ANALISA FAST FOURIER TRANSFORM UNTUK
PENENTUAN CEKUNGAN DAN PEMODELAN 2.5D
CEKUNGAN MENGGUNAKAN METODE GRAVITY PADA
DAERAH JAWA BARAT BAGIAN SELATAN
Hizkia Wicaqsono
115.100.008
Jurusan Teknik Geofisika, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
Jalan SWK 104 Condongcatur Yogyakarta
INTISARI
Telah dilakukan pengukuran metode gravity pada daerah Jawa Barat
bagian selatan yang meliputi daerah administratif Tasikmalaya hingga Ciamis,
Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontras perbedaan
nilai densitas, hasil pengukuran metode gravity ini didapatkan peta regional yang
menunjukan perbedaan kontras densitas, kontras densitas ini digunakan untuk
menegetahui keberadaan cekungan.
Metode gravity adalah metode penyelidikan geofisika yang didasarkan
pada variasi percepatan gravitasi di permukaan bumi. Pengukuran gravity ini
dimana adanya perbedaan kecil dari medan gravitasi yang diakibatkan variasi
massa di kerak bumi. Tujuan dari eksplorasi ini adalah untuk mengasosiasikan
variasi dari perbedaan distribusi rapat massa dan juga jenis batuan.
Hasil yang diperoleh adalah berupa model sayatan bawah permukaan
menunjukan gambaran kondisi bawah permukaan pada beberapa daerah yang
mewakili keseluruhan daerah penelitian. Dengan litologi batuan dasar pada daerah
penelitian didominasi oleh Breksi Gunung api tua bersusunan andesit basal yang
termasuk kedalam Formasi Jampang dengan kedalaman kurang lebih 9 km yang
memiliki rata-rata nilai densitas 2.8 mgal. sedangkan untuk batuan sedimen
berasal dari berbagai pola sedimentasi dan sumber dari suplai sedimentasinya
dengan rata-rata nilai densitasnya berkisar antara 2.2 mgal hingga 2.5 mgal.
Kata Kunci : gravity, anomaly bouger (BA), pemodelan, cekungan
1. PENDAHULUAN
Ketersediaan sumber daya
energi seperti minyak bumi akan
semakin menipis seiring dengan
berjalannya waktu dan tingkat
penggunaannya yang semakin
meningkat. Sumber daya energi yang
lain seperti gas alam keberadaannya
juga mengikuti minyak bumi karena
bersifat tidak dapat diperbaharui
(non renewable). Oleh karena itu
segala upaya penelitian dan
eksplorasi harus tetap dilakukan
untuk terus mendapatkan cadangan-
cadangan baru yang dapat di
eksploitasi untuk memenuhi
kebutuhan energi. Untuk
menemukan cadangan-cadangan
baru yang dapat dieksploitasi
terkadang kegiatan eksplorasi
mengalami kendala yang berasal dari
kondisi lapangan, akan tetapi seiring
berkembangnya metode geofisika
maka kegiatan eksplorasi dapat terus
berlanjut dengan pengukuran
pengukuran yang menggunakan
metode geofisika. Metode gravity
adalah metode penyelidikan
geofisika yang didasarkan pada
variasi percepatan gravitasi di
permukaan bumi. Pengukuran
gravity ini dimana adanya perbedaan
kecil dari medan gravitasi yang
diakibatkan variasi massa di kerak
bumi.
Maksud dari penyusunan
tugas akhir ini diantaranya adalah
mempelajari aplikasi metode
geofisika khususnya metode gravity;
Aplikasi metode gravity sebagai
survei awal untuk melakukan
pemetaan bawah permukaan.
Sedangkan tujuan dari penyusunan
tugas akhir ini adalah analisa
spektum dengan menggunakan
metode FFT (Fast Fourier
Transform); menentukan Basement
dan sedimen pada daerah penelitian;
dan membuat pemodelan bawah
permukaan daerah Jawa Barat bagian
selatan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional
Geologi daerah penelitian
merupakan suatu acuan untuk
mengetahui kondisi geologi daerah
keseluruhan baik secara regional
maupun lokal. Untuk itu, sebeblum
melakukan survei geofisika
pemahaman terhadap kondisi geologi
daerah penelitian sangat diperlukan
untuk mengetahui target yang akan
dicari.
Geologi Jawa Barat merupakan
salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki daya tarik tersendiri.
Aktifitas geologi yang telah
berlangsung selama berjuta-juta
tahun di wilayah ini menghasilkan
berbagai jenis batuan mulai dari
batuan sedimen, batuan beku
(ekstrusif dan intrusif) dan batuan
metamorfik dengan umur yang
beragam. Akibat proses tektonik
yang terus berlangsung hingga saat
ini, seluruh batuan tersebut telah
mengalami pengangkatan, pelipatan
dan pensesaran.
Berdasarkan sudut pandang
ilmu kebumian, daerah Jawa Barat
sangat menarik untuk dipelajari
karena geologi daerah ini dikontrol
oleh hasil aktifitas tumbukan dua
lempeng yang berbeda jenis.
Lempeng yang pertama berada di
bagian utara berkomposisi Granitis
yang selanjutnya dinamakan sebagai
Lempeng Benua Eurasia, selanjutnya
lempeng yang kedua berada di
selatan berkomposisi Basaltis yang
selanjutnya dinamakan sebagai
Lempeng Samudra Hindia-Australia.
Kedua lempeng ini saling
bertumbukan yang mengakibatkan
Lempeng Samudra menunjam di
bawah Lempeng benua. Zona
Tumbukan (subduction zone),
membentuk morfologi menyerupai
lembah curam yang dinamakan
sebagai palung laut (trench). Di
dalam palung ini terakumulasi
berbagai jenis batuan terdiri atas
batuan sedimen laut dalam (Pelagic
sediment), batuan metamorfik
(batuan ubahan) dan batuan beku
berkomposisi basa hingga ultra basa
(ofiolit). Percampuran berbagai jenis
batuan di dalam palung ini
dinamakan sebagai batuan bancuh
(batuan campur aduk) atau dikenal
sebagai batuan melange.
Gambar 2.1. Fisiografi Regional Jawa Barat
(Bemmelen 1949)
2.2. Geologi Lokal Daerah Penelitian
Struktur geologi regional Jawa
Barat dibagi menjadi tiga pola utama
yaitu Pola Meratus, Pola Sumatera, dan
Pola Sunda (Martodjojo, 1984) yang
diilustrasikan pada (Gambar II.9). Pola-
pola tersebut merupakan hasil dari
aktivitas lempeng-lempeng yang bekerja
di sekitar wilayah regional penelitian
dengan arah tegasan utama yang
berbeda-beda yang diinterpretasikan
sebagai adanya perubahan rezim
tektonik dari waktu ke waktu. Pola
Struktur daerah Jawa Barat dapat dilihat
pada (Gambar II.9), sedangkan untuk
deskripsinya dijelaskan sebagai berikut,
Pola Meratus mempunyai arah
timur laut-barat daya (NE-SW). Pola ini
tersebar di daerah lepas pantai Jawa
Barat dan Banten. Pola ini diwakili oleh
Sesar Cimandiri, Sesar Naik
Rajamandala, dan sesar-sesar lainya.
Meratus lebih diartikan sebagai arah
yang mengikuti pola busur umur Kapus
yang menerus ke Pegunungan Meratus
di Kalimantan (Katili, 1974, dalam
Martodjojo, 1984).
Pola Sumatera mempunyai arah
baratlaut-tenggara (NW-SE). Pola ini
tersebar di daerah Gunung Walat dan
sebagian besar bagian selatan Jawa
Barat. Pola ini diwakili oleh Sesar
Baribis, sesar-sesar di daerah Gunung
Walat, dan sumbu lipatan pada bagian
selatan Jawa Barat. Arah Sumatera ini
dikenal karena kesejajaranya dengan
Pegunungan Bukit Barisan (Martodjojo,
1984).
Pola Sunda mempunyai arah
utara-selatan (N-S). Pola ini tersebar di
daerah lepas pantai utara Jawa Barat
berdasarkan data-data seismik. Arah ini
juga terlihat pada Sesar Cidurian, Blok
Leuwiliang. Arah sunda ini diartikan
sebagai pola yang terbentuk pada
Paparan Sunda (Martodjojo, 1984)
Gambar 2.2. Peta Pola Struktur Regiolan
Jawa Barat (Martodjojo 1984)
3. DASAR TEORI
3.1. Metode Gaya Berat
Teori yang mendasari Metode
gravity adalah Hukum gravitasi yang
dikemukakan oleh Sir Isaac Newton
(1642-1727), menyatakan bahwa gaya
tarik-menarik antara dua buah partikel
sebanding dengan perkalian kedua
massanya dan berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak antara pusat
keduanya, jadi semakin jauh jarak kedua
benda tersebut maka gaya gravitasi
semakin kecil dan apabila jarak kedua
benda semakin kecil maka gaya
gravitasi juga akan menjadi besar,
(Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Sketsa gaya tarik dua benda
berjarak R
(III.1)
3.2. Koreksi Dalam Metode Gravity
Dalam pengolahan data gravity
perlu dilakukan beberapa koreksi,
koreksi-koreksi ini dilakukan karena ada
faktor – faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya harga gravitasi pada
suatu titik pengamatan, faktor-faktor
tersebut adalah :
Posisi garis lintang.
Kedudukan matahari dan bulan
terhadap bumi (pasang surut)
Elevasi (ketinggian titik
pengamatan)
Keadaan topografi di sekitar
titik pengukuran.
Variasi rapat massa batuan di
bawah permukaan
(anomali/target)
3.3. Pemisahan Anomali Regional –
Residual Anomali gravity yang didapat
setelah proses koreksi sebenarnya adalah
penjumlahan dari semua kemungkinan
sumber anomali yang ada di bawah
permukaan dimana salah satunya
merupakan target dari eksplorasi
(gambar III.7).
Gambar III.7. Grafik hubungan antara
anomali residual, anomali
regional dan data gravity
(Telford, 1990).
Sehingga anomali yang merupakan
target harus dipisahkan untuk
kepentingan interpretasi. Apabila target
dari eksplorasi adalah anomali residual
maka anomali lainnya adalah noise dan
anomali regional. Dimana lebar dari
anomali residual ini lebih kecil daripada
anomali regional dan lebih besar dari
noise, sedangakan kedalaman anomali
regional lebih dalam dari anomali
residual dan kedalaman noise lebih
dangkal dari anomali residual. Metode
yang digunakan yaitu :
Metode Analisis Spektrum
Analisa spektrum dilakukan
untuk melihat respon anomali
yang berasal dari zona regional,
residual, dan noise, sehingga
kedalaman dari anomali gravitasi
dapat diestimasi. Analisa spektrum
dilakukan dengan mentransformasi
Fourier lintasan-lintasan yang telah
ditentukan.
3.4. Teknik Analisa Cekungan
Sedimen yang mengisi suatu
cekungan merupakan faktor yang sangat
penting untuk dipelajari dalam analisa
cekungan sedimen yang bersangkutan.
Sedimen tersebut dipelajari bagaimana
proses terbentuknya, sifat batuan dan
aspek ekonominya. Proses pembentukan
sedimen meliputi pelapukan, erosi,
transportasi dan pengendapan, sifat-sifat
fisik, kimia dan biologi batuan;
lingkungan pengendapan, dan posisi
stratigrafi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi proses pengendapan dan
sifat sedimen adalah:
1. litologi batuan induk, akan
sangat mempengaruhi komposisi
sedimen yang berasal dari
batuan tersebut.
2. topografi dan iklim dimana
batuan induk berada,
mempengaruhi kecepatan
denudasi yang menghasilkan
sedimen yang kemudian
diendapkan dalam cekungan
3. kecepatan penurunan cekungan
bersamaan dengan kecepatan
kenaikan/penurunan muka laut
4. ukuran dan bentuk dari
cekungan.
Analisa cekungan merupakan hasil
interpretasi yang berdasarkan pada
proses sedimentasi, stratigrafi, fasies dan
sistem pengendapan, peleoseanografi,
paleogeografi, iklim purba, analisa muka
laut, dan petrografi/mineralogi (Boggs,
2001). Penelitian sedimentologi dan
analisa cekungan sekarang ini
ditikberatkan pada analisa fasies
sedimen, siklus subsiden, perubahan
muka laut, pola sirkulasi air laut, iklim
purba, dan sejarah kehidupan.
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Diagram Alir Penelitian
Diagram alir dibawah (Gambar
IV.1) merupakan proses pengolahan
data gravity yang dilakukan dalam
penelitian ini.
Gambar 3.1. Diagram Alir Pengolahan
Data
Diagram alir tersebut menggambarkan
alur pengolahan data gravity secara
bertahap dengan penjelasan sebagai
berikut :
1. Data gravity yang didapat dari
perusahaan kemudian diolah
sesuai dengan pengolahan
dengan menggunakan Ms.
Excel. Pengolahan data
dilakukan dengan cara
melakukan koreksi-koreksi yang
telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, terhadap data hasil
pengukuran di lapangan.
2. Data yang digunakan untuk
diolah lebih lanjut adalah data
hasil pengukuran dilapangan,
yang telah diolah lebih lanjut
dan sudah dihilangkan pengaruh
pengaruh yang tidak diingankan
pada data hasil pengukuran
dilpangan dengan koreksi-
koreksi yang sudah dijelaskan
sebelumnya pada sub bab diatas.
Hasil akhir yang didapatkan
setelah melakukan pengolahan
data adalah nilai gravity yang
hanya disebabkan oleh pengaruh
ketidak seragaman densitas
dibawah permukaan atau yang
sering disebut dengan nilai
Anomali Bouger Lengkap
(ABL).
3. Selanjutnya dilakukan analisa
spektrum bertujuan untuk
memperkirakan kedalaman
suatu benda anomali gravity di
bawah permukaan (Widianto,
2008). Input untuk proses
analisa spektrum adalah jarak
antar titik pengukuran dan nilai
anomaly gravity hasil slice dari
kontur anomali Bouger (BA)
dengan cara membuat slice pada
setiap daerah-daerah pada peta
kontur anomaly Bouger (BA)
yang kemudian dilakukan
proses digitasi sehingga dari
slice tersebut didapatkan jarak
antar titik pengukuran dan nilai
anomali gravity. Proses slice
dan digitasi tersebut dilakukan
dengan menggunakan program
Geosoft Oasis Montaj.
4. Kemudian tahapan selanjtunya
ialah pemisahan antara anomaly
regioan dengan anomaly
residual. Pemisahan anomali
residual dan regional dilakukan
dengan menggunakan filter
High Pass dan Low Pas dengan
menggunakan program Geosoft
Oasis Montaj. Filter ini
memberikan batasan nilai pada
anomali Bouger sehingga dapat
dipisahkan antara anomali
residual maupun regional.
5. Tahapan selanjutnya ialah
deliniasi dan analisa cekungan.
Dalam hal ini adalah nilai dari
anomali gravity residual untuk
menentukan cekungan dan
melakukan pembatasan pada
daerah-daerah yang dianggap
sebagai cekungan dengan cara
melihat daerah yang mempunyai
nilai anomali rendah pada peta
anomali residual.
6. Kemudian dilakukan pemodelan
bawah permukaan dilakukan
dengan cara pemodelan ke
depan (forward modeling).
Pemodelan ke depan adalah
suatu proses perhitungan data
yang secara teoritis akan
teramati di permukaan bumi jika
diketahui harga parameter
model bawah permukaan
tertentu (Grandis, 2009). Dalam
pemodelan di cari suatu model
yang cocok dan fit dengan data
lapangan,sehingga model
tersebut dianggap mewakili
kondisi bawah permukaan
daerah pengukuran.
7. Proses terakhir yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah
proses interpretasi. Proses
intepretasi yang dilakukan
secara kualitatif dan kuantitatif.
Dimana intepretasi kualitatif
dilakukan dengan melakukan
deliniasi subcekungan.
Sedangkan untuk interpretasi
secara kuantitatif adalah melalui
pemodelan 2.5D.
8. Pengolahan data selesai
dilakukan sehingga didapatkan
hasil dari pengolahan tersebut.
4.2. Peralatan yang Digunakan
Dalam penelitian dan
pengolahan data metode gravity ini
digunakan beberapa peralatan keras dan
perangkat lunak. Perangkat keras yang
digunakan ialah 1 buah Laptop Lenovo
V470c core i3 dengan system operasi
Windows 7 ultimate 64-bit. Sedangkan
perangkat lunak yang digunakan terdiri
dari :
Geosoft Oasis Montaj (versi
6.4.2) yang digunakan untuk
pengolahan data Anomali
Bouger (gridding, slicing,
filtering,modeling).
Microsoft exel 2013, program
ini digunakan untuk perhitungan
manual data gravity.
Microsoft word 2013, program
ini untuk pembuatan laporan
hasil penelitian.
Matlab 7.1, program ini
digunakan untuk melakukan
proses FFT.
Surfer 10, program ini
digunakan untuk membuka file
yang di export dari Geosoft
dalam format (.csv) dan
mengkonversinya ke format
(.dat).
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Peta Anomali Gravitasi
Berdasarkan peta anomali
bouger (terlampir) mempunyai rentang
nilai anomali mulai dari 34.6 mGal
158.6 mGal. Dari rentang nilai tersebut,
dapat dibagi menjadi 3 kelompok nilai,
yaitu nilai anomali bouger rendah,
sedang, dan tinggi. Nilai anomali rendah
dapat ditunjukkan dengan nilai 34.6
mGal sampai dengan 53.4 mGal dimana
nilai ini diwakilkan dengan warna biru
tua hingga biru muda. Untuk nilai
anomali sedang diwakilkan dengan
warna hijau hingga oranye yang
memiliki rentang nilai 55.3 mGal
sampai dengan 117.9 mGal. Sedangkan
untuk anomali tinggi diwakilkan
dengan warna merah sampai dengan
merah muda dimana nilainya adalah
119.6 mGal sampai dengan 158.6 mGal.
5.2. Analisis Spektrum
Metode analisis spektrum pada
penelitian ini menggunakan 5 lintasan
sample yang mewakili seluruh luasan
dari daerah penelitian, seperti
ditunjukkan pada Gambar V.4. Dari
kelima lintasan tersebut maka diproses
menjadi lima grafik K Vs ln A. Dimana
grafik-grafik tersebut berfungsi untuk
mengetahui lebar jendela dan kedalaman
anomaly baik itu anomali regional
ataupun anomali residual dari daerah
penelitian.
Tabel 5.1. Tabel Kedalaman Bidang
Diskontinuitas
Tabel kedalaman bidang
diskontinuitas dari proses analisis
spektrum (Tabel 5.1) didapatkan dua
kedalaman rata-rata bidang
diskontinuitas yaitu kedalaman anomali
regional sekitar 16.7488 Km, dan
kedalaman anomali residual sekitar
3.9076 km. Kedalaman diskontinuitas
pertama adalah kedalaman bidang antara
kerak atas dengan kerak bawah, karena
perbedaan material pembentuknya akan
memiliki kontras rapat massa yang
berbeda. Sedangkan kedalaman bidang
diskontinuitas kedua adalah sebagai
batas antara batuan dasar dengan
sedimen.
5.3. Peta Anomali Regional
Selain itu hasil yang didapatkan
yaitu peta anomali regional (terlampir),
dapat dibagi 3 kelompok nilai, yaitu
nilai anomali bouger rendah, sedang,
dan tinggi. Nilai anomali rendah dapat
ditunjukkan dengan nilai 40.1 mGal
sampai dengan 58.3 mGal dimana
ditunjukkan dengan warna biru tua
hingga biru muda. Untuk nilai anomali
sedang ditunjukkan dengan warna hijau
hingga oranye yang nilainya adalah 60.2
mGal sampai dengan 114.5 mGal.
Sedangkan untuk anomali tinggi
ditunjukkan dengan warna merah
sampai dengan merah muda dimana
nilainya adalah 118.2 mGal sampai
dengan 158.8 mGal.
Pada peta anomali regional, pola
yang terbentuk tidaklah begitu berbeda
dengan peta anomaly bouger. Hal
tersebut dikarenakan pengaruh zona
subduksi yang berada pada bagian
selatan daerah penelitian sehinga
menyebabkan tinnginya nilai pada
daerah bagian selatan peta anomali
regional.
5.4. Peta Anomali Residual
Sama halnya dengan peta
anomali Regional,pada peta anomali
residual (terlampir) ini, dapat dibagi 3
kelompok nilai, yaitu nilai anomali
bouger rendah, sedang, dan tinggi. Nilai
anomali rendah dapat ditunjukkan
dengan nilai -17.5 mGal sampai dengan
-9.9 mGal dimana ditunjukkan dengan
warna biru tua hingga biru muda. Untuk
nilai anomali sedang ditunjukkan
dengan warna hijau hingga oranye yang
nilainya adalah –8.3 mGal sampai
dengan 6.0 mGal. Sedangkan untuk
anomali tinggi ditunjukkan dengan
warna merah sampai dengan merah
muda dimana nilainya adalah 6.9 mGal
sampai dengan 15.9 mGal.
5.5. Pemodelan
Pemodelan bawah permukaan
dilakukan dengan cara pemodelan ke
depan (forward modeling) dengan
menggunakan peta anomali residual.
Dari peta tersebut dibuat 3 sayatan yang
bervariasi. Salah satunya ialah sayatan
A-B (terlampir) yang membentang dari
barat ke timur dengan panjang sayatan
28.7 km dan melewati nilai rendahan
yang diintrepetasikan sebagai cekungan
pada daerah penelitian. Pada pemodelan
diatas menampilkan 3 buah formasi
yaitu Formasi Jampang sebagai batuan
dasar,kemudian Formasi Halang sebagai
sedimen yang menutup batuan dasar
tersebut dan yang terakhir adalah
Formasi Tapak. Dengan rata rata nilai
densitas pada batuan sedimen Formasi
Halang adalah 2.25 mGal yang
merupakan perselingan antara Batupasir,
Batulempung dan Batullanau dengan
sisipan breksi dan Batupasir
Gampingan. Sedangkan batuan dasar
Formasi Jampang dengan nilai densitas
rata-rata 2.8 mGal yang merupakan
Breksi Gunung api tua bersusunan
andesit basal dan Batugamping dengan
umur Miosen bawah. Dan yang terakhir
adalah Formasi Tapak dengan rata-rata
nilai densitas 2.2 mGal yang merupakan
Batupasir kasar dengan sisipan napal
pasiran. Akibat adanya perbedaan
lithology Pada kedua sedimen tersebut
maka dapat terlihat perbedaan nilai
densitasnya. Pemodelan diatas memiliki
kedalaman hingga 4000 m.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Batuan dasar pada daerah
penelitian didominasi oleh
Breksi Gunung api tua
bersusunan andesit basal yang
termasuk kedalam Formasi
Jampang dengan kedalaman
kurang lebih 9 km. sedangkan
untuk batuan sedimen berasal
dari berbagai pola sedimentasi
dan sumber dari suplai
sedimentasinya.
2. Model sayatan bawah
permukaan menunjukan
gambaran kondisi bawah
permukaan pada beberapa
daerah yang mewakili
keseluruhan daerah penelitian.
Sayatan A-B membentang dari
barat ke timur dengan panjang
sayatan 28.7 km. menampilkan
3 buah formasi yaitu Formasi
Jampang sebagai batuan
dasar,kemudian Formasi Halang
sebagai sedimen yang menutup
batuan dasar tersebut dan yang
terakhir adalah Formasi Tapak.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil dari
pembahasan serta kesimpulan penelitian
ini maka dapat diberikan saran untuk
penelitian selanjutnya diantaranya
sebagai berikut.
1. Perlu adanya akuisisi data
lebih lanjut dengan
menggunakan metode
magnetic sehingga bisa
didapatkan peta upward
regional yang dapat
dibandingkan dengan peta
filtering High Pass dan Low
Pass pada penelitian ini.
2. Perlu adanya akuisisi data
lebih lanjut dengan
menggunakan metode aktif
seperti seismic sehingga
dapat menentukan struktur
yang terdapat pada daerah
penelitian tersebut.
3. Dibutuhkannya sampel
pengeboran/logging untuk
mengetahui litologi lebih
lanjut pada daerah
penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S., 1979, Dasar – Dasar Geologi
Struktur, Departemen
teknik Geologi, Institut
Teknik Bandung
Bemmelen, van, RW., 1949, The
Geology of
Indonesia:General Geology
of Indonesia and Adjacent
Archipelegoes, 2nd ed, Vol.
1A, Martinus Nijhoff,The
Haque
Blakey, R.C., 1979, Oil impregnated
carbonate rocks of the
Timpoweap Member
Moenkopi Formation,
Hurricane Cliffs area, Utah
and Arizona.
Blakely, R.j., 1995, Potential Theory in
Gravity and Magnetic
Applications, Cambridge,
Cambridge University
Press.
Boggs, S., 2001, Principle of
Sedimentology and Stratigraphy, 3rd
ed., Prentice.
Boggs, Sam Jr, 1987, Principle of
Sedimentology and
Stratigraphy, Merril
Publishing Company,
Columbus, Ohio, USA.
Dickinson, W. R., 1974. Plate Tectonic
Evolution of Sedimentary
Basins. Am. Assoc. Petrol.
Geol. Continuing Education
Course Notes Series.
Dobrin, M. B., and Savit, C. H., 1988,
Introduction to
Geophysical Prospecting:
McGraw-Hill Book Co.,
New York.
Gafoer, dkk, 1992, Geologi Lembar
Garut-Pamuengpuek, Jawa
Barat, Pusat
Penelitian dan
Pengembangan Geologi,
Indonesia.
Grandis, H., 2009, Pengantar
pemodelan inversi
geofisika. HAGI,Jakarta.
Kadir, W.G.A., 2000. Diktat Kuliah:
Eksplorasi Gayaberat &
Magnetik. ITB. Bandung.
Kastowo, 1975. Peta Geologi Lembar
Majenang, skala 1:100.000.
Direktorat Geologi,
Bandung.
Koesoemadinata, R.P., 1978, Geologi
Minyak dan Gas Bumi. Jilid
I Edisi kedua, ITB,
Bandung.
Lillie, R.J. 1999. Whole Earth
Geophysics: An Intoductory
Textbook for Geologists
and Geophysicists.
Prentice-Hall Inc.New
Jersey.
Martodjojo, S dan Djuhaeni., 1996,
Sandi Stratigrafi Indonesia,
Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI).
Martodjojo, S., 1984. Evolusi Cekungan
Bogor. Unpublished
Doctoral Thesis, Institute
Technology Bandung,
Bandung.
Miall, A. D., Catuneanu, O., Vakarelov,
B., Post, R., 2008.The
Western Interior Basin.
In: Miall, A. D. (ed.),
TheSedimentary Basins of
the United States and
Canada:Sedimentary
basins of the World, v. 5,
K. J. Hsü, Series Editor,
Elsevier Science,
Amsterdam, p. 329–362.
Pannekoek, A.J., 1946,
Geomorphologische
Waarnemingen op het
Djampang Plateau in
West Java : Genootschap,
Vol. LXIII, pt. 3, p. 340 -
367.
Parasnis, D.S., 1992, Principle of
Applied Geophysical, Mc.
Graw Hill Book Company
Inc. New York.
Roy, K.K. 2008. Potential Theory in
Applied Geophysics.
Springer. Berlin.
Selley, R.C. 1988. Applied
Sedimentology. Academic
Press. San Diego. 446 hlm.
Simandjuntak, T. O. & Barber, A. J.
1996. Contrasting Tectonic
Styles in the Neogene
Orogenic Belts ofIndonesia.
In: Hall, R. & Blundell, D.
J. (eds)Tectonic Evolution
of SE Asia. Geological
Society,London, Special
Publications, 106, 185–201.
Sudrajat, A., 1992, jawa Barat selatan
sebagai potensi yang
terpendam. Direktorat
Jendral Geologi dan
Sumberdaya Mineral
Departemen Pertambangan
dan Energi,Jakarta.
Sylvester, A. G. 1988. Strike-Slip
Faults. Geological Society
of America Bulletin 100,
1666–1703.
Talwani, M., Worzel, J.L., Landisman,
M., 1959 : Rapid gravity
computations for two-
dimensional bodies with
application to the
Mendocino submarine
fracture zone. J. Geophys.
Res 64, 49-59
Telford, W.M. Geldart, L.P. Sherifff,
R.E., and Keys, D.A.,
1990 Applied Geophysics,
Cambridge University
Press, Cambridge.
Torkis, R., 2012, Analisa dan
pemodelan struktur bawah
permukaan berdasarkan
metode gaya berat di
daerah prospek panas bumi
gunung lawu. Universitas
Indonesia,Jakarta.
Widianto, E., 2008, Penentuan
konfigurasi struktur batuan dasar dan
jenis cekungan dengan data gaya berat
serta implikasinya pada target
eksplorasi minyak dan gas bumi di
pulau jawa. Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Top Related