7 DAMPAK EKONOMI KEGIATAN WISATA DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH
7.1.Dampak Ekonomi Bagi Masyarakat Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pendapatan, mata pencaharian,
lapangan pekerjaan, jumlah pekerjaan yang berasal dari kegitan wisata (Hilyana,
2001; Mbaiwa 2003; Babulo, et al. 2008; Tao dan Wall 2009; Iorio dan Corsale
2010; Mbaiwa 2011). Masyarakat lokal merupakan penyedia barang dan jasa
untuk kegiatan wisata. Informasi mengenai mata pencaharian, pendapatan,
kondisi perumahan dan pengeluaran masyarakat penting diketahui untuk
menganalisis dampak ekonomi kegiatan wisata bagi masyarakat.
7.1.1. Mata Pencaharian dan Jenisnya Kegiatan wisata di GSE telah memberikan dampak positif berupa peluang-
peluang bagi masyarakat sekitar untuk berusaha, terutama dalam bentuk mata
pencaharian baru bagi mereka. Dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner
dengan masyarakat didapatkan bahwa sebanyak 18 % masyarakat pada awalnya
tidak memiliki pekerjaan (menganggur) dan sebagai ibu rumah tangga (Tabel 29).
Tabel 29 Mata pencaharian masyarakat sebelum terlibat dalam sektor wisata dan jumlah jenis pekerjaan masyarakat
Karakteristik mata pencaharian Deskripsi
Asal Desa (%) Gunung Bunder 2
(n=44) Gunung Sari (n=56)
Pekerjaan sebelum terlibat dalam wisata
Warung 4,5 3,6 Ibu Rumah tangga 11,4 10,7 Dagang 15,9 17,9 Buruh bangunan 15,9 10,7 Aparat desa 4,5 0,0
Pegawai swasta 11,4 7,1 Petani 13,5 25,0 Menganggur 6,8 7,1 Lainnya 15,9 17,9
Pekerjaan setelah terlibat dalam wisata
Warung 36,4 42,9 Pengelola villa 4,5 8,9 Penyelenggara outbond 0,0 7,1
Kolektor 22,7 7,1 Pemandu 4,5 0,0
Karyawan resort 0,0 3,6 Petani 9,1 10,7 PNS 0,0 1,8 Depot sembako 0,0 1,8
94
Karakteristik mata pencaharian Deskripsi
Asal Desa (%) Gunung Bunder 2
(n=44) Gunung Sari (n=56)
Pengusaha transportasi 2,3 1,8
Penjaga villa 2,3 0,0 Pedagang buah 0,0 1,8 Guru 0,0 1,8 Lainnya 18,2 10,7 Jumlah jenis pekerjaan
1 pekerjaan 18,2 7,1 2 pekerjaan 61,4 62,5 3 pekerjaan 18,2 25,0 4 pekerjaan 0,0 3,6
> 5 pekerjaan 2,3 1,8
Perubahan mata pencaharian masyarakat sesudah adanya kegiatan wisata di
GSE, terutama pada sektor pertanian. Pada awalnya pekerjaan utama pada sektor
pertanian, tetapi setelah ada kegiatan wisata, bertani menjadi pekerjaan sampingan
sebagaimana diuraikan Ashley (2000) pariwisata memberikan kesempatan untuk
diversifikasi ekonomi tanpa mengganggu atau mengganti mata pencaharian
mereka. Masyarakat beralih pekerjaan dari sektor pertanian menjadi pedagang
cinderamata, jasa angkutan, karyawan dan tukang foto di obyek wisata. Lebih
lanjut Mbaiwa (2011) menyatakan bahwa masyarakat lokal selain dilibatkan
menjadi pekerja dalam sebuah proyek pembangunan fasilitas wisata, yaitu
program Community-Based Natural Resource Management (CBNRM), juga
menambah peluang menjadi guide bagi wisatawan. Bahkan temuan Mbaiwa
(2011) adanya proyek CBNRM telah merubah mata pencaharian tradisional
masyarakat di Delta Okavango Botswana.
Perubahan mata pencaharian pada masyarakat Gunung Bunder 2 dan
Gunung Sari bukan berarti mereka sama sekali meninggalkan pekerjaan awal
mereka, tetapi adanya kegiatan wisata memberikan peluang-peluang bagi
masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki lebih maksimal.
Sebagai contoh hasil pertanian yang biasanya mereka jual ke pasar, ada sebagian
yang dijual untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, sehingga keuntungan yang
didapatkan bisa lebih besar.
Alasan mereka beralih ke sektor wisata karena (1) dapat menghasilkan uang
setiap harinya walaupun hanya mencukupi untuk kebutuhan makan harian; (2)
mendapat akses ke dalam kawasan untuk memperoleh sumber pakan ternak,
95
mengambil sayuran seperti pakis di dalam kawasan; (3) dekat dengan tempat
tinggal, sehingga dapat melakukan beberapa jenis pekerjaan; (4) berkumpul
dengan keluarga. Beberapa masyarakat walaupun telah terlibat dalam kegiatan
wisata menyatakan bahwa kegiatan bertani dan beternak masih dilakukan.
Kegiatan wisata di GSE juga mampu memberikan kontribusi yang
siginfikan bagi masyarakat yaitu ada sumber pendapatan baru. Pekerjaan bidang
wisata ada yang menjadi sumber mata pencahariaan dan pekerjaan sampingan
untuk menambah penghasilan keluarga. Iorio dan Corsale (2010) menyatakan
kegiatan wisata bisa menjadi diversifikasi pilihan mata pencaharian,
meningkatkan mata pencaharian keluarga yang terlibat. Pariwisata menjadi
alternatif penambahan pendapatan keluarga dan memberikan kontribusi bagi
diversifikasi ekonomi keluarga di pedesaan.
Diversifikasi pilihan mata pencaharian bagi masyarakat adalah bahwa
dengan adanya kegiatan wisata masyarakat memiliki lebih dari satu pekerjaan.
Sebagian besar masyarakat baik di Desa Gunung Bunder 2 maupun Gunung Sari
memiliki dua pekerjaan. Sebagian besar masyarakat memiliki dua sampai tiga
pekerjaan sebanyak 62%, sedangkan yang memiliki pekerjaan tunggal hanya 12%.
Hasil yang cukup fantastik adalah ada 4 % masyarakat dari masing-masing desa
yang memiliki sumber penghasilan lebih dari empat. Empat pekerjaan sekaligus
ini memerlukan pengaturan waktu yang baik, walaupun dibantu oleh anggota
keluarga yang lainnya. Pekerjaan masyarakat dari Gunung Sari yaitu pengrajin
bambu (meubel, boboko (tempat nasi) dan bentuk-bentuk anyaman bambu
lainnya), menjaga villa, pengusaha bumi perkemahan sekaligus menyewakan alat-
alat untuk berkemah, pengusaha parkir, warung dan bertani. Masyarakat dari
Gunung Bunder 2 memiliki jenis pekerjaan mengelola villa (lebih dari 2 villa),
menjaga villa (lebih dari 3 villa), warung dan menerima cattering dari pengunjung
villa, memandu/guiding, mengisi snack RINDAM jaya (TNI Angkatan Darat).
Peluang-peluang kegiatan wisata dimanfaatkan oleh masyarakat, untuk
meningkatkan pendapatannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Siahaan (2008) dan
Nugraheni (2002) kegiatan wisata di GSE menjadi peluang bagi masyarakat untuk
membuka kios, parkir, berdagang dan lainnya. Semua yang memiliki warung
(100%) menerima cattering bagi pengunjung yang menginap baik berkemah
96
maupun tinggal di villa. Sebagian pemilik warung juga memiliki pondokan/
homestay untuk disewakan kepada pengunjung. Pondokan yang dimiliki ada
yang menyatu dengan warung dan ada juga yang terpisah. Pada hari libur seperti
tahun baru dan lebaran semua pondokan dan villa yang berada di kedua desa terisi
oleh pengunjung.
Berbeda dengan masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata (Tabel 30),
jenis mata pencaharian (8 mata pencaharian) yang dimiliki lebih sedikit
dibandingkan dengan mereka yang terlibat (14 mata pencaharian) dalam wisata
(Tabel 29). Hasil uji lanjut terhadap jumlah pekerjaan (Lampiran 10) ada
perbedaan yang sangat nyata. Sektor wisata mampu memberikan peluang-
peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar kawasan dan mampu menjadi sektor
penunjang perekonomian masyarakat. Artinya peluang-peluang pekerjaan yang
tercipta dari kegiatan wisata memberikan peluang kekenyalan (resilience) dari
sistem mata pencaharian masyarakat yang terlibat wisata (Hardjanto, pers com
2012). Darusman et al. (2001) menyatakan resilience suatu kemampuan untuk
mengakomodasi terhadap tekanan-tekanan atau gangguan yang tiba-tiba.
Sumber mata pencaharian masyarakat yang tidak terlibat hanya berkisar 2-3
jumlah pekerjaan, relatif lebih sedikit dari masyarakat yang terlibat wisata yaitu 2-
6 pekerjaan. Variasi jenis pekerjaan masyarakat yang tidak terlibat di kedua desa
pun masih berkisar pada sektor pertanian baik sebagai buruh tani maupun petani
pemilik lahan. Selain itu jenis mata pencaharian seperti buruh bangunan, bekerja
di sektor swasta, bermigrasi ke Jakarta, berdagang dan variasinya.
Tabel 30 Jumlah dan jenis mata pencaharian masyarakat yang tidak terlibat dalam sektor wisata
Karakteristik mata pencaharian Deskripsi Tidak terlibat dalam wisata (n=30)
Jumlah Persen Pekerjaan Buruh bangunan 1 3,3
Buruh tani 6 20,0 Guru 1 3,3 Kriditan 1 3,3 Pedangang 9 30,0
Pedangan sayur 1 3,3 Petani 9 30,0 Swasta 2 6,7
Jumlah jenis 1 pekerjaan 2 6,7 2 pekerjaan 23 76,7
3 pekerjaan 5 16,6
97
Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa antara masyarakat yang
terlibat dalam wisata (Tabel 29) dan yang tidak terlibat dalam wisata (Tabel 30)
memiliki kesamaan yaitu jumlah pekerjaan yang memiliki proporsi terbesar pada
dua pekerjaan. Baik masyarakat yang terlibat maupun tidak terlibat memiliki
kecenderungan yang sama yaitu anggota keluarga merupakan tenaga kerja dalam
rumah tangga tersebut.
7.1.2. Pendapatan Masyarakat
Mata pencaharian utama dan sampingan masyarakat telah menghasilkan
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka,
bahkan ada beberapa masyarakat yang memiliki pendapatan yang besar (lebih dari
cukup) untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pendapatan keluarga reponden
dikedua desa didominasi pada kisaran 1 – 2,5 juta untuk mereka yang terlibat
dalam wisata (Tabel 31). Sedangkan masyarakat yang tidak terlibat didominasi
pada kisaran 2,5 – 4 juta. Uji lanjut untuk uji beda pendapatan antara masyarakat
Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari (Lampiran 8) ada perbedaan yang nyata
untuk total pendapatan keluarga dan pendapatan dari sektor wisata. Rata-rata
pendapatan masyarakat yang terlibat wisata dari Desa Gunung Sari lebih tinggi
dibandingkan Desa Gunung Bunder 2. Kegiatan wisata bagi masyarakat Desa
Gunung Sari mampu memberikan peluang pendapatan yang lebih besar
dibandingkan masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Tabel 31 Pendapatan keluarga masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat wisata
Karakteristik pendapatan Deskripsi
Asal Desa Tidak terlibat wisata Gunung Bunder
2 (n=44) Gunung Sari
(n=56) Pendapatan keluarga (%)
< 1 juta 6,8 1,8 - 1-2,5 juta 63,7 44,6 36,7 2,5 -4 juta 25,0 35,7 53,3 > 4 juta 4,5 17,9 10,0 Rata-rata (Rp) 2.323.900,00 2.941.400,00 2.888.000,00
Pendapatan per kapita (Rp/bulan)
Rata-rata 583.640,00 703.880,00 645.620,00
Persentase Pendapatan dari wisata (%)
Rendah (> 30%) 9,1 7,1 - Sedang (31 -70%) 62,4 42,9 - Tinggi (> 70%) 29,5 50,0 -
Pendapatan dari Wisata Rata-rata (Rp) 1.313.600,00 1.995.000,00 -
Pendapatan luar wisata Rata-rata (RP) 1.010.200,00 946.400,00 -
98
Pendapatan total keluarga di dapatkan dari pendapatan dari sektor wisata
dan non wisata. Pendapatan keluarga masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan
Gunung Sari berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata
memberikan pendapatan yang berbeda bagi masyarakat Desa Gunung Sari dan
Gunung Bunder 2, dimana pendapatan total keluarga masyarakat yang terlibat
wisata dari Desa Gunung Sari lebih tinggi dibanding dari Desa Gunung Bunder 2.
Hasil-hasil penelitian lain juga menyebutkan hal yang serupa (Doro 1994;
Rachmawati 2010) bahwa pendapatan total keluarga yang terlibat wisata dari
Desa Gunung Sari memiliki kecenderungan lebih besar dipengaruhi oleh kegiatan
wisata yang ada di GSE dibandingkan masyarakat dari Desa Gunung Bunder 2.
Kegiatan wisata di GSE memberikan kontribusi rata-rata pendapatan 62%
dari total pendapatan bagi kedua desa. Bagi masyarakat Desa Gunung Sari
memberikan kontribusi rata-rata 66.24% dari total pendapatan rumah tangga lebih
besar dibandingkan Desa Gunung Bunder 2 yaitu 57,8%. Uji beda prosentase
pendapatan juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Kegiatan wisata
memberikan kontribusi pendapatan yang berbeda bagi kedua desa. Pendapatan
dari sektor wisata bagi masyarakat Desa Gunung Sari memiliki kontribusi yang
besar dibandingkan bagi Desa Gunung Bunder 2. Hal ini memberikan gambaran
bahwa masyarakat Desa Gunung Sari memiliki ketergantungan dari sektor wisata
yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Kamanga et
al. (2009) menyatakan bahwa prosentase pendapatan lebih besar atau sama
dengan 53% dari total pendapatan rumah tangga menunjukkan ketergantungan
yang tinggi pada sektor yang diamati.
Usaha-usaha yang memiiki ketergantungan tinggi diantaranya adalah
warung wisata, pengelola villa, penyelenggara outbond dan kolektor. Pekerja
warung ini memang strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar pengunjung yaitu
makan dan minum setelah melakukan kegiatan di lokasi wisata. Di desa Gunung
Sari masyarakat dengan kategori tinggi memiliki jumlah yang lebih besar
dibandingkan Desa Gunung Bunder 2. Masyarakat dari Gunung Sari sebagian
besar (terutama masyarakat Lokapurna), sebagian besar aktif dalam kegiatan
wisata di GSE dan memiliki lebih dari satu sumber pendapatan dari sektor wisata.
99
Bagi masyarakat yang tidak terlibat alam wisata, pendapatannya lebih tinggi
dibandingkan pendapatan yang terlibat dalam wisata. Hal ini senada dengan
pernyataan masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat, wisata menghasilkan
pendapatan yang besar terutama pada sabtu-minggu atau hari libur nasional saja,
sedangkan sektor di luar wisata tidak dipengaruhi oleh jumlah hari libur dan
pengunjung. Hasil uji lanjut (Lampiran 9) total pendapatan masyarakat yang tidak
terlibat berbeda nyata dengan masyarakat yang terlibat, sedangkan untuk
pendapatan perkapitanya tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan ada
perbedaan yang nyata antara total pendapatan masyarakat yang terlibat dan tidak
terlibat. Ada perbedaan yang nyata antara distribusi pendapatan masyarakat yang
terlibat dengan tidak terlibat. Artinya bahwa keterlibatan dalam wisata belum bisa
menjamin untuk menghasilkan pendapatan yang besar dan wisata bagi kedua desa
bukan merupakan sektor utama. Sektor utama dikedua desa adalah pertanian
(masyarakat yang tidak terlibat menggeluti bidang pertanian), namun sektor
wisata merupakan sektor penunjang penting dalam perekonomian kedua desa.
Sehingga meskipun belum mampu meninggkatkan pendapatan, namun sektor
wisata masih tetap dijalankan oleh masyarakat karena masih menguntungkan.
Masyarakat yang terlibat wisata, seharusnya meningkatkan kemampuan dan
keterampilan mereka untuk mengelola potensi yang ada, sehingga peluang-
peluang usaha wisata dapat ditangkap dan dimanfaatkan secara optimal. Rata-rata
pendapatan masyarakat yang tidak terlibat sebesar Rp 2.888.000,00/bulan lebih
tinggi dibandingkan masyarakat yang terlibat wisata sebesar Rp
2.632.650,00/bulan, ada selisih pendapatan yang cukup besar yaitu Rp
255.350,00/bulan.
Meskipun ada perbedaaan total pendapatan yang nyata antara masyarakat
yang terlibat dan tidak terlibat, tetapi dari segi pendapatan per kapita per bulan
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Pendapatan per kapita per
bulan rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Pada pembahasan
sebelumnya (sub bab 5.1) disebutkan bahwa jumlah anggota keluarga masyarakat
yang tidak terlibat lebih besar, sehingga pendapatan perkapitanya tidak berbeda
nyata. Pendapatan per kapita per bulan masyarakat yang terlibat sebesar Rp
650.900,00 lebih besar dibandingkan yang tidak terlibat sebesar Rp 645.620,00
100
(Tabel 31) hanya selisih Rp 5.280,00 per bulan. Hal ini diduga bahwa sektor
wisata baru mampu memberikan peluang-peluang pendapatan per kapita per bulan
bagi masyarakat sekitar kawasan dan mampu menjadi sektor penunjang
perekonomian masyarakat, tetapi belum bisa meningkatkan pendapatan per kapita
per bulan. Wisata bagi kedua desa hanya memberikan peluang resiliensi yang
lebih besar bagi pendapatan perkapitan perbulan masyarakat. Artinya sektor
wisata mempunyai hubungan positif terhadap kekenyalan/resiliensi pendapatan
per kapita Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari.
Baik masyarakat yang terlibat maupun yang tidak terlibat memiliki strategi
untuk mendapatkan penghasilan/pendapatan keluarga. Bagi masyarakat yang
terlibat, lebih bisa melihat peluang-peluang mata pencaharian dari sektor wisata
yang bisa meningkatkan penghasilan. Masyarakat yang terlibat wisata
memaksimalkan peek season untuk menghasilkan pendapatan dan di saat low
season mereka mencari sumber pendapatan lain di luar sektor wisata. Sedangkan
bagi masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata, walaupun sumber mata
pencaharian mereka lebih sedikit tetapi masyarakat masih bisa mendapatkan
pendapatan dari pekerjaan yang digelutinya.
Kontribusi sektor wisata terhadap pendapatan total keluarga bervariasi
dengan interval 3,56 – 100% artinya ada masyarakat yang memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap sektor wisata sampai masyarakat yang
pendapatan tidak dipengaruhi oleh sektor ini. Hasil uji lanjut (Lampiran 8) tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kontribusi wisata bagi masyarakat
Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Artinya kegiatan wisata bagi
masyarakat yang terlibat dalam wisata memberikan kontribusi yang sama dan
sama-sama memiliki ketergantungan yang tinggi akan sektor wisata. Meskipun
pendapatan dari sektor wisata memang tidak menentu tergantung dengan jumlah
pengunjung, namun secara umum masyarakat menyatakan penghasilan mereka
akan meningkat pada sabtu-minggu dan hari libur nasional.
Pendapatan masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari dari
kegiatan wisata secara langsung dipengaruhi oleh jumlah pengunjung yang datang
ke dalam kawasan GSE. Berdasarakan data kunjungan empat tahun terakhir
diperoleh gambaran yang cukup nyata, adanya fluktuasi yang dalam satu tahun.
101
Bulan Desember dan hari lebaran setiap tahunnya akan mengalami kenaikan
jumlah pengunjung (Gambar 4)
Gambar 4 Jumlah pengunjung ke kawasan Gunung Salak Endah
(Sumber: Disparbud Bogor, 2011)
7.1.3. Kondisi Perumahan dan Aset yang Dimiliki
Rumah, saat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung tetapi juga
bagian dari gaya hidup dan status, simbol bahkan menunjukkan identitas
pemiliknya. Secara umum, kualitas rumah tinggal yang ditentukan oleh fisik
rumah menunjukkan tingkat kesejahteraan. Rumah dikatakan layak sebagai
bangunan tempat tinggal apabila rumah tersebut telah memiliki dinding, atap dan
lantai (BPS 2004). Kondisi perumahan masyarakat sebelum dan sesudah
berusaha di sektor wisata dikedua desa dapat dilihat pada Tabel 32. Kegiatan
wisata belum memberikan perubahan yang nyata terhadap kondisi dan sarana
prasarana perumahan respoden.
Uji beda nyata terhadap asset yang dimiliki oleh masyarakat yang terlibat
dalam wisata (Lampiran 11) ada perbedaan yang nyata terhadap aset yang dimiliki
oleh masyarakat desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya kegiatan wisata bagi masyarakat Gunung Sari telah mampu
memberikan peluang-peluang untuk meningkatkan sarana prasarana perumahan
Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
2007 3,175 325 1,025 1,225 1,750 1,550 1,500 1,675 1,350 6,100 1,525 7,475
2008 650 1,175 1,775 1,500 1,500 2,050 4,150 3,500 3,000 11,250 500 7,250
2009 4,500 350 3,650 2,400 2,500 2,500 3,100 1,750 10,750 1,800 1,500 2,408
2010 4,150 4,150 1,600 2,250 3,750 3,000 4,800 1,725 15,000 1,450 3,450 5,250
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
2007 2008 2009 2010
102
yang dimilikinya, terlihat dari nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 54,65
dibandingkan masyarakat Gunung Bunder 2 sebesar 45,22. Namun bagi
masyarakat Gunung Bunder keterlibatan dalam kegiatan wisata belum mampu
untuk meningkatkan aset/sarana prasarana perumahan yang dimiliki. Kondisi
perumahan antara masyarakat yang berasal dari Desa Gunung Bunder 2 dan
Gunung Sari tidak ada perbedaan yang nyata. Distribusi kondisi perumahan
masyarakat Desa Gunung Bunder 2 identik dengan Desa Gunung Sari. Artinya
kegiatan wisata bagi masyarakat dikedua desa memberikan peluang yang sama
akan kondisi perumahan yang dimiliki.
Tabel 32 Kondisi perumahan dan sarana prasarana yang dimiliki masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat wisata
Karakteristik perumahan Deskripsi
Terlibat wisata (%) Tidak terlibat dalam wisata (%) (n=30)
Gunung Bunder 2 (n=44)
Gunung Sari (n=56)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Kondisi perumahan (unit)
Tidak permanen
4 4 4 4 7
Semi permanen
46 41 48 46 40
Permanen 50 55 48 50 53 Sarana prasarana perumahan (unit)
Kurang lengkap
14 9 7 2 10
Semi lengkap
77 80 70 73 63
Lengkap 9 11 23 24 27
Rumah-rumah yang dimiliki oleh masyarakat baik yang terlibat maupun
yang tidak terlibat dalam wisata didomonasi oleh rumah permanen. Rumah
permanen memiliki ciri-ciri dinding dari tembok, atap genteng, lantai keramik
dengan luas rumah berkisar 50 -100 m2 dan kepemilikan sendiri, walaupun ada
1% masyarakat yang masih mengontrak dan 3 % yang ikut menumpang di rumah
orangtua. Kondisi perumahan masyarakat sebelum dan sesudah terlibat dalam
kegiatan wisata mengalami sedikit perubahan. Namun secara umum kondisi
perumahan masyarakat yang terlibat dalam wisata dan tidak terlibat wisata tidak
ada perbedaan yang signifikan. Hal ini terbukti dari uji beda nyata terhadap
kondisi perumahan dan aset yang dimiliki oleh masyarakat yang terlibat dan tidak
terlibat (Lampiran 12). Keterlibatan dalam kegiatan wisata di GSE belum mampu
memberikan kontribusi yang nyata untuk memiliki aset/sarana prasarana rumah
dan kondisi perumahan yang lebih baik dan lengkap. Artinya kondisi perumahan
103
dan sarana prasarana perumahan yang dimiliki masyarakat yang terlibat dan tidak
terlibat sama/identik.
Selain rumah, sarana prasarana yang dimiliki dilihat dari kelengkapan yaitu
listrik, televisi, Hand Phone, pekarangan, MCK, sumber air bersih dan
penggunaan bahan bakar yang dimiliki oleh masyarakat. Pada Tabel 33, terlihat
bahwa sarana prasarana rumah dengan kriteria lengkap dari masyarakat yang tidak
terlibat wisata memiliki prosentase yang lebih besar (27%) dibandingkan
masyarakat yang terlibat baik dari Gunung Bunder 2 (11%) maupun dari Gunung
Sari (24%).
Sarana prasarana perumahan yang dimiliki masyarakat didominasi dalam
kategori semi lengkap. Perubahan sarana prasarana yang dimiliki oleh
masyarakat, lebih dikarenakan adanya tuntutan dalam bisnis mereka, sehingga
mereka memiliki peralatan lengkap seperti rice cooker, kulkas untuk menyimpan
sayur dan keperluan lainnya, kompor gas dengan beberapa tabung, hand pone
untuk komunikasi/reservasi dengan pengunjung. Ada beberapa masyarakat yang
masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar dan mengambilnya dari
hutan. Penggunakan kayu bakar, merupakan strategi untuk menekan pengeluaran
masyarakat. Selain itu juga masyarakat menyatakan bahwa karena mereka tidak
memiliki tabung ganda, sehingga saat gas habis sedangkan untuk membeli gas
cukup jauh sehingga mereka memillih menggunakan kayu bakar. Penggunaan
kayu bakar juga dipilih karena menurut beberapa masyarakat lebih aman dan
masih tersedia didesanya.
Kayu bakar diperoleh dari hutan maupun pekarangan/kebun masyarakat.
Pengambilan ranting pohon, batang pohon, bekas-bekas pembangunan dan bambu
hampir rutin dicari oleh masyarakat. Kegiatan ini dilakukan pada waktu luang
mereka, setelah melakukan kegiatan rutin harian. Masyarakat yang tidak terlibat,
karena letaknya yang relatif lebih jauh dari kawasan GSE mengambil dari
pekarangan/kebun mereka atau dengan cara membeli dari warga lain. Sedangkan
bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata karena letaknya di dalam dan
atau dekat dengan kawasan, mereka biasanya mengambilnya dari dalam hutan.
104
7.1.4. Pengeluaran Masyarakat Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat
memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Pada dasarnya, perubahan
pola pengeluaran merupakan petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Semakin tinggi pendapatan, maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran
untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan (BPS 2004). Pergeseran pola
pengeluaran terjadi karena elastisitas terhadap makanan pada umumnya rendah,
sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya
tinggi. Jika tingkat konsumsi makanan sudah mencapai titik jenuh, maka pendapatan
akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan bahan makanan atau ditabung.
Tingkat konsumsi keluarga/pengeluaran akan dipengaruhi oleh jumlah
anggota keluarga, usia anggota keluarga. Pengeluaran masyarakat yang terlibat
wisata bervariasi dari Rp 620.000,00 – 6.210.000,00 rata-rata pengeluaran
masyarakat Rp 2.316.800,00 dengan rincian pengeluaran masyarakat dikedua desa
dapat dilihat pada Tabel 33. Sedangkan pengeluaran masyarakat yang tidak
terlibat bervariasi dari Rp 1.100.00,00 – 5.200.000,00 dengan rata-rata Rp
2.806.700,00. Pengeluaran masyarakat yang tidak terlibat lebih tinggi
dibandingkan masyarakat yang terlibat wisata.
Tabel 33 Pengeluaran masyarakat yang tidak terlibat dan terlibat wisata
Karakteristik pendapatan Deskripsi
Terlibat wisata Tidak terlibat wisata (n=30) Gunung Bunder 2
(n=44) Gunung Sari
(n=56) Pegeluaran keluarga (%)
< 1 juta 6,8 3,6 - 1-2.5 juta 72,8 58,9 40,0 2.5 -4 juta 15,9 26,8 50,0 > 4 juta 4,5 10,7 10,0 Perkapita perbulan (Rp)
518.210,00 610.150 623.890,00
Rata-rata (Rp) 2.062.900,00 2.516.300,00 2.806.700,00
Pada penelitian ini, jumlah pengeluaran rumah tangga dihitung berdasarkan
besarnya pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh
anggota keluarga per bulan. Pengeluaran terbesar dari masyarakat adalah untuk
kebutuhan makan, disusul biaya transportasi, biaya pendidikan, biaya lainnya dan
biaya sosial. Masyarakat menyatakan bahwa kebutuhan makan, hampir semua
dibeli baik dari pasar maupun pedagang sayur keliling. Hanya beberapa
masyarakat yang menyatakan kadang-kadang mengambil sayuran dari kebun atau
105
hutan. Biaya lain yang dinyatakan oleh masyarakat diantaranya adalah kredit
kendaraan bermotor, membayar kredit pinjaman kepada bank keliling.
Pengeluaran keluarga dari Desa Gunung Sari lebih besar dibandingkan
pengeluaran keluarga Desa Gunung Bunder 2. Hasil uji beda pengeluaran
dikedua desa (Lampiran 13) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara
rata-rata pengeluaran masyarakat Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari, demikian
pula dengan pengeluaran perkapita dikedua desa. Keterlibatan dalam wisata bagi
kedua desa memberikan pengaruh terhadap pengeluaran masyarakat Desa Gunung
Sari dan Gunung Bunder 2. Ada perbedaan distribusi pendapatan dan pendapatan
per kapita antara Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2. Jika dilihat dari
jumlah tanggungan rata-rata masyarakat dari Gunung Sari memiliki jumlah
tanggungan sedikit lebih besar dibandingkan Desa Gunung Bunder 2, hal ini
diduga yang menyebabkan pengelurannya menjadi lebih besar. Perbedaan
pengeluaran dikedua desa juga diduga karena jarak tempat tinggal yang cukup
jauh. Ada 52% masyarakat Desa Gunung Sari menyatakan bahwa, tempat tinggal
masyarakat yang berada di dalam kawasan TNGHS memiliki jarak lebih jauh
dibandingkan masyarakat dari Desa Gunung Bunder 2, dimana pemukiman
mereka berada di luar kawasan, sehingga membutuhkan biaya transportasi lebih
tinggi. Biaya transportasi untuk kebutuhan sekolah anak-anak maupun untuk
keperluan belanja kebutuhan usaha mereka. Selain itu sebagian besar masyarakat
Gunung Sari untuk menambah modal usahanya didapatkan dari pinjaman kepada
Bank keliling dengan setoran berkisar Rp 58.000,00 – 108.000,00/minggu.
Pengeluaran yang tinggi, menujukkan tingkat kesejahteraan keluarga, jika
pengeluaran tersebut masih lebih kecil dari pendapatan. Pengeluaran masyarakat
dari Desa Gunung Bunder 2 sebesar Rp 2.062.900,00 lebih kecil dibandingkan
dengan pendapatannya yaitu Rp 2.323.900,00. Desa Gunung Gunung Sari, juga
demikian tingkat pengeluaran mereka sebesar Rp 2.516.300,00 lebih kecil
dibandingkan dengan pendapatan Rp 2.516.300,00.
Analisis uji beda nyata antara pengeluaran masyarakat yang terlibat dengan
masyarakat yang tidak terlibat (Lampiran 14) menunjukkan ada perbedaan yang
nyata, namun tidak dengan pengeluaran perkapita. Kegiatan wisata telah
memberikan peluang total pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan masyarakat
106
yang tidak terlibat. Bagi masyarakat yang tidak terlibat, pendapatannya besar
tetapi total pengeluarannya pun besar. Selisih pendapatan dengan pengeluaran
masyarakat yang terlibat dalam wisata Rp 315.850,00 masih lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak terlibat wisata Rp 81.300,00.
Jika dilihat dari selisih pendapatan dengan pengeluaran, masyarakat yang
terlibat wisata memiliki tabungan lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
terlibat. Adanya kegiatan wisata memberikan peluang yang lebih besar untuk
menyisihkan/menabung uangnya. Hasil ini sesuai dengan alasan masyarakat yang
terlibat wisata, bahwa pendapatan mereka tergantung pada musim kunjungan
yaitu sabtu-minggu maupun libur nasional. Sehingga saat sepi uang tabungan bisa
digunakan untuk keperluan hidup mereka maupun dikumpulkan untuk menambah
modal saat ramai. Berbeda dengan masyarakat yang tidak terlibat walaupun
tabungan mereka lebih sedikit, tetapi sektor luar wisata lebih kontinyu
menghasilkan pendapatan.
7.1.5. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Masyarakat
Analisis regresi digunakan untuk tujuan peramalan, dimana dalam model
tersebut ada sebuah variabel dependent (tidak bebas) dan variabel independent
(bebas). Dalam analisis regresi, akan dikembangkan sebuah estimating equation
(persamaan regresi) yaitu suatu formula matematika yang mencari nilai vriabel
dependent dari nilai variabel independent yang diketahui (Santoso, 1999).
Regresi berganda digunakan untuk memformulasikan lebih dari satu
variabel independent. Variabel dependent yang akan diformulasikan yaitu
pendapatan perkapita perbulan dan variabel independent yang akan dimasukkan
diantaranya umur masyarakat (X1), tingkat pendidikan formal (X2), pengeluaran
perkapita perbulan (X3), jumlah mata pencaharian (X4) dan lamanya terlibat (X5).
Pendapatan dan pengeluaran per kapita perbulan diperoleh dengan membagi total
pendapatan dan pengluaran keluarga dalam satu bulan dengan jumlah anggota
keluarga. Hasil pengolahan dengan menggunakan SPSS 16.0 (secara lebih rinci
dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5) nilai rata-rata masing-masing variabel
dapat dilihat pada Tabel 34.
107
Tabel 34 Nilai rata-rata masing-masing variabel reponden yang terlibat dan tidak terlibat wisata
No. Variabel Rata-rata Std. Deviasi
Terlibat wisata 1 Pendapatan perkapita perbulan (Rp) 650.900,00 358.860,00 2 Umur (tahun) 40,96 13,36 3 Pendidikan formal 3,42 1,98 4 Pengeluaran /kapita/bulan (Rp) 557.700,00 217.404,00 5 Jumlah Pekerjaan 2,21 0,79 6 Lama terlibat 7,95 6,46 Tidak terlibat wisata 1 Pendapatan perkapita perbulan (Rp) 645.620,00 253.913 2 Umur (tahun) 48,9 11,60 3 Pendidikan formal 3,03 1,81 4 Pengeluaran /kapita/bulan (Rp) 623.890,00 233.036,00 5 Jumlah Pekerjaan 2,1 0,48
Pendidikan formal yang dikenyam oleh reponden 3,42 artinya bahwa secara
rata-rata keselurahan pendidikan mereka adalah lulus SMP (Tabel 34). Memiliki
standar deviasi yang tinggi sebesar 1,98 karena kisaran pendidikan masyarakat
dari mulai tidak tamat sekolah sampai lulusan Sarjana Strata Satu.
Hasil analisis data, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan perkapita
rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan wisata di GSE umur (X1) dan
pengeluaran perkapita perbulan (X3) ditunjukkan dengan nilai signifikan kurang
dari 0,05 (Tabel 35). Faktor umur dan pengeluaran masyarakat secara nyata
mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Sedangkan pada masyarakat yang tidak
terlibat yang berpengaruh pada pendapatan masyarakat adalah umur (X1),
pendidikan formal (X2) dan pengeluaran perkapita perbulan (X3)
Tabel 35 Hasil Analisis variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga yang terlibat dan tidak terlibat wisata
No. Model Unstandardized
Coefficients Standarized Coefficients
Beta T Sig,
Collinearity Statistics
B Std, Error Tolerance VIF Terlibat wisata 1 (Constant) -261484,52 77400,32 0,14 -3,38 0,001 2 Umur (X1) 3774,10 1503,85 0,09 2,51 0,014 0,685 1,461 3 Pendidikan
formal (X2) 17492,86 9031,02 0,83 1,94 0,056 0,860 1,163
4 Pengeluaran perkapita perbulan (X3)
1,14 0,07 0,05 16,94 0,000 0,890 1,124
108
No. Model Unstandardized
Coefficients Standarized Coefficients
Beta T Sig,
Collinearity Statistics
B Std, Error Tolerance VIF 5 Jumlah
Pekerjaan (X4)
21049,54 22063,29 0,003 0,95 0,343 0,898 1,113
6 Lama terlibat (X5)
192,03 3265,72 0,059 0,953 0,620 1,612
Tidak terlibat wisata 1 (Constant) -91241,66 28006,04 -3,258 0,003 2 Umur (X1) 906,87 411,86 0,041 2,202 0,037 0,684 1,461 3 Pendidikan
formal (X2) 6726,81 3217,30 0,048 2,091 0,047 0,461 2,168
4 Pengeluaran perkapita perbulan (X3)
1,06 ,022 0,972 48,558 0,000 0,605 1,652
5 Jumlah Pekerjaan (X4)
5447,37 8366,65 0,010 0,651 0,521 0,967 1,035
Tabel 35 menunjukkan bahwa variabel-variabel jumlah pekerjaan dan
lamanya terlibat memiliki signifikansi > 0.05 artinya kurang memberikan
berpengaruh pada pendapatan. Lamanya keterlibatan masyarakat tidak
memberikan pengaruh terhadap pendapatan pada kedua desa diduga karena dalam
usaha wisata dikedua desa masih relatif homogen. Dari fakta di lapangan
masyarakat yang terlibat, masih mengandalkan keterampilan dasar dalam
melayani pengunjung, belum nampak bahwa mereka memiliki keterampilan
maupun skill khusus dalam bidang wisata.
Nilai VIF (Variance Inflantion Factor) lebih kecil dari 5.00. maka kelima
variabel bebas yang dimasukkan dalam model tidak mempunyai persoalan
multikolinieritas dengan variabel bebas yang lainnya. Santoso (2001) menyatakan
nilai VIF dari semua variabel kurang dari 5.00 sehingga bisa diduga tidak ada
persoalan multikolinieritas (korelasi yang besar diantara variabel bebas) yang
serius.
Persamaan regresi berganda untuk menduga pendapatan perkapita perbulan
masyarakat yang terlibat dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut : Y =
-261484,52 + 3774,10 X1 + 17492,86 X2 + 1,14 X3 + 21049,54 X4 + 192,03X5.
Persamaan tersebut memiliki arti sebagai berikut adalah konstanta - 261484 berarti
jika tidak ada yang bekerja, maka rumah tangga tetap akan mengeluarkan biaya
sebesar Rp 261.484,00 per kapita; setiap penambahan umur 1 tahun akan
109
meningkatkan pendapatan sebesar Rp 3.774; setiap penambahan pendidikan
formal masyarakat satu jenjang akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 17.492;
setiap peningkatan pengeluaran sebesar Rp 1,00 akan meningkatkan pendapatan
sebesar Rp 1,14; setiap penambahan satu jenis pekerjaan akan meningkatkan
pendapatan sebesar Rp 21.049 dan setiap penambahan satu tahun keterlibatan akan
meningkatkan pendapatan sebesar Rp 192
Sedangkan persamaan pendapatan perkapita bagi masyarakat yang tidak
terlibat yaitu Y = -91241,77 + 906,87 X1 + 6726,81X2 + 1,06 X3 + 5447,37 X4.
Persamaan tersebut memiliki arti sebagai berikut adalah konstanta – 91241 berarti
jika tidak ada yang bekerja, maka rumah tangga tetap akan mengeluarkan biaya
sebesar Rp 91.241,00 per kapita; setiap penambahan umur 1 tahun dari masyarakat
akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 906,00; setiap penambahan pendidikan
formal masyarakat satu jenjang akan meningkatkan pendapatan sebesar
Rp 6.726,00; setiap peningkatan pengeluaran sebesar Rp 1,00 akan meningkatkan
pendapatan sebesar Rp 1,06; setiap penambahan satu jenis pekerjaan akan
meningkatkan pendapatan sebesar Rp 5.447,00.
Angka korelasi berhubungan dengan ada tidaknya dan erat tidaknya
hubungan variabel dependent dengan variabel independent. Santoso (2001)
menyatakan bahwa angka korelasi berkisar pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali)
dan 1 (korelasi sempurna). Sebenarnya tidak ada ketentuan tepat mengenai
apakah angka korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang erat atau
lemah. Namun bisa dijadikan pedoman bahwa angka korelasi > 0.5 menunjukkan
korelasi yang erat/cukup kuat dan < 0.5 korelasi lemah.
Besarnya hubungan antar variabel pendapatan perkapita pada masyarakat
yang terlibat dengan variabel bebas pengeluaran perkapita (X3) memiliki
hubungan yang kuat dengan angka korelasi sebesar 0,878 (Tabel 36). Variabel
umur, pendidikan formal dan jumlah pekerjaan memiliki hubungan yang kurang
kuat, sedangkan lamanya terlibat memiliki korelasi yang paling kecil. Korelasi
yang kuat variabel pengeluaran menandakan adanya multikolinieritas, atau ada
korelasi dengan variabel pendapatan. Signifikasi menunjukkan angka dibawah
0.05 berarti memiliki signifikasi yang tinggi yaitu pendidikan formal, pengeluaran
perkapita perbulan dan jumlah pekerjaan masyarakat.
110
Tabel 36 Korelasi antar variabel dan nilai korelasi dari persamaan regresi masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat wisata
Pendapatan perkapita perbulan
Pendapatan kapita bulan Umur
pendidikan formal
Pengeluaran kapita bulan
Jumlah Pekerjaan
Lama terlibat
Terlibat wisata Korelasi Pearson 1,000 0,203 0,298 0,878 0,222 0,067 Sig. (1-tailed) 0,022 0,001 0,000 0,013 0,255 R = 0,893 R2 = 0,798 R2 adj = 0,787 Tidak terlibat wisata Korelasi Pearson 1,000 -0,099 0,601 0,996 0,107 Sig. (1-tailed) 0,301 0,000 0,000 0,287
R = 0,997 R2 = 0,994 R2 adj = 0,993
Besarnya hubungan antar variabel pendapatan perkapita pada masyarakat
yang tidak terlibat dengan variabel bebas pengeluaran perkapita (X3) memiliki
hubungan yang kuat dengan angka korelasi sebesar 0,996 dan tingkat pendidikan
(X2) formal yang dikenyam respoden dengan angka korelasi 0,601 (Tabel 36).
Variabel umur, dan jumlah pekerjaan memiliki hubungan yang kurang kuat.
Korelasi yang kuat variabel pengeluaran menandakan adanya multikolinieritas,
atau ada korelasi dengan variabel pendapatan. Signifikasi menunjukkan angka
dibawah 0.05 berarti memiliki signifikasi yang tinggi yaitu umur, pendidikan
formal, dan pengeluaran perkapita perbulan.
Semakin tinggi R2 yang disesuaikan akan semakin baik bagi model regresi,
karena variabel bebas bisa menjelaskan variabel tidak bebas lebih besar. Artinya
pendapatan perkapita perbulan masyarakat yang terlibat wisata bisa dijelaskan
oleh variabel pengeluaran dan umur. Memiliki angka R2 0,798 artinya 79.8%
pendapatan perkapita perbulan masyarakat bisa dijelaskan oleh variabel umur,
pendidikan formal, pengeluaran perkapita perbulan, jumlah pekerjaan, lamanya
terlibat dan sisanya sebesar 20,2% disebabkan oleh sebab-sebab lain. Sedangkan
pada masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata memiliki R2 0,994 artinya
99,4% pendapatan perkapita per bulan masyarakat bisa dijelaskan oleh variabel
umur, pendidikan formal, pengeluaran perkapita perbulan, jumlah pekerjaan dan
sisanya sebesar 0,6% disebabkan sebab-sebab lain.
Tingkat signifikansi model lebih lanjut harus dilihat dari uji ANOVA atau F
test, didapat F hitung dari model adalah 44,187 dengan tingkat signifikansi 0,000
(Tabel 37). Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka model
regresi bisa dipakai untuk memprediksi pendapatan perkapita perbulan. Dapat
111
dikatakan bahwa umur, pendidikan formal, pengeluaran, jumlah pekerjaan dan
lamanya terlibat secara bersama-sama berpengaruh pada pendapatan perkapita
perbulan. Demikian pula untuk masyarakat yang tidak terlibat bahwa umur,
pendidikan formal, pengeluaran dan jumlah pekerjaan secara bersama-sama
berpengaruh pada pendapatan perkapita perbulan.
Tabel 37 Uji ANOVA dari model regresi No. Model Jumlah
kuadrat Df Rata-rata kuadrat F Sig.
Terlibat wisata 1 Regresi 1,02 E13 5 2,04 E12 74,348 0,000a 2 Sisaan 2,57 E12 94 2,74 E10 3 Total 1,27 E13 99 Tidak terlibat wisata 1 Regresi 1,858 E12 4 4,646 E11 1,025E3 0,000b 2 Sisaan 1,133 E10 25 4,533 E8 3 Total 1,870 E12 29 a Predictors: (Constant), Jumlah Pekerjaan, pendidikan formal, Umur, pengeluaran perkapita, lamanya terlibat b Predictors: (Constant), Jumlah Pekerjaan, pendidikan formal, Umur, pengeluaran perkapita
7.2. Dampak Ekonomi bagi Pemerintah
7.2.1. Pendapatan Desa
Desa Gunung Sari mengeluarkan Perdes untuk memungut tiket masuk obyek
wisata, berdasarakan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, Perda Kab. Bogor No. 29 tahun 2004 tentang Pengaturan Desa
dan Peraturan Desa Gunung Sari No.1 tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa sebesar Rp 1000,00. Adanya kegiatan wisata di GSE
memberikan pemasukan keuangan kas desa yang berasal dari karcis masuk yang
dipungut dari pintu masuk “PEMDA Kabupaten Bogor”. Data pengunjung pada
tahun 2010 dan 2011 sampai bulan Mei ditunjukkan pada Tabel 38.
Tabel 38 Pemasukan kas Desa Gunung Sari dari wisata
Bulan Tahun 2010 Tahun 2011
pengunjung (orang) Pemasukan (Rp) pengunjung
(orang) Pemasukan (Rp)
Januari 4.150 4.150.000,00 5.900 5.900.000,00 Februari 1.400 1.400.000,00 5.100 5.100.000,00 Maret 1.600 1.600.000,00 5.400 5.400.000,00 April 2.250 2.250.000,00 4.800 4.800.000,00 Mei 3.725 3.725.000,00 8.700 8.700.000,00 Juni 3.000 3.000.000,00
Juli 4.800 4.800.000,00
112
Bulan Tahun 2010 Tahun 2011
pengunjung (orang) Pemasukan (Rp) pengunjung
(orang) Pemasukan (Rp)
Agustus 1.725 1.725.000,00 September 15.000 15.000.000,00 Oktober 1.450 1.450.000,00 November 3.450 3.450.000,00 Desember 5.250 5.250.000,00 rata-rata 3.983 3.983.000,00 Total 47.800 47.800.000,00
29.900.000,00 Sumber : Disbudpar Kab. Bogor, 2010 dan 2011 data diolah.
Desa Gunung Sari setiap bulannya mendapat pemasukan rata-rata sebesar
Rp 3.983.333,00 atau Rp 47.800.000,00 selama tahun 2010 dari pengunjung.
Uang tersebut disetorkan melalui Bendahara Desa setiap awal bulan berikutnya.
Uang tersebut digunakan untuk membangun dan atau memperbaiki sarana
prasarana, menggaji aparat desa dan keperluan lainnya. Selain dari pengunjung
pada tingkat RT/RW juga terdapat pungutan dari pemilik villa sebesar Rp
50.000/bulan. Jika di RW 08 dan 09 Desa Gunung Sari terdapat 140 orang
pemilik villa (Survey LVRI 2009) maka akan diperoleh uang sebesar Rp
7.000.000,00/bulan yang masuk ke kas RW.
Tahun 2011 jumlah pengunjung meningkat, yang berarti memberikan
kontribusi yang lebih besar setiap bulannya bagi pemerintah desa Gunung Sari.
Selama lima bulan memberikan kontribusi sebesar Rp 29.900.000,00. Kawasan
GSE memberikan dampak ekonomi berupa pendapatan Desa Gunung Sari
meningkat dari tahun ke tahunnya. Pemasukan kas desa tergantung pada jumlah
pengunjung ke kawasan.
Desa Gunung Bunder 2, berdasarakan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Perda Kab. Bogor No. 29 tahun 2004
tentang Pengaturan Desa dan Perdes No. 1 tahun 2010 tentang APBD
mengeluarkan tiket masuk menuju kawasan sebesar Rp 3.500,00/pengunjung
dengan pembagian (1) Rp 600,00/pengunjung masuk ke kas desa melalui
bendahara desa; (2) Muspika Rp 800.000,00 – 1.000.000,00/bulan untuk
diserahkan kepada Koramil, Polsek Cubungbulan dan Kecamatan Pamijahan dan
(3) KOMPEPAR desa Gunung Bunder 2 yang beranggotakan 16 orang.
Pemasukan Kas Desa Gunung Bunder 2 dari wisata dapat dilihat pada Tabel 39.
113
Tabel 39 Pemasukan kas Desa Gunung Bunder 2 dari wisata
Bulan Tahun 2010 Tahun 2011
pengunjung (orang) Pemasukan (Rp) pengunjung
(orang) Pemasukan (Rp)
November 3.596 2.157.600,00 Desember 6.604 3.962.400,00 Januari 6.988 4.192.800,00
Februari 4.029 2.417.400,00 Maret 2.719 1.631.400,00 April 3.272 1.963.200,00 Mei 3.111 1.866.600,00 Total 4.120.000,00
12.071.400,00
Sumber data BTNGHS, 2010 dan 2011 data diolah
7.2.2. Pendapatan Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor telah memiliki Rencana Induk Pengembangan Parwisata
Daerah (RIPPDA) yang disusun pada tahun 2005. RIPPDA tersebut telah
membagi perwilayahan pariwisata di Kabupaten Bogor dalam 3 zona inti dan 5
zona pendukung. Kawasan GSE masuk dalam zona inti dan oleh Kabupaten
Bogor ditetapkan sebagai puncak kedua. Berdasarakan Perda Kabupaten Bogor
No. 1 tahun 2008 tanggal 18 Januari 2008, setiap pengunjung dikenakan biaya
masuk ke kawasan wisata dan obyek wisata yang dikelola oleh Pemda Kabupaten
Bogor dengan tarif yang berbeda dari setiap obyek. Dari kawasan GSE
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2010 yang masuk ke kas daerah
berdasarkan obyek seperti tabel dibawah ini:
Tabel 40 PAD Kab Bogor kegiatan wisata di GSE pada tahun 2010 Bulan
nama obyek wisata (RpP jumlah
Pintu Masuk Curug Cigamea Curug Ngumpet Air Panas Curug Seribu
Januari 8.300.000,00 6.900.000,00 1.600.000,00 5.600.000.00 2.400.000,00 24.800.000,00 Februari 2.800.000,00 2.950.000,00 400.000,00 1.600.000.00 200.000,00 7.950.000,00 Maret 3.200.000,00 2.350.000,00 900.000,00 2.200.000.00 950.000,00 9.600.000,00 April 4.500.000,00 3.000.000,00 800.000,00 2.200.000.00 1.150.000,00 11.650.000,00 Mei 7.450.000,00 3.650.000,00 1.150.000,00 2.900.000.00 1.350.000,00 16.500.000,00 Juni 6.000.000,00 2.350.000,00 1.000.000,00 1.850.000.00 1.500.000,00 12.700.000,00 Juli 9.600.000,00 5.250.000,00 1.600.000,00 5.000.000.00 1.550.000,00 23.000.000,00 Agustus 3.450.000,00 1.500.000,00 750.000,00 1.200.000.00 550.000,00 7.450.000,00 September 30.000.000,00 26.550.000,00 6.950.000,00 26.050.000.00 8.000.000,00 97.550.000,00 Oktober 2.900.000,00 3.400.000,00 1.300.000,00 3.550.000.00 1.350.000,00 12.500.000,00 November 6.900.000,00 4.000.000,00 1.400.000,00 3.800.000.00 1.000.000,00 17.100.000,00 Desember 10.500.000,00 9.000.00000 5.200.000,00 7.770.000.00 5.100.000,00 37.570.000,00 Rata-rata 7.966.666,00 5.908.333,00 1.920.833,00 5.310.000.00 2.091.666,00 Total 103.566.666,00 76.808.333,00 24.970.833,00 69.030.000.00 7.191.666,00 278.370.000,00
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, 2010 diolah
114
Tabel diatas menunjukkan bahwa dalam satu tahun PAD terendah pada
bulan agustus sebesar Rp 7.450.000,00 yang merupakan bulan Ramadhan.
Sebagian masyarakat yang berusaha di kawasan GSE, warung-warung mereka
tutup untuk menjalankan ibadah puasa. Bulan September merupakan lebaran Idul
Fitri, PAD terbesar sepanjang tahun 2010 sebesar Rp 97.550.000,00 hampir setara
dengan empat kali PAD pada saat tahun baru yaitu bulan Januari. Pemilik
warung, homestay, pengusaha catering, pengelola villa dan usaha yang lainnya
menyatakan selama 7 – 10 hari setelah lebaran kawasan GSE ramai dikunjungi,
sedangkan jika tahun baru kawasan hanya ramai dikunjungi selama 1-2 hari saja.
Hal inilah yang menyebabkan pendapatan mereka meningakat dengan tajam pada
Hari Raya Idul Fitri.
Data-data lain menunjukkan bahwa kawasan GSE memberikan kontribusi
PAD cukup besar, tahun 2007, PAD bidang wisata dari hasil retribusi tiket masuk
obyek se Kabupaten Bogor sebesar Rp 179.650.000,00 (Disbudpar, 2008).
Kawasan GSE pada tahun 2010 menyumbang PAD sebesar Rp 278.370.000,00
yang berarti kawasan ini mampu menyumbang 1,5 kali PAD bidang wisata se
Kabupaten Bogor tahun 2007.
7.2.3. Pendapatan Negara Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, membawa konsekuensi bertambahnya luasan
dan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh pengelola.
Sosialisasi tentang kawasan dan peraturan-peraturan yang berlaku baik bagi
masyarakat sekitar maupun pengunjung yang datang ke kawasan. Pengunjung
yang datang ke kawasan harus mulai diketuk kesadaran dan kepeduliannya untuk
lebih menjaga dan melestarikan kawasan. Pengunjung yang memasuki kawasan
konservasi seperti TNGHS harus membayar biaya masuk kawasan, sesuai dengan
Peraturan RI No. 59 tahun 1998 tanggal 5 Mei 1998 tentang tarif jasa jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan menetapkan biaya masuk ke kawasan konservasi bagi
wisatawan nusantara sebesar Rp 2.500,00.
Adaya tarif masuk ke kawasan konservasi, akan memberikan sumbangan
pendapatan Negara bukan pajak dari kegiatan wisata terutama di kawasan GSE di
115
TNGHS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola kawasan TNGHS,
terutama Resort Gunung Salak II, penarikan karcis PNBP di pintu masuk Gunung
Bunder 2 dan Gunung Sari dimulai sejak November 2010. Selama tujuh bulan
berjalan, kawasan ini telah memberikan kontribusi pendapatan Rp 75.797.500,00 ke
kas Negara (Tabel 41)
Tabel 41 Pendapatan yang diterima Negara dari kegiatan wisata di GSE
Bulan Nov-Des Tahun 2010 dan Jan-Mei 2011 pengunjung (orang) Pemasukan (Rp)
November 3.596 8.990.000,00 Desember 6.604 16.510.000,00 Januari 6.988 17.470.000,00 Februari 4.029 10.072.500,00 Maret 2.719 6.797.500,00 April 3.272 8.180.000,00 Mei 3.111 7.777.500,00 Total 30.319 75.797.500,00
Sumber data BTNGHS, 2010 dan 2011 data diolah
Tabel 41 menunjukkan, kawasan ini ramai dikunjungi pada bulan-bulan
Desember dan Januari. Kedua bulan tersebut merupakan libur sekolah dan libur
nasional. Trend pengunjung yang memasuki pintu gerbang, senada dengan data-
data yang ditunjukkan oleh Disbudpar Kabupaten Bogor yang telah mengelola
kegiatan wisata selama 21 tahun.
Dampak kegiatan wisata di kawasan Gunung Salak Endah terhadap
perekonomian pemerintah, secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42 Dampak ekonomi kegiatan wisata di GSE bagi masyarakat
No. Indikator Dampak Keterangan 1. Pendapatan
Desa Positif Berlipat ganda dan signifikan bagi kedua
desa 2 Pendapatan
Asli Daerah Positif Dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
3. Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP)
Positif Ada pendapatan, walaupun belum signifikan untuk biaya pengelolaan kawasan
Top Related