian yang baik adalah apabila CFI ≥ 0,90.
7) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)
Nilai RMSEA menunjukkan goodness of fit yang diharapkan bila model
diestimasikan dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama
dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang
menunjukkan sebuah close fit dari model itu didasarkan degree of
freedom. RMSEA merupakan indeks pengukuran yang tidak dipengaruhi
oleh besarnya sampel sehingga biasanya indeks ini digunakan untuk
mengukur fit model pada jumlah sampel besar. Indeks-indeks yang
digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model dapat diringkas dalam
Tabel berikut.
Tabel 12 Goodness of Fit Index
Goodness of Fit Index Cut off Value Chi Square Diharapkan kecil Significance Probability ≥ 0.05 CMIN/DF ≤ 2 atau 3 GFI ≥ 0.90 TLI ≥ 0.95 CFI ≥ 0.95 RMSEA ≤ 0.08 -0.09
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji signifikansi regresi
berdasarkan uji F pada α = 0,05 pada masing-masing koefisien persamaan,
baik secara langsung maupun secara parsial. Setelah dilakukan pengujian
terhadap asumsi dasar SEM dan terhadap uji kesesuaian dan uji statistik,
langkah berikutnya adalah melakukan modifikasi terhadap model yang
tidak memenuhi syarat pengujian yang telah dilakukan. Setelah model
diestimasi, residualnya haruslah kecil atau mendekati nol dan distribusi
frekuensi dari kovarians residual harus bersifat simetrik (Tabaknick and
Fidell, 1997). Hair et al. (1998) memberikan sebuah pedoman untuk
mempertimbangkan perlu tidaknya modifikasi terhadap sebuah model,
yaitu dengan melihat sejumlah residual yang dihasilkan oleh model. Bila
jumlah residual lebih besar dari 5% dari semua residual kovarians yang
106
dihasilkan oleh model, maka modifikasi perlu dipertimbangkan. Bila
ditemukan nilai residual yang dihasilkan oleh model cukup besar (>2,58),
maka cara lain dalam memodifikasi adalah dengan mempertimbangkan
untuk menambah jalur baru terhadap model yang diestimasi.
Nilai residual lebih besar atau sama dengan 2,58 diinterpretasikan sebagai
signifikan secara statistik pada tingkat 5% dan residual yang signifikan ini
menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang
indikator.
3.4.4 Analisis SWOT
Budiharsono (2003) menyebutkan bahwa salah satu metoda yang bisa
digunakan untuk menentukan kebijakan, adalah metoda analisis SWOT (Strength-
Weaknesses-Opportunities-Threats). Dengan analisis ini akan ditentukan
kebijakan yang diperlukan didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan terhadap implementasi program-program pemberdayaan yang sudah
dilaksanakan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT
adalah sebagai berikut :
1) Identifikasi kekuatan/kelemahan dan peluang/ancaman
Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi faktual di lapangan dan
kecenderungan yang mungkin terjadi untuk mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi program pemberdayaan
yang sudah dilaksanakan pada beberapa wilayah kajian.
2) Analisis SWOT dan alternatif kebijakan hasil analisis SWOT
Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis hubungan keterkaitan untuk
memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO dan WT). Untuk
mendapatkan prioritas kebijakan, maka dilakukan pemberian bobot (nilai)
berdasarkan tingkat kepentingan.
3) Analisis kebijakan
3.5 Pendekatan Penelitian
Dari alur pelaksanaan penelitian dapat dijelaskan bahwa analisis yag dilakukan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 12 sebagai berikut :
107
Gambar 12 Pendekatan Penelitian
ANALISIS POTENSI EKONOMI
KEADAAN POTENSI PERIKANAN
Analysis Structural Equation Modeling (SEM)
KESEJAHTERAAN NELAYAN PERIKANAN
TANGKAP SKALA KECIL
PEMBERDAYAAN
Penyelenggaraan Penyuluhan, Pelatihan dan Pendidikan
KELEMBAGAAN
Organisasi nelayan, Lembaga keuangan mikro dan Lembaga Pemerintahan
KEWIRAUSAHAAN
Adanya ketrampilan usaha, praktek dan pengalaman usaha, niat berusaha
ANALISIS SWOT
Rekomendasi Kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil
108
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Pada tahun 2001 wilayah Kepulauan Seribu telah ditetapkan menjadi
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, sehingga hal ini telah menjadikan
Kepulauan Seribu sebagai satu-satunya Kabupaten yang ada di wilayah Propinsi
DKI Jakarta. Wilayah ini terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta. Kepulauan
Seribu dapat dikatakan memiliki karakteristik dan potensi alam yang berbeda
dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta yang lain, karena wilayah ini terdiri
dari gugusan pulau-pulau terumbu karang dimana sebagian besar terumbu karang
yang ada masih mengalami pertumbuhan.
Secara administrasi luas wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu adalah meliputi 869,61 Ha, yang terbagi menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan,
dengan 6 kelurahan dan 110 pulau. Sementara itu apabila ditinjau dari aspek
geografisnya, topografi wilayah Kepulauan Seribu rata-rata termasuk landai (0-15
persen dengan ketinggian 0-2 meter di bawah permukaan laut), dimana luas
daratan masing-masing pulau dipengaruhi oleh adanya pasang surut yang
mencapai ketinggian 1-15 meter di atas Pelabuhan Tanjung Priok.
Secara fisik wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibatasi
oleh Laut Jawa/Selat Sunda di sebelah utara dan Laut Jawa di sebelah timur.
Sementara itu, di sebelah selatan wilayah ini berbatasan dengan Kecamatan
Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing, dan
Tangerang (Banten). Sedangkan, di sebelah barat wilayah Kepulauan Seribu
berbatasan langsung dengan Laut Jawa/Selat Sunda. Pada umumnya, keadaan
geologi di Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan kapur, karang/pasir dan
sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa, terdiri dari susunan
bebatuan malihan/metamorfosa dan batuan beku, di atas batuan dasar diendapkan
sedimen epiklastik, batu gamping, batu lempung yang menjadi dasar pertumbuhan
gamping terumbu Kepulauan Seribu.
109
4.1 Profil Wilayah
4.1.1 Jumlah Penduduk dan Ratio Jenis Kelamin
Pada tahun 2007 penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu berjumlah
20.043 jiwa. Jumlah tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 0,63 persen jika
dibandingkan dengan tahun 2006 yang berjumlah hanya 19.916 jiwa. Tingkat
pertumbuhan tersebut masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk secara nasional yang mencapai angka 1,34 persen pada
tahun 2006.
Sedangkan, apabila dilihat per kecamatan dapat diketahui bahwa
pertumbuhan penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan adalah relatif
lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, yaitu
sebesar 0,82 persen.
Sementara itu, apabila ditinjau berdasarkan jenis kelaminnya, tampak
bahwa secara umum di Kabupaten Kepulauan Seribu jumlah penduduk yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah hampir sama. Meskipun
demikian, masih tetap dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk yang berjenis
kelamin lebih cepat bila dibandingkan dengan penduduk yang berjenis kelamin
perempuan, terutama di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu sebesar 1,04
persen. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang
ada di Kabupaten Kepulauan Seribu tersebut apabila mampu dimanfaatkan secara
optimal terutama sebagai pelaku pembangunan, maka akan dapat menguntungkan
daerah yang bersangkutan. Hal ini karena jumlah penduduk yang besar tersebut
dapat diberdayakan menjadi salah satu modal dasar dalam pelaksanaan
pembangunan wilayah setempat.
Rasio jenis kelamin menggambarkan perbandingan banyaknya penduduk
di suatu wilayah antara yang berjenis kelamin laki-laki dengan penduduk yang
berjenis kelamin perempuan. Semakin banyak penduduk yang berjenis kelamin
laki-laki di suatu wilayah berarti semakin banyak tersedia tenaga kerja yang
nantinya dapat dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena penduduk yang berjenis
kelamin laki-laki dapat dikatakan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang
berjenis kelamin perempuan.
110
Berdasarkan tabel berikut dapat diketahui bahwa rasio jenis kelamin
penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu adalah sebesar 102. Hal ini
menggambarkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu yang
berjenis kelamin laki-laki adalah sedikit lebih banyak jika dibandingkan
dibandingkan dengan penduduk yang berjenis kelamin perempuan.
Tabel 13a Rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu menurut kecamatan tahun 2006-2007
Sex Ratio No. Kelurahan
2006 2007 (1) (2) (3) (4) 1 Kec. Kep. Seribu Selatan 98 99 a. Pulau Tidung 95 96 b. Pulau Pari 98 99 c. Pulau Untung Jawa 105 105 2 Kec. Kep. Seribu Utara 105 105 a. Pulau Panggang 104 104 b. Pulau Kelapa 106 106 c. Pulau Harapan 105 105
Kepulauan Seribu 102 102 Sumber : BPS (2008) Sedangkan, apabila ditinjau per kecamatan dapat dilihat bahwa hingga
tahun 2007 penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang berjenis
kelamin laki-laki jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan penduduk
perempuannya. Hal ini tampak dari nilai rasio jenis kelaminnya, yaitu sebesar 98
pada tahun 2006 dan 99 di tahun 2007. Akan tetapi, kondisi yang berlawanan
justru terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dimana nilai rasio jenis
kelaminnya adalah sebesar 105 baik untuk tahun 2006 maupun tahun 2007. Hal
ini menggambarkan bahwa penduduk kecamatan tersebut yang berjenis kelamin
laki-laki jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk
yang berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan kondisi tersebut, tampak bahwa untuk wilayah Kepulauan
Seribu secara umum dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara pada khususnya
memiliki penduduk laki-laki yang lebih banyak daripada penduduk yang berjenis
kelamin perempuan. Oleh karena itu, kondisi seperti ini seharusnya dapat
111
dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin karena dengan jumlah penduduk laki-
laki yang lebih besar ini berarti tersedia lebih banyak tenaga kerja yang dapat
diandalkan sehingga mampu meningkatkan produktivitas dari kegiatan
pembangunan yang dilakukan di wilayah tersebut.
4.1.2 Kepadatan Penduduk
Selain dari indikator jumlah dan pertumbuhan penduduknya,
perkembangan variabel kependudukan juga dapat ditinjau dari segi indikator
kepadatan penduduknya. Penyebaran penduduk yang tidak merata perlu mendapat
perhatian karena berkaitan dengan daya dukung terhadap lingkungan. Penyebaran
penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu secara geografis dapat dikatakan masih
belum merata. Hingga tahun 2007 penduduk yang tinggal di wilayah Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara ada sebanyak 11.920 jiwa atau sekitar 59,5 persen dari
penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu sedangkan yang tinggal di wilayah
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ada sebanyak 8.123 jiwa atau sekitar 40,5
persen.
Selanjutnya, apabila dilihat dari kepadatan penduduknya tampak bahwa
dengan luas wilayah yang mencapai sekitar 869,61 Ha, pada tahun 2006
kepadatan penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu adalah 2,290 jiwa/km2 dan
terus mengalami peningkatan pada tahun 2007 yaitu menjadi sebesar 2,305
jiwa/km2.
Tabel 13b Kepadatan penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) No. Kelurahan
2006 2007 (1) (2) (3) (4) 1 Kec. Kep. Seribu Selatan 2,647 2,669 a. Pulau Tidung 3,849 3,884 b. Pulau Pari 2,271 2,296 c. Pulau Untung Jawa 1,743 1,750 2 Kec. Kep. Seribu Utara 2,098 2,109 a. Pulau Panggang 7,200 7,230 b. Pulau Kelapa 2,099 2,106 c. Pulau Harapan 803 812
Kepulauan Seribu 2,290 2,305 Sumber : BPS (2008)
112
Berdasarkan tabel yang sama juga terlihat bahwa Kecamatan Kepulauan
Seribu Selatan memiliki tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara. Kepadatan yang lebih tinggi di wilayah Kecamatan Kepulauan
Seribu Selatan ini disebabkan karena daerah tersebut memiliki daya tarik sosial
ekonomi yang cukup tinggi yaitu merupakan pusat perekonomian terutama
industri. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase penggunaan lahan di
wilayah tersebut yang digunakan untuk kegiatan industri dan perumahan bila
dibandingkan dengan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu sekitar 34,40
persen untuk industri dan 27,45 persen untuk perumahan.
Berdasarkan kondisi yang telah dipaparkan, apabila peningkatan jumlah
penduduk yang terjadi di Kabupaten Kepuluan Seribu tersebut tidak diimbangi
dengan pemerataan lokasi daerah tempat tinggalnya maka akan dapat
menyebabkan penduduk-penduduk tersebut hanya terkonsentrasi di wilayah-
wilayah tertentu sehingga daya dukung terhadap lingkungan juga menjadi
terganggu.
4.1.3 Fertilitas dan Keluarga Berencana
Salah satu masalah kependudukan di Indonesia dewasa ini adalah
bagaimana menurunkan tingkat fertilitas ke tingkat yang lebih rendah. Hal
tersebut di perlukan karena kelahiran adalah salah satu komponen yang
mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Dengan adanya penurunan pada
gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan.
4.1.3.1 Angka kelahiran kasar (CBR)
Program Pemerintah melalui Keluarga Berencana tidak hanya bertujuan
menurunkan tingkat fertilitas tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga dan menanamkan norma tentang keluarga kecil bahagia
sejahtera. Upaya pemerintah tersebut di atas telah berhasil menurunkan tingkat
fertilitas di Indonesia secara umum. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai sumber
data antara lain angka kelahiran kasar (Crude Birth Rate=CBR).
Di Kabupaten Kepulauan Seribu angka CBR pada tahun 2006 adalah
sebesar 3.35 dan selanjutnya mengalami penurunan menjadi 1.39 di tahun 2007.
113
Angka ini menunjukkan bahwa jumlah kelahiran yang terjadi di Kabupaten
Kepulauan Seribu selama tahun 2006 adalah sebanyak 335 jiwa per 10.000
penduduk dan mengalami penurunan menjadi 139 jiwa per 10.000 penduduk. Hal
ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat terhadap program pemerintah
dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas semakin meningkat.
Tabel 14 Angka kelahiran kasar Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007
Jumlah Kelahiran CBR No. Kelurahan
2006 2007 2006 2007 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Kec. Kep. Seribu Selatan 146 78 1.46 0.78
a. Pulau Tidung 54 43 0.54 0.43 b. Pulau Pari 23 26 0.23 0.26 c. Pulau Untung Jawa 69 9 0.69 0.09 2 Kec. Kep. Seribu Utara 189 61 1.89 0.61 a. Pulau Panggang 82 19 0.82 0.19 b. Pulau Kelapa 62 23 0.62 0.23 c. Pulau Harapan 45 19 0.45 0.19
Kepulauan Seribu 335 139 3.35 1.39 Sumber : BPS (2008)
4.1.3.2 Tingkat partisipasi keluarga berencana
Selain itu, turunnya angka kelahiran kasar (CBR) di wilayah Kabupaten
Kepulauan Seribu tersebut juga dapat dikaitkan dengan tingkat partisipasi
masyarakat setempat terhadap program KB. Dari tabel 16 berikut dapat diketahui
bahwa pada tahun 2007 secara umum tingkat partisipasi KB masyarakat
Kabupaten Kepulauan Seribu sudah cukup baik, yaitu telah mencapai sebesar
74,99 persen.
Sedangkan, apabila ditinjau per kecamatan dapat diketahui bahwa
partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu
Selatan terhadap program KB adalah sebesar 95,64 persen, yaitu jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara yang tingkat partisipasinya hanya mencapai 63,30 persen. Fenomena
ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat Kecamatan Kepulauan
114
Seribu Selatan akan pentingnya program penurunan fertilitas jauh lebih baik
daripada masyarakat Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
Tabel 15 Tingkat partisipasi KB di Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2007
No. Kelurahan Jumlah PUS
Jumlah Peserta
KB
Tingkat Partisipasi
KB (%)
(1) (2) (3) (4) (5) 1 Kec. Kep. Seribu Sel 1,283 1,227 95.64 a. Pulau Tidung 732 725 99.04 b. Pulau Pari 231 223 96.54 c. Pulau Untung Jawa 320 279 87.19 2 Kec. Kep. Seribu Utara 2,267 1,435 63.30 a. Pulau Panggang 976 577 59.12 b. Pulau Kelapa 1,055 638 60.47 c. Pulau Harapan 236 220 93.22
Kepulauan Seribu 3,550 2,662 74.99 Sumber : BPS (2008)
4.1.3.3 Angka kematian kasar (CDR)
Disamping tingkat kelahiran dan migrasi, salah satu faktor yang
mempengaruhi dinamika geografis adalah kematian. Tingkat kematian yang
terjadi umumnya berbeda menurut golongan umur, jenis kelamin maupun kondisi
sosial ekonomi penduduk. Dengan demikian tingkat kematian yang terjadi di
suatu wilayah sering dihubungkan dengan kemajuan sosial ekonomi di wilayah
tersebut. Salah satu ukuran kematian yang paling sederhana adalah berupa angka
kematian kasar (Crude Death Rate=CDR).
Pada tahun 2007 tampak bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki
tingkat kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2006, yaitu
sebesar 0,32 yang artinya jumlah kematian yang terjadi di wilayah Kabupaten
Kepulauan Seribu pada tahun 2007 adalah sebanyak 32 jiwa per 10.000 penduduk.
Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat dilihat bahwa pada
tahun 2007 wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki tingkat
kematian yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara. Jumlah kematian yang terjadi di Kecamatan Kepulauan
115
Seribu Selatan pada tahun 2006 adalah sebanyak 19 jiwa per 10.000 penduduk.
Kondisi seperti ini dapat terjadi karena jumlah fasilitas kesehatan yang terdapat di
wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara lebih banyak bila dibandingkan
dengan fasilitas kesehatan yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.
Tabel 16 Angka kematian kasar Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007
Jumlah Kematian CDR No. Kelurahan
2006 2007 2006 2007 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Kec. Kep. Seribu Selatan 15 19 0.15 0.19
a. Pulau Tidung 5 9 0.05 0.09 b. Pulau Pari 3 4 0.03 0.04 c. Pulau Untung Jawa 7 6 0.07 0.06 2 Kec. Kep. Seribu Utara 15 13 0.15 0.13 a. Pulau Panggang 3 4 0.03 0.04 b. Pulau Kelapa 7 6 0.07 0.06 c. Pulau Harapan 5 3 0.05 0.03
Kepulauan Seribu 30 32 0.30 0.32 Sumber : BPS (2008)
4.1.3.4 Angka harapan hidup
Disamping fertilitas dan mortalitas, indikator lain yang dapat digunakan
untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat adalah angka harapan hidup
(AHH). Angka Harapan Hidup (AHH) atau Life Expectancy (LE) menunjukkan
rata-rata umur penduduk mulai lahir sampai dengan akhir hidupnya. Faktor yang
mempengaruhi perubahan AHH dapat ditinjau dari beberapa hal seperti kondisi
lingkungan dan status sosial ekonomi penduduk, ketersediaan fasilitas dan tenaga
kesehatan, status gizi dan lain-lain. Oleh karena itu AHH cukup representatif
digunakan sebagai indikator dalam menilai tingkat kesejahteraan penduduk
khususnya di bidang kesehatan.
Berdasarkan tabel 18 dapat diketahui bahwa selama kurun waktu tahun
2004-2006 angka harapan hidup di Kabupaten Kepulauan Seribu mengalami
peningkatan, yaitu meningkat dari 69,3 tahun pada tahun 2004 menjadi 69,7 tahun
pada tahun 2005. Begitu pula pada tahun 2006, angka harapan hidup di Kabupaten
116
Kepulauan Seribu juga semakin mengalami peningkatan yaitu menjadi 70,1 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat atau kualitas penduduk
Kabupaten Kepulauan Seribu di sektor kesehatan semakin baik.
Tabel 17 Angka harapan hidup Propinsi DKI Jakarta tahun 2004-2006
Angka Harapan Hidup (Tahun) Kab/Kota
2004 2005 2006 (1) (2) (3) (4)
Kab. Kepulauan Seribu 69.3 69.7 70.1 Kota Jakarta Selatan 72.1 72.4 72.8 Kota Jakarta Timur 72.5 72.5 72.6 Kota Jakarta Pusat 71.0 71.3 71.8 Kota Jakarta Barat 72.6 72.6 72.8 Kota Jakarta Utara 72.2 72.2 72.3
Prop. DKI Jakarta 72.4 72.5 72.6 Sumber : BPS (2007)
Meskipun selama kurun waktu dari tahun 2004 sampai tahun 2006 kondisi
angka harapan hidup masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu terus mengalami
peningkatan, akan tetapi angka tersebut masih tetap lebih rendah bila
dibandingkan dengan angka harapan hidup di tingkat Propinsi DKI Jakarta secara
umum, yaitu yang mencapai hingga 72,6 tahun pada tahun 2006. Ini menunjukkan
bahwa kondisi kesehatan masyarakat atau penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu
tersebut masih berada di bawah kondisi masyarakat DKI Jakarta secara umum.
Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kondisi secara umum yang ada
di Indonesia dengan AHH nasional pada tahun 2005 dan 2006 yang masing-
masing hanya mencapai 69,0 tahun dan 69,4 tahun maka angka harapan hidup
penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan sedikit lebih tinggi. Hal
ini dapat menunjukkan bahwa sebenarnya secara umum meskipun dibandingkan
dengan masyarakat DKI Jakarta kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten
Kepulauan Seribu lebih rendah, akan tetapi bila dibandingkan dengan wilayah
nasional kualitas kesehatannya masih hampir sama.
4.1.4 Pendidikan
Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai
dengan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan
hasil kerja atau kinerja yang berkualitas secara perorangan atau kelompok.
117
Beberapa cara untuk menampilkan hasil kerja produktif diantaranya dengan
mengasah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang umumnya dapat
diperoleh melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat
kemajuan suatu masyarakat. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, biasanya
wawasan maupun pengetahuan masyarakat juga akan semakin luas dan
meningkat. Sementara itu, sampai saat ini telah terdapat berbagai macam indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan masyarakat di suatu
wilayah, antara lain angka partisipasi murni (APM), angka partisipasi kasar
(APK) dan rasio murid guru.
4.1.4.1 Angka partisipasi murni (APM)
Angka partisipasi murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah
tepat waktu, yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan yaitu SD untuk
penduduk usia 7-12 tahun, SMP untuk penduduk usia 13-15 tahun dan SMA
untuk penduduk usia 16-18 tahun.
Semakin tinggi angka partisipasi murni (APM) berarti semakin banyak
anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah di tingkat pendidikan tertentu.
Standar ideal untuk APM adalah mendekati 100.
Tabel 18 Angka partisipasi murni Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007
APM SD APM SMP APM SMA APM SD APM SMP APM SMA(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)1 Kep. Seribu Selatan 97.10 86.21 56.25 96.49 78.79 38.71
2 Kep. Seribu Utara 92.31 80.65 64.15 94.87 79.17 60.47
93.87 82.42 61.18 95.40 79.01 51.35Kepulauan Seribu
Tahun 2006 Tahun 2007No. Kecamatan
Sumber : BPS (2007)
Berdasarkan tabel 19 di atas dapat diketahui bahwa selama tahun 2006 dan
2007 APM tertinggi di Kabupaten Kepulauan Seribu terjadi di level SD,
kemudian SMP dan SMA. Angka partisipasi murni (APM) SD di Kabupaten
Kepulauan Seribu secara keseluruhan telah mendekati standar, yaitu sebesar 93,87
di tahun 2006 dan sebesar 95,40 pada tahun 2007. Sedangkan apabila ditinjau per
kecamatan tampak bahwa APM SD di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
menunjukkan angka yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan APM SD di
118
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Akan tetapi, di sisi lain untuk APM SMP dan
SMA di Kabupaten Kepulauan Seribu secara keseluruhan terlihat bahwa masih
jauh di bawah standar nasional dimana APM untuk SMP 82,42 pada tahun 2006
dan 79,01 pada tahun 2007 sedangkan APM untuk SMA 61,18 pada tahun 2006
dan 51,35 pada tahun 2007.
Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, APM SD di Kabupaten
Kepulauan Seribu mengalami peningkatan sebesar 1,53 pada tahun 2007.
Sedangkan, APM SMP dan APM SMA sama-sama mengalami penurunan pada
tahun 2007, yaitu masing-masing sebesar 3,41 dan 9,83. Penurunan angka APM
SMA yang cukup besar ini karena sangat dipengaruhi oleh penurunan APM SMA
yang terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan pada tahun 2007 bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 17,54.
Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum sampai dengan tahun 2007
partisipasi sebagian besar penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu terhadap
pendidikan hanya sampai dengan tingkat SD dimana hal ini ditunjukkan dengan
nilai APM yang mendekati 100. Sedangkan, hanya sebagian kecil yang partisipasi
pendidikannya sampai dengan tingkat SMP dan SMA, yang ditunjukkan dengan
nilai APM SMP dan SMA yang masih jauh dari angka 100.
4.1.4.2 Rasio murid terhadap guru
Sementara itu, selain angka partisipasi murni (APM), rasio murid terhadap
guru juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator pendidikan di suatu
wilayah. Semakin tinggi rasio murid guru berarti semakin banyak siswa yang
harus dilayani oleh seorang guru atau hal ini dapat diartikan semakin kurang
jumlah guru di suatu daerah. Standar rasio murid per guru adalah 40 untuk SD, 21
untuk SMP dan SMU.
Tabel 19 Rasio murid terhadap guru tahun 2004 dan tahun 2006
Tahun 2004 Tahun 2006 No. Kecamatan SD SLTP SMU SD SLTP SMU (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 Kep. Seribu Sel. 33 19 13 14 11 8 2 Kep. Seribu Utara 19 20 9 33 19 13
Kepulauan Seribu 26 20 11 22 14 11 Sumber : BPS (2007)
119
Tabel 20 di atas menunjukkan bahwa jumlah tenaga guru yang terdapat di
wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 sudah lebih banyak bila
dibandingkan dengan jumlah guru yang berada di wilayah tersebut pada tahun
2004. Selain itu, data tersebut juga dapat menunjukkan bahwa hingga pada tahun
2006 tenaga guru yang berada di Kabupaten Kepulauan Seribu secara umum
sudah mencukupi, dimana rasio murid per guru di wilayah tersebut adalah 22
untuk SD, 14 untuk SLTP dan 11 untuk SMU.
4.1.5 Ketenagakerjaan
Hampir di semua negara saat ini, masalah ketenagakerjaan atau
perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun
berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Di
negara berkembang umumnya masalah ketenagakerjaan berkaitan dengan
kelangkaan/sempitnya peluang atau kesempatan kerja, tingginya angka
pengangguran, rendahnya kemampuan SDM atau tenaga kerja, tingkat gaji yang
rendah dan masalah jaminan sosial nyaris tidak ada.
Sementara itu, masalah kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika
muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon buruh yang banyak sedangkan
lapangan usaha yang tersedia relatif sedikit atau banyaknya lapangan kerja namun
kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang
dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerjaan ini dapat memunculkan angka tingkat
pengangguran yang tinggi yang selanjutnya dapat berakibat pada aspek sosial
yang lebih luas.
Seperti halnya masalah ketenagakerjaan yang terjadi secara luas tersebut,
dalam lingkup atau cakupan wilayah yang lebih kecil seperti Kabupaten
Kepulauan Seribu juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan
kondisi ketenagakerjaan secara umum.
Berdasarkan tabel 20 dapat digambarkan keadaan kesempatan kerja yang
ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007. Dari tabel tersebut
tampak bahwa terdapat cukup banyak jumlah angkatan kerja yang terdapat di
wilayah tersebut. Secara keseluruhan di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu
terdapat 7.727 angkatan kerja, dimana sekitar 75,91 persen adalah berjenis
kelamin laki-laki dan sisanya berjenis kelamin perempuan. Jumlah angkatan kerja
120
tersebut telah mencapai 59,09 persen dari jumlah penduduk usia kerja yang
terdapat di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu.
Selain itu, berdasarkan data yang terdapat pada tabel 22 tersebut juga
dapat dilihat bahwa dari sebanyak 7.727 angkatan kerja yang ada di wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu 87,95 persen diantaranya adalah telah berstatus
bekerja. Sedangkan, apabila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta dan
Indonesia secara keseluruhan, tingkat kesempatan kerja penduduk Kabupaten
Kepulauan Seribu dapat dikatakan masih relatif lebih tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu yang bekerja jumlahnya
sudah cukup banyak.
Tabel 20 Keadaan ketenagakerjaan dan pengangguran di tahun 2007
Laki-laki Perempuan L+P Laki-laki Perempuan L+P Laki-laki Perempuan L+P(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1. Penduduk usia kerja 6,988 6,089 13,077 3,377,321 3,389,602 6,766,923 82,079,391 82,038,932 164,118,3232. Jumlah Angkatan kerja 5,866 1,861 7,727 2,773,032 1,622,292 4,395,324 68,719,887 41,221,472 109,941,3593. Jumlah penduduk yang bekerja 5,216 1,580 6,796 2,436,549 1,406,395 3,842,944 63,147,938 36,782,279 99,930,2174. Jumlah pengangguran 650 281 931 336,483 215,897 552,380 5,571,949 4,439,193 10,011,1425. % bekerja terhadap angkatan kerja 88.92 84.90 87.95 87.87 86.69 87.43 83.72 50.25 66.996. Tingkat pengangguran terbuka (%) 11.08 15.10 12.05 12.13 13.31 12.57 8.11 10.77 9.11
Uraian Kepulauan Seribu DKI Jakarta Indonesia
Sumber : BPS (2008)
Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah
ketenagakerjaan yang banyak terjadi salah satunya adalah pengangguran. Sesuai
dengan data yang terdapat dalam tabel 15 juga tampak bahwa secara umum
tingkat pengangguran terbuka yang terjadi di wilayah Kabupaten Kepulauan
Seribu pada tahun 2007 mencapai 12,05 persen. Secara lebih lanjut, apabila
ditinjau menurut jenis kelamin terlihat bahwa pada tahun 2007 di wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu terdapat sekitar 15,10 persen penganggur terbuka
yang berjenis kelamin perempuan, sedangkan penganggur yang berjenis kelamin
laki-laki terdapat sekitar 11,08 persen. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya
laki-laki merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab memberikan nafkah
bagi keluarganya, dimana untuk dapat memperoleh nafkah tersebut harus dengan
cara bekerja.
Apabila dibandingkan dengan kondisi yang ada di DKI Jakarta terlihat
bahwa tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Kepulauan Seribu masih
sedikit lebih rendah. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kondisi yang ada
121
di Indonesia secara umum terlihat bahwa tingkat pengangguran yang terjadi di
Kabupaten Kepulauan Seribu masih jauh lebih tinggi. Berdasarkan penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa masih cukup tingginya angka pengangguran di
wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu tersebut sebagai akibat dari masih
terbatasnya lapangan pekerjaan yang terdapat di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dari saksono (2008) yang melakukan survei
terhadap 100 responden yang merupakan pemangku kepentingan di bidang
perikanan, diperoleh data bahwa masyarakat Kepulauan Seribu melakukan
kegiatan penangkapan ikan sebanyak 45% dan kegiatan pembudidayaan ikan
berkisar sebesar 23%. Sehingga sebanyak 68 % penduduk Kepulauan Seribu
berprofesi sebagai nelayan sedangkan sisanya sebanyak 32% memilih melakukan
berbagai kegiatan lainnya di berbagai sektor, seperti pariwisata, jasa angkutan,
pegawai negeri, dan usaha perikanan yang dimulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan hingga pemasaran.
4.1.6 Jenis dan sumber alat tangkap nelayan
Masyarakat Kepulauan Seribu dalam melaksanakan profesi penangkapan
ikan dilakukan dengan berbagai jenis alat tangkap. Berdasarkan hasil penelitian
dari saksono (2008) yang melakukan survei terhadap 100 responden nelayan
dan/atau nelayan kecil, diperoleh data bahwa penggunaan alat tangkap yang
sangat dominan adalah alat tangkap lainnya, yakni sebesar 26% (Tabel 21).
Tabel 21 Komposisi alat penangkapan ikan di Kepulauan Seribu
Jenis Alat Tangkap Jumlah (%) Keterangan
1. Jaring Gebur 11,002. Pancing 25,003. Pancing Cumi 8,004. Jaring (Payang/Rampus) 12,005. Sistem Kompresor 12,006. Sero 6,007. Peralatan Lainnya 26,00
Peralatan Lainnya adalah alat-alat tangkap dari luar yang beroperasi di kawasan Kepulauan Seribu, seperti: Pukat Pantai, Trawl, dll.
Sumber: Saksono 2008. Memperhatikan tabel 21 jenis alat penangkapan lainnya yang tidak
termasuk dalam kelompok alat tangkap jenis jaring dan alat tangkap pancing,
seperti bubu mempunyai porsi paling besar yaitu 26 % sedangkan pancing
122
merupakan alat tangkap yang paling dominan digunakan nelayan dan/atau nelayan
kecil di perairan Kepulauan Seribu, yakni sebesar 32%.
Para nelayan Kepulauan Seribu biasanya mengusahakan alat tangkap
buatannya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian dari saksono (2008) yang
melakukan survei terhadap 100 responden nelayan dan/atau nelayan kecil,
terdapat 31% nelayan membuat sendiri peralatan untuk penangkapan ikan. Namun
demikian, pada umumnya nelayan membeli alat tangkap kemudian melakukan
modifikasi, yakni sebesar 55%. Nelayan yang menggunakan alat pancing dengan
membeli jadi hanya sekitar 14%.
4.1.7 Sistem pembelian alat tangkap oleh nelayan
Ditinjau dari aspek sistem pembayaran terhadap pembelian alat tangkap
yang dilakukan para nelayan dan/atau nelayan kecil, berdasarkan penelitian
saksono (2008) sebanyak 56 % nelayan melakukan pembayaran kontan atas setiap
alat tangkap yang dibeli. Selain itu, terdapat pula 37% nelayan dan/atau nelayan
kecil yang melakukan pembayaran alat tangkap yang telah dibelinya dengan
sistem cicilan atau kredit. Nelayan yang melakukan pembayaran dengan hasil
tangkapan hanya berkisar 7%.
Fenomena diatas mengindikasikan bahwa perekonomian masyarakat di
wilayah Kepulauan Seribu pada umumnya relatif baik, karena para nelayan sudah
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan memiliki modal untuk
mengembangkan usahanya.
Tabel 22 Pengusahaan alat penangkapan ikan di Kepulauan Seribu
Pengusahaan Alat Tangkap Jumlah (%) Keterangan
1. Cara Pengusahaan a. Dibuat sendiri 31,00 b. Dibeli siap pakai 14,00 c. Dibeli lalu dimodifikasi 55,00
2. Sistem Pembayaran a. Bayar kontan 56,00 b. Bayar cicilan 37,00 c. Dibayar dari hasil tangkapan 7,00
Alat tangkap pada umumnya dibeli di pasar ikan.
3. Kisaran Harga a. < Rp 500.000,00 45,00 b. Rp 500.000,00 – Rp 1.000.000,00 36,00 c. > Rp 1.000.000,00 19,00
Alat tangkap jaring dibeli dengan harga cukup murah kemudian dimodifikasi
Sumber: Saksono (2008)
123
4.1.8 Pemasaran hasil perikanan
Hasil penelitian saksono pada tahun 2008 menunjukkan bahwa dalam
perspektif perikanan tangkap, lokasi pemasaran hasil tangkapan nelayan yang
potensial adalah langsung di wilayah Kepulauan Seribu (45 %) dan Muara Angke
(35 %), sedangkan sistem transaksi terbaik dalam pemasarannya adalah
pembayaran kontan (83 %) sebagaimana disajikan pada tabel 23
Tabel 23 Pemasaran hasil perikanan tangkap di Kepulauan Seribu
Pemasaran Hasil Jumlah (%) Keterangan
1. Tujuan Lokasi Pemasaran a. Muara Angke 35,00 b. Kalibaru 20,00 c. Di tempat (wilayah Kep. Seribu) 45,00
2. Sistem Pembayaran Hasil Tangkap a. Bayar kontan 83,00 b. Bayar cicilan 13,00 c. Cara pembayaran lainnya 4,00
Pembayaran kontan sangat umum dilakukan. Pembayaran cicilan hanya dilakukan bila ada kesepakatan dengan pembeli
Sumber: Saksono (2008)
Sedangkan pemasaran hasil perikanan budidaya sebagian besar dilakukan di
Muara Angke (tabel 24)
Tabel 24 Pemasaran hasil perikanan budidaya di Kepulauan Seribu
Pemasaran Hasil Jumlah (%) Keterangan
1. Tujuan Lokasi Pemasaran a. Muara Angke 46,00 b. Kalibaru 36,00 c. Di tempat (wilayah Kep. Seribu) 18,00
Jual sendiri banyak dipilih karena dianggap lebih menguntungkan
2. Sistem Pembayaran Hasil Budidaya a. Bayar kontan 78,00 b. Bayar cicilan 16,00 c. Cara pembayaran lainnya 6,00
Pembayaran kontan sangat umum dilakukan meskipun kepada pelanggan tetap.
Sumber: Saksono (2008)
4.1.9 Transportasi penduduk
Seiring dengan kegiatan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya,
maka aksesibilitas masyarakat dan/atau nelayan dalam memasarkan hasil
124
tangkapan maupun produk budidaya perikanan memerlukan sarana transportasi.
Hasil survei dari saksono (2008) sebagai sarana transportasi dari wilayah
Kepulauan Seribu ke Jakarta melalui pelabuhan Muara Angke dan sebaliknya,
pada umumnya (87%) menggunakan sarana angkutan rakyat berupa kapal motor
yang berfungsi sebagai angkutan umum antarpulau dan hanya 13% yang
memanfaatkan sarana kapal cepat.
Hal ini sangat menyulitkan bagi percepatan kegiatan masyarakat di
Kepulauan Seribu. Dalam konteks sarana transportasi, terdapat beberapa
kesulitan, yakni jadwal keberangkatan yang rata-rata hanya 2 (dua) kali sehari,
rendahnya sistem keamanan dan keselamatan pelayaran, terbatasnya kapasitas
muat, dan lamanya waktu tempuh baik antarpulau dalam wilayah Kepulauan
Seribu maupun dari Kepulauan Seribu ke Jakarta (Muara Angke).
4.2 Struktur Ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu
Besaran PDRB sering digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja
perekonomian suatu wilayah, terutama yang dikaitkan dengan kemampuan suatu
daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Kenaikan produksi dan
harga barang dan jasa merupakan faktor penyebab utama kenaikan nilai PDRB.
Perkembangan PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu selama 6 tahun terakhir
cukup stabil yang terlohat pada tabel 26.
Pada tahun 2006, PDRB atas dasar harga berlaku mencapai 2,634 trilyun
rupiah yang berarti mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2005
dan 2004 yang berada pada angka 1,534 trilyun rupiah dan 2,151 trilyun rupiah.
Peningkatan nilai tambah ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan produksi, akan
tetapi juga disebabkan oleh kenaikan harga yang signifikan terutama harga
minyak dan gas bumi. Begitu pula dengan PDRB atas harga berlaku tanpa migas
juga mengalami peningkatan dari 192,1 milyar rupiah di tahun 2005 menjadi
217,3 milyar rupiah pada tahun 2006.
Sementara itu, berdasarkan tabel 26 juga dapat dilihat bahwa PDRB atas
dasar harga konstan dengan migas terus mengalami penurunan hingga tahun 2005
dan kembali meningkat pada tahun 2006. Penurunan tersebut disebabkan karena
adanya penurunan produksi. Sedangkan, PDRB atas dasar harga konstan tanpa
migas terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006.
125
Pada tahun 2006 PDRB atas harga konstan dengan migas mencapai 1,072 trilyun
rupiah dan PDRB tanpa migas mencapai 139,1 milyar rupiah.
Tabel 25 Perkembangan PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2001-2006
PDRB ADHB (juta rupiah)
PDRB ADHK Tahun 2000 (Juta Rupiah)
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Tahun Dengan
Migas Tanpa Migas
Dengan Migas
Tanpa Migas
Dengan Migas
Tanpa Migas
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2001 1,533,832 168,752 1,427,840 153,109 -1.19 -2.66 2002 1,338,072 177,260 1,382,231 148,979 -3.19 -2.70 2003 1,223,830 153,307 1,187,155 127,549 -14.11 -14.38 2004 1,534,290 173,085 1,118,224 130,732 -5.81 2.50 2005 2,151,457 192,128 1,050,064 134,087 -6.10 2.57 2006 2,634,912 217,283 1,072,123 139,062 2.10 3.71
Sumber : BPS (2007)
Laju pertumbuhan ekonomi merupakan indikator makro yang
menggambarkan tingkat pertumbuhan produksi barang dan jasa. Secara makro,
indikator ini digunakan untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan
pembangunan yang telah digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Seribu pada periode tahun 2001 hingga tahun 2006.
Pada periode tahun 2001 hingga 2005 Kabupaten Kepulauan Seribu
memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif, bahkan sempat mengalami kondisi
kontraksi pada tahun 2003 dimana pertumbuhan ekonominya mencapai -14,11
persen. Akan tetapi mulai tahun 2004 sampai tahun 2006 laju pertumbuhannya
semakin meningkat, baik laju pertumbuhan dengan migas maupun tanpa migas.
Laju pertumbuhan yang negatif yang terjadi hingga tahun 2003 tersebut salah satu
penyebabnya adalah pada saat itu stabilitas di wilayah tersebut yang belum
kondusif. Hal ini disebabkan karena sejak terbentuk pada tahun 2001, pemerintah
Kabupaten Kepulauan Seribu masih dalam tahap melengkapi infrastruktur di
wilayah tersebut hingga tahun 2003.
Sementara itu, dari tabel 30 berikut ini secara sektoral menunjukkan
bahwa pada tahun 2006 seluruh sektor mengalami pertumbuhan yang positif.
Sektor pertanian dengan subsektor perikanan sebagai primadona mampu tumbuh
sebesar 3,99 persen di tahun 2006. Kondisi tersebut mengalami sedikit
peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2,98 persen.
126
Begitu pula dengan sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor
listrik, gas dan air bersih serta sektor perdagangan, hotel dan restoran juga
mengalami peningkatan laju pertumbuhan, dimana masing-masing sektor tersebut
memiliki laju pertumbuhan sebesar 1,87 persen; 4,58 persen; 2,14 persen dan 4,18
persen pada tahun 2006.
Tabel 26 Laju pertumbuhan PDRB Kepulauan Seribu menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000
2001 2002 2003 2004 2005 2006(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)1 Pertanian -13.51 -13.47 -48.11 2.46 2.98 3.992 Pertambangan dan Penggalian -1.01 -3.25 -14.08 -6.81 -7.24 1.873 Industri Pengolahan 0.29 3.59 4.41 1.40 3.05 2.564 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.67 1.37 4.41 1.45 1.83 2.145 Bangunan 2.39 9.08 5.45 2.51 3.45 4.586 Perdagangan, Hotel dan Restoran 10.44 7.23 4.58 3.79 3.69 4.187 Pengangkutan dan Komunikasi 0.28 -16.03 3.81 -7.17 -15.27 0.908 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3.32 1.65 0.18 0.42 1.22 1.369 Jasa-jasa 2.59 2.36 4.07 2.54 2.92 3.01
PDRB Tanpa Migas -2.66 -2.7 -14.38 2.5 2.57 3.71PDRB Dengan Migas -1.19 -3.19 -14.11 -5.81 -6.10 2.10
TahunNo. Lapangan Usaha
Sumber : BPS (2007)
Apabila ditinjau menurut subsektornya, khusus untuk sektor pertanian
tampak bahwa hanya subsektor peternakan yang laju pertumbuhannya mengalami
penurunan selama periode tahun 2001 hingga tahun 2006. Sementara itu, untuk
subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan perikanan selama periode
tersebut terus mengalami peningkatan laju pertumbuhan dimana untuk subsektor
perikanan laju pertumbuhannya mampu mencapai 4,16 persen di tahun 2006.
Tabel 27 Laju pertumbuhan PDRB Kepulauan Seribu sektor pertanian menurut subsektor ADHK Tahun 2000
2001 2002 2003 2004 2005 2006(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)1 Tanaman Bahan Makanan -20.32 16.41 7.73 -13.19 -8.44 -3.562 Peternakan 0.00 -0.20 9.02 -11.34 2.80 0.063 Perikanan -13.46 -13.79 -48.96 2.96 3.25 4.16
-13.51 -13.47 -48.11 2.46 2.98 3.99Sektor Pertanian
TahunNo. Subsektor
sumber : BPS (2007)
127
Struktur ekonomi dinyatakan dalam persentase menunjukkan besarnya
peranan nilai tambah masing-masing sektor ekonomi dalam menciptakan PDRB.
Struktur ekonomi menggambarkan ketergantungan daerah terhadap kemampuan
produksi masing-masing sektor ekonomi.
Gambar 13 Strukur ekonomi dengan migas
Struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 relatif
tidak mengalami pergeseran dengan tahun-tahun sebelumnya. Sektor yang sangat
dominan dan memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten
Kepulauan Seribu adalah sektor pertambangan dan penggalian; sektor
perdagangan, hotel dan restoran serta sector pertanian.
Pada tahun 2006 peranan sektor pertambangan dan penggalian 91,74
persen terhadap perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu. Sementara itu,
sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki peranan sebesar 3,35 persen
dengan sektor utama adalah perdagangan yang memiliki kontribusi sebesar 2,04
persen. Begitu pula dengan sektor pertanian, pada tahun 2006 sektor ini berperan
2,04 persen terhadap perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu dengan sektor
utama adalah sektor perikanan yang memiliki kontribusi sebesar 2,00 persen.
128
Gambar 14 Struktur ekonomi tanpa migas
Di sisi lain, apabila dilihat tanpa migas struktur ekonomi Kabupaten
Kepulauan Seribu didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang
memiliki peran 40,6 persen kemudian diikuti sektor pertanian yang memiliki
kontribusi sebesar 24,68 % . Peran terbesar dari sektor pertanian pada tahun 2006
dihasilkan oleh subsektor perikanan, yaitu yang mendominasi sebesar 98,26
persen dari peranan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu
secara keseluruhan (gambar 15).
Gambar 15 Peranan sektor pertanian menurut subsektor tahun 2006
129
4.3 Sektor Unggulan Kabupaten Kepulauan Seribu
Pada periode tahun 2002-2007 sektor-sektor/subsektor ekonomi yang
unggul peranannya di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah sektor pertanian
terutama subsektor perikanan, sektor pertambangan dan penggalian serta
subsektor angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Sektor/subsektor tersebut
dikatakan sektor unggulan karena memiliki nilai SLQ>1. Sektor pertanian sub
sector perikanan mempunyai nilai SLQ>1 yaitu sebesar 54,7 sedangkan DLQ nya
jauh diatas 1 yaitu sebesar 13,236. Hal ini mununjukkan sub sektor perikanan
merupakan sektor unggulan di Kepulauan Seribu sekaligus juga mempunyai daya
saing pada masa yang akan datang.
Namun, dari beberapa sektor atau subsektor yang menjadi unggulan
tersebut ternyata subsektor angkutan sungai, danau dan penyeberangan memiliki
laju pertumbuhan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju
pertumbuhan sektor/subsektor yang sejenis pada wilayah-wilayah lain di Propinsi
DKI Jakarta. Kondisi ini disebabkan karena subsektor tersebut memiliki nilai
SLQ>1 sedangkan nilai DLQ<1. Hal ini berarti bahwa jika tidak dilakukan upaya-
upaya untuk meningkatkan laju pertumbuhan subsektor tersebut, maka di masa
depan subsektor tersebut akan kalah bersaing dengan subsektor yang sama di
wilayah lainnya.
Sektor-sektor/subsektor yang berpotensi untuk menjadi andalan atau
unggulan di kemudian hari adalah sektor pertanian subsektor tanaman bahan
makanan (tabama), peternakan dan perikanan, subsektor industri makanan,
minuman dan tembakau. Selain itu, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel
dan restoran terutama subsektor perdagangan dan hotel, subsektor jasa
pemerintahan umum serta subsektor jasa hiburan dan rekreasi juga merupakan
sektor/subsektor yang memiliki potensi untuk menjadi sektor unggulan di masa
mendatang. Hal ini disebabkan karena sektor-sektor/subsektor tersebut memiliki
laju pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan
sektor/subsektor yang sejenis pada wilayah lain di Propinsi DKI Jakarta, dimana
meskipun sektor/subsektor tersebut memiliki nilai SLQ<1 akan tetapi memiliki
nilai DLQ>1 sehingga sektor-sektor/subsektor tersebut memiliki daya saing di
masa depan (tabel 28).
130
Tabel 28 Rasio location quotient (LQ) periode 2002-2007
No Lapangan Usaha Location Quotient Keterangan Statis Dinamis
2007 2002-2007 1 Pertanian 20.812 362,071.117 a.tabama 0.708 93.354 p + ds b.tanaman hias 0.000 0.000 c.peternakan 0.851 456,355.285 p + ds d.perikanan 54.756 13,236.843 u + ds 2 Pertambangan & penggalian 190.361 4,552.545 a.minyak & gas 190.361 4,552.545 u + ds 3 Industri pengolahan 0.017 0.022 tp + tds a.makanan,minuman & tembakau 0.175 139.418 p + ds b.tekstil, barang kulit & alas kaki 0.000 0.000 c.barang kayu & hasil hutan lain 0.000 0.000 d.kertas & barang cetakan 0.000 0.000 e.pupuk,kimia & barang dari karet 0.000 0.000 f.semen & barang galian bkn lgm 0.000 0.000 g.logam dasar besi & baja 0.000 0.000 h.alat angkutan, mesin & peralatan 0.004 0.003 i.barang lainnya 0.000 0.000 4 Listrik, gas & air bersih 0.038 0.010 tp + tds a.listrik 0.000 0.000 b.gas 0.000 0.000 c.air bersih 0.000 0.000 5 Bangunan 0.078 2.102 p + ds 6 Perdagangan,hotel & restaurant 0.167 1.719 a.perdagangan 0.137 2.085 p + ds b.hotel 0.745 1.981 p + ds c.restauran 0.120 0.717 p + ds 7 Pengangkutan & komunikasi 0.017 0.002 a.pengangkutan 0.031 0.153 1.angkutan rel 0.000 0.000 2. angkutan jalan raya 0.011 0.000 3. angkutan laut 0.000 0.000 4. angkutan sungai & penyebrngan 98.392 0.227 u + tds 5. angkutan udara 0.000 0.000 6.jasa penunjang 0.000 0.000 b.komunikasi 0.005 0.000 1.pos & telekomunikasi 0.000 0.000 2.jasa penunjang telekomunikasi 0.000 0.000 8 Keuangan,persewaan & jasa prsh 0.013 0.005 a.bank 0.024 0.123 tp + tds b.lembaga keuangan tanpa bank 0.001 0.000 c.jasa penunjang keuangan non bank 0.000 0.000 d.sewa bangunan 0.000 0.000 e.jasa perusahaan 0.000 0.000 9 Jasa-jasa 0.090 0.279 a.pemerintahan umum 0.225 4.476 1.adm pemerintahan & pertahanan 0.000 0.000 2.jasa pemerintahan lainnya 0.000 0.000 b.swasta 0.033 0.937 1.sosial kemasyarakatan 0.019 0.253 tp + tds 2.hiburan & rekreasi 0.175 4.192 p + ds 3.perorangan & rumah tangga 0.013 0.006 tp + tds Produk Domestik Regional Bruto 1.000 1.000
Sumber : pengolahan data BPS (2008) Keterangan : u + ds = sektor unggulan & mempunyai daya saing; u + tds = sektor
unggulan tetapi tidak mempunyai daya saing; p + ds = mempunyai potensi & berdaya saing; tdp + tds = tidak berpotensi & tidak berdaya saing
131
4.4 Sumber Pertumbuhan Sektor Unggulan
Sedikit berbeda dengan metode location quotient (LQ) yang hanya mampu
melihat jenis sektor-sektor yang menjadi unggulan atau andalan di suatu daerah
tanpa mampu melihat sumber pertumbuhannya, dengan metode shift share dapat
dilakukan analisis yang berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan dari
sektor-sektor yang menjadi unggulan atau andalan di suatu daerah. Analisis shift
share ini terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu komponen pangsa regional (PR),
differential shift (DS) dan proportional shift (PS).
4.4.1 Analisis Pangsa Regional (PR)
Persentase pangsa regional (PR) persektor merupakan peranan setiap
sektor bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu dikaitkan dengan
pertumbuhan ekonomi Propinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan tabel berikut ini tampak bahwa pada periode tahun 2002-2007
sektor pertambangan dan penggalian memiliki peranan yang terbesar bagi
pertumbuhan nilai tambah Propinsi DKI Jakarta. Peranan terbesar yang kedua
dihasilkan oleh sektor pertanian dimana sumbangan terbesar dari sektor ini adalah
berasal dari sumbangan subsektor perikanan. Selanjutnya, sektor perdagangan,
hotel dan restoran juga berperan cukup besar terhadap pertumbuhan nilai tambah
DKI Jakarta.
Tabel 29 Persentase pangsa regional dengan migas periode 2002-2007
No. Sektor/Lapangan Usaha Persentase
Pangsa Regional
(1) (2) (3) 1 Pertanian 4.46 2 Pertambangan dan Penggalian 89.00 3 Industri Pengolahan 0.29 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.04 5 Bangunan 0.80 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 3.33 7 Pengangkutan dan Komunikasi 0.39 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0.48 9 Jasa-jasa 1.21
Total 100.00 Sumber : pengolahan data BPS (2008)
132
Dari informasi di atas, dapat dikatakan bahwa pola pembangunan ekonomi
yang lebih tepat untuk diterapkan di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah
pembangunan ekonomi dengan sektor pertambangan dan penggalian serta sektor
pertanian dengan subsektor utama perikanan yang dominan.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa sektor
pertambangan dan penggalian merupakan sektor yang memberikan peranan
tertinggi terhadap pertumbuhan nilai tambah Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar
89,00 persen. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini Kabupaten Kepulauan
Seribu merupakan satu-satunya wilayah di DKI Jakarta yang mengelola dan
menghasilkan output yang berasal dari kegiatan pertambangan dan penggalian.
Sedangkan apabila tanpa memasukkan sektor migas, dapat dilihat bahwa
pada periode tahun 2002-2007 sektor pertanian (sektor 1) memiliki peranan yang
dominan bagi pertumbuhan nilai tambah Kepulauan Seribu yaitu sebesar 40,58
persen.
Gambar 16 Proporsi pangsa regional setiap sektor tanpa migas 2002-2007
Peranan terbesar kedua adalah sebesar 30,29 persen yang dihasilkan oleh
sektor perdagangan, hotel dan restoran (sektor 6). Selain itu, sektor jasa-jasa
dengan subsektor utama hiburan dan rekreasi (sektor 9) juga mampu memberikan
peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan nilai tambah yaitu sebesar 11
persen. Kondisi ini sangat wajar karena selama ini di wilayah Kepulauan Seribu
terdapat cukup banyak tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai obyek wisata
dimana wisatawan banyak berkunjung ke daerah tersebut.
133
Oleh karena itu, berdasarkan informasi tersebut di atas dapat dikatakan
bahwa pola pembangunan ekonomi di luar sektor migas yang lebih tepat untuk
diterapkan di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah pembangunan ekonomi dengan
sektor pertanian (40,58 %) serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (30,29%)
yang dominan.
Tabel 30 Persentase pangsa regional tanpa migas periode 2002-2007
No. Sektor/Lapangan Usaha Persentase
Pangsa Regional
(1) (2) (3) 1 Pertanian 40.58 2 Pertambangan dan Penggalian 0.00 3 Industri Pengolahan 2.68 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.33 5 Bangunan 7.24 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 30.29 7 Pengangkutan dan Komunikasi 3.53 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4.37 9 Jasa-jasa 11.00
Total 100.00 Sumber : pengolahan data BPS (2008)
Gambar 17 Proporsi pangsa regional sektor pertanian tanpa migas
Hal ini juga didukung oleh fakta seperti yang terdapat pada gambar diatas.
Dari gambar tersebut tampak bahwa apabila dilihat menurut subsektornya yang
memberikan kontribusi atau peranan terbesar terhadap sektor pertanian di
Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 adalah subsektor perikanan, yaitu
98.89
0.160.950.00
20.00 40.00 60.00 80.00
100.00 120.00
Subsektor
Proporsi (%)
Tabama Peternakan Perikanan
134
sebesar 98,89 persen. Sedangkan, subsektor tanaman bahan makanan (tabama)
dan peternakan hanya berkontribusi masing-masing 0,95 persen dan 0,16 persen.
4.4.2 Differential Shift (DS) dan Proportional Shift (PS)
Komponen yang digunakan untuk menganalisis sumber pertumbuhan
sektor-sektor di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah hasil perhitungan dengan
metode shift share. Dari nilai proportional shift dapat dianalisis pemanfaatan
keuntungan struktur ekonomi atau konsentrasi kebijakan sektoral Kabupaten
Kepulauan Seribu relatif terhadap pertumbuhan sektoral Propinsi DKI Jakarta.
Sedangkan dari differential shift dapat dilihat posisi keuntungan lokasi Kabupaten
Kepulauan Seribu yang mempengaruhi laju pertumbuhan suatu atau beberapa
sektor di kabupaten ini. Keuntungan lokasi ini antara lain disebabkan karena
kemampuan dalam menyediakan bahan mentah, ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) dan sumber daya buatan sebagai fasilitas penunjang.
Pada periode tahun 2002-2007 terlihat bahwa secara keseluruhan
pertumbuhan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu disebabkan oleh kemampuan
pemanfaatan keuntungan struktur ekonomi atau konsentrasi kebijakan sektoral.
Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai total komponen proportional shift sebesar Rp.-
221,7 milyar, tanpa memperhatikan positif atau negatifnya nilai tersebut, dimana
nilai tersebut lebih besar dari nilai total komponen differential shift yaitu sebesar
Rp. -60,9 milyar.
Nilai proportional shift yang negatif tersebut mengindikasikan bahwa
besarnya laju pertumbuhan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu sebagai
pengaruh dari pemanfaatan faktor keuntungan struktur ekonomi atau konsentrasi
kebijakan sektoral secara keseluruhan relatif masih kalah bersaing dengan
kemampuan Propinsi DKI Jakarta secara umum.
Sektor-sektor yang mampu menangkap peluang dari kebijakan sektoral
sehingga pertumbuhannya pesat di tingkat propinsi adalah subsektor listrik,
bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi
terutama subsektor angkutan jalan raya dan komunikasi. Sektor-sektor tersebut
selama tahun 2002-2007 memiliki nilai proporsional shift yang positif (tabel 32).
135
Tabel 31 Hasil perhitungan dengan metode shift share (rupiah)
No Lapangan Usaha Shift Share Keterangan differential proportinal
2002-2007 2002-2007 1 Pertanian 60,514,015 -51,267,507,620 a.tabama 34,911,883 -458,513,020 berkembang b.tanaman hias 0 0 c.peternakan 7,779,235 -100,114,920 Berkembang d.perikanan 17,822,897 - 58,288,628,237 Berkembang 2 Pertambangan & penggalian 0 -178,974,642,960 a.minyak & gas 0 -178,974,642,960 Berkembang 3 Industri pengolahan -841,711,785 -708,355,094 a.makanan,minuman & tembakau -250,990,662 -1,515,336,943 tertekan b.tekstil, barang kulit & alas kaki 0 0 (tb + tp ) c.barang kayu & hasil hutan lain 0 0 d.kertas & barang cetakan 0 0 e.pupuk,kimia & barang dari karet 0 0 f.semen & barang galian bkn lgm 0 0 g.logam dasar besi & baja 0 0 h.alat angkutan, mesin & peralatan -265,731,300 -19,989,298 tertekan i.barang lainnya 0 0 4 Listrik, gas & air bersih -570,828,084 584,736,685 berkembang a.listrik 0 0 b.gas 0 0 c.air bersih 0 0 5 Bangunan -2,033,721,823 1,925,320,761 potensi 6 Perdagangan,hotel & restaurant -10,991,316,058 1,979,999,183 a.perdagangan -1,972,770,908 175,850,533 potensi b.hotel -8,856,530,874 3,272,392,342 potensi c.restauran -2,516,176,809 885,918,842 potensi 7 Pengangkutan & komunikasi -12,042,590,698 4,641,214,505 a.pengangkutan -8,547,589,179 1,292,523,829 potensi 1.angkutan rel 0 0 2. angkutan jalan raya -434,990,215 253,082,071 potensi 3. angkutan laut 0 0 4. angkutan sungai & penyebrngan 1,957,964,942 -9,031,122,148 berkembang 5. angkutan udara 0 0 6.jasa penunjang 0 0 b.komunikasi -732,402,853 586,092,009 potensi 1.pos & telekomunikasi 0 0 2.jasa penunjang telekomunikasi 0 0 8 Keuangan,persewaan & jasa prsh -2,346,501,298 -1,340,945,289 a.bank -475,913,528 -3,198,696,837 tertekan b.lembaga keuangan tanpa bank -23,548,271 17,168,268 berkembang c.jasa penunjang keuangan non bank 0 0 d.sewa bangunan -14,205,630 9,651,574 berkembang e.jasa perusahaan 0 0 9 Jasa-jasa -6,755,963,235 1,418,440,542 berkembang a.pemerintahan umum -4,239,319,123 -78,084,245 1.adm pemerintahan & pertahanan 0 0 2.jasa pemerintahan lainnya 0 0 b.swasta -1,639,894,830 528,775,505 1.sosial kemasyarakatan -59,628,473 152,191,114 berkembang 2.hiburan & rekreasi -2,155,851,374 1,255,885,713 berkembang 3.perorangan & rumah tangga -217,953,079 5,236,774 berkembang Produk Domestik Regional Bruto -60,942,587,528 -221,741,739,287
Sumber : pengolahan data BPS (2008)
136
Dari hasil pengolahan data tersebut juga tampak bahwa tidak ada satupun
sektor-sektor/subsektor di Kabupaten Kepulauan Seribu pada periode tahun 2002-
2007 yang memiliki memiliki nilai proportional shift dan differential shift yang
positif l, sehingga dapat digolongkan menjadi kategori 1 (PS + dan DS +).
Kategori 1 adalah sektor pada suatu wilayah yang mempunyai pertumbuhan
sangat cepat (rapid growth sector). Kondisi ini menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Seribu belum cukup efisien
dalam memanfaatkan sumber daya yang ada.
Bahkan terdapat beberapa sektor dalam kategori 4 yaitu sektor yang
mempunyai PS dan DS negative (PS – dan DS -). Kategori 4 ini menunjukkan
sektor yang bersangkutan saat ini dalam keadaan tidak berkembang dan tidak
mempunyai potensi dimasa yang akan datang. Sektor/subsektor tersebut adalah
sektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau; alat angkutan
mesin dan peralatan serta perbankan.
Sektor-sektor yang mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga
memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di kabupaten/kota
lain adalah semua sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman bahan
makanan (tabama), peternakan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
DS (+). DS yang positif terjadi apabila laju pertumbuhan pada suatu sektor
disuatu wilayah lebih tinggi daripada laju pertumbuhan pada sektor yang sama di
wilayah lain. DS yang positif ini mencerminkan posisi keuntungan lokasi
(locational advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan
baik, ini ditandai dengan nilai PS yang negatif, yang berarti bahwa sektor ini
memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
daerah lain.
Hasil ini menunjukkan bahwa subsektor perikanan sebenarnya merupakan
sektor unggulan dan mempunyai daya saing yang tinggi, dibuktikan dengan nilai
LQ yang positif dan juga DS yang positif. Akan tetapi sektor ini tidak memiliki
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sektor sejenis di daerah lain. Hal ini
terjadi karena yang menjadi pembanding subsektor perikanan Kepulauan Seribu
adalah Kota Jakarta Utara. Seperti sudah digambarkan pada bab sebelumnya
sebesar 55 % pemasaran hasil perikanan tangkap dan 82 % pemasaran hasil
137
perikanan budidaya dilakukan diluar wilayah kepulauan seribu. Kondisi inilah
yang menyebabkan subsektor perikanan Kepulauan Seribu tidak tumbuh dengan
baik karena justru yang menikmati hasil tangkapan dan hasil budidaya perikanan
adalah kota lain.
Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang melibatkan
semua pihak yang berkepentingan yang dapat mempercepat pertumbuhan
subsektor perikanan disemua wilayah Kepulauan Seribu. Percepatan pertumbuhan
sektor perikanan ini dapat berpotensi guna memberikan efek ganda (multiplier
effects) yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam wilayah
Kepulauan Seribu yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan.
138
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab sebelumnya tampak bahwa tidak ada satupun sektor dan subsektor di
Kabupaten Kepulauan Seribu pada periode tahun 2002-2007 yang memiliki memiliki
nilai proportional shift dan differential shift yang positif l, sehingga dapat
digolongkan menjadi kategori 1 yaitu kategori dimana proportional shift positif dan
differential shift positif. Kategori 1 adalah sektor pada suatu wilayah yang mempunyai
pertumbuhan sangat cepat (rapid growth sector). Bahkan terdapat beberapa sektor
dalam kategori 4 yaitu sektor yang mempunyai proportional shift negatif dan
differential shift negatif. Kategori 4 ini menunjukkan sektor yang bersangkutan saat
ini dalam keadaan tidak berkembang dan tidak mempunyai potensi dimasa yang akan
datang. Sektor/subsektor tersebut adalah sektor industri pengolahan makanan,
minuman dan tembakau; alat angkutan mesin dan peralatan serta perbankan.
Sektor yang mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga memiliki
daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di kabupaten/kota lain adalah
semua sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman bahan makanan (tabama),
peternakan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai differential shift positif.
Differential shift positif terjadi apabila laju pertumbuhan pada suatu sektor disuatu
wilayah lebih tinggi daripada laju pertumbuhan pada sektor yang sama di wilayah
lain. Differential shift positif mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational
advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini ditandai
dengan nilai proportional shift negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah lain.
Hasil ini menunjukkan bahwa subsektor perikanan sebenarnya merupakan
sektor unggulan dan mempunyai daya saing yang tinggi, dibuktikan dengan nilai
location quotient positif dan juga Differential shift positif. Pertumbuhan ekonomi
tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan
demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula
kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator-indikator yang lain. Kondisi
ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Seribu
belum cukup efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dikarenakan hasil
pembangunan yang ada ternyata belum dapat mensejahterahkan masyarakat terutama
masyarakat nelayan.
139
Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses pengembangan kapasitas
masyarakat dalam jangka panjang sehingga memerlukan perencanaan yang tepat dan
akurat. Perencanaan ini berarti harus mampu mencakup kapan, di mana dan
bagaimana pembangunan harus dilakukan agar mampu merangsang pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan. Dengan kata lain, pembuat rencana pembangunan
haruslah mampu untuk memprediksi dampak yang ditimbulkan dari pembangunan
yang akan dilakukan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan
kelompok-kelompok masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan
suatu lapangan kerja baru serta merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam
wilayah tersebut (Arsyad, 2002). Wujud perekonomian daerah yang dibangun
mencerminkan peningkatan peran masyarakat dan pelayanan masyarakat dengan
tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Persoalan sering timbul manakala menentukan manakah yang terlebih dahulu
harus dilakukan antara pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.
Apakah pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pembangunan kesejahteraan
ataukah sebaliknya. Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah
kerapkali menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan
hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.
Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian dijadikan
momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan bahkan
meniadakannya sama sekali. Alasannya: pembangunan kesejahteraan dianggap boros
dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi (PAD) telah
tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi
tidak secara otomatis dan linier berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan
(Suharto, 2005). Oleh karena itu perlu dibuat suatu model yang komprehensif guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan.
5.1 Model Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan merupakan prioritas yang
perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan progam pembangunan. Upaya tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Menurut Gunawan (2007)
kebijakan khusus pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat guna
140
menanggulangi kemiskinan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang
harus mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah pembangunan tersebut harus
ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui
kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan berikut ini.
Pertama, penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi yaitu upaya
meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih
informasi dan teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan
distribusi dan pemasaran serta administrasi pembangunan, terlembaga dengan baik
sesuai dengan kondisi lokal.
Kedua, pemberdayaan sumber daya manusia, yaitu memperkuat kapasitas
sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan
organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan
produktivitas dan daya saing melalui pelatihan, penyuluhan dan pendampingan.
Ketiga, kewirausahaan yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat dengan
cara mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantuan dan kredit lunak langsung
kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif
unggulan dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus
untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut, model peningkatan kesejahteraan nelayan dapat
menggunakan ketiga faktor di atas yaitu: penguatan kelembagaan (X1), pemberdayan
sumberdaya manusia (X2), dan kewirausahaan (X3). Selanjutnya semua variabel dari
faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan tersebut di atas
diukur dengan skala Likert (skala 1 sampai 5). Berikut ini akan diuraikan satu persatu
hasil tabulasi dari jawaban responden pada masing-masing variabel.
5.1.1 Tabulasi hasil jawaban responden
5.1.1.1 Tingkat kesejahteraan nelayan (Y)
Kesejahteraan nelayan secara umum (Y) dalam konseptualisasi model
peningkatan kesejahteraan nelayan menggunakan konsep yang dikeluarkan oleh BPS.
Menurut BPS kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak
memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek
kesejahteraan tersebut. Sehingga indikator yang digunakan dalam penelitian ini
disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh
BPS (1991) yang sudah dimodifikasi. Modifikasi ini dimungkinkan karena, (a)
masalah pembangunan nelayan adalah manajemen pengembangan masyarakat pesisir
141
yang meliputi, masalah sosio-ekonomi rumah tangga nelayan, (b) menyesuaikan
dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator-indikator tersebut terdiri
atas: (1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan
tempat tinggal; (4) Fasilitas tempat tinggal; (5) Kesehatan anggota keluarga.
Berdasarkan derajat kualitasnya, indikator kesejahteraan (Y) ini dapat dipadatkan
menjadi tiga variabel, yaitu: variabel yang mencakup aspek pendapatan nelayan (Y1),
keadaan tempat tinggal (Y2), dan kesehatan (Y3).
Tabel 32 Penilaian responden terhadap indikator kesejahteraan
Item Pertanyaan Y1 Y2 Y3
Jawaban Responden
Frek. % Frek. % Frek. % 1 4 2.8 3 2.1 4 2.8 2 20 14.0 7 4.9 20 14.0 3 95 66.4 107 74.8 95 66.4 4 20 14.0 23 16.1 20 14.0 5 4 2.8 3 2.1 4 2.8
Jumlah 143 100 143 100 143 100 Sumber: Hasil pengolahan data
Secara keseluruhan responden lebih banyak menyatakan pilihan 3 atau cukup.
Khususnya untuk item Y2 (perumahan) terdapat 74.8% respoden memilih bahwa
kondisi rumah merupakan item yang sangat penting (tabel 32). Terdapat hal yang
menarik dimana item pendapatan (Y1) bukan item yang dianggap cukup penting.
Sedangkan untuk item kondisi kesehatan (Y3) tanggapan responden cukup beragam.
5.1.1.2 Penguatan kelembagaan
Indikator pertama dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah aspek
kelembagaan. Menurut tokoh kelembagaan John R. Commons (1934) yang diacu
dalam Arifin dan Rahbini (2001), definisi kelembagaan adalah kerangka acuan atau
hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, dan
juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Dengan demikian, kelembagaan itu
dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan
sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns). Oleh karenanya
ruang lingkup kelembagaan dibatasi pada hal-hal (1) Kelembagaan adalah kreasi
manusia (human creations); (2) Kumpulan individu (group of individuals); (3)
mempunyai dimensi waktu (time dimension); (4) mempunyai dimensi tempat (place
dimension); (5) suatu lingkungan fisik (6) adanya aturan main dan norma (rules and
norms); (7) adanya penegakan hukum (monitoring and law enforcement); (8) adanya
hirarki dan jaringan (nested levels and institutions). Oleh karena itu dapat disimpulkan
142
indikator X1 terdiri dari variabel: organisasi nelayan (X11), lembaga keuangan mikro
(X12), dan lembaga pemerintahan (X13).
Tabel 33 Penilaian responden terhadap penguatan kelembagaan nelayan
Item Pertanyaan X11 X12 X13
Jawaban
Responden Frek. % Frek. % Frek. % 1 3 2.1 3 2.1 3 2.1 2 25 17.5 25 17.5 25 17.5 3 87 60.8 88 61.5 86 60.1 4 25 17.5 24 16.8 26 18.2 5 3 2.1 3 2.1 3 2.1
Jumlah 143 100 143 100 143 100 Sumber: Hasil pengolahan data
Secara keseluruhan responden lebih bersifat moderat dengan dominasi pilihan
pada pilihan cukup (60 %). Pada semua aspek yang ada responden memberikan
tanggapan yang sangat beragam disekitar pilihan cukup (tabel 33).
5.1.1.3 Pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan
Indikator pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan menggunakan konsep
pada Undang-Undang Perikanan yaitu UU No.31 Tahun 2004 Bab X pasal 60 ayat (1)
b tentang pemberdayaan nelayan. Pada pasal tersebut terdapat tugas pemerintah dalam
memberdayakan nelayan yang berupa penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan
penyuluhan bagi nelayan guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dibidang
penangkapan, pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran ikan.
Berdasarkan undang-undang pemberdayaan nelayan tersebut, indikator
pemberdayaan SDM (X2) mengandung tiga variabel penting, yaitu; penyelenggaraan
penyuluhan (X21), penyelenggaraan pelatihan (X22), dan pendidikan (X23).
Tabel 34 Penilaian responden terhadap pemberdayaan sumberdaya manusia
Item Pertanyaan X21 X22 X23
Jawaban
Responden Frek. % Frek. % Frek. % 1 3 2.1 3 2.1 3 2.1 2 24 16.8 21 14.7 23 16.1 3 90 62.9 93 65 91 63.6 4 23 16.1 21 14.7 24 16.8 5 3 2.1 5 3.5 2 1.4
Jumlah 143 100 143 100 143 100 Sumber: Hasil pengolahan data
143
Responden lebih cenderung berada pilihan cukup yang hampir mencapai 65%
(tabel 34). Secara keseluruhan pilihan responden memberikan tanggapan sangat
berimbang pada kedua sisi.
5.1.1.4 Kewirausahaan
Berdasarkan konsep kewirausahaan yang dikemukakan oleh Nikijuluw (2005),
yaitu pengembangan kewirausahaan di kalangan perikanan adalah suatu proses yang
berkelanjutan dan barangkali tidak ada akhirnya. Dalam bentuknya sebagai suatu
proses yang tidak berakhir, maka pangkal dan proses tersebut adalah membangun
nilai-nilai dan kesadaran berusaha atau berbisnis dikalangan nelayan. Tanpa adanya
nilai-nilai dan kesadaran berbisnis maka langkah selanjutnya adalah pengembangan
kewirausahaan ini tidak akan terwujud.
Oleh karenanya setelah memiliki kesadaran dan nilai-nilai, berbisnis itu perlu
dilakukan dan melalui harkat dan martabatnya dapat ditingkatkan. Maka langkah
selanjutnya yaitu: (1) membangun penguasaan akan keterampilan dasar teknologi
yang berkaitan dengan perikanan; (2) ketersediaan modal usaha dan manajerial; (3)
meningkatkan praktek dan pengalaman usaha; dan (4) mengembangkan niat
kewirausahaan secara terus menerus ke depan. Dari uraian di atas kita tetapkan
bahwa, indikator kewirausahaan (X3) terdiri dari: keterampilan usaha mandiri (X31),
praktek dan pengalaman usaha (X32), dan niat dalam usaha (X33).
Tabel 35 Penilaian responden terhadap kewirausahaan
Item Pertanyaan X31 X32 X33
Jawaban
Responden Frek. % Frek. % Frek. % 1 2 1.4 4 2.8 3 2.1 2 26 18.2 34 23.8 21 14.7 3 88 61.5 67 46.8 96 67.1 4 25 17.5 34 23.8 20 14 5 2 1.4 4 2.8 3 2.1
Jumlah 143 100 143 100 143 100 Sumber: Hasil pengolahan data
Responden lebih cenderung berada pilihan cukup yang hampir mencapai 55%.
Seperti halnya pada aspek kewirausahaan, pada aspek ini secara keseluruhan pilihan
responden memberikan tanggapan sangat berimbang pada kedua sisi.
5.1.2 Metode Analisis
Data primer yang dikumpulkan dari responden diolah secara kuantitatif,
ditabulasi, dan diolah lanjutan menggunakan model persamaan struktural (structural
144
equation model atau SEM) second order full version. Dalam persamaan ini
kesejahteraan nelayan yaitu Y (variabel endogen laten) dipengaruhi oleh tiga faktor
(variabel esksogen laten), yaitu penguatan kelembagaan (X1), pemberdayaan
sumberdaya manusia (X2), dan kewirausahaan (X3). Sedangkan setiap faktor tersebut
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang bisa diukur (variabel endogen yang diamati).
Kesejahteraan nelayan perikanan tangkap ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu aspek
pendapatan (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan aspek kesehatan (Y3). Dalam hal
ini juga dilakukan analisis tentang korelasi antar variabel esksogen laten, yaitu X1,
X2, dan X3. Galat pengukuran (measurement error) diklasifikasikan sebagai variabel
esksogen laten. Variabel endogen adalah variabel yang nilainya harus diterangkan
atau diprediksi. Variabel esksogen adalah variabel yang nilainya tidak harus
diterangkan atau diprediksi. Sebuah variabel dikelompokkan sebagai endogen atau
esksogen tergantung pada asumsi yang ditetapkan.
Model persamaan struktural (SEM) dibuat secara diagram maupun rumus
matematik. maka persamaan matematis untuk model SEM ini adalah sebagai berikut:
Konstruksi variabel endogen pengamatan dan esksogen laten
Xij = λjXi + γj ................................................................................................................................(1)
Dimana: untuk i = 1; j = 1, 2, 3 untuk i = 2; j = 1, 2, 3 untuk i = 3; j = 1, 2, 3 λ = komponen muatan (loading component) γ = galat (measurement error) X1 = variabel esksogen laten ” kelembagaan ” X2 = variabel esksogen laten ” pemberdayaan sumberdaya manusia” X3 = variabel esksogen laten ” kewirausahaan” X11 = variabel endogen pengamatan ” organisasi nelayan” X12 = variabel endogen pengamatan ” lembaga keuangan mikro” X13 = variabel endogen pengamatan ” lembaga pemerintahan” X21 = variabel endogen pengamatan ” penyelenggaraan penyuluhan” X22 = variabel endogen pengamatan “penyelenggaraan pelatihan” X23 = variabel endogen pengamatan ” penyelenggaraan pendidikan” X31 = variabel endogen pengamatan ” ketrampilan usaha” X32 = variabel endogen pengamatan ” praktek dan pengalaman berusaha” X33 = variabel endogen pengamatan ” niat dalam berusaha”
Konstruksi variabel endogen pengamatan dan laten
Yl = λlY + γl ................................................................................................................................(2)
Yl = variabel endogen pengamatan
145
Y = variabel endogen laten kesejahteraan nelayan perikanan tangkap
dimana: l = 1, 2, 3
λ = komponen muatan (loading component) γ = galat pengukuran (measurement error) tingkat pendapatan (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan tingkat pendidikan (Y3) Y1 = variabel endogen pengamatan “ tingkat pendapatan ” Y2 = variabel endogen pengamatan ” keadaan tempat tinggal ” Y3 = variabel endogen pengamatan “ tingkat pendidikan “
Konstruksi variabel esksogen laten dan endogen laten
Xi = Ωi Y+ ε ......................................................................................(3)
dimana: i = 1, 2, 3,
Ωi = komponen muatan (loading component) antara Xi dan Y εi = galat (measurement error)
Selanjutnya juga dihitung korelasi (r) antar faktor determinan (Xi).
5.1.3 Pengujian Kelayakan Model
Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural, maka langkah
awal yang dilakukan pada analisis model persamaan struktural adalah menentukan
konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis
confirmatory factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masing-
masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-
masing variable observed. Berdasarkan survei terhadap 160 responden, hanya 143
data survei yang dianggap layak dan memenuhi persyaratan untuk diestimasi.
Selanjutnya, hasil estimasi secara grafis dapat diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 18 berikut
146
Gambar 18 Konseptualisasi model peningkatan kesejahteraan nelayan Keterangan: Y=Kesejahteraan Nelayan (Y1= pendapatan RT, Y2=keadaan tempat tinggal, Y3=kesehatan); X1= penguatan kelembagaan, (X11= organisasi nelayan, X12= LKM, X13= lembaga pemerintahan), X2= Pemberdayaan SDM (X21= penyelenggaraan penyuluhan, X22=penyelenggaraan pelatihan, X23= pendidikan); X3= kewirausahaan (X31 ketrampilan usaha =, X32= praktek dan pengalaman usaha, X33= niat dalam berusaha) 5.1.3.1 Pengujian variabel penguatan kelembagaan
Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural secara
keseluruhan, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan analisis model
persamaan struktural pada masing-masing variable guna menentukan konstruk laten
dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis confirmatory
factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masing-masing faktor
merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable
observed. Hasil estimasi secara grafis dapat diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 20 berikut.
Y
X1
X2
X3
X12
X11
X13
X21
X22
X23
X31
X32
Y1
Y2
Y3
X33
147
Gambar 19 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan
Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model
pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Tujuannya
adalah untuk mengukur apakah variabel kelembagaan sudah memenuhi kriteria
Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada tabel 36.
Tabel 36 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk penguatan kelembagaan
Kriteria Cut off Value Hasil Model Keterangan
Chi-square (X2) Diharapkan Kecil 0.066 Baik Probability (p) ≥ 0,05 0.797 Baik GFI ≥ 0,90 1.000 Baik AGFI ≥ 0,90 0.998 Baik CFI ≥ 0,95 1.000 Baik TLI ≥ 0,90 1.071 Baik RMSEA ≤ 0,08 0.000 Baik Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
Berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk variabel X1
yaitu penguatan kelembagaan yang diterangkan oleh indikator organisasi nelayan,
koperasi dan lembaga keuangan mikro menunjukkan bahwa model dalam kriteria baik
dan dapat digunakan guna mengukur variabel penguatan kelembagaan (tabel 41).
5.1.3.2 Pengujian variabel pemberdayan sumberdaya manusia
Pengujian selanjutnya dilakukan guna mengevaluasi kiteria Goodness of Fit
Index untuk variabel pemberdayaan sumberdaya manusia. Tujuannya adalah untuk
mengukur apakah variabel X2 sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil
evaluasi dimaksud ditunjukkan pada gambar 20.
148
Gambar 20 Confirmatory factor analysis pemberdayaan sumberdaya manusia
Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model
pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Hasil
evaluasi variabel X2 ditunjukkan pada tabel 37.
Tabel 37 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan
Kriteria Cut off Value Hasil Model Keterangan
Chi-square (X2) Diharapkan Kecil 2.009 baik Probability (p) ≥ 0,05 0.156 baik GFI ≥ 0,90 0.991 baik AGFI ≥ 0,90 0.994 baik CFI ≥ 0,95 0.982 baik TLI ≥ 0,90 0.946 baik RMSEA ≤ 0,08 0,084 dapat diterima Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
Berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk variabel X2
yaitu pemberdayaan sumberdaya manusia pada nelayan yang diterangkan oleh
indikator pendidikan, pelatihan dan penyukuhan menunjukkan bahwa model dalam
kriteria baik dan dapat digunakan guna mengukur variabel pemberdayaan sumberdaya
manusia nelayan (tabel 38).
5.1.3.3 Pengujian variabel kewirausahaan
Pengujian variabel X yang terakhir dilakukan guna mengevaluasi kiteria
Goodness of Fit Index untuk variabel kewirausahaan. Tujuannya adalah untuk
149
mengukur apakah variabel kewirausahaan sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit
Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada gambar 21.
Gambar 21 Confirmatory factor analysis kewirausahaan
Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model
pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Hasil
evaluasi variabel kewirausahaan ditunjukkan pada tabel 38. Berdasarkan hasil
evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk variabel X3 yaitu kewirausahaan yang
diterangkan oleh indikator kebutuhan modal usaha, ketrampilan dan pengalaman
usaha menunjukkan bahwa model dalam kriteria baik dan dapat digunakan guna
menguji model kewirausahaan.
Tabel 38 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kewirausahaan
Kriteria Cut off Value Hasil Model Keterangan
Chi-square (X2) Diharapkan Kecil 1.619 Baik Probability (p) ≥ 0,05 0.203 Baik GFI ≥ 0,90 0.992 Baik AGFI ≥ 0,90 0.955 Baik CFI ≥ 0,95 0.993 Baik TLI ≥ 0,90 0.979 Baik RMSEA ≤ 0,08 0.066 Baik Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
5.1.3.4 Pengujian variabel kesejahteraan
Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural secara
keseluruhan, maka pengukuran variabel yang terakhir yaitu variabel kesejahteraan
150
nelayan guna menentukan konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis.
Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk menguji apakah
konstruk (faktor) laten dari masing-masing indikator kesejahteraan yaitu pendapatan,
tempat tinggal dan kesehatan merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan
oleh masing-masing variable observed. Hasil estimasi secara grafis dapat
diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan pada gambar 22 berikut.
Gambar 22 Confirmatory factor analysis kesejahteraan nelayan
Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model
pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Tujuannya
adalah untuk mengukur apakah variabel kesejahteraan sudah memenuhi kriteria
Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada tabel 39.
Tabel 39 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kesejahteraan nelayan
Kriteria Cut off Value Hasil Model Keterangan
Chi-square (X2) Diharapkan Kecil 0.042 Baik Probability (p) ≥ 0,05 0.837 Baik GFI ≥ 0,90 1.000 Baik AGFI ≥ 0,90 0.999 Baik CFI ≥ 0,95 1.000 Baik TLI ≥ 0,90 1.059 Baik RMSEA ≤ 0,08 0.000 Baik Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
151
5.1.4 Analisis Confirmatory Factor dan Model Persamaan Struktural Kesejahteraan Nelayan
Langkah yang terakhir adalah melakukan analisis model persamaan structural
keselurahan pada model persamaan structural kesejahteraan nelayan. Langkah awal
yang dilakukan pada analisis model persamaan struktural adalah menentukan
konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis
confirmatory factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masing-
masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-
masing variable observed. Hasil estimasi secara grafis dari ketujuh konstruk laten
diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan pada gambar 23.
Gambar 23 Confirmatory factor analysis model peningkatan kesejahteraan
Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model
pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Tujuannya
adalah untuk mengukur apakah model peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil
evaluasi dimaksud ditunjukkan pada Tabel 40.
152
Tabel 40 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk model peningkatan kesejahteraan nelayan
Kriteria Cut off Value Hasil Model Keterangan
Chi-square (X2) Diharapkan Kecil 72.628 Baik Probability (p) ≥ 0,05 0.056 Baik GFI ≥ 0,90 0.922 Baik AGFI ≥ 0,90 0.889 dapat diterima CFI ≥ 0,95 0.949 Baik TLI ≥ 0,90 0.939 Baik RMSEA ≤ 0,08 0.048 Baik Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
Berdasarkan Tabel 40, ternyata hasil Chi-square sebagai salah satu kriteria
model fit menunjukkan nilai Chi-square sebesar 72.628 dengan probabilitas (p)
=0,056 atau nilai probabilitasnya mendekati 0,05. Hal ini berarti bahwa model sudah
fit. Selain itu, jika dilihat dari kriteria fit yang lain, yaitu: nilai GFI = 0,922, nilai TLI
= 0,939, dan nilai RMSEA = 0,048, maka secara keseluruhan kriteria ini sudah
memenuhi standar yang direkomendasikan.
Sekalipun untuk nilai AGFI = 0,889 masih berada di bawah nilai yang
direkomendasikan, yaitu lebih besar daripada 0,90, namun bila nilai AGFI dibulatkan
dua angka di belakang koma diperoleh nilai AGFI setara dengan 0,90. Dengan kata
lain, berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index terhadap model secara
keseluruhan, terbukti secara nyata bahwa pada kriteria Goodness of Fit Index sudah
tidak terdapat pelanggaran nilai kritis, sehingga dapat dikemukakan bahwa model
relatif dapat diterima atau telah sesuai dengan data.
5.1.5 Analisis Pengaruh dari Masing-masing Variabel Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana
kekuatan pengaruh antarkonstruk maupun pengaruh totalnya yang mempengaruhi
tujuan peningkatan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Pengujian terhadap model seperti pada gambar 23 menunjukkan adanya efek
pengaruh langsung sebagaimana ditunjukkan pada tabel 41.
Mencermati model sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 23 dan melalui
pembandingan nilai critical ratio (CR) atau t-hitung terhadap nilai t-tabel akan diperoleh
pola hubungan antarvariabel. Jika nilai CR atau t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel,
maka hubungan antarvariabel signifikan dan dapat dianalisis lebih lanjut. Pada nilai α
= 5%, diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,98 dengan hasil korelasi antarvariabel
ditabulasikan pada tabel 41.
153
Tabel 41 Hubungan antarvariabel pada model akhir confirmatory factor konstruk unidimensional variabel kesejahteraan
Hubungan antar
variabel
Standardized Regression
Weights Estimate
S.E.
Critical Ratio C.R.
(T-hitung)
T-tabel Prob. Keterangan
X1 ↔ X2 0.371 0.15 2.468 1.98 0.014 Significant X1 ↔ X3 0.551 0.19 3.363 1.98 0.000 Significant X2 ↔ X3 0.612 0.20 3.642 1.98 0.000 Significant Y ← X1 0.398 0.145 2.674 1.98 0.007 Significant Y ← X2 0.239 0.141 1.582 1.98 0.114 Non significant Y ← X3 0.359 0.142 2.077 1.98 0.038 Significant
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
Terdapat pengaruh langsung antarvariabel seperti dijelaskan pada tabel 41.
Dalam hal pengaruh langsung masing-masing variabel terhadap variabel yang lain
dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Variabel X1 (kelembagaan) berpengaruh positif terhadap variabel X2
(pemberdayaan sumberdaya manusia) dan juga sebaliknya dengan nilai
estimates 0.371 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung
menunjukkan angka 2.468 dengan nilai probabilitas 0,014 (< 0,05), sehingga
dapat dikatakan antar variabel X1 dan X2 berpengaruh positif dan signifikan.
(2) Variabel X1 (kelembagaan) berpengaruh positif terhadap variabel X3
(kewirausahaan) dan juga sebaliknya dengan nilai estimates 0.551 dan nilai C.R.
(critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 3.363
dengan nilai probabilitas 0,000 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan antar variabel
X1 dan X3 berpengaruh positif dan signifikan.
(3) Variabel X2 (pemberdayaan) berpengaruh positif terhadap variabel X3
(kewirausahaan) dan juga sebaliknya dengan nilai estimates 0.612 dan nilai C.R.
(critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 3.642
dengan nilai probabilitas 0,000 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan antar variabel
X1 dan X3 berpengaruh positif dan signifikan.
(4) Variabel X1 (kelembagaan) berpengaruh positif terhadap variabel Y
(kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.398 dan nilai C.R. (critical
ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2.674 dengan nilai
probabilitas 0,007 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan variabel kelembagaan
154
benar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kesejahteraan
nelayan.
(5) Variabel X2 (pemberdayaan sumberdaya manusia) berpengaruh positif terhadap
variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.239 dan nilai C.R.
(critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 1.582
dengan nilai probabilitas 0,114 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan variabel
pemberdayaan sumberdaya manusia berpengaruh positif dan non signifikan
terhadap variabel kesejahteraan nelayan.
(6) Variabel X3 (kewirausahaan) berpengaruh positif terhadap variabel Y
(kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.359 dan nilai C.R. (critical
ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2.077 dengan nilai
probabilitas 0,038 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan variabel kewirausahaan
benar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kesejahteraan
nelayan.
Langkah yang terakhir adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana
kekuatan pengaruh antarkonstruk yan dipengaruhi masing-masing variabel eksogen
laten (X1, X2 dan X3). Pengujian terhadap masing-masing variabel menunjukkan
adanya efek pengaruh langsung sebagaimana ditunjukkan pada tabel 42 di bawah ini.
Di antara aspek-aspek yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan di
Kabupaten Kepulauan seribu terdapat korelasi. Korelasi secara umum bernilai antara
0 (tidak ada korelasi) hingga 1 (sangat kuat korelasinya). Dalam hal ini korelasi yang
paling kuat adalah antara aspek pemberdayaan dan kelembagaan Adanya korelasi
antar aspek menunjukkan adanya keterkaitan antar faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan nelayan, dan menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut tidak
berpengaruh sendiri-sendiri. Dengan kata lain, kebijakan yang dilaksanakan harus
bersifat komprehensif atau tidak parsial karena ada keterkaitan antara satu kebijakan
dengan kebijakan lainnya.
155
Tabel 42 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan di Kabupaten Kep. Seribu
Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan Koefisien Nilai t Pengaruh
1. Penguatan kelembagaan (X1)
1. Organisasi nelayan 0.599 2.902 Nyata 2. Lembaga keuangan mikro 0.659 2.000 Nyata 3. Lembaga pemerintahan 0.439 2.902 Nyata 2. Pemberdayaan sumberdaya manusia (X2)
4. Penyelenggaraan Penyuluhan 0.665 4.806 Nyata 5. Penyelenggaraan Pelatihan 0.669 4.806 Nyata 6. Penyelenggaraan Pendidikan 0.487 4.000 Nyata 3. Kewirausahaan (X3)
7. Kepemilikan keterampilan berusaha 0.548 4.620 Nyata 8. Pengalaman berusaha 0.708 4.000 Nyata 9. Niat berusaha 0.753 4.620 Nyata
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
Tabel 43 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan Kabupaten Kep. Seribu
Faktor Penentu X1
(Penguatan Kelembagaan)
X2 (Pemberdayaan
sumberdaya manusia)
X3 (Kewirausahaan)
X1 (Penguatan
kelembagaan) 1,00 0.371 0.551
X2 (Pemberdayaan
sumbedaya manusia) 0.371 1,00 0.612
X3
( Kewirausahaan) 0.551 0.612 1,00
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
5.1.6 Pembahasan Umum
Mengacu pada hasil analisis SEM dapat dibuktikan bahwa variabel penguatan
kelembagaan, pemberdayaan SDM dan kewirausahaan berpengaruh positif terhadap
peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun dalam konteks hubungan antara
pemberdayaan sumberdaya manusia (X2) dengan peningkatan kesejahteraan (Y), nilai
nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 1.582
lebih rendah dari nilai t table 1.98 dan nilai probabilitas 0,114 (< 0,05), sehingga
156
dapat dikatakan variabel pemberdayaan sumberdaya manusia berpengaruh positif
tetapi tidak signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Artinya, sekalipun
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan
sumberdaya manusia, namun hasil implementasi kebijakan tersebut tidak dapat
mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan nelayan secara signifikan.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai komponen menunjukkan bahwa
aspek penguatan kelembagaan (X1) memiliki pengaruh yang paling besar yaitu 0.398
diikuti oleh kewirausahaan (X3) sebesar 0.359, dan pemberdayaan sumberdaya
manusia nelayan (X3) sebesar 0.239. Hasil ini sesuai dengan hasil kajian yang
dilakukan oleh Arif Satria (2008) yang mengatakan bahwa aspek kelembagaan dalam
hal ini adalah segala piranti lembaga keuangan mikro dan kredit usaha rakyat sangat
berpengaruh dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di pesisir khususnya
nelayan.
Aspek penguatan kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut
persepsi nelayan dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 (tabel 43).
Berdasarkan tabel diatas tampak kelembagaan keuangan mikro merupakan
kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659
dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Sebaliknya mereka tidak terlalu
menganggap penting keberadaan organisasi nelayan dan lembaga pemerintahan.
Para nelayan menganggap adanya LKM dikarenakan kebutuhan mereka
terhadap suatu lembaga yang dapat membantu mereka secara langsung mengenai
permodalan dan bebas dari sistem ijon. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan
selalu menggunakan tengkulak dengan suku bunga yang relatif tinggi dalam
memenuhi kebutuhan modal mereka.
Tabel diatas juga menunjukkan bahwa aspek pemberdayaan sumber daya
nelayan justru mempunyai peran yang paling kecil, menurut nelayan Kepulauan
Seribu sebagai aspek yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hasil ini
menujukkan aspek pemberdayaan SDM tidak mempunyai peran yang lebih penting
dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan dalam mencari
nafkah sebagai nelayan mereka tidak membutuhkan adanya pemberdayaan yang
berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (Siswanto, 2008).
Dari beberapa literatur ditemukan bahwa dari aspek demografi rumah tangga,
nelayan memiliki beban ketergantungan yang relatif tinggi dengan indikasi dapat
dijelaskan dari tingginya tingkat angka kelahiran dibandingkan dengan rumah tangga
157
lainnya. Kecenderungan ini tentunya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rumah
tangga nelayan jauh lebih tinggi. Selanjutnya dalam kesehariannya dalam hal ini
anak-anak keluarga nelayan secara lebih dini terlibat dalam pekerjaan nelayan. Hal ini
tentu berimplikasi pada kelangsungan pendidikan keluarga nelayan. Dan siklus ini
terus berputar, dimana minat untuk meningkatkan kualitas diri terutama melalui
pendidikan menjadi sangat minim, karena orang tua maupun anak-anaknya lebih
cenderung memikirkan kebutuhan dasar.
Tabel 44 diatas menggambarkan keinginan mereka adanya program-program
pemberdayaan yang berupa pelatihan dibandingkan penyuluhan atau pendidikan.
Menurut persepsi mereka pendidikan tidak berkorelasi kuat terhadap peningkatan
kesejahteraan nelayan. Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi yang cukup signifikan
antara tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu.
Mereka lebih mementingkan adanya pemberdayaan berupa pelatihan. Hal ini
dipahami karena pola pendidikan yang berkembang di Indonesia pada umumnya
bersifat vertikal atau satu arah dan tidak dinamis, hal ini bertentangan dengan
karakteristik masyarakat nelayan yang lebih cenderung terbuka dan dinamis. Berbeda
dengan aspek pelatihan yang lebih bersifat lateral, tidak menggurui tetapi melibatkan
langsung nelayan di dalamnya.
Dari aspek kewirausahaan menunjukkan konsep Nikijuluw (2005) terbukti
dengan hasil nilai kesadaran berusaha merupakan nilai yang paling tinggi pada aspek
kewirausahaan. Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa dengan dasar kedua definisi
ini, kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM
perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui
langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka
mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan
adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan keuntungan atau laba
(profit) melalui usahanya. Bila dia pelaku UKM maka yang bersangkutan memiliki
kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya, untuk menjalankan
bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang
melingkupi usahanya.
Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005)
memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha (entrepreneurial intelligence) yang
menurut mereka adalah dasar bagi seseorang, siapapun dia, apakah pelaku UKM atau
konglomerat, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah dorongan
158
hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan
pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi
dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan bahwa kecerdasan
berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta
berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan
nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan.
5.2. Pengembangan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
Pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menuntut adanya
partisipasi aktif dari masyarakat, sehingga peran pemerintah sebagai otoritas
pembangunan harus terfokus untuk memastikan bahwa seluruh sumberdaya di dalam
negara dapat berkembang secara optimal, dan membangun keunggulan kompetitif dari
negara tersebut (Osborne and Gaebler, 1992; Drucker, 1994). Lebih lanjut juga
dikemukakan bahwa, dalam kaitan ini ada tugas-tugas pemerintah yang tidak dapat
tergantikan, yaitu membuat kebijakan publik serta pada tingkat tertentu melaksanakan
kebijakan publik dan melakukan evaluasi termasuk monitoring kebijakan.
Kebijakan pembangunan perikanan pada hakekatnya merupakan kebijakan
publik, yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama
nelayan. Kebijakan ini merupakan keputusan otoritas negara, yang bertujuan
mengatur kehidupan bersama. Adapun pendekatan yang dipergunakan dalam
melakukan analisis kebijakan pembangunan perikanan di Kepulauan Seribu adalah
seperti dapat dilihat melalui gambar 24. Berangkat dari pendekatan pada gambar
tersebut, maka analisis kebijakan ini ditujukan sebagai upaya untuk membuat
kebijakan.
Gambar 24 Kerangka pendekatan analisis kebijakan pembangunan perikanan tangkap guna meningkatkan kesejahteraan nelayan.
159
Lebih lanjut, yang perlu disadari adalah bahwa setiap kebijakan dalam
kenyataannya memerlukan sumberdaya (resources). Dalam kaitan ini, mengingat
ketersediaan sumberdaya yang terbatas, maka akan memaksa setiap kebijakan
dibangun atas dasar prioritas. Keban (2001) yang dikutip Dwidjowijoto (2006)
memperkenalkan kategori kebijakan dalam bentuk pemetaan isu kebijakan
pembangunan menjadi 4 (empat) zone, yang masing-masing memerlukan penanganan
berbeda. Ke empat zone dimaksud, dapat dilihat melalui gambar 25.
Gambar 25 Zone kategori kebijakan pembangunan
Pada zone satu (computation zone), kebijakan terbatas pada perhitungan
matematika. Zone ini merupakan sisi kebijakan yang mudah disetujui nilainya, dan
mudah pula untuk melaksanakannya. Sementara zone kedua adalah negosiasi
(negotiating zone), yang konteksnya sulit untuk disetujui, akan tetapi caranya masih
mudah. Namun demikian, masalah terbesar, terbanyak, terberat dan mendasar berada
pada zone ke tiga (judgement zone) dan zone ke empat (inspiration zone). Masalah
kemiskinan yang pada umumnya menjadi masalah utama di sektor perikanan
khususnya masyarakat nelayan, justru berada pada zone ke tiga. Kita tahu dan setuju
bahwa kemiskinan harus dihapus, tetapi kriteria kemiskinan dan cara untuk mengatasi
kemiskinan ternyata sangat beragam dan tidak mudah untuk menentukan yang
terbaik.
Dengan pendekatan yang lebih sederhana, Dwidjowijoto (2006)
memperkenalkan zoning isu kebijakan secara makro untuk melihat prioritas
pembangunan dengan menggunakan model Time Matrix Management sebagai berikut
160
PENTING KURANG PENTING
MENDESAK Kuadran I Kuadran II
KURANG MENDESAK Kuadran III Kuadran IV
Gambar 26 Penentuan perioritas kebijakan pembangunan
Tugas seorang pemimpin pada hakekatnya harus mampu memilih prioritas serta
menentukan mana kebijakan pembangunan yang berada pada kuadran I, kuadran II,
kuadran III dan kuadran IV. Setelah itu, baru kemudian menyusun tata urutan
manajemen yang dimulai dari visi hingga ke implementasi.
Setelah memahami, sejauh mana pengaruh dan hubungan kebijakan penguatan
kelembagaan, pemberdayaan SDM dan peningkatan kewirausahaan seperti telah
dibahas sebelumnya, selanjutnya akan dibahas analisis pengembangan dari masing-
masing faktor tersebut. Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebijakan
pembangunan perikanan tangkap yang berguna meningkatkan kesejahteraan nelayan
yang berorientasi kepada potensi yang ada, dan mampu mengantisipasi permasalahan-
permasalahan pembangunan perikanan secara konfrehenship dalam bentuk langkah-
langkah strategis.
Metode yang digunakan untuk merangkum aspek potensi dan permasalahan
pembangunan perikanan secara komprehensip tersebut adalah analisis SWOT
(Strength-Weaknessess-Opportunities-Threaths) seperti yang digunakan oleh David
(1997). Analisis SWOT yaitu analisis alternatif yang digunakan untuk
mengidentifikasi berbagai faktor penting secara sistematis dan memformulasikannya
ke dalam suatu strategi. Analisis SWOT merupakan pemilihan hubungan atau
interaksi antar unsur-unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan, dan unsur-unsur
eksternal yaitu peluang dan ancaman.
Pengembangan kebijakan pembangunan perikanan tangkap guna
meningkatkan kesejahteraan nelayan dalam penelitian ini dipilah menjadi tiga bagian
pengembangan kebijakan, masing-masing adalah pengembangan kebijakan publik
guna peningkatan SDM , kelembagaan dan pengembangan kemampuan bernisnis
individu (entrepreneurship). Pengembangan kebijakan ketiga komponen tersebut
disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing komponen yang dianggap
161
sangat mempengaruhi peningkatan kinerja pembangunan perikanan tangkap di
Indonesia.
5.2.1 Pengembangan kebijakan penguatan kelembagaan
Banyak sekali faktor yang menghambat dalam upaya pencapaian tingkat
kesejahteraan nelayan seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Daerah ataupun
Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan terkadang adanya celah antara kinerja yang
diinginkan dengan implementasi kebijakan di lapangan. Analisis dan pemecahan
masalah yang tepat, diharapkan akan membantu dalam upaya meningkatkan
pencapaian kinerja seperti yang diharapkan. Metode analisis yang akan digunakan
dalam mengidentifikasi dan pemecahan masalah adalah analisis SWOT ( Strength,
Weakness, Opportunity dan Threath).Analisis SWOT adalah suatu analisis untuk
mengetahui gambaran kekuatan (Strenght), kelemahan (Weakness), peluang
(Opportunity) dan ancaman (Threath) suatu organisasi guna menentukan faktor
unggulan dan strategi efektif yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan .
Oleh karena itu pengembangan kebijakan komponen penguatan kelembagaan
tersebut akan disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness),
peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing komponen yang
dianggap sangat mempengaruhi penguatan kelembagaan yang ada di Kepulauan
Seribu. Faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi peningkatan
kesejahteraan khususnya pada bidang penguatan kelembagaan dapat diliihat pada
tabel 44 dibawah ini :
Tabel 44 Faktor Pendorong dan penghambat penguatan kelembagaan
No Pendorong Penghambat 1 Ketersediaan SDM pengelola dalam
jumlah yang memadai (I/S) Kapasitas SDM pengelola kelembagaan yang masih rendah (I/W)
2 Adanya bank penjamin (E/O) Suku bunga pinjaman masih relatif tinggi (E/T)
3 Adanya prosedur & mekanisme penyaluran dana (E/O)
Beragamnya persyaratan dalam penyaluran dana (E/T)
4 Bunga tengkulak masih relatif tinggi (I/S)
Akses kepada tengkulak relatif mudah (I/W)
5 Calon debitur sudah memiliki pekerjaan (I/S)
Calon debitur tidak memiliki agunan (I/W)
6 Ditetapkanya menjadi kebijakan Pemerintah (E/O)
Tidak menentunya arah kebijakan pemerintah (E/T)
Sumber : hasil FGD
162
Dari data diatas kemudian kita akan menggolongkan masing-masing faktor
sebagai faktor pendorong yang terdiri dari kekuatan dan peluang sedangkan faktor
penghambat terdiri dari kelemahan dan ancaman. Kemudian kita akan
mengelompokkan pada faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan
sedangkan faktor eksternal adalah peluang dan ancaman. Setelah pengelompokkan
dilakukan dilanjutkan dengan melakukan perbandingan pada masing-masing
komponen tersebut (misalnya a dibandingkan dengan b, dan seterusnya. Dari
pengelompokkan yang dilakukan munculah jumlah huruf pada masing-masing
komponen, yang akan dibagi dengan jumlah total huruh pad sumbu vertikal.
Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dan rating untuk mengetahui
arah strategi pengembangan kelembagaan dalam peningkatan kinerja perikanan
tangkap. Tabel 45 memperlihatkan bobot dan rating unsur-unsur pembentuk SWOT
untuk penentuan arah pengembangan kelembagaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan nelayan.
Tabel 45 Matriks urgensi faktor internal komponen penguatan kelembagaan
FAKTOR INTERNAL Total Bobot
Kekuatan ( S ) a b c d e f
a Ketersediaan SDM pengelola dalam jumlah yang memadai
a c d e a 2 0,12
b Calon debitur sudah memiliki pekerjaan
a c d e b 1 0,06
c Bunga tengkulak masih relatif tinggi c c d e f 2 0,12
Kelemahan (W)
d Kapasitas SDM pengelola kelembagaan yang masih rendah
d d d d d 5 0,33
e Calon debitur tidak memiliki agunan e e e d f 3 0,20
f Akses kepada tengkulak relatif mudah
a b f d f 2 0,12
Total 15 1,00
163
Tabel 46 Matriks urgensi faktor eksternal komponen penguatan kelembagaan
FAKTOR EKSTERNAL Total Bobot
Peluang ( O) a b c d e f
a Adanya bank penjamin b c a e f 1 0,06
b Adanya prosedur & mekanisme penyaluran dana
b c b e b 3 0,20
c Ditetapkanya menjadi kebijakan Pemerintah
c c c c c 5 0,33
Ancaman (W)
d Suku bunga pinjaman masih relatif tinggi
a c c d f 1 0,06
e Beragamnya persyaratan dalam penyaluran dana
e e c d f 2 0,12
f Tidak menentunya arah kebijakan pemerintah
f b c f f 3 0,20
Total 15 1,00
Langkah selanjutnya setelah menyelesaikan pembuatan matriks urgensi adalah
pembuatan matriks skoring guna memberikan skor pada masing-masing faktor baik
faktor internal maupun eksternal. Matriks ini berguna guna membuat suatu peta
kekuatan organisasi, terletak dimanakah organisasi kita sekarang. Pembuatan matriks
scoring ini dimulai dengan mengisi nilai BF (bobot faktor) yang diambil dari
perhitungan bobot pada matriks urgensi diatas. Kemudian mengisi nilai dukungan
(ND) yang terdiri dari angka 1 (tidak mendukung) sampai dengan angka 5 (sangat
mendukung) yang dilanjutkan dengan mengalikan bobot faktor dengan nilai dukungan
guna menghasilkan nilai bobot dukungan (NBD). Berikutnya adalah mengisi nilai
keterkaitan (NK) yang terdiri dari angka 0 (tidak ada kaitan) sampai dengan angka 5
(mempunyai keterkaitan sangat erat). Langkah terakhir adalah mengisi nilai rata-rata
keterkaitan (NRK), nilai bobot keterkaitan (NBK) dan total nilai bobot (TNB) seperti
tampak pada tabel 49 dibawah ini :
164
Tabel 47 Matriks skoring faktor internal dan faktor eksternal penguatan kelembagaan
No Faktor Internal BF % ND NBD N K NRK NBK TNB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KEKUATAN
1 Ketersediaan SDM pengelola 12 3 0,36 1 2 5 2 3 2 3 4 2 2 2 2,5 0,3 0,66
2 Calon debitur memiliki pekerjaan 06 3 0,18 1 2 2 4 5 4 4 3 2 2 3 2,9 0,2 0,38
3 Tingginya bunga tengkulak 12 3 0,36 2 2 3 4 4 3 3 4 3 2 3 3,0 0,4 0,76
KELEMAHAN 1,8
4 Rendahnya SDM pengelola 33 5 1,65 5 2 3 2 2 2 3 3 2 2 2 2,5 0,8 2,45
5 Calon debitur tidak punya agunan 20 4 0,8 2 4 4 2 5 4 3 3 4 3 2 3,2 0,6 1,4
6 Akses ke tengkulak mudah 12 3 0,36 3 5 4 2 5 4 3 3 4 3 2 3,5 0,4 0,76
PELUANG 4,61
7 Adanya bank penjamin 06 3 0,18 2 4 3 2 4 4 4 3 2 2 3 3,0 0,2 0,38
8 Adanya prosedur & mekanisme 20 4 0,8 3 4 4 3 3 3 4 3 3 4 2 3,3 0,7 1,5
9 Menjadi kebijakan pemerintah 33 5 1,65 4 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3 3,3 1,1 2,75
ANCAMAN 4,63
10 Bunga pinjaman tinggi 06 3 0,18 2 2 3 2 4 4 2 3 3 3 4 2,9 0,2 0,38
11 Banyaknya persyaratan 12 3 0,36 2 2 2 2 3 3 2 4 4 3 2 2,6 0,3 0,66
12 Arah kebijakan tidak menentu 20 4 0,8 2 3 3 2 2 2 3 2 3 4 2 2,5 0,5 1,3
2,34
165
Matrik diatas menggambarkan alternatif strategi yang dapat dijalankan, yaitu
strategi SO, strategi WO, strategi ST dan strategi WT. Berdasarkan matrik inilah
dapat disusun prioritas kebijakan guna melakukan penguatan kelembagaan. Prioritas
kebijakan ditentukan oleh skor yang dimiliki masing-masing strategi dalam matrik
tersebut.
Dari peta interaksi SWOT diatas dapat disusun matrik skor strategi SWOT, seperti
dapat dilihat melalui tabel 50 dibawah ini. Skor yang diperoleh dari masing-masing
faktor, dipergunakan untuk menghitung atau menentukan skor yang diperoleh setiap
startegi pada matrik SWOT. Selanjutnya, berdasarkan skor dari masing-masing
strategi dipergunakan untuk menentukan prioritas dari strategi, yang hasilnya secara
berurutan adalah sebagai berikut :
(1) Strategi – ST
(2) Strategi – SO
(3) Strategi – WT dan
(4) Strategi – WO
Tabel 48 Matrik skor strategi SWOT penguatan kelembagaan
IFAS
EFAS
STRENGHT (S)
1,80
WEAKNESSES (W)
4,61 OPPORTUNIES (O)
4,63
STRATEGI – SO
2,83
STRATEGI – W0
0,02
TREATHS (T)
2,34
STRATEGI – ST
0,54
STRATEGI – WT
2,27
Berdasarkan bobot dan rating pada tabel 48 maka arah strategi pengembangan
kelembagaan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap adalah
kebijakan stabilitas yaitu kebijakan dengan memaksimalkan peluang yang ada dan
meminimalkan kelemahan, seperti yang terlihat pada gambar 27 dibawah ini :
166
S 1,8
II (difersifikasi) I ( ekspansi)
T 2,34 O 4,63
2,29
2,81
IV (survival) III (stabilitas)
W 4,61
Gambar 27 Kuadran penguatan kelembagaan guna peningkatan kesejahteraan nelayan
Selanjutanya adalah pembuatan beberapa alternative kebijakan guna meningkatkan
penguatan kelembagaan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Tabel 49 Alternatif kebijakan penguatan kelembagaan
Peluang Adanya bank
penjamin Adanya prosedur & mekanisme
Menjadi kebijakan pemerintah
Kelemahan Rendahnya SDM pengelola
Peningkatan kapasitas SDM pengelola kelembagaan
Pelembagaan program dan penyediaan prosedur yg jelas
Pelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan PEMDA
Calon debitur tidak punya agunan
Pengembangan jaringan kemitraan dengan perbankan
Peningkatan akses dengan penyederhanaan prosedur
Peningkatan akses dg penyederhanaan prosedur
Akses ke tengkulak mudah
Pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha
Pengembangan program pemberdayaan dg 'self financing”
Pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha
167
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka pengembangan kelembagaan yang dapat
dilakukan adalah pelembagaan program penguatan kelembagaan terutama berupa
lembaga keuangan mikro dan organisasi nelayan untuk masyarakat pesisir secara
nasional, dengan memperhatikan:
1) Pelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan Pemerintah
Daerah.
2) Pelembagaan program dan penyediaan prosedur dan mekanisme
pemberian bantuan yang jelas.
3) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola kelembagaan dan
penerima bantuan program pemberdayaan.
4) Pengembangan jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan.
5) Peningkatan akses masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara
penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman guna memotong
mata rantai dengan tengkulak.
6) Pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna
pengembangan usaha
7) Pengembangan program pemberdayaan dengan '”self financing”, sehingga
nelayan diharapkan dapat membiayai dirinya sendiri serta tidak tergantung
kepada tengkulak.
5.2.2 Pengembangan kebijakan peningkatan kewirausahaan
Pengembangan kebijakan berikutnya adalah kebijakan peningkatan
kewirausahaan yang akan disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan
(weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing
komponen yang dianggap sangat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan
kepulauan seribu. Faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi
peningkatan kesejahteraan khususnya pada bidang peningkatan kewirausahaan dapat
diliihat pada tabel 50 dibawah ini :
168
Tabel 50 Faktor Pendorong dan penghambat peningkatan kewirausahaan
No Pendorong Penghambat 1 Semangat untuk mensejahterakan
kehidupan keluarga (I/S) Keterbatasan modal dan akses modal (I/W)
2 Adanya program - program pemberdayaan (I/S)
Kendala pengetahuan dan pemasaran (I/W)
3 Sumber pengetahuan pada umumnya berasal dari turun temurun. (I/S)
Lemahnya kemitraan bisnis dengan industri (I/W)
4 Produk hasil perikanan dan olahannya relatif belum dikembangkan secara optimal (E/O).
Usaha sejenis yang cepat berkembang jika mendapatkan keuntungan (E/T)
5 Pasar lokal masih terbuka luas untuk produk perikanan (E/O)
Banyaknya produk luar negeri yang lebih murah (E/T)
6 Kebijakan pemerintah yang mendukung (E/O)
Tingginya biaya-biaya diluar produksi (E/T)
Sumber : hasil FGD
Dari data diatas kemudian kita akan menggolongkan masing-masing faktor
sebagai faktor pendorong yang terdiri dari kekuatan dan peluang sedangkan faktor
penghambat terdiri dari kelemahan dan ancaman. Kemudian kita akan
mengelompokkan pada faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan
sedangkan faktor eksternal adalah peluang dan ancaman. Setelah pengelompokkan
dilakukan dilanjutkan dengan melakukan perbandingan pada masing-masing
komponen tersebut (misalnya a dibandingkan dengan b, dan seterusnya. Dari
pengelompokkan yang dilakukan munculah jumlah huruf pada masing-masing
komponen, yang akan dibagi dengan jumlah total huruh pad sumbu vertikal.
Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dan rating untuk mengetahui
arah strategi peningkatan kewirausahaan dalam peningkatan kinerja perikanan tangkap.
Tabel 51 memperlihatkan bobot dan rating unsur-unsur pembentuk SWOT untuk
penentuan arah peningkatan kewirausahaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
nelayan.
169
Tabel 51 Matriks urgensi faktor internal komponen peningkatan kewirausahaan
FAKTOR INTERNAL Total Bobot
Kekuatan ( S ) a b c d e f
a Semangat untuk mensejahterakan kehidupan keluarga
a c d e f 1 0,06
b Sumber pengetahuan pada umumnya berasal dari keturunan
a b d e f 1 0,06
c Adanya program - program pemberdayaan
c b d e f 1 0,06
Kelemahan (W)
d Keterbatasan modal dan akses modal
d d d d d 5 0,33
e Kendala pengetahuan & pemasaran e e e d f 3 0,20
f Lemahnya kemitraan bisnis dengan industry
f f f d f 4 0,26
Total 15 1,00
Tabel 52 Matriks urgensi faktor eksternal komponen peningkatan kewirausahaan
FAKTOR EKSTERNAL Total Bobot
Peluang ( O) a b c d e f
a Produk hasil perikanan & olahannya relatif blm dikembangkan scr optimal
a a a e a 4 0,26
b Pasar lokal masih terbuka luas untuk produk perikanan
a b b e b 3 0,20
c Kebijakan pemerintah yang mendukung
a b c c f 2 0,12
Ancaman (W)
d Usaha sejenis cepat berkembang jika mendapatkan keuntungan
a b c d f 1 0,06
e Banyaknya produk luar negeri yang lebih murah
e e c d f 2 0,12
f Tingginya biaya-biaya diluar produksi
a b f f f 3 0,20
Total 15 1,00
170
Tabel 53 Matriks skoring faktor internal dan faktor eksternal peningkatan kewirausahaan
No Faktor Internal BF % ND NBD N K NRK NBK TNB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KEKUATAN
1 Semangat mensejahterakan keluarga 06 2 0,12 2 1 3 3 3 3 2 2 1 2 2 2,18 0,13 0,25
2 Pengetahuan berasal dari keturunan 06 3 0,18 2 2 3 3 4 2 2 3 2 2 1 2,36 0,14 0,32
3 Adanya program pemberdayaan 06 3 0,18 1 2 3 3 4 3 3 3 2 2 2 2,55 0,15 0,33
KELEMAHAN 0,90
4 Keterbatasan modal dan akses modal 33 5 1,65 3 3 3 4 5 5 5 4 3 4 3 3,82 1,26 2,91
5 Kendala pengetahuan & pemasaran 20 4 0,8 3 3 3 4 5 4 4 3 2 3 3 3,37 0,67 1,47
6 Lemahnya kemitraan bisnis dg industri 26 4 1,04 3 4 4 5 5 4 4 3 3 3 3 3,73 0,97 2,01
PELUANG 6,39
7 Produk hasil perikanan & olahannya relatif blm dikembangkan scr optimal
26 5 1,3 3 2 3 5 4 4 5 3 3 2 3 3,37 0,87 2,17
8 Pasar lokal terbuka u/ produk perikanan 20 5 1,0 2 2 3 5 4 4 5 3 3 2 3 3,27 0,65 1,65
9 Kebijakan pemerintah mendukung 12 4 0,48 2 3 3 4 3 3 3 3 2 3 3 2,91 0,35 0,83
ANCAMAN 4,65
10 Usaha sejenis cepat berkembang jika mendapatkan keuntungan
06 3 0,18 1 2 2 3 2 3 3 3 2 2 3 2,36 0,14 0,32
11 Produk luar negeri yang lebih murah 12 3 0,36 2 2 2 4 3 3 2 2 3 2 4 1,82 0,22 0,58
12 Tingginya biaya-biaya diluar produksi 20 4 0,8 2 1 2 3 3 3 3 3 3 3 4 2,73 0,55 1,35
2,25
171
Tabel 54 Matrik skor strategi SWOT peningkatan kewirausahaan
IFAS
EFAS
STRENGHT (S)
0,90
WEAKNESSES (W)
6,39 OPPORTUNIES (O)
4,65
STRATEGI – SO
3,75
STRATEGI – W0
1,74 TREATHS (T)
2,25
STRATEGI – ST
1,35
STRATEGI – WT
4,14
Berdasarkan bobot dan rating pada tabel 56 maka arah strategi peningkatan
kewirausahaan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap adalah
kebijakan stabilitas yaitu kebijakan dengan memaksimalkan peluang yang ada dan
meminimalkan kelemahan, seperti yang terlihat pada gambar 28 dibawah
S 0,9
II (difersifikasi) I ( ekspansi)
T 2,25 O 4,65
2,4
IV (survival) 5,49 III (stabilitas)
W 6,39
Gambar 28 Kuadran peningkatan kewirausahaan guna peningkatan kesejahteraan
Selanjutanya adalah pembuatan beberapa alternatif kebijakan guna meningkatkan
kewirausahaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan nelayan.
172
Tabel 55 Alternatif kebijakan peningkatan kewirausahaan
Peluang
Produk hasil perikanan & olahannya blm dikembangkan secara optimal
Pasar lokal terbuka untuk produk perikanan
Kebijakan pemerintah mendukung
Kelemahan Keterbatasan modal dan akses modal
Segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan
Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan
Peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau
Kendala pengetahuan & pemasaran
Peningkatan kapasitas SDM dalam pengembangan alternative wirausaha
Pengembangan bisnis perikanan bernilai ekonomis tinggi untuk menarik perhatian sektor industri dan perbankan
Pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal
Lemahnya kemitraan bisnis dengan industri
Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dalam membangun kemitraan
Regulasi dan kemudahan perijinan UMKM
Regulasi dan kemudahan perijinan UMKM
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka peningkatan kemampuan kewirausahaan
(entrepreneurship) yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
(1) Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan
perbankan terhadap usaha perikanan.
(2) Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dalam
membangun kemitraan.
(3) Pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal.
(4) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pengembangan alternatif
wirausaha.
(5) Peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau.
(6) Segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan.
(7) Regulasi dan kemudahan perijinan usaha kecil menangah dan koperasi.
173
(8) Pengembangan bisnis perikanan bernilai ekonomis tinggi untuk menarik
perhatian sektor industri dan perbankan
5.2.3 Pengembangan kebijakan pemberdayaan sumberdaya manusia
Pengembangan kebijakan berikutnya adalah kebijakan pemberdayaan
sumberdaya manusia yang akan disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan
(weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing
komponen yang dianggap sangat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan
kepulauan seribu. Faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi
peningkatan kesejahteraan khususnya pada bidang pemberdayaan sumberdaya manusia
dapat diliihat pada tabel 58 dibawah ini :
Tabel 56 Faktor Pendorong dan penghambat pemberdayaan sumberdaya manusia
No Pendorong Penghambat 1 Semangat untuk belajar masih tinggi
(I/S) Keterbatasan biaya pendidikan (I/W)
2 Pranata sosial seperti pengajian, arisan, dsb masih berkembang dengan baik (I/S)
Pemahaman atas pentingnya pendidikan masih rendah dikalangan orang tua (I/W)
3 Etos dan semangat kerja yang tinggi dari nelayan (I/S)
Minimnya waktu luang dan kesempatan (I/W)
4 Akses pendidikan yang tidak terlalu jauh dari ibu kota. (E/O).
Daya tarik bekerja lebih kuat dibandingkan belajar (E/T)
5 Adanya program pendidikan dan latihan yang relatif murah (E/O)
Banyaknya tawaran untuk bekerja (E/T)
6 Komitmen pemerintah yang tinggi terhadap pendidikan (E/O)
Sarana dan prasarana pendidikan masih sangat kurang (E/T)
Sumber : hasil FGD
Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dan rating untuk mengetahui
arah strategi pemberdayaan sumberdaya manusia dalam peningkatan kinerja perikanan
tangkap. Tabel 57 memperlihatkan bobot dan rating unsur-unsur pembentuk SWOT
untuk penentuan arah pemberdayaan manusia dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan nelayan.
174
Tabel 57 Matriks urgensi faktor internal komponen pemberdayaan SDM
FAKTOR INTERNAL Total Bobot
Kekuatan ( S ) a b C d e f
a Semangat untuk belajar masih tinggi b C d a f 1 0,06
b Pranata sosial masih berkembang dengan baik
b B d b f 3 0,2
c Etos dan semangat kerja yang tinggi dari nelayan
c b d c c 3 0,2
Kelemahan (W)
d Keterbatasan biaya pendidikan d d D d e 4 0,26
e Pemahaman atas pendidikan masih rendah dikalangan orang tua
a b C d e 1 0,06
f Minimnya waktu luang dan kesempatan
f f C e e 2 0,12
Total 15 1,00
Tabel 58 Matriks urgensi faktor eksternal komponen pemberdayaan SDM
FAKTOR EKSTERNAL Total Bobot
Peluang ( O) a B c d e f
a Akses pendidikan yang tidak terlalu jauh dari ibu kota.
B c d e a 1 0,06
b Adanya program pendidikan dan latihan yang relatif murah
b c d e b 2 0,12
c Komitmen pemerintah yang tinggi terhadap pendidikan
c c d e f 2 0,12
Ancaman (W)
d Daya tarik bekerja lebih kuat dibandingkan belajar
d d d e d 4 0,26
e Banyaknya tawaran untuk bekerja e e e e f 4 0,26
f Sarana dan prasarana pendidikan masih sangat kurang
a b f d f 2 0,12
Total 15 1,00
175
Tabel 59 Matriks skoring faktor internal dan faktor eksternal pemberdayaan sumberdaya manusia
No Faktor Internal BF % ND NBD N K NRK NBK TNB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KEKUATAN
1 Semangat untuk belajar masih tinggi 0,06 3 0,18 4 4 2 2 3 2 2 4 3 3 4 3,0 0,18 0,36
2 Pranata sosial berkembang dengan baik 0,20 5 1,0 4 4 3 4 3 2 4 4 3 2 2 3,18 0,64 1,64
3 Etos & semangat kerja yang tinggi 0,20 4 0,8 4 4 3 4 3 2 3 2 3 3 2 3,0 0,60 1,40
KELEMAHAN 3,40
4 Keterbatasan biaya pendidikan 0,26 4 1,04 2 3 3 2 3 2 4 4 3 2 2 2,73 0,71 1,75
5 Pemahaman pendidikan masih rendah 0,06 3 0,18 2 4 4 2 3 2 3 2 3 2 2 2,64 0,16 0,34
6 Minimnya waktu luang & kesempatan 0,12 3 0,36 3 3 3 3 3 3 2 2 3 4 2 2,82 0,34 0,70
PELUANG 2,79
7 Akses pendidikan tidak jauh dari DKI 0,06 3 0,18 2 2 2 2 2 3 2 3 2 3 2 2,27 0,14 0,32
8 Adanya program pendidikan & latihan 0,12 5 0,6 2 4 3 4 3 2 2 4 3 2 1 2,73 0,33 0,93
9 Komitmen pemerintah yang tinggi 0,12 4 0,48 4 4 2 4 2 2 3 4 1 2 3 2,82 0,34 0,82
ANCAMAN 2,07
10 Daya tarik bekerja lebih kuat 0,26 3 0,78 3 3 3 3 3 3 2 3 1 4 2 2,73 0,71 1,49
11 Banyaknya tawaran untuk bekerja 0,26 5 1,3 3 2 3 2 2 4 3 2 2 4 2 2,64 0,69 1,99
12 Sarana & prasarana pendidikan kurang 0,12 4 0,48 4 2 2 2 2 2 2 1 3 2 2 2,18 0,26 0,74
4,22
176
Tabel 60 Matrik skor strategi SWOT pemberdayaan sumberdaya manusia
IFAS
EFAS
STRENGHT (S)
3,4
WEAKNESSES (W)
2,79 OPPORTUNIES (O)
2,07
STRATEGI – SO
1,33
STRATEGI – W0
0,72 TREATHS (T)
4,22
STRATEGI – ST
0,82
STRATEGI – WT
1,43
Berdasarkan bobot dan rating pada tabel 56 maka arah strategi pemberdayaan
sumberdaya manusia untuk peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap
adalah kebijakan difersifikasi yaitu kebijakan dengan memaksimalkan kekuatan yang
ada dan meminimalkan ancaman, seperti yang terlihat pada gambar 29 dibawah
S 3,4
II (difersifikasi) I ( ekspansi)
0,61
T 4,22 O 2,07
2,15
IV (survival) III (stabilitas)
W 2,79
Gambar 29 Kuadran pemberdayaan sumberdaya manusia guna peningkatan
kesejahteraan
177
Selanjutanya adalah pembuatan beberapa alternative kebijakan guna meningkatkan
pemberdayaan sumberdaya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
nelayan.
Tabel 61 Alternatif kebijakan pemberdayan sumberdaya manusia
Kekuatan
Semangat untuk belajar masih tinggi
Pranata sosial seperti masih berkembang dengan baik
Etos dan semangat kerja yang tinggi dari nelayan
Ancaman Daya tarik bekerja lebih kuat
Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan pemodalan
Memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata sosial yang ada
Pengembangan nelayan menjadi nelayan skala besar
Banyaknya tawaran untuk bekerja
Pengembangan kebijakan penggalian potensi yang berorientasi pada keunggulan kompetitif produk hasil perikanan
Pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan
Pengembangan nelayan menjadi nelayan skala besar
Sarana & prasarana pendidikan kurang
Penyediaan sarpras pendidikan & latihan yg menunjang peningkatan kinerja nelayan
Penyediaan sarpras tempat pertemuan yang menunjang kegiatan berorganisasi
Penyediaan sarpras perikanan tangkap yang menunjang peningkatan akses pasar
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
(1) Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan pemodalan.
(2) Memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata sosial yang ada.
(3) Pengembangan kebijakan penggalian potensi yang berorientasi pada
keunggulan kompetitif produk hasil perikanan.
(4) Pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan.
178
(5) Penyediaan sarpras pendidikan & latihan yg menunjang peningkatan kinerja
nelayan.
(6) Penyediaan sarpras tempat pertemuan yang menunjang kegiatan berorganisasi
(7) Penyediaan sarpras perikanan tangkap yang menunjang peningkatan akses
pasar.
(8) Pengembangan nelayan menjadi nelayan skala besar.
5.2.4 Pembahasan Umum
Berdasarkan hasil pengembangan kebijakan publik yang dapat dilakukan,
maka arah penguatan kelembagaan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan
perikanan adalah:
5.2.4.1 Penguatan kelembagaan
Aspek penguatan kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut
persepsi nelayan dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 (tabel 43).
Sedangkan berdasarkan tabel 44 diatas tampak Kelembagaan Keuangan Mikro
(LKM) merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan
nilai koefisien 0.659 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Para nelayan
menganggap adanya LKM dikarenakan kebutuhan mereka terhadap suatu lembaga
yang dapat membantu mereka secara langsung mengenai permodalan dan bebas dari
sistem ijon. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan selalu menggunakan
tengkulak dengan suku bunga yang relatif tinggi dalam memenuhi kebutuhan modal
mereka.
Pembangunan ekonomi pesisir sebagai bagian integral dari pembangunan
ekonomi nasional, keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan nelayan terutama
perikanan tangkap. Hal itu merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pesisir
menggantungkan hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan. Oleh karena itu tidak
mengherankan, kegiatan penangkapan ikan sering dijadikan indikator pembangunan
ekonomi pesisir. Di dalam praktek penangkapan ikan, diperlukan inovasi teknologi
guna mendorong peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan nelayan
179
justru pada adopsi inovasi teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan
modal yang lemah.
Untuk mengatasi kekurangan modal, nelayan biasanya mengusahakan
tambahan modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal
(perbankan) maupun kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya
karena nelayan sering tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan
konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan
informal seperti nelayan pemodal (pelepas uang - rentenir), atau mengadakan kontrak
dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain yang umumnya sumber modal
tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional karena terlalu tinggi dan
mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi petani akan tetapi juga
merusak tatanan perekonomian di pesisir. Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bagi nelayan akan menjadi salah satu solusinya.
LKM memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktifitas perekonomian
bagi masyarakat nelayan yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga
perbankan umum/bank konvensional. Di lingkungan masyarakat, telah banyak LKM
yang menyediakan skim kredit dengan pola yang beragam, namun umumnya
bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi usaha-usaha ekonomi non perikanan.
Pada bulan Mei 2008 saat diadakan rapat kerja kelembagaan perikanan dan
kelautan di hotel Equator Surabaya, gubernur Jawa timur memaparkan dari jumlah
sekitar 10 juta jiwa nelayan di Jawa Timur ada 900.000 nelayan yang merupakan
nelayan yang hidup dipesisir pantai dan sebagian besar dari mereka terlilit utang
renternir. Utang kepada renternir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan
terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tidak pernah kunjung sejahtera. Para
renternir telah mengambil benefit yang besar dari nelayan, sebab sebelum bias
melunasi pinjaman pokok, nelayan harus membayar bunga yang telah ditentukan
hingga tiga kali lipat. Setiap kali melaut pendapatan mereka dipotong 20 % guna
pembayaran bunga renternir. Bunga it uterus ditagih di lokasi tempat pelelangan ikan
selama masih belum dilunasi pinjaman tersebut. Problem besarnya adalah nelayan
sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu, sehingga bila tidak melaut, pihak yang
180
dicari adalah renternir untuk dapat berhutang dengan cepat dan mudah demi
menyambung hidup keluarganya. Selama masa paceklik, nelayan umumnya
menggantungkan kebutuhan keluarganya kepada renternir, karena pinjaman melalui
bank harus ada jaminan. Renternir merupakan bagian kehidupan nelayan yang sangat
sulit dipisahkan, walaupun sangat merugikan nelayan. Hasil wawancara dengan
nelayan mengatakan bahwa mereka mengaku sudah sejak puluhan tahun telah
berhutang kepada renternir, bahkan sejak mereka masih bujangan sampai tua. Mereka
menagatakan tidak bias lepas dari renternir, apalagi sejak kondisi ekonomi tidak
kunjung membaik. Kehidupan nelayan Indonesia semakin terpuruk, lebih dari 50%
anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) bergantung hidupnyanya pada
tengkulak kata Sekjen HNSI, HAM Siagian (Bisnis Indonesia, 2008).
Peran Lembaga keuangan mikro dalam rangka peningkatan kesejahteraan
nelayan juga dikemukakan oleh gunawan (2003) yang mengatakan salah satu
hambatan utama masyarakat atau usaha kecil untuk berkembang adalah keterbatasan
sumberdaya finansial karena sifatnya yang mikro dengan modal kecil, tidak berbadan
hukum dan manajemen yang sebagian masih tradisional sehingga sektor ini tidak
tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank) yang selalu menerapkan
prinsip perbankan dalam memutus kreditnya.
Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah
penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal karena
mampu menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat kecil yang cenderung
dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan
pelayanan kredit tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula
mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan.
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri juga memuat 3 (tiga)
elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama,
menyediakan beragam jenis pelayana keuangan—relevan dengan kebutuhan riil
masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama). Ketiga,
181
menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih
mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan.
Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi
masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. yaitu
sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang
sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk
masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan
ekonomi. Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan
mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan
kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya (baca: masyarakat
miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan dirinya sebagai lembaga
keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga
kemampuan si nasabah untuk dapat me-manage keuangan agar dapat dioptimalkan
demi pengembangan skala usahanya.
Selama ini keengganan dari pihak perbankan dalam menyalurkan kreditnya
kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang
mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata
perbankan. Pihak perbankan kebanyakan akan merasa sia-sia dalam memberi
pelayanan kepada mereka. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang
pelayanan terhadap masyarakat miskin akan mendatangkan biaya transaksi tinggi dan
penuh dengan resiko. Tingginya biaya disebabkan skala kredit yang mereka butuhkan
terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan,
ditambah lagi dengan pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah,
dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh.
Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan
ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.
Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu
untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat
miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang
memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski
182
berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial
melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat
(KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah
dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari
KSM—organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya—yang
diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau
mensubstitusi collateral.
Sampai saat ini baru terdapat satu LKM yang berdiri di Kepulauan Seribu.
Satu-satunya LKM yang ada tersebut bernama Lembaga Ekonomi Tidung Sejahtera
(LETS) yang didirikan pada tanggal 11 Oktober 2003 sebagai hasil dari adanya
program Program Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Pada tanggal 1 Juli 2006
LETS ini berubah menjadi Koperasi Pesisir Seribu Sejahtera. Kinerja Koperasi
pesisir ini dimulai dari pencairan dana PEMP yang dikelola LETS pada bulan Januari
2004 sebesar Rp.872.400.000. Informasi terakhir yang didapatkan di lapangan pada
bulan Juli 2007 tinggal sebesar Rp.3.840.000,
Data diatas memperlihatkan terjadi kemunduran usaha yang sangat jelas.
Perjalan usaha LETS dalam kurun waktu tersebut mengalami kemunduran akibat
kemacetak kredit yang terbesar pada periode per 31 Juli 2004 adalah pinjaman
modal bergulir dari Rp.505.833.380, jumlah kemacetan sebesar Rp.300.512.334.
Berarti jumlah uang yang dibayar hanya sebesar Rp.205.321.050. Sedangkan
pinjaman modal konsumtif dari jumlah Rp.123.630.000, tingkat kemacetan dana
sebesar Rp.94.830.000. Yang lebih menyedihkan adalah pinjaman tenaga karyawan
LETS yang meminjam uang dari LETS sejumlah RP.32.785.000, yang terbayar
hanya sebesar Rp.8.500.000. Berarti terdapat tunggakan sebesar Rp.24.285.000.
Pendapatan jasa yang diterima sebesar Rp.22.783.200, dana ini berasal
dari pendapatan jasa produkstif dan konsumtif. Namun demikian biaya operasional
yang dikeluarkanlebih besar dari pendapatan jasanya. Pengeluaran dana operasional
sebesar Rp.48.941.800, pengeluaran ini sebagian besar untuk biaya tenaga kerja
sebesar Rp.33.145.000.
183
Pengembalian dana dari LETS yang cenderung terabaikan, hal ini patut
dicermati dan perlu bijaksana dalam melihat pola pikir masyarakat pesisir.
Masyarakat Kepulauan Seribu umumnya berpendidikan rata-rata SD sehingga
membentuk pola pikir yang tidak membangun yang menganggap dana pinjaman
yang berasal dari program PEMP dirasakan sebagai hibah bukannya dana pinjaman
yang harus dikembalikan. Mereka juga melihat pada para pengurus koperasi yang
sangat sulit dalam pengembalian pinjaman. Sehingga pola pikir ini akan tersus
mendarah daging dan harus dikembalikan ke arah yang benar sesuai dari
pembentukan program yaitu kesejahteraan masyarakat pesisir.
Oleh karena itu sesuai dengan hasil SWOT (nomer 3) diatas sangat diperlukan
adanya peningkatan kapasitas SDM pengelola kelembagaan dan penerima bantuan
program pemberdayaan. Peningkatan kapasitas SDM pengelola dan penerima mutlak
diperlukan untuk menunjang keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir
yang dilakukan. Peningkatan SDM pengelola diarahkan pada hal-hal:
a. Penguasaan pemahaman pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan program
yang diselenggarakan oleh pemerintah.
b. Mahaman prosedur dan mekanisme penyaluran dana.
c. Penguasaan teknologi informasi yang menunjang pelaksanaan program
d. Pemahaman tentang kelayakan bisnis / usaha perikanan yang akan dijalankan.
e. Bimbingan teknis perlu rutin diselenggarakan.
f. Monitoring dan evaluasi program.
Peningkatan SDM penerima diarahkan pada beberapa hal, antara lain:
a. Bimbingan teknis dan manajemen usaha yang akan dijalankan, termasuk untuk
bisnis/usaha yang sudah dijalankan untuk meningkatkan kinerja usaha/bisnis
perikanan yang dijalankan.
b. Manajemen keuangan dan pemasaran.
c. Jaringan kerjasama bisnis/usaha yang dijalankan.
Belajar dari keberhasilan pengelolaan LKM pada daerah lain untuk diterapkan
dalam membangun LKM pesisir Kepulauan Seribu pada dasarnya dapat saja
dilakukan dengan mengakomodasi beberapa pola yang sudah berkembang dengan
184
melakukan penyesuaian. Pendekatan pola Grameen Bank, serta pola lainnya dapat
dijadikan acuan salah satu alternatif skim perkreditan untuk diaplikasikan untuk
mendukung usahatani, namun dengan beberapa penyesuaian terkait dengan
karakteristik nelayan sebagai berikut:
1) Pendekatan kelompok.
Makna pendekatan kelompok adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak
adanya agunan (collateral). Kelompok diselaraskan dengan kelompok nelayan
yang sudah eksis beranggotakan antara 20 – 30 orang.
2) Perluasan sasaran pengguna kredit
Sasaran pengguna kredit tidak difokuskan untuk kaum ibu saja, melainkan perlu
juga melibatkan kaum Bapak. Karena yang menjadi anggota kelompok nelayan
adalah kaum bapak dan yang mengetahui kebutuhan dana untuk adopsi teknologi
penangkapan.
3) Seleksi calon pengguna kredit
Indikator seleksi disesuaikan dengan keragaan usaha penangkapan, salah satunya
yang penting dipertimbangkan adalah adanya diversifikasi usaha.
4) Volume Pagu Kredit
Volume pagu kredit minimal mampu memenuhi standar kebutuhan tambahan
biaya penangkapan dan realisasi pencairannya disesuaikan dengan perilaku pola
penangkapan. Studi kelayakan mengenai penangkapan ikan menjadi acuan. Tiap
orang kebutuhannya akan berbeda.
5) Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman terkait dengan keberlanjutan perkreditan. Oleh karena itu
patokannya adalah bunga komersial sesuai pasar.
6) Waktu pengembalian cicilan
Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk mingguan dan atau segera
setelah penangkapan. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah
penangkapan (disesuaikan dengan perkiraan sumber pendapatan nasabah).
Disarankan komposisi jumlah cicilan mingguan lebih besar dari pada cicilan
segera setelah penagkapan, misal 70% berbanding 30%.
185
7) Pendampingan dan Monitoring
Pendampingan dan monitoring secara berkelanjutan, sehingga jika terjadi masalah
selama proses pemanfatan kredit bisa segera dicarikan solusinya.
8) Pelatihan
Pelatihan diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk secara terus menerus
meningkatkan kapabilitas manajemen LKM
Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di
Kepulauan Seribu selain harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan,
secara operasional hendaknya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon kelompok sasaran, antara lain terkait
dengan eksistensinya sebagai kelompok paling tidak dalam dua tahun terakhir.
Dalam penetapan calon kelompok sasaran ini seyogyanya berpedoman pada
mekanisme yang sistematis dan terstruktur berdasarkan langkah-langkah kegiatan
yang mengarah pada operasionalisasi kegiatan.
2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria tersebut diseleksi oleh
pendamping lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas.
3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran kelompok yang layak melakukan
kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan didasarkan pada keragaan
organisasi kelompok nelayan yang difokuskan pada kondisi kinerja organisasi
kelompok nelayan.
4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha
kelompok (penyediaan seed capital).
5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam
melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam adminitrasi pengelolaan
dana.
6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang
berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan
lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
186
7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas
pengurus dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan usaha kepada
nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi.
Selain itu hasil analisis SWOT menyarankan adanya pengembangan
jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan dan industri serta peningkatan akses
masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan
mekanisme peminjaman guna memotong mata rantai dengan tengkulak. Menurut
Setiawan (2008) kelemahan kelembagaan ekonomi di masyarakat pesisir adalah
tidak berhubungan dengan industri maupun perbankan. Lemahnya akses lembaga
terhadap sektor industri maupun perbankan membuat kelembagaan yang dibentuk
umumnya hanya bertahan selama proyek berjalan. Setelah itu, kelembagaan dengan
sendirinya akan mati. Kerjasama dengan industri diarahkan pada penyediaan akses
dan jaringan informasi pemasaran. Meskipun tidak langsung berhubungan dengan
kelembagaan, namun kerjasama ini tentunya akan menyediakan jaringan pemasaran
dan informasi yang dibutuhkan. Masyarakat selaku anggota lembaga akan merasa
terbantu sehingga akan cukup menghidupkan kelembagaan yang ada.
Kerjasama dengan perbankan diarahkan untuk maksud kemudahan akses
penyediaan modal yang dibutuhkan bagi anggota kelompok. Kerjasama ini
merupakan kerjasama yang saling menguntungkan antara perbankan selaku
penyandang dana dan lembaga ekonomi masyarakat selaku pemanfaat. Bila
kerjasama ini bisa dilakukan antar lembaga ekonomi masyarakat yang ada dengan
perbankan, maka ‘self financing mechanism’ yang berarti lembaga sudah mampu
mengadakan pembiayaan sendiri sudah berjalan dan sudah tidak memerlukan bantuan
program pemerintah karena sudah bisa beroperasi melalui pendanaan sendiri.
Berdasarkan tabel 44 diatas tampak organisasi nelayan merupakan
kelembagaan yang penting setelah adanya Lembaga Keuangan Mikro dengan nilai
koefisien 0.599 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Hal ini sesuai dengan
penelitian marwoto (2004) yang mengatakan keberadaan suatu kelembagaan yang
dapat menghimpun nelayan akan sangat bermanfaat bagi nelayan yang
187
bersangkutan dan dapat membantu dalam pelaksanaan berbagai program yang
dilakukan pemerintah. Bentuk kelembagaan yang pada umumnya ada di pedesaan
antara lain adalah kelompok nelayan (berdasarkan jenis alat tangkap), Kelompok
Usaha Bersama (KUB, berdasarkan kesamaan jenis usaha), Koperasi Unit Desa
(KUD) Mina, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
Kelompok Nelayan yang ada saat ini dalam kenyataannya kurang dan
bahkan tidak dapat mewakili kepentingan nelayan, terutama nelayan buruh.
Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Kelompok
Nelayan pada umumnya menyebutkan bahwa yang dapat menjadi anggota
Kelompok Nelayan adalah nelayan pemilik. Oleh karenanya Kelompok Nelayan
tidak lain adalah kumpulan dari para pemilik unit penangkapan, yang biasanya
sejenis.
Dengan sistim keanggotaan yang demikian maka Kelompok Nelayan
hanya menyuarakan kepentingan nelayan pemilik saja. Di sisi lain, program
pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan Pemerintah menggunaan pendekatan
kelompok nelayan. Dengan demikian yang mempunyai kesempatan untuk
mengikuti pembinaan dan penyuluhan hanyalah nelayan pemilik. Padahal
meningkatnya produktivitas usaha penangkapan sangat ditentukan oleh pengetahuan
dan ketrampilan nelayan buruh yang secara langsung terjun dalam kegiatan
penangkapan. Mereka seolah tidak memiliki kesempatan untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan ketrampilan yang diberikan oleh Pemerintah.
Sebaliknya, bagi pemilik unit penangkapan, pengetahuan dan ketrampilan tidak
begitu penting, karena yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana unit
penangkapan siap untuk beroperasi, termasuk dalam menyediakan uang untuk
membeli kebutuhan untuk operasionalnya.
KUB, KUD Mina dan HNSI juga menunjukkan kenyataan yang sama.
Kelembagaan ini merupakan wadah hanya bagi pemilik unit penangkapan dan
bukan untuk nelayan buruh. Hingga saat ini belum ada kelembagaan bagi nelayan
buruh, sehingga adanya sistim bagi hasil yang tidak adil, sebagai contoh, tidak ada
jalur kelembagaan yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasinya.
188
Selain itu, pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan pemerintah juga selalu mencantumkan persyaratan yang hanya dapat
dipenuhi oleh nelayan pemilik. Misalnya pemberian paket bantuan palkah, mesin,
dan jaring, dengan mekanisme dana bergulir, hanya mungkin diikuti oleh para
pemilik unit penangkapan, dan bukan nelayan buruh yang memang tidak memiliki
unit penangkapan. Dengan demikian, lemahnya kelembagaan nelayan buruh
berpengaruh terhadap kemiskinan yang dialami oleh nelayan buruh.
Penyelesaian masalah organisasi nelayan ini dikemukan oleh marwoto
(2004) dengan tahap awal, kelembagaan yang perlu dikembangkan adalah
Kelompok Nelayan Buruh, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan
buruh untuk mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan jumlah
nelayan buruh yang sangat banyak dan dominan dan tergabung dalam suatu
organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan pemilik sehingga
tidak ada lagi hubungan kerjasama yang tidak saling menguntungkan.
Peran kelembagaan Kelompok Nelayan ini diharapkan seperti peran
kelembagaan pekerja di sektor industri dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(SPSI). Bagi nelayan yang bekerja di perikanan industri (skala besar) penerapan
ketentuan upah minimum regional sudah seharusnya juga diterapkan, apalagi waktu
kerja dan resiko kerja bagi nelayan lebih berat dibandingkan dengan pekerja/buruh
industri.
Di sisi lain, mengingat jumlahnya yang banyak, sudah sewajarnya jika
Pemerintah mulai memberikan perhatian kepada kelompok nelayan buruh ini.
Dapat dipastikan bahwa mereka juga memerlukan pembinaan, dan justru merekalah
yang harus dibina agar dapat diperoleh peningkatan produksi perikanan yang
berasal dari kegiatan penangkapan ikan. Meningkatnya produksi akan diikuti
dengan peningkatan nilai jual hasil tangkapan dan pada gilirannya akan berdampak
terhadap peningkatan pendapatan nelayan. Dalam tahap berikutnya, kelompok
nelayan buruh secara bertahap dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi kelompok
usaha bersama pada saat memiliki kemampuan untuk melakukan investasi untuk
189
mengadakan unit penangkapan secara bersama. Peningkatan pendapatan dapat
diperoleh dengan mekanisme yang sama dengan adanya bantuan unit penangkapan
yang berasal dari Pemerintah.
Pada akhirnya sesuai dengan hasil analisis SWOT diatas yang terpenting dari
semua hal tersebut adalah adanya pelembagaan program dan sinkronisasi dengan
kebijakan Pemerintah Daerah serta adanya penyediaan prosedur dan mekanisme
pemberian bantuan yang jelas. Menurut Setiawan (2008) pelembagaan program
pemberdayaan untuk masyarakat pesisir secara nasional perlu segera dilakukan. Hal
ini diarahkan pada pengembangan kelembagaan pemberdayaan masyarakat pesisir
(nelayan) pada satu pintu, sehingga koordinasi, skim kredit pemodalan, aturan main
maupun mekanisme pengelolaan dana-dana pemberdayaan dikelola oleh lembaga ini.
Kelembagaan yang dibentuk bisa didalam departemen atau instansi teknis yang
berhubungan langsung dengan masyarakat. Selama ini, program pemberdayaan
dilakukan secara beragam. Departemen Sosial, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Departemen Agama, Departemen Pemberdayaan Wanita, Departemen Daerah
Tertinggal mempunyai direktorat, sub-direktorat atau kepala bagian yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat. Akibatnya, skim kredit, mekanisme penyaluran
maupun teknis pengembaliannya sangat beragam.
Pengembangan kelembagaan menjadi satu pintu khususnya dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir dan laut dalam rangka meningkatkan kinerja
pembangunan perikanan tangkap dimaksudkan agar bisa mengatur,
mengkoordinasikan, membuat mekanisme dan aturan main tertentu sehingga tidak
menyulitkan pada saat pelaksanaanya di lapangan. Permasalahan yang sering terjadi
selama ini, karena perbedaan dalam penyaluran dana maupun aturan-aturanya
menyebabkan kesulitan dalam penentuan jenis bantuan yang diberikan. Satu instansi
memberikan bantuan secara murni, sementara instansi lain memberikan bantuan
dalam bentuk dana bergulir, dan instansi lainnya memberikan bantuan dalam bentuk
kredit. Akibatnya, masyarakat terutama masyarakat pesisir menjadi bingung dan
mempertanyakan jenis bantuan yang diberikan. Jika skim bantuan yang diberikan
dalam satu desa seragam tidak menjadi masalah. Tetapi apabila sudah diberikan
190
bantuan sebelumnya dan skimnya berbeda, biasanya akan sangat menyulitkan
mekanisme pengaturan selanjutnya. Pengembangan kelembagaan pemberdayaan
masyarakat pesisir dan laut dalam satu pintu, harus mempunyai pedoman umum dan
petunjuk pelaksanaan yang jelas dimaksudkan agar bisa memberikan pedoman dan
petunjuk pelaksanaan yang jelas dan dapat diimplementasikan di lapangan.
Keuntungan kelembagaan program pemberdayaan satu pintu adalah bisa membuat
Pedum dan Juklak yang tidak berbeda antar masing-masing instansi. Dengan
demikian, segala macam skim bantuan yang diberikan sudah mempunyai Pedum dan
Juklak dari satu pintu, sehingga petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang dibuat
diharapkan tidak asal jadi, tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman pada program
pemberdayaan sebelumnya.
Prosedur dan mekanisme penyaluran dana juga harus jelas. Hal ini menurut
Setiawan (2008) dimaksudkan agar pemberian dana pemberdayaan lebih mudah
dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan.Prosedur dan
mekanisme penyaluran dana yang sederhana dan jelas bisa mengacu pada versi yang
sudah dikembangkan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, yaitu : (1)
keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), (ii) penyediaan beragam jenis
pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani;
serta, dan yang terakhir (iii) melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
(masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama).
Melalui pengembangan ketiga elemen kunci tersebut, LKM menjadi pilihan
alternatif bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang
“merakyat”. yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan
prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar
apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka
pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan
UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian.
191
5.2.4.2 Pengembangan kewirausahaan
Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa kewirausahaan UKM perikanan
dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM perikanan dalam memulai dan
menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko
untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara
lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya
mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya. Bila dia
pelaku UKM maka yang bersangkutan memiliki kemampuan, meskipun kecil atau
menengah skala usahanya, untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan
laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya.
Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005)
kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk
memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis
yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya
mereka mengatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang
dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya
disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya
secara berkelanjutan.
Pengembangan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap menurut hasil analisis SWOT
diatas meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan alternatif
wirausaha sesuai dengan potensi daerah. Kemampuan berbisnis individu biasanya
tidak datang dengan sendirinya. Kemampuan ini biasanya datang turun temurun atau
melalui pendidikan dan pelatihan yang digelutinya atau berdasarkan pengalaman di
sekitarnya.
Setiawan (2008) mengatakan peningkatan pemasaran produk perikanan untuk
meningkatkan gairah usaha sektor bisnis perikanan. Pemasaran produk perikanan
pada umumnya tidak diminati karena tingkat resikonya yang sangat tinggi. Resiko
tersebut adalah cepat busuknya produk hasil perikanan tangkap sehingga menurunkan
harga jual. Resiko lain adalah penurunan harga jual pada saat musim penangkapan.
192
Dalam rangka peningkatan pemasaran produk perikanan, perlu disediakan sarana dan
prasarana yang memadai untuk meminimilasi kemungkinan penurunan harga jual
akibat penurunan kualitas hasil tangkapan. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan
antara lain pembangunan TPI/PPI dan penyediaan sarana/prasarana transportasi yang
memadai agar bisa dipasarkan ke wilayah lain.
Kemudian masalah regulasi UKM dan UMKM dalam kemudahan perijinan
juga perlu diperhatikan. UKM dan UMKM biasanya kesulitan dalam mengurus
perijinan-perijinan yang diperlukan. Disamping ketidak tahuannya, juga karena
kesulitan yang dijumpainya untuk memperoleh ijin-ijin yang diperlukan. Oleh karena
itu, perlu regulasi UKM dan UMKM dalam kemudahan perijinan, sehingga
usaha/wirausaha yang dijalankan bisa bersaing dengan usaha/wirausaha lain, baik
tingkat lokal, regional maupun internasional.
5.2.4.3 Pemberdayaan sumberdaya manusia
Analisis SEM diatas juga menunjukkan bahwa aspek pemberdayaan sumber
daya nelayan justru mempunyai peran yang paling kecil yang mempengaruhi
kesejahteraan mereka. Hasil ini menujukkan aspek pemberdayaan SDM tidak
mempunyai peran yang lebih penting dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Dari beberapa literatur ditemukan bahwa dari aspek demografi rumah tangga,
nelayan memiliki beban ketergantungan yang relatif tinggi dengan indikasi dapat
dijelaskan dari tingginya tingkat angka kelahiran dibandingkan dengan rumah tangga
lainnya. Kecenderungan ini tentunya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rumah
tangga nelayan jauh lebih tinggi. Selanjutnya dalam kesehariannya dalam hal ini
anak-anak keluarga nelayan secara lebih dini terlibat dalam pekerjaan nelayan. Hal
ini tentu berimplikasi pada kelangsungan pendidikan keluarga nelayan. Dan siklus ini
terus berputar, dimana minat untuk meningkatkan kualitas diri terutama melalui
pendidikan menjadi sangat minim, karena orang tua maupun anak-anaknya lebih
cenderung memikirkan kebutuhan dasar. Hal ini dikarenakan dalam mencari nafkah
sebagai nelayan mereka tidak membutuhkan adanya pemberdayaan yang berupa
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (Siswanto, 2008).
193
Peningkatan penguatan kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu
melalui pendidikan dan pelatihan sangat perlu dilakukan walaupun menurut mereka
pemberdayaan tidak begitu penting. Penguatan kelembagaan dan peningkatan
kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan pengembangan kapasitas sumberdaya
yang pada umumnya hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Pelaku bisnis perikanan,
pada umumnya enggan untuk meningkatkan kemampuannya dengan biaya sendiri.
Mereka sangat tergantung pada dana yang diberikan pemerintah.
Oleh karena itu pemerintah harus mengambil inisiatif untuk dapat
meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia nelayan dalam rangka pengembangan
alternatif wirausaha sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya sebelum
menggulirkan dana pemberdayaan. Kegagalan program pemberdayaan yang sering
terjadi adalah karena tidak didahului dengan penyiapan sumberdaya terlebih dahulu.
Penerima program pemberdayaan hanya mengandalkan kemampuannya dengan
berbagai keterbatasan yang dimilikinya sehingga penerima program sering tidak bisa
mengembalikan dana yang diperolehnya apabila dana tersebut harus dikembalikan.
Keuntungan yang diperoleh dari program pemberdayaan relatif tidak bertambah,
sementara ditambah dengan kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman.
194
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan
adalah:
(1) Sektor-sektor yang mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga
memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di
kabupaten/kota lain adalah susektor perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai DS positif yang mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational
advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini
ditandai dengan nilai PS negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah
lain. Hasil ini menunjukkan bahwa subsektor perikanan sebenarnya
merupakan sektor unggulan dan mempunyai daya saing yang tinggi,
dibuktikan dengan nilai LQ yang positif dan juga DS yang positif. Akan tetapi
sektor ini tidak memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sektor
sejenis di daerah lain. Hal ini terjadi karena yang menjadi pembanding
subsektor perikanan Kepulauan Seribu adalah Kota Jakarta Utara. Seperti
sudah digambarkan pada bab sebelumnya sebesar 55 % pemasaran hasil
perikanan tangkap dan 82 % pemasaran hasil perikanan budidaya dilakukan
diluar wilayah kepulauan seribu. Kondisi inilah yang menyebabkan subsektor
perikanan Kepulauan Seribu tidak tumbuh dengan baik karena justru yang
menikmati hasil tangkapan dan hasil budidaya perikanan adalah kota lain.
(2) Faktor penguatan kelembagaan (variabel X1) berpengaruh positif terhadap
variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.398, sehingga
dapat dikatakan variabel kelembagaan benar berpengaruh positif dan
signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Aspek penguatan
kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut persepsi nelayan
dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 dan kelembagaan keuangan
195
mikro merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan
dengan nilai koefisien 0.659 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya.
Setelah mendapatkan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatakan
kesejahteraan dilanjutkan dengan melakukan analisis SWOT guna mencari
alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna meningkatkan
kesejahteraan nelayan dari aspek kelembagaan yaitu (i) perlunya kelembagaan
program dan sinkronisasi dengan kebijakan PEMDA serta penyediaan
prosedur dan mekanisme pemberian bantuan yang jelas, (ii) peningkatan
kapasitas sumber daya manusia pengelola kelembagaan dan penerima bantuan
program pemberdayaan, (iii) pengembangan jaringan kemitraan dengan
kalangan perbankan, (iv) peningkatan akses masyarakat dengan lembaga
keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman
guna memotong mata rantai dengan tengkulak, (v) pengembangan jaringan
kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha.
(3) Faktor kewirausahaan (variabel X3) berpengaruh positif yang kedua terhadap
variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.359 sehingga
dapat dikatakan variabel kewirausahaan benar berpengaruh positif dan
signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Nilai kesadaran berusaha
merupakan nilai yang paling tinggi dari aspek kewirausahaan. Hal ini
menunjukkan seorang nelayan juga diharapkan menjadi seorang wirausahaan
yaitu seorang yang mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit)
melalui usahanya. Pada aspek kewirausahaan beberapa kebijakan yang
dihasilkan adalah : (i) perlunya upaya perbaikan lingkungan untuk
meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan
dalam membangun kemitraan (ii) pengembangan wisarausaha yang handal
dan berbasis keunggulan lokal, (iii) meningkatan kapasitas sumber daya
manusia dalam pengembangan alternatif wirausaha, (iv) peningkatan akses
modal melalui skim yang terjangkau, (v) segmentasi permodalan berdasarkan
usaha yang dikembangkan, (vi) regulasi dan kemudahan perijinan usaha kecil
menangah dan koperasi.
196
(4) Faktor pemberdayaan sumberdaya manusia (variabel X2) adalah factor yang
paling kecil berpengaruh terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan
nilai estimates 0.239. Aspek pemberdayaan sumber daya nelayan justru
mempunyai peran yang paling kecil, menurut nelayan Kep. Seribu sebagai
aspek yang mempengaruhi kesejahteraan. Beberapa alternatif kebijakan yang
dihasilkan adalah (i) Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan
permodalan, (ii) memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata
sosial yang ada, (iii) penggalian potensi yang berorientasi pada keunggulan
kompetitif produk hasil perikanan, (iv) pemberdayaan nelayan melalui
kemitraan dengan industri dan perbankan., (v) pengembangan nelayan
menjadi nelayan dengan skala lebih besar
6.2 Saran dan Rekomendasi Kebijakan
(1) Diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang melibatkan semua pihak yang
berkepentingan yang dapat mempercepat pertumbuhan subsektor perikanan
disemua wilayah Kepulauan Seribu. Percepatan pertumbuhan sektor
perikanan ini dapat berpotensi guna memberikan efek ganda (multiplier
effects) yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam wilayah
Kepulauan Seribu yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan.
(2) Berdasarkan hasil SEM maka dari 3 aspek kebijakan yang mempengaruhi
kesejahteraan nelayan aspek kelembagaan mempunyai nilai yang paling
tinggi. Oleh karenanya di masa yang akan datang sebaiknya program
penciptaan kelembagaan dan penumbuhan jiwa kewirausahaan lebih banyak
dilakukan dibandingkan dengan program-program pemberdayaan yang berupa
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. Perlu diadakan pelembagaan program
pemberdayaan untuk masyarakat pesisir (nelayan) secara nasional dan
pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal dalam
pengembangan usaha produktif masyarakat.
(3) Pada aspek kewirausahan diharapkan kedepan dilakukan peningkatan
kapasitas SDM dalam pengembangan wirausaha alternatif sesuai dengan
197
potensi lokal serta pengembangan wirausaha yang handal berbasis pada
keunggulan lokal. Hal ini ditunjang dengan pengembangan teknologi tepat
guna dalam rangka menciptakan usaha yang lebih bernilai ekonomis serta
peningkatan pemasaran produk perikanan untuk meningkatkan gairah usaha
(bisnis) sektor perikanan. Regulasi bidang UKM dan UMKM, terutama dalam
hal perijinan. Selanjutnya, dibutuhkan adanya peningkatan bantuan
permodalan melalui berbagai skim pemberian modal dengan persaratan ringan
dan terjangkau masyarakat. Terakhir dibutuhkan adanya upaya perbaikan
lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap
usaha perikanan.
(4) Dibutuhkan komitmen keberlanjutan suatu kebijakan oleh pemerintah,
sehingga keberhasilan penerapan suatu kebijakan dapat terlihat dengan jelas.
Selama ini yang terjadi setiap penggantian pemerintah, kebijakan ikut
berubah. Khususnya nelayan ketergantungan terhadap tengkulak sulit
dihindari karena tengkulak selalu siap memenuhi kebutuhan nelayan
kapanpun, berbeda dengan kebijakan pemerintah yang mempunyai anggaran
terbatas dan terikat dengan ketentuan yang kadang menurut nelayan sangat
menyulitkan.
(5) Pemerintah perlu segera mengkaji kembali berbagai regulasi/kebijakan yang
telah ditetapkan dan diimplementasikan selama ini. Dalam upaya peningkatan
kesejahteraan nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang
memiliki spesifikasi wilayah kepulauan, lebih tepat jika program dan kegiatan
pembangunan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan nelayan dengan
cara penguatan kelembagaan yang ada. Pemerintah daerah hendaknya segera
mengkaji kembali seluruh kebijakan pembangunan secara spesifik,
komprehensif, dan integratif.
198
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. 2000. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Makalah Pelatihan ICZPM Angkatan I. PPLH IPB, Bogor.
Adrianto, L. 2004. Analisis Penentuan Daerah Perikanan (Fisheries Dependent Region). Working Paper Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Institut Pertanan Bogor. Bogor.
Adrianto, L., Matsuda, Y., dan Sakuma, Y. 2005. Assessing Local Sutainability of Fisheries System: A Multi-Criteria Participatory Approach with The Case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture. Japan Marine Policy. 29, 9-23.
Arif , Satria (2008), Negeri Bahari yang Melupakan Nelayan, Kompas , 9 Juni 2008
Adrian P Pangemanan (2002), Sumber Daya Manusia Masyarakat Nelayan, Bogor, IPB
Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, (1998). Structural Equation Modeling in Practice: A Review and Recommended Two Step Approach, Psychological Bulletin, Vol. 163.
Arifin, B. dan Rahbini, D.J. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Arrow, Kenneth.J. (1950) “ A Difficulty in the Concept of Social Welfare” Journal of Political Economy, August 1950
Arsyad, Lincolin. (2002) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi kedua, BPFE UGM Yogyakarta.
Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bapekab), ( 2002.) Penyusunan Rencana Pengembangan Kegiatan Ekonomi Kelautan di Kepulauan Seribu. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Badan Perencanaan Kabupaten dengan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB.
Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bapekab), (2002). Penyusunan Rencana Pengembangan Kemitraan Pembangunan Kepulauan Seribu. Kerjasama Badan Perencanaan Kabupaten (Bapekab) Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).
Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bapekab), (2002). Penyusunan Konsep Ketentuan Pemanfaatan Perairan Laut Kepualaun Seribu. Kerjasama Badan Perencanaan Kabupaten (Bapekab) Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB)
199
. Biro Hukum Pemerintah Propinsi DKI Jakarta,( 2001 ). Peraturan Daerah Propinsi
DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001. Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta. Biro Hukum Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2000. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. BPS, Jakarta.
____________2003. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS. Jakarta.
____________2004. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta
____________2005. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta
____________2006. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta
____________2007. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta
____________2008. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik, 2004. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
____________2005. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
____________2006. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
____________2007. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
____________2008. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Badan Pusat Statistik (2007), Indek Pembangunan Manusia 2005-2006,Jakarta, CV.Rioma Badan Pusat Statistik (2007), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
2007, Jakarta, CV. Nario Sari. Badan Pusat Statistik (2007) Statistik Kesejahteraan Rakyat ,Jakarta, CV Gading Komunikatama.
Budiharsono, S. 2003. Analisis Prioritas, Alokasi Anggaran, Monitoring dan Evaluasi Proyek Pembangunan. Makalah, disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZPM) diselenggarakan pada tanggal 11 Agustus - 25 Oktober 2003 di Bogor. Kerjasama DKP dan PKSPL IPB.
Byrne, B.M., 2001. Structural Equation Modeling with AMOS. Basic Concepts, Applications and Programming. Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey. 338 pp.
200
Campbell, J. 2000. Sustainable Coastal Livelihoods Research in the Bay of Benga. Sustainable Coastal Livelihoods Newsletter. Volume 1, Issue 1. IMM Ltd. 1 Southern hay West. UK.
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. UK
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Masyarakat, LISPI dan Ditjen P3K. Jakarta. 145 halaman.
___________ 2004. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmia: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), 2001. Statistik Perikanan Tangkap. 2001. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta.
____________2002. Position Paper Kebijakan dan Program Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Program Tahun Anggaran 2002. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
____________2002. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2002. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
____________2003. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
____________2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2003. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
____________2004. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun 2004. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta
____________2004. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir 2004. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan.
____________2004. Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2004. Ditjen Perikanan Tangkap, DKP Jakarta.
____________2007. 6 tahun Program PEMP sebuah refleksi. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Drucker, P.F, 1994, Innovation and Entrepreneurship. Practice and Principles (terjemahan). Penerbit Erlangga
201
Dunn, W.N. 2001. Public Policy Analysis. University of Pittburgh. Disunting oleh Muhadjir Darwin. Penerbit Hanindita Graha Widya Yogyakarta.
Dwidjowijoto, R.N, 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. Model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta
Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-Client. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Andalas University Press.
FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries, Book 4, Fisheries Management. FAO, Rome. 82 p.
Fauzi, A. 1992. Suatu Telaah Kemiskinan di Indonesia (Makalah). Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
____________2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. PT.Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Fatchudin. 2006. Analisis Kebijakan Perkreditan untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Feeny, D. 1990. The Tragedy of the Commons: Twenty-Two Years Later. Human Ecology, 8(1): 1-19.
Ferdinand, A. 2006. Structural Equation Modeling (SEM) dalam penelitian Manajemen. Program Magister Manajemen Universitas Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Fox, J. 2002. Structural Equation Models, An Appendix to An R and S-PLUS Companion to Applied Regression. 20pp.
Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Journal of Political Economics, 62(2): 124-142.
Gunawan, S 2007. Pemberdayaan Sosial, Jakarta, Gramedia Pustaka
Irwandi Idris,et.all. 2007, Membangunkan Raksasa Ekonomi,Bogor, Penerbit Buku Ilmiah
Hendriwan, 2003. Penanggulangan Kemiskinan Dalam Rangka Kebijakan Desentralisasi. Makalah Falsafah Sains. Program Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hox, J.J. and T.M. Bechger. 1998. An Introduction to Structural Equation Modeling. Family Science Review 11:354-373.
Johnston, R.S. 1992. Fisheries Development, Fisheries Management and Externalities. World Bank Discussion Paper, 165, 43 p.
Kasimis, C and Anastasia Petrou. 2000. Identifying Fisheries Dependent Regions in Greece in Symes, D. (eds). Fisheries Dependent Regions. Fishing News Books. Blackwell Science, London, UK.
202
Kesteven, G.L. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1 – An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No. 118. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome
Kollmeyer, C.J. 2004. Measuring Class Compromise: A Structural Equation Model: A Structural Equation Model 15 Advanced Capitalist Democracies. Global & International Studies Program. Paper 18. University of California. Santa Barbara. 43pp. http://repositories.cdlib.org/gis/18.
Kusnadi. 2002. Nelayan. Strategi Adaptasi Dan Jaringan Sosial. Penerbit Humaniora Utama Press ,Bandung.
____________ 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Humaniora Utama Press, Bandung.
Mashuri, 1993. Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan Sosial Ekonomi Kenelayanan Jawa dan Madura 1850-1940, Masyarakat Indonesia. LIPI.
Marwoto, 2004. Kemikinan Nelayan : Sebuah Masalah yang Belum Terpecahkan, Makalah Matakuliah Pengantar Ke Falsafah Sains, IPB, Bogor
Mulyana, R. 1999. Kajian Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Pesisir-Pendekatan System Dynamic (Studi Kasus Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta). Tesis, Program Studi Pembangunan. Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Tidak dipublikasikan.
Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan?. Penerbit Feraco. Jakarta.
____________2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir secara Terpadu. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, diselenggarakan pada tanggal 29 Oktober – 3 November 2001 di Bogor. Kerjasama CRC-URI dengan PKSPL IPB.
____________1998. Identification of Indigenous Coastal Fisheries Management (ICFM) Sistem in Sulawesi, Maluku, and Irian Jaya. Indonesian Journal of Coasal and Marine Resources, 1(2): 1-14.
Nugroho, R. 2007. Analisis Kebijakan. Elex Media Komputindo-Gramedia Jakarta.
Osborne, D and T. Gaebler, 1992. Reinventing Government. How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo
Panayatou, T. 1992. Management Concepts for Small-scale Fisheries: Economic and Sosial Aspects. FAO Fish. Tech. Paper, 228: 53 p.
Paul, S. 1987. community Participation in Development Project. New York: World Bank
203
Phillipson, J. 2000. Delimiting Fisheries Dependent Regions: The Problem of Inadequate Data in Symes, D. (eds). Fisheries Dependent regions. Fishing News Books. Blackwell Science London, UK.
Pranarka dan Vidhyandika, M. 1996. “Pemberdayaan” dalam Onny S.P dan A.M.W. Pranarka (ed). Jakarta: CSIS
Primayuda. 2002. Analisis Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Buruh Nelayan dan Pariwisata di Pantai Sendang Biru Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur (Skripsi). Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prijosaksono, A. Dan S. Bawono, 2004. The Power of Entrepreneurial Intelligence. Membangun Sikap dan Perilaku Entrepreneur Dalam Diri Anda. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 171 p.
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis – Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rasdani.1993. Nelayan, Kehidupan dan Permasalahannya. Majalah Dinas Perikanan. Jakarta.
Rawls, John. A Theory of Justice. Cambrigde, Mass: Harvard University Press, 1971.
Saad S. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia.Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta.
Saedan, C. 1999. Kemiskinan Keluarga Nelayan di Pantai Barat Sumatrea Barat. (Tesis). Pembangunan Wilayah Pedesaan. Universitas Andalas Padang
Satria, A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan. Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung.
____________2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Penerbit: PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta
Saksono, Herie. 2008. Model Pembangunan Kabupaten Adm Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan, Disertasi, IPB, Bogor
Sayogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP – IPB. Bogor.
____________1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT. Grassindo. Jakarta.
Setiawan, I. 2007. Kinerja Pembangunan Perikanan Tangkap : Suatu Analisis Program Pemberdayaan Nelayan, Disertasi, IPB, Bogor
Sen, Amartya K (1995). Inequality Reexamined, New York : Russel Sage Foundation, 1995.
____________ (1999). The Possibility of Social Change, American Economic Review, 89, July 1999
204
Shari,I. 1990. Ekonomi Nelayan: Pengumpulan Modal, Perubahan Teknologi dan Pembezaan Ekonomi. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur.
Sihombing, Martin. 2008. Si Raja Laut Masih dihimpit Renternir, Bisnis Indonesia, 03 September 2008.
Siswanto, Budi (2008) Kemiskinan dan Perlawanan Nelayan, Malang, Laksbang
Smith, I.R. 1979. A Research Framework for Traditional Fisheries. ICLARM Studies and Reviews, 2: 40 p.
___________ 1983. A Research Framework for Traditional Fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARAM), Manila.
Soegiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oceanologi Nasional, Jakarta.
Soepanto and V.P.H. Nikijuluw. 1999. Resource-based Collaborative Commercial Fisheries Management in Eastern Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, 2(2):17-28.
Subade, R.F. and N.M.R. Abdullah. 1993. Are Fishers Profit Maximizers? The case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo, Philippines. Asian Fisheries Science, 6:39-49.
Suharto, E. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. CV. Alfabeta, Bandung.
Sumodiningrat, 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengamanan Sosial. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
____________2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Jurnal ekonomi Rakyat. Artikel Th. II-No. 1- Maret 2003.
Tim Pengendali Jaring Pengaman Sosial (TP-JPS). 2001. Verivikasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
http://www.jps.or.id/proyek/rekomendasi/ 2001/s81-151101.html.
Undang-Undang Perikanan 2004. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sinar Grafika, Jakarta
UU No. 16 tahun 1994. tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Sinar Grafika, Jakarta
Widiyanto, D., Saefuddin, A., dan Sumardjo. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Pantai untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan. Kasus Tanjung Pakis Kabupaten Karawang, Jawa Barat. IPB Press.
205
Lampiran
Analysis Summary
Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM
Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM
Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1)
Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X12 X11 X13 Unobserved, exogenous variables X1 err12 err11 err13
Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: 7 Number of observed variables: 3 Number of unobserved variables: 4 Number of exogenous variables: 4 Number of endogenous variables: 3
Variable Summary (Group number 1)
Your model contains the following variables (Group number 1)
206
Observed, endogenous variables X12 X11 X13 Unobserved, exogenous variables X1 err12 err11 err13
Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: 7 Number of observed variables: 3 Number of unobserved variables: 4 Number of exogenous variables: 4 Number of endogenous variables: 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model)
Maximum Likelihood Estimates
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X12 <--- X1 1.000 X11 <--- X1 .593 .204 2.902 .004 "1?" X13 <--- X1 .593 .204 2.902 .004 "1?"
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate X12 <--- X1 .790X11 <--- X1 .468X13 <--- X1 .460
Variances: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X1 .319 .126 2.534 .011 par_2 err12 .192 .115 1.667 .096 par_3 err11 .400 .061 6.602 *** par_4 err13 .418 .062 6.707 *** par_5
207
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate X13 .211X11 .219X12 .625
Model Fit Summary
CMIN
Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF Default model 5 .066 1 .797 .066 Saturated model 6 .000 0 Independence model 3 42.242 3 .000 14.081
RMR, GFI
Model RMR GFI AGFI PGFI Default model .005 1.000 .998 .167 Saturated model .000 1.000 Independence model .118 .827 .653 .413
Baseline Comparisons
Model NFIDelta1
RFIrho1
IFIDelta2
TLIrho2 CFI
Default model .998 .995 1.023 1.071 1.000 Saturated model 1.000 1.000 1.000 Independence model .000 .000 .000 .000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model PRATIO PNFI PCFI Default model .333 .333 .333 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 1.000 .000 .000
NCP
Model NCP LO 90 HI 90 Default model .000 .000 2.863 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 39.242 21.836 64.086
208
FMIN
Model FMIN F0 LO 90 HI 90 Default model .000 .000 .000 .020 Saturated model .000 .000 .000 .000 Independence model .297 .276 .154 .451
RMSEA
Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE Default model .000 .000 .142 .829 Independence model .304 .226 .388 .000
AIC
Model AIC BCC BIC CAIC Default model 10.066 10.356 24.880 29.880 Saturated model 12.000 12.348 29.777 35.777 Independence model 48.242 48.416 57.130 60.130
ECVI
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI Default model .071 .077 .098 .073 Saturated model .085 .085 .085 .087 Independence model .340 .217 .515 .341
HOELTER
Model HOELTER.05
HOELTER.01
Default model 8257 14262 Independence model 27 39
209
Analysis Summary
Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM
Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM
Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1)
Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X21 X22 X23 Unobserved, exogenous variables err21 err22 X2 err23
Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: 7 Number of observed variables: 3 Number of unobserved variables: 4 Number of exogenous variables: 4 Number of endogenous variables: 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model)
Maximum Likelihood Estimates
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X21 <--- X2 1.137 .237 4.806 *** "1?" X22 <--- X2 1.137 .237 4.806 *** "1?"
210
Estimate S.E. C.R. P Label X23 <--- X2 1.000
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate X21 <--- X2 .629X22 <--- X2 .648X23 <--- X2 .585
Variances: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X2 .158 .055 2.855 .004 par_2 err21 .311 .051 6.148 *** par_3 err22 .282 .048 5.864 *** par_4 err23 .303 .051 5.891 *** par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate X23 .342X22 .419X21 .396
Model Fit Summary
CMIN
Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF Default model 5 2.009 1 .156 2.009 Saturated model 6 .000 0 Independence model 3 58.602 3 .000 19.534
RMR, GFI
Model RMR GFI AGFI PGFI Default model .023 .991 .944 .165 Saturated model .000 1.000 Independence model .133 .771 .541 .385
Baseline Comparisons
211
Model NFIDelta1
RFIrho1
IFIDelta2
TLIrho2 CFI
Default model .966 .897 .982 .946 .982 Saturated model 1.000 1.000 1.000 Independence model .000 .000 .000 .000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model PRATIO PNFI PCFI Default model .333 .322 .327 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 1.000 .000 .000
NCP
Model NCP LO 90 HI 90 Default model 1.009 .000 9.376 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 55.602 34.350 84.283
FMIN
Model FMIN F0 LO 90 HI 90 Default model .014 .007 .000 .066 Saturated model .000 .000 .000 .000 Independence model .413 .392 .242 .594
RMSEA
Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE Default model .084 .000 .257 .228 Independence model .361 .284 .445 .000
AIC
Model AIC BCC BIC CAIC Default model 12.009 12.299 26.823 31.823 Saturated model 12.000 12.348 29.777 35.777 Independence model 64.602 64.776 73.490 76.490
ECVI
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI Default model .085 .077 .143 .087
212
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI Saturated model .085 .085 .085 .087 Independence model .455 .305 .657 .456
HOELTER
Model HOELTER.05
HOELTER.01
Default model 272 470 Independence model 19 28
213
Analysis Summary
Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM
Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM
Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1)
Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X31 X32 X33 Unobserved, exogenous variables err31 err32 X3 err33
Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: 7 Number of observed variables: 3 Number of unobserved variables: 4 Number of exogenous variables: 4 Number of endogenous variables: 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model)
Maximum Likelihood Estimates
214
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X31 <--- X3 .468 .101 4.630 *** "1?" X32 <--- X3 1.000 X33 <--- X3 .468 .101 4.630 *** "1?"
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate X31 <--- X3 .532X32 <--- X3 .946X33 <--- X3 .573
Variances: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X3 .620 .149 4.170 *** par_2 err31 .344 .049 7.005 *** par_3 err32 .072 .125 .579 .563 par_4 err33 .278 .043 6.496 *** par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate X33 .328X32 .896X31 .283
Model Fit Summary
CMIN
Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF Default model 5 1.619 1 .203 1.619 Saturated model 6 .000 0 Independence model 3 91.681 3 .000 30.560
RMR, GFI
Model RMR GFI AGFI PGFI Default model .027 .992 .955 .165 Saturated model .000 1.000 Independence model .175 .703 .406 .352
215
Baseline Comparisons
Model NFIDelta1
RFIrho1
IFIDelta2
TLIrho2 CFI
Default model .982 .947 .993 .979 .993 Saturated model 1.000 1.000 1.000 Independence model .000 .000 .000 .000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model PRATIO PNFI PCFI Default model .333 .327 .331 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 1.000 .000 .000
NCP
Model NCP LO 90 HI 90 Default model .619 .000 8.509 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 88.681 61.066 123.719
FMIN
Model FMIN F0 LO 90 HI 90 Default model .011 .004 .000 .060 Saturated model .000 .000 .000 .000 Independence model .646 .625 .430 .871
RMSEA
Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE Default model .066 .000 .245 .280 Independence model .456 .379 .539 .000
AIC
Model AIC BCC BIC CAIC Default model 11.619 11.909 26.433 31.433 Saturated model 12.000 12.348 29.777 35.777 Independence model 97.681 97.855 106.570 109.570
216
ECVI
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI Default model .082 .077 .137 .084 Saturated model .085 .085 .085 .087 Independence model .688 .493 .935 .689
HOELTER
Model HOELTER.05
HOELTER.01
Default model 337 583 Independence model 13 18
217
Analysis Summary
Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM
Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM
Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1)
Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables Y1 Y2 Y3 Unobserved, exogenous variables errY1 errY2 Y errY3
Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: 7 Number of observed variables: 3 Number of unobserved variables: 4 Number of exogenous variables: 4 Number of endogenous variables: 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model)
218
Maximum Likelihood Estimates
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label Y3 <--- Y 2.167 .703 3.083 .002 "1?" Y1 <--- Y 1.000 Y2 <--- Y 2.167 .703 3.083 .002 "1?"
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate Y3 <--- Y .657Y1 <--- Y .314Y2 <--- Y .768
Variances: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label Y .046 .029 1.584 .113 par_2 errY1 .422 .053 8.011 *** par_3 errY2 .150 .035 4.302 *** par_4 errY3 .285 .045 6.306 *** par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate Y3 .431 Y2 .591 Y1 .098
Model Fit Summary
CMIN
Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF Default model 5 .042 1 .837 .042 Saturated model 6 .000 0 Independence model 3 51.901 3 .000 17.300
219
RMR, GFI
Model RMR GFI AGFI PGFI Default model .003 1.000 .999 .167 Saturated model .000 1.000 Independence model .106 .808 .615 .404
Baseline Comparisons
Model NFIDelta1
RFIrho1
IFIDelta2
TLIrho2 CFI
Default model .999 .998 1.019 1.059 1.000 Saturated model 1.000 1.000 1.000 Independence model .000 .000 .000 .000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model PRATIO PNFI PCFI Default model .333 .333 .333 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 1.000 .000 .000
NCP
Model NCP LO 90 HI 90 Default model .000 .000 2.392 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 48.901 29.148 76.087
FMIN
Model FMIN F0 LO 90 HI 90 Default model .000 .000 .000 .017 Saturated model .000 .000 .000 .000 Independence model .365 .344 .205 .536
RMSEA
Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE Default model .000 .000 .130 .863 Independence model .339 .262 .423 .000
220
AIC
Model AIC BCC BIC CAIC Default model 10.042 10.332 24.856 29.856 Saturated model 12.000 12.348 29.777 35.777 Independence model 57.901 58.075 66.789 69.789
ECVI
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI Default model .071 .077 .094 .073 Saturated model .085 .085 .085 .087 Independence model .408 .269 .599 .409
HOELTER
Model HOELTER.05
HOELTER.01
Default model 12948 22364 Independence model 22 32
221
Analysis Summary
Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM
Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM
Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1)
Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X12 X22 X32 Y2 X11 X13 X21 X23 X31 X33 Y1 Y3 Unobserved, endogenous variables Y Unobserved, exogenous variables X1 X2 X3 err11 err12 err13 err21 err23 err31 err32
222
err33 errY1 errY2 errY3 err22 errY
Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: 29 Number of observed variables: 12 Number of unobserved variables: 17 Number of exogenous variables: 16 Number of endogenous variables: 13
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model)
Maximum Likelihood Estimates
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label Y <--- X2 .224 .141 1.582 .114 par_3 Y <--- X3 .296 .142 2.077 .038 par_4 Y <--- X1 .388 .145 2.674 .007 par_5 X12 <--- X1 1.468 .149 9.829 *** "1?" X22 <--- X2 1.468 .149 9.829 *** "1?" X32 <--- X3 1.468 .149 9.829 *** "1?" Y2 <--- Y 1.468 .149 9.829 *** "1?" X13 <--- X1 1.000 X11 <--- X1 1.468 .149 9.829 *** "1?" X21 <--- X2 1.468 .149 9.829 *** "1?" X23 <--- X2 1.000 X31 <--- X3 1.000 X33 <--- X3 1.468 .149 9.829 *** "1?" Y3 <--- Y 1.468 .149 9.829 *** "1?" Y1 <--- Y 1.000
223
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate Y <--- X2 .239Y <--- X3 .359Y <--- X1 .398X12 <--- X1 .659X22 <--- X2 .669X32 <--- X3 .708Y2 <--- Y .744X13 <--- X1 .439X11 <--- X1 .599X21 <--- X2 .665X23 <--- X2 .487X31 <--- X3 .548X33 <--- X3 .753Y3 <--- Y .638Y1 <--- Y .426
Covariances: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X1 <--> X2 .037 .015 2.468 .014 par_2 X2 <--> X3 .073 .020 3.642 *** par_6 X1 <--> X3 .063 .019 3.363 *** par_7
Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate X1 <--> X2 .371X2 <--> X3 .612X1 <--> X3 .551
224
Variances: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label X1 .097 .026 3.784 *** par_8 X2 .105 .026 3.994 *** par_9 X3 .136 .032 4.235 *** par_10errY .030 .013 2.341 .019 par_11err11 .372 .055 6.747 *** par_12err12 .272 .045 5.998 *** par_13err13 .405 .053 7.704 *** par_14err21 .285 .045 6.272 *** par_15err23 .337 .045 7.563 *** par_16err31 .317 .042 7.533 *** par_17err32 .293 .045 6.442 *** par_18err33 .224 .039 5.753 *** par_19errY1 .416 .052 7.956 *** par_20errY2 .160 .029 5.472 *** par_21errY3 .289 .042 6.958 *** par_22err22 .279 .045 6.220 *** par_23
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate Y .677Y3 .407Y1 .181X33 .568X31 .300X23 .237X21 .442X13 .193X11 .359Y2 .554X32 .501X22 .448X12 .434
Model Fit Summary
225
CMIN
Model NPAR CMIN DF P CMIN/DF Default model 23 72.628 55 .056 1.321 Saturated model 78 .000 0 Independence model 12 412.734 66 .000 6.254
RMR, GFI
Model RMR GFI AGFI PGFI Default model .045 .922 .889 .650 Saturated model .000 1.000 Independence model .128 .541 .458 .458
Baseline Comparisons
Model NFIDelta1
RFIrho1
IFIDelta2
TLIrho2 CFI
Default model .824 .789 .951 .939 .949 Saturated model 1.000 1.000 1.000 Independence model .000 .000 .000 .000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model PRATIO PNFI PCFI Default model .833 .687 .791 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 1.000 .000 .000
NCP
Model NCP LO 90 HI 90 Default model 17.628 .000 43.852 Saturated model .000 .000 .000 Independence model 346.734 286.334 414.633
FMIN
Model FMIN F0 LO 90 HI 90 Default model .511 .124 .000 .309 Saturated model .000 .000 .000 .000 Independence model 2.907 2.442 2.016 2.920
226
RMSEA
Model RMSEA LO 90 HI 90 PCLOSE Default model .048 .000 .075 .532 Independence model .192 .175 .210 .000
AIC
Model AIC BCC BIC CAIC Default model 118.628 123.264 186.774 209.774 Saturated model 156.000 171.721 387.102 465.102 Independence model 436.734 439.153 472.288 484.288
ECVI
Model ECVI LO 90 HI 90 MECVI Default model .835 .711 1.020 .868 Saturated model 1.099 1.099 1.099 1.209 Independence model 3.076 2.650 3.554 3.093
HOELTER
Model HOELTER.05
HOELTER.01
Default model 144 161 Independence model 30 33
Top Related