7 DAMPAK EKONOMI KEGIATAN WISATA DI KAWASAN … · Ibu Rumah tangga 11,4 10,7 Dagang 15,9 17,9...

23
7 DAMPAK EKONOMI KEGIATAN WISATA DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH 7.1.Dampak Ekonomi Bagi Masyarakat Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pendapatan, mata pencaharian, lapangan pekerjaan, jumlah pekerjaan yang berasal dari kegitan wisata (Hilyana, 2001; Mbaiwa 2003; Babulo, et al. 2008; Tao dan Wall 2009; Iorio dan Corsale 2010; Mbaiwa 2011). Masyarakat lokal merupakan penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi mengenai mata pencaharian, pendapatan, kondisi perumahan dan pengeluaran masyarakat penting diketahui untuk menganalisis dampak ekonomi kegiatan wisata bagi masyarakat. 7.1.1. Mata Pencaharian dan Jenisnya Kegiatan wisata di GSE telah memberikan dampak positif berupa peluang- peluang bagi masyarakat sekitar untuk berusaha, terutama dalam bentuk mata pencaharian baru bagi mereka. Dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner dengan masyarakat didapatkan bahwa sebanyak 18 % masyarakat pada awalnya tidak memiliki pekerjaan (menganggur) dan sebagai ibu rumah tangga (Tabel 29). Tabel 29 Mata pencaharian masyarakat sebelum terlibat dalam sektor wisata dan jumlah jenis pekerjaan masyarakat Karakteristik mata pencaharian Deskripsi Asal Desa (%) Gunung Bunder 2 (n=44) Gunung Sari (n=56) Pekerjaan sebelum terlibat dalam wisata Warung 4,5 3,6 Ibu Rumah tangga 11,4 10,7 Dagang 15,9 17,9 Buruh bangunan 15,9 10,7 Aparat desa 4,5 0,0 Pegawai swasta 11,4 7,1 Petani 13,5 25,0 Menganggur 6,8 7,1 Lainnya 15,9 17,9 Pekerjaan setelah terlibat dalam wisata Warung 36,4 42,9 Pengelola villa 4,5 8,9 Penyelenggara outbond 0,0 7,1 Kolektor 22,7 7,1 Pemandu 4,5 0,0 Karyawan resort 0,0 3,6 Petani 9,1 10,7 PNS 0,0 1,8 Depot sembako 0,0 1,8

Transcript of 7 DAMPAK EKONOMI KEGIATAN WISATA DI KAWASAN … · Ibu Rumah tangga 11,4 10,7 Dagang 15,9 17,9...

7 DAMPAK EKONOMI KEGIATAN WISATA DI KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH

7.1.Dampak Ekonomi Bagi Masyarakat Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pendapatan, mata pencaharian,

lapangan pekerjaan, jumlah pekerjaan yang berasal dari kegitan wisata (Hilyana,

2001; Mbaiwa 2003; Babulo, et al. 2008; Tao dan Wall 2009; Iorio dan Corsale

2010; Mbaiwa 2011). Masyarakat lokal merupakan penyedia barang dan jasa

untuk kegiatan wisata. Informasi mengenai mata pencaharian, pendapatan,

kondisi perumahan dan pengeluaran masyarakat penting diketahui untuk

menganalisis dampak ekonomi kegiatan wisata bagi masyarakat.

7.1.1. Mata Pencaharian dan Jenisnya Kegiatan wisata di GSE telah memberikan dampak positif berupa peluang-

peluang bagi masyarakat sekitar untuk berusaha, terutama dalam bentuk mata

pencaharian baru bagi mereka. Dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner

dengan masyarakat didapatkan bahwa sebanyak 18 % masyarakat pada awalnya

tidak memiliki pekerjaan (menganggur) dan sebagai ibu rumah tangga (Tabel 29).

Tabel 29 Mata pencaharian masyarakat sebelum terlibat dalam sektor wisata dan jumlah jenis pekerjaan masyarakat

Karakteristik mata pencaharian Deskripsi

Asal Desa (%) Gunung Bunder 2

(n=44) Gunung Sari (n=56)

Pekerjaan sebelum terlibat dalam wisata

Warung 4,5 3,6 Ibu Rumah tangga 11,4 10,7 Dagang 15,9 17,9 Buruh bangunan 15,9 10,7 Aparat desa 4,5 0,0

Pegawai swasta 11,4 7,1 Petani 13,5 25,0 Menganggur 6,8 7,1 Lainnya 15,9 17,9

Pekerjaan setelah terlibat dalam wisata

Warung 36,4 42,9 Pengelola villa 4,5 8,9 Penyelenggara outbond 0,0 7,1

Kolektor 22,7 7,1 Pemandu 4,5 0,0

Karyawan resort 0,0 3,6 Petani 9,1 10,7 PNS 0,0 1,8 Depot sembako 0,0 1,8

94

Karakteristik mata pencaharian Deskripsi

Asal Desa (%) Gunung Bunder 2

(n=44) Gunung Sari (n=56)

Pengusaha transportasi 2,3 1,8

Penjaga villa 2,3 0,0 Pedagang buah 0,0 1,8 Guru 0,0 1,8 Lainnya 18,2 10,7 Jumlah jenis pekerjaan

1 pekerjaan 18,2 7,1 2 pekerjaan 61,4 62,5 3 pekerjaan 18,2 25,0 4 pekerjaan 0,0 3,6

> 5 pekerjaan 2,3 1,8

Perubahan mata pencaharian masyarakat sesudah adanya kegiatan wisata di

GSE, terutama pada sektor pertanian. Pada awalnya pekerjaan utama pada sektor

pertanian, tetapi setelah ada kegiatan wisata, bertani menjadi pekerjaan sampingan

sebagaimana diuraikan Ashley (2000) pariwisata memberikan kesempatan untuk

diversifikasi ekonomi tanpa mengganggu atau mengganti mata pencaharian

mereka. Masyarakat beralih pekerjaan dari sektor pertanian menjadi pedagang

cinderamata, jasa angkutan, karyawan dan tukang foto di obyek wisata. Lebih

lanjut Mbaiwa (2011) menyatakan bahwa masyarakat lokal selain dilibatkan

menjadi pekerja dalam sebuah proyek pembangunan fasilitas wisata, yaitu

program Community-Based Natural Resource Management (CBNRM), juga

menambah peluang menjadi guide bagi wisatawan. Bahkan temuan Mbaiwa

(2011) adanya proyek CBNRM telah merubah mata pencaharian tradisional

masyarakat di Delta Okavango Botswana.

Perubahan mata pencaharian pada masyarakat Gunung Bunder 2 dan

Gunung Sari bukan berarti mereka sama sekali meninggalkan pekerjaan awal

mereka, tetapi adanya kegiatan wisata memberikan peluang-peluang bagi

masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki lebih maksimal.

Sebagai contoh hasil pertanian yang biasanya mereka jual ke pasar, ada sebagian

yang dijual untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, sehingga keuntungan yang

didapatkan bisa lebih besar.

Alasan mereka beralih ke sektor wisata karena (1) dapat menghasilkan uang

setiap harinya walaupun hanya mencukupi untuk kebutuhan makan harian; (2)

mendapat akses ke dalam kawasan untuk memperoleh sumber pakan ternak,

95

mengambil sayuran seperti pakis di dalam kawasan; (3) dekat dengan tempat

tinggal, sehingga dapat melakukan beberapa jenis pekerjaan; (4) berkumpul

dengan keluarga. Beberapa masyarakat walaupun telah terlibat dalam kegiatan

wisata menyatakan bahwa kegiatan bertani dan beternak masih dilakukan.

Kegiatan wisata di GSE juga mampu memberikan kontribusi yang

siginfikan bagi masyarakat yaitu ada sumber pendapatan baru. Pekerjaan bidang

wisata ada yang menjadi sumber mata pencahariaan dan pekerjaan sampingan

untuk menambah penghasilan keluarga. Iorio dan Corsale (2010) menyatakan

kegiatan wisata bisa menjadi diversifikasi pilihan mata pencaharian,

meningkatkan mata pencaharian keluarga yang terlibat. Pariwisata menjadi

alternatif penambahan pendapatan keluarga dan memberikan kontribusi bagi

diversifikasi ekonomi keluarga di pedesaan.

Diversifikasi pilihan mata pencaharian bagi masyarakat adalah bahwa

dengan adanya kegiatan wisata masyarakat memiliki lebih dari satu pekerjaan.

Sebagian besar masyarakat baik di Desa Gunung Bunder 2 maupun Gunung Sari

memiliki dua pekerjaan. Sebagian besar masyarakat memiliki dua sampai tiga

pekerjaan sebanyak 62%, sedangkan yang memiliki pekerjaan tunggal hanya 12%.

Hasil yang cukup fantastik adalah ada 4 % masyarakat dari masing-masing desa

yang memiliki sumber penghasilan lebih dari empat. Empat pekerjaan sekaligus

ini memerlukan pengaturan waktu yang baik, walaupun dibantu oleh anggota

keluarga yang lainnya. Pekerjaan masyarakat dari Gunung Sari yaitu pengrajin

bambu (meubel, boboko (tempat nasi) dan bentuk-bentuk anyaman bambu

lainnya), menjaga villa, pengusaha bumi perkemahan sekaligus menyewakan alat-

alat untuk berkemah, pengusaha parkir, warung dan bertani. Masyarakat dari

Gunung Bunder 2 memiliki jenis pekerjaan mengelola villa (lebih dari 2 villa),

menjaga villa (lebih dari 3 villa), warung dan menerima cattering dari pengunjung

villa, memandu/guiding, mengisi snack RINDAM jaya (TNI Angkatan Darat).

Peluang-peluang kegiatan wisata dimanfaatkan oleh masyarakat, untuk

meningkatkan pendapatannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Siahaan (2008) dan

Nugraheni (2002) kegiatan wisata di GSE menjadi peluang bagi masyarakat untuk

membuka kios, parkir, berdagang dan lainnya. Semua yang memiliki warung

(100%) menerima cattering bagi pengunjung yang menginap baik berkemah

96

maupun tinggal di villa. Sebagian pemilik warung juga memiliki pondokan/

homestay untuk disewakan kepada pengunjung. Pondokan yang dimiliki ada

yang menyatu dengan warung dan ada juga yang terpisah. Pada hari libur seperti

tahun baru dan lebaran semua pondokan dan villa yang berada di kedua desa terisi

oleh pengunjung.

Berbeda dengan masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata (Tabel 30),

jenis mata pencaharian (8 mata pencaharian) yang dimiliki lebih sedikit

dibandingkan dengan mereka yang terlibat (14 mata pencaharian) dalam wisata

(Tabel 29). Hasil uji lanjut terhadap jumlah pekerjaan (Lampiran 10) ada

perbedaan yang sangat nyata. Sektor wisata mampu memberikan peluang-

peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar kawasan dan mampu menjadi sektor

penunjang perekonomian masyarakat. Artinya peluang-peluang pekerjaan yang

tercipta dari kegiatan wisata memberikan peluang kekenyalan (resilience) dari

sistem mata pencaharian masyarakat yang terlibat wisata (Hardjanto, pers com

2012). Darusman et al. (2001) menyatakan resilience suatu kemampuan untuk

mengakomodasi terhadap tekanan-tekanan atau gangguan yang tiba-tiba.

Sumber mata pencaharian masyarakat yang tidak terlibat hanya berkisar 2-3

jumlah pekerjaan, relatif lebih sedikit dari masyarakat yang terlibat wisata yaitu 2-

6 pekerjaan. Variasi jenis pekerjaan masyarakat yang tidak terlibat di kedua desa

pun masih berkisar pada sektor pertanian baik sebagai buruh tani maupun petani

pemilik lahan. Selain itu jenis mata pencaharian seperti buruh bangunan, bekerja

di sektor swasta, bermigrasi ke Jakarta, berdagang dan variasinya.

Tabel 30 Jumlah dan jenis mata pencaharian masyarakat yang tidak terlibat dalam sektor wisata

Karakteristik mata pencaharian Deskripsi Tidak terlibat dalam wisata (n=30)

Jumlah Persen Pekerjaan Buruh bangunan 1 3,3

Buruh tani 6 20,0 Guru 1 3,3 Kriditan 1 3,3 Pedangang 9 30,0

Pedangan sayur 1 3,3 Petani 9 30,0 Swasta 2 6,7

Jumlah jenis 1 pekerjaan 2 6,7 2 pekerjaan 23 76,7

3 pekerjaan 5 16,6

97

Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa antara masyarakat yang

terlibat dalam wisata (Tabel 29) dan yang tidak terlibat dalam wisata (Tabel 30)

memiliki kesamaan yaitu jumlah pekerjaan yang memiliki proporsi terbesar pada

dua pekerjaan. Baik masyarakat yang terlibat maupun tidak terlibat memiliki

kecenderungan yang sama yaitu anggota keluarga merupakan tenaga kerja dalam

rumah tangga tersebut.

7.1.2. Pendapatan Masyarakat

Mata pencaharian utama dan sampingan masyarakat telah menghasilkan

pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka,

bahkan ada beberapa masyarakat yang memiliki pendapatan yang besar (lebih dari

cukup) untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pendapatan keluarga reponden

dikedua desa didominasi pada kisaran 1 – 2,5 juta untuk mereka yang terlibat

dalam wisata (Tabel 31). Sedangkan masyarakat yang tidak terlibat didominasi

pada kisaran 2,5 – 4 juta. Uji lanjut untuk uji beda pendapatan antara masyarakat

Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari (Lampiran 8) ada perbedaan yang nyata

untuk total pendapatan keluarga dan pendapatan dari sektor wisata. Rata-rata

pendapatan masyarakat yang terlibat wisata dari Desa Gunung Sari lebih tinggi

dibandingkan Desa Gunung Bunder 2. Kegiatan wisata bagi masyarakat Desa

Gunung Sari mampu memberikan peluang pendapatan yang lebih besar

dibandingkan masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Tabel 31 Pendapatan keluarga masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat wisata

Karakteristik pendapatan Deskripsi

Asal Desa Tidak terlibat wisata Gunung Bunder

2 (n=44) Gunung Sari

(n=56) Pendapatan keluarga (%)

< 1 juta 6,8 1,8 - 1-2,5 juta 63,7 44,6 36,7 2,5 -4 juta 25,0 35,7 53,3 > 4 juta 4,5 17,9 10,0 Rata-rata (Rp) 2.323.900,00 2.941.400,00 2.888.000,00

Pendapatan per kapita (Rp/bulan)

Rata-rata 583.640,00 703.880,00 645.620,00

Persentase Pendapatan dari wisata (%)

Rendah (> 30%) 9,1 7,1 - Sedang (31 -70%) 62,4 42,9 - Tinggi (> 70%) 29,5 50,0 -

Pendapatan dari Wisata Rata-rata (Rp) 1.313.600,00 1.995.000,00 -

Pendapatan luar wisata Rata-rata (RP) 1.010.200,00 946.400,00 -

98

Pendapatan total keluarga di dapatkan dari pendapatan dari sektor wisata

dan non wisata. Pendapatan keluarga masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan

Gunung Sari berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata

memberikan pendapatan yang berbeda bagi masyarakat Desa Gunung Sari dan

Gunung Bunder 2, dimana pendapatan total keluarga masyarakat yang terlibat

wisata dari Desa Gunung Sari lebih tinggi dibanding dari Desa Gunung Bunder 2.

Hasil-hasil penelitian lain juga menyebutkan hal yang serupa (Doro 1994;

Rachmawati 2010) bahwa pendapatan total keluarga yang terlibat wisata dari

Desa Gunung Sari memiliki kecenderungan lebih besar dipengaruhi oleh kegiatan

wisata yang ada di GSE dibandingkan masyarakat dari Desa Gunung Bunder 2.

Kegiatan wisata di GSE memberikan kontribusi rata-rata pendapatan 62%

dari total pendapatan bagi kedua desa. Bagi masyarakat Desa Gunung Sari

memberikan kontribusi rata-rata 66.24% dari total pendapatan rumah tangga lebih

besar dibandingkan Desa Gunung Bunder 2 yaitu 57,8%. Uji beda prosentase

pendapatan juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Kegiatan wisata

memberikan kontribusi pendapatan yang berbeda bagi kedua desa. Pendapatan

dari sektor wisata bagi masyarakat Desa Gunung Sari memiliki kontribusi yang

besar dibandingkan bagi Desa Gunung Bunder 2. Hal ini memberikan gambaran

bahwa masyarakat Desa Gunung Sari memiliki ketergantungan dari sektor wisata

yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Kamanga et

al. (2009) menyatakan bahwa prosentase pendapatan lebih besar atau sama

dengan 53% dari total pendapatan rumah tangga menunjukkan ketergantungan

yang tinggi pada sektor yang diamati.

Usaha-usaha yang memiiki ketergantungan tinggi diantaranya adalah

warung wisata, pengelola villa, penyelenggara outbond dan kolektor. Pekerja

warung ini memang strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar pengunjung yaitu

makan dan minum setelah melakukan kegiatan di lokasi wisata. Di desa Gunung

Sari masyarakat dengan kategori tinggi memiliki jumlah yang lebih besar

dibandingkan Desa Gunung Bunder 2. Masyarakat dari Gunung Sari sebagian

besar (terutama masyarakat Lokapurna), sebagian besar aktif dalam kegiatan

wisata di GSE dan memiliki lebih dari satu sumber pendapatan dari sektor wisata.

99

Bagi masyarakat yang tidak terlibat alam wisata, pendapatannya lebih tinggi

dibandingkan pendapatan yang terlibat dalam wisata. Hal ini senada dengan

pernyataan masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat, wisata menghasilkan

pendapatan yang besar terutama pada sabtu-minggu atau hari libur nasional saja,

sedangkan sektor di luar wisata tidak dipengaruhi oleh jumlah hari libur dan

pengunjung. Hasil uji lanjut (Lampiran 9) total pendapatan masyarakat yang tidak

terlibat berbeda nyata dengan masyarakat yang terlibat, sedangkan untuk

pendapatan perkapitanya tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan ada

perbedaan yang nyata antara total pendapatan masyarakat yang terlibat dan tidak

terlibat. Ada perbedaan yang nyata antara distribusi pendapatan masyarakat yang

terlibat dengan tidak terlibat. Artinya bahwa keterlibatan dalam wisata belum bisa

menjamin untuk menghasilkan pendapatan yang besar dan wisata bagi kedua desa

bukan merupakan sektor utama. Sektor utama dikedua desa adalah pertanian

(masyarakat yang tidak terlibat menggeluti bidang pertanian), namun sektor

wisata merupakan sektor penunjang penting dalam perekonomian kedua desa.

Sehingga meskipun belum mampu meninggkatkan pendapatan, namun sektor

wisata masih tetap dijalankan oleh masyarakat karena masih menguntungkan.

Masyarakat yang terlibat wisata, seharusnya meningkatkan kemampuan dan

keterampilan mereka untuk mengelola potensi yang ada, sehingga peluang-

peluang usaha wisata dapat ditangkap dan dimanfaatkan secara optimal. Rata-rata

pendapatan masyarakat yang tidak terlibat sebesar Rp 2.888.000,00/bulan lebih

tinggi dibandingkan masyarakat yang terlibat wisata sebesar Rp

2.632.650,00/bulan, ada selisih pendapatan yang cukup besar yaitu Rp

255.350,00/bulan.

Meskipun ada perbedaaan total pendapatan yang nyata antara masyarakat

yang terlibat dan tidak terlibat, tetapi dari segi pendapatan per kapita per bulan

tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Pendapatan per kapita per

bulan rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Pada pembahasan

sebelumnya (sub bab 5.1) disebutkan bahwa jumlah anggota keluarga masyarakat

yang tidak terlibat lebih besar, sehingga pendapatan perkapitanya tidak berbeda

nyata. Pendapatan per kapita per bulan masyarakat yang terlibat sebesar Rp

650.900,00 lebih besar dibandingkan yang tidak terlibat sebesar Rp 645.620,00

100

(Tabel 31) hanya selisih Rp 5.280,00 per bulan. Hal ini diduga bahwa sektor

wisata baru mampu memberikan peluang-peluang pendapatan per kapita per bulan

bagi masyarakat sekitar kawasan dan mampu menjadi sektor penunjang

perekonomian masyarakat, tetapi belum bisa meningkatkan pendapatan per kapita

per bulan. Wisata bagi kedua desa hanya memberikan peluang resiliensi yang

lebih besar bagi pendapatan perkapitan perbulan masyarakat. Artinya sektor

wisata mempunyai hubungan positif terhadap kekenyalan/resiliensi pendapatan

per kapita Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari.

Baik masyarakat yang terlibat maupun yang tidak terlibat memiliki strategi

untuk mendapatkan penghasilan/pendapatan keluarga. Bagi masyarakat yang

terlibat, lebih bisa melihat peluang-peluang mata pencaharian dari sektor wisata

yang bisa meningkatkan penghasilan. Masyarakat yang terlibat wisata

memaksimalkan peek season untuk menghasilkan pendapatan dan di saat low

season mereka mencari sumber pendapatan lain di luar sektor wisata. Sedangkan

bagi masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata, walaupun sumber mata

pencaharian mereka lebih sedikit tetapi masyarakat masih bisa mendapatkan

pendapatan dari pekerjaan yang digelutinya.

Kontribusi sektor wisata terhadap pendapatan total keluarga bervariasi

dengan interval 3,56 – 100% artinya ada masyarakat yang memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap sektor wisata sampai masyarakat yang

pendapatan tidak dipengaruhi oleh sektor ini. Hasil uji lanjut (Lampiran 8) tidak

menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kontribusi wisata bagi masyarakat

Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Artinya kegiatan wisata bagi

masyarakat yang terlibat dalam wisata memberikan kontribusi yang sama dan

sama-sama memiliki ketergantungan yang tinggi akan sektor wisata. Meskipun

pendapatan dari sektor wisata memang tidak menentu tergantung dengan jumlah

pengunjung, namun secara umum masyarakat menyatakan penghasilan mereka

akan meningkat pada sabtu-minggu dan hari libur nasional.

Pendapatan masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari dari

kegiatan wisata secara langsung dipengaruhi oleh jumlah pengunjung yang datang

ke dalam kawasan GSE. Berdasarakan data kunjungan empat tahun terakhir

diperoleh gambaran yang cukup nyata, adanya fluktuasi yang dalam satu tahun.

101

Bulan Desember dan hari lebaran setiap tahunnya akan mengalami kenaikan

jumlah pengunjung (Gambar 4)

Gambar 4 Jumlah pengunjung ke kawasan Gunung Salak Endah

(Sumber: Disparbud Bogor, 2011)

7.1.3. Kondisi Perumahan dan Aset yang Dimiliki

Rumah, saat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung tetapi juga

bagian dari gaya hidup dan status, simbol bahkan menunjukkan identitas

pemiliknya. Secara umum, kualitas rumah tinggal yang ditentukan oleh fisik

rumah menunjukkan tingkat kesejahteraan. Rumah dikatakan layak sebagai

bangunan tempat tinggal apabila rumah tersebut telah memiliki dinding, atap dan

lantai (BPS 2004). Kondisi perumahan masyarakat sebelum dan sesudah

berusaha di sektor wisata dikedua desa dapat dilihat pada Tabel 32. Kegiatan

wisata belum memberikan perubahan yang nyata terhadap kondisi dan sarana

prasarana perumahan respoden.

Uji beda nyata terhadap asset yang dimiliki oleh masyarakat yang terlibat

dalam wisata (Lampiran 11) ada perbedaan yang nyata terhadap aset yang dimiliki

oleh masyarakat desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Hal ini menunjukkan

bahwa adanya kegiatan wisata bagi masyarakat Gunung Sari telah mampu

memberikan peluang-peluang untuk meningkatkan sarana prasarana perumahan

Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des

2007 3,175 325 1,025 1,225 1,750 1,550 1,500 1,675 1,350 6,100 1,525 7,475

2008 650 1,175 1,775 1,500 1,500 2,050 4,150 3,500 3,000 11,250 500 7,250

2009 4,500 350 3,650 2,400 2,500 2,500 3,100 1,750 10,750 1,800 1,500 2,408

2010 4,150 4,150 1,600 2,250 3,750 3,000 4,800 1,725 15,000 1,450 3,450 5,250

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

2007 2008 2009 2010

102

yang dimilikinya, terlihat dari nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 54,65

dibandingkan masyarakat Gunung Bunder 2 sebesar 45,22. Namun bagi

masyarakat Gunung Bunder keterlibatan dalam kegiatan wisata belum mampu

untuk meningkatkan aset/sarana prasarana perumahan yang dimiliki. Kondisi

perumahan antara masyarakat yang berasal dari Desa Gunung Bunder 2 dan

Gunung Sari tidak ada perbedaan yang nyata. Distribusi kondisi perumahan

masyarakat Desa Gunung Bunder 2 identik dengan Desa Gunung Sari. Artinya

kegiatan wisata bagi masyarakat dikedua desa memberikan peluang yang sama

akan kondisi perumahan yang dimiliki.

Tabel 32 Kondisi perumahan dan sarana prasarana yang dimiliki masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat wisata

Karakteristik perumahan Deskripsi

Terlibat wisata (%) Tidak terlibat dalam wisata (%) (n=30)

Gunung Bunder 2 (n=44)

Gunung Sari (n=56)

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Kondisi perumahan (unit)

Tidak permanen

4 4 4 4 7

Semi permanen

46 41 48 46 40

Permanen 50 55 48 50 53 Sarana prasarana perumahan (unit)

Kurang lengkap

14 9 7 2 10

Semi lengkap

77 80 70 73 63

Lengkap 9 11 23 24 27

Rumah-rumah yang dimiliki oleh masyarakat baik yang terlibat maupun

yang tidak terlibat dalam wisata didomonasi oleh rumah permanen. Rumah

permanen memiliki ciri-ciri dinding dari tembok, atap genteng, lantai keramik

dengan luas rumah berkisar 50 -100 m2 dan kepemilikan sendiri, walaupun ada

1% masyarakat yang masih mengontrak dan 3 % yang ikut menumpang di rumah

orangtua. Kondisi perumahan masyarakat sebelum dan sesudah terlibat dalam

kegiatan wisata mengalami sedikit perubahan. Namun secara umum kondisi

perumahan masyarakat yang terlibat dalam wisata dan tidak terlibat wisata tidak

ada perbedaan yang signifikan. Hal ini terbukti dari uji beda nyata terhadap

kondisi perumahan dan aset yang dimiliki oleh masyarakat yang terlibat dan tidak

terlibat (Lampiran 12). Keterlibatan dalam kegiatan wisata di GSE belum mampu

memberikan kontribusi yang nyata untuk memiliki aset/sarana prasarana rumah

dan kondisi perumahan yang lebih baik dan lengkap. Artinya kondisi perumahan

103

dan sarana prasarana perumahan yang dimiliki masyarakat yang terlibat dan tidak

terlibat sama/identik.

Selain rumah, sarana prasarana yang dimiliki dilihat dari kelengkapan yaitu

listrik, televisi, Hand Phone, pekarangan, MCK, sumber air bersih dan

penggunaan bahan bakar yang dimiliki oleh masyarakat. Pada Tabel 33, terlihat

bahwa sarana prasarana rumah dengan kriteria lengkap dari masyarakat yang tidak

terlibat wisata memiliki prosentase yang lebih besar (27%) dibandingkan

masyarakat yang terlibat baik dari Gunung Bunder 2 (11%) maupun dari Gunung

Sari (24%).

Sarana prasarana perumahan yang dimiliki masyarakat didominasi dalam

kategori semi lengkap. Perubahan sarana prasarana yang dimiliki oleh

masyarakat, lebih dikarenakan adanya tuntutan dalam bisnis mereka, sehingga

mereka memiliki peralatan lengkap seperti rice cooker, kulkas untuk menyimpan

sayur dan keperluan lainnya, kompor gas dengan beberapa tabung, hand pone

untuk komunikasi/reservasi dengan pengunjung. Ada beberapa masyarakat yang

masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar dan mengambilnya dari

hutan. Penggunakan kayu bakar, merupakan strategi untuk menekan pengeluaran

masyarakat. Selain itu juga masyarakat menyatakan bahwa karena mereka tidak

memiliki tabung ganda, sehingga saat gas habis sedangkan untuk membeli gas

cukup jauh sehingga mereka memillih menggunakan kayu bakar. Penggunaan

kayu bakar juga dipilih karena menurut beberapa masyarakat lebih aman dan

masih tersedia didesanya.

Kayu bakar diperoleh dari hutan maupun pekarangan/kebun masyarakat.

Pengambilan ranting pohon, batang pohon, bekas-bekas pembangunan dan bambu

hampir rutin dicari oleh masyarakat. Kegiatan ini dilakukan pada waktu luang

mereka, setelah melakukan kegiatan rutin harian. Masyarakat yang tidak terlibat,

karena letaknya yang relatif lebih jauh dari kawasan GSE mengambil dari

pekarangan/kebun mereka atau dengan cara membeli dari warga lain. Sedangkan

bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata karena letaknya di dalam dan

atau dekat dengan kawasan, mereka biasanya mengambilnya dari dalam hutan.

104

7.1.4. Pengeluaran Masyarakat Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat

memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Pada dasarnya, perubahan

pola pengeluaran merupakan petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Semakin tinggi pendapatan, maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran

untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan (BPS 2004). Pergeseran pola

pengeluaran terjadi karena elastisitas terhadap makanan pada umumnya rendah,

sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya

tinggi. Jika tingkat konsumsi makanan sudah mencapai titik jenuh, maka pendapatan

akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan bahan makanan atau ditabung.

Tingkat konsumsi keluarga/pengeluaran akan dipengaruhi oleh jumlah

anggota keluarga, usia anggota keluarga. Pengeluaran masyarakat yang terlibat

wisata bervariasi dari Rp 620.000,00 – 6.210.000,00 rata-rata pengeluaran

masyarakat Rp 2.316.800,00 dengan rincian pengeluaran masyarakat dikedua desa

dapat dilihat pada Tabel 33. Sedangkan pengeluaran masyarakat yang tidak

terlibat bervariasi dari Rp 1.100.00,00 – 5.200.000,00 dengan rata-rata Rp

2.806.700,00. Pengeluaran masyarakat yang tidak terlibat lebih tinggi

dibandingkan masyarakat yang terlibat wisata.

Tabel 33 Pengeluaran masyarakat yang tidak terlibat dan terlibat wisata

Karakteristik pendapatan Deskripsi

Terlibat wisata Tidak terlibat wisata (n=30) Gunung Bunder 2

(n=44) Gunung Sari

(n=56) Pegeluaran keluarga (%)

< 1 juta 6,8 3,6 - 1-2.5 juta 72,8 58,9 40,0 2.5 -4 juta 15,9 26,8 50,0 > 4 juta 4,5 10,7 10,0 Perkapita perbulan (Rp)

518.210,00 610.150 623.890,00

Rata-rata (Rp) 2.062.900,00 2.516.300,00 2.806.700,00

Pada penelitian ini, jumlah pengeluaran rumah tangga dihitung berdasarkan

besarnya pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh

anggota keluarga per bulan. Pengeluaran terbesar dari masyarakat adalah untuk

kebutuhan makan, disusul biaya transportasi, biaya pendidikan, biaya lainnya dan

biaya sosial. Masyarakat menyatakan bahwa kebutuhan makan, hampir semua

dibeli baik dari pasar maupun pedagang sayur keliling. Hanya beberapa

masyarakat yang menyatakan kadang-kadang mengambil sayuran dari kebun atau

105

hutan. Biaya lain yang dinyatakan oleh masyarakat diantaranya adalah kredit

kendaraan bermotor, membayar kredit pinjaman kepada bank keliling.

Pengeluaran keluarga dari Desa Gunung Sari lebih besar dibandingkan

pengeluaran keluarga Desa Gunung Bunder 2. Hasil uji beda pengeluaran

dikedua desa (Lampiran 13) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara

rata-rata pengeluaran masyarakat Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari, demikian

pula dengan pengeluaran perkapita dikedua desa. Keterlibatan dalam wisata bagi

kedua desa memberikan pengaruh terhadap pengeluaran masyarakat Desa Gunung

Sari dan Gunung Bunder 2. Ada perbedaan distribusi pendapatan dan pendapatan

per kapita antara Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2. Jika dilihat dari

jumlah tanggungan rata-rata masyarakat dari Gunung Sari memiliki jumlah

tanggungan sedikit lebih besar dibandingkan Desa Gunung Bunder 2, hal ini

diduga yang menyebabkan pengelurannya menjadi lebih besar. Perbedaan

pengeluaran dikedua desa juga diduga karena jarak tempat tinggal yang cukup

jauh. Ada 52% masyarakat Desa Gunung Sari menyatakan bahwa, tempat tinggal

masyarakat yang berada di dalam kawasan TNGHS memiliki jarak lebih jauh

dibandingkan masyarakat dari Desa Gunung Bunder 2, dimana pemukiman

mereka berada di luar kawasan, sehingga membutuhkan biaya transportasi lebih

tinggi. Biaya transportasi untuk kebutuhan sekolah anak-anak maupun untuk

keperluan belanja kebutuhan usaha mereka. Selain itu sebagian besar masyarakat

Gunung Sari untuk menambah modal usahanya didapatkan dari pinjaman kepada

Bank keliling dengan setoran berkisar Rp 58.000,00 – 108.000,00/minggu.

Pengeluaran yang tinggi, menujukkan tingkat kesejahteraan keluarga, jika

pengeluaran tersebut masih lebih kecil dari pendapatan. Pengeluaran masyarakat

dari Desa Gunung Bunder 2 sebesar Rp 2.062.900,00 lebih kecil dibandingkan

dengan pendapatannya yaitu Rp 2.323.900,00. Desa Gunung Gunung Sari, juga

demikian tingkat pengeluaran mereka sebesar Rp 2.516.300,00 lebih kecil

dibandingkan dengan pendapatan Rp 2.516.300,00.

Analisis uji beda nyata antara pengeluaran masyarakat yang terlibat dengan

masyarakat yang tidak terlibat (Lampiran 14) menunjukkan ada perbedaan yang

nyata, namun tidak dengan pengeluaran perkapita. Kegiatan wisata telah

memberikan peluang total pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan masyarakat

106

yang tidak terlibat. Bagi masyarakat yang tidak terlibat, pendapatannya besar

tetapi total pengeluarannya pun besar. Selisih pendapatan dengan pengeluaran

masyarakat yang terlibat dalam wisata Rp 315.850,00 masih lebih besar

dibandingkan dengan yang tidak terlibat wisata Rp 81.300,00.

Jika dilihat dari selisih pendapatan dengan pengeluaran, masyarakat yang

terlibat wisata memiliki tabungan lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

terlibat. Adanya kegiatan wisata memberikan peluang yang lebih besar untuk

menyisihkan/menabung uangnya. Hasil ini sesuai dengan alasan masyarakat yang

terlibat wisata, bahwa pendapatan mereka tergantung pada musim kunjungan

yaitu sabtu-minggu maupun libur nasional. Sehingga saat sepi uang tabungan bisa

digunakan untuk keperluan hidup mereka maupun dikumpulkan untuk menambah

modal saat ramai. Berbeda dengan masyarakat yang tidak terlibat walaupun

tabungan mereka lebih sedikit, tetapi sektor luar wisata lebih kontinyu

menghasilkan pendapatan.

7.1.5. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Masyarakat

Analisis regresi digunakan untuk tujuan peramalan, dimana dalam model

tersebut ada sebuah variabel dependent (tidak bebas) dan variabel independent

(bebas). Dalam analisis regresi, akan dikembangkan sebuah estimating equation

(persamaan regresi) yaitu suatu formula matematika yang mencari nilai vriabel

dependent dari nilai variabel independent yang diketahui (Santoso, 1999).

Regresi berganda digunakan untuk memformulasikan lebih dari satu

variabel independent. Variabel dependent yang akan diformulasikan yaitu

pendapatan perkapita perbulan dan variabel independent yang akan dimasukkan

diantaranya umur masyarakat (X1), tingkat pendidikan formal (X2), pengeluaran

perkapita perbulan (X3), jumlah mata pencaharian (X4) dan lamanya terlibat (X5).

Pendapatan dan pengeluaran per kapita perbulan diperoleh dengan membagi total

pendapatan dan pengluaran keluarga dalam satu bulan dengan jumlah anggota

keluarga. Hasil pengolahan dengan menggunakan SPSS 16.0 (secara lebih rinci

dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5) nilai rata-rata masing-masing variabel

dapat dilihat pada Tabel 34.

107

Tabel 34 Nilai rata-rata masing-masing variabel reponden yang terlibat dan tidak terlibat wisata

No. Variabel Rata-rata Std. Deviasi

Terlibat wisata 1 Pendapatan perkapita perbulan (Rp) 650.900,00 358.860,00 2 Umur (tahun) 40,96 13,36 3 Pendidikan formal 3,42 1,98 4 Pengeluaran /kapita/bulan (Rp) 557.700,00 217.404,00 5 Jumlah Pekerjaan 2,21 0,79 6 Lama terlibat 7,95 6,46 Tidak terlibat wisata 1 Pendapatan perkapita perbulan (Rp) 645.620,00 253.913 2 Umur (tahun) 48,9 11,60 3 Pendidikan formal 3,03 1,81 4 Pengeluaran /kapita/bulan (Rp) 623.890,00 233.036,00 5 Jumlah Pekerjaan 2,1 0,48

Pendidikan formal yang dikenyam oleh reponden 3,42 artinya bahwa secara

rata-rata keselurahan pendidikan mereka adalah lulus SMP (Tabel 34). Memiliki

standar deviasi yang tinggi sebesar 1,98 karena kisaran pendidikan masyarakat

dari mulai tidak tamat sekolah sampai lulusan Sarjana Strata Satu.

Hasil analisis data, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan perkapita

rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan wisata di GSE umur (X1) dan

pengeluaran perkapita perbulan (X3) ditunjukkan dengan nilai signifikan kurang

dari 0,05 (Tabel 35). Faktor umur dan pengeluaran masyarakat secara nyata

mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Sedangkan pada masyarakat yang tidak

terlibat yang berpengaruh pada pendapatan masyarakat adalah umur (X1),

pendidikan formal (X2) dan pengeluaran perkapita perbulan (X3)

Tabel 35 Hasil Analisis variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga yang terlibat dan tidak terlibat wisata

No. Model Unstandardized

Coefficients Standarized Coefficients

Beta T Sig,

Collinearity Statistics

B Std, Error Tolerance VIF Terlibat wisata 1 (Constant) -261484,52 77400,32 0,14 -3,38 0,001 2 Umur (X1) 3774,10 1503,85 0,09 2,51 0,014 0,685 1,461 3 Pendidikan

formal (X2) 17492,86 9031,02 0,83 1,94 0,056 0,860 1,163

4 Pengeluaran perkapita perbulan (X3)

1,14 0,07 0,05 16,94 0,000 0,890 1,124

108

No. Model Unstandardized

Coefficients Standarized Coefficients

Beta T Sig,

Collinearity Statistics

B Std, Error Tolerance VIF 5 Jumlah

Pekerjaan (X4)

21049,54 22063,29 0,003 0,95 0,343 0,898 1,113

6 Lama terlibat (X5)

192,03 3265,72 0,059 0,953 0,620 1,612

Tidak terlibat wisata 1 (Constant) -91241,66 28006,04 -3,258 0,003 2 Umur (X1) 906,87 411,86 0,041 2,202 0,037 0,684 1,461 3 Pendidikan

formal (X2) 6726,81 3217,30 0,048 2,091 0,047 0,461 2,168

4 Pengeluaran perkapita perbulan (X3)

1,06 ,022 0,972 48,558 0,000 0,605 1,652

5 Jumlah Pekerjaan (X4)

5447,37 8366,65 0,010 0,651 0,521 0,967 1,035

Tabel 35 menunjukkan bahwa variabel-variabel jumlah pekerjaan dan

lamanya terlibat memiliki signifikansi > 0.05 artinya kurang memberikan

berpengaruh pada pendapatan. Lamanya keterlibatan masyarakat tidak

memberikan pengaruh terhadap pendapatan pada kedua desa diduga karena dalam

usaha wisata dikedua desa masih relatif homogen. Dari fakta di lapangan

masyarakat yang terlibat, masih mengandalkan keterampilan dasar dalam

melayani pengunjung, belum nampak bahwa mereka memiliki keterampilan

maupun skill khusus dalam bidang wisata.

Nilai VIF (Variance Inflantion Factor) lebih kecil dari 5.00. maka kelima

variabel bebas yang dimasukkan dalam model tidak mempunyai persoalan

multikolinieritas dengan variabel bebas yang lainnya. Santoso (2001) menyatakan

nilai VIF dari semua variabel kurang dari 5.00 sehingga bisa diduga tidak ada

persoalan multikolinieritas (korelasi yang besar diantara variabel bebas) yang

serius.

Persamaan regresi berganda untuk menduga pendapatan perkapita perbulan

masyarakat yang terlibat dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut : Y =

-261484,52 + 3774,10 X1 + 17492,86 X2 + 1,14 X3 + 21049,54 X4 + 192,03X5.

Persamaan tersebut memiliki arti sebagai berikut adalah konstanta - 261484 berarti

jika tidak ada yang bekerja, maka rumah tangga tetap akan mengeluarkan biaya

sebesar Rp 261.484,00 per kapita; setiap penambahan umur 1 tahun akan

109

meningkatkan pendapatan sebesar Rp 3.774; setiap penambahan pendidikan

formal masyarakat satu jenjang akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 17.492;

setiap peningkatan pengeluaran sebesar Rp 1,00 akan meningkatkan pendapatan

sebesar Rp 1,14; setiap penambahan satu jenis pekerjaan akan meningkatkan

pendapatan sebesar Rp 21.049 dan setiap penambahan satu tahun keterlibatan akan

meningkatkan pendapatan sebesar Rp 192

Sedangkan persamaan pendapatan perkapita bagi masyarakat yang tidak

terlibat yaitu Y = -91241,77 + 906,87 X1 + 6726,81X2 + 1,06 X3 + 5447,37 X4.

Persamaan tersebut memiliki arti sebagai berikut adalah konstanta – 91241 berarti

jika tidak ada yang bekerja, maka rumah tangga tetap akan mengeluarkan biaya

sebesar Rp 91.241,00 per kapita; setiap penambahan umur 1 tahun dari masyarakat

akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 906,00; setiap penambahan pendidikan

formal masyarakat satu jenjang akan meningkatkan pendapatan sebesar

Rp 6.726,00; setiap peningkatan pengeluaran sebesar Rp 1,00 akan meningkatkan

pendapatan sebesar Rp 1,06; setiap penambahan satu jenis pekerjaan akan

meningkatkan pendapatan sebesar Rp 5.447,00.

Angka korelasi berhubungan dengan ada tidaknya dan erat tidaknya

hubungan variabel dependent dengan variabel independent. Santoso (2001)

menyatakan bahwa angka korelasi berkisar pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali)

dan 1 (korelasi sempurna). Sebenarnya tidak ada ketentuan tepat mengenai

apakah angka korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang erat atau

lemah. Namun bisa dijadikan pedoman bahwa angka korelasi > 0.5 menunjukkan

korelasi yang erat/cukup kuat dan < 0.5 korelasi lemah.

Besarnya hubungan antar variabel pendapatan perkapita pada masyarakat

yang terlibat dengan variabel bebas pengeluaran perkapita (X3) memiliki

hubungan yang kuat dengan angka korelasi sebesar 0,878 (Tabel 36). Variabel

umur, pendidikan formal dan jumlah pekerjaan memiliki hubungan yang kurang

kuat, sedangkan lamanya terlibat memiliki korelasi yang paling kecil. Korelasi

yang kuat variabel pengeluaran menandakan adanya multikolinieritas, atau ada

korelasi dengan variabel pendapatan. Signifikasi menunjukkan angka dibawah

0.05 berarti memiliki signifikasi yang tinggi yaitu pendidikan formal, pengeluaran

perkapita perbulan dan jumlah pekerjaan masyarakat.

110

Tabel 36 Korelasi antar variabel dan nilai korelasi dari persamaan regresi masyarakat yang terlibat dan tidak terlibat wisata

Pendapatan perkapita perbulan

Pendapatan kapita bulan Umur

pendidikan formal

Pengeluaran kapita bulan

Jumlah Pekerjaan

Lama terlibat

Terlibat wisata Korelasi Pearson 1,000 0,203 0,298 0,878 0,222 0,067 Sig. (1-tailed) 0,022 0,001 0,000 0,013 0,255 R = 0,893 R2 = 0,798 R2 adj = 0,787 Tidak terlibat wisata Korelasi Pearson 1,000 -0,099 0,601 0,996 0,107 Sig. (1-tailed) 0,301 0,000 0,000 0,287

R = 0,997 R2 = 0,994 R2 adj = 0,993

Besarnya hubungan antar variabel pendapatan perkapita pada masyarakat

yang tidak terlibat dengan variabel bebas pengeluaran perkapita (X3) memiliki

hubungan yang kuat dengan angka korelasi sebesar 0,996 dan tingkat pendidikan

(X2) formal yang dikenyam respoden dengan angka korelasi 0,601 (Tabel 36).

Variabel umur, dan jumlah pekerjaan memiliki hubungan yang kurang kuat.

Korelasi yang kuat variabel pengeluaran menandakan adanya multikolinieritas,

atau ada korelasi dengan variabel pendapatan. Signifikasi menunjukkan angka

dibawah 0.05 berarti memiliki signifikasi yang tinggi yaitu umur, pendidikan

formal, dan pengeluaran perkapita perbulan.

Semakin tinggi R2 yang disesuaikan akan semakin baik bagi model regresi,

karena variabel bebas bisa menjelaskan variabel tidak bebas lebih besar. Artinya

pendapatan perkapita perbulan masyarakat yang terlibat wisata bisa dijelaskan

oleh variabel pengeluaran dan umur. Memiliki angka R2 0,798 artinya 79.8%

pendapatan perkapita perbulan masyarakat bisa dijelaskan oleh variabel umur,

pendidikan formal, pengeluaran perkapita perbulan, jumlah pekerjaan, lamanya

terlibat dan sisanya sebesar 20,2% disebabkan oleh sebab-sebab lain. Sedangkan

pada masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata memiliki R2 0,994 artinya

99,4% pendapatan perkapita per bulan masyarakat bisa dijelaskan oleh variabel

umur, pendidikan formal, pengeluaran perkapita perbulan, jumlah pekerjaan dan

sisanya sebesar 0,6% disebabkan sebab-sebab lain.

Tingkat signifikansi model lebih lanjut harus dilihat dari uji ANOVA atau F

test, didapat F hitung dari model adalah 44,187 dengan tingkat signifikansi 0,000

(Tabel 37). Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka model

regresi bisa dipakai untuk memprediksi pendapatan perkapita perbulan. Dapat

111

dikatakan bahwa umur, pendidikan formal, pengeluaran, jumlah pekerjaan dan

lamanya terlibat secara bersama-sama berpengaruh pada pendapatan perkapita

perbulan. Demikian pula untuk masyarakat yang tidak terlibat bahwa umur,

pendidikan formal, pengeluaran dan jumlah pekerjaan secara bersama-sama

berpengaruh pada pendapatan perkapita perbulan.

Tabel 37 Uji ANOVA dari model regresi No. Model Jumlah

kuadrat Df Rata-rata kuadrat F Sig.

Terlibat wisata 1 Regresi 1,02 E13 5 2,04 E12 74,348 0,000a 2 Sisaan 2,57 E12 94 2,74 E10 3 Total 1,27 E13 99 Tidak terlibat wisata 1 Regresi 1,858 E12 4 4,646 E11 1,025E3 0,000b 2 Sisaan 1,133 E10 25 4,533 E8 3 Total 1,870 E12 29 a Predictors: (Constant), Jumlah Pekerjaan, pendidikan formal, Umur, pengeluaran perkapita, lamanya terlibat b Predictors: (Constant), Jumlah Pekerjaan, pendidikan formal, Umur, pengeluaran perkapita

7.2. Dampak Ekonomi bagi Pemerintah

7.2.1. Pendapatan Desa

Desa Gunung Sari mengeluarkan Perdes untuk memungut tiket masuk obyek

wisata, berdasarakan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah, Perda Kab. Bogor No. 29 tahun 2004 tentang Pengaturan Desa

dan Peraturan Desa Gunung Sari No.1 tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa sebesar Rp 1000,00. Adanya kegiatan wisata di GSE

memberikan pemasukan keuangan kas desa yang berasal dari karcis masuk yang

dipungut dari pintu masuk “PEMDA Kabupaten Bogor”. Data pengunjung pada

tahun 2010 dan 2011 sampai bulan Mei ditunjukkan pada Tabel 38.

Tabel 38 Pemasukan kas Desa Gunung Sari dari wisata

Bulan Tahun 2010 Tahun 2011

pengunjung (orang) Pemasukan (Rp) pengunjung

(orang) Pemasukan (Rp)

Januari 4.150 4.150.000,00 5.900 5.900.000,00 Februari 1.400 1.400.000,00 5.100 5.100.000,00 Maret 1.600 1.600.000,00 5.400 5.400.000,00 April 2.250 2.250.000,00 4.800 4.800.000,00 Mei 3.725 3.725.000,00 8.700 8.700.000,00 Juni 3.000 3.000.000,00

Juli 4.800 4.800.000,00

112

Bulan Tahun 2010 Tahun 2011

pengunjung (orang) Pemasukan (Rp) pengunjung

(orang) Pemasukan (Rp)

Agustus 1.725 1.725.000,00 September 15.000 15.000.000,00 Oktober 1.450 1.450.000,00 November 3.450 3.450.000,00 Desember 5.250 5.250.000,00 rata-rata 3.983 3.983.000,00 Total 47.800 47.800.000,00

29.900.000,00 Sumber : Disbudpar Kab. Bogor, 2010 dan 2011 data diolah.

Desa Gunung Sari setiap bulannya mendapat pemasukan rata-rata sebesar

Rp 3.983.333,00 atau Rp 47.800.000,00 selama tahun 2010 dari pengunjung.

Uang tersebut disetorkan melalui Bendahara Desa setiap awal bulan berikutnya.

Uang tersebut digunakan untuk membangun dan atau memperbaiki sarana

prasarana, menggaji aparat desa dan keperluan lainnya. Selain dari pengunjung

pada tingkat RT/RW juga terdapat pungutan dari pemilik villa sebesar Rp

50.000/bulan. Jika di RW 08 dan 09 Desa Gunung Sari terdapat 140 orang

pemilik villa (Survey LVRI 2009) maka akan diperoleh uang sebesar Rp

7.000.000,00/bulan yang masuk ke kas RW.

Tahun 2011 jumlah pengunjung meningkat, yang berarti memberikan

kontribusi yang lebih besar setiap bulannya bagi pemerintah desa Gunung Sari.

Selama lima bulan memberikan kontribusi sebesar Rp 29.900.000,00. Kawasan

GSE memberikan dampak ekonomi berupa pendapatan Desa Gunung Sari

meningkat dari tahun ke tahunnya. Pemasukan kas desa tergantung pada jumlah

pengunjung ke kawasan.

Desa Gunung Bunder 2, berdasarakan UU No. 25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Perda Kab. Bogor No. 29 tahun 2004

tentang Pengaturan Desa dan Perdes No. 1 tahun 2010 tentang APBD

mengeluarkan tiket masuk menuju kawasan sebesar Rp 3.500,00/pengunjung

dengan pembagian (1) Rp 600,00/pengunjung masuk ke kas desa melalui

bendahara desa; (2) Muspika Rp 800.000,00 – 1.000.000,00/bulan untuk

diserahkan kepada Koramil, Polsek Cubungbulan dan Kecamatan Pamijahan dan

(3) KOMPEPAR desa Gunung Bunder 2 yang beranggotakan 16 orang.

Pemasukan Kas Desa Gunung Bunder 2 dari wisata dapat dilihat pada Tabel 39.

113

Tabel 39 Pemasukan kas Desa Gunung Bunder 2 dari wisata

Bulan Tahun 2010 Tahun 2011

pengunjung (orang) Pemasukan (Rp) pengunjung

(orang) Pemasukan (Rp)

November 3.596 2.157.600,00 Desember 6.604 3.962.400,00 Januari 6.988 4.192.800,00

Februari 4.029 2.417.400,00 Maret 2.719 1.631.400,00 April 3.272 1.963.200,00 Mei 3.111 1.866.600,00 Total 4.120.000,00

12.071.400,00

Sumber data BTNGHS, 2010 dan 2011 data diolah

7.2.2. Pendapatan Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor telah memiliki Rencana Induk Pengembangan Parwisata

Daerah (RIPPDA) yang disusun pada tahun 2005. RIPPDA tersebut telah

membagi perwilayahan pariwisata di Kabupaten Bogor dalam 3 zona inti dan 5

zona pendukung. Kawasan GSE masuk dalam zona inti dan oleh Kabupaten

Bogor ditetapkan sebagai puncak kedua. Berdasarakan Perda Kabupaten Bogor

No. 1 tahun 2008 tanggal 18 Januari 2008, setiap pengunjung dikenakan biaya

masuk ke kawasan wisata dan obyek wisata yang dikelola oleh Pemda Kabupaten

Bogor dengan tarif yang berbeda dari setiap obyek. Dari kawasan GSE

Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2010 yang masuk ke kas daerah

berdasarkan obyek seperti tabel dibawah ini:

Tabel 40 PAD Kab Bogor kegiatan wisata di GSE pada tahun 2010 Bulan

nama obyek wisata (RpP jumlah

Pintu Masuk Curug Cigamea Curug Ngumpet Air Panas Curug Seribu

Januari 8.300.000,00 6.900.000,00 1.600.000,00 5.600.000.00 2.400.000,00 24.800.000,00 Februari 2.800.000,00 2.950.000,00 400.000,00 1.600.000.00 200.000,00 7.950.000,00 Maret 3.200.000,00 2.350.000,00 900.000,00 2.200.000.00 950.000,00 9.600.000,00 April 4.500.000,00 3.000.000,00 800.000,00 2.200.000.00 1.150.000,00 11.650.000,00 Mei 7.450.000,00 3.650.000,00 1.150.000,00 2.900.000.00 1.350.000,00 16.500.000,00 Juni 6.000.000,00 2.350.000,00 1.000.000,00 1.850.000.00 1.500.000,00 12.700.000,00 Juli 9.600.000,00 5.250.000,00 1.600.000,00 5.000.000.00 1.550.000,00 23.000.000,00 Agustus 3.450.000,00 1.500.000,00 750.000,00 1.200.000.00 550.000,00 7.450.000,00 September 30.000.000,00 26.550.000,00 6.950.000,00 26.050.000.00 8.000.000,00 97.550.000,00 Oktober 2.900.000,00 3.400.000,00 1.300.000,00 3.550.000.00 1.350.000,00 12.500.000,00 November 6.900.000,00 4.000.000,00 1.400.000,00 3.800.000.00 1.000.000,00 17.100.000,00 Desember 10.500.000,00 9.000.00000 5.200.000,00 7.770.000.00 5.100.000,00 37.570.000,00 Rata-rata 7.966.666,00 5.908.333,00 1.920.833,00 5.310.000.00 2.091.666,00 Total 103.566.666,00 76.808.333,00 24.970.833,00 69.030.000.00 7.191.666,00 278.370.000,00

Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor, 2010 diolah

114

Tabel diatas menunjukkan bahwa dalam satu tahun PAD terendah pada

bulan agustus sebesar Rp 7.450.000,00 yang merupakan bulan Ramadhan.

Sebagian masyarakat yang berusaha di kawasan GSE, warung-warung mereka

tutup untuk menjalankan ibadah puasa. Bulan September merupakan lebaran Idul

Fitri, PAD terbesar sepanjang tahun 2010 sebesar Rp 97.550.000,00 hampir setara

dengan empat kali PAD pada saat tahun baru yaitu bulan Januari. Pemilik

warung, homestay, pengusaha catering, pengelola villa dan usaha yang lainnya

menyatakan selama 7 – 10 hari setelah lebaran kawasan GSE ramai dikunjungi,

sedangkan jika tahun baru kawasan hanya ramai dikunjungi selama 1-2 hari saja.

Hal inilah yang menyebabkan pendapatan mereka meningakat dengan tajam pada

Hari Raya Idul Fitri.

Data-data lain menunjukkan bahwa kawasan GSE memberikan kontribusi

PAD cukup besar, tahun 2007, PAD bidang wisata dari hasil retribusi tiket masuk

obyek se Kabupaten Bogor sebesar Rp 179.650.000,00 (Disbudpar, 2008).

Kawasan GSE pada tahun 2010 menyumbang PAD sebesar Rp 278.370.000,00

yang berarti kawasan ini mampu menyumbang 1,5 kali PAD bidang wisata se

Kabupaten Bogor tahun 2007.

7.2.3. Pendapatan Negara Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman

Nasional Gunung Halimun Salak, membawa konsekuensi bertambahnya luasan

dan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh pengelola.

Sosialisasi tentang kawasan dan peraturan-peraturan yang berlaku baik bagi

masyarakat sekitar maupun pengunjung yang datang ke kawasan. Pengunjung

yang datang ke kawasan harus mulai diketuk kesadaran dan kepeduliannya untuk

lebih menjaga dan melestarikan kawasan. Pengunjung yang memasuki kawasan

konservasi seperti TNGHS harus membayar biaya masuk kawasan, sesuai dengan

Peraturan RI No. 59 tahun 1998 tanggal 5 Mei 1998 tentang tarif jasa jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen

Kehutanan dan Perkebunan menetapkan biaya masuk ke kawasan konservasi bagi

wisatawan nusantara sebesar Rp 2.500,00.

Adaya tarif masuk ke kawasan konservasi, akan memberikan sumbangan

pendapatan Negara bukan pajak dari kegiatan wisata terutama di kawasan GSE di

115

TNGHS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola kawasan TNGHS,

terutama Resort Gunung Salak II, penarikan karcis PNBP di pintu masuk Gunung

Bunder 2 dan Gunung Sari dimulai sejak November 2010. Selama tujuh bulan

berjalan, kawasan ini telah memberikan kontribusi pendapatan Rp 75.797.500,00 ke

kas Negara (Tabel 41)

Tabel 41 Pendapatan yang diterima Negara dari kegiatan wisata di GSE

Bulan Nov-Des Tahun 2010 dan Jan-Mei 2011 pengunjung (orang) Pemasukan (Rp)

November 3.596 8.990.000,00 Desember 6.604 16.510.000,00 Januari 6.988 17.470.000,00 Februari 4.029 10.072.500,00 Maret 2.719 6.797.500,00 April 3.272 8.180.000,00 Mei 3.111 7.777.500,00 Total 30.319 75.797.500,00

Sumber data BTNGHS, 2010 dan 2011 data diolah

Tabel 41 menunjukkan, kawasan ini ramai dikunjungi pada bulan-bulan

Desember dan Januari. Kedua bulan tersebut merupakan libur sekolah dan libur

nasional. Trend pengunjung yang memasuki pintu gerbang, senada dengan data-

data yang ditunjukkan oleh Disbudpar Kabupaten Bogor yang telah mengelola

kegiatan wisata selama 21 tahun.

Dampak kegiatan wisata di kawasan Gunung Salak Endah terhadap

perekonomian pemerintah, secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 42.

Tabel 42 Dampak ekonomi kegiatan wisata di GSE bagi masyarakat

No. Indikator Dampak Keterangan 1. Pendapatan

Desa Positif Berlipat ganda dan signifikan bagi kedua

desa 2 Pendapatan

Asli Daerah Positif Dari tahun ke tahun mengalami peningkatan

3. Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP)

Positif Ada pendapatan, walaupun belum signifikan untuk biaya pengelolaan kawasan