Adit Ganteng

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh kerja endokrin yang menyebabkan perubahan pada metabolisme maternal untuk memenuhi kebutuhan janin termasuk kebutuhan mikronutrien seperti besi. 1 Oleh karena itu, kebutuhan terhadap besi selama kehamilan meningkat karena besi memegang peranan penting dalam perkembangan organ pada neonatus. Defisiensi besi pada selama fetus dan neonatus (perinatal) dapat menyebabkan disfungsi multipel sistem organ. 2 Salah satu gangguan defisiensi besi yang paling serius adalah gangguan fungsi otak berupa gangguan perkembangan motorik, kemampuan kognitif, gangguan perilaku yang menetap. 3 Anemia defisiensi besi (ADB) adalah salah satu masalah kesehatan gizi utama di dunia, Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Prevalensi anemia pada anak di negara berkembang sekitar 40 %- 45 %.

description

efgfb dfbfd

Transcript of Adit Ganteng

Page 1: Adit Ganteng

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehamilan adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh kerja endokrin

yang menyebabkan perubahan pada metabolisme maternal untuk memenuhi

kebutuhan janin termasuk kebutuhan mikronutrien seperti besi.1 Oleh karena

itu, kebutuhan terhadap besi selama kehamilan meningkat karena besi

memegang peranan penting dalam perkembangan organ pada neonatus.

Defisiensi besi pada selama fetus dan neonatus (perinatal) dapat

menyebabkan disfungsi multipel sistem organ.2 Salah satu gangguan

defisiensi besi yang paling serius adalah gangguan fungsi otak berupa

gangguan perkembangan motorik, kemampuan kognitif, gangguan perilaku

yang menetap.3

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah salah satu masalah kesehatan

gizi utama di dunia, Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Prevalensi anemia

pada anak di negara berkembang sekitar 40 %- 45 %. Di Indonesia ADB

merupakan salah satu masalah kesehatan gizi utama. Data SKRT tahun 2011

menunjukkan prevalensi ADB pada wanita hamil 40,1%. Insidensi anemia

defisiensi besi paling tinggi dijumpai pada bayi 0 bulan. Banyak faktor risiko

mempengaruhi prevalensi defisiensi besi atau ADB pada bayi yang

dilahirkan.3

Faktor yang dapat mempengaruhi kadar besi pada neonatus terutama

dipengaruhi oleh keadaan umum dan gaya hidup ibu. Hal ini disebabkan

karena kadar besi pada fetus dipengaruhi oleh transfer besi transplasental.1

Page 2: Adit Ganteng

2

Oleh karena itu, pengendalian terhadap faktor-faktor yang dapat mengganggu

transfer besi transpalsental diharapkan dapat mengurangi risiko neonatus

mengalami anemia defisiensi besi yang dapat menyebabkan gangguan pada

multipel organ.

B. Tujuan penulisan

Referat ini adalah untuk menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan

faktor risiko anemia defisiensi besi (antenatal) pada neonatus. Referat ini

ditulis juga sebagai syarat mengikuti ujian akhir di Bagian Ilmu Kesehatan

Anak Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

C. Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah ilmu

bagi penulis sendiri dan kepada teman-teman kepanitraan klinik dokter muda

dan pembaca lainnya.

Page 3: Adit Ganteng

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Absorbsi Besi pada Maternal

Pada metabolisme besi normal, absorbsi besi di usus memegang peranan

sangat penting. Absorbsi terbanyak terjadi di proksimal duodenum karena pH

asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan pada proses

absorbsi besi di epitel usus. Besi yang terdpaat dalam makanan akan

dilepaskan ikatannya karena pengaruh asam lambung dan direduksi dari

bentuk feri menjadi fero oleh enzim ferireduktase yang siap diserap di

duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme

dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat

bioavaibilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat

absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi heme dipertahankan dalam

keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel

absorptif (terletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi

fero masuk ke membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1).5

Page 4: Adit Ganteng

4

Gambar 1. Mekanisme absorbsi Fe di intestinal 6

Setelah besi masuk ke sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk

feritin, sebagian dikeluarkan ke katableter usus melalui basolateral

transporter (feroportin/FPN). Zat besi sudah diserap enterosit dan melewati

bagian basal epitel usus, memasuki katableter usus lalu dalam darah. Pada

proses ini terjadi oksidasi dari fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase

(antara lain oleh hephaestin), kemudian feri dalam darah diikat oleh

apotransferin menjadi transferrin.7

Page 5: Adit Ganteng

5

Gambar 2. Transportasi Fe dalam epitel intestinal 7

Hepsidin merupakan sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam

hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. hepsidin mencegah tubuh

menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari

makanan atau suplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel.

Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara feroportin,

sehingga mengurangi pengeluaran zat besi dari sel. Kelebihan hepsidin dalam

darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini

menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang akan merusak organ

dalam tubuh.5

Ketika konsentrasi hepsidin rendah, zat besi selular dilepaskan ke dalam

plasma menembus membran dan bergabung dengan ferroportin (FPN). Ketika

konsentrasi hepsidin tinggi, hepsidin berikatan dengan ferroportin, dan

ferroportin masuk dan didegradasi oleh hepsidin. Sebagai konsekuensi dari

hilangnya ferroportin, eksport zat besi selular berkurang dan besi

terakumulasi dalam feritin sitoplasma makrofag dan hepatosit.5

Page 6: Adit Ganteng

6

Eritropoesis yang aktif menghambat hepsidin (membiarkan zat besi

diabsorbsi/dikeluarkan untuk sintesis hemoglobin). Kadar hepsidin juga dapat

meningkat akibat peningkatan sitokin peradangan terutama IL-6 sehingga

mengakibatkan ketersediaan zat besi selama proses peradangan berkurang

karena tidak dikeluarkan dari cadangan besi makrofag dan hepatosit.5

B. Transfer Besi Transplasental

Transport besi transplasental meningkat selama kehamilan terutama pada

trimester tiga yaitu rata-rata sekitar 1,35 mg/kgBB fetus. Kebutuhan janin

terhadap besi pada trimester ketiga adalah 75 mg/kgBB. Besi tersebut 70-80%

digunakan sebagai bahan pembentuk hemoglobin, 10% disimpan dalam

bentuk myoglobin, dan 10%-15% disimpan di dalam jaringan.8,9

Transport besi melewati perbedaan gradien konsentrasi dari ibu ke janin.

Besi yang ditransportasikan dari ibu ke janin digunakan untuk eritropoesis,

perkembangan sistem organ, dan simpanan besi pada janin dalam bentuk

mioglobin, feritin, dan hemosiderin. Eritropoesis dimulai pada kehamilan

awal yaitu pada usia kehamilan 18 sampai 20 minggu. Hemoglobin fetus

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen jika dibandingkan dengan

hemoglobin pada orang dewasa. Hal ini bertujuan untuk mengkompensasi

jika terjadi keadaan hipoksia pada janin. Konsentrasi hemoglobin pada fetus

lebih tinggi jika dibandingkan pada anak dan orang dewasa. Hemoglobin ini

digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan selama 6 bulan pertama

kehidupan.8

Zat besi sudah diserap enterosit dan melewati bagian basal epitel usus,

menuju ke darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul

Page 7: Adit Ganteng

7

transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Kompleks besi

transferin ini (Fe3-Tf) nantinya akan diikat oleh reseptor transferin

(transferrin receptor=Tfr) yang terdapat pada permukaan sinsitiotrofoblast

membentuk kompleks Fe3-Tf-Tfr, yang akan membentuk endosom. Suatu

pompa proton akan menurunkan pH endosom, sehingga melepaskan ikatan

besi dari transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma

dengan bantuan divalent metal transporter 1 (DMT 1), sedangkan ikatan

apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan

sel dan dapat dipergunakan kembali. Besi dikeluarkan dari sel melewati suatu

protein yang disebut sebagai ferroportin dan akan dioksidasi menjadi Fe3

oleh zyklopen. Fe3 akan diikat oleh tranferin dan melalui sirkulasi fetus untuk

melakukan eritropoesis dan sebagian disimpan di hepar dan dalam bentuk

ferrtitin.10,1 Kadar besi pada hepar fetus Tfr dan hepsidin juga berpengaruh

terhadap kadar besi. Hepsidin pada ibu menghambat terjadinya absorbsi besi

di enterosit. Kadar besi pada fetus berhubungan dengan ekspresi reseptor

transferrin ibu dan hepsidin. Hepsidin yang diproduksi oleh fetus mempunyai

efek negatif terhadap absorbsi besi transplasental yaitu kemungkinan hepsidin

berikatan dengan FPN. Hepsidin pada fetus kemungkinan berhubungan

dengan eksprei Tfr, tetapi hal ini masih diketahui pada hewan.1 Konsentrasi

transferrin reseptor juga meningkat selama proses eritropoesis.11 Eritropoiesis

terjadi pada minggu awal kehamilan dan menurut penelitian kadar

hemoglobin akan meningkat menjadi 11,5 gr/dl pada usia kehamilan 18-20

minggu. Eritropoetin pada fetus diguanakan untuk mengadaptasi keadaan

yang tidak diinginkan selama kehamilan seperti terjadi hipoksia pada fetus.8

Page 8: Adit Ganteng

8

Gambar 3 Mekanisme Transfer Besi Transplasental 1

C. Faktor Resiko (Antenatal) Anemia Defisiensi Besi pada Neonatus

a. Anemia Defisiensi Besi Berat pada Ibu

Selama kehamilan, kebutuhan fetus akan besi untuk pertumbuhannya

turut meningkatkan kebutuhan besi harian ibu, yaitu sekitar 1 - 2,5

mg/hari pada kehamilan awal dan 6,5 mg/hari pada trimester ketiga. Di

sisi lain, rata-rata diet di negara berkembang yang mengandung besi

kurang lebih antara 10 – 14 mg besi nonheme, tentu saja tidak semuanya

dapat diabsorbsi. Selama kehamilan memerlukan lebih banyak besi dan

terjadi peningkatan absorbsi besi oleh ibu. Prosentase absorbsi besi

nonheme dari makanan selama kehamilan meningkat dari 7% saat

kehamilan 12 minggu menjadi 36% saat kehamilan 24 minggu dan

menjadi 66% saat 36 minggu kehamilan. Peningkatan absorbsi besi pada

ibu hamil untuk mengkompensasi kebutuhan yang meningkat, sehingga

bisa tidak terjadi anemia, jika dalam komposisi dietnya mengandung besi

Page 9: Adit Ganteng

9

yang adekuat. Jika yang terjadi sebaliknya, maka kebutuhan fetus akan

besi hanya dicukupi dari simpanan besi ibu saja (the maternal stores of

iron). Seiring perkembangan fetus dan peningkatan kebutuhan akan besi,

mungkin akan menyebabkan anemia defisiensi besi pada awal

kehamilan, jika cadangan besi tidak adekuat.12

Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar.11,12

Pada ibu hamil besi ditransport melalui plasenta secara efisien sehingga

bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan besi yang cukup.

Telah banyak diketahui kekurangan besi pada ibu hamil hanya

mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam fetus dan neonatus,

sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup baik, kecuali ibu hamil

mengalami anemia defisiensi besi yang berat seperti yang sering terjadi

di negara yang sedang berkembang.12 Bayi yang lahir dari ibu yang

menderita anemia berat cenderung mengalami anemia defisiensi besi.

Hal ini disebabkan karena cadangan besi bayi yang didapatkan dari ibu

selama masa kehamilan akan didegradrasi untuk memenuhi kebutuhan

janin akan besi.11

Suplementasi yang diberikan pada ibu hamil juga masih menjadi

perdebatan. Suplementasi besi yang diberikan pada waktu masa

kehamilan diharapkan dapat menurunkan komplikasi pada ibu dan bayi.

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplementasi besi

sebanyak 30-200 mg secara statistik dapat meningkatkan konsentrasi

hemoglobin 10-17 g/L. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukan

Page 10: Adit Ganteng

10

bahwa suplementasi pada ibu hamil tidak mempunyai efek pada status

hematologik fetus atau bayi yang baru lahir.13

Review yang dilakukan oleh U.S Preventive Service Task Force

menyatakan bahwa suplementasi besi tidak terbukti menunjukkan

keuntungan secara klinis dan keuntungan secara biologis . Keuntungan

secara klinis yaitu suplementasi besi dapat menurunkan resiko terjadinya

kelahiran prematur dan BBLR, sedangkan keuntungan biologis

berhubungan dengan meningkatkan kadar hematokrit, hemoglobin, dan

level ferritin. Hasil ini berbeda dengan penelitian kohort yang dilakukan

di Swedia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa berat badan lahir

pada bayi laki-laki yang dilahirkan dari ibu yang mendapat suplementasi

besi lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dari ibu yang

tidak diberi suplementasi besi.13

Food and Nutrition Board of the Institue of Medicine

merekomendasikan suplementasi besi sebanyak 30 mg/hari yang dimulai

pada usia kehamilan 12 minggu tetapi dengan mengontrol secara rutin

kadar hemoglobin dan hematokritnya. Apabila kadar ferritin serum turun,

maka diberikan suplementasi sebesar 60-120 mg secara rutin sampi kadar

hemoglobin normal, dan diturunkan menjadi 30 mg/hari bila kadar

hemoglobinnya sudah normal.13 Menurut Rao, suplemetasi besi diberikan

pada dosis 40 mg/hari dan dimulai pada usia kehamilan 18 minggu

bermanfaat untuk mengurangi risiko defisiensi selama kehamilan dan

postpartum. Pemberian suplementasi besi ini menurut O’Brien yang

dikutip oleh Rao dapat meningkatkan transport besi ke fetus,

Page 11: Adit Ganteng

11

meningkatkan kadar ferritin serum pada waktu bayi dilahirkan sampai

usia 3 bulan. Selain itu, suplementasi besi juga dapat mencegah kelahiran

prematur yang menyebabkan bayi mempunyai waktu yang cukup untuk

menyimpan cadangan besi.2

Pemberian suplemen besi juga dapat menyebabkan rasa tidak

nyaman pada ibu seperti mual, konstipasi, dan kolitis ulseratif. Tetapi,

hal ini biasanya terjadi bila diberikan pada dosis tinggi. Kelebihan

cadangan besi termasuk hemokromatosis dan hemosiderosis dapat terjadi

pada wanita yang mengkonsumsi suplementasi besi secara oral buka

parenteral.13 Kelainan kongenital dan iatrogenik berhubungan dengan

kelebihan cadangan besi pada tubuh fetus. Hemokromatosis pada

neonatus merupakan kondisi kongenital, yaitu terjadi kerusakan yang

berat pada hepar fetus disertai dengan penumpukan besi di dalam hepar

dan jaringan seperti pankreas, miokardium, orofaring, dan tiroid. Etiologi

terjadinya hemokromatosis belum sepenuhnya diketahui. Pada neonatal

hemokromatosis, terjadi peningkatan serum alfa-fetoprotein, peningkatan

kadar serum ferritin > 800 µg/L, hipotransferinemia, dan hipersaturasi

transferin.2

b. Bayi Prematur

Janin yang sedang tumbuh membuat cadangan besi tubuh dari suplai

ibunya. Cadangan besi tersebut dibentuk paling banyak pada trimester

ketiga sehingga pada bayi yang lahir prematur rentan mengalami anemia

defisiensi besi.6 Bayi aterm normal dapat memenuhi kebutuhan besinya

sampai usia 4 – 6 bulan.12 Bayi prematur mempunyai waktu sedikit untuk

Page 12: Adit Ganteng

12

menyimpan besi selama dalam rahim, karena itu cadangan besinya jauh

lebih rendah dibanding bayi aterm, apalagi kecepatan tumbuh bayi

prematur sangat cepat setelah lahir dibandingkan bayi aterm sehingga

cadangan besinya hanya cukup untuk 2 – 3 bulan.12 Selain disebabkan

karena bayi prematur memiliki waktu yang sedikit untuk membentuk

cadangan besi, kemampuan eritropoesis pada bayi prematur juga belum

sempurna sehingga bayi prematur mempunyai faktor resiko untuk

mengalami anemia defisiensi besi.11 Bayi prematur yang mempunyai

resiko tinggi untuk untuk mengalami defisiensi besi yaitu bila bayi

dilahirkan pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu karena fetus

menyimpan besi terutama setelah umur kehamilan >32 minggu.2,14

c. Preeklampsia

Preeklampsia merupakan keadaan tekanan darah yang tinggi pada

masa kehamilan dengan tidak ditemukannya faktor – faktor penyebab

darah tinggi yang lainnya dan dikombinasikan dengan edema

menyeluruh atau proteinuria atau juga kedua – duanya. Preeklampsia

dapat mempengaruhi kadar besi di dalam neonatus karena

mengakibatkan sirkulasi darah transplasental dari ibu ke janin mengalami

gangguan. Akibatnya janin tidak bisa mendapatkan zat gizi, oksigen dan

kebutuhan lain yang berasal dari sirkulasi darah ibu. Hal ini dapat

meningkatkan resiko rendahnya status besi pada bayi.2

d. Ibu Merokok

Merokok dapat menyebabkan anemia defisiensi besi pada neonatus

dengan mekanisme terjadinya hipoksia pada fetus. Hipoksia yang terjadi

Page 13: Adit Ganteng

13

pada fetus menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen.

Hipoksemia pada fetus juga menyebabkan kadar karboksihemoglobin

meningkat, menurunkan aliran darah uteroplasental, dan vasokonstriksi

pembuluh darah.8,11

Kadar Hb dan ferritin serum di tali pusat menurun sebesar 20%

sampai 40%.2 Peningkatan konsumsi oksigen yang tidak diimbangi

dengan transfer besi transplasental yang baik menyebabkan fetus harus

mengkompensasi kekurangan besi dengan merombak simpanan besi dan

melakukan eritropoiesis.8,11

e. Diabetes Mellitus pada ibu

Ibu dengan diabetes mellitus selama kehamilan mempunyai

karakteristk intoleransi glukosa dan resistensi insulin. Ibu dengan

intolerasni glukosa biasanya menggunakan insulin eksogen untuk

mengontrol kadar gula darahnya. Glukosa dapat dengan mudah melewati

plasenta sedangkan insulin eksogen tidak mudah melewati plasenta. Hal

ini menyebabkan fetus mengalami kondisi hiperglikemia dan

menstimulasi sel islet untuk berproliferasi dan memproduksi insulin.

Keadaan hiperglikemia dan hiperinsulinemia kronik pada fetus

berpengaruh terhadap BMR (Basal Metabolic Rate), dengan efek

sekunder berupa oksigenasi fetus dan eritropoeiesis. Hiperglikemia dan

hiperinsulinemia pada fetus meningkatkan konsumsi oksigen sampai 30

%. Peningkatan kebutuhan dan konsumsi oksigen tidak diimbangi dengan

kemampuan plasenta untuk meningkatkan transfer oksigen transplasental.

Transfer oksigen juga terganggu karena adanya kelainan pada pembuluh

Page 14: Adit Ganteng

14

darah plasenta yang disebabkan karena adanya kondisi diabetes.

Hipoksemia pada fetus dapat meningkatkan resiko terjadinya kematian

pada janin, asidosis metabolik, eritropoiesis, dan transport besi.

Peningkatan kebutuhan oksigen sebanyak 30% juga meningkatkan

kebutuhan besi. Hal ini disebabkan karena setiap gram hemoglobin

membutuhkan 3,46 gram besi. Kebutuhan besi yang meningkat pada

kehamilan dengan diabetes menyebabkan peningkatan reseptor besi di

permukaan plasenta. Kompensasi ini tidak sempurna karena pada ibu

dengan diabetes terjadi penurunan afinitas transferin terhadap reseptor di

permukaan plasenta karena adanya glikosilasi dan hasilnya hanya sebesar

11% besi yang dapat ditransport ke fetus. Besi tambahan yang

dibutuhkan untuk melakukan eritopoiesis tidak bisa dipenuhi dari

transport besi transplasental. Oleh karena itu, fetus harus menggunakan

simpanan besi di hati dan melakukan eritropoiesis untuk mencukupi

kebutuhan dan mengatasi keadaan hipoksemia. Pemecahan simpanan

besi dan eritropoiesis menyebabkan keadaan polisitemia dan defisiensi

besi pada janin. Autopsi yang pernah dilakukan pada bayi yang

dilahirkan dari ibu penderita diabetes menunjukkan bahwa terjadi

penurunan simpanan besi di hepar sebesar 55% dan 40% di otak.

Konsentrasi serum ferritin yang rendah mengindikasikan bahwa terjadi

penurunan simpanan besi di hepar dan ditemukan pada 65% bayi yang

lahir dari ibu yang mengalami diabetes.2,4,8,15

Page 15: Adit Ganteng

15

Gambar 4 Pengaruh DM terhadap kadar Besi di fetus16

f. Obesitas dan infeksi

Obesitas dihubungakn dengan konsentrasi besi yang rendah di dalam

serum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar besi yang rendah

di dalam darah dihubungkan dengan asupan besi yang kurang dan

kebutuhan besi yang meningkat pada orang obesitas karena besarnya

volume darah. Penumpukan lemak pada orang obesitas menyebabkan

peningkata kadar hepsidin. Hepsidin juga merupakan mediator pro

inflamasi sehingga kadarnya meningkat pada infeksi dan menurun pada

keadaan hipoksia, anemia, dan obesitas didefinisikan sebagai proses

inflamasi kronik. Pada orang obesitas terjadi peningkatan kadar hepsidin

yang menghalangi absorbsi besi ke enterosit sehingga menyebabkan

kadar besi dalam serum menurun.16,17 Penurunan kadar besi dalam serum

Page 16: Adit Ganteng

16

pada ibu hamil akan mengurangi transport besi transplasental sehingga

fetus yang dilahirkan oleh ibu yang menderita obesitas dan infeksi

beresiko mengalami anemia defisiensi besi.17 Hal ini disebabkan karena

kurangnya transport besi transplasental akan dikompensasi oleh fetus

dengan merombak simpanan besi dan melakukan eritropoiesis.18 Kadar

hepsidin yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan pada sTfr karena

kenaikan kadar hepsidin merangsang terjadinya eritopoiesis dan

eritropoiesis menyebakan terjadinya peningkatan jumlah sTfr.19,20

g. Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah perdarahan antepartum yang ditandai dengan

pengeluaran darah pervagianam yang berwarna kehitaman, nyeri pada

perut, uterus yang tegang, ibu kesakitan, terdapat tanda-tanda syok, dan

terdapat perdarahan retroplasental. Solusio plasenta menyebabkan

terjadinya keadaan hipoksemia pada fetus karena terjadi pelepasan

plasenta dari tempat perlekatan di uterus. Terlepasnya plasenta dari

tempat perlekatan menyebabkan fetus menggunakan simpanan besi dan

melakukan eritropoiesis untuk mengkompensasi terjadinya hipoksemia.21

BAB III

KESIMPULAN

Page 17: Adit Ganteng

17

1. Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan salah satu kesehatan gizi utama

di dunia termasuk Indonesia.

2. Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada neonatus paling tinggi dijumpai pada

bayi berusia 0 bulan.

3. Penyebab ADB pada neonatus dipengaruhi oleh keadaan umum dan gaya

hidup ibu, antara lain: ibu dengan DM, pre-eklampsia (hipertensi), merokok,

obesitas, infeksi, dan solusio plasenta (perdarahan antepartum).

4. Pengendalian terhadap faktor risiko tersebut diharapkan dapat mengurangi

tingginya angka neonatus yang mengalami anemia defisiensi besi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Adit Ganteng

18

1. Cetin, I., Berti, C., Mando C., and Parisi, F. 2011. Placental Iron Transport

and Maternal Absorption. Ann Nutr Metab(59); 55-58.

2. Rao,R., Georgian, M.K. 2007. Iron in Fetal and Neonatal Nutrition. NIH-PA

12 (1); 54-63.

3. Ringoringo, H.P. 2009. Insidens Defisiensi Besi dan Anemia Defisiensi Besi

pada Bayi Berusia 0-12 Bulan di Banjarbaru Kalimantan Selatan:studi

kohort propektif. Sari Pediatri (11); 8-14.

4. Verner, A.M., Manderson, John., Lappin, T.R., McCance, D.R., Halliday,

H.L., Sweet, D.G. 2007. Influence of Maternal Diabetes Mellitus on Fetal

Iron Status. Arch Dis Child Fetal Neonatal (92); 399-401.

5. Nadadur S, Srirama K, dan Mudipalli A. 2008. Iron transport & homeostasis

mechanisms: their role in helath & disease. Indian J Med Res;533-544

6. Andrews N. 2005. Understanding heme transport. The New England

Journal of Medicine. 353(23);.2508-2509

7. Andrews N. 1999. Medical progress: disorders of iron metabolism. The New

England Journal of Medicine. 341(26);1986-1994

8. Beard, J., deReigner, R.A., Shaw, M.D., Rao, R., Georgieff, M. 2007.

Diagnosis of Iron Deficiency in Infants. Labmedicine 38(2); 103-107.

9. Chapparo, C.M. 2008. Setting the Stage for Child Health and Development:

Prevention of Iron Deficiency in Early Infancy. The Journal of Nutrition

138: 2529-2533.

10. Gambling, L., Lang, C., McAndle, H.J. 2011. Fetal Regulation of Iron

During Pregnancy. Am J Clin Nutr; 1S-4S.

Page 19: Adit Ganteng

19

11. Sweet, D.G., Savage,G., Tubman, T.R.J., Lappin, T.R.J., Halliday H.L.

2001. Study of Maternal Influence on Fetal Iron Status at term using Cord

Blood Transferrin Receptors. Arch Dis Child Fetal Neonatal (84); F40-F43.

12. Santosa, Q. 2008. Pengaruh Waktu Penjepitan Tali Pusat terhadap Kadar

Hemoglobin dan Hematokrit Bayi Baru Lahir. Tesis. Semarang: Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro.

13. Feightner.W.J. Chapter 6: Routine Iron Supplementation during Pregnancy.

Canadian Guide to Clinical Preventive Health Care; 64-70. Available at:

www.canadiantaskforce.ca/Chapter6_ironsuppl_preg94.pdf. Diakses

tanggal: 16 April 2013.

14. Kilbride, J., Baker, T., Parapia, L.A., Khoury, S.A., Shuiqaidef, S.W., and

Jerwood, D. 1999. Anaemia during Pregnancy as a Risk Factor for Iron

Deficiency Anaemia in Infancy: A Case Control Study in Jordan.

International Journal of Epidemiology (28); 461-468.

15. Nold, Joan L., Georgieff, M.K. 2004. Infants of Diabetic Mothers. Pediatr

Clin N Am (51); 619-637.

16. Sanad, M., Osman, M., Gharib, A. 2011. Obesity Modulate Serum Hepcidin

and Treatment Outcome of Iron DeficiencyAnemia in Children: A Case

Control Study. Italian Journal of Pediatrics 37(34); 1-6.

17. Humphrey, L.M., Nemeth,E., Fantuzzi, G., Freels, S., Guzman, G.,

Holterman, A.L., and Braunschweig, C. 2001. Elevated Systemic Hepcidin

and Iron Depletion in Obese Premenopausal Females. Obesity Journal; 1-8.

18. Zekanowska, E., Boinska,J., Kucharska, G.P., Kwaips, J. 2011. Obesity and

Iron Metabolism. Jurnal of Biotechnology 92 (2); 147-152.

Page 20: Adit Ganteng

20

19. Kroot.J.J. 2009. Regulation of Serum Hepcidin Levels in Sickle cell

Disease. Haematologica 94 (6);885-887.

20. Valdes. L.M. 2011. Genetics and Biochemical Markers in Relation to Iron

Transport in Obese and Diabetics Pregnant Women. Tesis. Espana:

Universidad de Granada.

21. Handin, R. I., Lux, S.E., Stossel, T.P. 2007. Blood: principles and practice

of hematology: Neonatal Anemia. Available at: www. Books. Google.com.

Diakses tanggal: 16 April 2013.