1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh kerja endokrin
yang menyebabkan perubahan pada metabolisme maternal untuk memenuhi
kebutuhan janin termasuk kebutuhan mikronutrien seperti besi.1 Oleh karena
itu, kebutuhan terhadap besi selama kehamilan meningkat karena besi
memegang peranan penting dalam perkembangan organ pada neonatus.
Defisiensi besi pada selama fetus dan neonatus (perinatal) dapat
menyebabkan disfungsi multipel sistem organ.2 Salah satu gangguan
defisiensi besi yang paling serius adalah gangguan fungsi otak berupa
gangguan perkembangan motorik, kemampuan kognitif, gangguan perilaku
yang menetap.3
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah salah satu masalah kesehatan
gizi utama di dunia, Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Prevalensi anemia
pada anak di negara berkembang sekitar 40 %- 45 %. Di Indonesia ADB
merupakan salah satu masalah kesehatan gizi utama. Data SKRT tahun 2011
menunjukkan prevalensi ADB pada wanita hamil 40,1%. Insidensi anemia
defisiensi besi paling tinggi dijumpai pada bayi 0 bulan. Banyak faktor risiko
mempengaruhi prevalensi defisiensi besi atau ADB pada bayi yang
dilahirkan.3
Faktor yang dapat mempengaruhi kadar besi pada neonatus terutama
dipengaruhi oleh keadaan umum dan gaya hidup ibu. Hal ini disebabkan
karena kadar besi pada fetus dipengaruhi oleh transfer besi transplasental.1
2
Oleh karena itu, pengendalian terhadap faktor-faktor yang dapat mengganggu
transfer besi transpalsental diharapkan dapat mengurangi risiko neonatus
mengalami anemia defisiensi besi yang dapat menyebabkan gangguan pada
multipel organ.
B. Tujuan penulisan
Referat ini adalah untuk menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan
faktor risiko anemia defisiensi besi (antenatal) pada neonatus. Referat ini
ditulis juga sebagai syarat mengikuti ujian akhir di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
C. Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah ilmu
bagi penulis sendiri dan kepada teman-teman kepanitraan klinik dokter muda
dan pembaca lainnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Absorbsi Besi pada Maternal
Pada metabolisme besi normal, absorbsi besi di usus memegang peranan
sangat penting. Absorbsi terbanyak terjadi di proksimal duodenum karena pH
asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan pada proses
absorbsi besi di epitel usus. Besi yang terdpaat dalam makanan akan
dilepaskan ikatannya karena pengaruh asam lambung dan direduksi dari
bentuk feri menjadi fero oleh enzim ferireduktase yang siap diserap di
duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme
dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
bioavaibilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi heme dipertahankan dalam
keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel
absorptif (terletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi
fero masuk ke membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1).5
4
Gambar 1. Mekanisme absorbsi Fe di intestinal 6
Setelah besi masuk ke sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk
feritin, sebagian dikeluarkan ke katableter usus melalui basolateral
transporter (feroportin/FPN). Zat besi sudah diserap enterosit dan melewati
bagian basal epitel usus, memasuki katableter usus lalu dalam darah. Pada
proses ini terjadi oksidasi dari fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase
(antara lain oleh hephaestin), kemudian feri dalam darah diikat oleh
apotransferin menjadi transferrin.7
5
Gambar 2. Transportasi Fe dalam epitel intestinal 7
Hepsidin merupakan sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam
hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. hepsidin mencegah tubuh
menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari
makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel.
Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara feroportin,
sehingga mengurangi pengeluaran zat besi dari sel. Kelebihan hepsidin dalam
darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini
menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang akan merusak organ
dalam tubuh.5
Ketika konsentrasi hepsidin rendah, zat besi selular dilepaskan ke dalam
plasma menembus membran dan bergabung dengan ferroportin (FPN). Ketika
konsentrasi hepsidin tinggi, hepsidin berikatan dengan ferroportin, dan
ferroportin masuk dan didegradasi oleh hepsidin. Sebagai konsekuensi dari
hilangnya ferroportin, eksport zat besi selular berkurang dan besi
terakumulasi dalam feritin sitoplasma makrofag dan hepatosit.5
6
Eritropoesis yang aktif menghambat hepsidin (membiarkan zat besi
diabsorbsi/dikeluarkan untuk sintesis hemoglobin). Kadar hepsidin juga dapat
meningkat akibat peningkatan sitokin peradangan terutama IL-6 sehingga
mengakibatkan ketersediaan zat besi selama proses peradangan berkurang
karena tidak dikeluarkan dari cadangan besi makrofag dan hepatosit.5
B. Transfer Besi Transplasental
Transport besi transplasental meningkat selama kehamilan terutama pada
trimester tiga yaitu rata-rata sekitar 1,35 mg/kgBB fetus. Kebutuhan janin
terhadap besi pada trimester ketiga adalah 75 mg/kgBB. Besi tersebut 70-80%
digunakan sebagai bahan pembentuk hemoglobin, 10% disimpan dalam
bentuk myoglobin, dan 10%-15% disimpan di dalam jaringan.8,9
Transport besi melewati perbedaan gradien konsentrasi dari ibu ke janin.
Besi yang ditransportasikan dari ibu ke janin digunakan untuk eritropoesis,
perkembangan sistem organ, dan simpanan besi pada janin dalam bentuk
mioglobin, feritin, dan hemosiderin. Eritropoesis dimulai pada kehamilan
awal yaitu pada usia kehamilan 18 sampai 20 minggu. Hemoglobin fetus
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen jika dibandingkan dengan
hemoglobin pada orang dewasa. Hal ini bertujuan untuk mengkompensasi
jika terjadi keadaan hipoksia pada janin. Konsentrasi hemoglobin pada fetus
lebih tinggi jika dibandingkan pada anak dan orang dewasa. Hemoglobin ini
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan selama 6 bulan pertama
kehidupan.8
Zat besi sudah diserap enterosit dan melewati bagian basal epitel usus,
menuju ke darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul
7
transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Kompleks besi
transferin ini (Fe3-Tf) nantinya akan diikat oleh reseptor transferin
(transferrin receptor=Tfr) yang terdapat pada permukaan sinsitiotrofoblast
membentuk kompleks Fe3-Tf-Tfr, yang akan membentuk endosom. Suatu
pompa proton akan menurunkan pH endosom, sehingga melepaskan ikatan
besi dari transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma
dengan bantuan divalent metal transporter 1 (DMT 1), sedangkan ikatan
apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan
sel dan dapat dipergunakan kembali. Besi dikeluarkan dari sel melewati suatu
protein yang disebut sebagai ferroportin dan akan dioksidasi menjadi Fe3
oleh zyklopen. Fe3 akan diikat oleh tranferin dan melalui sirkulasi fetus untuk
melakukan eritropoesis dan sebagian disimpan di hepar dan dalam bentuk
ferrtitin.10,1 Kadar besi pada hepar fetus Tfr dan hepsidin juga berpengaruh
terhadap kadar besi. Hepsidin pada ibu menghambat terjadinya absorbsi besi
di enterosit. Kadar besi pada fetus berhubungan dengan ekspresi reseptor
transferrin ibu dan hepsidin. Hepsidin yang diproduksi oleh fetus mempunyai
efek negatif terhadap absorbsi besi transplasental yaitu kemungkinan hepsidin
berikatan dengan FPN. Hepsidin pada fetus kemungkinan berhubungan
dengan eksprei Tfr, tetapi hal ini masih diketahui pada hewan.1 Konsentrasi
transferrin reseptor juga meningkat selama proses eritropoesis.11 Eritropoiesis
terjadi pada minggu awal kehamilan dan menurut penelitian kadar
hemoglobin akan meningkat menjadi 11,5 gr/dl pada usia kehamilan 18-20
minggu. Eritropoetin pada fetus diguanakan untuk mengadaptasi keadaan
yang tidak diinginkan selama kehamilan seperti terjadi hipoksia pada fetus.8
8
Gambar 3 Mekanisme Transfer Besi Transplasental 1
C. Faktor Resiko (Antenatal) Anemia Defisiensi Besi pada Neonatus
a. Anemia Defisiensi Besi Berat pada Ibu
Selama kehamilan, kebutuhan fetus akan besi untuk pertumbuhannya
turut meningkatkan kebutuhan besi harian ibu, yaitu sekitar 1 - 2,5
mg/hari pada kehamilan awal dan 6,5 mg/hari pada trimester ketiga. Di
sisi lain, rata-rata diet di negara berkembang yang mengandung besi
kurang lebih antara 10 – 14 mg besi nonheme, tentu saja tidak semuanya
dapat diabsorbsi. Selama kehamilan memerlukan lebih banyak besi dan
terjadi peningkatan absorbsi besi oleh ibu. Prosentase absorbsi besi
nonheme dari makanan selama kehamilan meningkat dari 7% saat
kehamilan 12 minggu menjadi 36% saat kehamilan 24 minggu dan
menjadi 66% saat 36 minggu kehamilan. Peningkatan absorbsi besi pada
ibu hamil untuk mengkompensasi kebutuhan yang meningkat, sehingga
bisa tidak terjadi anemia, jika dalam komposisi dietnya mengandung besi
9
yang adekuat. Jika yang terjadi sebaliknya, maka kebutuhan fetus akan
besi hanya dicukupi dari simpanan besi ibu saja (the maternal stores of
iron). Seiring perkembangan fetus dan peningkatan kebutuhan akan besi,
mungkin akan menyebabkan anemia defisiensi besi pada awal
kehamilan, jika cadangan besi tidak adekuat.12
Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar.11,12
Pada ibu hamil besi ditransport melalui plasenta secara efisien sehingga
bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan besi yang cukup.
Telah banyak diketahui kekurangan besi pada ibu hamil hanya
mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam fetus dan neonatus,
sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup baik, kecuali ibu hamil
mengalami anemia defisiensi besi yang berat seperti yang sering terjadi
di negara yang sedang berkembang.12 Bayi yang lahir dari ibu yang
menderita anemia berat cenderung mengalami anemia defisiensi besi.
Hal ini disebabkan karena cadangan besi bayi yang didapatkan dari ibu
selama masa kehamilan akan didegradrasi untuk memenuhi kebutuhan
janin akan besi.11
Suplementasi yang diberikan pada ibu hamil juga masih menjadi
perdebatan. Suplementasi besi yang diberikan pada waktu masa
kehamilan diharapkan dapat menurunkan komplikasi pada ibu dan bayi.
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplementasi besi
sebanyak 30-200 mg secara statistik dapat meningkatkan konsentrasi
hemoglobin 10-17 g/L. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukan
10
bahwa suplementasi pada ibu hamil tidak mempunyai efek pada status
hematologik fetus atau bayi yang baru lahir.13
Review yang dilakukan oleh U.S Preventive Service Task Force
menyatakan bahwa suplementasi besi tidak terbukti menunjukkan
keuntungan secara klinis dan keuntungan secara biologis . Keuntungan
secara klinis yaitu suplementasi besi dapat menurunkan resiko terjadinya
kelahiran prematur dan BBLR, sedangkan keuntungan biologis
berhubungan dengan meningkatkan kadar hematokrit, hemoglobin, dan
level ferritin. Hasil ini berbeda dengan penelitian kohort yang dilakukan
di Swedia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa berat badan lahir
pada bayi laki-laki yang dilahirkan dari ibu yang mendapat suplementasi
besi lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dari ibu yang
tidak diberi suplementasi besi.13
Food and Nutrition Board of the Institue of Medicine
merekomendasikan suplementasi besi sebanyak 30 mg/hari yang dimulai
pada usia kehamilan 12 minggu tetapi dengan mengontrol secara rutin
kadar hemoglobin dan hematokritnya. Apabila kadar ferritin serum turun,
maka diberikan suplementasi sebesar 60-120 mg secara rutin sampi kadar
hemoglobin normal, dan diturunkan menjadi 30 mg/hari bila kadar
hemoglobinnya sudah normal.13 Menurut Rao, suplemetasi besi diberikan
pada dosis 40 mg/hari dan dimulai pada usia kehamilan 18 minggu
bermanfaat untuk mengurangi risiko defisiensi selama kehamilan dan
postpartum. Pemberian suplementasi besi ini menurut O’Brien yang
dikutip oleh Rao dapat meningkatkan transport besi ke fetus,
11
meningkatkan kadar ferritin serum pada waktu bayi dilahirkan sampai
usia 3 bulan. Selain itu, suplementasi besi juga dapat mencegah kelahiran
prematur yang menyebabkan bayi mempunyai waktu yang cukup untuk
menyimpan cadangan besi.2
Pemberian suplemen besi juga dapat menyebabkan rasa tidak
nyaman pada ibu seperti mual, konstipasi, dan kolitis ulseratif. Tetapi,
hal ini biasanya terjadi bila diberikan pada dosis tinggi. Kelebihan
cadangan besi termasuk hemokromatosis dan hemosiderosis dapat terjadi
pada wanita yang mengkonsumsi suplementasi besi secara oral buka
parenteral.13 Kelainan kongenital dan iatrogenik berhubungan dengan
kelebihan cadangan besi pada tubuh fetus. Hemokromatosis pada
neonatus merupakan kondisi kongenital, yaitu terjadi kerusakan yang
berat pada hepar fetus disertai dengan penumpukan besi di dalam hepar
dan jaringan seperti pankreas, miokardium, orofaring, dan tiroid. Etiologi
terjadinya hemokromatosis belum sepenuhnya diketahui. Pada neonatal
hemokromatosis, terjadi peningkatan serum alfa-fetoprotein, peningkatan
kadar serum ferritin > 800 µg/L, hipotransferinemia, dan hipersaturasi
transferin.2
b. Bayi Prematur
Janin yang sedang tumbuh membuat cadangan besi tubuh dari suplai
ibunya. Cadangan besi tersebut dibentuk paling banyak pada trimester
ketiga sehingga pada bayi yang lahir prematur rentan mengalami anemia
defisiensi besi.6 Bayi aterm normal dapat memenuhi kebutuhan besinya
sampai usia 4 – 6 bulan.12 Bayi prematur mempunyai waktu sedikit untuk
12
menyimpan besi selama dalam rahim, karena itu cadangan besinya jauh
lebih rendah dibanding bayi aterm, apalagi kecepatan tumbuh bayi
prematur sangat cepat setelah lahir dibandingkan bayi aterm sehingga
cadangan besinya hanya cukup untuk 2 – 3 bulan.12 Selain disebabkan
karena bayi prematur memiliki waktu yang sedikit untuk membentuk
cadangan besi, kemampuan eritropoesis pada bayi prematur juga belum
sempurna sehingga bayi prematur mempunyai faktor resiko untuk
mengalami anemia defisiensi besi.11 Bayi prematur yang mempunyai
resiko tinggi untuk untuk mengalami defisiensi besi yaitu bila bayi
dilahirkan pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu karena fetus
menyimpan besi terutama setelah umur kehamilan >32 minggu.2,14
c. Preeklampsia
Preeklampsia merupakan keadaan tekanan darah yang tinggi pada
masa kehamilan dengan tidak ditemukannya faktor – faktor penyebab
darah tinggi yang lainnya dan dikombinasikan dengan edema
menyeluruh atau proteinuria atau juga kedua – duanya. Preeklampsia
dapat mempengaruhi kadar besi di dalam neonatus karena
mengakibatkan sirkulasi darah transplasental dari ibu ke janin mengalami
gangguan. Akibatnya janin tidak bisa mendapatkan zat gizi, oksigen dan
kebutuhan lain yang berasal dari sirkulasi darah ibu. Hal ini dapat
meningkatkan resiko rendahnya status besi pada bayi.2
d. Ibu Merokok
Merokok dapat menyebabkan anemia defisiensi besi pada neonatus
dengan mekanisme terjadinya hipoksia pada fetus. Hipoksia yang terjadi
13
pada fetus menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen.
Hipoksemia pada fetus juga menyebabkan kadar karboksihemoglobin
meningkat, menurunkan aliran darah uteroplasental, dan vasokonstriksi
pembuluh darah.8,11
Kadar Hb dan ferritin serum di tali pusat menurun sebesar 20%
sampai 40%.2 Peningkatan konsumsi oksigen yang tidak diimbangi
dengan transfer besi transplasental yang baik menyebabkan fetus harus
mengkompensasi kekurangan besi dengan merombak simpanan besi dan
melakukan eritropoiesis.8,11
e. Diabetes Mellitus pada ibu
Ibu dengan diabetes mellitus selama kehamilan mempunyai
karakteristk intoleransi glukosa dan resistensi insulin. Ibu dengan
intolerasni glukosa biasanya menggunakan insulin eksogen untuk
mengontrol kadar gula darahnya. Glukosa dapat dengan mudah melewati
plasenta sedangkan insulin eksogen tidak mudah melewati plasenta. Hal
ini menyebabkan fetus mengalami kondisi hiperglikemia dan
menstimulasi sel islet untuk berproliferasi dan memproduksi insulin.
Keadaan hiperglikemia dan hiperinsulinemia kronik pada fetus
berpengaruh terhadap BMR (Basal Metabolic Rate), dengan efek
sekunder berupa oksigenasi fetus dan eritropoeiesis. Hiperglikemia dan
hiperinsulinemia pada fetus meningkatkan konsumsi oksigen sampai 30
%. Peningkatan kebutuhan dan konsumsi oksigen tidak diimbangi dengan
kemampuan plasenta untuk meningkatkan transfer oksigen transplasental.
Transfer oksigen juga terganggu karena adanya kelainan pada pembuluh
14
darah plasenta yang disebabkan karena adanya kondisi diabetes.
Hipoksemia pada fetus dapat meningkatkan resiko terjadinya kematian
pada janin, asidosis metabolik, eritropoiesis, dan transport besi.
Peningkatan kebutuhan oksigen sebanyak 30% juga meningkatkan
kebutuhan besi. Hal ini disebabkan karena setiap gram hemoglobin
membutuhkan 3,46 gram besi. Kebutuhan besi yang meningkat pada
kehamilan dengan diabetes menyebabkan peningkatan reseptor besi di
permukaan plasenta. Kompensasi ini tidak sempurna karena pada ibu
dengan diabetes terjadi penurunan afinitas transferin terhadap reseptor di
permukaan plasenta karena adanya glikosilasi dan hasilnya hanya sebesar
11% besi yang dapat ditransport ke fetus. Besi tambahan yang
dibutuhkan untuk melakukan eritopoiesis tidak bisa dipenuhi dari
transport besi transplasental. Oleh karena itu, fetus harus menggunakan
simpanan besi di hati dan melakukan eritropoiesis untuk mencukupi
kebutuhan dan mengatasi keadaan hipoksemia. Pemecahan simpanan
besi dan eritropoiesis menyebabkan keadaan polisitemia dan defisiensi
besi pada janin. Autopsi yang pernah dilakukan pada bayi yang
dilahirkan dari ibu penderita diabetes menunjukkan bahwa terjadi
penurunan simpanan besi di hepar sebesar 55% dan 40% di otak.
Konsentrasi serum ferritin yang rendah mengindikasikan bahwa terjadi
penurunan simpanan besi di hepar dan ditemukan pada 65% bayi yang
lahir dari ibu yang mengalami diabetes.2,4,8,15
15
Gambar 4 Pengaruh DM terhadap kadar Besi di fetus16
f. Obesitas dan infeksi
Obesitas dihubungakn dengan konsentrasi besi yang rendah di dalam
serum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar besi yang rendah
di dalam darah dihubungkan dengan asupan besi yang kurang dan
kebutuhan besi yang meningkat pada orang obesitas karena besarnya
volume darah. Penumpukan lemak pada orang obesitas menyebabkan
peningkata kadar hepsidin. Hepsidin juga merupakan mediator pro
inflamasi sehingga kadarnya meningkat pada infeksi dan menurun pada
keadaan hipoksia, anemia, dan obesitas didefinisikan sebagai proses
inflamasi kronik. Pada orang obesitas terjadi peningkatan kadar hepsidin
yang menghalangi absorbsi besi ke enterosit sehingga menyebabkan
kadar besi dalam serum menurun.16,17 Penurunan kadar besi dalam serum
16
pada ibu hamil akan mengurangi transport besi transplasental sehingga
fetus yang dilahirkan oleh ibu yang menderita obesitas dan infeksi
beresiko mengalami anemia defisiensi besi.17 Hal ini disebabkan karena
kurangnya transport besi transplasental akan dikompensasi oleh fetus
dengan merombak simpanan besi dan melakukan eritropoiesis.18 Kadar
hepsidin yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan pada sTfr karena
kenaikan kadar hepsidin merangsang terjadinya eritopoiesis dan
eritropoiesis menyebakan terjadinya peningkatan jumlah sTfr.19,20
g. Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah perdarahan antepartum yang ditandai dengan
pengeluaran darah pervagianam yang berwarna kehitaman, nyeri pada
perut, uterus yang tegang, ibu kesakitan, terdapat tanda-tanda syok, dan
terdapat perdarahan retroplasental. Solusio plasenta menyebabkan
terjadinya keadaan hipoksemia pada fetus karena terjadi pelepasan
plasenta dari tempat perlekatan di uterus. Terlepasnya plasenta dari
tempat perlekatan menyebabkan fetus menggunakan simpanan besi dan
melakukan eritropoiesis untuk mengkompensasi terjadinya hipoksemia.21
BAB III
KESIMPULAN
17
1. Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan salah satu kesehatan gizi utama
di dunia termasuk Indonesia.
2. Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada neonatus paling tinggi dijumpai pada
bayi berusia 0 bulan.
3. Penyebab ADB pada neonatus dipengaruhi oleh keadaan umum dan gaya
hidup ibu, antara lain: ibu dengan DM, pre-eklampsia (hipertensi), merokok,
obesitas, infeksi, dan solusio plasenta (perdarahan antepartum).
4. Pengendalian terhadap faktor risiko tersebut diharapkan dapat mengurangi
tingginya angka neonatus yang mengalami anemia defisiensi besi.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Cetin, I., Berti, C., Mando C., and Parisi, F. 2011. Placental Iron Transport
and Maternal Absorption. Ann Nutr Metab(59); 55-58.
2. Rao,R., Georgian, M.K. 2007. Iron in Fetal and Neonatal Nutrition. NIH-PA
12 (1); 54-63.
3. Ringoringo, H.P. 2009. Insidens Defisiensi Besi dan Anemia Defisiensi Besi
pada Bayi Berusia 0-12 Bulan di Banjarbaru Kalimantan Selatan:studi
kohort propektif. Sari Pediatri (11); 8-14.
4. Verner, A.M., Manderson, John., Lappin, T.R., McCance, D.R., Halliday,
H.L., Sweet, D.G. 2007. Influence of Maternal Diabetes Mellitus on Fetal
Iron Status. Arch Dis Child Fetal Neonatal (92); 399-401.
5. Nadadur S, Srirama K, dan Mudipalli A. 2008. Iron transport & homeostasis
mechanisms: their role in helath & disease. Indian J Med Res;533-544
6. Andrews N. 2005. Understanding heme transport. The New England
Journal of Medicine. 353(23);.2508-2509
7. Andrews N. 1999. Medical progress: disorders of iron metabolism. The New
England Journal of Medicine. 341(26);1986-1994
8. Beard, J., deReigner, R.A., Shaw, M.D., Rao, R., Georgieff, M. 2007.
Diagnosis of Iron Deficiency in Infants. Labmedicine 38(2); 103-107.
9. Chapparo, C.M. 2008. Setting the Stage for Child Health and Development:
Prevention of Iron Deficiency in Early Infancy. The Journal of Nutrition
138: 2529-2533.
10. Gambling, L., Lang, C., McAndle, H.J. 2011. Fetal Regulation of Iron
During Pregnancy. Am J Clin Nutr; 1S-4S.
19
11. Sweet, D.G., Savage,G., Tubman, T.R.J., Lappin, T.R.J., Halliday H.L.
2001. Study of Maternal Influence on Fetal Iron Status at term using Cord
Blood Transferrin Receptors. Arch Dis Child Fetal Neonatal (84); F40-F43.
12. Santosa, Q. 2008. Pengaruh Waktu Penjepitan Tali Pusat terhadap Kadar
Hemoglobin dan Hematokrit Bayi Baru Lahir. Tesis. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
13. Feightner.W.J. Chapter 6: Routine Iron Supplementation during Pregnancy.
Canadian Guide to Clinical Preventive Health Care; 64-70. Available at:
www.canadiantaskforce.ca/Chapter6_ironsuppl_preg94.pdf. Diakses
tanggal: 16 April 2013.
14. Kilbride, J., Baker, T., Parapia, L.A., Khoury, S.A., Shuiqaidef, S.W., and
Jerwood, D. 1999. Anaemia during Pregnancy as a Risk Factor for Iron
Deficiency Anaemia in Infancy: A Case Control Study in Jordan.
International Journal of Epidemiology (28); 461-468.
15. Nold, Joan L., Georgieff, M.K. 2004. Infants of Diabetic Mothers. Pediatr
Clin N Am (51); 619-637.
16. Sanad, M., Osman, M., Gharib, A. 2011. Obesity Modulate Serum Hepcidin
and Treatment Outcome of Iron DeficiencyAnemia in Children: A Case
Control Study. Italian Journal of Pediatrics 37(34); 1-6.
17. Humphrey, L.M., Nemeth,E., Fantuzzi, G., Freels, S., Guzman, G.,
Holterman, A.L., and Braunschweig, C. 2001. Elevated Systemic Hepcidin
and Iron Depletion in Obese Premenopausal Females. Obesity Journal; 1-8.
18. Zekanowska, E., Boinska,J., Kucharska, G.P., Kwaips, J. 2011. Obesity and
Iron Metabolism. Jurnal of Biotechnology 92 (2); 147-152.
20
19. Kroot.J.J. 2009. Regulation of Serum Hepcidin Levels in Sickle cell
Disease. Haematologica 94 (6);885-887.
20. Valdes. L.M. 2011. Genetics and Biochemical Markers in Relation to Iron
Transport in Obese and Diabetics Pregnant Women. Tesis. Espana:
Universidad de Granada.
21. Handin, R. I., Lux, S.E., Stossel, T.P. 2007. Blood: principles and practice
of hematology: Neonatal Anemia. Available at: www. Books. Google.com.
Diakses tanggal: 16 April 2013.