Tinjauan Pustaka
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
Hipoglikemia Postprandial
Suzanna Immanuel, Alvina
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak: Hipoglikemia postprandial adalah hipoglikemia yang terjadi 2 sampai 5 jam setelah
mengkonsumsi makanan; dapat terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan akibat
peningkatan kadar glukosa darah setelah makan. Dalam kondisi normal, kadar glukosa darah
2 jam setelah makan biasanya lebih tinggi daripada kadar glukosa puasa. Keadaan kadar
glukosa postprandial yang lebih rendah dari puasa kadangkala dijumpai walaupun tanpa
gejala. Hal tersebut sering dipermasalahkan dokter yang menganggap terdapat kesalahan
pada hasil pemeriksaan laboratorium.
Sebenarnya keadaan itui dapat terjadi, kadar glukosa postprandial bukan saja lebih rendah
dari puasa bahkan dapat terjadi hipoglikemia postprandial. Gejala hipoglikemia yang sering
dijumpai adalah lelah, tremor, palpitasi, iritabilitas sampai pingsan. Hipoglikemia postpran-
dial dapat disebabkan oleh obat (salisilat, beta blocker, pentamidin, ACE inhibitor, disopiramid),
peningkatan sensitivitas insulin, gejala dini dari diabetes melitus (prediabetes), idiopatik,
intake akohol dan postgastrektomi (alimentary hypoglycemia).
Pemeriksaan untuk hipoglikemia postprandial dapat menggunakan sistem ambulatory glu-
cose sampling, breakfast test atau meal tolerance test. Diagnosis hipoglikemia postprandial
ditegakkan bila ada gejala hipoglikemia terutama setelah makan disertai kadar glukosa darah
postprandial >50 mg/dl.
Kata kunci: Hipoglikemia postprandial, sekresi insulin, prediabetes, idiopatik.
333
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
Postprandial Hypoglycemia
Suzanna Immanuel, Alvina
Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta
Abstract: Postprandial hypoglycemia means hypoglycemia that occurred 2-5 hours after meal,
which caused by excessive insulin secretion as a result of after meal increase of blood glucose. In
contrast to normal condition blood glucose concentration after 2 hours of meal is higher than
fasting. Postprandial hypoglycemia sometimes occurs without symptoms. This issue often raised
by doctors that complained about false results from laboratory. In reality this condition happened
due to postprandial glucose values not only it can be lower than during fasting but it could result
in postprandial hypoglycemia. Symptoms may be observed namely tired, tremor, palpitation,
irritability and even syncope. Postprandial hypoglycemia may be caused by drugs (e.g. salicylate,
beta-blocker, pentamidine, ACE inhibitor, disophyramide), increased insulin sensitivity, early sign
of diabetes mellitus (prediabetes), alcohol intake and post gastrectomy (alimentary hypoglycemia)
and idiopathic. Laboratory tests for postprandial hypoglycemia include ambulatory glucose sam-
pling, breakfast test or meal tolerance test. Diagnosis of hypoglycemia postprandial may be build
if there are hypoglycemia symptoms after meal with postprandial blood glucose <50 mg/dL.
Keywords: Postprandial hypoglycemia, insulin, prediabetes, idiopathic.
Pendahuluan
Pemeriksaan glukosa darah postprandial adalah
pemeriksaan yang dilakukan 2 jam setelah makan biasa.
Selama 2 jam tersebut pasien tidak melakukan latihan jasmani
berat, sedangkan pemeriksaan glukosa darah puasa dila-
kukan setelah berpuasa sekurangnya 8 jam.1
Dalam kondisi normal, kadar glukosa darah 2 jam setelah
makan biasanya lebih tinggi daripada kadar glukosa puasa.2
Nilai glukosa darah postprandial baru bermakna apabila
makanan mengandung kira-kira 100 gram karbohidrat. Jika,
kadar glukosa darah postprandial lebih rendah daripada kadar
glukosa darah puasa disertai gejala lelah, tremor, palpitasi,
iritabilitas sampai pingsan, keadaan itu disebut hipoglikemia
postprandial.
Pada simposium hipoglikemia internasional ke-3 tahun
1986 di Roma, dikemukakan konsensus yang menyatakan
bila ada pasien dengan gejala hipoglikemia disertai kadar
glukosa darah <50 mg/dL maka diagnosis hipoglikemia post-
prandial dapat ditegakkan.3
Beberapa kepustakaan mengemukakan adanya gejala
hipoglikemia yang terjadi dua sampai lima jam setelah
mengkonsumsi makanan yang disebut hipoglikemia post-
prandial.4,5 Keadaan itu pertama kali dilaporkan oleh Harris
pada tahun 1924 berdasarkan fakta adanya lima kasus
hipoglikemia setelah makan.3 Hipoglikemia postprandial
terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan akibat
peningkatan kadar gula darah setelah makan.4,5
Keadaan kadar glukosa darah postprandial yang lebih
rendah dari puasa kadangkala dijumpai walaupun tanpa gejala,
tetapi ada juga yang disertai gejala. Hal tersebut sering
dipermasalahkan oleh para dokter yang menganggap terdapat
kesalahan pada hasil pemeriksaan laboratorium padahal
keadaan itu sebenarnya dapat terjadi. Kadar glukosa post-
prandial bukan saja lebih rendah dari puasa bahkan dapat
terjadi hipoglikemia postprandial. Pada makalah ini dibahas
hipoglikemia postprandial yang meliputi definisi, etiologi,
gejala, pemeriksaan laboratorium dan diagnosis.
Hipoglikemia Postprandial
Hipoglikemia postprandial adalah hipoglikemia yang
terjadi 2-5 jam setelah mengkonsumsi makanan; dapat terjadi
karena sekresi insulin yang berlebihan akibat peningkatan
kadar glukosa darah setelah makan.4,5
Hipoglikemia adalah keadaan penurunan kadar glukosa
plasma <50 mg/dL pada laki-laki dan <45 mg/dL pada perem-
puan, serta <40 mg/dL pada bayi dan anak.6,7 Harris3 mela-
porkan bahwa gejala hipoglikemia terjadi jika kadar glukosa
darah dibawah 70 mg/dL. Beberapa penulis mendefinisikan
hipoglikemia sebagai penurunan kadar glukosa darah >20
mg/dL atau 10-20% di bawah kadar glukosa darah puasa.
Hipoglikemia dapat menyebabkan defisiensi glukosa serebral
yang dapat mengakibatkan gejala neuroglukopenik seperti
Hipoglikemia Postprandial
334
Hipoglikemia Postprandial
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
halusinasi dan sulit berkonsentrasi. Pada sistem saraf sim-
patis dapat menyebabkan gejala simpatetik seperti palpitasi,
gelisah, dan berkeringat.8,9
Trias Whipple untuk hipoglikemia terdiri atas gejala
hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah pada saat
terjadinya gejala hipoglikemia, gejala hipoglikemia meng-
hilang pada saat kadar glukosa darah kembali normal.9,10
Etiologi Hipoglikemia Postprandial
Hipoglikemia postprandial dapat terjadi pascagastrek-
tomi (alimentary hypoglycemia), sebagai gejala dini dari dia-
betes melitus (prediabetes) serta dapat idiopatik, disebabkan
alkohol, obat (seperti salisilat, beta bloker, pentamidin, ACE
inhibitor, disopiramid), dan peningkatan sensitivitas insu-
lin.6,7,10,11
Pada pasien dengan operasi traktus gasrointestinal
bagian atas seperti gastrektomi, gastrojejunostomi, piloro-
plasti dapat terjadi pemasukan dan absorpsi glukosa di usus
secara cepat yang menyebabkan kenaikan kadar glukosa
darah dan memacu pelepasan insulin berlebihan.7 Di dalam
usus juga dihasilkan glucagon like peptide 1 (GLP-1) yang
fungsinya sebagai inkretin yaitu menstimulasi sekresi insu-
lin.14 GLP 1 dapat meningkat setelah makan.15 Hal itu dapat
menyebabkan hipoglikemia dalam waktu 1-3 jam setelah
makan.7
Sebuah penelitian terhadap 27 pasien yang mengalami
gastrektomi membuktikan bahwa kenaikan GLP 1 meng-
induksi pelepasan insulin dan menghambat glukagon.
Konsentrasi GLP 1 postprandial rata-rata 44 pmol/L pada
orang sehat, 172 pmol/L pada pasien gastrektomi tanpa
hipoglikemia postprandial, dan 502 pmol/L pada pasien
gastrektomi dengan kadar glukosa 2 jam postprandial <68
mg/dL.3
Penelitian Nielsen terhadap sukarelawan sehat yang
dibagi dalam beberapa kelompok yaitu diberi infus GLP intra
vena (IV), hormon inkretin lainnya gastric insulinotropic
polipeptide (GIP), dan infus glukosa IV. Ternyata pada yang
diberikan GLP 1 didapatkan kadar glukosa darah yang
terendah yaitu 43 mg/dL, sedangkan pada yang diberikan
GIP dosis rendah didapatkan kadar glukosa darah 66 mg/dL.
Pada pasien yang diberikan GIP dosis tinggi didapatkan kadar
glukosa darah 59 mg/dL dan pada yang diberikan glukosa IV
didapatkan kadar glukosa darah 81 mg/dL. Respon GLP 1
yang berlebihan pada pasien gastrektomi mengakibatkan
pengosongan lambung yang cepat sehingga menyebabkan
tingginya insiden hipoglikemia postprandial.3
Hipoglikemia postprandial dapat terjadi sebagai gejala
dini diabetes melitus tipe II dan menunjukkan gangguan
fungsi pankreas yang tidak seimbang.5 Keadaan hiper-
glikemia pada penderita ini, pada awalnya tidak menginduksi
pelepasan insulin, lalu terjadi pelepasan insulin oleh
pankreas secara berlebihan yang menyebabkan hipoglikemia
setelah makan.2,12 Pada keadaan ini terdapat gejala simpatetik
yang terjadi 4 sampai 5 jam setelah makan.7
Hipoglikemia postprandial idiopatik umumnya terjadi
pada usia dewasa tetapi juga dapat terjadi pada anak. Pen-
derita hipoglikemia postprandial idiopatik dapat berangsur
sembuh.2 Pada hipoglikemia idiopatik kemungkinan terjadi
peningkatan sensitivitas α adrenergik dan stres emosional.13
Alkohol dapat meningkatkan respons insulin.
Kolazsynski3 melaporkan bahwa alkohol dapat mengurangi
respons kortisol, epinefrin, dan glukagon pada penderita
hipoglikemia.
Salisilat, beta bloker, pentamidin, ACE inhibitor, diso-
piramid adalah obat yang dapat menghambat glukoneoge-
nesis.7
Peningkatan sensitivitas insulin dapat menginduksi
hipoglikemia.3 Insulin adalah hormon yang disekresi sel α
pulau Langerhans Pankreas yang mempunyai 51 asam amino
terdiri atas 21 asam amino pada rantai A dan 30 asam amino
pada rantai B yang dihubungkan oleh dua ikatan disulfida.
Pankreas mensekresi kira-kira 40-50 unit insulin perhari pada
orang dewasa normal.14,15 Pro-insulin adalah prekursor insu-
lin yang diproses menjadi insulin di dalam granula sel α
pankreas secara enzimatik. Pro-insulin terdiri atas rantai
tunggal 86 asam amino, terdiri atas rantai A dan B ditambah
35 asam amino. Karboksipeptidase H (CPE) memecah dua
pasang asam amino (3 arginin dan 1 lisin) dari molekul pro-
insulin, menghasilkan 51 asam amino sebagai molekul insu-
lin dan 31 asam amino sebagai C peptide.15 C peptide belum
diketahui aktivitas biologinya, dilepaskan dari sel α dalam
jumlah yang sama dengan insulin.14,15
Pemeriksaan insulin, pro-insulin dan C peptide dilakukan
untuk mengetahui insulinoma atau pemberian insulin dari
luar yang menyebabkan hipoglikemia. Insulinoma dapat
menyebabkan hipoglikemia setelah berpuasa lebih dari 10
jam. Untuk pemeriksaan hipoglikemia puasa dapat dilakukan
tes penekanan yaitu pasien harus berpuasa selama 72 jam
dan diawasi ketat. Observasi puasa selama 72 jam harus
dilakukan di rumah sakit dan mengikuti prosedur standar.15,16
Prosedur Puasa 72 Jam16
1. Permulaan puasa dicatat dan semua pengobatan dihen-
tikan
2. Diperbolehkan minum minuman yang bebas kalori dan
kafein
3. Dianjurkan tetap aktif melakukan kegiatan di luar jam
istirahat
4. Diukur glukosa plasma, insulin, C peptide dan pro-insu-
lin.
5. Pengukuran diulangi setiap 6 jam sampai glukosa plasma
<60 mg/dL. Bila sudah <60 mg/dL pengukuran diulangi
setiap 1-2 jam.
6. Akhiri puasa ketika glukosa plasma <45 mg/dL dan sudah
ada gejala hipoglikemia.
7. Pada akhir puasa, diukur glukosa plasma, insulin, C pep-
tide, pro-insulin. Lalu disuntikkan 1 mg glukagon dan
diukur glukosa plasma setelah 10, 20, 30 menit.
335
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
Hipoglikemia Postprandial
AB
A B
Pada pasien dengan insulinoma, biasanya terdapat
peningkatan pro-insulin dan C peptide yang sama dengan
peningkatan kadar insulin. Pada pemberian injeksi insulin
didapatkan kadar insulin yang tinggi sedangkan C peptide
rendah.14
Hormon gastrointestinal mungkin berperan dalam
peningkatan sensitivitas insulin.3,16 Hormon gastrointesti-
nal yang penting antara lain gastrin, sekretin, kolesistokinin
yang dapat meningkatkan sekresi insulin. Hormon tersebut
dilepaskan dari sistem gastrointestinal setelah makan.3
Bergman mengembangkan konsep keseimbangan
homeostatik antara sensitivitas insulin dan sekresi insulin;
jika sensitivitas insulin meningkat maka kadar insulin menurun
untuk menghindari aksi insulin yang berlebihan. Hubu-
ngannya dituliskan sebagai berikut: SI x I = konstanta, dimana
SI adalah sensitivitas insulin dan I adalah kadar insulin
plasma. Jadi sensitivitas insulin yang tinggi secara umum
akan dikompensasi dengan penurunan sekresi insulin,
sehingga tidak terjadi hipoglikemia. Dalam suatu penelitian,
didapatkan bahwa SI x I meningkat pada pasien dengan
hipoglikemia postprandial.3 Leonetti mengatakan bahwa
defisiensi sekresi glukagon pada pasien hipoglikemia post-
prandial berhubungan dengan sensitivitas insulin dan sekresi
insulin yang tinggi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Lyckx dan Lefebore terhadap 47 pasien yang menunjukkan
gejala hipoglikemia postprandial (<45 mg/dL) membuktikan
bahwa respons insulin yang berlebihan sebagai penyebab
dari hipoglikemia.3
Gejala Hipoglikemia Postprandial
Gejala hipoglikemia terdiri atas gejala simpatetik (seperti
gelisah, palpitasi, iritabilitas, tremor, berkeringat) dan gejala
neuroglukopenik (seperti lapar, pusing, penglihatan kabur,
kesulitan berpikir, pingsan).
Mitrakou dan Cryer3 mendapatkan bahwa kadar glukosa
darah 57 mg/dL merupakan permulaan terjadinya gejala
simpatetik dan pada kadar 50 mg/dL merupakan permulaan
gejala neuroglukopenik
Pemeriksaan Laboratorium Hipoglikemia Postprandial
Pemeriksaan untuk hipoglikemia postprandial jika
penyebabnya permulaan diabetes adalah pemeriksaan
glukosa plasma, dimana glukosa meningkat selama 2 jam
pertama lalu glukosa plasma rendah pada jam ketiga sampai
keempat. Jika penyebabnya postgastrektomi akan didapatkan
peningkatan glukosa yang cepat dalam waktu <1 jam serta
penurunan yang cepat pada <2 jam.6 Pada hipoglikemia post-
prandial idiopatik, glukosa plasma normal pada jam kesatu
sampai kedua, lalu glukosa plasma menurun pada jam ketiga
dan kembali ke nilai normal pada jam kelima.6 (Gambar. 3)
Konsensus menyatakan bahwa tes toleransi glukosa
saja tidak dapat dipercaya dalam menegakkan diagnosis
hipoglikemia postprandial, tetapi harus diperhatikan hal-hal
lainnya seperti respons insulin, serta hubungan gejala dan
nilai glukosa darah.3,11 Kadar glukosa darah yang diukur
secara spontan selama episode simptomatik adalah penting
untuk menegakkan diagnosis bila gejala yang terjadi tidak
spesifik.4 Hal penting bagi penderita adalah melaporkan gejala
subjektif yang terjadi sehingga darah dapat diambil dan
diperiksa sesuai dengan gejala yang timbul. Bila gejala
bertambah buruk maka sebaiknya penderita diberi glukosa
dan pemeriksaan dihentikan, tetapi kadar glukosa darah tetap
dicatat pada waktu ditemukan gejala yang paling nyata.5
Lew Ran dan Anderson mempelajari penurunan glukosa
darah setelah tes toleransi glukosa oral pada 650 pasien yang
tidak menunjukkan gejala hipoglikemia, ditemukan 10% pasien
Gambar 3. Kurva Test Toleransi Glukosa 17
336
Hipoglikemia Postprandial
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009
mempunyai kadar glukosa plasma <47 mg/dL dan 2,5%
mempunyai nilai <39 mg/dL. Farris menemukan kadar glukosa
plasma <49 mg/dL pada 7,4% pasien dan <29 mg/dL pada 14
%. Hofeldt, mencatat bahwa 48% subyek normal mempunyai
kadar glukosa plasma <50 mg/dL. Nilai glukosa darah yang
rendah dapat ditemukan pada orang sehat tanpa gejala.3
Ambulatory glucose sampling adalah pengontrolan
kadar glukosa yang dilakukan oleh pasien sendiri yang
memungkinkan mendapatkan kadar glukosa sesuai dengan
gejala yang terjadi dan dirasakan pasien. Pasien secara hati-
hati dididik untuk menggunakan glukosameter dan
menuliskan hasil glukosa darah mereka yang dihubungkan
dengan gejala yang terjadi.3
Breakfast test merupakan test yang lebih akurat
daripada tes toleransi glukosa oral, karena menirukan
kebiasaan sehari-hari makanan. Makanan tersebut terdiri atas
80 gram roti, 10 gram mentega, 20 gram selai, 80 ml susu
skimer, 10 gram gula, yang setara dengan 9,1% protein, 27,5%
lemak, 63,4% karbohidrat. Test itu memberikan jumlah yang
sama dengan karbohidrat yang digunakan sebagai standard
tes toleransi glukosa oral yaitu diberikan glukosa 75 gram,
serta memberikan peningkatan yang mirip dalam glukosa
darah. Pemeriksaan tersebut lebih cocok untuk mendiagnosis
hipoglikemia postprandial daripada tes toleransi glukosa
oral, terutama untuk pasien yang terganggu toleransi gluko-
sanya.3,18
Sebuah penelitian dengan menggunakan breakfast test
membandingkan 43 individu sebagai kontrol, 38 individu
dengan hipoglikemia postprandial dan 1193 individu
asimptomatik. Hasilnya didapatkan kadar glukosa darah <59
mg/dL pada individu tanpa keluhan hipoglikemia sebesar
3,2% (2,2% pada individu kontrol dan 1% pada individu asimp-
tomatik), sementara itu ditemukan 47,3% pada individu
dengan tersangka hipoglikemia postprandial. Hasil ini mirip
dengan laporan Palardy yang menggunakan ambulatory
glycemic control, terhadap 28 pasien dengan hipoglikemia
postprandial yaitu 46% pasien menunjukan kadar glukosa
darah <59 mg/dL. Ternyata, breakfast test hampir bermakna
pada sebagian pasien. Dengan tes itu diharapkan pasien
dapat mengikuti makanan sehari-hari dan mengukur glukosa
darah dengan sistem ambulatory glucose sampling. Tes
tersebut melihat kecenderungan hipoglikemia postprandial
setelah standard breakfast 3
Selain dengan breakfast test dapat juga dilakukan meal
tolerance test untuk mengevaluasi hipoglikemia postpran-
dial. Caranya hampir sama dengan breakfast test, yaitu
pasien disuruh untuk makan standard breakfast yang terdiri
atas 6 ons jus jeruk yang tidak manis, 8 ons cornflakes, 8 ons
susu rendah lemak, 1 sendok makan gula, 2 potong roti, 1
sendok makan jelly, 1 buah telur. Pengukuran kadar glukosa
dilakukan setiap 30 menit setelah selesai makan selama 5 jam
dan pada waktu kapan saja jika pasien menunjukkan gejala
hipoglikemia.19
Diagnosis Hipoglikemia Postprandial
Diagnosis hipoglikemia postprandial berdasarkan gejala
hipoglikemia yaitu: gejala simpatetik (seperti gelisah, palpitasi,
iritabilitas, tremor, berkeringat), gejala neuroglukopenik
(seperti lapar, pusing, penglihatan kabur, kesulitan berpikir,
pingsan), serta perasaan tak enak (seperti muntah, sakit
kepala).3,13 Gejala yang terjadi setelah makan secara bermakna
berhubungan dengan kadar glukosa darah yang rendah.4
Gejala terjadi 2-4 jam setelah makan dan tiba-tiba, umumnya
mereda dalam 15-20 menit, tidak lebih dari 30 menit. Selain itu
juga harus disertai kadar glukosa darah <50 mg/dL.3,5,6
Penutup
Dalam kondisi normal, kadar glukosa darah 2 jam setelah
makan biasanya lebih tinggi daripada kadar glukosa puasa.
Kadangkala dijumpai kadar glukosa postprandial lebih
rendah dari puasa. Hal itu sering dipermasalahkan para dokter
yang menganggap sebagai kesalahan pada hasil pemeriksaan
laboratorium. Sebenarnya keadaaan itu dapat terjadi yaitu
kadar glukosa darah postprandial lebih rendah daripada
kadar glukosa darah puasa dengan atau tanpa disertai gejala.
Keadaan itu disebut hipoglikemia postprandial.
Pemeriksaan hipoglikemia postprandial dapat meng-
gunakan sistem ambulatory glucose sampling, breakfast test
atau meal tolerance test. Diagnosis hipoglikemia postpran-
dial ditegakkan bila ada gejala hipoglikemia terutama yang
terjadi setelah makan disertai kadar glukosa darah postpran-
dial <50 mg/dL.
Daftar Pustaka
1. Suryaatmadja M. Ketidaksesuaian hasil laboratorium pada diag-
nosis dan pemantauan diabetes melitus. Dalam: Suryaatmadja M.
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2003. Jakarta;
2003.h.1-17.
2. Hogan MJ, Service FJ. Reactive hypoglycemia. In: Service FJ.
Hypoglycemia disorders pathogenesis, diagnosis, and treatment.
Boston: GK Hall Medical Publishers; 1983.p.165-73.
3. Brun JF, Fedou C. Mercier J. Postprandial reactive hypoglyce-
mia. Diabetes & Metabolism 2000; 26:337-51.
4. Palardy J, Havrankova J, Lepage R, Matte R, et.al. Blood glucose
measurement during symptomatic episodes in patients with sus-
pected postprandial hypoglycemia. N Engl J Med 1989;321(21):
1421-5.
5. Widmann FK. Kelenjar endokrin. Tinjauan klinis atas hasil
pemeriksaan laboratorium. Edisi ke-9. [Penerjemah Gandasoebrata
R, Latu J, Kresno SB]. Jakarta: EGC; 1989.h.472-5.
6. Chen K, Graber MA. Hematologic, electrolyte, and metabolic
disorders: glucose. Available at: http://www. Vh. Org/ adult/pro-
vider/familymedicine/FP Handbook/Chapter 06/12-16.html.
7. Hypoglycemia. Diunduh dari: www.merck.com
8. Cryer PE. Hypoglycemia. In: Braunwald E, Fauci SA, Kasper LD,
eds. Harrison’s principles of Internal Medicine. 15th ed. New York:
Mc Graw-Hill Companies; 2001.p.2138-42.
9. Snow KJ. Hypoglycemia. Diunduh dari: www.emedicine.com
10. Hypoglycemia low level of blood sugar (glucose). Diunduh dari:
www.dreddyclinic.com
11. Postprandial hypoglycemia. Diunduh dari: www.uni-duesseldorf.de
337
Hipoglikemia Postprandial
12. Wiyono P. Hipoglikemia pada pasien diabetes melitus. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 1996.h.616-21.
13. Berlin I, Grimaldi A, Landault C, et.al. Suspected postprandial
hypoglycemia is associated with â adrenergic hypersensitivity
and emotional distress. J Clin Endocrinol Metab. 1994;79(5):
1428-33.
14. Knudson EP, Weinstock SR, Henry BJ. Carbohydrates. In: Henry
BJ. Clinical diagnosis and management by laboratory methods.
20th ed. New York: WB Saunders; 2001.p.211-23.
15. Karam JH, Young CW. Pancreatic hormones and diabetes melli-
tus, hypoglycemic disorders. In: Greenspan FS. Basic and clinical
endocrinology. 3rd ed. a LANGE medical book; 1991.p.593-662.
16. Service FJ. Hypoglycemia. Endocrinology and metabolism clin-
ics of North America 1997;26(4):937-51.
17. Glucose tolerance test. Diunduh dari http://hypoglykemie.nl/
gtt.htm.
18. Hogan MJ, Service FJ, Sharbrough FW, Gerich JE. Oral glucose
tolerance test compared with a mixed meal in the hypoglycemia.
A caveat on simulation. Mayo clinic Proc 1983;58:491-6.
19. Watts NB, Keffer JH. Insulin and glucose homeostasis. In: Prac-
tical Endocrine Diagnosis. 3rd ed. Philadelphia: Lea & Febiger;
1982.p.129-50.
SS
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 7, Juli 2009338