AJARAN MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA DAN
SYEKH SITI JENAR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh :
Dalilah Ukhriyati
1113033100080
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
ii
ABSTRAK
Dalilah Ukhriyati
“Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar”
Penelitian ini akan menjelaskan tentang persamaan dan perbedaan ajaran
makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Metode Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif analitis untuk mengetahui permasalahan yang
mengenai persamaan dan perbedaan ajaran Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar,
terdapat dua naskah yang menjadi rujukan primer yaitu Suluk Linglung dan Serat
Natarata (Serat Siti Jenar). Sehingga penulis mendeskripsikannya secara
terperinci dalam pemahaman yang komprehensif. Dalam teknik pengumpulan
data, penulis menggunakan kepustakaan murni terhadap sumber primer maupun
sekunder.
Hasil Penelitian ini adalah kedua tokoh tersebut mempunyai persamaan
dalam ajaran makrifat yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Manunggaling kawula
Gusti yang diartikan sebagai menyatunya (manunggaling) manusia (kawula)
dengan Allāh (Gusti). Dalam ajaran makrifat Sunan Kalijaga yang melalui
manunggaling kawula Gusti adalah suatu hal yang istimewa dan tidak terdapat
pada sembarangan orang melainkan atas petunjuk dan hidayah dari Allāh, karena
segala sesuatu perbuatan manusia yang menentukan adalah Allāh SWT,
sedangkan dalam ajaran makrifat Syekh Siti Jenar yang melalui manunggaling
kawula Gusti adalah manusia di ajak untuk membuktikkan keberadaan Allāh
secara langsung (adanya alam semesta), bukan hanya memahami keberadaan
Allāh dari sisi nalar pikiran (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang
dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Adapun, cara menyampaikan ajaran
makrifat kepada pengikutnya dari kedua tokoh tersebut mempunyai gaya yang
berbeda. Sunan Kalijaga cara mengajarkannya lebih memfokuskan pada
pengalaman kehidupan sehari-hari orang Jawa dalam memahami sangkan paran
(tujuan hidup manusia) melalui konsep kesenian budaya yaitu tembang dan
wayang. Sedangkan Syekh Siti Jenar, cara mengajarkannya lebih memfokuskan
pada olah batin untuk mencapai diri sejati (diri yang telah mencapai
kesempurnaan).
Kata Kunci : Ajaran Makrifat, Manunggaling Kawula Gusti
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allāh SWT yang telah memberikan kenikmatan
kepada hambanya, berupa nikmat iman dan kesehatan. Sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas akhir studi. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
baginda Rasūlullah SAW yang telah memberikan suri tauladan kepada umatnya.
Skripsi yang berjudul Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar,
disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu (S1) Fakultas Ushuluddin di Universtas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis meyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin.
2. Dr. Wiwi Siti Sajaroh, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan menasihati dengan setulus hati dalam memberi masukan
serta arahan yang baik kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir atau skripsi ini.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Dr.
Abdul Hakim Wahid, MA. Selaku Sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
iv
dan juga jajarannya yang telah membantu penulis dalam mengurus segala
keperluan untuk menyelesaikan penulisan judul skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
tidak bisa penulis sebut namanya satu persatu. Semoga ilmu yang telah
diajarkan kepada penulis dapat diamalkan dan semoga kelak mendapat balasan
dari Allah.
5. Kiai Moh. Afif Zuhri yang telah membantu penulis dalam mencari data demi
kesempurnaan penulisan skripsi ini, dan Achmad Fadloli menantu dari Alm.
Drs. Muhammad Khafid Kasri (penerjemah Suluk Linglung) yang telah
memberi buku Suluk Linglung Sunan Kalijaga.
6. Kedua orang tua tercinta, Ustad. Atwi dan Nurpatila, S.Pd. yang telah
mendo’akan dan mendukung kepada penulis selama melanjutkan
pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
karena berkat do’a orang tualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan masa
pendidikannya dengan baik. Adikku tercinta, Ainun Shafira yang sudah
memberi semangat kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan tugas
akhirnya.
7. Keluargaku tercinta, nenek, tante, om, mba, saudara dan sepupu yang berada di
Madura yang sudah memberi do’a dan dukungan kepada penulis, karena itu
penulis semangat untuk menyelesaikan tugas akhirnya.
8. Temanku Tercinta, Rizka Widayanti dan Triana Sugesti yang telah memberi
motivasi, dukungan dan do’a kepada penulis, dan juga menemani penulis untuk
v
mencari data-data skripsi dari awal hingga akhir, karena itu lah penulis bangga
kepada mereka berdua. Teman seperjuanganku, Teti Pujiawati, Nur Amalia
Dini, Fitrohtul Azizah, Siti Salbiyah, Rusmiyanah, Nur Intan, Cici Zulaika, Siti
Nurliha, dan Anita Ayu Amalia yang juga memberi semangat kepada penulis.
Aulia Ning Ma’rifati , Mursyidah Mahmud dan Mahesa yang sudah membantu
penulis dalam menulis skripsi dengan baik dan benar.
9. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, yang tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu. Terimakasih banyak sudah memberi support,
diskusi bersama dan membagi pengalamannya kepada penulis agar penulis
cepat menyelesaikan tugas akhirnya.
10. Teman-teman MAN, Ayu Tri Astuti, Firda Afrilina, Hasrida Lutfiana, Juni
Rosmaliza, dan Siti Masyitoh yang sudah memberi semangat agar penulis
tidak males-malesan untuk mengerjakan tugas akhirnya. Teman Rumah, Dita
Andriani yang selalu memberi motivasi dan do’a kepada penulis agar cepat
menyelesaikan tugas akhirnya.
Penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih banyak atas do’a, dukungan
dan motivasinya kepada semua pihak, dan mohon maaf apabila pihak yang belum
disebutkan satu-persatu. Semoga segala kebaikkan yang telah diberikan menjadi
amal baik dan diberi balasan oleh Allah SWT.
Jakarta, 07 Desember 2017
Dalilah Ukhriyati
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN ...............................................................................i
ABSTRAK ..........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................9
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................10
E. Metodologi Penelitian ..............................................................................12
F. Sistematika Penulisan ...............................................................................14
BAB II KEHIDUPAN SUNAN KALIJAGA DAN SYEKH SITI JENAR
A. Biografi .....................................................................................................16
1. Sunan Kalijaga ....................................................................................16
2. Syekh Siti Jenar ...................................................................................18
B. Pendidikannya ...........................................................................................21
1. Sunan Kalijaga ....................................................................................21
2. Syekh Siti Jenar .................................................................................. 23
C. Perjalanan Dakwah ....................................................................................26
1. Sunan Kalijaga ....................................................................................26
2. Syekh Siti Jenar ...................................................................................31
D. Karya-Karyanya ........................................................................................34
1. Sunan Kalijaga ....................................................................................34
2. Syekh Siti Jenar ...................................................................................37
BAB III AJARAN MAKRIFAT DALAM TASAWUF
A. Pengantar Tasawuf ....................................................................................38
B. Makrifat Menurut Beberapa Tokoh Sufi .................................................. 40
C. Tahapan Untuk Mencapai Makrifat ..........................................................42
vii
BAB IV AJARAN MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA DAN SYEKH SITI
JENAR
A. Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga ...............................................................52
B. Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar ..............................................................64
C. Manunggaling Kawula Gusti Sebagai Muara dari Ajaran Makrifat .........74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................78
B. Saran-Saran ...............................................................................................80
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................81
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط a ا
ẓ ظ B ب
‘ ع t ت
gh غ Ts ث
f ف J ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل D د
m م Dz ذ
n ن r ر
w و Z ز
h ه s س
’ ء sy ش
y ي ṣ ص
h ة ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia
Ā ٱ
Ī اى
Ū او
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang rahmatan lil ’alamiin bagi seluruh umat
Muslim yang di bawakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dari sinilah Islam
lahir dalam beragam macam cabang ilmu di bidang keagamaan. Masing-
masing dari cabang ilmu tersebut mempunyai pembahasan masing-masing.
Salah satu cabang ilmu tersebut adalah ilmu tasawuf.1 Ilmu tasawuf
merupakan kajian ilmu yang menjelaskan tentang cara-cara untuk
menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin.
Sedangkan, tasawuf merupakan sikap yang selalu memelihara kesuciaan diri,
beribadah, hidup sederhana, rela berkoban untuk kebaikan dan selalu bersikap
bijaksana.2
Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf yang
mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun
nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pengalaman keagamaan sebagian kaum muslim Indonesia.3 Seiring
berkembangnya zaman, maka bermunculan tokoh-tokoh tasawuf, dari
merekalah lahir berbagai pemikiran ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh tersebut
adalah Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry,
Abdul Rauf as-Singkil, Abdus Samad al-Palimbani, Muhammad Nawawi al-
1 Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalat Wahidiyah (Jakarta: Lkis, 2008), h. 25-
27. 2Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 155.
3Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 1.
2
Bantani, Muhammad Nafis al-Banjari, dan termasuk tokoh tasawuf di Pulau
Jawa yaitu Syekh Siti Jenar dan Wali Songo.
Kemudian pada kesempatan ini saya akan memaparkan tokoh yang
dikenal dalam dunia tasawuf di Pulau Jawa yaitu Sunan Kalijaga dan Syekh
Siti Jenar yang membahas tentang ajaran makrifatnya. Penyebaran agama
Islam di Indonesia tidak terlepas dari dakwah yang dilakukan oleh Wali
Songo, salah satu dari anggota Wali Songo yaitu Sunan Kalijaga dan juga
Syekh Siti Jenar khususnya di Pulau Jawa. Sumber tradisi lisan, umumnya
mengidentifikasikan Wali dengan gelar Sunan, kecuali Siti Jenar yang disebut
Syekh.4 Di Indonesia lebih tepatnya didalam sejarah Wali Songo dapat
diriwayatkan tokoh seperti Sunan Kalijaga yang mempertahankan pendirian
ahli sunah bersama-sama anggota lainnya dan juga Syekh Siti Jenar yang
mempertahankan pendirian fanā’, kesatuan Allah dan makhluk.5
Dari segi bahasa Makrifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, i’rif, ma’rifah
yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dari segi istilah makrifat bukan
hanya berupa pengetahuan yang diperoleh hasil batin dan spiritual manusia6,
namun berupa pengalaman orang yang menempuh jalan tarikat tujuannya
adalah untuk sampai kepada Allah yang diibaratkan sebagai musyafir atau
salik.
4Tradisi Islam adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-menurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksiannya itu disampaikan melalui ucapan, pidato,
nyanyian atau berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat dan lagu. Sunan adalah susunan dari nama
tempat yang ia ajarkan kepada pengikutnya. Sjamsudduha, Wali Sanga Tidak Pernah Ada ;
Menyingka Misteri Para Wali dan Perang Demak-Majapahit (Surabaya : JP Books, 2006). h. 1. 5Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 8. 6Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika, 2014), h. 31.
3
Beberapa tokoh yang menjelaskan arti tentang makrifat, dalam buku
yang berjudul Akhlak Tasawwuf yang ditulis oleh A Mustofa mengatakan bahwa:
a. Al-Ghazali, menjelaskan bahwa “makrifat berarti ilmu yang tidak
menerima keraguan yaitu pengetahuan yang mantap dan mapan, yang
tidak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah
pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqqul yaqin”.7
b. Mustafa Zahri, mengatakan bahwa “makrifat ialah ketepatan hati (dalam
mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang
menggambarkan segala kesempurnaan”.8
c. Harun Nasution mengatakan bahwa “makrifat berarti mengetahui Tuhan
dari dekat, sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan”.9
Dalam tasawuf ada empat tahapan untuk mencapai makrifat, yaitu :
a. Syariat (segala ketentuan hukum Islam yang ditetapkan oleh Allah untuk
para hambanya).
b. Tarekat (perjalanan yang menempuh jalan menuju Allah).
c. Hakikat (kebenaran).
d. Makrifat (pengetahuan atau pengalaman).
7Haqqul Yaqin adalah keyakinan yang dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam
semesta ini pada hakekatnya adalah bayangan dari penciptannya, sehingga dia dapat merasakan
wujud yang sejati itu hanyalah Allah, sedangkan lainnya hanyalah bukti dari wujud yang sejati
tersebut yaitu Allah. A Mustofa, Akhlak Tasawwuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 20. 8A Mustofa, Akhlak Tasawwuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 20.
9Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 59.
4
Kemudian dalam ajaran makrifat Sunan Kalijaga ada 6 tahapan, yaitu:
a. Memahami hakikat (menyatukan diri dengan Tuhan atau mengenal diri).10
b. Asal-usul sangkan paran (tujuan hidup manusia).11
c. Roh Ilafi (roh yang senantiasa pasrah pada Dzat Allah).12
d. Insān Kāmil adalah manusia yang sempurna.13
e. Fanā’ dan bāqa. Fanā’ (lenyap atau penghancuran diri)14
dan bāqa
(memasuki alam kekal).15
f. Etika hubungan guru dan murid (bersungguh-sungguh dalam berguru
seperti bertaat dan setia pada guru).16
Setelah ajaran makrifat yang sudah dijelaskan di atas, kemudian akan
dijelaskan tentang biografi Sunan Kalijaga. Sunan Kali adalah nama
panggilan dari Sunan Kalijaga. Nama Sunan Kalijaga sangat terkenal dalam
Babad Tanah Jawi. Ia dipandang sebagai salah satu dari sembilan wali yang
banyak dengan memperlihatkan karāmah.17 Nama asli Sunan Kalijaga yaitu
10
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2003), h. 240. 11
Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1142. 12
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat , h. 256. 13
Maksud dari kata” manusia yang sempurna” adalah manusia yang berhasil mencapai
puncak prestasi tertinggi (mencapai puncak makrifat). 14
Menurut bahasa, fanā’ adalah lenyap, hancur, sirna atau hilang. Menurut istilah, fanā’
adalah lenyap atau hilang dari sifat-sifat tercela. Jika telah hancur sifat-sifat tercelanya, maka yang
tertinggal di dalam dirinya adalah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik. Dari situlah, manusia
akan terserap atau bersatu oleh Allah. 15
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, h. 268. 16
Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1143. 17
Menurut Bahasa, karāmah berarti kemuliaan, keluhuran dan anugerah. Menurut Istilah,
karamah adalah keadaan yang luar biasa yang diberikan oleh Allah SWT kepada para wali-Nya,
diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaannya kepada Allah. Sri Mulyati, Tasawuf
Nusantar : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2005), h. 52.
5
Raden Said atau Jaka Setiya.18 Ia merupakan anggota Wali Songo yang amat
populer di tanah Jawa. Ia juga merupakan seorang putra dari Adipati Tuban
Tumenggung Wilatika.19
Sejak kecil Raden Said atau Sunan Kalijaga sudah tampak bahwa dia
adalah calon yang berjiwa luhur. Ia seorang yang selalu taat kepada agama
dan berbakti kepada kedua orang tua serta kepada orang-orang lemah yang
mempunyai sifat dan sikap welas asih (belas kasih).20
Raden Said dari kecil
pun sudah mempunyai solidaritas yang tinggi terhadap kawan-kawannya.
Bahkan ia tidak segan-segan masuk dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat
jelata. Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang
miskin di pedesaannya.21
Selanjutnya, dalam ajaran makrifat Syekh Siti Jenar menjelaskan
tentang:
a. Tuhan (yang menciptakan alam semesta).22
b. Kehidupan dan kematian (dunia dipandang sebagai alam kematian dan
manusia yang hidup di dunia dipandang sebagai mayat).23
18
Badlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabaya:
Appolo, 1995). h. 86. 19
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2003), h. 8. 20
Badlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabay :
Appolo, 1995), h. 87. 21
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 554. 22
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 128. 23
Dalam kata “dunia sebagai alam kematian” adalah untuk menjalani kodrat (kekuasaan
Allah) yang ditetapkan oleh Allah atas setiap roh sejak sebelumnya dilahirkan didunia. Dalam kata
“manusia sebagai mayat” bahwa manusia hidup di dunia ini hanya membutuhkan sarana sandang,
pangan dan papan, maka manusia hidup di dunia ini kurang atau tidak mampu untuk menjalin
6
c. Kewajiban rukun Islam. Syahadat adalah persaksian batin.24
Shalat ada
dua macam yaitu shalat tarek dan shalat daim.25
Puasa, jenis puasa yang
tertinggi adalah puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya.26
Zakat,
sebagai sikap menolong orang lain dari penderitaan dan kekurangan.27
Terakhir haji, bagi Syekh Siti Jenar haji yang terkait dengan prinsip-
psinsip keyakinan yang dianut Nabi Ibrahim as.28
Selanjutnya, biografi Syekh Siti Jenar dikenal dengan banyak nama,
antara lain Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibrit, Syekh Jabaranta, Syekh
Abdul Jalil, Syekh Siti Luhung dan Susuhunan Kajenar. Nama Syekh Siti
Jenar berasal dari kata “Siddi Jinnar” yang berarti Tuan yang kekuatannya
seperti api. Ia lebih populer disebut dengan Siti Jenar. Kata Siti dalam bahasa
Jawa berarti lemah atau tanah dan kata Jenar adalah bahasa Kawi yang berarti
komunikasi aktif dengan Allah. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi
Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2005), h. 66. 24
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 304. 25
Shalat tarek sebagai shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian,
menuju kemanunggalan. Shalat daim sebagai shalat yang sebenarnya dari kesadaran akan
kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya itu
sirna. 26
Puasa hakiki adalah puasa dengan menahan hati dari menyembah, memuji, memuja,
mencari yang ghairullah (selain Alah). Puasa dalam ketentuan syariat adalah menahan diri dari
makan, minum dan bersetubuh, sejak masuk waktu subuh hingga masuk waktu maghrib. Puasa
dari segi rohani adalah membersihkan semua panca indra dan pikiran dari hal-hal yang haram.
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan dengan
Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 290. 27
Makna kata “zakat” adalah arena pembersihan harta dan jiwa. Terutama membersihkan dari
keegoan, sehingga zakat rohani dapat tercapai. Bahwa harta adalah milik Allāh, dimana manusia
diberi limpahannya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Allāh.
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan dengan
Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 294. 28
Dalam kata “yang dianut Nabi Ibrahim as.” bahwa ada 3 prinsip keyakinan, pertama,
pengakuan keesaan Allah dan menolak segala macam bentuk kemusyrikan. Kedua, adanya
keadilan Allah dalam kehidupan ini yang akan diperoleh manusia pada hari kebangkitan kelak.
Ketiga, tiada perbedaan dalam kemanusiaan satu dengan yang lainnya. Muhammad Solikhin,
Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan dengan Allah, Refleksi dan
Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 296.
7
kuning.29
Jadi, Siti Jenar berarti lemah kuning atau tanah kuning. Meskipun,
kuning dan merah itu berbeda, tetapi dalam hal ini keduanya dianggap sama
saja. Artinya, Syekh Siti Jenar identik dengan Syekh Lemah Abang.30
Syekh Siti Jenar, ia adalah seseorang yang cerdas dan memiliki
pengetahuan agama yang tinggi. Keberadaan Syekh Siti Jenar diantara wali-
wali berbeda dan malahan ia tidak dianggap sebagai wali. Hanya saja secara
objektif, dengan memiliki berbagai ajaran-ajarannya, maka jelas bahwa posisi
Syekh Siti Jenar sebagai wali tersebut kurang menemukan saran yang kuat.31
Kemudian pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan
kontroversial, Syekh Siti Jenar dinilai melawan arus besar keagamaan yang
dibangun oleh kolaborasi kekuasaan (Kerajaan Demak Bintara pimpinan
Sultan Fatah) dan elite agamawan terdiri dari Wali Songo.32
Selanjutnya, konflik antara kubu Sunan Kalijaga dan pendukung Syekh
Siti Jenar bahkan makin runyam hingga menyentuh ranah politik. Apalagi
diantara murid dan pengikut Syekh Siti Jenar terdapat tokoh yang bernama
pangeran Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging.33 Raden Patah menuduh
bahwa Syekh Siti Jenar telah membangkang peraturan yang ditentukan
29
Bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuno. Jenis bahasa ini yang pernah berkembang di Pulau
Jawa pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha Nusantara dan bahasa ini dipakai dalam
penulisan karya-karya sastra. 30
Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung : Angkasa, 2008), h.1168. 31
Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula Gusti : Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 137. 32
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 59. 33
Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah putra pasangan dari Handayaningrat dan
Ratu Pembayun. Handayaningrat atau Ki Pengging adalah nama gelar ayahnya Kebo Kenanga dan
nama asli ayahnya adalah Jaka Sengara Jumeneng. Setelah ayahnya meninggal, Kebo Kenangalah
yang menggantikan posisi ayahnya yaitu menjadi raja majapahit. Mohammad Zazuli, Syekh Siti
Jenar ; Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan(Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2011). h.
20.
8
olehnya yaitu tidak boleh menyebar dakwah Islamnya yang mengenai alam
kehidupan manusia dunia ini sebagai kematian serta keberadaan manusia di
dunia ini sebagai mayat berjalan atau bangkai dan Syekh Siti Jenar
menghalangi penyiaran agama para Wali Songo.34
Kemudian Walisongo memberitahu bahwa Syekh Siti Jenar harus
tunduk kepada Raden Patah.35
Akhirnya, Kebo Kenanga dan Syekh Siti Jenar
memilih hidup di luar istana dan tidak bersedia tunduk pada kekuasaan Raden
Patah putra Ki Ageng Pengging. Karena Kebo Kenanga dan Syekh Siti Jenar
tidak mau tunduk pada Raden Patah, maka hukuman matilah yang akan
dilakukan. Kemudian, tahun kematian Syekh Siti Jenar adalah pada zaman
pemerintahan Raden Patah (1517 M), vonis hukuman mati oleh Dewan Wali
Songo yang dipimpin oleh Sunan Giri dan seluruh ajaran-ajaran Syekh Siti
Jenar dinyatakan dilarang berada di seluruh wilayah Demak.36
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan
mendalam, maka penulis memandang penelitian ini perlu dibatasi. Batasan
masalah adalah dalam memahami skripsi ini, penulis membatasi pembahasan
mengenai Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Kemudian,
Yang meliputi inti ajaran makrifatnya, persamaan dan perbedaan dalam
34
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab dan Suluk Syekh Siti
Jenar(Yogyakarta : Narasi, 2014), h. 172. 35
Raden Patah adalah Raja kerajaan Demak, yang lahir di Palembang tahun 1455 Masehi dan
wafat di Demak pada tahun 1518 Masehi. Ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun, karena
ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat. Ia juga adalah putra dari Prabu Kerta
Bhuini Brawijaya VII yang memerintah Kerajaan Majapahit pada tahun 1468-1478 Masehi. 36
Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula Gusti : Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 207.
9
ajaran makrifat dari kedua tokoh tersebut. Rumusan Masalah adalah
berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan diatas, maka
penulis membuat rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Apa saja ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar ?
2. Apa saja persamaan dan perbedaan dalam ajaran makrifat Sunan Kalijaga
dan Syekh Siti Jenar ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Agar penelitian ini terarah maka penelitian ini memiliki tujuan yaitu :
1. Memahami ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.
2. Memahami persamaan dan perbedaan dalam ajaran makrifat Sunan
Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.
3. Memenuhi salah satu persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan Strata 1
(S1) di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin,
Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan manfaat penelitiannya adalah :
1. Ikut melestarikan pemikiran tokoh Islam khususnya tokoh di Indonesia
seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.
2. Dapat memberikan informasi dan wawasan keilmuan mengenai ajaran
makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar kepada Mahasiswa/i
khususnya Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam .
10
3. Dapat menjadikan bahan bacaan dan literatur kepada Mahasiswa/i Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Sebenarnya untuk meneliti dan mengkaji pemikiran tasawuf di
Indonesia yaitu Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar bisa dibilang cukup sulit.
Karena hal ini disebabkan karya-karya Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar
sendiri sudah tidak banyak ditemui oleh para peneliti saat ini. Dan apresiasi
besar pantas diberikan pada peneliti yang telah melahirkan sebuah karya yang
bisa dijadikan rujukan dalam melakukan penelitian terhadap Sunan Kalijaga
dan Syekh Siti Jenar.
Karya-karya ilmiah atau buku-buku yang membahas tokoh tasawuf di
Indonesia yaitu Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar yang mungkin akan
sangat mendukung data dalam penelitian ini diantaranya adalah :
I. Skripsi ditulis oleh Sendi Satriyo Munif dengan judul “Corak Monotaisme
Sunan Kalijaga Dalam Suluk Linglung”. Skripsi ini diajukan kepada
Fakultas Ushuluddin Dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo Semarang, tahun 2015. Dalam skripsi tersebut menjelaskan
bahwa Tuhan tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata, hanya Tuhan
yang bisa mendeskripsikan Tuhan (Tan Kino Kinayangan). Begitu di
dalam Suluk Linglung menceritakan keesaan Tuhan yang disembah,
manusia diharapkan mampu mencerna penamaan dan pensifatan Tuhan
yang telah ada dari zaman dahulu hingga sekarang, sehingga tidak salah
11
arti dalam menafsirkan, sehingga dalam penyembahan Tuhan menjadi
benar.
II. Buku yang berjudul Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, yang ditulis oleh
Achmad Chodjim dan diterbitkan oleh Serambi Jakarta pada tahun 2013.
Ajaran makrifat Sunan Kalijaga yang ditulis dalam buku ini adalah masih
bersifat umum dan tidak berdasarkan serat atau karya yang langsung
ditulis oleh Sunan Kalijaga. Dengan kata lain makrifat yang ditulis Ahmad
Chodjim hanya arti makrifat secara umum dan tidak merujuk kepada
literatur yang asli atau sumber utamanya, oleh karena itu penelitian
tersebut perlu dikembangkan lagi atau dikaji kembali secara khusus.
III. Skripsi ditulis oleh Hasriyanto dengan judul “Konsep Manunggaling
Kawula Gusti Syekh Siti Jenar”. Skripsi ini diajukan kepada Fakultas
Ushuluddin dan Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar, 2015. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa ajaran
Manunggaling Kawula Gusti Syekh Siti Jenar dapat dilihat dalam rukun
perjalanan menuju Allah, yang utamanya adalah ilmu dan zikir. Dimana
ilmu sebagai penerang jalan dan zikir adalah bekal perjalanan dan sarana
pendakian pada jenjang yang lebih tinggi.
IV. Buku yang berjudul Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh
Muhammad Sholikhin dan diterbitkan oleh Narasi pada tahun 2014. Buku
ini menjelaskan tentang pengetahuan kesufian, pengalaman kerohanian
real dan juga terutama konsep kesufian Syekh Siti Jenar dengan puncak
pengalamannya yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
12
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Sebagaimana dalam
penelitian ini menggali informasi melalui data kepustakaan (library reseach)
yang berupa teks naskah atau dokumen yang berhubungan dengan judul
penelitian yaitu “Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar”.
Berikut penjelasan-penjelasan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni sumber
data primer dan sumber data sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah
buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan obyek material penelitian
atau karya asli tokoh tersebut. Oleh karena itu, obyek dari penelitian ini
adalah ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, maka sumber
primernya adalah Suluk Linglung Sunan Kalijaga dan Serat Natarata (Serat
Siti Jenar) .
Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang membantu peneliti
untuk meneliti ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Sumber
data sekunder yang berupa buku, seperti : Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga
: Mistik dan Makrifat, Jakarta : Serambi 2013. Agus Sunyoto, Suluk Malang
Sungsang : Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar, Yogyakarta
: Pustaka Sastra, 2005. Badlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo ; Penyebar
Agama Islam di Tanah Jawa, Surabaya : Appolo, 1995. Harun Nasution,
Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar : Panduan Menuju
13
Kemenyatuan dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar,
Yogyakarta : Narasi, 2014. Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula
Gusti : Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta : Narasi, 2014.
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk
Syekh Siti Jenar, Yogyakarta : Narasi, 2014. Munawar J. Khaelany, Sunan
Kalijaga Guru Orang Jawa, Yogyakarta : Araska, 2014. Sri Mulyati,
Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta : Kencana,
2005. Sudirman Tebba, Syekh Siti Jenar : Pengaruh Tasawuf al-Hallaj di
Jawa, Jakarta : Penerbit Pustaka irVan, 2008.
2. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisi
data dalam penelitian ini mengunakan deskriptif-analitis yaitu suatu analisa
yang menyelidiki keadaan obyek dan subyek berdasarkan data yang ada.37
Dalam Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis.
Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas yang terkait dengan masalah
yang akan diteliti yaitu persamaan dan perbedaan ajaran Sunan Kalijaga dan
Syekh Siti Jenar, sedangkan analisis adalah menyelidiki masalah yang
diperoleh untuk mendapatkan pemahaman yang luas. Maka dalam penelitian
ini, peneliti berusaha membahas yang terkait dengan ajaran makrifat Sunan
37
Hasan Umar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bina Aksara 1998), h. 40.
14
Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, melalui data kepustakaan yang dijadikan
referensi.
F. Sistematika Penulisan
Agar mendapatkan gambaran yang sistematis, maka pembahasan dari
skripsi ini akan dibagi perbab dan juga dibagi menurut bab-bab. Bab-bab
tersebut berisi tentang uraian dengan focus yang berbeda-beda, tetapi
mempunyai susunan yang teratur sehingga mampu terbaca dan sistematik
mulai dari bab pertama yang membahas tentang tetang pendahuluan sampai
bab lima membahas tentang penutup. Untuk memudahkan penulisan skripsi
ini, maka penulis menyusun sistematikanya kedalam lima bab , yaitu :
Bab I ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang : Pertama,
latar belakang masalah. Kedua, permasalahan yang di dalamnya memaparkan
batasan dan rumusan masalah. Ketiga, tujuan dan manfaat penelitian.
Keempat, tinjauan pustaka. Kelima, metodologi penelitian ini menjelaskan
tentang secara keseluruhan tentang bagaimana dan melalui apa penelitian
yang akan dilakukan. Keenam sistematika penulisan yang menjelaskan
tentang bagian-bagian bab secara keseluruhan.
Bab II ini merupakan kajian teori yang menjelaskan tentang Kehidupan
Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, yaitu biografi dari kedua tokoh,
pendidikannya, perjalanan dakwah dan juga tentang karya-karyanya.
15
Bab III ini merupakan gambaran umum yang menjelaskan tentang
ajaran makrifat dalam tasawuf, yaitu pengantar tasawuf, pengertian makrifat
yang dijelaskan oleh beberapa tokoh sufi dan tahapan untuk mencapai
makrifat.
Bab IV ini merupakan inti dari penulisan skripsi, yaitu berisi tentang
ajaran makrifat Sunan Kalijaga, ajaran Syekh Siti Jenar dan manunggaling
sebagai muara dari ajaran makrifat.
Bab V ini merupakan bab terakhir yaitu penutup. Dalam bab ini berisi
uraian kesimpulan dari penjelasan berupa jawaban dari rumusan masalah
yang telah penulis tetapkan diatas. Selain itu tercantum pula saran untuk
penelitian selanjutnya. Dan yang terakhir yaitu kata penutup. Pada akhir
skripsi juga ditampilkan daftar pustaka dan lampiran-lampirannya.
16
BAB II
KEHIDUPAN SUNAN KALIJAGA DAN SYEKH SITI JENAR
A. Biografi
1. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Said atau Jaka Setiya.1 Waktu mudanya
nama Raden Said itu adalah nama yang diidentifikasikan dengan Gan Si Cang
(kapten Cina Semarang), putra dari Gan Eng Cu alias Arya Tedja.2 Raden
Said yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga, ia adalah putra dari Bupati Tuban
yang bernama Tumenggung Wilatika dan Dewi Retno Dumilah lahir pada
tahun 1430an. Tumenggung Wilatika merupakan keturunan dari Ranggalawe
yang hidup semasa pemerintahan Raden Wijaya di Majapahit.3
Tumenggung Wilatika disebut juga sebagai Aria Teja IV, merupakan
keturunan Aria Teja III, Aria Teja II, dan berpangkal pada Aria Teja I,
sedangkan Aria Teja I adalah putra dari Aria Adikara atau Ranggalawe. Yang
terakhir Aria Teja IV adalah salah seorang Raja Majapahit.4
1Badlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabaya:
Apollo, 1995), h. 86. 2Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 53. 3Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
18. 4Pendiri Kerajaan Majapahait adalah Ranggalawe, setelah ia meninggal gelar itu pun turun-
temurun kepada anaknya yaitu Aria Teja I, Aria Teja II, Aria Teja III dan yang terakhir adalah
Aria Teja 1V. Aria Teja IV inilah adalah ayah Sunan Kalijaga yaitu Tumenggung Wilatika.
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), h.
8.
17
Sejak kecil Sunan Kalijaga sudah tampak bahwa ia adalah calon yang
berjiwa luhur. Ia seorang yang selalu taat kepada agama dan berbakti kepada
kedua orang tua serta kepada orang-orang lemah yang mempunyai sifat dan
sikap welas asih (belas kasih).5 Ia juga sejak kecil sudah mempunyai
solidaritas yang tinggi terhadap kawan-kawannya. Bahkan ia tidak segan
untuk masuk dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat jelata. Ketika itulah ia
tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang miskin di pedesaannya.6
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai Syekh Malaya. Nama Syekh
Malaya merupakan panggilan bagi Sunan Kalijaga yang pernah menjadi juru
dakwah di wilayah Malaya. Dalam khazanah makrifat Jawa, gelar Syekh
“Malaya” itu berasal dari Jawa. Kata “Malaya” berasal dari kata “ma-laya”
yang artinya mematikan diri. Dia telah mengalami “mati sajroning urip, urip
sajroning pati” maksud dari kata tersebut adalah merasakan mati dalam hidup
ini. Kematian dalam hidup seseorang akan mengetahui hakikat hidup.7
Nama Sunan Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga (Tuban). Sewaktu
Sunan Kalijaga tinggal di sana, ia sangat suka berendam atau berlama-lama
duduk di tepian sungai. Secara harfiah, nama Kalijaga menunjukkan bahwa
Sang Sunan suka menjaga sungai. Namun secara simbolik, nama Kalijaga
5Badlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabaya:
Apollo, 1995), h. 87. 6Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 54. 7Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi,2013), h. 11.
18
menunjukkan bahwa sang Sunan senantiasa menjaga semua aliran
(kepercayaan) yang ada di dalam masyarakat.8
Sunan Kalijaga adalah salah satu murid dari Sunan Bonang, dalam
berdakwah Sunan Kalijaga lebih menggunakan jalur kesenian dan
kebudayaan.9 Sunan Kalijaga juga merupakan salah satu seorang anggota
Wali Songo yang namanya lebih populer dibandingkan dengan anggota
lainnya di tanah Jawa.
Karena kepopulerannya itu Sunan Kalijaga tidak dapat dilepaskan
perannya sebagai da‟i keliling dan juga salah seorang Wali yang turut
membangun Masjid Agung Demak, ia juga sebagai pengembang sastra, seni
dan kebudayaan di lingkup masyarakat Jawa.10
Namun tidak banyak orang
yang mengetahui ajarannya. Umumnya, orang mengenal ajarannya lewat
kidung atau tembang. Diantaranya tembang “lir-ilir” yang biasa dinyanyikan
oleh anak-anak SD di Jawa.11
2. Syekh Siti Jenar
Banyak versi yang menjelaskan tentang riwayat hidup Syekh Siti Jenar
dan tidak ada yang dapat memastikan tahun kelahirannya dan tahun
kematiannya. Dari berbagai versi tersebut, ada sebagian versi cerita yang
menjelaskan tentang perkiraan riwayat hidup Syekh Siti Jenar. Pada masa
8Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
19. 9Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa: Pengembaran Batin Ki Ageng Suryomentaram
(Jakarta: Mizan Publika, 2012), h. 63. 10
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 5. 11
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2013), h. 7.
19
peralihan kerajaan Hindu ke kerajaan Islam di Jawa, dengan ibu kota Demak,
pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi.12
Syekh Siti Jenar lahir pada tahun (829-930 Hijriah./1348-1446 Masehi.)
dan wafat pada tahun (1524 Masehi.). Sejak kecil Syekh Siti Jenar bernama
San Ali dan dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil, ia adalah putra seorang ulama
asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh al-„Alawi binSyekh „Isa „Alawi bin
Ahmadsyah Jalaluddin Husain bin Syekh „Abdullah Khannuddin „Azamat
Khan bin Syekh Sayid „Abdul Malik al-Qazam. Syekh Siti Jenar diasuh oleh
Ki Danusela,13
serta penasihatnya Ki Samadullah sang Kian Santang atau
Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon di bawah asuhan
Syekh Datuk Kahfi.
Sebuah nama (Syekh Siti Jenar) yang sangat akrab bagi masyarakat
Indonesia, terutama di kalangan Jawa. Nama Syekh Siti Jenar sampai saat ini
masih banyak di selubungi misteri. Hingga detik ini, riwayat biografisnya
masih banyak diselimuti oleh dongeng. Sedangkan nama legendaris Syekh
Siti Jenar sebagai nama filosofis dan mistik, di mana yang mempunyai arti
yaitu Siti berarti “tanah” dan Jenar berarti “merah”.14
12
Sudirman Tebba, Syekh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf al-Hallaj di Jawa (Jakarta: Penerbit
Pustaka irVan, 2008), h. 15. 13
Ki Danusela adalah adik dari Ki Danuwarsih, seorang tokoh pendeta Hindu di Gunung
Dieng Wonosobo, yang kemudian memeluk agama Islam. Ki Danuwarsih memiliki anak Endang
Geulis yang kemudian menjadi istri Ki Santang atau Pangeran Walangsungsang, yang juga dikenal
dengan sebutan Kiai Samadullah. Semula, Ki Danusela adalah seorang Kuwu (Kepala Wisaya) di
Caruban, namun kemudian dilengserkan oleh Rsi Bungsu. Kemudian hari Rsi Bungsu ini
digantikan oleh Ki Samadullah atau Pangeran Cakrabuana Adipati Sri Mangana. Muhammad
Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti Jenar (Yogyakarta:
Narasi, 2014), h. 47. 14
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 35-37.
20
Syekh Siti Jenar dikenal dengan banyak nama, antara lain Syekh Lemah
Abang, Syekh Sitibrit, Syekh Jabaranta, Syekh Abdul Jalil, Syekh Siti
Luhung dan Susuhunan Kajenar. Nama Syekh Siti Jenar berasal dari kata
“Siddi Jinnar” yang berarti Tuan yang kekuatannya seperti api. Ia lebih
populer disebut dengan Siti Jenar. Kata Siti dalam bahasa Jawa berarti lemah
atau tanah dan kata Jenar adalah bahasa Kawi yang berarti kuning.15
Jadi, Siti
Jenar berarti lemah kuning atau tanah kuning. Meskipun, kuning dan merah
itu berbeda, tetapi dalam hal ini keduanya dianggap sama saja. Artinya,
Syekh Siti Jenar identik dengan Syekh Lemah Abang.16
Ada juga yang mengatakan Syekh Siti Jenar atau Lemah Abang berasal
dari nama dukuh atau padepokan yang pernah ia pimpin.17 Menurut cerita
Jawa, Syekh Siti Jenar berasal dari Krendhsawa dekat Cirebon. Memang
antara Krendhsawa-Cirebon ada desa yang bernama Lemah Abang.18 Daerah
yang disebut Lemah Abang yaitu terletak antara Bekasi dan Karawang, Jawa
Barat, tetapi jelas bahwa daerah itu bukan tempat asal Syekh Siti Jenar. Tidak
mustahil jika Syekh Siti Jenar berasal dari daerah sekitar Cirebon, karena
pada masa pemerintahan Islam berpusat di Demak, Cirebon sudah menjadi
salah satu tempat atau pusat penyiaran Islam yang penting di Jawa dengan
Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utamanya.
15
Bahasa Kawi adalah bahasa Jawa Kuno. Jenis bahasa ini yang pernah berkembang di Pulau
Jawa pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha Nusantara dan bahasa ini dipakai dalam
penulisan karya-karya sastra. 16
Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h.1168. 17
Mohammad Zazuli, Syekh Siti Jenar; Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2011). h. 18. 18
Muhammad Solikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo,
2005), h. 151.
21
B. Pendidikan
1. Sunan Kalijaga
Dalam dunia pendidikan, Sunan Kalijaga memiliki banyak guru. Para
mubaligh yang pernah menjadi guru Sunan Kalijaga tidak hanya datang dari
tanah Jawa, melainkan pula datang dari luar tanah Jawa atau bumi Nusantara
(luar negeri). Beberapa guru Sunan Kalijaga yang sangat terkenal adalah
Sunan Bonang, Syekh Sutabris dan Sunan Gunung Jati.19
Pada awalnya Sunan Kalijaga berguru dengan Sunan Bonang. Karena,
Sunan Bonang merupakan guru spiritual pertama bagi Sunan Kalijaga atau
Raden Said. Ia diperintahkan untuk tetap berada di tepi sungai sampai Sang
Sunan Bonang kembali menemuinya. Agar Sunan Kalijaga tetap sikap tunduk
dalam berguru spiritualnya. Bukan hanya teori yang dipelajari, melainkan
mujāhadah (berjuang untuk mengalami kebenaran).20
Setelah Sunan Kalijaga sudah mengikuti aturan Sunan Bonang, lalu
Sunan Bonang memberi gelar kepada Raden Said sebagai Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang juga mengajarkan kepada Sunan Kalijaga yaitu sangkan
paraning dumadi, suatu ilmu pada hakikatnya menjelaskan tentang asal-usul
kejadian alam semesta dan seisinya, kepergian roh yang sudah mati di dalam
raganya, dan hakikat hidup dan mati.21
Sunan Bonang pun mengajarkan
19
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
25. 20
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2013), h. 10. 21
Sangkan Paraning Dumadi berasal dari bahasa Jawa, Sangkan artinya asal, paran itu tujuan
dan dumadi adalah kejadian. Jadi intinya sangkan paraning dumadi itu adalah asal manusia, alam
22
Sunan Kalijaga/Raden Said untuk mewariskan ilmu-ilmu agama dan spiritual
kepadanya.22
Setelah dianggap cukup belajarnya dengan Sunan Bonang, oleh karena
itu Sunan Bonang menganjurkan agar Sunan Kalijaga meneruskan ilmunya
kepada Syekh Sutabaris di Palembang.23 Syekh Sutabaris adalah seorang guru
agama yang tinggal di pulau Upih, bagian kota Malaka dan terletak di sebelah
utara sungai. Sebenarnya Sunan Kalijaga tidak untuk berguru kepada Syekh
Sutabaris melainkan menyusul Sunan Bonang untuk naik haji ke Makkah.
Sunan Kalijaga yang naik haji ke Makkah itu bukan karena menyusul Sunan
Bonang, tetapi memenuhi perintahnya.24
Di pulau Upihlah, Sunan Kalijaga
mendapatkan perintah dari Syekh Maulana Maghribi agar kembali ke Jawa
untuk membangun masjid dan menjadi penggenap Wali.25
Setelah berguru kepada Syekh Sutabaris, Sunan Kalijaga melanjutkan
bergurunya dengan Sunan Gunung Jati. Ternyata, Syekh Siti Jenar pun
berguru dengan Sunan Gunung Jati. Lalu, keduanya (Sunan Kalijaga dan
Syekh Siti Jenar) pun diajarkan ilmu makrifat selama empat tahun.26
Setelah
berguru dengan 3 gurunya itu (Sunan Bonang, Syekh Sutabaris dan Sunan
Gunung Jati), Sunan Kalijaga ke Pasai dan berdakwah di wilayah
semesta itu tercipta dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Munawar J. Khaelany, Sunan
Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h. 26. 22
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2013), h. 10. 23
Baidlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya:
Apollo, 1995), h. 94. 24
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
27. 25
Syekh Maulana Maghribi, nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik.
Ia adalah salah seorang anggota Wali Songo, yang dianggap pertama kali yang menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa. 26
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 29.
23
Semenanjung Malaya hingga wilayah Patani di Thailand Selatan. Dalam
hikayat Patani, Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang tabib.27
Bahkan di
sana ia mengobati Raja Patani yang sedang sakit kulit berat hingga sembuh.
Di wilayah Patani juga Sunan Kalijaga atau Raden Said dikenal dengan nama
Syekh Sa‟id.28
Setelah beberapa tahun ia berguru di Pasai dan berdakwah di wilayah
Malaya dan Patani, Sunan Kalijaga kembali ke Jawa. Tiba di Tanah Jawa,
Sunan Kalijaga diangkat menjadi anggota Wali Songo, sembilan pemuka dan
penyebar agama Islam di Jawa.29 Wali Songo adalah sembilan para penguasa
wilayah dalam menyebarkan agama Islam di Jawa.30
2. Syekh Siti Jenar
Dalam buku yang berjudul Babad Tanah Jawa yang ditulis oleh
Wiryapanitra dijelaskan bahwa Syekh Lemah Abang (Siti Jenar) yang tinggal
di Lemah Abang yang termasuk wilayah Majapahit, ia berasal dari keturunan
Buddha. Ia berguru dengan Sunan Ampel Denta atau Raden Rahmat (guru
ngaji). Setelah cukup lima tahun di Ampeldenta, ia diajarkan mengaji dengan
kitab-kitab seperti hukum Islam, tafsir, fiqih dan lain sebagainya. Syekh
Lemah Abang juga diajari ilmu mengenai syariat, tarikat, hakikat dan
makrifat, sembahyang lima waktu, puasa dan zakat fitrah. Semua itu sudah
27
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tabib adalah orang yang pekerjannya
mengobati orang sakit dengan metode atau cara tradisional baik menggunakan ayat-ayat suci al-
qur‟an atau herbal. 28
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2013), h. 10. 29
Achmad Chodjim, Sunan Kalijag : Mistik dan Makrifat, h. 10. 30
W.Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telah Atas Metode Dakwah Wali Songo(Bandung
: Mizan, 1995), h. 11.
24
dapat terima dan dipahami oleh Syekh Lemah Abang selama 7 tahun di
Ampeldenta. Syekh Lemah Abang ingin pergi berkelana ke dalam hutan.
Disitu Ia menemukan sebongkah batu besar yang rata halus bagaikan tikar,
kemudian istirahat disitu. Oleh karena itu hari Jumat, ia pun bersembahyang
lohor. Ia merasa kerasan tinggal disitu sampai 7 bulan lamanya. Banyak
pohon-pohonan yang tumbuh subur disekitar tempat itu, sampai Syekh Siti
Jenar tidak mengerti arah utara dan selatan.31
Kemudian Ia melanjutkan
bergurunya ke Padepokan Giri Amparan Jati, disana ia diserahkan ke Syekh
Datuk Kahfi (Pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati) agar ia di didik agama
Islamnya. Ia diajarkan tentang berbagai pelajaran keagamaan, seperti nahwu,
sharaf, ilmu tafsir, hadits, dan ushul fiqih.
Sekitar tahun 1446 M, setelah 15 tahun Syekh Siti Jenar menimba ilmu
di Padepokan Giri Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok, dan mulai
berniat untuk mendalami kerohaniannya (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia
bertekad untuk mencari “sangkan paran” dirinya. Tujuan pertamanya adalah
di Pajajaran, yang dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Buddha.
Di Pajajaran ini, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan
Prabu Kertawijaya Majapahit.32 Di dalam Kitab tersebut bahwa terdapat
banyak mutiara hikmah dari Prabu Kertawijaya yang sebagian di antaranya
adalah hasil pengajaran Islam dari Syekh Maulana Malik Ibrahim.
31
Wiryapanitra R, Babad Tanah Jawa (Semarang: Dahara Prize, 1991), h. 81-82. 32
Kitab Catur Viphala ini ada 4 pokok, yaitu : Nihsprha (suatu keadaan dimana tidak ada lagi
sesuatu yang ingin dicapai manusia), Nirhana (seseorang yang tidak memiliki tujuan), Niskala
(proses rohani yang bersatu dengan Tuhan), dan Nirasraya (suatu keadaan jiwa yang meninggalkan
bersatunya dengan Tuhan). Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab Serat
dan Suluk Syekh Siti Jenar, ( Yogyakarta : Narasi, 2014), h. 49
25
Selanjutnya Syekh Siti Jenar menuju ke Palembang ia juga berguru
kepada Aria Damar. Ia mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan
alam semesta, yang dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nuril” maksudnya
adalah Cahaya Maha Cahaya atau yang kemudian dikenal sebagai kosmologi
emanasi (martabat tujuh).33
Aria Damar adalah seorang penguasa ksetra
Bhairawa.34
Setelah dari Palembang, Syekh Siti Jenar pun melanjutkan
perjalanannya ke Malaka. Di Malaka, ia memasuki dunia bisnis dengan
menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Di dunia bisnis tersebut
dimanfaatkan oleh Syekh Siti Jenar untuk mempelajari berbagai karakter
nafsu manusia, sekaligus menguji laku zuhudnya di tengah gelimpang harta.
Selain menjadi Saudagar, ia juga menyiarkan agama Islam, yang diberi gelar
oleh masyarakat setempat yaitu Syekh Jabaranta. Ia juga bertemu dengan
Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad.35
Dari Palembang, ia melanjutkan perjalanan ke Malaka, dan bergaul
dengan para bangsawan suku Tamil maupun Melayu. Dari hubungan baiknya
itu, ia memasuki dunia bisnis dengan menjadi saudagar emas dan barang
33
Martabat 7 adalah tingkatan kezahiran rahasia Allāh Ta‟ala, seperti : pertama, ahdiyah
(Dzat-Nya atau keesaan-Nya). Kedua, wahdah (Hakikatul Muhammadiyah atau sifatullah). Ketiga,
wahiddiyah (Hakikat Insan, Asma dan Roh). Keempat, alam arwah (hakikat segala makhluk yang
bernyawa dan Roh hayat). Kelima, alam mitsal (hakikat segala bentuk rupa). Keenam, alam ajsam
(hakikat segala bentuk tubuh atau raga). Ketujuh, alam Insan (hakikat segala manusia).
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti Jenar
(Yogyakarta : Narasi, 2014), h. 50. 34
Aria Damar adalah seorang pemimpin yang berkuasa di Palembang pada pertengahan abad
ke-14 sebagai bawahan Kerajaan Majapahit. Aria Damar meninggal dalam usia sekitar 85 tahun
dan dimakamkan di seberang makam Pahlawan Seguntang Sakura Palembang. Jalan menuju
makam tersebut , dinamai jalan Ariadilah. Sedangkan kampungnya dinamakan sebagai kampung
Pedamaran. 35
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar (Yogyakarta : Narasi, 2014), h. 51.
26
kelontong. Di dunia bisnislah ia mempelajari berbagai karakter nafsu manusia
dan menguji zuhudnya di tengah gelimpang harta. Ia juga menyiarkan agama
Islam, dan disana ia diberi gelar sebagai Syekh Jabaranta.
Kemudian Syekh Siti Jenar juga pernah berguru kepada Sunan Giri,
namun ia merasa tidak memperoleh apa-apa dari pesantren Sunan Giri lebih
tepatnya lagi, proses bergurunya Syekh Siti Jenar terhadap Sunan Giri dan
beberapa wali yang lain adalah sebagai bentuk kesantunan (sikap tawadhu‟
dan wara‟nya) terhadap ulama sufi yang lain.36
C. Perjalanan Dakwah
1. Sunan Kalijaga
Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai
mubaligh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Karena
dakwahnya yang intelek, maka para bangsawan dan cendikiawan sangat
simpati kepada Sunan Kalijaga, demikian juga para masyarakat awam,
bahkan juga pengusaha.37 Sunan Kalijaga dalam melaksanakan Syi‟ar Islam
juga menggunakan media kesenian dan kebudayaan Jawa. Sehingga syi‟ar
Islam yang dilakukannya dapat berjalan dengan efektif dan relatif lebih
mudah. Sunan kalijaga tidak hanya dikenal sebagai mubaligh, pujangga atau
filsuf, akan tetapi juga dikenal sebagai seorang seniman atau budayawan.38
36
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h.18. 37
Muhammad Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo,
2005), h. 125. 38
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), l.
34.
27
Beberapa bidang kesenian yang disyi‟arkan oleh Sunan Kalijaga
tersebut tidak hanya seni suara yang menciptakan lagu tembang macapat
Dhandhanggula dan Dhandhanggula Semarangan ataupun seni gamelan (seni
musik) yaitu menciptakan gamelan yang berupa gong sekaten dengan nama
shahadatain. Namun pula dalam seni wayang kulit (drama) yaitu wayang
semula bersumber dari Kakawin Mahabarata. Seni rupa (batik dan ukir) yaitu
seni ukir yang dikembangkan oleh berbentuk dedaunan.
Kesusastraan yaitu mewariskan syair tembang lir-ilir, namun juga serat
Dewa Ruci dan Serat Duryat (Suluk Linglung).39 Apabila Sunan Kalijaga
berdakwah menggunakan kesenian wayang kulit, di tiap daerah ia
mengenalkan dirinya dengan menamai dirinya berbeda-beda, seperti di Jawa
Barat ia mengenal dirinya sebagai dalang Ki Sida Brangti. Kalau di daerah
Tegal, ia mengenal dirinya sebagai Ki Dalang Bengkok dan di Purbalingga ia
mengenal namanya sebagai Ki Dalang Kumendung.40
Selanjutnya pesan-pesan agama Islam yang disampaikan oleh Sunan
Kalijaga melalui tokoh lakon dalam pewayangan maupun dalam kidung-
kidungnya. Dalam pewayangan, melalui tokoh Bima inilah, Sunan Kalijaga
menceritakan makna dimensi rohani yang mempesona secara terbuka dalam
pagelaran wayang, seperti dalam pagelaran lakon Dewa Ruci, yang bertubuh
sebesar ibu jari. Saat Bima mencari susuhing angin atau sarang angin,
sekalipun tubuh Dewa Ruci hanya sebesar ibu jari, Bima dapat masuk ke
39
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 35-40. 40
Badlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabaya :
Apollo, 1995), h. 95.
28
dalam tubuh Dewa Ruci. Saat itulah Bima mengetahui berbagai dimensi
kerohanian tergelar.
Kemudian dalam kidung, Sunan Kalijaga menyampaikan pesan bahwa
agama Islam telah tumbuh dengan suburnya seperti tanaman yang ijo, bahkan
saking senangnya sambutan masyarakat Islam, digambarkan rasa senang itu
seperti kemanten anyar (penganten baru), seperti dalam kidung Lir-ilir
sebagai berikut :
“Lir ilir, lirilir tandure wis sumilir/sing ijo royo-royo tek sengguh
penganten anyar/cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi/lunyu-
lunyu penekna kanggo mbasuh dodotiro/dodotiro-dodotiro kumitir
bedah ing pinggir dondomana jlumatana kanggo sebo mengko sore/
mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane/yo surako
surak hore.”41
Artinya adalah Bangun-bangunlah, bangun tanamannya sudah bersemi/
tanaman hijau dan subur seperti pengantin baru/ anak-anak gembala
panjat dan petiklah buah belimbing itu/ sekalipun licin pohonnya,
panjatlah untuk mencuci pakaianmu/ pakaianmu-pakaianmu berumbai
robek di tepu jahit dan sulamlah untuk menghadap nanti sore / selagi
besar rembulannya selagi luas kalangannya/ mari bersorak bersorak
hore.42
Maksud kalimat dari tembang lir-ilir sebagai kearifan budaya tersebut
adalah, Lir-ilir Lir-ilir artinya “bangun, bangunlah, bangun” atau “sadar,
sadarlah, sadar” maknanya bahwa setelah manusia bangun atau sadar maka
segeralah berbakti, beriman dan bertakwa kepada Allah. Salah satunya
dengan melakukan dzikir dan sembahyang (dalam rukun Islam). Tandure wis
sumilir artinya “tanamannya sudah bersemi” maknanya bahwa peliharalah
41
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Bandung: Mizan, 2012), h. 212. 42
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
182.
29
kebaktian, kesadaran, keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan agar tetap dijaga
untuk menerangi jalan hidup dari dunia hingga akhirat.43
Tak ijo royo-royo tek sengguh penganten anyar artinya “tanaman padi
yang telah subur menghijau seperti pengantin baru” maknanya bahwa
pengantin baru tentu akan merasa bahagia dan tampak berseri-seri wajahnya.
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi artinya “anak-anak gembala
panjat dan petiklah buah belimbing itu” maknanya bahwa buah belimbing itu
memiliki warna kuning keemasan serupa dengan bintang. buah belimbing ini
melambangkan lima watak utama (rela, tawakal, jujur, sabar dan berbudi
luhur) agar manusia dapat menyempurnakan kebaktian, keimanan dan
ketakwaannya kepada Allāh.44
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro artinya “sekalipun licin
pohonnya, panjatlah untuk mencuci pakaianmu” maknanya bahwa buah
belimbing digunakan untuk mencuci pakaian dan pakaian memiliki makna
simbolik sebagai hati manusia, agar bersih dan suci. Hati manusia harus
selalu dicuci dengan melaksanakan lima watak utama (rela, tawakal, jujur,
sabar dan berbudi luhur) agar manusia akan selalu dekat dengan Allāh.
Dodotiro kumitir bedhahing pinggir domana jlumatana kanggo seba
mengko sore artinya “pakaianmu-pakaianmu berumbai robek di tepu jahit dan
sulamlah untuk menghadap nanti sore” maknanya bahwa pakaian
dilambangkan sebagai agama (iman dan takwa), karena agama harus tetap
43
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
186. 44
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 187.
30
utuh dan selalu dijaga sampai rusak bahkan sampai hancur berantakan. Jika
agama itu masih berlobang ataupun rusak maka orang tersebut belum
sempurna dalam melaksanakan ajarannya. Kata mengko sore sebagai tanda
bahwa waktu ajal sudah dekat, walaupun belum tahu kapan waktunya
dipanggil maka manusia harus mempersiapkan diri sewaktu menerima
panggilan itu.45
Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane artinya
“selagi besar rembulannya selagi luas kalangannya” maknanya bahwa agar
setiap manusia jangan suka menunda waktu selagi muda, sehat, gagah
perkasa dan memiliki waktu yang panjang maka segeralah menghadap Allah
melalui do‟a dan sembahyang (Shalat lima waktu) sebelum datangnya ajal. yo
surako surak hore artinya “mari bersorak bersorak hore” maknanya bahwa
menggambarkan perasaan manusia yang merasa bahagia karena telah mampu
melaksanakan lima watak utama (rela, tawakal, jujur, sabar dan berbudi
luhur) .46
Tembang lir-ilir ini mengandung nasihat hidup bagi setiap manusia
untuk mengolah budi pekertinya agar mencapai kesempurnaan. Budi perkerti
itulah manusia harus diolah setiap hari agar dapat melaksanakan lima watak
utama. Jika lima watak utama tersebut dilaksanakan maka itu akan mudah
dilewati tetapi jika tidak maka itu tergantung pada manusia itu sendiri.
Bahasa tembang lir-ilir tampak sederhana, kosakata yang digunakan
hampir semuanya ada didalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah syair
45
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 189. 46
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 190.
31
tembang yang bahasanya tampak sederhana itu memiliki daya pesona yang
kuat dan menyentuh dasar hati terdalam sehingga yang mendengarkannya
merasa tenteram. Oleh karena itu, tembang lir-ilir dianggap memiliki nilai
edipeni (baik).47
2. Syekh Siti Jenar
Agama bagi Syekh Siti Jenar bukan teori yang harus dihafal. Agama
adalah sebuah jalan yang harus dilalui. Dia tidak ambil pusing dengan nama
agama, walaupun agama yang disandangnya adalah Islam. Kenyataannya,
keberadaan diri itulah yang menjadi bagian kesadaran Syekh Siti Jenar.48
Awal mula memasuki tahun kelima abad dari pedalaman Nusa Jawa,
sampailah Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar berada di Dukuh Lemah Abang
yang terletak di kaki utara Gunung Mahendra (Lawu) di Lembah Selatan
Bengawan Sori, tetapi Abdul Jalil memutuskan tidak tinggal disana. Ketika di
Dukuh Lemah Abang, murid-murid dan pengikutnya menyebut nama baru
sesuai dengan nama dukuh tempat ia mengajar, yaitu Syekh Siti Jenar yang
artinya guru suci dari Dukuh Siti Jenar. Sebelumnya nama Syekh Siti Jenar
itu adalah Syekh Jabarantas.
Ketika di Dukuh Siti Jenar yang terpencil itu ia tidak pernah berhenti
mengajarkan Sasyahidan, belajar mati, menaklukan setan, dan menjadi
manusia yang tanpa memandang seseorang dari derajat maupun pangkatnya,
47
Edipeni merupakan dua sifat untuk tempat dan tempat yang berarti sarwa bercik (serba baik
atau serba indah). Biasanya kata edipeni ini digunakan untuk menyebut dan menghargai sesuatu
hal, barang dan tempat yang tampak secara visual atau segi fisiknya. Munawar J. Khaelany, Sunan
Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h. 183. 48
Muhammad Solikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo,
2005), h. 157.
32
sehingga keberadaan ia sebagai guru yang ditandai dari berbagai kelebihan
dalam waktu singkat, ia telah menjadi buah bibir penduduk yang ada disekitar
dukuh Siti Jenar.
Kemudian Syekh Siti Jenar pun menjadi buah bibir dari satu mulut ke
mulut yang lainnya, lalu tersebarlah nama Syekh Siti Jenar yang sebelumnya
itu adalah Syekh Jabarantas, beribu-ribu orang datang meminta keberkahan
dalam keselamatan dan limpahan kekeramatan kepada seorang guru. Bahkan
diantara mereka ada yang mencium tangannya, mencium lututnya, sampai
mencium kakinya.
Perubahan demi perubahan yang terkait dengan mahsyurnya nama
Syekh Siti Jenar, sedikit pun ia tidak sadar bahwa ia sebagai manusia yang
diberhalakan oleh pengikutnya. Lalu istrinya menegur dengan keras karena
selama berhari hari ia membiarkan para pengikutnya memperlakukan Syekh
Siti Jenar tidak semestinya dan Syekh Siti Jenar pun baru sadar kalau dia
sebagai manusia yang diberhalakan oleh pengikutnya. Setelah Syekh Siti
Jenar sadar, ia dan istrinya pun buru-buru mengambil keputusan untuk
meninggalkan Dukuh Siti Jenar.49
Setelah ia meninggalkan Dukuh Siti Jenar,
ia menimba ilmu sampai ke Baghdad, yang pada saat itu masih menjadi pusat
ilmu Islam dan kebatinan. Jika dilihat ilmunya Syekh Siti Jenar, ia sangat
49
Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang : Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti
Jenar (Yogyakarta : Pustaka Sastra, 2005), h. 323-328.
33
dalam menimba ilmu dari Al-qur‟an, sampai-sampai beliau menerima gelar
“Syekh” yang berarti maha guru atau profesor.50
Sekitar tahun 1463 Masehi., Syekh Siti Jenar kembali dari masa
perantauannya, setelah menimba ilmu di Baghdad dan Makkah. Syekh Siti
Jenar bertekad untuk mengadakan perubahan pada masyarakat Islam di Jawa,
serta masyarakat keseluruhannya, menuju masyarakat yang lebih maju.
Tepatnya di wilayah Cirebon, ia bisa menjadi penyiar dakwah Islamnya,
dengan cara mengambil lokasi di bukit Amparan Jati, dan menyatupadukan
langkah dakwah bersama Syekh Datuk Kahfi.51
Sementara di bukit Amparan Jati, umat Islam pada saat itu belum siap
menerima ajaran semacam ajaran Syekh Siti Jenar, karena banyak dari
mereka yang baru pindah dari agama Hindu, Buddha, dan Animisme yang
imannya pun masih lemah. Karena itu, akhirnya ajaran Syekh Siti Jenar
dianggap meresahkan oleh masyarakat.52 Kemudian dengan munculnya Islam
sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Buddha dan
Animisme melakukan perlawanan secara sembunyi-sembunyi. Untuk
mendomplengkan kepada salah satu anggota walisongo yang terkenal, yaitu
Sunan Kalijaga.
Agar Sunan Kalijaga mengajarkan agama Islam yang benar kepada
pengikut Hindu, Buddha dan Animisme. Tetapi sebenarnya Syekh Siti Jenar
50
Muhammad Solikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 152. 51
Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 128. 52
Sudirman Tebba, Syekh Siti Jenar : Pengaruh Tasawuf al-Hallaj di Jawa (Jakarta: Pustaka
irVan, 2008), h. 32.
34
hanya mengajarkan sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu,
Buddha dan Animisme, Jawa ke agama Islam. Oleh karena itu, menurut
pengikutnya isi gerakan Syekh Siti Jenar itu selalu sinis terhadap ajaran Islam
dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas dan
tampak tidak masuk akal.53
Ajaran Syekh Siti Jenar tidak diterima oleh pengikut Hindu, Buddha
dan Animisme, kemudian ia meluaskan dakwahnya ke Banten (arah barat), ke
Sumatera, sebelum akhirnya ia kembali menetap di Cirebon hingga diadili
oleh dewan Walisongo di bawah keputusan trio-wali (pengadilan pertama
oleh Sunan Giri, pengadilan kedua dan vonis hukuman mati di bawah
kepemimpinan Sunan Bonang dan atas persetujuan Sunan Gunung Jati yang
pernah menjadi muridnya).54
D. Karya-Karyanya
1. Sunan Kalijaga
Salah satu karya seni Sunan Kalijaga adalah menciptakan bentuk ukiran
wayang kulit, dari bentuk manusia menjadi bentuk kreasi baru yang mirip
karikatur. Misalnya, orang yang menghadap ke depan diukir dengan letak
bahu di depan dan di belakang. Tangan wayang kulit dibuat panjang hingga
menyentuh kakinya. Bahkan meski menghadap ke depan, matanya dibuat
tampak utuh. Seni wayang adalah salah satu media yang digunakan oleh
53
Muhammad Solikhin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo,
2005), h. 172-173. 54
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 21.
35
Sunan Kalijaga untuk melakukan syi‟ar agama Islam. Dalam seni wayang di
tangan Sunan Kalijaga dapat ditunjukkan 2 cerita wayang sebagai berikut:
a. Lakon Babon, ada 2 kisah wayang dalam babon yaitu Mahabbrata dan
Ramayana. Mahabbrata menjelaskan tentang kisah darah Barata atau berisi
seputar kehidupan kenegaraan, sosial dan budaya. Mahabbrata ini lebih
mendekati kehidupan realitas dan keberhasilan para Pandawa guna untuk
mendapatkan kemerdekaannya. Sedangkan Ramayana menjelaskan
tentang kisah cinta dan pengorbanan. Hubungan cinta kasih dua insan yang
akhirnya berlabuh pada pertikaian besar-besaran dan keberhasilan Rama
dalam memperjuangkan Shinta.
b. Lakon Carangan, hasil karya para pujangga dan ahli pewayangan di tanah
Jawa. Tokoh pewayangan yang muncul dan benar-benar merupakan asli
produk orang Jawa, seperti Petruk, Gareng, Semar, Bagong dan Bima
Suci. Contohnya, lakon Petruk Dadi Ratu adalah lakon improvisasi
dimana dalang memberikan sesuatu yang lebih aktual dan sesuai dengan
realitas yang ada di dalam kehidupan sebagai wujud kritik sosial politik
terhadap apa yang terjadi di dalam pemerintahan saat ini. Tokoh pemain
dalam lakon Petruk Dadi Ratu ialah Pandawa, Punakawan, Kurawa, Para
Dewa.
Karya kesustraannya adalah tembang yang merupakan ajaran makrifat,
ajaran mistis dalam agama Islam. Meski banyak tembang yang telah
diciptakannya, hanya tembang “Lir-ilir” yang dikenal masyarakat Jawa.
36
Tembang ini diajarkan kepada anak-anak SD di Jawa.55 Sunan Kalijaga juga
menciptakan Gong Sekaten, artinya Gong Syahadataini yang maknanya dua
kalimat syahadat.56
Adapun makna dari bunyi beberapa jenis gamelan, yaitu Kenong yang
berbunyi “nong, nong, nong” dan saron yang berbunyi “ning, ning, ning”
memiliki makna nongkana dan ningkene (di sana dan di sini). Kempul yang
berbunyi “pung, pung, pung” memiliki makna mumpung memiliki waktu dan
kesempatan. Kendang yang berbunyi “tak ndang, tak ndang, tak ndang”
memiliki makna segeralah datang. Genjur yang berbunyi “nggur” memiliki
makna segera njegur (masuk) ke dalam masjid.57
Kemudian karya sastra Sunan Kalijaga yaitu Suluk Linglung. Dalam
sastra Jawa, suluk dimaknai sebagai ajaran atau falsafah untuk mencari
hubungan dan persatuan antara kawula dan Gusti. Sedangkan linglung dalam
bahasa Jawa yaitu bingung. Bingung disini dimaknai dengan ketidakpastian
atau sebagai kumpulan cerita ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia tengah
mengalami kebingungan dalam mencapai hakikat kehidupan.58
Selanjutnya Karya Sunan Kalijaga dalam sejarah, yaitu Pembangunan
Masjid Agung di Demak. Sunan Kalijaga sangat berjasa dalam membangun
Masjid Agung di Demak, karena di dalam Masjid tersebut ada sebuah tiang
55
Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi,2013), h. 14-15. 56
Baidlowi Syamsuri, Kisah Wali Songo; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya:
Apollo, 1995), h. 97. 57
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
38. 58
Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang kini masih jarang
ditemukan dalam literatur Jawa. Kitab kuno ini menggunakan simbol-simbol prasasti penulisan
ngrasa sirna sarira aji (1806 caka atau 1884 Masehi.) Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru
Orang Jawa, (Yogyakarta : Araska, 2014), h. 129 – 130.
37
utama yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati yang disatukan yang
langsung di buat oleh Sunan Kalijaga.59
2. Syekh Siti Jenar
Serat Natarata. Natarata adalah bentuk serat atau tembang yang
menjelaskan tentang Ngelmu Kasunyatan. Ngelmu kasunyatan membahas
tentang hakikat Tuhan dan manusia serta keduanya ada hubungan dalam serat
ini. Ngelmu kasunyatan juga yang dipilihnya pun lebih condong
membicarakan sangkan paraning dumadi. Serat Natarata banyak diminati
pembaca dan bahkan menjadi pembicaraan kontroversial tentang ajaran-
ajaran yang disampaikan dinilai sebagai menggugat kemapanan. Karena serat
natarata, mengulas keberadaan Tuhan beserta alam semesta yang ciptaannya
dianggap nyeleneh menurut tradisi yang sesuai dengan jamannya. Serat
Natarata ini ditulis oleh Kulawarga pada tahun 1958, serat ini ditulis dalam
huruf latin.60
59
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 37. 60
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 18.
38
BAB III
AJARAN MAKRIFAT DALAM TASAWUF
A. Pengantar Tentang Tasawuf
Dari hari ke hari, perhatian berbagai lapisan masyarakat terhadap
tasawuf semakin berkembang. Tasawuf yang semula merupakan bentuk
pemaknaan terhadap hadits Rasulullah tentang al-ihsūān (baik), dapat
berkembang yang mengalami perluasan penafsiran. Hal ini lebih banyak
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perspektif penafsiran dan
beberapa indikasi yang paling menonjol dalam praktik-praktiknya.1
Secara etimologi, kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu
tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ada yang mengatakan dari kata
shuf yaitu bulu domba, shaff yaitu barisan, shafa yaitu jernih, dan shuffah
yaitu serambi masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat
Rasulullah.2 Tasawuf juga merupakan jalan menuju kedekatan diri kepada
Allāh swt. Dengan cara melepaskan diri dari segala sesuatu yang rendah, hina
dan berpegang teguh kepada sunnah Rasūlullah saw.3
Secara Terminologi, menurut Harun Nasution, ada lima istilah yang
berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-shuffāh/ahl al-suffāh (orang yang ikut
pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (Barisan), sufi (suci),
1Sokhi Huda, Tasawuf Kultural : Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: Lkis, 2008),
h. 21. 2Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2014), h. 3.
3Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi : Menyucikan Tasawuf dari Noda-Noda (Jakarta:
Hikmah, 2002), h. 5.
39
sophos (bahasa Yunani yaitu hikmat) dan suf (kain wol).4 Kata ahl al-suffah
misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa
raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Kata saf juga
menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah
kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Kata sufi menggambarkan
orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat. Kata suf
menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia.
Dan kata sophos menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung
kepada kebenaran.
Menurut Saifulloh al-Aziz, tasawuf berasal dari istilah yang
dikonotasikan dengan ahl ash-shuffah yang berarti sekelompok orang di masa
Rasulullah yang banyak berdiam di serambi-serambi masjid dan mereka
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Mereka yang
dimaksud ini adalah orang-orang yang ikut pindah dengan Rasulullah dari
Mekah ke Madinah, kehilangan harta dan berada dalam keadaan miskin dan
tidak mempunyai apa-apa.5
Menurut Amin Syukur, tasawuf adalah cabang keilmuan atau hasil
kebudayaan Islam yang lahir setelah Rasulullah wafat. Ketika beliau hidup,
istilah (tasawuf) ini belum ada dan hanya sebutan bagi sahabat orang Islam
4Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam Islam(Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 56-
57. 5Saifulloh al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya : Terbit Terang, 1998), h.
10-11
40
yang hidup pada masa Rasulullah dan sesudah itu generasi Islam disebut
tabi‟in. Istilah tasawuf baru terdengar pada masa pertengahan abad II Hijriah.6
B. Makrifat Menurut Beberapa Tokoh Sufi
Beberapa tokoh sufi menjelaskan tentang pengertian makrifat, seperti :
Dalam buku Akhlak Tasawuf, menurut penulis yaitu A. Mustofa bahwa
Abu Hamid Al-Ghazali, mengatakan “Makrifat berarti ilmu yang tidak
menerima keraguan seperti pengetahuan yang mantap dan mapan, yang tak
tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia (makrifat) adalah
pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin”. Mustafa Zahri,
mengatakan bahwa “Makrifat ialah ketepatan hati (dalam mempercayai
hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaan”.7
Sedangkan dalam buku Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat,
menurut penulis yang bernama Sudirman Tebba bahwa Abul Qasim Abdul
Karim Hawazin Al-Qusyairi, mengatakan “Makrifat merupakan sifat-sifat
orang yang mengenal Allah dengan nama dan sifat-Nya, kemudian
membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan. Abul
Faidh Tsauban Dzun-Nun al-Mishri, mengatakan bahwa, “Aku mengetahui
Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak tahu Tuhan”.
Ucapan itu menjelaskan bahwa makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi
merupakan pemberian dari Tuhan. Maksudnya adalah makrifat bukanlah hasil
6Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 3.
7A Mustofa, Akhlak Tasawwuf (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 20.
41
dari pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat
Tuhan.8
Menurut Harun Nasution, bahwa “Makrifat berarti mengetahui Tuhan
dari dekat, sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Makrifat juga
menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan
hati sanubari”.9 Kemudian dalam buku Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar,
menurut penulis yang bernama Muhammad Sholikhin bahwa Abu Yazid al-
Bushthami, menjelaskan bahwa “Makrifat itu adalah mengetahui bahwa
gerakan dan diamnya manusia bergantung kepada Tuhan.”10
Sedangkan dalam buku Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat,
menurut penulis yang bernama Sudirman Tebba bahwa Abu Bakar al-
Kalabadzi berpendapat bahwa “Makrifat selalu bersama dengan mahabbah”.
Karena keduanya menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada
bagi sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk
cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dekat dalam bentuk
gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari. Muhyiddin Ibnu „Arabi,
menjelaskan “ilmu dan makrifat untuk makna yang sama, yaitu keduanya
mengandung makna pengetahuan”. Tetapi, kedua ini mempunyai istilah yang
berbeda yaitu ilmu berarti pengetahuan lahiriah, sedangkan makrifat berarti
ilmu bathiniah (spiritual).11
8Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat (Jakarta: Kencana, 2004),
h. 85. 9Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h.
75. 10
Muhammad Sholikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar ; Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 114. 11
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat (Jakarta: Kencana, 2004),
h. 86.
42
C. Tahapan Untuk Mencapai Makrifat
Dari segi istilah makrifat bukan hanya berupa pengetahuan yang
diperoleh hasil batin dan spiritual manusia12
, namun berupa pengalaman
orang yang menempuh jalan tarikat tujuannya adalah untuk sampai kepada
Allah yang diibaratkan sebagai musyafir atau salik. Yakni berasal dari bahasa
arab salaka al-thariqa (menempuh jalan tasawuf). Memasuki wilayah tarekat
ini di Indonesia sering disebut dengan suluk (memasuki tarekat).13
Kemudian untuk mencapai Makrifat telah ada dalam diri manusia, yaitu
qalb (hati), karena qalb selain alat untuk merasa adalah juga alat untuk
berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah akal tidak bisa memperoleh
pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa
mengetahui hakikat dari segala yang ada dan jika dilimpahi cahaya Tuhan,
bisa mengetahui rahasia Tuhan. Qalb yang telah di bersihkan dari segala dosa
dan maksiat melalui dzikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut di sinari cahaya Tuhan
(emanasi).14
Dalam tasawuf ada tahapan-tahapan untuk mencapai makrifat yaitu :
1. Syariat
Secara harfiah syariat berarti jalan yang lempeng atau jalan yang seperti
air terjun. Dalam konteks Islam, syariat pada awalnya berarti segala ketentuan
yang ditetapkan oleh Allah untuk para hambanya melalui rasul-Nya, baik
12
Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika, 2014), h. 31. 13
Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta : Yayasan
Bentang Budaya, 1995), h. 26 14
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 222
43
ketentuan mengenai perbuatan lahiriah, yaitu ibadah dan muamalat maupun
bathiniah, seperti akidah, akhlak dan tasawuf yang mengatur hubungan
manusia dengan pencipta-Nya. Syariat juga merupakan cara formal untuk
melaksanakan peribadatan kepada Allāh yang dirujuk oleh al-Qur‟ān sebagai
tujuan utama penciptaan manusia.15
Dalam buku yang berjudul Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase
Spiritual, menurut penulis yang bernama Sudirman Tebba, bahwa Seyyed
Hossein Nasr menjelaskan bahwa syariat diturunkan secara etimologis dari
kata “jalan”. Maksudnya adalah jalan yang membawa orang kepada Tuhan.16
Intinya adalah syariat ini berisi perintah agung yang mengatur segala
keadaan dalam kehidupan. Hukum sesuai dengan mana manusia harus hidup
seperti yang diinginkan oleh-Nya. Oleh karena itu, syariat menjadi petunjuk
bagi tindakan manusia dan mencakup segala segi kehidupan. Syariat juga
mengajarkan kepada manusia agar mengetahui pengetahuan tentang baik dan
buruknya jalan yang akan ia tempuh.
2. Tarekat
Kehidupan spiritual umat Islam banyak yang berhenti pada syariat,
padahal sebaiknya berkembang ke jenjang berikutnya, yaitu tarekat.17 Tarekat
yang berasal dari bahasa arab yaitu al-Tharq, jamaknya al-Thurūq merupakan
isim Musytarāq, yang secara etimologi berarti jalan, tempat lalu atau
metode.18 Istilah tarikat atau tarekat juga diartikan sebagai organisasi
15
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h.
27. 16
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual (Jakarta: Pustaka Irvan,
2006), h. 1. 17
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual, h. 41. 18
Ris‟an Rusli, Tasawuf dan Tarekat (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 184.
44
persaudaraan sufi, seperti Qadariyah, Naqsyabandiyah, dan sebagainya.
Tarekat baik dalam arti yaitu jalan spiritual maupun organisasi persaudaraan
sufi, yang memerlukan bimbingan guru yang disebut Mursyid, Syekh atau
Pir.19
Menurut istilah tasawuf sendiri, tarekat ialah perjalanan khusus bagi
para sufi yang menempuh jalan menuju Allah Swt. Perjalanan yang
mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk-beluknya.20 Tarekat juga
merupakan suatu ilmu yang mengkaji kaitannya pengamalan zikir kepada
Allah dengan praktek dalam beribadah setiap waktu yang telah ditentukan.21
Dalam membahas tarekat biasanya sufi membedakan antara hal
(kondisi spiritual) dengan maqam (jenjang spiritual). Dalam buku Merengkuh
Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, penulis yang bernama Sudirman Tebba,
mengatakan bahwa Amatullah Armstrong, menjelaskan kondisi spiritual yang
masuk ke dalam hati sebagai anugerah dan karunia dari rahmat Allah yang
tidak terbatas kepada hamba-nya. Kondisi spiritual tidak bisa dicapai melalui
usaha, keinginan atau undangan, ia datang tanpa diduga-duga dan pergi juga
tanpa diduga-duga. Sedangkan maqam diperoleh dan dicapai melalui upaya
dan ketulusan sang penempuh jalan spiritual. Tetapi pencapaian ini
sebenarnya terjadi berkat rahmat Allah.22
Tetapi, menurut Mustaha Zahri, dalam buku Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf menjelaskan bahwa tarikat dikalang sufiyah berarti sistem dalam
rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang
19
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat: Menuju Ekstase Spiritual, h. 41. 20
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (Depok: Pustaka IIMaN, 2009), h. 183. 21
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 2. 22
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual (Jakarta: Pustaka Irvan,
2006), h. 41.
45
tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang teruji dan memperbanyak zikir
dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharakan bertemu dan bersatu
secara ruhiah dengan Tuhan.23
Intinya adalah tarekat merupakan jalan yang ditempuh untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam
(kedudukan yang harus ditempuh hambanya agar bisa sampai kepada Allah)
yang mempunyai sifat mahmudah (sifat baik). Dalam tingkatan ini bahwa
menghidupkan syariat itu sebagai amalan lahir atau amalan batin secara
sungguh-sungguh dan istiqamah dalam menguatkan keimanan dalam hati.
3. Hakikat
Perjalanan spiritual sebaiknya tidak berhenti pada tarekat, tetapi dapat
berkembang ke tahap berikutnya, yaitu hakikat atau haqiqah. Hakikat
mengacu pada makna terdalam dari praktek dan bimbingan yang dibangun
dalam syariat dan tarekat. Istilah hakikat mengandung banyak arti, yaitu
kebenaran, kenyataan, keaslian, hakiki (bukan kiasan), sesungguhnya,
sebenarnya, senyatanya, tentu dan pasti. Hakikat adalah kebenaran atau
benar-benar ada (Allah) sebagai sumber kebenaran dan tiada yang lebih indah
kecuali mencintai Allah. .Hakikat juga merupakan pengalaman langsung
kondisi mistis dalam tasawuf dan pengalaman langsung dari kehadiran Tuhan
dalam diri.24
Di dalam perjalanan menuju Hakikat itu, orang memulai dari dalam
dirinya sendiri untuk mengenal Allah, sebelum mengenal Allah maka
23
Mustaha Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf(Surabaya : Bina Ilmu, 1995), h. 57 24
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual, (Jakarta : Pustaka Irvan,
2006), h. 97
46
manusia harus mengenali dirinya sendiri. Perjalanan itu dimulai dari dalam
dan ke dalam. Sehingga Alam dengan keindahan, hanyalah untuk jadi saksi
untuk pencari diri. Apabila Thariqat telah dijalani dengan segenap
kesunguhan, dan setia memegang segala syarat, maka tentulah bertemu
dengan Hakikat.25
4. Makrifat
Dari segi bahasa makrifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan,
makrifat yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Makrifat adalah
pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang
satu.26 Jadi, manusia harus menyadari bahwa semua dan segala yang ada di
alam ini yang menciptakan dan menggerakan adalah Allāh.
Makrifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu
tasawuf yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an
dan Hadis atau sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan
Rasulullah saw. Kata makrifat yang secara khusus menjadi konsep spiritual
Islam di dalam al-Qur‟an memang tidak ditemukan secara harfiahnya.27
Dalam buku Harun Nasution yang berjudul “Falsafat dan Mistisme
dalam Islam” ia mengatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan tentang makrifat
itu sendiri ialah memandang kepada wajah Allah swt. Artinya mengetahui
25
Hamka, Tasawuf Perkembangan Pemurniannya (Jakarta: Citra Serumpun Padi, Jakarta,
1994), h. 102-103. 26
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 219-220. 27
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 181.
47
segala peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya al-
Ghazali menjelaskan bahwa makrifat inilah setinggi-tingginya tingkat yang
dapat dicapai oleh seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari
makrifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.28
Makrifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir
semuanya tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan
persiapan dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-
penyakit jiwa lainnya atau akhlak yang tercela.29
Dalam pandangan Harun Nasution (wafat 1998 Masehi.) makrifat
berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
memandang Tuhan.30 hal itu memiliki ciri sebagai berikut :
1) Orang arif adalah bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama
Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa
miskin.31
2) Jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan
tertutup, dan saat itu yang dilahatnya hanya Allah SWT.
3) Makrifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin
maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.
4) Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga
hanyalah Allah SWT.
28
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 78. 29
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h.
13. 30
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 79. 31
Hamka, Tasawuf Perkembangan Pemurniannya (Jakarta: Citra Serumpun Padi, Jakarta,
1994), h. 91.
48
5) Seandainya makrifat berupa bentuk materi, semua orang yang
melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat
luar biasa cantik, serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan
dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang tersebut.32
Dalam buku yang berjudul Falsafat dan Mistisime dalam Islam,
beberapa tokoh berbeda jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah,33
seperti:
1. Abu Hamid al-Ghazali
tobat- sabar- kefakiran- zuhud- tawakal- cinta- makrifat- kerelaan.
2. Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi
tobat- zuhud- sabar- kefakiran- kerendahan hati- takwa- tawakal-
kerelaan- cinta- makrifat.
3. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi
tobat- wara‟- zuhud- kefakiran- sabar- tawakal- kerelaan hati.
Definisi-definisi dari kata tobat, zuhud, sabar, wara‟, kefakiran,
tawakal, cinta, kerelaan dan makrifat, yaitu :
1) Tobat adalah tobat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa
pada segala hal kecuali Tuhan.
2) Zuhud adalah keadaan yang meninggalkan dunia dan hidup
kebendaan.
3) Sabar adalah menerima segala cobaan-cobaan yang ditimpakan-Nya
pada diri kita.
32
Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual (Jakarta : Pustaka Irvan,
2006), h. 84 33
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 48.
49
4) Wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat
syubhat (keraguan) tentang halalnya sesuatu.
5) Kefakiran adalah tidak meminta lebih dari pada apa yang telah ada
pada diri kita.
6) Tawakal adalah menyerah kepada keadaan dan putusan dari Allah.
7) Cinta adalah memeluk kepada Allah dan membenci sikap melawan
pada-Nya.
8) Kerelaan adalah menerima kada dan kadar dengan hati senang.
9) Makrifat adalah mengetahui Allah dari dekat, sehingga hati sanubarri
dapat melihat Allah.
Menurut Muhammad Solikhin ada empat hal metode untuk mengenal
Allah, yaitu :
1. Memohon kepada Allah
Memohon kepada Allah agar Allah berkenan menjadikan kita
mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya.
2. Janganlah sombong dan berbohong
Kesombongan adalah ketika kita meremehkan orang lain dan
menolak kebenaran. Bohong tentang kebenaran dan tentang hal yang
sudah kita lakukan tentang kebenaran itu. Maksudnya adalah
berbohong sudah melakukan kebenaran hanya untuk menutupi rasa
malu, jika diketahui bahwa belum melakukannya.
50
3. Gemar mencari ilmu
Untuk mengenal Allah membutuhkan ilmu untuk diamalkan. Allah
menyuruh orang mukmin untuk menanyakan segala sesuatu hanya
kepada ahlinya.34
4. Amalkan setiap titik ilmu yang sudah diperoleh
Ketika mengetahui ilmu yang benar, maka cepatlah diamalkan.
Jangan menyediakan ruang alasan untuk tidak mengamalkannya.
Semua ilmu yang tidak diamalkan oleh Allah maka tidak memiliki
arti apapun di sisi-Nya.
Empat hal tersebut menjadi pengetahuan tentang asal mulanya
kehidupan dan pengetahuan tentang alam semesta serta pengetahuan tentang
kehidupan yang sejati. Empat hal tersebut juga merupakan cara menempuh
lima kunci (tahapan utama) untuk menggapai makrifatullah, yang meliputi
dzikrūllah, tafakkur, murāqabah, muhasabah dan wirid. Inilah metode dasar
makrifat dalam bentuk ilmu hening oleh Syekh Siti Jenar, sebagai berikut :
1. Dzikrullah, tujuan dzikir adalah memusatkan perhatian. Maksudnya
adalah mengingat Allah menghapus ingatan dari segala sesuatu
selain-Nya. Jika seseorang sudah memusatkan perhatiannya, maka ia
akan menyadari adanya berbagai godaan jiwa.35
2. Tafakkur adalah perenungan mendalam, yang menjadikan pembuka
atau awal proses meditasi (hening). Intinya, tafakkur ini untuk
34
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar : Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta : Narasi, 2014), h. 193 35
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 194.
51
merenungkan diri dari pikiran yang negatif agar pikiran menjadi
bersih atau positif.
3. Muqarabah adalah saling berdekatan. maksudnya adalah dua pihak
yang saling melindungi. Jadi sikap Allah menjaga dan melindungi
manusia, agar manusia di dalam hatinya juga menjaga dan
melindungi Allah. 36
4. Muhasabah adalah menyeimbangkan perhitungan atau tepat dalam
perhitungan. Maksudnya adalah memperhitungkan perbuatan dan
pikiran manusia untuk mengetahui bahwa Allah yang selalu
mencatat apa yang dilakukan manusia di dunia ini.37
5. Wirid
Wirid bukan hanya mencakup do‟a kepada Allah, tetapi juga
memohon ampunan di haribaan-Nya. Jika sikap manusia terus
menerus dalam mengamalkan wirid, maka seluruh ingatannya akan
terpusat hanya kepada Allah, baik dalam keadaan menyendiri
ataupun ditengah-tengah orang lain.38
36
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 200. 37
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 206. 38
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 212.
52
BAB IV
AJARAN MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA DAN SYEKH SITI JENAR
A. Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga
Dalam ajaran makrifat Sunan Kalijaga mengajarkan kepada
pengikutnya dengan menggunakan konsep tasawuf akhlaqi. Dimana tasawuf
akhlaqi ini adalah membersihkan tingkah laku baik akhlaq maupun budi
pekertinya, untuk mewujudkan perilaku yang baik (mahmudah) serta
menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela (mazmumah). Sunan Kalijaga juga
mengikuti perintah syari’at, dimana pengalaman syari’at itu ada di dalam
Suluk Linglung yang merupakan salah satu kitab Sunan Kalijaga. Didalam
Suluk Linglung itulah menjelaskan bahwa Sunan Kalijaga telah menyinggung
pentingnya shalat dan ibadah haji dengan tertib dan sungguh-sungguh yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW., untuk memahami makna shalat dan ibadah
haji yang diajarkan oleh Sunan Bonang kepada muridnya yaitu Sunan
Kalijaga.
Dalam tasawuf, Sunan Kalijaga menjelaskan tentang tahapan untuk
mencapai makrifat, yaitu :
1. Memahami hakikat adalah tahap manusia telah menyatukan dirinya
dengan Allah atau mengenal dirinya. Karena dengan mengenal dirinya
maka dia akan mengenal Allah. Mengenal Allah senyata-nyatanya, bukan
53
saja mengenal-Nya di hari akhirat nanti, melainkan ketika masih di dunia
ini.1
2. Asal-usul sangkan paran (tujuan hidup manusia), pada mulanya Allāh
berkehendak untuk menciptakan manusia kemudian terciptalah nuqab gaib
atau johar awal. Nuqab gaib atau johar awal itu adalah garis kehidupan dan
garis kematian manusia. Kehidupan dan kematian manusia telah
digariskan dalam nuqab gaib. Setelah manusia hidup maka nuqad ghaib
berubah menjadi neqdu atau neptu (darah hidup yang menjadi tempat
merasakan sesuatu yang sebenarnya dan hidup bersama ruh dan raga).
Apabila dalam kehidupan itu nafsu mutmainnah (mampu membawa hati
kepada ketenangan) maka dapat mengendalikan dan mengalahkan tiga
nafsu lainnya, yaitu : ammarah (mudah marah), supiyah (nafsu yang tidak
baik) dan lawwamah (menghalangi pikiran yang baik) maka seorang
hamba akan dapat menyatu dengan Allāh. Jika terjadi kematian, darah
hidup yang mengandung dalam kesatuan Jibril, Muhammad SAW dan
Allah SWT, maka kembali menjadi alip (darah hidup) dan bersatu dengan
ruh yang berwujud roh ilafi (roh manusia yang sempurna).2
3. Roh Ilafi (roh al-idhafi) atau disebut juga Sukma. Roh Ilafi adalah roh
yang senantiasa pasrah pada Dzat Allah. Roh ini menjadi penghubung
antara jiwa dan Allāh. Roh ini juga memancarkan cahaya yang berkilauan,
terang benderang dan tak berwarna. Daya cahayanya (pancaran sinar) yang
berkilauan itu disebut Premana. Dalam khazanah Jawa Premana juga
1Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2013), h. 240.
2Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1142.
54
dinamakan dengan nyawa.3 Jadi, roh (nyawa) inilah manusia dapat hidup,
bila roh tersebut keluar dari raga , maka manusia akan mati jasadnya.
4. Insān kāmil berasal dari bahasa arab yaitu dari dua kata insān dan kāmil.
Secara harfiah insān berarti manusia dan kāmil berarti yang sempurna.
Insān kāmil berati manusia yang sempurna.4 Insān kāmil adalah manusia
yang dapat mengetahui keberadaan Allah dengan sebenarnya-benarnya
baik mengenai sifat, zat dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu, keberadaan
Allah itu bersifat gaib sehingga tanpa kehendak dan karunianya, manusia
tidak akan dapat mencapainya.5
Abuddin Nata, menjelaskan bahwa kata insān juga mempunyai tiga asal
kata, yaitu : pertama, berasal dari kata anāsa yang mempunyai arti melihat,
mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya
lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata
buas. Asal kata anasa, maka mengandung arti melihat, mengetahui dan
meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia
dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran. Asal kata
nasiya, insān mengandung arti lupa dan menunjukkan adanya kaitan dengan
kesadaran diri. Manusia telah melakukan sesuatu (perjanjian dengan Allah),
kemudian ia melupakannya. Karena lupa manusia kehilangan kesadaran
dirinya yang digoda oleh syaitan . Sedangkan kata insān jika dilihat dari
asalnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak, mengandung arti bahwa
3Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2013), h. 256-
257. 4Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya, 1990). h. 51.
5Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1143.
55
manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat
dipelihara, jinak.6
5. Fanā dan bāqa adalah tahap puncak dalam pendakian spiritual. Fanā
adalah lenyap atau penghancuran diri (perasaan atau kesadaran manusia
dalam melakukan hal-hal buruk) dan bāqa adalah memasuki alam kekal.
Setelah tahap fanā tercapai, maka dirinya akan terserap oleh Allah. Lalu,
masuk ke dalam wilayah ketuhanan atau memasuki keadaan bāqa. Di alam
ini pengalaman orang satu dengan yang lainnya akan sama.7 Intinya, ketika
seseorang bisa mencapai tahap ini, maka ia telah menemukan pusat dirinya
(mengenal dirinya) dan sudah sampai pada al-Haqq (kebenaran).
6. Etika hubungan guru dan murid, tanggung jawab guru sangat besar dalam
mengarahkan dan menjaga keselamatan murid dari kesesatan, sehingga
untuk dapat diterima menjadi murid biasanya guru akan menentukan
syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan oleh murid untuk menguji
ketaatan dan kesetiannya, seperti Sunan Kalijaga yang berguru dengan
Sunan Bonang, ia harus melakukan syarat yang harus dilaksanakan dengan
penuh ketaatan. Selain taat dan setia pada guru, harus bersungguh-sungguh
dan tidak ingkar janji dalam berguru dan tidak boleh berguru kepada orang
lain kecuali telah mendapatkan izin dari guru yang pertama.8
Sedangkan ajaran makrifat Sunan Kalijaga dalam Suluk Linglung,
diantaranya adalah pertama, Sunan Kalijaga menuntut ilmu yang menjadi
6Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 258-259.
7Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat (Jakarta: Serambi, 2013), h. 268.
8Rahmat Hidayat, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1143.
56
pegangan para Nabi Wali yang diibaratkan sebagai kumbang menghisap
madu atau Pupuh Dhandhanggula. Dalam bait pertama, dijelaskan bahwa :
“Pawartane pandhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah,
pejrah sajroning uripe, sanget kepenginipun, pawartane kang sampun
urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput, anderpati tan
katedah. warta ingkang kagem para Nabi Wali, mila wangsul kewala”.
Artinya adalah Raden Syahid putra Adipati, sudah menjadi alim ulama
yang cerdik dan pandai. Bahkan beliau sudah dapat merasakan mati,
mati di dalam hidup yang mempunyai keinginan besar untuk
memperoleh petunjuk dari seseorang yang sudah menemukan hakikat
kehidupan. Ia bernafsu untuk mendapatkan petunjuk yang dipegang
para Nabi Wali/ Iman Hidayah, itulah tujuan yang diharapkan semata-
mata.9
Dalam bait tersebut dijelaskan bahwa, Sunan Kalijaga mempunyai
tekad atau keinginan yang besar untuk menuntut ilmu yang menjadi pegangan
para Nabi Wali. Walaupun hati Sunan Kalijaga yang sedang bimbang dan
pikirannya pun bingung (linglung), tetapi tetap nafsu untuk menuntut ilmu itu
semakin membara tidak peduli lautan api yang sedang menghadang. Berbagai
usaha yang ditempuh agar nafsu itu tidak semakin bertambah maka Sunan
Kalijaga pun berserah diri kepada Allāh SWT, sehingga hatipun terasa
tentram. Itulah yang diibaratkan sebagai kumbang menghisap madu.
Maksud dari kata “Madu” adalah orang yang diberi kemuliaan oleh
Allāh maka ia tetap kokoh dalam pendiriannya yaitu menuntut ilmu. Segala
usaha yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga tidak semudah yang ia pikirkan,
untuk mendapatkan petunjuk (iman hidayah) tersebut maka ia harus melewati
proses-prosesnya seperti menjalankan tapa dan rela lapar. Jika ada teman
yang datang lalu teman itu makan, maka ia pun harus mengikutinya. Tetapi
9Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid Kasri
(Demak: Yayasan Subulus Salam, 2000), h. 1.
57
jika teman itu pergi dan tidak makan seumur hidup maka Sunan Kalijaga pun
harus mengikutinya.10
Kemudian, dari proses itulah yang membuat Sunan Kalijaga lelah dan
meminta upah kepada Allāh dari bertapa dan rela lapar itu. Jika Allāh yang
ditagih wajar kalau Allāh itu diam saja memang kenyataannya tidak
berhutang biarpun yang menagihnya (Sunan Kalijaga) itu selalu datang dan
pergi, semua itu tidak ada bedanya. Allāh itu Maha Kaya berhak tidak
melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Sunan Kalijaga. Akhirnya
Sunan Kalijaga menyadari hal bodohnya tersebut dan tersenyum sendiri.
Lalu, Sunan Kalijaga memutuskan diri untuk berguru dengan Sunan Bonang,
mungkin dengan berguru tersebut ia akan mendapatkan petunjuk Nabi
Wali/Iman Hidayah.11
Kedua, Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang atau Pupuh
Asmarandana.12
Sunan Kalijaga dapat dikatakan orang hebat, karena ia
mempunyai keinginan yang besar dan tekad batinnya yang kuat jadi tidak
dapat disandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga
berguru kepada Sunan Bonang agar mendapatkan petunjuk Iman Hidayah
(Hakikat Kehidupan).
10
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
132 11
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri (Demak: Yayasan Subulus Salam, 2000), h. 2-3. 12
Sunan Bonang adalah salah satu anggota dari Walisongo. ia juga merupakan putra Sunan
Ampel dan ia merupakan keturunan dari Nabi Muhammad. Ia banyak berdakwah melalui kesenian
untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia juga dikatakan sebagai penggubah
Suluk Wijil dan tembang “Tombo Ati” yang zaman sekarang masih dinyanyikan oleh orang-orang.
Lalu, hubungannya dengan Sunan Kalijaga, karena ia adalah guru spritualnya dan ia mengajarkan
kepada Sunan Kalijaga tentang Iman Hidayat atau Hakikat Kehidupan. Iman Anom, Suluk
Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid Kasri h. 5.
58
Kemudian Sunan Kalijaga berguru dengan Sunan Bonang, seseorang
yang mempunyai ilmu yang tinggi, ia harus bersunyi diri di desa Benang dan
harus melewati proses-proses untuk mendapatkan hakikat kehidupan, seperti
menunggu pohon gurda yang berada di tengah hutan belantara, bertapa atau
bertafakur di tepi sungai dan menjalankan laku seperti kijang.13
Ketika berada di tengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon
gurda maka Sunan Kalijaga tidak boleh meninggalkan tempat tersebut selama
satu tahun. Lalu, Sunan Kalijaga disuruh “ngaluwat” yaitu menanam pohon
gardu tersebut yang berada di tengah hutan tepatnya di dalam goa Sorowati
Panceng, Tuban. Setelah setahun mulut goa tersebut yang mulanya ditutup
dengan batu, kemudian dibongkar oleh Sunan Bonang.
Selanjutnya Sunan Kalijaga melaksanakan tapa atau tafakur,14
di tepi
sungai dan tidak boleh tidur ataupun makan selama setahun. Lalu Sunan
Kalijaga ditinggal oleh Sunan Bonang ke Makkah. Nyatanya, sudah genap
setahun, Sunan Kalijaga ditengok dan ditemui oleh Sunan Bonang yang
masih saja bertapa.
Kemudian, Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga, “Wahai
muridku sudahilah tafakurmu, mulai sekarang kamu sudah menjadi
Wali dan berjuluk dengan nama Sunan Kalijaga. Kamu diangkat
sebagai Wali penutup (maksudnya adalah melengkapi anggota
Walisongo yang saat itu jumlahnya kurang satu Wali). Tugasmu ikut
menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada.
Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha
13
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
133. 14
Tafakur juga dapat diartikan dengan merenung. Merenung bukan berarti memikirkan
sesuatu yang ada di angan-angan pikiran semata tetapi tafakur di sini adalah perenungan tentang
makna hidup manusia di dunia agar mengetahui tentang jati diri manusia yang sebenarnya. Atau
dengan kata lain tafakur adalah berfikir (merenungkan) segala hal sebagai sikap kehati-hatian
dalam melakukan sesuatu.
59
Mengetahui. Kamu harus berpegang kepada syariat Islam, serta segala
ketentuan iman hidayah, hidayah itu dari Tuhan Yang Maha Agung,
yang sangat besar keanugerahan-Nya. Keanugerahan Tuhan, meliputi
dan menimbulkan keluhuran budi, adapun kekuasan-Nya
menumbuhkan kekuatan yang luar biasa dan keberanian serta meliputi
segala kebutuhan perang, yang demikian itu tidak lain adalah anugerah
yang besar, paling utama dari segala yang utama. Keutamaan ibarat
bayi, siapapun ingin memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula
terhadap dirimu, tapi kamu tidak punya hak untuk menentukan, karena
kamu ini juga yang menentukan. Tuhan Yang Maha Agung, karena itu
mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya.”15
Setelah Sunan Bonang menyampaikan penjelasannya untuk Sunan
Kalijaga, ia pun meninggalkan tempat itu. Sunan Kalijaga juga
berterimakasih kepada Sunan Bonang atas semua nasihat yang ia berikan.
Lalu, Sunan Kalijaga masuk ke hutan belantara untuk menjalankan proses
selanjutnya, yaitu laku kijang.
Ketiga, Sunan Kalijaga menjalankan laku kijang selama satu tahun, ia
berbaur dengan kijang menjangan, segala gerak yang dilakukan oleh kijang
maka Sunan Kalijaga menirunya, kecuali bila ingin tidur seperti manusia
biasa. Jika ia ingin pergi mencari makan maka ia mengikuti caranya seperti
anak kijang. Bila ada manusia yang mengetahuinya, para kijang itupun berlari
dengan kencang, begitupun dengan Sunan Kalijaga, ia mengikuti cara lari
anak kijang tersebut.16
Setelah cukup setahun, Sunan Kalijaga tetap menjalani laku kijang
bahkan menjalaninya itu lebih dari yang ditetapkan. Ketika Sunan Bonang
15
Nama Lengkapnya adalah Iman Anom, Ia adalah pujangga dari Surakarta yang merupakan
keturunan dekat dari Sunan Kalijaga. Ia yang menulis karya Sunan Kalijaga yang berjudul Suluk
Linglung Sunan Kalijaga (dalam bentuk naskah kuno dengan menggunakan tulis tangan). Nakah
itu pun terbit pada tahun 1884 Masehi. Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh
Melaya), terj. Muhammad Khafid Kasri, h. 7. 16
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri, h. 10.
60
bermaksud untuk sholat ke Makkah, dalam sekejap mata Sunan Bonang
sudah sampai di Hutan tersebut. Sesampainya di dalam hutan, Sunan Bonang
bermaksud untuk memberitahu kepada Sunan Kalijaga bahwa proses
menjalani laku kijangnya telah selesai, tetapi saat Sunan Bonang melihat
Sunan Kalijaga, ia masih dalam proses tersebut.
Ketika Sunan Bonang mendekatinya, ternyata Sunan Kalijaga malah
berlari kencang untuk menjauhinya. Sunan Bonang marah terhadap sikapnya
Sunan Kalijaga, ia pun berkata “Wali waddat pun aku tak peduli memanaskan
hati kau kijang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak pernah
lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! kalau
tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah jadi manusia, lebih pantas
kalau jadi binatang saja!”17
Sunan Bonang pun mengikuti Sunan Kalijaga dengan penuh amarah,
lalu ia melemparkan nasi satu kepal ke punggungnya Sunan Kalijaga, ia pun
berlari agak lambat. Kedua kalinya Sunan Bonang melemparkan ke arah
lambungnya, lalu Sunan Kalijaga jatuh terduduk dan ketiga kalinya Sunan
Bonang melemparkan nasi tersebut barulah Sunan Kalijaga ingat dan sadar, ia
pun langsung berbakti kepada Sunan Bonang. Ia berlutut hormat dengan
mencium kaki Sunan Bonang.18
Sunan Bonang berkata : “Jebeng wruhanira, yen sira nyuwun wikan,
kang sifat hidayatullah, mungga kajiya, mring Makkah marga suci.
Anbambila toya zam-zam mring Makkah, iya banyu kang suci, sarta
ngalap barkah, kanjeng Nabi panutan, Sunan Kalijaga angabekti,
angaras pada, pamit sigra lumaris.”19
17
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri, h. 11. 18
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
137. 19
Bahasa Jawa ini diambil dari aplikasi yang berada di playstore yang berjudul Suluk
Linglung. Karena naskah aslinya pun tidak ditemukan oleh penulis, jadi aplikasi ini hanya
membantu untuk melengkapi isi skripsi tersebut. Naskah aslinya yang ditulis oleh Iman Anom
yang berjudul Suluk Linglung Sunan Kalijaga itu sudah jarang sekali ditemukan di zaman
sekarang (2017), karena naskah tersebut diterbitkan pada tahun 1884.
61
Artinya adalah“Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapatkan
kepandaian, yang bersifat Hidayatullah, naiklah haji, menuju Makkah
dengan hati tulus suci. Ambillah air zam-zam ke Makkah, itu adalah air
yang suci, serta sekaligus mengharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi
Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia, Sunan Kalijaga
berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan
tugas yaitu segera menuju Makkah.”20
Keempat, Sunan Kalijaga naik haji dan bertemu dengan Nabi Khidir
atau Pupuh Durma. Saat Sunan Kalijaga ingin ke Makkah, ia harus melewati
hutan, naik gunung, turun jurang, tebing yang didakinya, melintasi jurang dan
tanjakan. Seketika Sunan Kalijaga linglung (bingung), karena kesulitan untuk
menempuh jalan yang terhalang oleh samudera. Lalu, ia terdiam sejenak di
tepi samudera tersebut dan ia melihat ada seseorang yang mendekatinya yaitu
Sang Mahyuningrat atau Nabi Khidir.21
Sang Mahyuningrat memberitahu
segala cara perjalanan yang dialami oleh Sunan Kalijaga dengan sejuta
keprihatinan, karena ingin memperoleh iman hidayah tersebut. Berbagai cara
jalan yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga, namun itu hasilnya mustahil dapat
menemukan iman hidayah tersebut dengan sekejap mata, kecuali kalau ia
mendapatkan keanugerahan Allah yang haqq.
Kemudian, Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanannya, ternyata ia
sudah melewati lautan yang luas dengan cara berenang dan ia tidak
memperdulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama akhirnya Sunan
20
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri (Demak: Yayasan Subulus Salam, 2000), h. 12. 21
Nabi Khidir adalah Hamba Allah SWT yang sangat khusus. Ia adalah salah satu Nabi dari
keempat Nabi (Nabi Idris, Nabi Ilyas dan Nabi Isa) yang dikenal sebagai sosok yang tetap hidup
atau abadi. kata “abadi” karena ia dianggap telah meminum air kehidupan jadi umurnya pun
semakin panjang. Ia juga diutus oleh Allah SWT untuk memberi pelajaran makrifatnya kepada
para Wali, Sufi maupun kepada orang yang dengan tekun untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, termasuk Sunan Kalijaga yang ingin berguru kepada Nabi Khidir untuk mencari Iman
Hidayat atau hakikat kehidupan. Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj.
Muhammad Khafid Kasri, h. 13.
62
Kalijaga sampai di tengah samudera, ia pun terus mengikuti jalan untuk
mencapai pada hakikat yang tertinggi dari Allāh. Selama di perjalanan, Ia
kehabisan tenaga tetapi ia tetap berusaha untuk mempertahankan dirinya.
Disaat Sunan Kalijaga dalam keadaan yang kehabisan tenaga itu, ia tiba-tiba
melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenang, yang tidak
diketahui dari mana datangnya. Seketika itu pula, Sunan Kalijaga sudah dapat
duduk tenang berada di atas air tersebut walaupun dalam keadaan bingung.
Lalu, orang tersebut mendekati Sunan Kalijaga dan ternyata ia adalah Nabi
Khidir, ia berkata :
“Cucuku, disini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani
bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai disini. Di tempat ini
segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan
pikiranmu saja masih belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati.
Kutegaskan sekali lagi, disini kau tidak mungkin mendapatkan apa
yang kau maksudkan!”22
Intinya adalah Sunan Kalijaga ini tidak tahu apa yang ia harus perbuat
dan dia pun hatinya bingung, walaupun ia sudah melakukan ibadah haji,
tetapi tetap ia tidak tahu apa tujuan yang sebenarnya. Ia melakukan hal
tersebut karena nafsu untuk mendapatkan iman hidayah. Ia juga tetap
memohon kepada Nabi Khidir untuk memberitahu petunjuknya.
Kemudian yang terakhir kelima, Nabi Khidir memberi wejangan
kepada Sunan Kalijaga atau Pupuh Dhandhanggula tentang Iman Hidayah
(hakikat kehidupan). Nabi Khidir memberitahu caranya agar mendapatkan
iman hidayah tersebut. Ia menjelaskan kepada Sunan Kalijaga awal pertama
22
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri, h. 15.
63
untuk mendapatkan petunjuk tersebut, ia harus masuk ke dalam tubuhnya
yang melalui telinga. Setelah masuk Sunan Kalijaga melihat ada empat warna
cahaya yaitu, hitam, merah, kuning, dan putih. Maksud empat warna ini
adalah penghalang hati untuk menghalangi manusia bersatu dengan Tuhan.
Penghalang hati ini mempunyai kelebihan yaitu hitam adalah mudah sakit
hati, marah dan membabi buta. Itulah hati menjadi tertutup kepada kebajikan.
Merah adalah nafsu yang tidak baik dan mudah emosi dalam mencapai
tujuan. Itulah hati yang sudah jernih akan tertutup dengan nafsu ini. Kuning
adalah menghalangi timbulnya pemikiran yang baik. Kecuali, putih adalah
membuat hati serta suci yang penuh kedamaian.23
Kemudian, Nabi Khidir mengajarkan kepada Sunan Kalijaga bahwa
Allāh adalah sumber kebahagiaan dan kedamaian melalui rasa yang ada di
dalam batin. Hakikat rasa ini merupakan kemampuan untuk merasakan
kehadirat Allāh. Sehingga jiwa menjadi mantap dalam menjalani kehidupan.
Jadi manusia harus menghadapi realitas yang mutlak berada di dalam diri
manusia itu sendiri, sehingga manusia dapat bersatu dengan Allāh baik di
dunia maupun di akhirat.24
Nabi Khidir juga memberitahu kepada Sunan Kalijaga tentang
mengetahui iman hidayah, ia berkata bahwa “Tauhid adalah
pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allāh, makrifat juga
harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ru’yat
sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata. Maka dari kita dalami
sifat Allāh yang sesungguhnya. Sesungguhnya segala perbuatan adalah
berasal dari Allāh. Kalau hidupmu senantiasa maka kamu gunakan
ru’yat, itu namanya khoiroti (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada
23
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri, h. 22. 24
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa (Yogyakarta: Araska, 2014), h.
177.
64
di dunia. Johar awal khoiroti (mutiara awal kebajikan) sudah berhasil
kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung kamu sudah
mendapatkan pengawasan kāmil (penglihatan yang sempurna). Insān
kāmil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allāh).
Sesungguhnya ketentuan ghaib yang telah tersurat adalah kehendak
Dzat yang sebenarnya. Sifat Allāh itu berasal dari Dzat Allāh. Bilamana
tidak tertulis namamu, di dalam nuqod ghaib insān kāmil itu bukan
berarti tidak tersurat. Itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang
terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan
nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan
Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup.”25
Jadi hal ini dimaksudkan agar manusia jangan sampai melupakan tujuan
hidup yang sesungguhnya baik di dunia maupun di akhirat. Bagi seorang sufi
yang ingin mencapai makrifatnya, maka ia harus dekat dengan Allāh dan
dapat bersatu dengan-Nya. Sebelum bersatu dengan Allāh, maka ia harus
menghancurkan dirinya dengan hal-hal buruk dan yang tertinggal hanyalah
pengetahuan, taqwa dan kelakuan yang baik. Dalam Tasawuf, penghancuran
diri disebut dengan fāna.26
B. Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar, telah banyak ditulis orang, sejak era
awal/klasik, hingga saat ini. Para pengikut yang mengamalkan ajaran Syekh
Siti Jenar juga masih cukup banyak. Sumber-sumber bacaan tentang
ajarannya sangat banyak. Maka tentu saja tidak mungkin ajaran Syekh Siti
Jenar muncul begitu saja, tanpa ada yang mengawali menyebarkan gagasan-
gagasan itu. Sehingga tidak mungkin jika kehadiran Syekh Siti Jenar secara
25
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad Khafid
Kasri (Demak : Yayasan Subulus Salam, 2000), h. 33. 26
Munawar J. Khaelany, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, h. 178.
65
historis tidak terjadi dalam pentas kehidupan yang sesungguhnya. Terbukti
ajaran-ajarannya tetap eksis hingga saat ini.27
Dalam ajaran makrifat, Syekh Siti Jenar mengajarkan kepada
pengikutnya dengan menggunakan konsep tasawuf falsafi. Dimana tasawuf
falsafi ini adalah tasawuf yang mengenal Tuhan dengan pendekatan rasio
(filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal
Tuhan saja melainkan yang lebih tinggi yaitu kesatuan wujud. Ajaran Syekh
Siti Jenar tidak mengikuti perintah syari’at karena menurutnya shalat ada 2
jenis yaitu : shalat tarek dan shalat daim, dengan cara shalat seperti itulah
Syekh Siti Jenar mempercayai Allah dekat dengannya.
Kemudian, dalam ajaran makrifat Syekh Siti Jenar, ia menjelaskan
tentang Allah, tentang kehidupan dan kematian, serta kewajiban rukun Islam
yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Dalam buku yang berjudul
Tasawuf Nusantara, bagi Syekh Siti Jenar, Allah adalah Tuhan yang bersifat
Jalal (Maha Mulia) dan Jamal (Maha Indah). Ia menganggap bahwa Allahlah
satu-satunya penguasa alam ini dan Dia (Allah) pula yang berkuasa atas
segala kehendak-Nya.28
Allah juga merupakan dzat yang mendasari dan
sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada di alam
semesta ini, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang
keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu.29
27
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jena : Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 31. 28
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 60-61. 29
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 128.
66
Syekh Siti Jenar beranggapan bahwa dunia ini adalah alam kematian
guna untuk menjalani kodrat (kekuasaan Allah) diri manusia masing-masing.
Menurut Syekh Siti Jenar manusia yang hidup di dunia ini seperti mayat
berjalan atau bangkai, bahwa manusia hidup di dunia ini hanya membutuhkan
sarana sandang, pangan dan papan, maka manusia hidup di dunia ini kurang
atau tidak mampu untuk menjalin komunikasi aktif dengan Allah. Kehidupan
di dunia sekarang ini bukanlah kehidupan yang sejati, karena masih akan
dihampiri oleh kematian. Karena itu bagi Syekh Siti Jenar, kewajiban
beragama tidak berlaku disini (dunia), tetapi nanti di alam abadi atau
kehidupan sejati (akhirat). Kehidupan sejati adalah kehidupan yang sudah
tidak tersentuh lagi oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak
lagi menumpang pada badan wadak yang bisa rusak atau musnah. Kehidupan
sejati tidak membutuhkan pemenuhan nafsu-nafsu badaniah.30
Ajaran tentang kehidupan dan kematian ini adalah ajaran yang tidak
mudah dipahami berdasarkan pandangan akal secara umum. Pemikiran Syekh
Siti Jenar dalam masalah hidup dan mati memiliki makna berbeda dari apa
yang diajarkan oleh para Wali Songo. Konsep kehidupan dan kematian ini
dikenal sebagai “lima langkah kebebasan”.31
Selanjutnya ajaran makrifat Syekh Siti Jenar, mengenai tentang
kewajiban rukun Islam yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Syahadat
dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk
pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung
30
Muhammad Solikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo (Jakarta:
Erlangga, 2011), h. 166. 31
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 61.
67
makna jatuhnya rasa (menjadi etos atau yakin), kesejatian rasa (unsur motorik
atau gerakan), bertemunya rasa (ide aktif dan kreatif), hasil karya yang
maujud atau benar-benar ada, serta dampak terhadap kesejatian kehidupan.
Syahadat adalah persaksian batin, dalam tindakan dzahir sebagai wujud
kemanunggalan kawula Gusti.32
Syekh Siti Jenar memberikan makna
syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif dan aktif.33
Itulah makna
syahadat yang sesungguhnya dari sang insān kāmil.34
Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat yang fungsional, berbeda
dengan para wali pada masanya. Shalat lima waktu hanya dilakukan
berdasarkan ukuran formalitas, bentuk tata krama atau keberagamaan. Syekh
Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk Shalat, yaitu Shalat tarek dan
shalat daim.35
Shalat tarek sebagai shalat yang dilakukan untuk dapat
melepaskan diri dari alam kematian, menuju kemanunggalan.36
Shalat daim
sebagai shalat yang sebenarnya dari kesadaran akan kehadiran dan
keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya
itu sirna. Bagi Syekh Siti Jenar semua tingkah lakunya (diam, bicara, dan
semua gerakan tubuhnya) merupakan shalat. Maka, jelaslah bahwa shalat
lima waktu hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk
32
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar : Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 304 33
Etos berasal dari bahasa Yunani, akar katanya adalah ethikos. Etos didefinisikannya
sebagai karakter, sikap, kebiasaan dan keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok,
sedangkan etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang terhadap kehidupan sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. 34
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar : Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar(Yogyakarta : Narasi, 2014), h. 283 35
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 309 36
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 310
68
tata krama atau keberagamaan.37
Shalat juga hanya sekedar melaksanakan
perintah syari’at adalah tindakan kebohongan dan merupakan kedurjanaan
budi.38
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa puasa secara lahir dengan
kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola
makan di bulan Ramadhan, tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”,
membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan. Maksudnya adalah
kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak hanya memuaskan apa
yang menjadi tuntutan hawa nafsunya.39
Syekh Siti Jenar menyebutkan ada
tiga jenis puasa, yaitu : puasa dalam ketentuan syari’at adalah menahan diri
dari makan, minum dan bersetubuh, sejak masuk subuh hingga masuk waktu
maghrib. Puasa dari segi rohani adalah membersihkan semua panca indra dan
pikiran dari hal-hal yang haram. Puasa hakiki adalah puasa dengan menahan hati
dari menyembah, memuji, memuja, mencari yang ghairūllah (selain Alah) dan
kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan
serta kedzaliman sebagai hal yang harus ditundukkan.40
Bagi Syekh Siti Jenar,
jenis puasa yang tertinggi adalah puasa hakiki atau puasa yang sebenarnya.
Jika melakukan puasa hakiki, maka akan melahirkan watak manusia menjadi
pengasih, mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat
37
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 289. 38
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti
Jenar, h. 310. 39
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h. 292. 40
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar, h.290-291.
69
harkat dan derajat kemanusiaan, yang berperan aktif untuk memerangi kemiskinan
dan selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan.
Zakat terbagi menjadi dua jenis, yaitu: zakat yang ditentukan oleh
syari’at adalah zakat yang dikeluarkan untuk harta kekayaan yang diperoleh
secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan
diberikan kepada mereka yang memerlukan (fakir miskin). Zakat dari sudut
pandang thariqah adalah sebagian dari harta rohani (bentuk dari kecintaan,
keridhaan, rahmat, belah kasih, perhatian dari Allah) yang diperoleh
seseorang dan dibagikan kepada mereka yang memerlukannya, yakni fakir
miskin dalam bidang rohani.
Syekh Siti Jenar memberikan makna zakat, sebagai sikap menolong
orang lain dari penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat
hidup, menikmati hidup, sekaligus mampu bereksis menjalani kehidupan.41
Zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan jiwa.
Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat menjadi
tercapai. Sehingga harta hanyalah titipan dari Allah dimana manusia diberi
kelimpahanya agar digunakan bagi perjalanan rohaninya menuju Allah.
Dan terakhir yaitu haji, keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk-
bentuk ibadah haji tersebut dalam praktik-praktik ritualnya, pada hakikatnya
merupakan penegasan kembali pada setiap jamaah haji, tentang
keterkaitannya dengan prinsip-psinsip keyakinan yang dianut Nabi Ibrahim
41
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 294.
70
as.42
Intinya dalam ibadah haji yang dianut Nabi Ibrahim as. adalah
pengakuan keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala macam bentuk
kemusyrikan dan keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam
kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari
kebangkitan kelak dan yang terakhir keyakinan tentang kemanusiaan bersifat
universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan yang
lainnya.43
Di dalam buku yang berjudul “Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen”
yang ditulis oleh Tan Khoen Swie terdapat percakapan antara Syekh
Siti Jenar dan Sunan Giri bahwa “Syekh Siti Jenar berkata: pedah
punapa mbibingung, ngangelaken ulah ngelmi. Njeng Sunan Giri
ngandika: bener kang kaya sireki, nanging luwih kaluputan, wong
wadheh ambuka wadi, telenge bae pinulung, pulunge tanpa ling aling,
kurang waskitha ing cipta, lunturing ngelmu sajati, sayekti kanthi
nugraha, tan saben wong anampani.”44
Artinya adalah Syekh siti Jenar berkata : untuk apa membuat bingung,
mempersulit ilmu. Kanjeng Sunan Giri berkata : benar apa yang Syekh
Siti Jenar katakan, orang berani membuka rahasia, kelihatannya saja
menolong, pertolongannya tanpa penghalang, kurang waspada dalam
cipta, akan berakibat lunturnya ilmu sejati, yang seharusnya diberikan
sebagai anugerah kepada mereka yang benar-benar telah matang, yang
diberikan kepada siapa saja”.
Maksudnya adalah hakikat Allah itu langsung diajarkan tanpa
dirahasiakan, itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya
dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar matang dan tidak boleh
diberikan begitu saja kepada orang lain.
42
Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai “Bapak para Nabi” atau juga disebut dengan “Bapak
Monotheisme” serta “proklamator keadilan Ilahi”, kepada beliaulah agama-agama samawi
(agama-agamayang muncul dari suatu tradisi semit kuno bersama dan ditelusuri oleh pemeluknya)
terbesar selama ini merujuk. 43
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 293-296. 44
Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen (buku Siti Jenar yang asli) terbitan Tan Khoen Swie
merupakan salinan dari Harwijaya atas karya Sunan Giri yang terbit pada tahun 1930 tepatnya di
Kediri, buku ini cetakan ke-4. Penulis hanya mendapatkan teks naskah dari link
Https://netlog.wordpress.com, tanggal posting 03 mei 2006 ditulis oleh wordpress. Karena buku
aslinya pun penulis tidak menemukannya.
71
Dalam buku yang berjudul Serat Syekh Siti Jenar, yang ditulis oleh Ki
Sasrawidjaja, bahwa terdapat teks ucapan Syekh Siti Jenar yang mengenai
“Ana Al-Haqq”. Isi teks ini ada di buku Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar,
yang ditulis oleh Muhammad Solikhin , sebagai berikut :
“Shalat lima kali sehari, puji dan zikir itu adalah kebijaksanaan dalam
hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang
akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki. Gagasan
adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Di manakah
adanya Hyang Suksma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilinglah
cakrawala dunia, membubunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam
bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan ujud yang Mulia. Saya
ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar,
bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan ke
kosongan atau kehampaan. Ujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi
jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi
dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya,
sebab semuanya barang baru, bukan asli. Maka saya ini Dzat yang
sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalal
(Maha Mulia) dan Jamal (Maha Indah). Dialah yang luhur dan sangat
sakti, yang berkuasa Maha Besar, lagi pula memiliki dua puluh sifat,
kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah yang Maha Kuasa, pangkal
mula segala ilmu, Maha Mulia, Maha Indah, Maha Sempurna, rupa
warna-Nya tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Di dalam raga manusia Ia
tiada tampak. Ia sangat sakti menguasai segala yang terjadi dan
menjelajahi seluruh alam semesta.”45
Jadi, ajaran Syekh Siti Jenar dituduh menyeleweng ajaran agama Islam
oleh Wali Songo. Tasawuf yang diikuti oleh Syekh Siti Jenar yaitu tasawuf
wujudiyyah. Inti ajaran wujudiyyah atau juga disebut emanasi, yaitu segala
sesuatu yang berwujud adalah percikan atau pancaran cahaya Ilahi.
Sedangkan manusia adalah salah satu wujud yang terdapat di dunia. Jadi,
manusia juga terdapat percikan atau pancaran cahaya Illahi itu. cahaya Illahi
45
Buku yang berjudul Serat Syekh Siti Jenar ini ditulis oleh Ki Sasrawidjaja (Raden Panji
Natarata) dari Ngijon Yogyakarta. Pertama kali terbit tahun 1900. Buku ini dijadikan bahan utama
dalam buku Falsafah Siti Djenar (1958) oleh Natarata Bratakesawa. oleh Muhammad Solikhin,
Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan dengan Allah, Refleksi dan
Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 9.
72
adalah pancaran cahaya dari Allah itu sendiri, maka manusia adalah ada
cahaya Illahi yang langsung dari Allah.
Ajaran Syekh Siti Jenar juga relatif sama dengan ajaran Abu Abdullah
Husain bin Mansur al-Hallaj atau disebut al-Hallaj yakni menyebutkan
kalimat ana al-haqq yang artinya adalah “Aku adalah Tuhan”. Di ajaran
itulah konflik dimulai antara Wali Songo termasuk Sunan Kalijaga dan Syekh
Siti Jenar.46
Apalagi diantara murid dan pengikut Syekh Siti Jenar terdapat
tokoh yang bernama Pangeran Kebo Kenanga. Kebo Kenanga adalah
keturunan Prabu Wijaya, penguasa terakhir Majapahit.47
Sultan atau Raden Fatah mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar telah
membangkang peraturan yang ditentukan olehnya yaitu tidak boleh menyebar
dakwah Islamnya yang mengenai alam kehidupan manusia di dunia ini
sebagai kematian serta keadaan manusia di dunia ini sebagai mayat berjalan
atau bangkai dan Syekh Siti Jenar juga menghalangi penyiaran dakwah
Islamnya Wali Songo.48
Kemudian, Syekh Siti Jenar menjelaskan kepada Sultan Fatah tentang
asal-usul kehidupan (sangkaning dumadi). Ia juga menjelaskan pintu
kehidupan, baik yang tampak dalam fisik maupun dalam rohani manusia.
Ajaran mengenai hidup kekal dan abadi, materi mengenai kematian yang
dialami manusia di dunia sekarang ini. Mengenai jalan kematian yang bisa
46
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana,
2005), h. 70. 47
Mohammad Zazuli, Syekh Siti Jenar; Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta), h. 20. 48
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab dan Suluk Syekh Siti Jenar
(Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 172.
73
dikehendaki sendiri, setelah kehendaknya menyatu dengan kehendak Hyang
Manon,49
melalui penutupan berbagai jalan kehidupan untuk menyatu dengan
al-Haqq (kebenaran). Barulah Syekh Siti Jenar menjelaskan adanya Yang
Maha Luhur, Allah yang menjadikan langit dan bumi serta segala isinya
sebagai muara manusia sempurna (paraning dumadhi).50
Setelah Syekh Siti Jenar menjelaskan semua alasan tersebut, Sultan
Fatah hanya mendengarkannya saja sebagai omongan kosong. Kemudian,
Wali Songo memberitahu bahwa Syekh Siti Jenar harus tunduk kepada Sultan
Fatah. Namun, Kebo Kenanga dan Syekh Siti Jenar memilih hidup di luar
istana dan tidak bersedia tunduk pada Sultan Fatah putra Ki Ageng Pengging.
Karena mereka tidak mau tunduk, maka hukuman matilah yang akan
dilakukan. Tetapi menurut Kebo Kenanga dan Syekh Siti Jenar hukuman mati
bukanlah persoalan yang merisaukan. Hidup duniawi bagi mereka hanyalah
bayangan palsu dari hidup sesungguhnya yang baru dijalani manusia setelah
ajal tiba. Di alam abadi itulah ajaran Islam yang mengajarkan rukun Islam
baru berlaku, bukan di alam kematian di dunia ini hanya kepalsuan semata.51
Dalam alam kepalsuan, manusia dikendalikan jasad yang akan
membusuk dan hancur musnah. Panca indra, seperti jasad yang najis dan
palsu, hanya melahirkan pengetahuan palsu yang salah memahami yang
nyata. Pengetahuan yang palsu inilah yang menyebabkan manusia mengalami
neraka di dunia berupa kesengsaraan, kesedihan, kelaparan, kebingungan dan
49
Matahari dikenal sebagai Sang Hyang Manon atau lebih populer disebut Batara Guru yang
artinya adalah yang senantiasa memberikan atau menyampaikan penerangan sebagai cahaya
kehidupan. Kata Hyang Manon berasal dari bahasa Sunda. 50
Muhammad Solikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab dan Suluk Syekh Siti Jenar, h.
158. 51
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, h. 68.
74
konflik. Di alam nyata nanti, sesudah ajal tiba, manusia hidup mulia, bebas
dan mandiri atas diri pribadinya, tidak lagi butuh kekuasaan.52
Kemudian,
tahun kematian Syekh Siti Jenar adalah pada zaman pemerintahan Sultan
Fatah (1517 Masehi), vonis hukuman mati oleh Dewan Wali Songo yang
dipimpin oleh Sunan Giri dan pada zaman Sultan Tenggono (1530 Masehi),
seluruh ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dinyatakan dilarang berada di seluruh
wilayah Demak.53
C. Manunggaling Kawula Gusti Sebagai Muara dari Ajaran Makrifat
Dalam pandangan sufisme, Allah merupakan esensi. Syekh Siti Jenar
dan sebagian kaum sufi pada umumnya memiliki rumusan yang demikian.
Hal itu memungkinkan “bersatunya” Allah pada diri manusia, manunggal,
hulu, fana’ atau apapun namanya. Karena nama atau sebutan tersebut
sebenarnya bukan mengacu pada pengalaman yang diperoleh, tetapi lebih
pada proses yang ditempuh. Maka Syekh Siti Jenar dan sebagian kaum sufi
menjadikan gagasan tentang Tuhan sebagai esensi dan manusia yang sifat-
sifat Illahi sebagai doktrin yang kuat, yang sangat memungkinkan manusia
sempurna bisa sampai kepada tahapan spiritual ketika Tuhan berpindah ke
jasad manusia.
Sehingga seperti ungkapan-ungkapan mistik seperti “Aku adalah
Tuhan” adalah bukan sufi yang bersangkutan, tetapi melalui jasad sufi
tersebut Tuhan menyatakannya. Allah yang telah manunggal ke dalam diri
52
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, h. 69. 53
Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 207.
75
manusia yang sempurna. Syekh Siti Jenar memberikan makna bahwa tidak
ada yang benar-benar ada kecuali esensi Illahi dengan makhluk-makhluk
yang mempunyai mode yang secara ciptaan yang bersifat kreatif.54
Manunggaling kawula Gusti yang diartikan sebagai menyatunya
manusia (kawula) dengan Allah (Gusti). Anggapan bahwa Gusti sebagai
personifikasi Allah kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun) yang dimaksud
adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), atau (emanasi,
pancaran) Allah. Dalam paham manunggaling kawula Gusti mengajarkan
bahwa cita hidup yang harus dicapai oleh manusia adalah mendapatkan
penghayatan kesatuan dengan Allah.55
Manunggal kawula Gusti juga
merupakan Dzat Allah yang bersifat Esa, yang meliputi hamba-Nya,
manunggal menjadi satu, akan sempurna karena kodrat-Nya.56
Dalam ajaran
ini merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan
aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah. Sehingga ada juga yang
menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain adalah
bersatunya manusia dengan manusia (Manunggaling Kawula Gusti).57
Pemaknaan Allah sebagai Yang Esensi ini terjadi, karena justru Allah
menghendaki agar rahasia keIlahian-Nya bisa tersingkap oleh adanya alam
raya, dan alam raya sungguh-sungguh merupakan sifat-Nya. Alam merupakan
54
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 435. 55
Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jaw : Untuk Meraih Ketenangan Hati (Jakarta:
Pustaka Irvan, 2007), h. 169. 56
Agus Wahyudi, Makrifat Jawa; Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Wali Songo
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007), h. 100. 57
Muhammad Solikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo, (Jakarta:
Erlangga, 2011), h. 53.
76
perwujudan rahasia Ilahiah, yang harus ditembus oleh manusia, yang
merupakan bagian dari alam raya ini.
Memang manunggaling Kawula Gusti baru berada dalam tataran
pengertian yang diperoleh dengan kesadaran. Namun pengertian (kawruh)
adalah lebih dari sekedar pengetahuan. Pengertian adalah suatu kejadian yang
mengubah manusia itu sendiri, yang memberikan dimensi dan kedalaman
baru bagi eksistensinya, menjadi realitas baru manusia itu sendiri. Sehingga
pengertian yang sebelumnya seakan tertutup dan belum operasional,
kemudian diaktualisasikan. Disinilah maka nilai kawruh itu akan sanggup
mengantarkan kepada keadaan manunggal antara keakuan menjadi aku
Illahi.58
Berdasarkan pada aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling
Kawula Gusti tersebut tampak bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah
(wakil real Allah) di muka bumi ini benar-benar nyata. Manusia adalah
cerminan dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang
berimbang.59
Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud
implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus dinampakkan melalui tingkah
lahiriahnya.
Ajaran Sunan Kalijaga melalui Manunggaling Kawula Gusti adalah
suatu hal yang istimewa dan tidak terdapat pada sembarang orang melainkan
atas petunjuk dan hidayah dari Allah, karena segala sesuatu perbuatan
58
Muhammad Solikhin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar: Panduan Menuju Kemenyatuan
dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 436-437. 59 Iradah adalah sifat dzat yang merupakan kecintaan Tuhan terhadap dzat dan
kesempurnaan-Nya sendiri dan sebagai sifat perbuatan. Muhammad Solikhin, Manunggaling
Kawula Gusti : Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2014). h. 399.
77
manusia yang menentukan adalah Allah SWT. Sedangkan Ajaran Syekh Siti
Jenar melalui Manunggaling Kawula Gusti bahwa manusia di ajak untuk
membuktikkan keberadaan Allah secara langsung (dzat yang mendasari dan
sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada di dunia ini), bukan
hanya memahami keberadaan dari sisi nalar pikir (ilmu) dan rasa sentimen
makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). dengan
seperti itu mereka akan bisa melalui pintu kematian untuk manunggal
kembali dengan Sang Maha Asal.60
Dalam cara menyampaikan ajaran makrifat kepada pengikutnya dari
kedua tokoh tersebut mempunyai gaya yang berbeda. Cara Sunan Kalijaga
dalam mengajarkannya lebih memfokuskan pada pengalaman kehidupan
sehari-hari orang Jawa dalam memahami sangkan paran (tujuan hidup
manusia) melalui konsep kesenian budaya yaitu tembang dan wayang.
Sedangkan Syekh Siti Jenar, cara mengajarkannya lebih memfokuskan pada
olah batin untuk pencapaian diri sejati (diri yang telah mencapai
kesempurnaan).
60
Muhammad Solikhin, Manunggaling Kawula Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti
Jenar, h. 399.
78
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ajaran makrifat Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa ada 6 tahap,
yaitu: Tahap pertama, yaitu Memahami Hakikat (menyatukan dirinya dengan
Allah atau mengenal diri). Tahap kedua, yaitu Asal-usul sangkan paran
(tujuan hidup manusia). Tahap ketiga, yaitu Roh Ilafi atau roh al-idhafi (roh
yang senantiasa pasrah pada Dzat Allah). Tahap keempat, yaitu Insan Kamil
(manusia yang dapat mengetahui keberadaan Allah). Tahap Kelima, yaitu
Fana’ dan Baqa (tahap puncak dalam pendakian spiritual), Fanā’ (lenyap
atau penghancuran diri) dan bāqa (memasuki alam kekal). Tahap Keenam,
yaitu etika hubungan guru dan murid (taat dan setia kepada guru, harus
bersungguh-sungguh dan tidak ingkar janji dalam berguru dan tidak boleh
berguru kepada orang lain).
Kemudian dalam ajaran makrifat Syekh Siti Jenar menjelaskan tentang
Tuhan (bersifat Jalal/Maha Mulia dan Jamal/Maha Indah). Kehidupan dan
kematian (dunia bagaikan alam kematian dan kehidupan di dunia adalah
kekal, bagaikan manusia yang hidup di dunia seperti mayat atau bangkai).
Terakhir yaitu kewajiban dalam shalat (hanya sekedar melaksanakan perintah
syari’at) seperti shalat tarek dan shalat daim. Puasa (melaparkan diri
maksudnya adalah mampu membiasakan diri lapar, bukan membiarkan
kelaparan). Zakat (agar manusia lebih bersikap tolong menolong kepada
orang lain dan terhindar dari penderitaan dan kekurangan). Terakhir yaitu
79
haji, (dalam praktik-praktik ritualnya, yaitu pengakuan dalam Keesaan Tuhan,
serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan. Keyakinan
tentang keadilan Tuhan dalam kehidupan dan keyakinan tentang kemanusiaan
yang bersifat universal)
Persamaan dan Perbedaan ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh
Siti Jenar. Persamaannya yaitu ajaran makrifatnya melalui konsep Tuhan atau
disebut juga dengan Manunggaling Kawula Gusti. Manunggaling kawula
Gusti yang diartikan sebagai menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan
(Gusti). paham manunggaling kawula Gusti mengajarkan bahawa cita hidup
yang harus dicapai oleh manusia adalah mendapatkan penghayatan kesatuan
dengan Tuhannya. Intinya sama-sama mengajarkan pencapaiannya
manunggal hamba dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Perbedaannya yaitu berbeda cara dalam menyampaikan ajaran makrifat
kepada para pengikutnya. Sunan Kalijaga cara menyampaikan ajaran
makrifatnya lebih memfokuskan pengalaman praktis kehidupan sehari-hari
orang jawa dalam memahami sangkan paran (asal usul kehidupan) melalui
konsep seni budayanya yaitu tembang dan wayangnya, sedangkan Syekh Siti
Jenar cara menyampaikan ajaran makrifatnya lebih memfokuskan pada olah
batin untuk mencapai diri sejati (diri yang telah mencapai kesempurnaan).
Kemudian, Syekh Siti Jenar mengajarkan dan mengajak pengikutnya
bersama-sama merasakan Allāh berada di dalam dirinya dengan seperti itu
mereka akan bisa melalui pintu kematian untuk manunggal (masuk) kembali
dengan Sang Maha Asal (Allah).
80
80
B. Saran
Dalam skripsi tentang ajaran makrifat Sunan Kalijaga dan Syekh Siti
Jenar masih sangat terbatas dan referensi aslinya pun masih sulit didapatkan,
sehingga penulis menyarankan perlunya pendataan yang lebih sistematis dan
pelayanan yang lebih baik agar akses terhadap informasi tersebut lebih mudah
didapatkan, serta diperlukan adanya perhatian khusus terhadap karya-karya
langka tersebut, salah satunya seperti Suluk Linglung Sunan Kalijaga dan
Serat Natarata (Serat Siti Jenar) yang sebenarnya masih bermanfaat dan
berguna dalam kehidupan ini.
Setelah mengemukakan skripsi ini, penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna baik dari teknis penulisan,
referensi, serta materi yang telah disampaikan. Besar harapan dalam kritik
dan saran bagi para pembaca, jika menemukan kekurangan dan kesalahan dari
apa yang penulis teliti, untuk mencapai penelitian yang lebih baik lagi.
Oleh karena itu, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan penulis khususnya, serta dapat memberikan sumbangan positif
bagi masyarakat umum yakni bagi pengembangan agama Islam.
81
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta : Amzah, 2014.
Anom, Iman, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syekh Melaya), terj. Muhammad
Khafid Kasri, Demak : Yayasan Subulus Salam, 2000.
Al-Aziz, Saifulloh, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Terbit Terang,
1998.
Chodjim, Achmad, Sunan Kalijaga : Mistik dan Makrifat, Jakarta : Serambi 2013.
Fikriono, Muhaji, Puncak Makrifat Jawa : Pengembaran Batin Ki Ageng
Suryomentaram, Jakarta : Mizan Publika, 2012.
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
---------, Tasawuf Perkembangan Pemurniannya, Jakarta : Citra Serumpun Padi,
Jakarta, 1994.
Hidayat, Rahmat, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung : Angkasa, 2008
Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Jakarta: Lkis,
2008.
Ibrahim, Muhammad Zaki, Tasawuf Salafi : Menyucikan Tasawuf dari Noda-
Noda, Jakarta : Hikmah, 2002.
J. Khaelany, Munawar, Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa, Yogyakarta : Araska,
2014.
Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta : Penerbit Erlangga,
2006.
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta :
Kencana, 2005.
Mustofa, A, Akhlak Tasawwuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
82
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
1983.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996
-------------------, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta : Rajawali Pers,
2015.
R, Wiryapanitra, Babad Tanah Jawa, Semarang : Dahara Prize, 1991.
Rusli, Ris’an, Tasawuf dan Tarekat, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Saksono, W, Mengislamkan Tanah Jawa : Telah Atas Metode Dakwah Wali
Songo, Bandung : Mizan, 1995.
Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia, Depok: Pustaka IIMaN, 2009.
Simon, Hasanu, Misteri Syeikh Siti Jenar : Peran Walisongo dalam
Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta :
Yayasan Bentang Budaya, 1995.
Sjamsudduha, Wali Sanga Tidak Pernah Ada ; Menyingka Misteri Para Wali dan
Perang Demak-Majapahit, Surabaya : JP Books, 2006.
Solikhin, Muhammad, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar : Panduan Menuju
Kemenyatuan dengan Allah, Refleksi dan Pengalaman Syekh Siti Jenar,
Yogyakarta : Narasi, 2014.
----------------------------, Manunggaling Kawula Gusti : Filsafat Kemanunggalan
Syekh Siti Jenar, Yogyakarta : Narasi, 2014.
----------------------------, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara, Jakarta : Raja
Grafindo, 2005.
83
----------------------------, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk
Syekh Siti Jenar, Yogyakarta : Narasi, 2014.
----------------------------, Ternyata Syekh Siti Jenar tidak Dieksekusi Wali Songo,
Jakarta: Erlangga, 2011.
Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo, Bandung : Mizan, 2012.
-------------------, Suluk Malang Sungsang : Konflik dan Penyimpangan Ajaran
Syaikh Siti Jenar, Yogyakarta : Pustaka Sastra, 2005.
Syamsuri, Badlowi, Kisah Wali Songo ; Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa,
Surabaya : Appolo, 1995.
Syukur, Amin, Tasawuf Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Tebba, Sudirman, Etika dan Tasawuf Jawa : Untuk Meraih Ketenangan Hati, Jakarta :
Pustaka Irvan, 2007.
..........................., Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat, Jakarta :
Kencana, 2004.
-----------------------, Merengkuh Makrifat : Menuju Ekstase Spiritual, Jakarta :
Pustaka Irvan, 2006.
-----------------------, Syekh Siti Jenar : Pengaruh Tasawuf al-Hallaj di Jawa,
Jakarta : Penerbit Pustaka irVan, 2008.
Umar, Hasan, Metode Penelitian Sosial, Jakarta : Bina Aksara 1998.
Umar, Nasaruddin, Tasawuf Modern, Jakarta : Republika, 2014.
Wahyudi, Agus Makrifat Jawa ; Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Wali
Songo, Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya, 1990.
Zahri, Mustaha, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Bina Ilmu, 1995.
84
Zazuli, Mohammad, Syekh Siti Jenar ; Mengungkap Misteri dan Rahasia
Kehidupan, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2011.
Top Related