ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
PRESTASI BELAJAR SISWA
WIWIK WIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pola Aktivitas, Tingkat Kelelahan dan Status Anemia serta Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Siswa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Wiwik Widayati NRP. A551050031
ABSTRACT
WIWIK WIDAYATI. Analysis of Activity Pattern, Fatigue Level, and Anemia Status and The Effect on Study Achievement of Student. Under direction of SITI MADANIJAH and IKEU TANZIHA
This research aim to analyze activity pattern, fatigue level, and the anemia status and also the effect on study achievement of student. This research use the cross-sectional study design, where 93 students in MTsN 1 Malang selected for sample (using random sampling technique). Data were analyzed with anova test experiment and Rank Spearman corelation experiment using SPSS 15.00. The result shows that the biggest time allocation of acceleration class student, pre-eminent class student and also regular class student are used to sleep, result of test statistic significantly correlate with study achievement (p = 0,008). Student fatigue level of the students from those three classes mostly categorized as tired, the result of test statistic show that it significant correlate (p = 0,003) with food consumption behavior. Prevalence of anemia status is 1,1%, which this anemia status not significant correlate (p = 0,001) with study achievement. The study achievement of the three groups, as indicated by the school report card, result of anova test different significant (p = 0,000) of three classes. In general, result of this research show factors having an effect on study achievement are study activity, sleep activity, and Hb level.
Keyword: activity, fatigue, anemia, study achievement.
RINGKASAN
WIWIK WIDAYATI. Analisis Pola Aktivitas, Tingkat Kelelahan, dan Status Anemia serta Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Siswa. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan IKEU TANZIHA. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada umumnya bersifat klasikal, kelemahan sistem ini tidak terakomodasikannya kebutuhan individual siswa yang pada dasarnya tidak sama baik intelegensi, bakat dan minatnya. Penyelenggaraan kelas akselerasi (percepatan belajar) dianggap salah satu alternatif bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata. Namun, penyelenggaraan kelas akselerasi yang sudah diujicobakan beberapa tahun terakhir ini masih mengandung pro dan kontra dari banyak kalangan. Terkait dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana keragaan pola aktivitas, tingkat kelelahan dan status anemia serta pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik siswa akselerasi, unggulan dan reguler; menganalisis pola aktivitas dan tingkat kelelahan siswa akselerasi, unggulan dan reguler; menganalisis perilaku konsumsi pangan dan status anemia siswa; menganalisis tingkat stres siswa; menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelelahan siswa; serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional study, di MTsN 1 Malang. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan terdapatnya program akselerasi, unggulan dan reguler serta kesediaan bekerjasama dalam penelitian. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2008. Contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas dua (akselerasi) dan siswa kelas tiga (unggulan dan reguler). Pengambilan contoh secara acak (random sampling). Besarnya contoh didasarkan pada alokasi proporsional dari tiga kelompok yaitu 20 orang untuk kelas akselerasi; 21 orang kelas unggulan; dan 52 orang kelas reguler. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, uang saku dan pengetahuan gizi), karakteristik keluarga (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua dan jumlah anggota keluarga), pola aktivitas, perilaku konsumsi, status gizi (berat badan, tinggi badan), status anemia (kadar hemoglobin), status kesehatan, tingkat kelelahan, tingkat stres, tingkat kepuasan, motivasi serta lingkungan keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisisan kuesioner. Konsumsi pangan diperoleh dengan metode recall 2 x 24 jam yaitu pada hari libur dan hari sekolah. Pola aktivitas diperoleh dari pencatatan recall 2 x 24 jam pada hari libur dan hari sekolah. Berat badan dan tinggi badan contoh diperoleh dengan pengukuran langsung, alat yang digunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan injak dengan tingkat ketelitian 0,1 kg, sedangkan tinggi badan menggunakan alat ukur microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Kadar Hb diukur dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin dengan mengambil darah contoh sebanyak 0,2 ml yang dilakukan oleh petugas
profesional dari laboratorium SIMA Kota Malang. Data sekunder diperoleh dari data sekolah meliputi karakteristik sekolah, sarana dan prasarana. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan Program SPSS versi 15.0 for windows. Kontrol kualitas data yang dilakukan yaitu uji reliabilitas untuk alat ukur tingkat kelelahan, tingkat stres, tingkat kepuasan, motivasi dan lingkungan keluarga dengan metode Cronbach’s Alpha. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji Korelasi Pearson. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelelahan siswa dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa digunakan analisa regresi linier berganda. Analisis terhadap pola aktivitas menunjukkan alokasi waktu terbesar contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler digunakan untuk tidur yaitu 8,5 jam sehari. Selanjutnya aktivitas contoh pada ketiga kelas yang juga memakan waktu yang cukup banyak adalah untuk kegiatan sekolah yaitu 7,2 jam, sedangkan alokasi waktu terkecil digunakan untuk aktivitas olah raga yaitu 0,2 jam dari keseluruhan aktivitas. Hasil uji anova menunjukkan aktivitas belajar, bermain dan tidur berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil uji statistik menunjukkan pola aktivitas tidak berhubungan dengan tingkat kelelahan. Analisis tingkat kelelahan menunjukkan pada umumnya sebagian besar contoh pada ketiga kelas (81,7%) merasa lelah. Hasil uji anova tidak berbeda nyata pada ketiga kelas, sedangkan hasil uji statistik menunjukkan tingkat kelelahan berhubungan negatif dengan perilaku konsumsi pangan. Status anemia contoh dinilai dari hasil pengukuran hemoglobin (Hb) dalam darah. Kadar Hb contoh berkisar antara 11,7-17,5 g/dl, dengan rata-rata kadar Hb 14,1±1,2 g/dl. Analisis status anemia menunjukkan proporsi anemia contoh sebesar 1,1%. Hasil uji anova menunjukkan status anemia pada ketiga kelas tidak berbeda nyata, sedangkan hasil uji statistik menunjukkan status anemia tidak berhubungan dengan prestasi belajar. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelelahan adalah umur, perilaku konsumsi pangan dan tingkat stres, dengan besar pengaruhnya 42,4%. Analisis statistik terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar menunjukkan bahwa aktivitas belajar, aktivitas tidur dan kadar Hb berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, adapun besar pengaruhnya adalah 42,5%. Kata kunci : aktivitas, kelelahan, anemia, prestasi belajar.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
PRESTASI BELAJAR SISWA
WIWIK WIDAYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Judul Tesis : Analisis Pola Aktivitas, Tingkat Kelelahan dan Status Anemia serta Pengaruhnya terhadap Prestasi Belajar Siswa
Nama : Wiwik Widayati NRP : A551050031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Siti Madanijah, M.S Ketua
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, M.S Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 22 Januari 2009
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Analisis
Pola aktivitas, Tingkat Kelelahan dan Status Anemia serta Pengaruhnya terhadap
Prestasi Belajar Siswa. Pengambilan judul ini dilatarbelakangi masih adanya
pendapat yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan program akselerasi pada
beberapa tahun terakhir ini.
Selama mempersiapkan dan melakukan penelitian sampai akhirnya dapat
menyelesaikan tesis ini, saya mendapat bimbingan banyak yang tidak ternilai
harganya dari pembimbing saya : Dr.Ir. Siti Madanijah, MS (ketua komisi) dan
Dr.Ir. Ikeu Tanziha, MS (anggota). Kebijaksanaan, kesabaran, dan ketelatenan
beliau sangat berguna dan merupakan pelajaran yang tak ternilai dan sangat
berharga bagi saya. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari masukan, saran,
dan koreksi dari Prof.Dr.Ir. Ali Khomsan, MS yang bertindak sebagai penguji luar
komisi pembimbing pada saat ujian tesis.
Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi,
Pengajar dan Pegawai Administrasi Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga IPB yang telah memberi perhatian, memberi ilmu yang
berharga, dan memberikan pelayanan administrasi akademik kepada saya selama
kuliah di IPB.
Ibu Dra. Binti Maqsudah, MPd selaku Kepala Sekolah MTsN1 Malang,
atas diperkenankannya saya melakukan penelitian di sana. Bapak Moch.
Solehudin, SPd selaku guru Bahasa Arab, atas kerelaannya memberikan jam
pelajarannya pada saya untuk penelitian ini. Bapak Drs. Moh. Taufik, MPd selaku
pembina UKS MTsN 1 Malang yang telah memperkenankan saya menggunakan
Ruang UKS untuk pengisian kuesioner dan pengambilan darah selama penelitian
ini. Ibu Ana Fikrotuz Zakiyah, SPd kakak sekaligus guru Biologi yang telah
banyak sekali membantu saya selama penelitian ini dari awal sampai akhir serta
yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya. Ibu Eli Cholidah, SAg guru
UKS yang sudah banyak membantu selama penelitian. Siswa kelas 8 H
(Akselerasi), siswa kelas 9 H (Unggulan) dan siswa kelas reguler dari A sampai G
yang terpilih menjadi sampel penelitian saya, atas kesediaannya bekerja sama
selama penelitian ini sehingga penelitian ini bisa selesai dengan baik.
Bapak dan ibu saya, H. Rodhi dan Hj. Suwanah yang penuh kasih sayang
dan perhatian serta doa-doanya yang tulus. Suami saya tercinta, Andri Khairul
Anam, Amd dan anak saya tercinta Ridho Shohib Arroyyan, atas doa dan cinta
kasih serta pengertian dan perhatiannya dan juga atas dorongan semangat yang
selalu dipompakan setiap saat.
Mas Suroso dan Adik Fauzi atas perhatian, dukungan dan doanya. Ibu Hj.
Anwar selaku ibu mertua saya, serta ipar-ipar saya (Mbak Nana & Mas Jamal;
Mbak Is & Mas Zein, Mbak Wilda & Mas Anang, serta Mbak Irna & Mas Bidin),
yang telah memberikan perhatian dan dorongan untuk menyelesaikan studi saya.
Keponakan-keponakan saya (Fatkhur, Ghofur, Zila, Jawwad, Ijaz, Silmi, Farin,
Izzat, Qorin, Hilya, Ahda, Fira, Rima, Ira, serta Rahma dan Izzah) yang
sholeh/sholihah dan selalu menghibur saya.
Teman-teman saya pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga : Ibu Enok Sobariah, Ely Walimah, Nita Rahmiwati, Ibu Nur Rahmi
Amma, Ibu Sri Darningsih, Ibu Asih, Ni Ketut Sutiari, Merynda Indriyani,
Febrina Sulistyawati, Nur Riska Tajoedin, Guspri Devi Artanti, Cica Yulia,
Nunung Cipta Dainy, Nita Yulianis, Arfiati, mbak Nur, Ibu Maya Kandina, Fahmi
Abdul Hamid dan Rusman Efendi, serta teman-teman lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Teman-teman di Wisma Vamdi yang senantiasa mendorong dan
mendoakan penulis sehingga bisa menyelesaikan tesis ini. Serta teman-teman liqo
atas doa dan dorongannya untuk menyelesaikan studi ini.
Semoga Allah SWT membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya.
Mudah-mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mojokerto, tanggal 13 April 1983 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak H. Rodhi dan Ibu Hj. Suwanah.
Penulis menikah dengan Andri Khairul Anam, Amd dan dikaruniai seorang putra
bernama Ridho Shohib Arroyyan.
Tahun 1995 penulis tamat MI Al Hidayah Trowulan, Mojokerto, kemudian
melanjutkan ke MTsN Sooko, Mojokerto dan tamat tahun 1997. Selanjutnya
penulis diterima di SMUN 1 Sooko, Mojokerto dan tamat tahun 2000. Setelah
tamat SMU, penulis melanjutkan studi di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian,
Universitas Muhammadiyah Malang dan tamat tahun 2005. Pada tahun 2002
sampai 2005 penulis bekerja sebagai asisten di laboratorium Kimia Universitas
Muhammadiyah Malang.
Tahun 2005 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga (GMK).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................ 3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4 Hipotesis .............................................................................................. 4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5 Prestasi Belajar .................................................................................... 5 Determinan Prestasi Belajar ................................................................ 6 Karakteristik Remaja ............................................................................ 7 Karakteristik Keluarga ........................................................................ 8 Konsumsi Pangan ................................................................................ 10 Status Gizi ........................................................................................... 11 Status Kesehatan ................................................................................. 12 Hubungan Anemia Gizi Besi dengan Prestasi Belajar ........................ 13 Pola Aktivitas ...................................................................................... 15 Kelelahan ............................................................................................. 16 Determinan Tingkat Kelelahan ........................................................... 17 Stres ..................................................................................................... 19
Sumber stres ............................................................................... 20 Tingkat stres ............................................................................... 20 Stres di Bidang Akademis pada Siswa Berbakat ....................... 21
Motivasi .............................................................................................. 22 Kepuasan ............................................................................................. 24
KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................... 25
METODE ........................................................................................................ 27
Desain, Tempat dan Waktu ................................................................. 27 Teknik Penarikan Contoh .................................................................... 27 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... 28 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. 29 Definisi Operasional ............................................................................ 37
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 39 Keadaan Umum Sekolah ..................................................................... 39 Karakteristik Keluarga ........................................................................ 40
Pendidikan ................................................................................... 40 Pekerjaan ..................................................................................... 41
Pendapatan .................................................................................. 42 Besar Keluarga ............................................................................ 43
Karakteristik Contoh ........................................................................... 43 Umur dan Jenis Kelamin ............................................................. 43 Uang Saku ................................................................................... 44 Pengetahuan Gizi ........................................................................ 45
Perilaku Konsumsi Pangan ................................................................. 47 Kebiasaan Makan ........................................................................ 47
Analisis Konsumsi .............................................................................. 52 Konsumsi Energi dan Zat Gizi .................................................... 52 Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi ...................................... 54
Pola Aktivitas ...................................................................................... 57 Status Gizi ........................................................................................... 58
Status Gizi Antropometri ............................................................ 59 Status Anemia ............................................................................. 61
Status Kesehatan ................................................................................. 62 Tingkat Kelelahan ............................................................................... 64 Tingkat Stres ....................................................................................... 66 Tingkat Kepuasan ................................................................................ 70 Motivasi .............................................................................................. 73 Lingkungan Keluarga .......................................................................... 76 Prestasi Belajar .................................................................................... 82
Nilai Pelajaran IPA .................................................................... 83 Nilai Pelajaran IPS ..................................................................... 83 Nilai Pelajaran Bahasa ............................................................... 84 Nilai pelajaran Agama ............................................................... 84
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kelelahan ...................... 86 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar .......................... 87
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 89 Kesimpulan ......................................................................................... 89 Saran .................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 91 LAMPIRAN .................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis dan cara pengumpulan data .............................................................. 29
2 Kategori pengetahuan gizi menurut skor pengetahuan gizi ...................... 30
3 Klasifikasi status gizi menurut indeks massa tubuh (IMT) ........................ 31
4 Skala pengukuran variabel-variabel penelitian ......................................... 34
5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu ............................. 40
6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu ................................ 41
7 Sebaran contoh berdasarkan kategori kemiskinan .................................... 42
8 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga ............................... 43
9 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin ............................... 44
10 Sebaran contoh berdasarkan kategori uang saku ...................................... 44
11 Sebaran contoh berdasarkan jawaban benar pertanyaan pengetahuan gizi ............................................................................................................. 45
12 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengetahuan gizi ........................... 46
13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan .......................................... 48
14 Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi seminggu terakhir ...................................................................................... 51
15 Sebaran contoh berdasarkan kategori perilaku konsumsi pangan ............. 51
16 Rata-rata konsumsi, kecukupan gizi yang dianjurkan dan tingkat konsumsi energi dan zat gizi contoh ............................................. 54
17 Rata-rata penggunaan waktu contoh untuk berbagai aktivitas .................. 58
18 Berat badan dan IMT contoh ..................................................................... 59
19 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi antropometri ................. 60
20 Sebaran contoh berdasarkan kategori status anemia ................................. 61
21 Sebaran contoh berdasarkan kategori status kesehatan ............................. 63
22 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelelahan ........................... 64
23 Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan tingkat kelelahan ....................... 65
24 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat stres ................................... 66
25 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres ................................................... 68
26 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kepuasan ............................ 70
27 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepuasan .......................................... 71
28 Sebaran contoh berdasarkan kategori motivasi belajar ............................. 73
29 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar ........................................... 75
30 Sebaran contoh berdasarkan kategori lingkungan keluarga ...................... 76
31 Sebaran contoh berdasarkan sarana belajar di rumah ............................... 78
32 Sebaran contoh berdasarkan peran orangtua mendorong motivasi belajar anak ............................................................................................... 80
33 Sebaran contoh berdasarkan peran orangtua dalam membimbing kegiatan belajar anak ................................................................................. 81
34 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran IPA ........................ 83
35 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran IPS ......................... 83
36 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran Bahasa ................... 84
37 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran Agama ................... 85
38 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai ............................................... 85
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Skor Jenis Penyakit berdasarkan Tingkat Keparahannya terhadap Anak ............................................................................................ 99
2 Kuesioner Tingkat Kelelahan ..................................................................... 100
3 Kuesioner Tingkat Stres ............................................................................. 101
4 Kuesioner Tingkat Kepuasan ..................................................................... 102
5 Kuesioner Motivasi Belajar ........................................................................ 103
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia serta kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperluas
serta meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Dalam
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, remaja yang merupakan
generasi penerus bangsa harus mendapatkan perhatian khusus. Hal ini terlihat dari
kebijakan khusus tentang remaja yang salah satunya adalah peningkatan minat
belajar dan pembinaan remaja. Kebijakan pemerintah tersebut kemudian
dirumuskan dengan mengadakan peningkatan pendidikan bagi remaja.
Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang
memberikan bantuan pada anak untuk memperoleh pengalaman pendidikan yang
diperlukan. Disamping itu, sekolah merupakan wadah pengembangan diri anak
didik dalam sistem pendidikan agar kedewasaan intelektual maupun kepribadian
mereka berkembang (Suryosubroto, 1988).
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada umumnya bersifat klasikal,
artinya semua siswa di dalam kelas diperlakukan sama. Kelemahan sistem ini
adalah tidak terakomodasikannya kebutuhan individual siswa yang pada dasarnya
tidak sama baik intelegensi, bakat dan minatnya. Siswa yang lebih cepat dari yang
lain tidak terlayani secara baik sehingga potensi yang dimiliki tidak tersalur atau
berkembang secara optimal (Rachman & Latifah 2001).
Widyastono (2004) mengelompokkan kecerdasan dan kemampun siswa
dalam tiga strata: anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-
rata, rata-rata, dan di bawah rata-rata. Siswa di bawah rata-rata memiliki
kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa umumnya. Sebaliknya, siswa
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata memiliki kecepatan
belajar di atas kecepatan belajar siswa-siswa lainnya.
Siswa yang berkemampuan luar biasa tersebut memerlukan penanganan
dan program khusus agar berkembang secara optimal. Sehingga diperlukan
program khusus yang lebih cepat atau lebih luas dari program reguler. ”Lebih
cepat” dapat diartikan bahwa siswa akan dapat menyelesaikan program reguler
2
dalam waktu yang lebih singkat (akselerasi). ”Lebih luas” dapat diartikan bahwa
siswa akan memperoleh kemampuan yang lebih banyak dan dalam dibandingkan
dengan siswa program reguler (Rachman & Latifah 2001).
Penyelenggaraan kelas akselerasi (percepatan belajar) dianggap salah satu
alternatif bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata.
Ini dilakukan untuk mengimbangi kekurangan yang terdapat pada kelas klasikal
yang bersifat massal. Melalui program ini memungkinkan siswa dapat
menyelesaikan waktu belajar lebih cepat dari yang ditetapkan (Widyastono 2004).
Penyelenggaraan kelas akselerasi yang sudah diujicobakan beberapa tahun
terakhir ini masih mengandung pro dan kontra. Mujiran (2004) menjelaskan ada
beberapa kelemahan yang mengiringi penyelenggaraan kelas akselerasi itu.
Pertama, stigmatisasi pada diri siswa yang ada di kelas reguler. Kedua, timbulnya
budaya inferior, muncul kelas eksklusif, arogansi, dan elitisme pada diri siswa-
siswa kelas akselerasi. Masing-masing siswa membentuk group reference mereka
sendiri-sendiri. Ketiga, terjadi dehumanisasi pada proses belajar di sekolah.
Dengan alokasi waktu yang jauh lebih pendek maka siswa dituntut harus belajar
keras. Keempat, siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk
belajar mengembangkan aspek afektif. Padatnya materi yang harus mereka terima,
banyaknya pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan
intelektual yang mereka miliki dan teman-teman sekelas yang rata-rata pandai,
membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas. Tugas-tugas itu bisa mereka
selesaikan sendiri.
Lebih lanjut, Mujiran (2004) menjelaskan bahwa penyelenggaraan kelas
akselerasi memiliki kelebihan yaitu sangat menguntungkan dari sisi waktu, siswa
yang bakat intelektualnya tinggi dibantu secara khusus, sehingga mereka
mendapatkan bantuan pengajaran lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat cepat
lulus, diperkirakan setahun lebih awal dibanding siswa biasa. Jadi, keuntungannya
terletak pada akselerasi pengajaran.
Sekolah Menengah Pertama merupakan lembaga pendidikan formal yang
dimasuki siswa setelah lulus dari Sekolah Dasar. Pada masa SMP ini siswa sedang
memasuki masa remaja awal dengan kisaran umur 12 – 15 tahun. Pada masa ini
remaja mempunyai kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan
3
kegiatan kelompok dengan teman-teman sebaya yang dekat dengannya. Adanya
peer group ini dapat mempengaruhi aktivitas remaja baik yang bersifat positif
maupun negatif, termasuk dalam hal prestasi belajarnya (Hurlock 1997).
Prestasi belajar merupakan salah satu ukuran dari tingkat intelegensi
seseorang. Hanum (1993) menyatakan prestasi belajar anak dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu antara lain faktor dari dalam diri anak sendiri (intelegensi,
motivasi, minat, sikap, dan keadaan gizi), dan faktor luar diri anak (sosio kultural,
sosio ekonomi keluarga, kurikulum, cara guru mengajar dan fasilitas fisik seperti
buku-buku pelajaran). Selain itu prestasi belajar juga dipengaruhi oleh dua
kelompok variabel, yaitu lingkungan sekolah seperti jumlah bacaan dan jenis
kelamin, serta lingkungan di rumah yang meliputi keadaan sosial ekonomi orang
tua, besar keluarga dan besarnya perhatian orang tua pada sekolah anak-anaknya.
Mengingat banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
siswa, peneliti merasa tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang pola
aktifitas, tingkat kelelahan, status anemia, serta faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini, terkait dengan penyelenggaraan
kelas akselerasi (percepatan belajar) yang masih mengandung pro dan kontra dari
banyak kalangan sehingga dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana hubungan pola aktivitas terhadap tingkat kelelahan siswa
akselerasi dan siswa program lainnya?
2. Bagaimana status anemia siswa serta hubungannya dengan prestasi
belajar?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa?
4
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola
aktivitas, tingkat kelelahan dan status anemia serta pengaruhnya terhadap prestasi
belajar siswa.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik siswa akselerasi,
unggulan dan reguler.
2. Menganalisis pola aktivitas dan tingkat kelelahan siswa akselerasi, unggulan
dan reguler.
3. Menganalisis perilaku konsumsi pangan dan status anemia siswa akselerasi,
unggulan dan reguler.
4. Menganalisis tingkat stres siswa akselerasi, unggulan dan reguler.
5. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelelahan siswa
6. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.
Hipotesis
1. Diduga tingkat kelelahan dipengaruhi oleh perilaku konsumsi pangan, pola
aktivitas, status gizi, status anemia, status kesehatan dan tingkat stres.
2. Diduga prestasi belajar dipengaruhi oleh pola aktivitas, tingkat kelelahan,
tingkat kepuasan, motivasi, dan lingkungan keluarga.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi
tentang pola aktivitas, tingkat kelelahan, status anemia, serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Selanjutnya dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi orang tua, pendidik serta pengambil kebijakan dalam upaya
membimbing dan meningkatkan keberhasilan belajar siswa.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Prestasi Belajar
Belajar adalah segenap rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sadar
oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan pada dirinya, berupa tambahan
pengetahuan atau kemahiran. Seorang siswa dikatakan sukses di sekolah apabila
ia secara relatif konstan dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah tanpa
mengalami kesulitan-kesulitan dalam belajar yang dapat mempengaruhi nilai
prestasinya di sekolah. Siswa disini selalu mencapai nilai-nilai yang baik setiap
ulangan maupun ujian (Darmokusumo 1972). Lebih lanjut Winkel (1996)
menyatakan kecerdasan seseorang akan mempengaruhi kemampuan belajar.
Kemampuan belajar merupakan kemampuan untuk berhasil dalam studi di jenjang
pendidikan tertentu.
Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan
hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
kecerdasan kognitif atau yang sering disebut IQ secara umum diketahui sebagai
prediktor utama keberhasilan siswa di sekolah (Atkinson et al. 2000).
Hasil belajar tergantung pada banyak faktor dan tidak semua faktor
mempunyai pengaruh yang sama. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
selain keadaan gizi adalah hereditas, keadaan sosial ekonomi keluarga, faktor
lingkungan, stimulus, fasilitas belajar dan daya tahan tubuh (Yulian 1994).
Disamping itu, Winkel (1996) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan belajar adalah motivasi berprestasi, intelegensi, keadaan sosial
ekonomi serta keadaan fisik dan psikis.
Faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi seorang anak antara lain
faktor keturunan, faktor prenatal yaitu berhubungan dengan faktor gizi dan
penyakit yang diderita ibu hamil, kesulitan dalam proses kelahiran yang
mempengaruhi perkembangan kecerdasan seorang anak serta keadaan sosial
ekonomi. Disamping itu juga dipengaruhi oleh penyakit atau cedera otak, serta
ketunaan pada alat indra yang mengganggu penerimaan rangsang (sensory input)
dari lingkungan sehingga pemrosesan informasi tidak dapat berjalan dengan baik
(Atmodiwirjo 1993).
6
Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya karena
kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Gizi kurang pada anak dapat
mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Menurut Stuart dalam
Judarwanto (2004) kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi
lainnya mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan
DNA di susunan syaraf. Hal itu mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel
otak baru atau melinasi sel otak terutama usia di bawah 3 tahun sehingga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto
2004).
Lebih lanjut, Judarwanto (2004) menyatakan kurang gizi pada fase cepat
tumbuh otak (di bawah usia 18 bulan) akan bersifat irreversible (tidak dapat
pulih) dan kecerdasan anak tersebut tidak bisa lagi berkembang secara optimal.
Kurang energi dan protein pada masa anak-anak akan menurunkan IQ yang
menyebabkan kemampuan geometrik rendah dan anak tidak bisa berkonsentrasi
secara maksimal. Menurut penelitian Arnelia et al. (1995) rata-rata nilai IQ anak
yang pernah menderita gizi buruk sewaktu balita lebih rendah 13.7 point
dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita KEP. Namun IQ yang
tinggi tidak selalu menjadi jaminan untuk meraih prestasi di sekolah, tapi harus
dibarengi dengan upaya mengasah ketrampilan, kerajinan, ketekunan dan
kemampuan berfikir.
Determinan Prestasi Belajar
Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Jadi kebiasan orang belajar juga berpengaruh pada hasil yang diinginkan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi belajar ada dua yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Faktor intern meliputi faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor
kelelahan; sedangkan faktor ekstern contohnya faktor keluarga, faktor sekolah
serta faktor masyarakat (Rahmawati 2008).
Setiap anak mempunyai karakteristik yang beragam. Salah satu anak dapat
menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami
7
berbagai kesulitan, sedangkan tidak sedikit pula siswa yang justru dalam
belajarnya mengalami kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar; dan dapat bersifat
psikologis, sosiologis maupun fisiologis sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan prestasi belajar yang dicapai berada di bawah semestinya
(Rahmawati 2008).
Husin (1980) menjelaskan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri anak sendiri (intelegensi, motivasi,
minat, sikap dan keadaan gizi); dan faktor dari luar anak (sosiokultural, sosial
ekonomi, kurikulum, cara guru mengajar dan faktor fisik seperti buku pelajaran).
Hasil penelitian Hanum (1993) menunjukkan faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah hubungan siswa dengan orang tua
dan status gizi. Dari kedua faktor tersebut yang lebih besar pengaruhnya terhadap
prestasi belajar adalah status gizi. Sejalan dengan penelitian Kusumaningrum
(2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi dengan
prestasi belajar. Thoha (2006) menyatakan prestasi belajar dipengaruhi oleh oleh
aktivitas tidur, aktivitas belajar, pola konsumsi pangan, konsumsi asam folat dan
konsumsi protein.
Karakteristik Remaja
Remaja adalah seseorang yang sedang mengalami perkembangan yang
pesat menuju kedewasaan dan berusia antara 12 sampai 19 tahun (Achir 1991).
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan dewasa yaitu
berumur antara 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan
ke masa peralihan tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas
umurnya secara pasti.
O’Dea (1996) mengemukakan bahwa pada masa pubertas remaja
mengalami pertumbuhan yang pesat dalam hal tinggi badan, berat badan, lemak
tubuh dan otot serta penyempurnaan berbagai sistem organ. Pada anak laki-laki
pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak lebih
banyak (Husaini 1989).
8
Remaja berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat.
Pada masa ini, pemenuhan kebutuhan gizi sangat penting untuk diperhatikan. Hal
ini dapat dilakukan oleh orang lain (penyedia makanan di rumah) ataupun dirinya
sendiri. Selanjutnya bila terjadi defisiensi zat gizi, akan dapat terlihat pada
keadaan fisik, status kesehatan dan status gizi (Sediaoetama 1991).
Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan
mereka memberi perhatian yang besar terhadap penampilan dirinya. Remaja
mengharapkan gambaran tubuh yang ideal (body image), sehingga penyimpangan
atau cacat anggota tubuh sangat merisaukan perasaannya terutama pada remaja
putri (Monks et al.1992). salah satu upaya remaja untuk mencapai body image
tersebut adalah menurunkan berat badan dengan mengubah kebiasaan makan.
Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan terjadinya anorexia
nervosa dan bulimia sebagai masalah kesehatan remaja (Heald et al. 1998).
Karakteristik Keluarga
Faktor keluarga adalah faktor yang paling penting dalam proses tumbuh
kembang anak sebagai individu. Salah satu faktor yang menyebabkan anak
mengalami kemerosotan prestasi yaitu keluarga dengan banyak anggota keluarga.
Kondisi ini diperberat dengan tingkat sosial ekonomi keluarga sehingga orang tua
tidak mampu menyediakan hunian yang memadai. Kegaduhan yang timbul oleh
anggota keluarga dalam suatu rumah menyebabkan anak-anak yang akan
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sekolah atau mengulang pelajaran di rumah
sulit memusatkan konsentrasi belajar. Terlebih lagi jika anak tidak memiliki
kamar terpisah dan tidak ada sarana pendukung sederhana apapun, seperti meja
kecil untuk baca tulis (Puar 1998).
Soekirman (1997) menyatakan bahwa keluarga dengan anak sedikit
(kurang dari tiga) akan lebih menunjukkan perilaku mandiri dibandingkan dngan
keluarga dengan jumlah anak yang banyak (keluarga besar). Namun menurut
Sukadji (1988), orang tua dengan anak tunggal cenderung over protektif, sehingga
membuat anak menjadi pusat perhatian dalam keluarga, dan anak-anak seperti ini
jarang mendapatkan kesempatan untuk belajar sharing (menikmati maupun
menanggung penderitaan bersama orang lain).
9
Tingkat pendidikan orangtua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan
prestasi belajar anak, semakin tinggi pengetahuan orang tua, maka akan semakin
banyak pula pengetahuan orangtua yang diberikan kepada anaknya (Nasution dan
Nasution 1986). Suatu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa adanya
pengaruh keadaan keluarga yang terdiri dari pendapatan, jenis pekerjaan dan
pendidikan orangtua disamping faktor kemampuan anak dan kualitas sekolah
terhadap keberhasilan anak belajar.
Nio (1985) dalam Hanum (1993) menyatakan bahwa membiasakan anak
untuk belajar di rumah merupakan salah satu faktor yang penting. Ada dua faktor
yang perlu diperhatikan dalam membimbing anak dalam belajar yaitu kesabaran
dan bijaksana. Ada beberapa kegiatan bimbingan belajar yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan prestasi belajar anak antara lain : menyediakan fasilitas
belajar (alat tulis, buku-buku pelajaran dan tempat untuk belajar), mengawasi
kegiatan belajar anak, mengawasi penggunaan waktu belajar anak di rumah,
mengenal kesulitan-kesulitan anak dalam belajar dan menolong anak mengatasi
kesulitannya dalam belajar.
Orangtua sebaiknya memberikan perhatian pada pendidikan anaknya.
Perhatian dapat berupa bimbingan kepada anak dalam hal belajar, sehingga anak
akan senang menerimanya dan akan menganggap belajar sebagai kewajiban
sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut juga dijelaskan bahwa orangtua
berkewajiban untuk memberikan semangat dan dorongan kepada anak dalam
meningkatkan kegiatan belajar secara efektif untuk mencapai prestasi belajar yang
optimal (Nasution dan Nasution 1986).
Orangtua yang bisa merangsang perkembangan kecerdasan anak adalah
orangtua yang menyadari perannya, orangtua yang bisa mengasihi dan tahu serta
mengerti bagaimana cara memenuhi kebutuhan anak, kemudian merangsang
perkembangannya. Terbentuknya konsep diri dan motivasi anak untuk berprestasi
tidak terlepas reaksi dari lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan
orangtua. Orangtua yang selalu memberi dorongan pada saat yang tepat akan
menimbulkan konsep diri yang positif untuk berprestasi.
10
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah, baik tunggal maupun beragam,
yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dan
pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Sedangkan perilaku
konsumsi pangan dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang
dilakukan oleh individu, keluarga atau masyarakat di dalam pemilihan
makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan
tersebut (Susanto 1997).
Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai,
tersedia dan terjangkau, faktor sosial dan alasan kesehatan. Faktor-faktor dasar
yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar
atau kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku
bangsa, agama, status sosial ekonomi dan pendidikan (Riyadi 1996).
Pada dasarnya ada tiga fungsi makanan bagi anak, yaitu menyediakan
tenaga (fuel) untuk aktifitas muskular, menyediakan unsur dan senyawa kimia
yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh anak dan pemeliharaan jaringan yang
rusak, serta memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada anak (Villavieja, et al.
1987).
Lebih lanjut Villavieja et al (1987) menyatakan bahwa ada lima faktor
yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak sekolah, yaitu
energi, protein, vitamin larut lemak, vitamin larut air dan mineral. Kebutuhan
energi anak sekolah ditentukan oleh usia, metabolisme basal dan aktifitas. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan konsumsi makanan anak
sekolah, yaitu selera, ukuran tubuh, dan keperluan psikologis. Jenis aktivitasnya
sangat beragam, mulai dari aktifitas dalam kelas, olah raga sampai aktifitas sosial,
sehingga relatif sedikit waktu yang tersisa untuk istirahat. Anak-anak
membutuhkan zat gizi yang bagus agar terpenuhi kebutuhannya untuk
pertumbuhan dan perkembangannya serta ketahanannya terhadap infeksi
(Villavieja et al. 1987).
Makanan bagi anak sekolah tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi, tetapi juga harus memperhatikan dalam hal palatabilitas, mengenyangkan
serta nilai emosi dan sosialnya. Anak-anak harus dibimbing dalam memilih
11
makanan agar mendapatkan zat gizi yang memadai. Selain itu, usia sekolah
merupakan masa yang penting untuk pembentukan perilaku dan kebiasaan makan.
Dengan demikian, selain harus memenuhi nilai gizinya, makanan anak sekolah
sebaiknya mempertimbangkan variasi agar dapat memenuhi seleranya (Villavieja
et al. 1987).
Hasil penelitian Kustiyah (2005) menunjukkan faktor selera merupakan
faktor terbesar yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan menu,
selanjutnya diikuti dengan pertimbangan harga/biaya, ketersediaan bahan di
warung dan yang paling sedikit pertimbangannya adalah aspek gizi.
Hasil penelitian Thoha (2006) menunjukkan adanya hubungan positif yang
nyata antara kebiasaan makan dengan nilai IPK. Dimana contoh dengan frekuensi
makan tiga kali sehari, dan yang terbiasa sarapan pagi mempunyai nilai IPK lebih
tinggi dibandingkan dengan contoh yang mempunyai frekuensi makan satu atau
dua kali sehari dan yang tidak sarapan.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Status gizi merupakan suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang
(Harper, et al. 1986).
Pada dasarnya, keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan
kemampuan tubuh menggunakan zat-zat gizi. Konsumsi makanan ditentukan oleh
produksi pangan, daya beli dan kebiasaan makan, sementara kemampuan
menggunakan zat gizi ditentukan oleh keadaan kesehatan (Khumaidi 1994).
Pada masa remaja kebutuhan akan zat gizi mencapai maksimum.
Kebutuhan zat gizi yang tinggi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang cepat. Jika kebutuhan zat gizi
tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan tubuh (Williams 1980).
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran
antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung pada
12
waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan serta
banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi 2003). Menurut
Blackburn dan Thornton dalam Thuluvath dan Triger (1994), pengukuran
antropometri adalah indikator yang reliabel terhadap pengukuran status gizi.
Salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran antropometri
adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Menurut Riyadi
(2003), indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja.
Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil
atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang
dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah
tersedia.
Status gizi remaja diukur dengan menilai indeks massa tubuh (IMT)
dengan mengukur bobot tubuh (berat badan) dalam satuan kilogram debagi
dengan kuadrat tinggi badannya dalam satuan meter. Kemudian status gizi remaja
dikelompokkan menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT < 17.0), kurus (IMT 17.0 –
18.5), normal (IMT 18.5 – 25.0), gemuk (IMT 25.0 – 27.0) dan obesitas (IMT
>27.0) (Depkes 1996).
Hasil penelitian Hanum (1993) menunjukkan status gizi berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara
status gizi dengan prestasi belajar siswa. Artinya semakin baik status gizi contoh
maka prestasi belajar yang diperoleh akan semakin tinggi.
Prestasi yang semakin meningkat dapat terjadi karena dengan status gizi
yang baik maka anak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam mengikuti pelajaran
sehingga semua yang dipelajari dapat diterima dengan baik. Siswa yang kurang
sehat atau kurang gizi, daya tangkapnya terhadap pelajaran dan kemampuan
belajarnya akan lebih rendah (Grossman 1997 dalam Kusumaningrum 2006).
Status Kesehatan
Status gizi merupakan bagian penting dari status kesehatan seseorang.
Status gizi yang buruk atau kurang dapat menimbulkan hal-hal seperti
meningkatnya frekuensi terserang penyakit infeksi, pertumbuhan fisik dan mental
13
yang terganggu, kegiatan fisik menurun dan produktivitas kerja orang dewasa
rendah (Muhilal, et al. 2004).
Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang
sakit akibat penyakit atau akibat kelelahan tidak dapat belajar dengan efektif dan
hal tersebut akan mempengaruhi hasil belajar (Soemanto 1990). Suryabrata
(1995) mengemukakan bahwa keadaan kesehatan jasmani pada umumnya dapat
dikatakan melatarbelakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang segar akan
lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan nutrisi
harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan
kurangnya kesehatan jasmani yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas
mengantuk, lekas lelah, dan sebagainya. Sedangkan beberapa penyakit yang
kronis juga sangat mengganggu aktivitas belajar seperti pilek, influensza, sakit
gigi dan lain-lain. Keadaan ini akan mempengaruhi proses belajar, yang lebih
lanjut akan mengurangi minat dan motivasi belajar di sekolah. Status gizi dan
kesehatan anak sekolah penting artinya sebagai gambaran keadaan gizi anak
secara keseluruhan (Puar 1998).
Hasil penelitian Maryam (2001) menunjukkan status gizi dan kesehatan
dapat meningkatkan prestasi beajar. Sejalan dengan penelitian Kusumaningrum
(2006) yang menunjukkan status kesehatan berhubungan dengan prestasi belajar.
Dimana semakin baik status kesehatan maka prestasi belajar juga semakin baik.
Hubungan Anemia Gizi Besi dengan Prestasi Belajar
Anemia gizi besi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah
tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi.
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang
dari normal, yaitu kurang dari 12 g/dl (INACG 1985) dan berbeda untuk setiap
kelompok umur dan jenis kelamin (Soekirman 2000).
Dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam hemoglobin pada sel-
sel darah merah, dan bernama mioglobin apabila berada dalam sel-sel otot.
Hemoglobin berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel
tubuh dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Sedangkan mioglobin
14
berperan untuk mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot
(Soekirman 2000).
Sebagian besar terjadinya anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi
yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia
kekurangan zat besi. Penyebab terjadinya anemia gizi besi adalah tidak cukupnya
zat-zat gizi terutama yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel
darah merah sehingga terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan
pengeluaran zat besi dalam tubuh selain itu, zat-zat penyerta yang dapat
meningkatkan daya serap seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup
jumlahnya. Husaini (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang
menyebabkan terjadinya anemia, yaitu kehilangan darah karena pendarahan,
kerusakan sel darah merah dan produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.
Anemia besi dapat memperlambat perkembangan dan gangguan perilaku
seperti aktivitas motorik, interaksi sosial dan perhatian (Idjradinata & Pollit 1993).
Anak sekolah yang mengalami anemia akan mempengaruhi aktivitas belajar dan
selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar (Chwaye et al.
1997). Beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami anemia ketika
bayi akan memiliki kemampuan kognitif dan prestasi sekolah yang rendah, serta
mesalah perilaku ketika memasuki masa pertengahan kanak-kanak (Grantham-
Mc Gregor & Ani 2001).
Hasil penelitian Pollit (2000) menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dapat
mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) dan prestasi belajar
anak di sekolah. Dengan pemberian zat besi, nilai kognitif tersebut akan naik
secara nyata. Hasil penelitian terhadap anak balita dan anak sekolah disimpulkan
bahwa penderita anemia gizi besi akan mengalami gangguan intelektual, seperti
kemampuan verbal, mengingat, konsentrasi, berfikir analog dan sistematis serta
prestasi belajar yang rendah. Sedangkan hasil studi intervensi yang dilakukan oleh
Rush (1984) menunjukkan bahwa suplementasi gizi dapat meningkatkan aktivitas
dan waktu untuk memperhatikan. Namun demikian, suplementasi tersebut hanya
sedikit pengaruhnya jika tanpa dibarengi dengan stimulasi kognitif. Penemuan
tersebut mengindikasikan bahwa defisit perilaku yang berkaitan dengan malnutrisi
bukan merupakan akibat dari kekurangan protein atau energi semata, tetapi
15
merupakan konsekuensi dari kombinasi terganggunya ketersediaan gizi, sosial,
intelektual, dan emosional.
Pola Aktivitas
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga membentuk suatu pola. Pola aktivitas remaja
dapat dilihat dari cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam
kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan
berulang (Polii 2003).
Menurut Soekirman (1999) aktivitas harian anak dikategorikan atas 8
aktivitas utama yaitu : 1) belajar selama jam sekolah, 2) belajar diluar jam
sekolah, 3) menonton TV, 4) bermain, 5) olahraga, 6) membantu pekerjaan orang
tua, 7) tidur siang, 8) tidur malam.
Sehubungan dengan aktivitas remaja, waktu adalah salah satu sumberdaya
yang pemanfaatannya perlu dikelola agar seluruh kegiatan dapat dilaksanakan
dengan tepat. Hal ini mengingat konsep waktu adalah sumberdaya yang tidak
dapat digantikan, bersifat terbatas serta dimiliki oleh semua individu dalam
jumlah yang sama yaitu 24 jam dalam sehari (Guharja et al. 1992).
Soekanto (1991) menyatakan bahwa penggunaan waktu individu selama
satuan waktu tertentu berbeda-beda antara satu individu dengan yang lainnya.
Model konseptual alokasi waktu remaja meliputi kegiatan pribadi, kegiatan
sekolah, kegiatan perjalanan dan kegiatan waktu luang. Kegiatan pribadi remaja
termasuk melakukan aktivitas agama.
Aktivitas rutin yang dilakukan oleh remaja adalah kegiatan di sekolah.
Sekolah sebagai lembaga yang berpengaruh kepada remaja diharapkan dapat
mencerdaskan daya pikir dan menambah pengetahuan umum serta ketrampilan
khusus kepada para muridnya. Sekolah dapat memberikan kepuasan hati dan
pegangan hidup kepada remaja apabila ada seorang atau beberapa orang guru
yang dapat memikat rasa hormatnya atau apabila anak itu merasa bangga karena
unggul hasil studinya dibandingkan dengan rekan-rekannya. Apabila terjadi
sebaliknya, maka sekolahpun tidak dapat memberikan landasan buat jalan
hidupnya. Bersekolah dalam keadaan demikian hanyalah menjadi kegiatan rutin
16
yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat karena merupakan suatu bagian
dalam proses kehidupan masyarakat modern (Sumardjan 1991).
Aktivitas fisik yang dilakukan anak akan membantu pertumbuhannya.
Pencapaian prestasi sekolah anak sangat berhubungan dengan perkembangan fisik
dan aktivitasnya. Anak yang mendapat kesempatan untuk melatif fisiknya akan
lebih memiliki kemampuan dalam aspek mental intelektual dibandingkan dengan
anak yang kurang mendapatkan kesempatan untuk melatih fisiknya (Friedman &
Clark 1987 dalam Agustina 2003).
Hasil penelitian Kusumaningrum (2006) menunjukkan jumlah aktivitas
berhubungan dengan prestasi belajar siswa. Dimana semakin tinggi aktivitas siswa
maka semakin baik nilai pelajaran yang diperoleh. Hal ini diduga karena aktivitas
yang dipilih anak banyak yang menunjang kemampuan akademiknya. Selain itu
hasil penelitian Thoha (2006) menunjukkan bahwa aktivitas belajar dan aktivitas
tidur mempengaruhi prestasi belajar. Semakin banyak waktu yang dihabiskan
untuk belajar, maka prestasi belajarnya akan semakin baik.
Kelelahan
Menurut Fitrihana (2008) kelelahan didefinisikan sebagai respon total
terhadap stres psikososial yang dialami dalam satu periode waktu tertentu dan
cenderung menurunkan motivasi dan prestasi kerja. Gustiana (2008)
mendefinisikan kelelahan sebagai sebuah kondisi klinis yang merupakan
rangkaian rangkaian beberapa gejala kelelahan yang sifatnya menetap. Kelelahan
merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh faktor biologi pada proses
kerja dan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Kelelahan dapat
menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh timbulnya
rasa lelah, motivasi menurun, dan aktivitas menurun.
Saat ini anak bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang dan
setelah itu, anak masih harus mengikuti berbagai macam kegiatan les untuk
mencapai prestasi akademik yang memuaskan di sekolahnya. Suhaenah (2004)
dalam Dermawan (2006) berpendapat bahwa dengan memperpadat kegiatan anak
justru dapat membawa hasil yang bertolak belakang dengan harapan orang tua
semula, yaitu prestasi yang tinggi. Stainback dan Stainback (1999) dalam
17
Dermawan (2006) mengatakan bahwa jumlah waktu belajar mandiri (di luar jam
belajar sekolah) dalam 1 hari yang baik untuk dilakukan oleh anak berusia 7
hingga 12 tahun adalah cukup 1 hingga 2 jam setiap hari, selama 5 hari dalam satu
minggunya dan dilakukan secara konsisten. Hal ini tentunya dilakukan agar anak
tidak mengalami kelelahan, baik secara fisik maupun rohani (psikis) seperti yang
diungkapkan oleh Slamet (1991) dalam Dermawan (2006).
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh, sedangkan
kelelahan rohani (psikis) ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan dan sulit
berkonsentrasi. Kelelahan jasmani dan rohani (psikis) di atas, salah satunya dapat
disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dialami anak sekolah. Murtisari (2005)
dalam Dermawan (2006) mengatakan bahwa tanpa mengikuti pelajaran tambahan,
sebetulnya anak sudah lelah dengan aktivitas belajar di sekolah, apalagi bila anak
masih harus menjalani berbagai aktivitas les sesudah pulang sekolah. Slamet
(1991) dalam Dermawan (2006) menambahkan bahwa kelelahan ini dapat
menyebabkan motivasi untuk belajar menurun padahal Theios (dalam
Atkinson,1964) mengatakan bahwa motivasi pada individu ini sangat penting
dalam proses belajar karena motivasi akan mempengaruhi timbulnya keinginan
untuk belajar dan banyaknya materi yang dipelajari.
Hasil penelitian Mardapi (2005) mengenai pelaksanaan UAN yang
dilakukan di enam propinsi pada siswa SMP/MTS dan SMA/MA/SMK
mengungkapkan terdapat 13% guru menyatakan bahwa UAN dapat menimbulkan
kelelahan fisik bagi siswa, dan 17% guru menyatakan UAN mengakibatkan stres
bagi siswa.
Determinan Tingkat kelelahan Siswa
Menurut Gustiana (2008) ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi
hormon kortisol, tiroid, estrogen dan testosteron turut memberikan kontribusi
nyata terhadap terjadinya kelelahan. Mekanisme gangguan yang terjadi bersifat
kompleks. Selain itu stres disebut sebagai penyebab utama sindrom kelelahan.
Selain stres, faktor kesehatan fisik juga turut mempengaruhi tingkat kelelahan,
keduanya sama-sama memiliki keterkaitan. Walaupun stres merupakan gejala
psikologis, tetapi tetap berhubungan dengan kesehatan fisik. Ketika kesehatan
18
mental terganggu, menyebabkan organ-organ tubuh juga akan terganggu dan
menyebabkan imunitas menurun karena di dalam tubuh tidak ada pertahanan
tubuh yang mampu melawan kuman penyakit yang masuk.
Fitrihana (2008) mengemukakan ada beberapa faktor penyebab kelelahan
diantaranya adalah penyebab medis seperti flu, anemia, gangguan tidur,
hypothyroidism, hepatitis, TBC, dan penyakit kronis lainnya; penyebab yang
berkaitan dengan gaya hidup seperti kurang tidur, terlalu banyak tidur, alkohol
dan minuman keras, diet yang buruk, kurangnya olah raga, gizi, daya tahan tubuh,
dan circadian rhythm; serta faktor psikologis seperti depresi, kecemasan dan stres
serta kesedihan.
Aktivitas belajar sangat memerlukan kondisi kesehatan yang baik karena
selama belajar melibatkan kondisi fisik jasmani dan mental spiritual. Otak dituntut
untuk bekerja keras yang akan menguras tenaga secara cepat. Terkait dengan
belajar, siswa harus menyiapkan dan menyusun kekuatan tenaga secara optimal
karena belajar yang mayoritas melibatkan peran otak harus diimbangi dengan
kondisi fisik yang sehat pula. Akibat tidak adanya keseimbangan antara kondisi
fisik dan mental, biasanya anak akan mudah lelah dan kegiatan belajarnya tidak
dapat maksimal.
Terkait dengan aktivitas belajar, seharusnya siswa selalu menjaga
kesehatan fisik dengan makan makanan yang bergizi dan olahraga cukup. Hal ini
akan mempengaruhi kesehatan. Dan sudah pasti akan berpengaruh dengan kinerja
otak siswa yang bersangkutan. Salah satu cara menjaga kesehatan fisik siswa
harus mau menjaga tingkat kebugaran tubuhnya setiap hari. Kebugaran atau
kesegaran jasmani dimaknai sebagai kemampuan tubuh seseorang untuk
melakukan tugas pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti.
Untuk dapat mencapai kondisi kesegaran jasmani yang prima seseorang perlu
melakukan latihan fisik yang melibatkan komponen kesegaran jasmani dengan
metode latihan yang benar (Depdiknas, 2003).
Dari pemahaman ini, kondisi jasmani yang bugar/segar akan
mempengaruhi daya tahan seseorang dalam menjalankan aktivitasnya. Bagi siswa,
hal ini akan mempengaruhi kondisi psikis siswa dalam belajar. Siswa yang
memiliki tingkat kebugaran tinggi, tidak mudah lelah dalam belajarnya.
19
Stres
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) stres diartikan sebagai suatu
tekanan, dan ketegangan yang mempengaruhi seseorang dalam kehidupan. Stres
dibedakan menjadi dua, yaitu distres dan eustres. Menurut Looker dan Gregson
(2004) distres adalah kemampuan seseorang menghadapi tuntutan yang semakin
meningkat dan memandang tuntutan tersebut sebagai sesuatu yang sulit dan
mengancam, sedangkan eustres adalah kemampuan untuk menghadapi tuntutan
yang dirasakan dan dapat menimbulkan rasa percaya diri sehingga mampu
menangani dan mengatasi tuntutan-tuntutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut
dapat dilihat bahwa setiap orang memiliki kemampuan/cara pandang yang
berbeda-beda dalam menghadapi tuntutan dan masalah dalam hidupnya.
Menurut Selye (1976) diacu dalam Losyk (2007) respon fisik dan mental
stres terjadi melalui tiga tahapan spesifik : reaksi peringatan, pertahanan, dan
penghabisan. Dalam tahap peringatan tubuh dihadapkan pada penyebab stres.
Seseorang yang mengalami stres akan merasa bingung dan kehilangan arah,
sehingga tubuh menyiapkan dirinya melawan stres dengan mengirimkan hormon-
hormon ke dalam aliran darah, akibatnya detak jantung dan pernafasan bersiap-
siap melakukan aksi. Gerakan pertahanan ini akan membantu seseorang bertahan
terhadap penyebab stres.
Dalam tahap pertahanan, hormon-hormon di dalam darah tetap berada
pada tingkat tinggi. Tubuh menyesuaikan diri untuk melawan stres. Penyesuaian
ini bisa terjadi di dalam sebuah organ tubuh tersendiri maupun sistem organ
secara menyeluruh. Jika stres tingkat tinggi terus berlangsung, akan berakibat
pada timbulnya penyakit dalam pada sebuah organ tubuh atau sistem tubuh.
Tingginya tingkat stres menyebabkan seseorang menjadi gugup, lelah dan
seringkali marah-marah.
Tahap terakhir dari stres adalah tahap penghabisan, tahap dimana stres
tetap berlangsung, jaringan, dan sistem organ tubuh bisa rusak. Dalam jangka
waktu yang panjang, keadaan ini bisa menimbulkan penyakit atau kematian. Seyle
menyimpulkan, tiap orang memiliki energi terbatas untuk beradaptasi terhadap
20
stres, setelah energi tersebut habis harus diisi kembali atau kelelahan dan
kematian akan segera terjadi.
Sumber stres
Menurut Hardjana (1994) dalam Asshat (2003) lingkungan kerja juga
dapat menjadi sumber stres. Salah satu aspek lingkungan kerja adalah tuntutan
kerja yang dapat menyebabkan stres melalui beban pekerjaan yang terlalu besar
dan berat, keharusan menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu terbatas, dan
pekerjaan yang menuntut banyak pikiran dan tenaga.
Dalam konteks pendidikan, lingkungan pekerjaan dapat dianalogikan
dengan lingkungan sekolah, yang di dalamnya kerja dapat berarti belajar.
Karenanya, beban pelajaran yang terlalu banyak dan berat serta keharusan untuk
menyelesaikan banyak pelajaran atau tugas dalam waktu terbatas dapat
menimbulkan stres pada siswa (Asshat 2003).
Tingkat Stres
Tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber
stres, sumberdaya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap
stres. Tingkatan stres yang berbeda-beda tiap individu merupakan salah satu
faktor pembeda dalam melakukan koping terhadap stres (Ifada 2004).
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) keluhan yang muncul akibat rasa
cemas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kemajuan mutakhir
diantaranya :
1. Keluhan fisik, yang meliputi :
a. Stres sebagai pencetus, sehingga memperberat penyakit kardiovaskuler
yang sudah ada
b. Gangguan sistem pencernaan : ulkus ventrikuli (tukak lambung)
c. Ketegangan pada bagian otot-otot tertentu menyebabkan perasaan pegal di
bahu, pinggang, leher dan kepala.
d. Stres menyebabkan daya tahan tubuh menurun, melemah sehingga mudah
masuk angin, pilek.
e. Tics : gerakan-gerakan yang dilakukan diluar kemauan, sebagai kebiasaan,
tanpa rangsangan yang jelas merupakan suatu ekspresi dari konflik emosi
21
f. Kebiasaan : menggaruk-garuk kepala, menggigit kuku, menggosok-gosok
tangan dan gejala lain sebagai perwujudan adanya ketegangan.
g. Sindrom ketegangan pra-menstrual : nyeri di tubuh, mual, sakit kepala,
rasa tidak nyaman sebelum haid, disebabkan terganggunya keseimbangan
hormon, berkaitan dengan stres seseorang dan haid yang tidak teratur.
h. Disfungsi seksual : penderita stres sering mengeluh masalah seksual,
impotensi, frigiditas, ejakulasi dini, dan lain-lain.
2. Keluhan Psikologis, yang meliputi :
a. Perasaan tidak menentu, cemas dan takut yang tidak jelas dan tidak terikat
pada suatu ancaman yang jelas dari luar. Hal ini dapat menyebabkan
penderita menjauhkan diri dari lingkungan sosial atau tempat dan keadaan
tertentu.
b. Merasa putus asa, bingung, apatis, sedih, gangguan tidur (insomnia),
kehilangan minat pada aktivitas dan orang lain, pikiran-pikiran negatif
mengenai dirinya, pengalaman dan hari depan, pikiran dan dorongan
melakukan percobaan bunuh diri.
c. Ketidakseimbangan emosi : suasana hati mudah berubah, cepat marah,
emosi cepat meluap, menjadi histeris.
d. Muncul gejala-gejala proses penuaan dini, seperti :
- Mampu mengingat peristiwa lama, tetapi lupa peristiwa baru
- Kecemasan akan perubahan tubuh, penyakit dan kematian
- Perasaan akan kehilangan kecantikan, rambut beruban, kerut di wajah,
otot yang mengendur
- Bertingkah laku muda kembali, terlihat dalam penampilan, pakaian
dan perilaku.
Stres di Bidang Akademis pada Siswa Berbakat
Menurut psikolog anak David Elkind, anak masa kini adalah “anak yang
diburu-buru” (the hurried child). Tekanan kehidupan modern memaksa anak
untuk tumbuh terlalu cepat dan menjadikan masa kanak-kanak mereka penuh stres
(Papalia, Olds & Feldman 2001). Siswa yang mengikuti program akselerasi akan
mengalami frustasi dengan tingkat tekanan dan tuntutan yang dihadapinya.
22
Dorongan yang terus menerus untuk berprestasi akan menimbulkan tingkat stres
yang tidak dapat diterima, dan pada akhirnya siswa akselerasi akan kehabisan
energi karena tekanan-tekanan yang ada (Asshat 2003).
Program akademis yang menuntut energi atau tenaga yang besar dari siswa
berbakat (seperti pelajaran yang secara bertahap menjadi semakin sulit) pada
akhirnya akan menyebabkan suatu jenis gangguan. Terlebih lagi apabila tuntutan-
tuntutan akademis yang dihadapi tidak kunjung berkurang. Di sisi lain, siswa
berbakat mungkin tidak terbiasa dengan tantangan-tantangan yang memerlukan
performa yang “total” (all out). Jika hal ini terjadi, usaha siswa berbakat untuk
menghadapi dan mengatasi tantangan kemungkinan menjadi lemah dan tidak
memadai, sehingga kegagalan akan terjadi dengan cepat (Khatena 1992 dalam
Asshat 2003).
Hasil penelitian Asshat (2003) menunjukkan bahwa mayoritas subyek
penelitiannya memiliki skor persepsi tergolong sedang terhadap pelaksanaan
program akselerasi. Hal ini berarti siswa akselerasi merasa bahwa pelaksanaan
program akselerasi yang mereka alami biasa-biasa saja, tidak baik dan juga tidak
buruk. Sementara itu, dari tingkat stres ditemukan bahwa mayoritas siswa
memiliki stres di bidang akademis yang tergolong sedang. Hasil penelitian Asshat
(2003) juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi siswa
terhadap pelaksanaan program akselerasi dengan stres di bidang akademis.
Motivasi
Motivasi merupakan salah satu determinan yang terpenting bagi
keberhasilan individu dalam mencapai prestasi atau kepuasan tertentu, sehingga
motivasi dapat juga diartikan sebagai kemauan untuk berbuat sesuatu sebaik-
baiknya sesuai dengan keinginan atau tujuan. Seseorang akan mempunyai
kemauan yang efektif jika memperhatikan dengan baik lingkungannya untuk
selanjutnya menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan
tujuan atau keinginannya. Tanpa adanya motivasi, tujuan yang diharapkan sulit
dicapai. Dalam mencapai serangkaian tujuan, biasanya individu atau kelompok
memperlihatkan juga serangkaian sikap dan perilakunya (Sofianti 2002).
23
Menurut Suparno (2001) motivasi merupakan keadaan internal seseorang
yang mendorong orang tersebut melakukan sesuatu, dan dijelaskan juga sebagai
suatu dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Motivasi berkaitan dengan
keseimbangan atau equilibrium yaitu upaya untuk dapat membuat dirinya
memadai dalam menjalani hidup ini. Dengan equilibrium dimaksudkan agar
seseorang dapat mengatur dirinya sendiri, relatif tidak terpengaruh oleh orang lain
untuk menjadi lebih kompeten.
Kartono (1995) mengatakan bahwa motivasi merupakan dorongan yang
mendasari dan mempengaruhi sikap, usaha dan kegiatan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Anak yang mempunyai dorongan yang kuat
untuk belajar, akan belajar lebih berhasil (Suryosubroto 1988).
Motivasi berhubungan dengan kebutuhan dan tujuan, sangat
mempengaruhi kegiatan dan hasil belajar. Motivasi sangat penting bagi proses
belajar karena motivasi dapat menggerakkan organisme, mengarahkan tindakan,
serta memilih tujuan belajar yang berguna bagi kehidupan (Soemanto 1990).
Belajar dengan motivasi yang kuat merupakan syarat untuk mencapai sukses yang
optimal. Akan tetapi tidak selalu dapat terjadi secara spontan. Lebih-lebih pada
anak yang masih muda. Kadang kala timbulnya motivasi itu harus sengaja
diupayakan oleh guru (Tonthowi 1993).
Motivasi akan menimbulkan keinginan, kehendak atau kebutuhan dalam
diri siswa untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Siswa akan merasa
terpacu karena ada dorongan dari dalam maupun dari luar diri siswa untuk
meningkatkan prestasi. Semakin kuat motivasi seseorang untuk mengembangkan
kemampuannya, semakin kuat pula proses belajar yang terjadi. Dengan demikian,
hasil yang akan dicapai akan semakin tinggi pula (Gunarsa dan Gunarsa 2004).
Ciri-ciri siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi yaitu (1)
cenderung mengambil resiko dan memperhitungkan supaya harapan dan tujuan
yang realistis untuk dicapai; (2) menyukai situasi kerja yang meminta tanggung
jawab pribadi; (3) ingin menambah pengetahuan dengan cara kerja yang baik; (4)
menyelidiki lingkungan dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada serta belajar
dengan cara yang baik dan inovatif disamping adanya tujuan yang konkrit dalam
mencapai pendidikan.
24
Hasil penelitian Maryam (2001) menunjukkan siswa dengan motivasi
belajar yang tinggi memiliki prestasi belajar yang baik.
Belajar dengan motivasi yang kuat merupakan syarat agar dapat mencapai
sukses yang optimal. Pada anak sekolah, motivasi tidak selalu dapat terjadi secara
spontan, tetapi juga harus sengaja diupayakan olah orangtua maupun guru.
Motivasi belajar anak tersebut mencakup tujuan belajar, motif belajar, frekuensi
belajar, cara belajar dan lain-lain (Pitriyani et al. 1999).
Kepuasan
Kotler dan Susanto (1999) mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya
dengan harapannya. Kepuasan konsumen akan terpenuhi apabila proses
penyampaian pesan dari si pemberi pesan kepada konsumen sesuai dengan apa
yang dipersepsikan konsumen. Hendrick (1988) dalam Purwaningsih (1992)
melihat bahwa kepuasan seringkali dipertimbangkan sebagai hasil atau suatu
variabel terikat dengan melibatkan banyak variabel lainnya.
Kepuasan siswa sangat bergantung pada harapan siswa. Oleh karena itu,
untuk mengkaji tingkat kepuasan siswa haruslah diketahui terlebih dahulu harapan
siswa terhadap sesuatu. Mengacu pada pendapat Tjiptono (2002), yang
mengatakan bahwa harapan merupakan perkiraan atau keyakinan seseorang
tentang apa yang akan diterimanya.
Hasil penelitian Rahman (2004) yang dilakukan terhadap 317 murid SMU
dan SMP yang ada di Tasikmalaya menunjukkan sebanyak 298 siswa mengaku
tidak puas dengan pelayanan dan sistem belajar-mengajar yang diberikan sekolah.
Faktor-faktor yang membuat tingkat kepuasan siswa Tasikmalaya terhadap sistem
pendidikan sangat rendah adalah minimnya fasilitas pendidikan seperti buku
perpustakaan dan peralatan laboratorium sampai kualitas guru yang
memprihatinkan. Hal ini akan berdampak pada prestasi belajar siswa, karena hal
tersebut menjadi salah satu sebab utama rendahnya daya serap siswa terhadap
materi pendidikan di sekolah.
25
KERANGKA PEMIKIRAN
Perilaku konsumsi pangan yang meliputi jenis pangan dan frekuensi
makan dipengaruhi oleh karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, uang saku dan
pengetahuan gizi) serta karakteristik keluarga (pendapatan, pendidikan, pekerjaan
dan besar keluarga). Perilaku konsumsi pangan mempengaruhi konsumsi pangan
seseorang. Konsumsi pangan dapat mempengaruhi status gizi dan status
kesehatan.
Konsumsi zat gizi yang sesuai dengan angka kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk setiap individu akan mengakibatkan status gizi yang baik.
Sebaliknya jika konsumsi zat gizi berlebih atau kekurangan akan menimbulkan
status gizi lebih atau kurang. Kebutuhan energi dan zat gizi untuk beraktivitas
dapat dipenuhi dari konsumsi energi dan zat gizi. Pola aktivitas turut
mempengaruhi perilaku konsumsi pangan. Seseorang dengan aktivitas yang padat
tetapi tidak diimbangi dengan konsumsi makanan yang cukup akan
mempengaruhi status gizi dan kesehatannya. Status gizi melalui konsumsi makan
serta pola aktivitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelelahan
yang berimplikasi pada prestasi belajar.
Lingkungan keluarga juga turut berperan dalam meningkatkan prestasi
belajar anak, antara lain jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi keluarga,
pendidikan orang tua, serta peran orangtua dalam mendorong, membimbing dan
mengawasi kegiatan belajar anak juga dalam menyediakan fasilitas dan sarana
belajar anak.
Motivasi dapat menjadi pendorong semangat siswa untuk meningkatkan
prestasinya. Siswa yang mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar,
cenderung akan berhasil dalam pendidikannya yang didukung juga oleh
lingkungan keluarga yang baik. Motivasi berhubungan dengan kebutuhan dan
tujuan yang sangat mempengaruhi kegiatan dan hasil belajar. Hal ini berkaitan
dengan tingkat kepuasan. Kepuasan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja atau hasil dengan harapannya. Harapan merupakan
perkiraan atau keyakinan seseorang tentang apa yang akan diterimanya. Hal ini
akan mempengaruhi tingkat stress. Ini terjadi apabila harapan siswa berhasil
26
dalam belajar dengan prestasi yang baik tidak sesuai dengan kenyataannya. Secara
umum keadaan di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
27
Keterangan :
= Variabel yang tidak diteliti
= Variabel yang diteliti
Gambar 1 Faktor – Faktor yang Berpengaruh terhadap Prestasi Belajar.
PERILAKU KONSUMSI PANGAN
• Frekuensi • Jenis
POLA AKTIVITAS • Rumah • Sekolah
STATUS GIZI (IMT)
STATUS ANEMIA (Kadar Hb)
PRESTASI BELAJAR
LINGKUNGAN KELUARGA • Fasilitas • Pengawasan • Bimbingan
MOTIVASI
STATUS KESEHATAN
• Frekuensi • Durasi
TINGKAT STRES
TINGKAT KELELAHAN
• Genetik • Kecerdasan
Lingkungan Sekolah
TINGKAT KEPUASAN
Karakteristik Siswa • Umur • Jenis kelamin • Uang saku • Pengetahuan gizi
Karakteristik Keluarga • Pendidikan orang tua • Pekerjaan orang tua • Pendapatan keluarga • Jumlah anggota keluarga
28
METODE
Desain, Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional study. Penelitian ini
dilakukan di MTsN 1 Malang. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara
purposive dengan mempertimbangkan terdapatnya program kelas akselerasi,
reguler dan unggulan serta kesediaan bekerjasama dalam penelitian. Pengambilan
data untuk penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2008.
Teknik Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas dua (akselerasi) dan siswa
kelas tiga (unggulan dan reguler). Contoh terdiri dari tiga kelompok yaitu
kelompok siswa kelas akselerasi, siswa kelas unggulan, dan siswa kelas reguler.
Pengambilan contoh secara acak (random sampling). Besarnya contoh yang
diambil menggunakan rumus estimasi proporsi yaitu :
n =
Keterangan :
n = Jumlah contoh
P = Estimasi proporsi contoh
d = Presisi (tingkat ketepatan yang ditentukan oleh perbedaan hasil yang
diperoleh sampel dibandingkan hasil yang diperoleh dari populasi)
Z = Nilai Z pada selang kepercayaan 1 – α/2
Estimasi proporsi contoh diambil dari hasil penelitian Suharto (2008)
dimana terdapat status anemia pada siswa SMP sebanyak 67%. Besarnya contoh
yang diperlukan jika peneliti menginginkan presisi 10% pada selang kepercayaan
95% dengan tingkat kesalahan α/2 = 0,05/2 = 0,025.
Dari keterangan di atas, P = 67% = 0,67 d = 0,10 Z 0,025 = 1,96
n =
n =
n = 85 responden
29
Dari perhitungan di atas, jumlah contoh minimal yang akan diambil
sebanyak 85 contoh. Untuk mengantisipasi droup out, maka jumlah contoh
ditambah 10% sehingga jumlah contoh total sebanyak 93 orang. Jumlah 93
responden kemudian diambil secara proporsional dari tiga kelompok yaitu kelas
akselerasi, kelas unggulan dan kelas reguler.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data penelitian yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik contoh
(umur, jenis kelamin, uang saku, pengetahuan gizi), data karakteristik keluarga
(pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orang tua & jumlah
anggota keluarga), pola aktivitas, perilaku konsumsi, status gizi (berat badan,
tinggi badan), status anemia (kadar hemoglobin), status kesehatan, tingkat
kelelahan, tingkat stres, tingkat kepuasan, motivasi, serta lingkungan keluarga.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan teknik pengisian kuesioner. Data
sekunder diperoleh dari data sekolah meliputi data karakteristik sekolah seperti
lokasi, jumlah staf pengajar, pegawai dan siswa, serta sarana dan prasarana.
Berat badan dan tinggi badan siswa diperoleh dengan pengukuran
langsung, alat yang digunakan untk mengukur berat badan adalah timbangan injak
dengan tingkat ketelitian 0,1 kg, sedang tinggi badan menggunakan alat ukur
microtoise dengan tingkat ketelitian 0,1 cm. Kadar hemoglobin diperoleh dari
pengambilan darah oleh tenaga profesional laboratorium medis SIMA Malang
dengan metode Cyanmethemoglobin.
30
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
No Jenis Data Cara Pengumpulan 1 Karakteristik contoh :
Umur, jenis kelamin, uang saku, pengetahuan gizi
Kuesioner
2 Karakteristik keluarga : Pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga
Kuesioner
3 Berat Badan Menimbang Berat Badan dengan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg
4 Tinggi Badan Mengukur TB dengan microtoise dengan tingkat ketelitian 0,1 cm
5 Konsumsi Pangan Recall 2 x 24 jam (hari libur dan hari sekolah)
6 Pola Aktivitas Recall 2 x 24 jam (hari libur dan hari sekolah)
7 Status Anemia Mengukur kadar Hb dengan metode cyanmethemoglobin
8 Status Kesehatan Kuesioner (jenis penyakit, frekuensi sakit, lama sakit, cara pengobatan dan tingkat keparahan penyakit)
9 Tingkat Kelelahan Kuesioner 10 Tingkat Stres Kuesioner 11 Tingkat Kepuasan Kuesioner 12 Motivasi Kuesioner 13 Lingkungan Keluarga Kuesioner 14 Prestasi Belajar Nilai raport semester 3
(akselerasi); semester 4 (unggulan dan reguler)
Pengolahan dan Analisis Data
Pendidikan orang tua contoh diukur berdasarkan lama sekolah dalam
tahun, kemudian dikelompokkan dengan kategori SD, SMP/SMA, Diploma/S1
serta S2/S3.
Pendapatan per kapita keluarga diperoleh dari total pendapatan keluarga
per bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan per kapita dikategorikan
menjadi dua, yaitu miskin (< Rp 128.282,-/kap/bulan) dan tidak miskin (≥
128.282,-/kap/ bulan) berdasarkan garis kemiskinan kota Malang (BPS 2005).
Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria besar
keluarga menurut BPS (2001) dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota
31
kurang dari atau sama dengan 4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7
orang, serta besar jira jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang.
Uang saku contoh diukur dari rata-rata uang jajan yang diterima perhari.
Uang saku dikelompokkan dengan kriteria rendah (X < - SD), sedang (- SD <
X < + SD), dan tinggi (X > + SD). X adalah uang saku contoh, adalah rata-
rata uang saku contoh dan SD adalah standar deviasi uang saku contoh.
Pengetahuan Gizi dinilai dengan skor, yang dihitung dari jawaban contoh
atas 20 pertanyaan mengenai jenis, fungsi dan sumber zat gizi dan masalah gizi.
Hasil penelitian akan memperoleh skor tertinggi 20 dan skor terendah 0.
Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi tiga, yaitu pengetahuan gizi baik, sedang,
dan kurang (Khomsan 2000).
Tabel 2 Kategori pengetahuan gizi menurut skor pengetahuan gizi
Skor Pengetahuan Gizi Pengetahuan Gizi
< 60%
60 – 80%
> 80%
Kurang
Sedang
Baik
Sumber : Khomsan (2000)
Pola aktivitas diperoleh dari pencatatan recall aktivitas 2x24 jam yaitu
pada hari sekolah dan hari libur, yang meliputi aktivitas yang dilakukan di rumah
dan di sekolah, dilihat alokasi waktu yang digunakan untuk belajar, olahraga,
transportasi sekolah, tidur, nonton TV, rekreasi/main, pekerjaan rumah.
Perilaku konsumsi pangan diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan
mengenai frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam sebulan serta
suplemen dan makanan pantangan. Selanjutnya skor dari jawaban atas pertanyaan
dikelompokkan menjadi tiga yaitu rendah < 19,4; sedang 19,4 – 29,6 dan baik >
29,6 (Slamet 1993).
Data konsumsi energi dan zat gizi diperoleh dari pencatatan recall 2x24
jam yaitu pada hari libur dan hari sekolah yang meliputi jumlah dan jenis pangan
kemudian dikonversi menjadi energi, protein, Fe, Vitamin B dan vitamin C
dengan menggunakan microsoft Excel. Tingkat kecukupan gizi individu dihitung
dengan membandingkan konsumsi zat gizi individu dengan angka kecukupan gizi
(AKG) yang dianjurkan per orang per hari (Muhilal, Jalal & Hardinsyah 2004).
32
Status gizi dinilai dengan rumus indeks massa tubuh (IMT), yaitu dengan
cara menghitung data dari berat dan tinggi badan dengan rumus IMT sebagai
berikut (WHO 1995):
IMT =
Klasifikasi status gizi remaja yang dihitung dari IMT tersebut dibedakan
menjadi 5 kategori, yaitu kurus sekali, kurus, normal, gemuk, dan obesitas yang
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi status gizi menurut indeks massa tubuh (IMT)
IMT Status Gizi
< 17,0
17,0 – 18,5
18,5 – 25,0
25,0 – 27,0
>27,0
Kurus sekali
Kurus
Normal
Gemuk
Obess
Sumber : Depkes (1996).
Status anemia dinilai dengan mengukur kadar hemoglobin (Hb) darah
dengan metode cyanmethemoglobin dengan membandingkan hasil pemeriksaan
kadar Hb contoh dengan kadar Hb rujukan untuk anemia yaitu < 12 g/dl
(perempuan) dan < 13,5 g/dl (Laki-laki) (WHO 1982).
Status kesehatan diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan yang
berhubungan dengan jenis penyakit, frekuensi, lama sakit dan cara pengobatan
ketika sakit. Pemberian skor berdasarkan keparahan penyakit (Lampiran 2). Status
kesehatan dikategorikan menjadi kurang > 71, sedang 44 – 71 dan baik < 44
(Slamet 1993).
Tingkat kelelahan dinilai dengan skor, yang dihitung dari jawaban contoh
atas 10 pertanyaan dengan rating scale 1 – 4 yaitu (1) tidak lelah dengan skor 1;
(2) cukup lelah dan (3) lelah dengan skor 2; dan (4) sangat lelah dengan skor 3.
Hasil penelitian akan memperoleh skor tertinggi 30 dan skor terendah 10.
Selanjutnya skor yang diperoleh dikategorikan menjadi tiga yaitu tidak lelah < 11,
lelah 11 – 20 dan sangat lelah > 20.
Tingkat stres diukur dengan menggunakan skor dengan skala 1 – 5 yaitu
(1) Tidak Pernah dan (2) Jarang (1-2 x sebulan) dengan skor 1; (3) Cukup ( 3-4 x
33
dalam sebulan) dengan skor 2; (4) Sering ( 1 atau 2 x seminggu) dan (5) Sering
Sekali (> 3 x seminggu) dengan skor 3. Dihitung dari jawaban contoh atas 16
pertanyaan dengan skor tertinggi 48 dan skor terendah 16. Penilaian terhadap
jawaban dibuat dalam skor total yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu rendah <
17, sedang 17 – 32 dan tinggi > 32.
Tingkat kepuasan diukur dengan menggunakan skor dengan skala 1
sampai 5 pada tiap pertanyaan yaitu (1) sempurna dan (2) bagus dengan skor 3;
(3) biasa saja dengan skor 2; (4) kurang bagus dan (5) buruk dengan skor 1, yang
dihitung dari jawaban contoh atas 10 pertanyaan dengan skor tertinggi 30 dan skor
terendah 10. Penilaian terhadap jawaban dibuat dalam bentuk skor, yang
dikelompokkan menjadi tiga yaitu tidak puas < 11, puas 11 – 20 dan sangat puas >
20.
Motivasi siswa diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan yang
berhubungan dengan motivasi belajar yang meliputi semangat belajar, pendorong
belajar dan bersekolah. Motivasi siswa dikategorikan menjadi rendah < 13, sedang
13 – 24 dan tinggi > 24.
Lingkungan keluarga diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan yang
berhubungan dengan fasilitas belajar, motivasi belajar anak, pengawasan orangtua
serta bimbingan orangtua terhadap kegiatan belajar anak. Lingkungan keluarga
dikategorikan menjadi baik > 60, sedang 47 – 60 dan kurang < 47 (Slamet 1993).
Prestasi belajar siswa diambil dari nilai raport semester 3 untuk kelas
akselerasi dan 4 untuk kelas unggulan dan reguler, kemudian dirata-ratakan dan
dikelompokkan menjadi empat kategori berdasarkan pedoman buku raport dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yaitu :
(1) baik, jika nilai rata-rata raport > 8,0
(2) lebih dari cukup, jika nilai rata-rata raport 7,0 – 7,9
(3) cukup, jika nilai rata-rata raport 6,0 – 6,9
(4) kurang, jika nilai rata-rata raport < 6,0
Data-data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan
inferensia dengan menggunakan Program SPSS versi 15.0 for windows. Kontrol
kualitas data yang dilakukan yaitu uji reliabilitas untuk alat ukur tingkat
kelelahan, tingkat stres, tingkat kepuasan, motivasi dan lingkungan keluarga
34
dengan metode Cronbach’s Alpha. Untuk mengetahui hubungan antar variabel
digunakan analisa korelasi pearson. Uji tersebut di atas dinyatakan berbeda dan
berhubungan secara signifikan (nyata) apabila p<0,05 dan sangat nyata p<0,01.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelelahan
siswa digunakan analisa regresi linier berganda dengan model sebagai berikut :
Y = ∞+β1X1+ β2X2+ β3X3+.......+ β21X21
Keterangan :
Y = Skor kelelahan
∞ = Konstanta
β1-21 = Koefisien regresi X11 = Aktivitas Belajar
X1 = Umur X12 = Aktivitas Bermain
X2 = Jenis Kelamin X13 = Aktivitas Nonton TV
X3 = Uang Saku X14 = Aktivitas Tidur
X4 = Pengetahuan Gizi X15 = Aktivitas Olah raga
X5 = Perilaku Konsumsi Pangan X16 = Aktivitas Pribadi
X6 = Konsumsi Energi X17 = Aktivitas Sekolah
X7 = Konsumsi Protein X18 = IMT
X8 = Konsumsi Zat Besi (Fe) X19 = Kadar Hb
X9 = Konsumsi Vitamin C X20 = Status Kesehatan
X10 = Konsumsi Vitamin B X21 = Tingkat Stres
Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
prestasi belajar siswa digunakan analisa regresi linier berganda dengan model
sebagai berikut :
Y = ∞+β1X1+ β2X2+ β3X3+.......+ β28X28
Keterangan :
Y = Nilai raport
∞ = Konstanta X14 = Aktivitas Belajar
β1-28 = Koefisien regresi X15 = Aktivitas Bermain
X1 = Jenis Kelamin X16 = Aktivitas Nonton TV
X2 = Uang Saku X17 = Aktivitas Tidur
X3 = Pengetahuan Gizi X18 = Aktivitas Olah raga
X4 = Pendidikan Ayah X19 = Aktivitas Pribadi
35
X5 = Pendidikan Ibu X20 = Aktivitas Sekolah
X6 = Pendapatan Keluarga X21 = IMT
X7 = Besar Keluarga X22 = Kadar Hb
X8 = Perilaku Konsumsi Pangan X23 = Status Kesehatan
X9 = Konsumsi Energi X24 = Tingkat Kelelahan
X10 = Konsumsi Protein X25 = Tingkat Stres
X11 = Konsumsi Zat Besi (Fe) X26 = Tingkat Kepuasan
X12 = Konsumsi Vitamin C X27 = Motivasi
X13 = Konsumsi Vitamin B X28 = Lingkungan Keluarga
Adapun skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Skala pengukuran variabel-variabel penelitian
No Variabel Keterangan Kategori Sumber 1 Pendidikan Orang
tua
SD SMP/SMU Diploma/S1 S2/S3
2 Pekerjaan Orang tua
Petani PNS/ABRI Swasta Wiraswasta IRT
3 Pendapatan Keluarga
Dengan menghitung pendapatan perkapita keluarga : total pendapatan keluarga/bulan dibagi jumlah anggota keluarga
Miskin < Rp 128.282,- Tidak miskin ≥ Rp 128.282,-
BPS (2005) 4 Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang)
Sedang (5-7 orang) Besar (> 7 orang)
BPS (2001) 5 Uang Saku Rendah < Rp 5.395
Sedang Rp 5.395 – Rp 10.917 Tinggi >Rp 10.917
6 Pengetahuan Gizi Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 25 pertanyaan meliputi : Jenis, fungsi dan sumber zat gizi serta masalah gizi
Kurang : < 60% Sedang : 60-80% Baik : > 80%
Khomsan
(2000) 7 Perilaku Konsumsi
Pangan Dengan menggunakan kuesioner yang meliputi : Frekuensi makan Kebiasan sarapan Kebiasaan makan sayur dan buah Konsumsi Food suplement
Kurang : < 19,4 Sedang : 19,4–29,6 Baik : > 29,6
Slamet (1993)
36
Tabel 4 (Lanjutan) Skala pengukuran variabel-variabel penelitian
No Variabel Keterangan Kategori Sumber 8 Pola Aktivitas Dengan recall 2x24 jam,
dilihat alokasi waktu : Belajar Bermain Nonton tv Tidur Olah raga Sekolah Pribadi
9 Status Gizi Antropometri IMT = BB/TB2 (kg/m2)
Kurus sekali (< 17,0) Kurus (17,0-18,5) Normal (18,5-25,0) Gemuk (25,0-27,0) Obess (> 27,0)
Depkes (1996)
10 Status Anemia Pemeriksaan kadar Hemoglobin
Anemia : Hb < 12 g/dl (PR) Hb <13,5 g/dl (LK) Tidak anemia : Hb ≥ 12 g/dl (PR) Hb ≥13,5 g/dl (LK)
WHO (1982)
11 Status Kesehatan # Dengan menggunakan kuesioner meliputi jenis, frekuensi, lama sakit dan cara pengobatan penyakit # Pemberian skor berdasarkan keparahan penyakit (Lampiran 1)
Kurang : > 71 Sedang : 44 – 71 Baik : < 44
Firlie (2000) Slamet (1993)
12 Tingkat Kelelahan Dengan kuesioner yang terdiri dari 16 pertanyaan dengan skor : (1) tidak lelah : skor 1 (2) cukup lelah dan (3) lelah : skor 2 (4) sangat lelah : skor 3
Tidak lelah : < 11 Lelah : 11 – 20 Sangat lelah : > 20
13 Tingkat Stres Dengan kuesioner yang
terdiri dari 10 pertanyaan dengan skor : (1) tidak pernah dan (2) jarang : skor 1 (3) cukup : skor 2 (4) sering dan (5) sering sekali : skor 3
Rendah : < 17 Sedang : 17 – 32 Tinggi : > 32
14 Tingkat Kepuasan Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan skor 1) sempurna dan 2) bagus : skor 3 3) biasa saja : skor 2 4) kurang bagus dan 5) buruk : skor 1
Tidak puas : < 11 Puas : 11 – 20 Sangat puas : > 20
37
Tabel 4 (Lanjutan) Skala pengukuran variabel-variabel penelitian
No Variabel Keterangan Kategori Sumber 15 Motivasi Dengan menggunakan
kuesioner yang terdiri dari 12 pertanyaan dengan skor 1) tidak setuju : skor 1 2) setuju : skor 2 3) sangat setuju : skor 3
Kurang : < 13 Sedang : 13 – 24 Tinggi : > 24
16 Lingkungan Keluarga
Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan yang meliputi : Fasilitas belajar Motivasi belajar anak Bimbingan orang tua thd kegiatan belajar anak
kurang : < 47 Sedang : 47 - 60 Baik : > 60
Slamet (1993)
17 Prestasi Belajar Nilai raport semester 4 untuk kelas unggulan dan reguler, dan semester 3 untuk kelas akselerasi
Baik, jika rata-rata nilai > 8,0 Lebih dari cukup, jika rata-rata nilai 7,0-7,9 Cukup, jika rata-rata nilai 6,0-6,9 Kurang, jika rata-rata nilai < 6,0
Depdikbud
Definisi Operasional
38
Pola Aktivitas adalah seluruh kegiatan fisik yang dilakukan contoh dalam sehari,
yang meliputi kegiatan belajar, bermain, nonton tv, olah raga, tidur,
pribadi dan sekolah, yang diperoleh melalui metode recall 2 x 24 jam
pada hari libur dan hari sekolah, yang diukur dalam bentuk alokasi
waktu per kegiatan.
Perilaku konsumsi pangan adalah frekuensi, jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi oleh contoh selama dua hari yaitu pada hari sekolah dan
hari libur.
Pengetahuan gizi adalah tingkat pengertian tentang gizi, yang diukur dari
kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan mengenai jenis, fungsi
dan sumber zat gizi, dan masalah gizi. Skor atas jawaban pengetahuan
gizi dikelompokkan dalam pengetahuan gizi rendah, sedang dan tinggi.
Status gizi adalah keadaan tubuh manusia yang diakibatkan konsumsi,
penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang diukur secara
antropometri dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh dan biokimia
(kadar Hb).
Status anemia adalah keadaan kesehatan siswa yang dilihat dari kadar
hemoglobin (Hb) darah, yakni siswa dikategorikan anemia apabila kadar
Hb < 12 g/dl (perempuan) dan Hb < 13.5 g/dl (laki-laki).
Status kesehatan adalah keluhan dan riwayat penyakit yang pernah diderita
dalam 1 bulan terakhir yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner.
Tingkat kelelahan adalah kondisi fisik contoh akibat melakukan aktivitas fisik,
diukur dari grade 1 – 4 yaitu (1) tidak lelah, (2) cukup lelah, (3) lelah,
(4) sangat lelah.
Tingkat stres adalah derajat tekanan yang dialami contoh sebagai akibat adanya
sumber stres, yang diukur dari gejala fisik dan psikologis yang dialami
contoh.
Tingkat kepuasan adalah tingkat perasaan contoh setelah membandingkan antara
harapan dengan hasil yang dicapai/diperoleh.
39
Motivasi adalah dorongan untuk belajar, bersekolah dan melakukan kegiatan
sekolah yang dapat berhubungan dengan peningkatan prestasi dalam
belajar.
Lingkungan Keluarga adalah keadaan yang ada di dalam keluarga yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar anak, seperti sosial ekonomi keluarga,
besar keluarga, fasilitas belajar, pengawasan dan bimbingan orang tua
dalam belajar.
Prestasi Belajar adalah hasil yang diperoleh siswa melalui raport semester 3
(kelas akselerasi) dan 4 (kelas unggulan dan reguler) yang diwujudkan
dalam bentuk angka.
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Sekolah
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Malang terletak di jalan Bandung
No. 7 Malang. MTsN 1 berdiri di atas areal tanah seluas 3135 m2 dengan luas
bangunan 2272 m2. Berdasarkan letak sekolah, MTsN 1 Malang terletak di
tengah-tengah kota dan di pinggir jalan utama. Secara struktural MTsN 1 Malang
berada di bawah pengawasan Departemen Agama Kota Malang.
Dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, MTsN 1 Malang dipimpin
oleh seorang kepala sekolah dan dibantu oleh lima orang wakil kepala sekolah
yaitu wakil kepala sekolah yang membidangi kurikulum, hubungan masyarakat,
kesiswaan, pengembangan mutu serta sarana dan prasarana. Staf pengajar pada
MTsN 1 Malang berjumlah 55 orang dan murid sebanyak 840 orang dengan
jumlah kelas dari kelas 1 sampai 3 sebanyak 24 kelas. Selain itu juga dibantu oleh
Tata usaha (TU) dan pesuruh yang berjumlah 16 orang dan tenaga dokter 1 orang.
Untuk pengembangan kualitas tenaga pengajar, kedua sekolah terus
mengupayakan pelatihan dan pengembangan akademik baik ditingkat nasional
maupun internasional.
Sebagai sekolah favorit, pada awal penerimaan murid baru MTsN 1
Malang melakukan serangkaian tes akademik diantaranya adalah tes IQ, tes
potensi akademik dan baca tulis Al Qur’an. Siswa yang mengikuti program
akselerasi adalah siswa yang memiliki skor IQ minimal 125 menurut skala
Wechsler, memiliki nilai NEM sekolah rata-rata di atas 7, dengan nilai rata-rata
raport tidak kurang dari 7, serta ditambah surat keterangan sehat dari dokter,
kesediaan calon siswa, dan persetujuan orang tua mengikuti program akselerasi.
Sedangkan untuk kelas unggulan, penjaringannya dengan nilai rata-rata raport
semester genap, apabila nilai rata-ratanya ≥ 85,0 siswa tersebut dimasukkan kelas
unggulan.
MTsN 1 Malang juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung
kegiatan belajar mengajar. Fasilitas tersebut adalah ruang kelas, ruang guru, ruang
tata usaha, ruang administrasi, lobby (ruang tamu), ruang kepala sekolah, ruang
laboratorium, ruang perpustakaan, ruang UKS, masjid, aula, ruang
ekstrakurikuler, kantin, gudang, sarana olah raga dan kamar mandi.
41
Selain kegiatan belajar mengajar, MTsN 1 Malang juga menyediakan
berbagai kegiatan ekstrakurikuler guna mewadahi dan mengembangkan bakat,
kreativitas serta minat siswa. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut antara lain adalah
pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Kader Kesehatan Remaja (KKR), serta
Kelompok Ilmiyah Remaja (KIR).
Karakteristik Keluarga
Pendidikan
Tingkat pendidikan orang tua contoh cukup bervariasi mulai dari tingkat
dasar sampai tingkat tinggi. Bila dilihat secara umum, sebagian besar pendidikan
ayah dan ibu contoh adalah D3/S1 dengan persentase 59,1% dan 68,8%.
Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase terbesar pendidikan ayah
dan ibu contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler adalah D3/S1.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu
Variabel Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Pendidikan Ayah
SMP/SMA
D3/S1
S2/S3
1
12
7
5,0
60,0
35,0
4
12
5
19,0
57,1
23,8
10
31
11
19,2
59,6
21,2
15
55
23
16,1
59,1
24,7
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Pendidikan Ibu
SD
SMP/SMA
D3/S1
S2/S3
0
1
15
4
0,0
5,0
75,0
20,0
2
3
12
4
9,5
14,3
57,1
19,0
0
15
37
0
0,0
28,8
71,2
0,0
2
19
64
8
2,2
20,4
68,8
8,6
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Tingkat pendidikan orangtua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan
prestasi belajar anak, semakin tinggi pengetahuan orang tua, maka akan semakin
banyak pula pengetahuan orangtua yang diberikan kepada anaknya (Nasution dan
Nasution 1986). Suatu penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa adanya
pengaruh pendidikan orang tua disamping faktor kemampuan anak dan kualitas
sekolah terhadap keberhasilan anak belajar.
42
Pekerjaan
Pekerjaan ayah dan ibu contoh bervariasi dari menjadi petani, PNS/ABRI,
swasta, wiraswasta dan ibu rumah tangga. Secara umum, proporsi terbesar
pekerjaan ayah contoh 40,9% bekerja sebagai PNS sedangkan proporsi terbesar
pekerjaan ibu contoh 37,6% adalah sebagai ibu rumah tangga.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu
Variabel Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Pekerjaan Ayah
Petani
PNS/ABRI
Swasta
Wiraswasta
0
9
6
5
0,0
45,0
30,0
25,0
2
7
9
3
9,5
33,3
42,9
14,3
0
22
20
10
0,0
42,3
38,5
19,2
2
38
35
18
2,2
40,9
37,6
19,3
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Pekerjaan Ibu
PNS/ABRI
Swasta
IRT
Wiraswasta
9
3
5
3
45,0
15,0
25,0
15,0
11
2
8
0
52,4
9,5
38,1
0,0
12
8
22
10
23,1
15,4
42,3
19,2
32
13
35
13
34,4
14,0
37,6
14,0
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
Dari Tabel 6 dapat diketahui sebaran pekerjaan ayah pada kelas akselerasi
dan reguler proporsi terbesar bekerja sebagai PNS, sedangkan pada kelas
unggulan proporsi terbesar ayah contoh bekerja sebagai karyawan swasta.
Proporsi terbesar pekerjaan ibu contoh pada kelas akselerasi dan unggulan sebagai
PNS, sedangkan pada kelas reguler proporsi terbesar ibu contoh bekerja sebagai
ibu rumah tangga.
Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) jenis pekerjaan orangtua
merupakan salah satu indikator besarnya penghasilan keluarga. Diharapkan
dengan semakin besarnya penghasilan, maka konsumsi keluarga pun menjadi
semakin baik dalam hal gizi makanan yang dikonsumsi baik secara kualitas
maupun kuantitasnya.
43
Pendapatan Pendapatan perkapita keluarga contoh dikelompokkan ke dalam 2 kategori
yaitu miskin dan tidak miskin. Kategori miskin apabila pendapatan per kapita per
bulan, < Rp 128.282,- dan tidak miskin jika pendapatan per kapita per bulan ≥ Rp
128.282,- (BPS 2005). Pendapatan per kapita keluarga contoh berkisar dari Rp
300.000,- sampai Rp 1.833.333,-. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga adalah
Rp 920.942,- dengan standar deviasi Rp 313.463,-. Berdasarkan kategori tersebut
pendapatan per kapita keluarga contoh masuk dalam kategori tidak miskin 100%.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori kemiskinan
Pendapatan Akselerasi Unggulan Reguler Total
n % n % n % n % Miskin Tidak miskin
0 20
0,0 100,0
0 21
0,0 100,0
0 52
0,0 100,0
0 93
0,0 100,0
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
± SD Min – Max
1.067.142±316.750 625.000 – 1.833.333
913.151±303.629 300.000 – 1.375.000
860.588±302.624 300.000 – 1.375.000
920.942±313.463 300.000 – 1.833.333
Hasil uji statistik menunjukkan pendapatan perkapita tidak berhubungan
dengan prestasi belajar, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusumaningrum
(2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara pendapatan
perkapita dengan prestasi belajar. Dimana semakin tinggi pendapatan perkapita
maka prestasi belajar akan semakin baik.
Menurut Sajogyo (1978) pendapatan berpengaruh terhadap daya beli dan
perilaku manusia dalam mengkonsumsi pangan. Dengan demikian pendapatan
keluarga merupakan faktor yang menentukan jumlah dan macam pangan yang
tersedia dalam keluarga. Apabila pendapatan cukup, maka jumlah dan macam
pangan yang ada di rumah tangga akan tercukupi, sebaliknya pendapatan yang
rendah akan menjadi kendala dalam penyediaan pangan keluarga yang akan
berakibat buruk terhadap status gizi keluarga (Berg & Sajogyo 1986).
Hardinsyah dan Drajat (1992) menyatakan dengan pendapatan yang tinggi
maka pemenuhan kebutuhan primer seperti pangan dapat terpenuhi dengan baik.
Dengan konsumsi pangan yang baik maka daya tahan tubuh terhadap penyakit
akan meningkat. Konsumsi pangan diperlukan untuk mencukupi kebutuhan
fisiologis tubuh akan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat
mempertahankan kesehatannya.
44
Besar keluarga
Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga contoh. Besar
keluarga contoh dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu keluarga kecil, sedang
dan besar. Keluarga kecil jika jumlah anggota keluarganya (≤ 4 orang), keluarga
sedang jika jumlah anggota keluarganya (5 – 7 orang), dan besar jika jumlah
anggota keluarganya ( > 7 orang) (BPS 2001).
Secara umum, dari Tabel 8 diketahui berdasarkan skor total bahwa
sebagian besar contoh 78,5% termasuk dalam kategori keluarga kecil yang terdiri
dari kurang dari atau sama dengan 4 orang anggota keluarga.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga
Besar Keluarga
Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Kecil
Sedang
Besar
17
3
0
85,0
15,0
0,0
17
2
2
81,0
9,5
9,5
39
10
3
75,0
19,2
5,8
73
15
5
78,5
16,1
5,4
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
± SD Min – Max
4,0 ± 1,0 3,0 – 7,0
5,0 ± 1,7 4,0 – 11,0
5,1 ± 1,4 3,0 – 10,0
4,9 ± 1,4 3,0 – 11,0
Menurut sanjur (1982), jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh pada
belanja pangan. Pendapatan per kapita dan belanja pangan akan menurun sejalan
dengan meningkatnya besar jumlah anggota keluarga.
Karakteristik Contoh
Umur dan Jenis kelamin
Berdasarkan data yang diperoleh, umur contoh berkisar antara 13 sampai
15 tahun, dengan rata-rata 14 ± 0,6 tahun. Pada kelas akselerasi sebagian besar
contoh laki-laki dan perempuan berumur 13 tahun, sedangkan pada kelas
ungggulan dan reguler sebagian besar contoh laki-laki dan perempuan berumur 14
tahun. Selanjutnya sebaran umur dan jenis kelamin contoh ditampilkan pada Tabel
9.
45
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin
Umur Akselerasi Unggulan Regular Total
LK (%)
PR (%)
LK (%)
PR (%)
LK (%)
PR (%)
LK (%)
PR (%)
13
14
15
25,0
5,0
0,0
55,0
15,0
0,0
0,0
28,6
9,5
4,8
47,6
9,5
0,0
28,8
7,7
1,9
48,1
13,5
5,4
23,6
6,4
14,0
40,9
9,7
Total 30,0 70,0 38,1 61,9 36,5 63,5 35,4 64,6
± SD Min–Max
13,2 ± 0,4 13,0 – 14,0
14,1 ± 0,5 13,0 – 15,0
14,2 ± 0,4 13,0 – 15,0
14,0 ± 0,6 13,0 – 15,0
Helms dan Turner (1991) mengelompokkan usia remaja antara 13 – 19
tahun. Monks (1992) melakukan pembagian perkembangan remaja adalah pra
remaja (10-12 tahun), remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) dan remaja
pertengahan usia (15-18 tahun) serta remaja akhir usia (18-21 tahun). Dari definisi
tersebut dapat diketahui bahwa contoh dalam penelitian ini termasuk dalam masa
remaja awal atau pubertas.
Uang saku
Uang saku contoh per hari berkisar antara Rp. 3.000,- sampai Rp. 20.000,-
dengan rata-rata Rp. 8.156 ± 2.761. Uang saku contoh dikategorikan menjadi
rendah (< Rp 5.395), sedang ( Rp 5.395 – 10.917) dan tinggi (> Rp 10.917). Dari
Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar uang saku contoh ketiga kelas
masuk dalam kategori sedang dengan kisaran Rp 5.395 sampai Rp 10.917. Hasil
uji anova menunjukkan uang saku pada ketiga kelas tidak berbeda nyata.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori uang saku
Uang Saku Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Rendah
Sedang
Tinggi
9
11
0
45,0
55,0
0,0
2
16
3
9,5
76,2
14,3
6
43
3
11,5
82,7
5,8
17
70
6
18,3
75,3
6,5
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
± SD Min–Max
6.475± 1.983 3.000 ±10.000
9.238 ± 3.520 5.000±20.000
8.365 ± 2.407 3.000±15.000
8.156 ± 2.761 3.000±20.000
46
Napitu (1994) menyatakan bahwa uang saku merupakan bagian dari
pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu
tertentu. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, anak diharapkan
untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimiliki.
Pengetahuan Gizi
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan gizi contoh,
dilakukan analisis kuantitatif yaitu dengan memberi skor atas semua jawaban
yang diberikan contoh. Pengetahuan tentang gizi ini terdiri dari 20 item
pertanyaan, dengan skor total 20 jika jawaban benar atas semua pertanyaan.
Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan jawaban benar dari pertanyaan pengetahuan gizi
Pertanyaan Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Pengertian makanan sehat Zat gizi yang diperlukan tubuh Zat gizi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan Konsumsi energi berlebih disimpan dalam bentuk Fungsi protein Pangan sumber karbohidrat Vitamin larut lemak Buah yang mengandung vitamin C Pangan sumber protein nabati Makanan hewani sumber vitamin A Makanan sumber kalsium Makanan sumber serat Tahu, tempe, ikan, daging dan telur sumber Makanan sumber zat besi Buah dan sayur sumber Pangan sumber protein Akibat kekurangan zat besi Sayuran sumber vitamin A Akibat kekurangan vitamin C Ciri-ciri orang yang anemia adalah, kecuali
20 19 20
20
18 20 20 12
19 17
20 20 20
18 19 19 20 17 20 15
100,0 95,0 100,0
100,0
90,0 100,0 100,0 60,0
95,0 85,0
100,0 100,0 100,0
90,0 95,0 95,0 100,0 85,0 100,0 75,0
21 20 18
20
17 20 21 12
19 9
20 21 21
17 21 20 16 15 19 13
100,0 95,2 85,7
95,2
81,0 95,2 100,0 57,1
90,5 42,9
95,2 100,0 100,0
81,0 100,0 95,2 76,2 71,4 90,5 61,9
51 52 42
48
45 52 48 20
40 26
52 52 51
26 51 48 28 38 50 19
98,1 100,0 80,8
92,3
86,5 100,0 92,3 38,5
76,9 50,0
100,0 100,0 98,1
50,0 98,1 92,3 53,8 73,1 96,2 36,5
92 91 80
88
60 92 89 44
78 52
92 93 92
61 91 87 64 70 89 47
98,9 97,8 86,0
94,6
86,0 98,9 95,7 47,3
83,9 55,9
98,9 100,0 98,9
65,6 97,8 93,5 68,8 75,3 95,7 50,5
Dari Tabel 11 diketahui proporsi terkecil contoh memberikan jawaban
benar terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan buah-buahan yang
mengandung vitamin C, makanan hewani sumber vitamin A, makanan sumber zat
47
besi, penyakit yang diakibatkan kekurangan zat besi, serta yang bukan merupakan
ciri-ciri orang yang anemia.
Ketidaktahuan contoh terhadap buah-buahan yang mengandung vitamin C
ini sejalan dengan fakta rendahnya tingkat konsumsi vitamin C pada contoh ketiga
kelas. Masih besarnya proporsi contoh yang tidak tahu makanan sumber zat besi
juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat konsumsi zat besi (Fe). Dan
banyaknya contoh yang menjawab salah pada pertanyaan tentang ciri-ciri orang
yang anemia kemungkinan karena kurang teliti dalam membaca soal, karena
dibagian akhir soal ada kata kecuali yang menunjukkan untuk mencari jawaban
yang sebaliknya. Ketelitian dalam menjawab soal-soal dalam tes atau ulangan
perlu ditekankan pada contoh, karena apabila tidak teliti pertanyaan yang
harusnya bisa dijawab dengan benar menjadi salah.
Penilaian terhadap ketepatan jawaban pengetahuan gizi dibuat dalam
bentuk persentase, yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu rendah (<
60%); sedang ( 60% - 80%); dan baik (> 80%). Secara umum, berdasarkan skor
total diketahui bahwa sebagian besar contoh 61,3% memiliki pengetahuan gizi
baik. Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa pada kelas akselerasi, unggulan dan
reguler sebagian besar contoh memiliki pengetahuan gizi baik, khusus untuk kelas
reguler contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik dan sedang mencapai
persentase yang sama yaitu 46,2%.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengetahuan gizi
Pengetahuan Gizi
Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Rendah
Sedang
Baik
0
1
19
0,0
5,0
95,0
1
6
14
4,8
28,6
66,7
4
24
24
7,7
46,2
46,2
5
31
57
5,4
33,3
61,3
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min–Max 92,7 ± 5,7
80,0 ± 100,0 85,9 ± 9,7
60,0 ± 100,0 80,7 ± 9,4 60,0 ± 95,0
84,4 ± 10,0 60,0 ± 100,0
Pengetahuan gizi yang baik diharapkan dapat menunjang di dalam
pemilihan atau penyusunan menu yang akan dikonsumsi guna mencapai status
gizi baik. Hasil uji anova menunjukkan bahwa pengetahuan gizi berbeda sangat
48
nyata pada ketiga kelompok kelas. Hasil analisa statistik diketahui bahwa
pengetahuan gizi berhubungan nyata dengan status kesehatan dan prestasi belajar.
Perilaku Konsumsi Pangan
Kebiasaan Makan
Hal yang diteliti mengenai kebiasaan makan contoh adalah frekuensi
makan, kebiasaan sarapan pagi, jenis bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi
konsumsi makanan jajanan, kebiasaan minum susu dan frekuensi minum susu,
konsumsi sayur dan buah serta konsumsi food suplement.
Secara umum, berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa
sebagian besar contoh 63,4% memiliki kebiasaan makan dalam sehari 3 kali.
Sebanyak 75,3% contoh memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum berangkat ke
sekolah. Sebanyak 45,2% contoh memiliki kebiasaan makan makanan jajanan
lebih dari tiga kali sehari. Sebanyak 100% contoh mengkonsumsi makanan
jajanan sebagai makanan selingan/tambahan, dan sebanyak 53,8% contoh
mengkonsumsi makanan jajanan karena rasa lapar.
Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa pada kelas akselerasi, unggulan dan
reguler memiliki kebiasaan makan dalam sehari 3 kali dengan persentase masing-
masing 85,0%; 71,4% dan 51,9%. Sebagian besar contoh baik pada kelas
akselerasi, unggulan maupun reguler memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum
berangkat ke sekolah dengan kisaran persentase antara 69,2% sampai 90,0%.
Frekuensi konsumsi makanan jajanan contoh antara kelas akselerasi dengan dua
kelas lainnya berbeda, dimana pada kelas akselerasi proporsi terbesar contoh yang
mengkonsumsi makanan jajanan adalah 2 kali (40,0%). Sedangkan pada kelas
unggulan dan reguler 48,4% contoh mengkonsumsi makanan jajanan lebih dari 3
kali dalam sehari. Sebanyak 100% contoh pada ketiga kelas mengkonsumsi
makanan jajanan sebagai makanan selingan/tambahan dan sebagian besar alasan
contoh mengkonsumsi makanan jajanan pada ketiga kelas karena rasa lapar
(53,8%).
49
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan
Kebiasaan Makan
Kriteria Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Frekuensi makan dalam
sehari
2 kali 3 kali >3 kali Tidak tentu
1 17 1 1
5,0 85,0 5,0 5,0
2 15 0 4
9,5 71,4 0,0 19,0
1 27 5 19
1,9 51,9 9,6 36,5
4 59 6 24
4,3 63,4 6,5 25,8
Sarapan pagi Ya Kadang-kadang
18 2
90,0 10,0
16 5
76,2 23,8
36 15
69,2 30,7
70 23
75,2 24,8
Frekuensi konsumsi makanan jajanan
1 kali 2 kali 3 kali >3 kali
5 8 2 5
25,0 40,0 10,0 25,0
2 8 2 9
9,5 38,1 9,5 42,9
5 14 5 28
9,6 26,9 9,6 53,8
12 30 9 42
12,9 32,3 9,7 45,2
Minum susu Ya Kadang-kadang Tidak
12 7 1
60,0 35,0 5,0
10 8 3
47,6 38,1 14,3
32 17 3
61,5 32,7 5,8
54 32 7
58,1 34,4 7,5
Frekuensi dalam
seminggu
>4 gelas 3-4 gelas 1-2 gelas 0 gelas
12 2 5 1
60,0 10,0 25,0 5,0
10 4 4 3
47,6 19,0 19,0 14,3
22 13 14 3
42,3 25,0 26,9 5,8
44 19 23 7
47,3 20,4 24,7 7,5
Konsumsi sayur
Ya Kadang-kadang
15 5
75,0 25,0
14 7
66,7 33,3
34 18
65,4 34,6
63 30
67,7 32,3
Konsumsi buah
Ya Kadang-kadang
15 5
75,0 25,0
11 10
52,4 47,6
37 15
71,2 28,8
63 30
67,7 32,3
Konsumsi suplemen
Ya Tidak
6 14
30,0 70,0
9 12
42,9 57,1
19 33
36,5 63,5
34 59
36,6 63,4
Secara umum, berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa
63,4% contoh memiliki kebiasaan makan dalam sehari 3 kali. Persentase tersebut
sama dengan hasil penelitian Astuti (2002) yang menunjukkan bahwa 63,3%
murid SMU di Trenggalek memiliki frekuensi makan tiga kali sehari. Kebiasaan
makan tiga kali sehari atau lebih merupakan kebiasaan makan yang baik, karena
dengan frekuensi konsumsi yang makin sering diharapkan akan semakin besar
kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan gizinya. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Nasoetion dan Khomsan (1995) bahwa peluang untuk
mencukupi kebutuhan gizi akan lebih besar jika frekuensi makan tiga kali sehari.
Sebanyak 75,3% contoh memiliki kebiasaan sarapan pagi sebelum
berangkat ke sekolah. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan hasil
penelitian Astuti (2002) yang menunjukkan 41,7% murid SMU di Trenggalek
terbiasa sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Namun, hasil penelitian ini
sedikit lebih rendah dibandingkan penelitian Kustiyah (2005) yang melaporkan
sebanyak 76,1% murid SD di Bogor terbiasa sarapan pagi. Sarapan pagi sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi contoh untuk beraktifitas dan
50
belajar. Apabila anak tidak sarapan maka kemampuan berpikir dan konsentrasi
akan sangat berkurang, sehingga kegiatan belajar anak akan terganggu. Cukup
tingginya contoh yang sarapan pagi akan berdampak terhadap performans contoh
di sekolah. Disamping itu, menurut hasil penelitian di AS dan Indonesia, ternyata
dampak sarapan pagi sebelum berangkat sekolah adalah amat besar. Rata-rata
anak yang sempat sarapan pagi mempunyai prestasi yang lebih tinggi daripada
anak-anak yang tidak sarapan. Selain itu, sarapan dapat merangsang gerakan
belahan otak kanan si anak untuk menciptakan kegiatan kreatif dan mengurangi
keinginan untuk jajan. Hal ini terjadi karena anak sudah puas dan kenyang,
sehingga keinginan untuk jajan pun berkurang atau bahkan hilang (Kustiyah
2005).
Selanjutnya dalam Food Facts Asia (2004) juga disebutkan bahwa sarapan
pagi berhubungan dengan peningkatan performans mental, khususnya berdampak
positif terhadap kewaspadaan, konsentrasi dan membantu menjaga sikap positif
terhadap proses belajar di sekolah, tugas-tugas dan aktifitas lainnya. Selain itu,
terdapat bukti yang kuat bahwa anak-anak dan remaja yang sarapan dan
sarapannya banyak mengandung karbohidrat kompleks, maka secara nyata lebih
mampu berkonsentrasi dan memecahkan permasalahan daripada yang tidak
sarapan.
Hasil penelitian yang menunjukkan masih terdapatnya sekitar 24,8%
contoh yang kadang-kadang sarapan perlu mendapat perhatian dari orang tua dan
guru, karena berbagai penelitian membuktikan bahwa sarapan berpengaruh pada
prestasi belajar anak. Riyadi (1995) mengemukakan bahwa pada anak-anak
sekolah yang tidak sarapan, ternyata daya tangkap terhadap pelajarannya tidak
sebaik mereka yang melakukan sarapan. Selain itu, anak yang tidak sarapan
umumnya kurang kreatif dan agak lamban dalam berpikir. Kondisi ini antara lain
disebabkan oleh rendahnya kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa darah
berada di bawah normal, maka akan timbul gejala hipoglikemia. Berat ringannya
hipoglikemia tergantung pada tingkat seberapa rendah kadar glukosa darahnya.
Sebanyak 45,2% contoh memiliki frekuensi makan makanan jajanan lebih
dari 3 kali dalam sehari. Persentase tersebut lebih rendah dibandingkan penelitian
Astuti (2002) yang menunjukkan sebanyak 81,7% siswa SMA mengkonsumsi
51
makanan jajanan dengan frekuensi satu sampai tiga kali dalam seminggu.
Martoatmodjo et al. (1973) menyatakan bahwa kebiasaan jajan pada anak-anak
sekolah memiliki kebaikan dan keburukannya. Kebaikannya diantaranya, jika
makanan yang dibeli tersebut sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa
melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak, serta untuk mengisi kekosongan
lambung karena setiap tiga sampai empat jam sesudah makan maka lambung
mulai kosong. Sedangkan kerugiannya antara lain dapat memboroskan keuangan
rumah tangga, dapat mengurangi nafsu makan di rumah serta adanya
kekhawatiran berpengaruh negatif terhadap kesehatan anak. Sebagaimana
dinyatakan oleh Villavieja et al. (1998) bahwa kebiasaan jajan dapat berpengaruh
negatif terhadap berkurangnya selera makan dan kesehatan gigi.
Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh 58,1%
memiliki kebiasaan minum susu, dengan frekuensi minum susu lebih dari 4 gelas
seminggu sebanyak 47,3%. Sebagian besar contoh pada ketiga kelas memiliki
kebiasaan mengkonsumsi sayur dan buah (67,7%). Sedangkan sebagian besar
contoh pada ketiga kelas 63,4% tidak mengkonsumsi suplemen selama seminggu
terakhir pada saat pengambilan data. Besarnya persentase contoh yang tidak
mengkonsumsi suplemen pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan hasil penelitian Astuti (2002) yang melaporkan sebanyak 95% murid
SMU di Trenggalek tidak mengkonsumsi suplemen. Jadi persentase contoh yang
mengkonsumsi suplemen dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan contoh
pada penelitian Astuti (2002). Hal ini dikarenakan orangtua contoh sudah
menyediakan suplemen yang dikonsumsi contoh dan menyuruh contoh untuk
mengkonsumsinya.
Dari contoh yang mengkonsumsi suplemen (Tabel 13), sebagian besar
contoh 43,2% mengkonsumsi multivitamin untuk pertumbuhan dan
perkembangan (curcuma plus, minyak ikan, HD pollenergy, marine organic
calcium, nutrilite daily supplement, scott emulsion, biolysin, stimuno dan zevith
grow). Alasan mengkonsumsi suplemen adalah untuk meningkatkan/menjaga
daya tahan tubuh, meningkatkan daya ingat, memacu pertumbuhan, dan untuk
memenuhi kebutuhan vitamin C serta zat besi. Sebaran contoh berdasarkan
konsumsi suplemen dalam seminggu terakhir disajikan pada Tabel 14.
52
Tabel 14 Sebaran Contoh Berdasarkan Jenis Suplemen yang Dikonsumsi Seminggu Terakhir
Suplemen yang Dikonsumsi Jumlah (n) Persentase (%)
Tablet vitamin C effervescent
Tablet hisap vitamin C
Multivitamin pertumbuhan
Multivitamin untuk otak
Herba
Tablet tambah darah
10
5
19
3
5
2
22,7
11,4
43,2
6,8
11,4
4,5
Untuk menyimpulkan bagaimana perilaku konsumsi pangan contoh,
pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan makan diskor. Skor yang diperoleh
kemudian dikategorikan menjadi kurang (< 19,4); sedang (19,4 – 29,6); dan baik
(>29,6). Dari hasil pengkategorian tersebut ternyata sebagian besar contoh 57%
mempunyai perilaku konsumsi pangan tergolong sedang (Tabel 15).
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori perilaku konsumsi pangan
Perilaku Konsumsi pangan
Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Sedang
Baik
8
12
40,0
60,0
14
7
66,7
33,3
31
21
59,6
40,4
53
40
57,0
43,0
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min–Max 29,5 ± 2,3 26,0 – 33,0
28,3 ± 2,9 23,0 – 33,0
28,3 ± 2,7 24,0 – 34,0
28,6 ± 2,7 23,0 – 34,0
Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa perilaku konsumsi pangan contoh
pada kelas akselerasi sebagian besar tergolong baik (60%), sedangkan pada kelas
unggulan dan reguler sebagian besar contoh memiliki perilaku konsumsi pangan
tergolong sedang dengan persentase 66,7% dan 59,6%. Hasil uji anova
menunjukkan bahwa perilaku konsumsi pangan tidak berbeda nyata pada ketiga
kelas. Hasil uji statistik menunjukkan perilaku konsumsi pangan berhubungan
dengan prestasi belajar, hal ini senada dengan penelitian Thoha (2006) yang
melaporkan bahwa pola konsumsi pangan berhubungan dengan prestasi belajar
(IPK).
53
Analisis Konsumsi
Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi. Konsumsi pangan yang cukup dapat membuat keadaan kesehatan seseorang
menjadi lebih baik. Remaja dalam kehidupannya sangat aktif dan sedang dalam
masa pertumbuhan yang cepat sehingga harus mendapatkan makanan yang
bergizi. Konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi
badan, pola dan kebiasaan makan, serta pendapatan (Kartasapoetra & Marsetyo
2005). Data konsumsi energi dan zat gizi contoh disajikan pada Tabel 16.
Secara umum, dari hasil penelitian diketahui bahwa ada kecenderungan
rata-rata konsumsi energi, protein dan zat besi (Fe) contoh laki-laki kelas
akselerasi lebih tinggi daripada kelas unggulan dan reguler. Sedangkan rata-rata
konsumsi vitamin C contoh laki-laki kelas reguler lebih tinggi daripada akselerasi
dan unggulan. Dan rata-rata konsumsi vitamin B contoh laki-laki pada kelas
unggulan lebih tinggi daripada dua kelas lainnya. Secara keseluruhan, rata-rata
konsumsi energi, protein, zat besi (Fe), vitamin C dan vitamin B contoh
perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan.
Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik (Almatsier 2002). Energi diperoleh
dari karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan. Dari Tabel 16 dapat
diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi contoh laki-laki pada kelas akselerasi,
unggulan dan reguler masing-masing mencapai 2757 kkal; 2146 kkal; dan 2094
kkal. Sedangkan contoh perempuan pada ketiga kelas rata-rata konsumsi energi
masing-masing adalah 1785 kkal; 1938 kkal dan 2054 kkal. Rata-rata konsumsi
energi contoh laki-laki pada kelas akselerasi lebih tinggi dibandingkan dengan
kelas unggulan dan reguler. Sebaliknya, rata-rata konsumsi energi contoh
perempuan dari kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan unggulan.
Rata-rata konsumsi protein contoh laki-laki pada kelas akselerasi,
unggulan dan reguler masing-masing adalah 78,8 g; 61,2 g; dan 65,5 g.
Sedangkan pada contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing 71,7 g; 58,9
g; dan 81,0 g. Rata-rata konsumsi protein contoh laki-laki pada kelas akselerasi
lebih tinggi daripada kelas unggulan dan reguler, sedangkan rata-rata konsumsi
54
protein contoh perempuan kelas reguler lebih tinggi daripada dua kelas lainnya.
Hasil uji statistik menunjukkan konsumsi protein berhubungan dengan konsumsi
zat besi dan vitamin B1. Protein bagi tubuh berfungsi untuk membentuk jaringan
baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat digunakan
sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh
karbohidrat dan lemak (Winarno 1997). protein merupakan pembentuk
hemoglobin. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi dan mempunyai
afinitas (daya gabung) terhadap oksigen. Hemoglobin dengan oksigen membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah untuk selanjutnya dibawa dari paru-paru
ke jaringan (Ramakhrisnan 2001). Selain itu, sel darah merah bertugas
mengangkut oksigen dan zat-zat makanan ke seluruh tubuh serta membantu
proses metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi (Almatsier 2002).
Salah satu zat gizi mikro yang diperlukan tubuh yaitu besi. Sunarti (1990)
menyatakan zat besi sangat diperlukan bagi pembentukan hemoglobin yaitu zat
warna yang terdapat di dalam sel-sel darah merah yang memungkinkan sel-sel
darah merah tersebut mengangkut oksigen (O2) ke jaringan dan karbondioksida
(CO2) dari jaringan. Di dalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai protein-
pengangkut-elektron berperan dalam metabolisme energi. Protein pengangkut
memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke
oksigen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP.
Rata-rata konsumsi zat besi (Fe) contoh laki-laki pada kelas akselerasi,
unggulan dan reguler masing-masing adalah 20,7 mg; 19,6 mg; dan 19,8 mg.
Sedangkan pada contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing adalah 20,9
mg; 17,8 mg; dan 28,4 mg. Rata-rata konsumsi zat besi (Fe) contoh laki-laki kelas
akselerasi lebih tinggi daripada kedua kelas lainnya, sedangkan pada contoh
perempuan rata-rata konsumsi zat besi (Fe) kelas reguler lebih tinggi daripada
akselerasi dan unggulan.
Rata-rata konsumsi vitamin C contoh laki-laki pada ketiga kelas aadalah
18,4 mg; 13,5 mg; dan 26,0 mg. Sedangkan rata-rata konsumsi vitamin C contoh
perempuan pada ketiga kelas masing-masing 13,3 mg; 19,3 mg; dan 22,2 mg.
Rata-rata konsumsi vitamin C contoh laki-laki kelas reguler lebih tinggi daripada
kelas akselerasi dan unggulan. Sama halnya dengan rata-rata konsumsi vitamin C
55
contoh perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan
unggulan.
Rata-rata konsumsi Vitamin B1 contoh laki-laki kelas akselerasi, unggulan
dan reguler masing-masing 2,4 mg; 11,4 mg; dan 1,1 mg. Rata-rata konsumsi
vitamin B1 contoh perempuan pada ketiga kelas masing-masing adalah 1,2 mg;
1,1 mg; dan 2,4 mg. Rata-rata konsumsi vitamin B1 contoh laki-laki kelas
unggulan lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan reguler. Sedangkan rata-rata
konsumsi vitamin B1 contoh perempuan kelas reguler lebih tinggi daripada dua
kelas lainnya.
Tabel 16 Rata-rata konsumsi, kecukupan gizi yang dianjurkan dan tingkat konsumsi energi dan zat gizi contoh
Variabel Akselerasi Unggulan Reguler Total
LK PR LK PR LK PR LK PR Energi
Konsumsi (kkal) Kecukupan (kkal) Tk konsumsi (%)
Protein Konsumsi (g) Kecukupan (g) Tk konsumsi (%)
Zat Besi (Fe) Konsumsi (mg) Kecukupan (mg) Tk konsumsi (%)
Vitamin C Konsumsi (mg) Kecukupan (mg) Tk konsumsi (%)
Vitamin B1
Konsumsi (mg) Kecukupan (mg) Tk konsumsi (%)
2757 2533 108,8
78,8 63,4 124,3
20,7 20,1 102,9
18,4 79,2 23,2
2,4 2,6 92,3
1785 2167 82,4
71,7 52,6 136,3
20,9 24,0 87,1
13,3 59,9 22,2
1,2 2,2 54,5
2146 2503 85,7
61,2 62,6 97,8
19,6 19,8 99,0
13,5 78,2 17,3
1,4 2,5 56,0
1938 2193 88,4
58,9 53,2 110,7
17,8 24,3 73,3
19,3 60,7 31,8
1,1 2,3 47,8
2094 2647 79,1
65,5 66,2 98,9
19,8 21,0 94,3
26,0 82,7 31,4
1,1 2,7 40,7
2054 2144 95,8
81,0 52,0 155,8
28,4 23,7 119,8
22,2 59,3 37,4
2,4 2,2
109,1
2332 2561 91,2
68,5 64,1 107,0
20,0 20,3 98,8
19,3 80,0 24,0
1,6 2,6 63,0
1926 2168 88,8
70,5 52,6 134,3
22,4 24,0 93,4
18,3 60,0 30,5
1,6 2,2 70,5
Tingkat Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Tingkat konsumsi energi dan zat gizi dihitung dengan cara
membandingkan rata-rata konsumsi energi dan zat gizi dengan angka kecukupan
gizi yang dianjurkan, yang hasilnya disajikan pada Tabel 16.
Dari Tabel 16 diketahui bahwa tingkat konsumsi energi contoh laki-laki
pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler masing-masing 108,8%; 85,7%; dan
79,1%. Tingkat konsumsi energi contoh perempuan pada ketiga kelas adalah
82,4%; 88,4%; dan 95,8%. Tingkat konsumsi energi contoh laki-laki pada kelas
56
akselerasi lebih tinggi daripada unggulan dan reguler. Tingkat konsumsi energi
contoh laki-laki kelas akselerasi dan unggulan sudah melebihi dari angka
kecukupan yang dianjurkan, sedangkan pada kelas reguler tingkat konsumsi
energinya perlu ditingkatkan lagi agar mencapai angka kecukupan yang
dianjurkan. Tingkat konsumsi energi contoh perempuan pada kelas reguler lebih
tinggi daripada akselerasi dan unggulan. Secara umum, tingkat konsumsi energi
contoh laki-laki dan perempuan pada ketiga kelas masih di bawah angka
kecukupan yang dianjurkan yaitu 91,2% dan 88,8% sehingga konsumsinya perlu
ditingkatkan lagi. Apabila konsumsi pangan tidak segera ditingkatkan
dikhawatirkan contoh akan rentan terserang penyakit infeksi dan kemampuan
kognitifnya juga akan ikut terpengaruh. Dari hasil uji anova menunjukkan tidak
ada perbedaan rata-rata konsumsi energi pada ketiga kelompok kelas.
Tingkat konsumsi protein contoh laki-laki pada kelas akselerasi, unggulan
dan reguler adalah 124,3%; 97,8%; dan 98,9%. Sedangkan tingkat konsumsi
protein contoh perempuan pada ketiga kelas berturut-turut adalah 136,3%;
110,7%; dan 155,8%. Tingkat konsumsi protein contoh laki-laki kelas akselerasi
sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan sedangkan pada dua kelas yang
lain masih belum memenuhi angka kecukupan yang diajurkan. Tingkat konsumsi
contoh perempuan pada kelas reguler lebih tinggi daripada kelas akselerasi dan
unggulan. Secara keseluruhan, tingkat konsumsi protein contoh laki-laki dan
perempuan pada ketiga kelas sudah melebihi dari angka kecukupan yang
dianjurkan yaitu 107,0% dan 134,3%. Hal ini dikarenakan konsumsi pangan
sumber protein hewani cukup tinggi misalnya ayam, telor dan daging, ditambah
dengan sumber protein nabati yaitu tahu dan tempe yang juga dikonsumsi oleh
contoh. Hasil uji anova diketahui bahwa tingkat konsumsi protein tidak berbeda
nyata pada ketiga kelompok kelas.
Tingkat konsumsi zat besi (Fe) contoh laki-laki pada kelas akselerasi,
unggulan dan reguler masing-masing 102,9%; 99,0%; dan 94,3%. Sedangkan
tingkat konsumsi zat besi (Fe) contoh perempuan pada ketiga kelas adalah 87,1%;
73,3%; dan 119,8%. Tingkat konsumsi zat besi contoh laki-laki kelas akselerasi
lebih tinggi dari dua kelas lainnya dan sudah melebihi angka kecukupan yang
dianjurkan. Tingkat konsumsi contoh perempuan kelas reguler lebih tinggi dari
57
dua kelas lainnya serta sudah melebihi dari angka kecukupan yang dianjurkan.
Secara keseluruhan, tingkat konsumsi zat besi contoh laki-laki maupun
perempuan tergolong cukup yaitu 98,8% dan 93,4% dari angka kecukupan.
Namun, untuk mengantisipasi defisit besi dalam jangka waktu yang lama
konsumsinya perlu ditingkatkan. Hasil uji anova diketahui bahwa tingkat
konsumsi zat besi pada ketiga kelas tidak berbeda nyata.
Intake zat besi akan mempengaruhi keseimbangan zat besi di dalam tubuh.
Intake zat besi yang kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan akan
meningkatkan risiko terjadinya defisiensi besi (Suhardjo 1989). Komposisi
makanan merupakan salah satu faktor dari luar tubuh atau lingkungan yang dapat
mempengaruhi persediaan besi di dalam makanan itu. Ketersediaan biologis dari
besi pada beragam makanan berbeda satu dengan lainnya. Jika dibandingkan
dengan protein hewani, besi yang terdapat di dalam biji-bijian sedikit yang dapat
diserap oleh usus (Piliang & Djojosoewondo 2006).
Tingkat konsumsi Vitamin C contoh laki-laki pada ketiga kelas berturut-
turut adalah 23,28%; 17,3%; dan 31,4%. Sedangkan tingkat konsumsi vitamin C
contoh perempuan masing-masing adalah 22,2%; 31,8% dan 37,4%. Secara
umum, Tingkat konsumsi vitamin C pada ketiga kelas baik pada contoh laki-laki
maupun perempuan tergolong kurang yaitu 24,0% dan 30,5% dari angka
kecukupan sehingga konsumsi perlu ditingkatkan lagi. Rendahnya tingkat
kecukupan vitamin C ini diakibatkan oleh sedikitnya konsumsi buah dan sayuran.
Hasil uji anova menunjukkan tingkat konsumsi vitamin C pada ketiga kelas tidak
berbeda nyata.
Konsumsi Vitamin C dapat membantu penyerapan besi. Besi dalam
makanan berada dalam ikatan ferri maupun ferro. Ikatan ferro yang umumnya
terdapat dalam pangan hewani lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus
(Suhardjo & Kusharrto 1988). Dan dinyatakan oleh Winarno (1997) penyerapan
besi di dalam saluran pencernaan yang direduksi dari bentuk ferri (Fe3+) menjadi
ferro (Fe2+) akan lebih mudah dengan kehadiran Vitamin C dan asam amino.
Almatsier (2002) menyatakan kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan tubuh
mudah lelah, lemah dan perdarahan gusi. Selain itu kekurangan vitamin C juga
dapat menyebabkan anemia.
58
Tingkat konsumsi vitamin B1 contoh laki-laki kelas akselerasi, unggulan
dan reguler masing-masing 92,3%; 56,0%; dan 40,7%. Sedangkan pada contoh
perempuan pada ketiga kelas masing-masing adalah 54,5%; 47,8%; dan 109,1%.
Secara keseluruhan tingkat konsumsi vitamin B1 contoh laki-laki dan perempuan
pada ketiga kelas tergolong kurang yaitu 63,0% dan 70,5% dari angka kecukupan
yang dianjurkan, sehingga konsumsinya masih perlu ditambah. Hasil uji anova
diketahui tingkat konsumsi vitamin B1 contoh pada ketiga kelas tidak berbeda
nyata.
Vitamin B1 (tiamin) berperan sebagai koenzim dalam reaksi-reaksi yang
menghasilkan energi dari karbohidrat dan memindahkan energi membentuk
senyawa kaya energi yang disebut ATP (Winarno 1997). Lebih lanjut, Winarno
(1997) menjelaskan tiamin tidak dapat disimpan banyak oleh tubuh, tetapi dalam
jumlah terbatas dapat disimpan dalam hati, ginjal, jantung, otak dan otot. Bila
tiamin terlalu banyak dikonsumsi, kelebihannya akan dibuang melalui air kemih.
Pola Aktivitas
Pola aktivitas contoh diperoleh dari recall 2 x 24 jam yaitu pada hari
sekolah dan hari libur. Pada Tabel 17 dapat diketahui bahwa alokasi waktu
terbesar contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler adalah untuk tidur,
dengan rata-rata 8,5 jam dari seluruh waktu contoh. Selanjutnya aktivitas contoh
yang juga memakan waktu yang cukup banyak pada ketiga kelas adalah untuk
kegiatan sekolah yaitu 7,2 jam dari keseluruhan aktivitas. Sedangkan aktivitas
contoh yang paling kecil alokasi waktunya adalah untuk kegiatan olah raga 0,2
jam.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Thoha (2006) yang
menunjukkan bahwa alokasi waktu terbesar mahasiswa D3 Kebidanan digunakan
untuk tidur dan aktivitas yang paling kecil alokasi waktunya adalah untuk
kegiatan olahraga.
Pada hari sekolah rata-rata waktu tidur contoh kelas akselerasi enam
sampai tujuh jam, tetapi pada hari libur rata-rata waktu tidur mereka meningkat
yaitu sembilan sampai sepuluh jam sehari. Selanjutnya, rata-rata penggunaan
waktu contoh untuk berbagai aktivitas disajikan pada Tabel 17.
59
Tabel 17 Rata-rata penggunaan waktu contoh untuk berbagai aktivitas
Aktivitas Akselerasi Unggulan Reguler Total
(Jam)
% (Jam)
% (Jam)
% (Jam)
%
Belajar Bermain Nonton tv Tidur Olah raga Pribadi Sekolah
2,8 1,3 2,1 8,3 0,3 2,2 7,0
11,7 5,4 8,8 34,6 1,2 9,1 29,2
2,6 2,3 2,0 7,9 0,2 1,9 7,1
10,8 9,6 8,3 32,9 0,8 7,9 29,6
1,9 1,8 2,3 8,8 0,2 1,8 7,2
7,9 7,5 9,6 36,7 0,8 7,5 30
2,2 1,8 2,2 8,5 0,2 1,9 7,2
9,2 7,5 9,2 35,4 0,8 7,9 30,0
Total 24,0 100,0 24,0 100,0 24,0 100,0 24,0 100,0 Hasil uji anova menunjukkan bahwa aktivitas belajar, aktivitas bermain,
dan aktivitas tidur berbeda nyata diantara ketiga kelas. Hasil analisa statistik
menunjukkan aktivitas belajar berhubungan negatif dengan aktivitas nonton tv dan
tidur dan berhubungan positif dengan prestasi belajar. Ini menunjukkan bahwa
semakin banyak alokasi waktu yang digunakan contoh untuk belajar, akan
semakin sedikit alokasi waktu yang digunakan untuk nonton tv dan tidur, dan
semakin banyak alokasi waktu yang digunakan untuk belajar secara signifikan
akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.
Hasil uji statistik juga menunjukkan aktivitas bermain berhubungan
negatif dengan aktivitas nonton tv, aktivitas tidur, aktivitas pribadi dan sekolah
serta tingkat stres, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak waktu yang
digunakan untuk bermain semakin rendah tingkat stres yang dialami contoh.
Aktivitas nonton tv berhubungan negatif dengan motivasi, hal ini
mengindikasikan bahwa contoh yang memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar
menggunakan sedikit waktunya untuk nonton tv sehingga dia bisa memanfaatkan
lebih banyak waktunya untuk belajar.
Status Gizi
Gambaran tentang status gizi contoh diketahui berdasarkan pengukuran
secara antropometri yang dinilai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) serta diukur
secara biokimia (kadar hemoglobin darah) yang disajikan pada Tabel 18, 19 dan
20.
60
Status Gizi Antropometri
Indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja.
Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil
atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang
dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah
tersedia (Riyadi 2003).
Status gizi remaja diukur dengan menilai Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan mengukur bobot tubuh (berat badan) dalam satuan kilogram dibagi dengan
kuadrat tinggi badannya dalam satuan meter. Kemudian status gizi remaja
dikelompokkan menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT < 17,0); kurus (IMT 17,0 –
18,5); normal (IMT 18,5 – 25,0); gemuk (IMT 25,0 – 27,0) dan obesitas (IMT >
27,0) (Depkes 1996).
Secara umum, rata-rata umur contoh adalah 14 ± 0,6 tahun dengan kisaran
13 hingga 15 tahun. Sementara, rata-rata berat badan contoh secara keseluruhan
adalah 47,4 ± 8,6 kg dan tinggi badan rata-rata adalah 157,9 ± 7,3 cm. Rata-rata
nilai IMT contoh adalah 18,9 ± 2,5 dan tergolong dalam status gizi normal.
Tabel 18 Berat badan dan IMT contoh
Antropometri Akselerasi Unggulan Regular Total
± SD ± SD ± SD ± SD Berat Badan (BB)
Indeks Massa Tubuh (IMT)
46,8 ± 6,9
18,6 ± 2,3
47,3 ± 9,9
19,0 ± 3,1
47,7 ± 8,7
19,0 ± 2,3
47,4 ± 8,6
18,9 ± 2,5
Min – Max BB
Min– Max IMT
34,0-62,0
15,6-23,1
33,0-70,0
14,7-28,8
34,0-80,0
15,6-28,3
33,0-80,0
14,7-28,8
Hasil uji anova menunjukkan IMT pada ketiga kelompok kelas tidak
berbeda nyata. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa IMT berhubungan
positif dengan kadar hemoglobin (Hb).
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan
zat gizi makanan (Riyadi 1995). Pencapaian status gizi baik diperlukan pangan
yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan ditentukan oleh
beberapa faktor seperti jenis kelamin, aktivitas fisik, berat dan tinggi badan,
61
keadaan fisiologis dan keadaan kesehatan (Hermina 1993). Sebaran contoh
berdasarkan status gizi antropometri disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori status gizi antropometri
Status Gizi Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Kurus sekali
Kurus
Normal
Obess
7
4
9
0
35,0
20,0
45,0
0,0
7
5
8
1
33,3
23,8
38,1
4,8
7
17
27
1
13,5
32,7
51,9
1,9
21
26
44
2
22,6
28,0
47,3
2,1
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa status gizi contoh pada kelas
akselerasi, unggulan dan reguler sebagian besar berstatus gizi normal. Hasil uji
anova menunjukkan status gizi tidak berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil
analisa statistik menunjukkan status gizi berhubungan sangat nyata dengan
prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumaningrum (2006) yang
menunjukkan hubungan yang nyata antara status gizi dengan prestasi belajar, dan
penelitian Hanum (1993) menunjukkan status gizi berpengaruh terhadap prestasi
belajar siswa.
Prestasi yang semakin meningkat dapat terjadi karena dengan status gizi
yang baik maka anak dapat berkonsentrasi dengan baik dalam mengikuti pelajaran
sehingga semua yang dipelajari dapat diterima dengan baik. Siswa yang kurang
sehat atau kurang gizi daya tangkapnya terhadap pelajaran dan kemampuan
belajarnya akan lebih rendah (Grossman 1997 dalam Kusumaningrum 2006).
Masalah gizi yang dialami contoh dapat berdampak negatif terhadap
penurunan konsentrasi belajar dan penurunan kesegaran jasmani. Banyak
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kelompok remaja mengalami
banyak masalah gizi. Bahkan menurut Obaid (2004) dalam Thoha (2006) saat ini
terdapat sekitar 1,2 juta remaja di dunia atau 1 dari 5 orang menghadapi masalah
gizi yang serius yang tidak hanya akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan mereka, namun juga setelah mereka dewasa.
Menurut Suhardjo (1989) status gizi yang baik dapat dicapai dengan cara
mengkonsumsi pangan yang mengandung cukup zat gizi dan aman serta
memenuhi kebutuhan. Kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
62
lain umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, kegiatan fisik, keadaan fisiologi dan
kesehatan.
Status Anemia
Status anemia contoh dinilai dari hasil pengukuran hemoglobin (Hb)
dalam darah. Kadar Hb contoh berkisar antara 11,7 sampai 17,5 g/dl, dengan rata-
rata kadar Hb adalah 14,1 ± 1,15 g/dl. Penilaian status anemia contoh dibedakan
menjadi anemia jika kadar Hb < 12 g/dl pada contoh perempuan dan Hb < 13,5
g/dl pada contoh laki-laki, serta tidak anemia jika kadar Hb ≥ 12 g/dl (perempuan)
dan Hb ≥ 13,5 (laki-laki).
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan kategori status anemia
Status Anemia Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Anemia
Tidak anemia
0
20
0
100,0
1
20
4,8
95,2
0
52
0
100,0
1
92
1,1
98,9
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min–Max 13,8 ± 1,2 12,1 - 15,5
13,9 ± 1,1 11,7 – 15,9
14,3 ± 1,2 12,3 – 17,5
14,1 ± 1,1 11,7 – 17,5
Dari Tabel 20 dapat diketahui secara umum, sebagian besar contoh 98,9%
tidak anemia dan proporsi contoh yang anemia 1,1% yaitu contoh pada kelas
unggulan. Hasil uji anova menunjukkan status anemia tidak berbeda nyata pada
ketiga kelas. Hasil analisa statistik menunjukkan status anemia tidak berhubungan
dengan prestasi belajar. Hal ini senada dengan penelitian Thoha (2006) yang
menunjukkan status anemia tidak berhubungan dengan nilai IPK, dan penelitian
Astuti (2002) menunjukkan tidak ada hubungan antara status anemia dengan
prestasi belajar siswa, serta penelitian Atasasih (2001) yang menunjukkan status
anemia tidak berhubungan nyata dengan prestasi belajar.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan proporsi anemia sebesar 1,1%
disebabkan contoh menderita penyakit maag kronis dan saat pengambilan darah
berlangsung kondisi kesehatan contoh masih dalam tahap recovery dan contoh
belum bisa mengkonsumsi makanan secara maksimal, karena masih terbatas pada
jenis makanan tertentu saja selain itu juga karena padatnya aktivitas contoh karena
63
contoh sebagai da’i cilik yang sering diundang untuk mengisi acara-acara baik di
dalam maupun di luar kota.
Rendahnya prevalensi anemia contoh pada penelitian ini diduga karena
tingkat konsumsi zat besi (Fe) yang tergolong cukup dari angka kecukupan yang
dianjurkan (Tabel 16), selain itu tingginya rata-rata kadar Hb contoh yaitu 14,1
±1,2 g/dl. Rendahnya prevalensi anemia pada penelitian ini berbeda dengan
penelitian Suharto (2008) yang menunjukkan prevalensi anemia pada siswa SMP
sebanyak 67%, serta penelitian Thoha (2006) menunjukkan prevalensi anemia
pada mahasiswa D3 kebidanan sebesar 25%.
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa
tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi. Bila belum juga
dipenuhi dengan masukan zat besi, lama-kelamaan timbul gejala anemia disertai
penurunan Hb. Sebenarnya tubuh mempunyai mekanisme menjaga keseimbangan
zat besi dan mencegah berkembangnya kekurangan zat besi. Tubuh mampu
mengatur penyerapan zat besi sesuai kebutuhan tubuh dengan meningkatkan
penyerapan pada kondisi kekurangan dan menurunkan penyerapan saat kelebihan
zat besi (Anonim 2005). Menurut Dillon (2007) jika kadar hemoglobin dalam
darah pada anak berada di kisaran 9 sampai 10 g/dl, bisa dipastikan penyebabnya
adalah asupan gizi. Tetapi jika kadar hemoglobinnya dibawah 8 g/dl, bisa
dipastikan ada penyakit penyertanya. Salah satu kemungkinannya adalah
cacingan. Sehingga penggunaan tablet besi harus dipadukan dengan obat cacing.
Status Kesehatan
Keadaan fisik yang sehat merupakan kondisi yang memungkinkan
seseorang untuk dapat belajar secara efektif. Seorang siswa yang sering sakit
biasanya mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam belajar, misalnya cepat
lelah, tidak bisa berkonsentrasi karena penglihatan dan pendengaran terganggu
(Kalpen 1997).
Untuk mengetahui status kesehatan contoh dilakukan analisis kuantitatif
yaitu dengan memberi skor atas faktor jenis penyakit, frekuensi sakit, lama hari
sakit dan cara pengobatan ketika sakit. Skoring atas jenis penyakit lebih
lengkapnya disajikan pada Lampiran 2. Penilaian terhadap status kesehatan
64
dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kurang (>71); sedang (44 – 71); dan
baik (< 44) (Slamet 1993).
Dari Tabel 21 diketahui bahwa secara umum status kesehatan contoh pada
ketiga kelas dalam satu bulan terakhir tergolong baik dengan persentase 74,2%.
Hasil uji anova menunjukkan bahwa status kesehatan berbeda nyata pada ketiga
kelas.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kategori status kesehatan
Status Kesehatan
Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Kurang
Sedang
Baik
0
7
13
0,0
35,0
65,0
0
1
20
0,0
4,8
95,2
5
11
36
9,6
21,2
69,2
5
19
69
5,4
20,4
74,2
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min–Max 35,3 ± 22,5 1,0 – 64,0
18,5 ± 14,8 1,0 – 53,0
35,4 ± 28,2 1,0 – 94,0
31,6 ± 25,3 1,0 – 94,0
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa status kesehatan berhubungan
nyata dengan konsumsi zat besi dan prestasi belajar. Hal ini sejalan dengan
penelitian Kusumaningrum (2006) yang menunjukkan terdapatnya hubungan
antara status kesehatan dengan prestasi belajar. Juga penelitian Maryam (2001)
yang menunjukkan status kesehatan mempengaruhi prestasi belajar.
Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang
sakit akibat penyakit atau akibat kelelahan tidak dapat belajar dengan efektif dan
hal tersebut akan mempengaruhi hasil belajar (Soemanto 1990). Suryabrata (1995)
mengemukakan bahwa kesehatan jasmani pada umumnya dapat dikatakan
melatarbelakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang segar akan lain
pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan nutrisi harus
cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya
kesehatan jasmani yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk,
lekas lelah, dan sebagainya. Sedangkan beberapa penyakit yang kronis juga sangat
mengganggu aktivitas belajar seperti pilek, influenza, sakit gigi, dan lain-lain.
65
Tingkat Kelelahan
Secara umum, dari Tabel 22 diketahui bahwa sebagian besar contoh kelas
akselerasi, unggulan dan reguler merasa lelah dengan persentase 81,7%. Keluhan
lemah, letih, lesu karena kurang darah menjadi keluhan fisik yang nyata dan
dirasakan oleh penderita anemia gizi besi (Soekirman 2000).
Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelelahan
Tingkat Kelelahan
Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Tidak lelah
Lelah
Sangat lelah
0
19
1
0,0
95,0
5,0
0
17
4
0,0
81,0
19,0
2
40
10
3,8
76,9
19,2
2
76
15
2,2
81,7
16,1
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min – Max 18,4 ± 2,1 15,0 – 24,0
18,0 ± 2,4 13,0 – 22,0
18,4 ± 2,9 10,0 – 24,0
18,3 ± 2,6 10,0 – 24,0
Hasil uji anova menunjukkan bahwa tingkat kelelahan pada ketiga kelas
tidak berbeda nyata. Hasil analisa statistik menunjukkan tingkat kelelahan
berhubungan sangat nyata (negatif) dengan perilaku konsumsi pangan. Hal ini
berarti tingginya tingkat kelelahan contoh karena perilaku konsumsi pangan
contoh yang rendah, sehingga perilaku konsumsi pangan contoh perlu
ditingkatkan/diperbaiki agar tingkat kelelahan contoh rendah.
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh, sedangkan
kelelahan rohani (psikis) ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan dan sulit
berkonsentrasi. Kelelahan jasmani dan rohani (psikis) di atas, salah satunya dapat
disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dialami anak sekolah. Hasil penelitian
Mardapi (2005) mengenai pelaksanaan UAN yang dilakukan di enam propinsi
pada siswa SMP/MTS dan SMA/MA/SMK mengungkapkan terdapat 13% guru
menyatakan bahwa UAN dapat menimbulkan kelelahan fisik bagi siswa.
Secara umum, dari Tabel 23 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh
pada ketiga kelas 96,8% merasa lelah pada seminggu terakhir waktu pengambilan
data dan tingkat kelelahan ini cukup berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari
(50,5%), mood (45,2%), pekerjaan biasa (40,9%) dan kenikmatan hidup (43%),
tetapi tingkat kelelahan tersebut tidak berpengaruh terhadap kemampuan berjalan
(49,5%) dan hubungan dengan orang lain (52,7%).
66
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan tingkat kelelahan
Pertanyaan Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Perasaan lelah pada seminggu terakhir • Ya • Tidak
20 0
100,0 0,0
20 1
95,2 4,8
50 2
96,2 3,8
90 3
96,8 3,2
Tingkat kelelahan hari ini • Tidak lelah • Cukup lelah • Lelah • Sangat lelah
3 15 1 1
15,0 75,0 5,0 5,0
6 11 4 0
28,6 52,4 19,0 0,0
9 34 6 3
17,3 65,4 11,5 5,8
18 60 11 4
19,4 64,5 11,8 4,3
Rata-rata tingkat kelelahan seminggu yang lalu • Tidak lelah • Cukup lelah • Lelah • Sangat lelah
0 14 5 1
0,0 70,0 25,0 5,0
3 8 10 0
14,3 38,1 47,6 0,0
5 27 14 6
9,6 51,9 26,9 11,5
8 49 29 7
8,6 52,7 31,2 7,5
Tingkat kelelahan terburuk seminggu yang lalu • Tidak lelah • Cukup lelah • Lelah • Sangat lelah
0 7 8 5
0,0 35,0 40,0 25,0
2 3 12 4
9,5 14,3 57,1 19,0
2 7 26 17
3,8 13,5 50,0 32,7
4 17 46 26
4,3 18,3 49,5 28,0
Pengaruh tingkat kelelahan terhadap aktivitas sehari-hari • Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh
1 14 3 2
5,0 70,0 15,0 10,0
3 5 9 4
14,3 23,8 42,9 19,0
12 28 7 5
23,1 53,8 13,5 9,6
16 47 19 11
17,2 50,5 20,4 11,8
Pengaruh tingkat kelelahan terhadap mood • Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh
3 11 4 2
15,0 55,0 20,0 10,0
6 7 5 3
28,3 33,3 23,8 14,3
7 24 17 4
13,5 46,2 32,7 7,7
16 42 26 9
17,2 45,2 28,0 9,7
Pengaruh tingkat kelelahan terhadap kemampuan berjalan • Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh
11 8 1 0
55,0 40,0 5,0 0,0
11 10 0 0
52,4 47,6 0,0 0,0
24 15 13 0
46,2 28,8 25,0 0,0
46 33 14 0
49,5 35,5 15,1 0,0
Pengaruh tingkat kelelahan terhadap pekerjaan biasa • Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh
8 8 3 1
40,0 40,0 15,0 5,0
4 9 6 2
19,0 42,9 28,6 9,5
15 21 14 2
28,8 40,4 26,9 3,8
27 38 23 5
29,0 40,9 24,7 5,4
Pengaruh tingkat kelelahan terhadap hubungan dengan orang lain • Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh
12 6 1 1
60,0 30,0 5,0 5,0
13 4 4 0
61,9 19,0 19,0 0,0
24 18 9 1
46,2 34,6 17,3 1,9
49 28 14 2
52,7 30,1 15,1 2,2
Pengaruh tingkat kelelahan terhadap kenikmatan hidup • Tidak berpengaruh • Cukup berpengaruh • Berpengaruh • Sangat berpengaruh
7 12 1 0
35,0 60,0 5,0 0,0
9 8 1 3
42,9 38,1 4,8 14,3
21 20 10 1
40,4 38,5 19,2 1,9
37 40 12 4
39,8 43,0 12,9 4,3
67
Tingkat Stres
Dari hasil penelitian diketahui secara umum tingkat stres contoh kelas
akselerasi, unggulan dan reguler sebagian besar masuk dalam kategori sedang
dengan persentase 81,7%. Hasil uji anova menunjukkan tingkat stres tidak
berbeda nyata pada ketiga kelas. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat
stres berhubungan dengan tingkat kelelahan dan aktivitas nonton tv, serta
berhubungan negatif dengan aktivitas bermain.
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat stres
Tingkat Stres Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Rendah
Sedang
Tinggi
3
16
1
15,0
80,0
5,0
5
16
0
23,8
76,2
0,0
7
44
1
13,5
84,6
1,9
15
76
2
16,1
81,7
2,2
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min – Max 23,5 ± 5,6 16,0 – 38,0
21,0 ± 4,2 16,0 – 31,0
22,0 ± 4,1 16,0 – 34,0
22,1 ± 4,5 16,0 – 38,0
Besarnya persentase tingkat stres dengan kategori sedang pada contoh
mengindikasikan bahwa contoh dituntut melakukan berbagai kegiatan, berbagai
aktivitas ekstrakurikuler yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan
akademik, sehingga contoh mendapat tekanan untuk berkembang lebih cepat dan
tertekan karena diharapkan memperoleh ketrampilan sempurna, akibatnya contoh
merasa stres karena ketakutan menemui kegagalan yaitu kurang cepat atau kurang
tingginya kemampuan yang dicapai. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Asshat (2003) yang menunjukkan tingkat stres siswa akselerasi di bidang
akademis tergolong sedang.
Salah satu temuan yang menarik adalah bahwa hanya persentase sebesar
2,2% dari 93 contoh penelitian yang memiliki stres yang tinggi berasal dari kelas
akselerasi dan reguler. Sebagian besar contoh 81,7% memiliki tingkat stres yang
sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program akselerasi dan
unggulan bisa menyebabkan stres, kenyataannya persentase contoh kelas
akselerasi yang mengalami stres tinggi hanya satu orang sedangkan pada kelas
unggulan didapat tidak ada satupun contoh yang mengalami stres tinggi.
68
Menurut Matlin (1995) dalam Asshat (2003) individu menggunakan
proses kognitif yang dimilikinya untuk menilai apakah suatu situasi dapat
menyebabkan stres. Jadi, situasi yang sama dapat menimbulkan reaksi yang
berbeda pada individu yang berbeda. Pada kelas akselerasi, mungkin sebagian
siswa tidak merasa pelaksanaan program akselerasi menimbulkan stres, sementara
bagi sebagian lainnya pelaksanaan program akselerasi yang dialaminya
membuatnya stres. Demikian juga pada kelas unggulan maupun pada siswa di
kelas reguler.
Dari Tabel 25 dapat diketahui bahwa contoh jarang merasa letih dan lesu
yang luar biasa, merasa sedih sekali dan ingin menangis, merasa tegang, tidak
tenang, cemas dan terancam, merasa kurang bersemangat pergi ke sekolah, merasa
kurang berkonsentrasi dalam belajar dan beraktivitas, merasa tertekan dengan
tugas / PR di sekolah, mengalami perubahan nafsu makan, mengalami kehilangan
minat melakukan aktivitas, merasa pegal pada punggung, leher dan bahu, merasa
tertekan dengan jadwal sekolah yang padat, dan merasa bosan karena tidak punya
waktu bermain.
Sebagian besar contoh pada kelas akselerasi, unggulan dan reguler tidak
pernah mengalami tidur tidak nyenyak atau sukar tidur, merasa pusing atau sakit
kepala tanpa alasan yang jelas, lepas kontrol / temperamen dan merasa dingin dan
berkeringat lebih banyak dari biasanya. Sedangkan sebanyak 46,2% contoh tidak
pernah dan jarang mengalami perut terasa kembung, mulas, mual dan diare saat
akan melakukan sesuatu.
69
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres
Gejala Stres Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Merasa letih dan lesu yang luar biasa � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
5 6 7 2 0
25,0 30,0 35,0 10,0 0,0
5 12 2 2 0
23,8 57,1 9,5 9,5 0,0
10 27 8 6 1
19,2 51,9 15,4 11,5 1,9
20 45 17 10 1
21,5 48,4 18,3 10,8 1,1
Merasa sedih sekali dan ingin menangis � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
6 9 4 0 1
30,0 45,0 20,0 0,0 5,0
12 8 1 0 0
57,1 38,1 4,8 0,0 0,0
17 20 11 3 1
32,7 35,8 21,2 5,8 1,9
35 37 16 3 2
37,6 39,8 17,2 3,2 2,2
Merasa tegang, tidak tenang, cemas dan terancam � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
4 11 2 2 1
20,0 55,0 10,0 10,0 5,0
7 7 4 2 1
33,3 33,3 19,0 9,5 4,8
14 28 6 3 1
26,9 53,8 11,5 5,8 1,9
25 46 12 7 3
26,9 49,5 12,9 7,5 3,2
Merasa kurang bersemangat pergi ke sekolah � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
9 8 2 1 0
45,0 40,0 10,0 5,0 0,0
8 9 4 0 0
38,1 42,9 19,0 0,0 0,0
18 24 7 0 3
34,6 46,2 13,5 0,0 5,8
35 41 13 1 3
37,6 44,1 14,0 1,1 3,2
Merasa sukar berkonsentrasi dalam belajar dan beraktivitas � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
5 9 4 2 0
25,0 45,0 20,0 10,0 0,0
3 12 3 2 1
14,3 57,1 14,3 9,5 4,8
4 16 23 6 3
7,7 30,8 44,2 11,5 5,8
12 37 30 10 4
12,9 39,8 32,3 10,8 4,3
Mengalami sukar tidur atau tidur tidak nyenyak � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
12 4 1 2 1
60,0 20,0 5,0 10,0 5,0
14 6 1 0 0
66,7 28,6 4,8 0,0 0,0
16 25 8 3 0
30,8 48,1 15,4 5,8 0,0
42 35 10 5 1
45,2 37,6 10,8 5,4 1,1
Merasa tertekan dengan tugas-tugas/PR di sekolah � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
2 3 5 8 2
10,0 15,0 25,0 40,0 10,0
10 8 1 2 0
47,6 38,1 4,8 9,5 0,0
1 16 20 5 10
1,9 30,8 38,5 9,6 19,2
13 27 26 15 12
14,0 29,0 28,0 16,1 12,9
Mengalami perubahan nafsu makan � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
8 9 3 0 0
40,0 45,0 15,0 0,0 0,0
13 2 4 2 0
61,9 9,5 19,0 9,5 0,0
13 33 3 3 0
25,0 63,5 5,8 5,8 0,0
34 44 10 5 0
36,6 47,8 10,8 5,4 0,0
70
Tabel 25 (Lanjutan) Sebaran contoh berdasarkan gejala stres
Gejala Stres Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Mengalami kehilangan minat melakukan aktivitas � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
5 10 3 1 1
25,0 50,0 15,0 5,0 5,0
11 6 4 0 0
52,4 28,6 19,0 0,0 0,0
16 23 13 0 0
30,8 44,2 25,0 0,0 0,0
32 39 20 1 1
34,4 41,9 21,5 1,1 1,1
Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
6 6 2 4 2
30,0 30,0 10,0 20,0 10,0
8 5 2 6 0
38,1 23,8 9,5 28,6 0,0
17 17 9 7 2
32,7 32,7 17,3 13,5 3,8
31 28 13 17 4
33,3 30,1 14,0 18,3 4,3
Merasa pegal-pegal pada leher, punggung dan bahu � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
4 6 4 4 2
20,0 30,0 20,0 20,0 10,0
4 7 5 5 0
19,0 33,3 23,8 23,8 0,0
2 20 17 10 3
3,8 38,5 32,7 19,2 5,8
10 33 26 19 5
10,8 35,5 28,0 20,4 5,4
Merasa tertekan dengan jadwal sekolah yang padat � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
4 7 4 3 2
20,0 35,0 20,0 15,0 10,0
9 7 4 1 0
42,9 33,3 19,0 1,1 0,0
11 26 10 3 2
21,2 50,0 19,2 5,8 3,8
24 40 18 7 4
25,8 43,0 19,4 7,5 4,3
Merasa bosan karena tidak punya waktu bermain � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
6 9 3 1 1
30,0 45,0 15,0 5,0 5,0
7 9 4 1 0
33,3 42,9 19,0 4,8 0,0
19 23 5 5 0
36,5 44,2 9,6 9,6 0,0
32 41 12 7 1
34,4 44,1 12,9 7,5 1,1
Lepas kontrol / temperamen � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
8 4 6 1 1
40,0 20,0 30,0 5,0 5,0
11 6 4 0 0
52,4 28,6 19,0 0,0 0,0
23 21 7 1 0
44,2 40,4 13,5 1,9 0,0
42 31 17 2 1
45,2 33,3 18,3 2,2 1,1
Perut terasa kembung, mulas, mual dan diare saat akan melakukan sesuatu
� Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
10 7 3 0 0
50,0 35,0 15,0 0,0 0,0
12 7 2 0 0
57,1 33,3 9,5 0,0 0,0
21 29 1 0 1
40,4 55,8 1,9 0,0 1,9
43 43 6 0 1
46,2 46,2 6,5 0,0 1,1
Merasa dingin dan berkeringat lebih banyak dari biasanya � Tidak pernah � Jarang � Cukup � Sering � Sering sekali
10 6 2 2 0
50,0 30,0 10,0 10,0 0,0
11 5 1 3 1
52,4 23,8 4,8 14,3 4,8
23 27 0 1 1
44,2 51,9 0,0 1,9 1,9
44 38 3 6 2
47,3 40,9 3,2 6,5 2,2
71
Tingkat Kepuasan
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan contoh, dilakukan
analisis kuantitatif yaitu dengan memberi skor atas semua jawaban yang diberikan
contoh. Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan tentang tingkat kepuasan
disajikan pada Tabel 26. Pertanyaan tingkat kepuasan terdiri dari 10 item, dengan
skor total maksimum adalah 30. Penilaian terhadap jawaban yang diberikan
contoh dibuat dalam bentuk persentase yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu
tidak puas < 11, puas 11 – 20, dan sangat puas > 20.
Secara umum dari Tabel 26 diketahui bahwa sebagian besar contoh pada
kelas akselerasi, unggulan dan reguler sangat puas terhadap keadaan diri dan
prestasi belajar dengan persentase sebesar 69,9%. Hasil uji anova menunjukkan
tingkat kepuasan pada ketiga kelas tidak berbeda nyata. Hasil uji statistik
menunjukkan tingkat kepuasan berhubungan sangat nyata dengan motivasi,
lingkungan keluarga dan prestasi belajar.
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kepuasan
Tingkat Kepuasan
Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Tidak puas
Puas
Sangat puas
0
5
15
0,0
25,0
75,0
0
4
17
0,0
19,0
81,0
1
18
33
1,9
34,6
63,5
1
27
65
1,1
29,0
69,9
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min – Max 23,8 ± 5,0 13,0 – 30,0
23,9 ± 4,1 15,0 – 30,0
22,2 ± 3,7 11,0 – 30,0
22,9 ± 4,1 11,0 – 30,0
Tingginya persentase contoh pada ketiga kelas yang sangat puas
berhubungan dengan prestasi belajarnya, dimana sebagian besar contoh pada
ketiga kelas memiliki prestasi belajar yang baik dengan rata-rata nilai raport ≥
80,0. Ini menumbuhkan perasaan puas terhadap diri contoh tersebut setelah
membandingkan antara harapan untuk memperoleh nilai bagus dengan kinerja
yang dilakukan yaitu dengan belajar sungguh-sungguh, ini dibuktikan dengan
besarnya alokasi waktu untuk belajar sebanyak 2,2 jam dari seluruh kegiatan
contoh dibandingkan alokasi waktu untuk bermain atau untuk kegiatan pribadi.
Selain itu contoh pada ketiga kelas merasa puas dengan kemampuan
mengikuti pelajaran di kelas dan dengan proses belajar mengajar di kelas. Hasil
72
penelitian ini sejalan dengan penelitian Asmoro (2007) yang menunjukkan siswa
merasa sangat puas dengan cara guru mengajar dan dengan sikap guru mengajar.
Dari Tabel 27 diketahui bahwa sebagian besar contoh pada kelas
akselerasi, unggulan dan reguler 55,9% merasa puas terhadap kualitas kesehatan
fisik, terhadap kualitas kesehatan mental (49,5%), terhadap kelas yang dipilih
(50,5%); terhadap pembagian waktu antara di sekolah dan di rumah (58,1%);
kemampuan mengikuti kegiatan belajar di kelas (48,4%); proses belajar mengajar
di kelas (44,1%); dan prestasi yang sudah dicapai (60,2%). Dan proporsi contoh
pada ketiga kelas merasa sangat puas terhadap sikap optimis berhasil dengan
prestasi baik di sekolah sebanyak 45,2%; kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan di sekolah dan di luar sekolah sebanyak 47,3% dan 39,8%.
Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepuasan
Tingkat kepuasan Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Kualitas kesehatan fisik • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
1 10 8 1 0
5,0 50,0 40,0 5,0 0,0
0 10 9 2 0
0,0 47,6 42,9 9,5 0,0
1 12 35 3 1
1,9 23,1 67,3 5,8 1,9
2 32 52 6 1
2,2 34,4 55,9 6,5 1,1
Kualitas kesehatan mental • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
2 9 7 2 0
10,0 45,0 35,0 10,0 0,0
1 10 10 0 0
4,8 47,6 47,6 0,0 0,0
1 19 29 3 0
1,9 36,5 55,8 5,8 0,0
4 38 46 5 0
4,3 40,9 49,5 5,4 0,0
Tingkat kepuasan di kelas yang dipilih • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
3 4 11 2 0
15,0 20,0 55,0 10,0 0,0
2 8 9 2 0
9,5 38,1 42,9 9,5 0,0
3 11 27 10 1
5,8 21,2 51,9 19,2 1,9
8 23 47 14 1
8,6 24,7 50,5 15,1 1,1
Pembagian waktu antara di sekolah dengan di rumah • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
0 6 10 4 0
0,0 30,0 50,0 20,0 0,0
0 7 13 0 1
0,0 33,3 61,9 0,0 4,8
3 12 31 6 0
5,8 23,1 59,6 11,5 0,0
3 25 54 10 1
3,2 26,9 58,1 10,8 1,1
Kemampuan mengikuti kegiatan belajar di kelas • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
0 10 8 2 0
0,0 50,0 40,0 10,0 0,0
0 9 9 3 0
0,0 42,9 42,9 14,3 0,0
2 16 28 6 0
3,8 30,8 53,8 11,5 0,0
2 35 45 11 0
2,2 37,6 48,4 11,8 0,0
73
Tabel 27 (Lanjutan) Sebaran contoh berdasarkan tingkat kepuasan
Tingkat kepuasan Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Proses belajar mengajar di kelas • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
0 12 6 2 0
0,0 60,0 30,0 10,0 0,0
3 9 7 2 0
14,3 42,9 33,3 9,5 0,0
1 16 28 7 0
1,9 30,8 53,8 13,5 0,0
4 37 41 11 0
4,3 39,8 44,1 11,8 0,0
Prestasi yang sudah dicapai • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
1 5 10 4 0
5,0 25,0 50,0 20,0 0,0
0 6 11 2 2
0,0 28,6 52,4 9,5 9,5
1 7 35 8 1
1,9 13,5 67,3 15,4 1,9
2 18 56 14 3
2,2 19,4 60,2 15,1 3,2
Keoptimisan berhasil dengan prestasi baik di sekolah • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
2 9 6 3 0
10,0 45,0 30,0 15,0 0,0
3 12 6 0 0
14,3 57,1 28,6 0,0 0,0
3 21 22 6 0
5,8 40,4 42,3 11,5 0,0
8 42 34 9 0
8,6 45,2 36,6 9,7 0,0
Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan sekolah • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
2 12 5 1 0
10,0 60,0 25,0 5,0 0,0
2 9 7 3 0
9,5 42,9 33,3 14,3 0,0
5 23 19 4 1
9,6 44,2 36,5 7,7 1,9
9 44 31 8 1
9,7 47,3 33,3 8,6 1,1
Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan di luar sekolah • Sempurna • Bagus • Biasa saja • Kurang bagus • Buruk
1 9 8 2 0
5,0 45,0 40,0 10,0 0,0
0 10 8 3 0
0,0 47,6 38,1 14,3 0,0
5 18 20 8 1
9,6 34,6 38,5 15,4 1,9
6 37 36 13 1
6,5 39,8 38,7 14,0 1,1
Kepuasan contoh sangat bergantung pada harapan contoh. Dalam hal ini
menurut Sumardjan (1991) sekolah dapat memberikan kepuasan hati dan
pegangan hidup kepada remaja apabila ada seorang atau beberapa guru yang dapat
memikat rasa hormatnya atau apabila anak itu merasa bangga karena unggul hasil
studinya dibandingkan dengan rekan-rekannya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kotler dan Susanto (1999) bahwa
kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau
hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Tjiptono (2002) menyatakan bahwa
harapan merupakan perkiraan atau keyakinan seseorang tentang apa yang akan
diterimanya.
74
Motivasi
Winkel (1996) mengemukakan bahwa motivasi belajar merupakan
keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arahan
pada kegiatan belajar demi mencapai suatu tujuan. Motivasi memegang peranan
penting dalam memberikan kegairahan atau semangat belajar, sehingga siswa
yang termotivasi akan memberikan hasil belajar yang lebih baik.
Dari hasil penelitian, secara umum sebagian besar contoh kelas akselerasi,
unggulan dan reguler memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar dengan
persentase 87,1%; dan 12,9% contoh memiliki motivasi sedang (Tabel 28). Hasil
uji anova menunjukkan bahwa motivasi siswa pada ketiga kelas tidak berbeda
nyata. Dari hasil uji statistik diketahui bahwa motivasi belajar berhubungan nyata
dengan tingkat kepuasan dan lingkungan keluarga, serta berhubungan negatif
dengan aktivitas nonton tv. Tingginya motivasi belajar contoh membuat alokasi
waktu contoh untuk aktivitas nonton tv lebih sedikit.
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan kategori motivasi belajar
Motivasi Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Sedang
Tinggi
4
16
20,0
80,0
5
16
23,8
76,2
3
49
5,8
94,2
12
81
12,9
87,1
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min – Max 29,5 ± 4,9 17,0 – 35,0
29,6 ± 4,2 22,0 – 35,0
29,6 ± 3,3 15,0 – 34,0
29,6 ± 3,8 15,0 – 35,0
Motivasi merupakan salah satu determinan yang terpenting bagi
keberhasilan individu dalam mencapai prestasi atau kepuasan tertentu, sehingga
motivasi dapat juga diartikan sebagai kemauan untuk berbuat sesuatu sebaik-
baiknya sesuai dengan keinginan atau tujuan. Seseorang akan mempunyai
kemauan yang efektif jika memperhatikan dengan baik lingkungannya untuk
selanjutnya menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan
tujuan atau keinginannya.
Tingginya motivasi belajar siswa juga tidak terlepas dari lingkungan
keluarga, dimana dengan adanya peran serta orang tua dalam mendorong anak
untuk belajar, membimbing dan mengawasi dalam kegiatan belajar serta dengan
75
penyediaan fasilita belajar yang memadai menjadikan anak merasa puas dan
termotivasi untuk mencapai tujuan yang tinggi.
Dari Tabel 29 dapat diketahui bahwa sebanyak 69,9% contoh pada ketiga
kelas belajar tanpa disuruh (atas kemauan sendiri); sebanyak 65,6% contoh
merasa kurang puas dengan prestasi di sekolah; sebanyak 58,1% contoh tidak
putus asa meskipun mendapat nilai yang jelek; sebanyak 69,9% contoh belajar
setiap hari meskipun tidak ada ulangan / PR; dan sebanyak 64,5% contoh merasa
perlu meningkatkan belajarnya.
Dari Tabel 29 diketahui contoh pada ketiga kelas yang memiliki motivasi
tinggi dalam hal lebih giat belajar supaya dapat memperbaiki nilai sebanyak
68,8%; belajar lebih giat supaya mendapat nilai yang memuaskan sebanyak 71%;
belajar dengan giat karena ingin berhasil seperti orang sukses sebanyak 63,4%;
belajar dengan giat supaya naik kelas sebanyak 60,2%; merasa perlu
meningkatkan nilai lagi (76,3%); dan harus belajar agar nilai tetap baik sebanyak
60,2%.
76
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan motivasi belajar
Motivasi Belajar Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Belajar tanpa disuruh (atas kemauan sendiri) • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
8 11 1
40,0 55,0 5,0
7 14 0
33,3 66,7 0,0
9 40 3
17,3 76,9 5,8
24 65 4
25,8 69,9 4,3
Merasa kurang puas dengan prestasi di sekolah saat ini • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
4 13 3
20,0 65,0 15,0
7 11 3
33,3 52,4 14,3
10 37 5
19,2 71,2 9,6
21 61 11
22,6 65,6 11,8
Lebih giat belajar supaya dapat memperbaiki nilai • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
13 6 1
65,0 30,0 5,0
12 9 0
57,1 42,9 0,0
39 11 2
75,0 21,2 3,8
64 26 3
68,8 28,0 3,2
Belajar lebih giat supaya mendapat nilai yang memuaskan • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
13 6 1
65,0 30,0 5,0
14 7 0
66,7 33,3 0,0
39 11 2
75,0 21,2 3,8
66 24 3
71,0 25,8 3,2
Tidak putus asa meskipun nilai jelek • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
10 9 1
50,0 45,0 5,0
3 18 0
14,3 85,7 0,0
22 27 3
42,3 51,9 5,8
35 54 4
37,6 58,1 4,3
Akan bersaing secara sehat apabila teman mendapat nilai lebih tinggi • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
12 7 1
60,0 35,0 5,0
11 10 0
52,4 47,6 0,0
22 28 2
42,3 53,8 3,8
45 45 3
48,4 48,4 3,2
Belajar dengan giat karena ingin berhasil seperti orang sukses • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
11 8 1
55,0 40,0 5,0
15 5 1
63,5 23,8 4,8
33 16 3
71,4 30,8 5,8
59 29 5
63,4 31,2 5,4
Belajar dengan giat supaya naik kelas • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
10 9 1
5,0 45,0 5,0
11 8 2
52,4 38,1 9,5
35 12 5
67,3 23,1 9,6
56 29 8
60,2 31,2 8,6
Belajar setiap hari meskipun tidak ada PR/ ulangan • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
4 14 2
20,0 70,0 10,0
7 10 4
33,3 47,6 19,0
4 41 7
7,7 78,8 13,5
15 65 13
16,1 69,9 14,0
Merasa nilai perlu ditingkatkan lagi • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
14 4 1
75,0 20,0 5,0
16 5 0
76,2 23,8 0,0
40 10 2
76,9 19,2 3,8
71 19 3
76,3 20,4 3,2
Keharusan belajar agar nilai tetap baik • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
11 8 1
55,0 40,0 5,0
14 6 1
66,7 28,6 4,8
31 19 2
59,6 36,5 3,8
56 33 4
60,2 35,5 4,3
Merasa sudah cukup belajar seperti saat ini • Sangat setuju • Setuju • Tidak setuju
2 4 14
10,0 20,0 70,0
2 6 13
9,5 28,6 61,9
4 15 33
7,7 28,8 63,5
8 25 60
8,6 26,9 64,5
77
Diharapkan motivasi timbul dalam diri sendiri, walaupun motivasi dari
luar juga ikut mempengaruhi terhadap keberhasilan seseorang, dalam hal ini peran
teman sebaya biasanya lebih dominan. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Drajat (1995) bahwa teman sebaya mempunyai peranan penting
dalam penyesuaian diri remaja yang dapat mempengaruhi terhadap perilaku
termasuk dalam prestasi belajar.
Lingkungan Keluarga
Diantara masalah penting yang dihadapi orang tua dengan anak-anaknya
yang mulai meningkat remaja adalah sulitnya berkomunikasi. Kadang-kadang
remaja tidak mau menceritakan atau menutupi masalahnya pada orang tua. Namun
demikian masih banyak orang tua yang berhasil untuk berhubungan baik dengan
anak-anaknya yang sudah remaja, karena dihargai, didengar dan diperhatikan
keluhan-keluhannya (Gunarsa & Gunarsa 1995).
Berdasarkan pertanyaan yang berhubungan dengan lingkungan keluarga
yang meliputi sarana belajar di rumah, peran orang tua dalam mendorong motivasi
belajar anak dan keterlibatan orang tua dalam membimbing kegiatan belajar anak,
menunjukkan bahwa lingkungan keluarga contoh pada kelas akselerasi, unggulan
dan reguler sebagian besar (86,0%) masuk dalam kategori sedang (Tabel 30).
Hasil uji anova menunjukkan lingkungan keluarga pada ketiga kelas tidak berbeda
nyata. Hasil analisa statistik menunjukkan lingkungan keluarga tidak berhubungan
dengan prestasi belajar siswa, hal ini berbeda dengan penelitian Hanum (1993)
yang menunjukkan lingkungan keluarga berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa.
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori lingkungan keluarga
Lingkungan Keluarga
Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Kurang
Sedang
Baik
1
18
1
5,0
90,0
5,0
2
16
3
9,5
76,2
14,3
3
46
3
5,8
88,5
5,8
6
80
7
6,5
86,0
7,5
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min–Max 55,1 ± 3,4 47,0 – 61,0
53,9 ± 5,6 42,0 – 65,0
54,3 ± 4,5 43,0 – 65,0
54,4 ± 4,6 42,0 – 65,0
78
Dari Tabel 31 diketahui bahwa secara umum, sebanyak 79,6% contoh
belajar di kamar tidur, dengan kondisi pencahayaan ruang belajar adalah terang
(59,1%). Kondisi kebisingan ruang belajar sebanyak 57% contoh tergolong biasa
saja. Keadaan suhu ruang belajar sebanyak 52,7% contoh cukup nyaman yang
didukung dengan keadaan ventilasi ruang belajar yang cukup (49,5%). Penataan
ruang dan alat belajar sebagian besar contoh 59,1% cukup rapi.
Sebagian besar contoh 87,1% memiliki meja belajar dan lampu belajar
(50,1%). Selain itu, buku pelajaran; buku tulis/catatan; buku gambar; pensil;
pulpen; penghapus; penggaris dan komputer tersedia masing-masing dengan
persentase sebanyak 100%; 100%; 94,6%; 95,7%; 98,9%; 97,8%; 100%; dan
83,9%
Dorongan berprestasi pada anak selain dipengaruhi oleh faktor internal
(diri sendiri) juga dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan). Keluarga
termasuk dalam faktor lingkungan (Gunarsa 1995). Dengan perhatian yang cukup
dalam hal pendidikan, anak mendapat dukungan yang besar untuk
mengembangkan dirinya. Keadaan ekonomi yang cukup menyebabkan orang tua
dapat mencurahkan perhatian yang lebih pada pendidikan anak karena orang tua
tidak disulitkan dengan masalah pemenuhan kebutuhan primer (Alsa & Bachroni
1984 dalam Kartini 1997). Tingkat pendidikan orang tua dapat berpengaruh dalam
usaha peningkatan prestasi belajar anak. Orang tua yang berpendidikan akan
memperhatikan serta mendorong semangat belajar anak (Nasoetion 1986).
79
Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan sarana belajar di rumah
Sarana belajar Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Tempat untuk belajar • Ruang khusus • Kamar tidur • Ruang keluarga
0 19 1
0,0 95,0 5,0
1 19 1
4,8 90,5 4,8
4 36 12
7,7 69,2 23,1
5 74 14
5,4 79,6 15,1
Pencahayaan ruang belajar • Terang • Cukup terang • Kurang terang
12 7 1
60,0 35,0 5,0
15 6 0
71,4 28,6 0,0
28 23 1
53,8 44,2 1,9
55 36 2
59,1 38,7 2,2
Kebisingan ruang belajar • Tenang • Biasa saja • Bising
0 12 8
0,0 60,0 40,0
3 7 11
14,3 33,3 52,4
2 34 16
3,8 65,4 30,8
5 53 35
5,4 57,0 37,6
Keadaan suhu ruang belajar • Nyaman • Cukup nyaman • Kurang nyaman
11 9 0
55,0 45,0 0,0
10 10 1
47,6 47,6 4,8
22 30 0
42,3 57,7 0,0
43 49 1
46,2 52,7 1,1
Keadaan ventilasi ruang belajar • Baik • Cukup • Kurang
11 8 1
55,0 40,0 5,0
11 8 2
52,4 38,1 9,5
20 30 2
38,5 57,7 3,8
42 46 5
45,2 49,5 5,4
Penataan ruang dan alat belajar • Rapi • Cukup rapi • Berantakan
6 12 2
30,0 60,0 10,0
7 13 1
33,3 61,9 4,8
9 30 13
17,3 57,7 25,0
22 55 16
23,7 59,1 17,2
Tersedia meja belajar • Ada
20
100,0
19
90,5
42
80,8
81
87,1
Tersedia lampu belajar • Ada 10 50,0 13 61,9 24 46,2 47 50,5
Tersedia buku pelajaran • Ada 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
Tersedia buku tulis/catatan • Ada 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0
Tersedia buku gambar • Ada
20
100,0
19
90,5
49
94,2
88
94,6
Tersedia pensil • Ada
17
85,0
21
100,0
51
98,1
89
95,7
Tersedia pulpen • Ada
19
95,0
21
100,0
52
100,0
92
98,9
Tersedia penghapus • Ada
20
100,0
20
95,2
51
98,1
91
97,8
Tersedia penggaris • Ada
20
100,0
21
100,0
52
100,0
93
100,0
Tersedia komputer • Ada
18
90,0
16
76,2
44
84,6
78
83,9
80
Dari Tabel 32 diketahui bahwa sebanyak 77,4% orang tua contoh memberi
semangat anak supaya rajin belajar dengan memberi pengertian kepada anak
bahwa belajar itu penting untuk masa depan. Sebanyak 61,3% orang tua tidak
menentukan waktu belajar anak karena anak dapat menentukan waktu belajar
sendiri. Sebanyak 48,4% orang tua contoh menyuruh berkali-kali sampai anak
mau belajar bila contoh malas belajar/menyelesaikan tugas sekolah. Apabila
ternyata nilai ulangan contoh bagus, orang tua memuji sambil terus diberi nasehat
dan semangat (74,2%). Sebanyak 65,6% orang tua contoh tidak membantu contoh
dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah/PR karena contoh dapat menyelesaikan
sendiri (39,8%). Apabila contoh mengalami kemunduran dalam belajar tindakan
yang dilakukan oleh orang tua contoh dengan menegur serta membimbing
sebanyak 90,3%. Dan sebanyak 51,6% orang tua contoh menanggapi dan
memberikan perhatian kepada contoh meskipun sibuk ketika anak bertanya
tentang pelajaran.
81
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan peran orangtua memotivasi anak dalam belajar
Memotivasi Anak Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Cara memberi semangat supaya rajin belajar • Memberi pengertian • Memberi janji dg membelikan
hadiah • Memberi ancaman/hukuman • Membiarkan saja
15 4 1 0
75,0 20,0
5,0
0,0
17 3 0 1
81,0 14,3
0,0
4,8
4 11 1 0
76,9 21,2
1,9
0,0
72 18 2 1
77,4 19,4
2,2
1,1
Orang tua menentukan waktu belajar • Ya • Tidak
6 14
30,0 70,0
5 16
23,8 76,2
25 27
48,1 51,9
36 57
38,7 61,3
(ya), waktu minimum harus belajar setiap hari • Sesering mungkin (>1jam) • 45 menit • Terserah anak
4 2 1
20,0
10,0 5,0
4 0 1
19,0
0,0 4,8
10 1 14
19,2
1,9 26,9
18 3 16
19,4
3,2 17,2
Apabila tidak, karena : • Dapat menentukan waktu
sendiri • Ortu lelah/sibuk
13 1
65,0
5,0
16 0
76,2
0,0
26 1
50,0
1,9
55 2
59,1
2,2
Tindakan yang dilakukan orang tua bila anak malas belajar • Menyuruh sampai mau belajar • Memberi ancaman/hukuman • Menyuruh belajar, jika tidak
mau dibiarkan saja • Tidak mau tahu
7 1 12 0
35,0 5,0 60,0
0,0
8 1 10 2
38,1 4,8 47,6
9,5
30 3 18 1
57,7 5,8 34,6
1,9
45 5 40 3
48,4 5,4 43,0
3,2
Tindakan orang tua bila nilai bagus • Memuji serta diberi nasehat &
semangat • Membiarkan saja
15 5
75,0
25,0
15 6
71,4
28,6
39
13
75,0
25,0
69
24
74,2
25,8 Orang tua membantu dalam menyelesaikan tugas sekolah/PR
• Ya • Tidak
11 9
55,0 45,0
4 17
19,0 81,0
17 35
32,7 67,3
32 61
34,4 65,6
Apabila tidak, karena : • Dapat menyelesaikan sendiri • Dibantu oleh kakak/orang lain • Orangtua sibuk
7 0 2
35,0 0,0 10,0
8 4 5
38,1 19,0 23,8
22 9 4
42,3 17,3 7,7
37 13 11
39,8 14,0 11,8
Bila anak mengalami kemunduran dalam belajar, yang dilakukan orang tua: • Konsultasi dengan guru • Menegur dengan membimbing • Membiarkan saja
1 19 0
5,0 95,0 0,0
0 20 1
0,0 95,2 4,8
5 45 2
9,6 86,5 3,8
6 84 3
6,5 90,3 3,2
Tanggapan orangtua bila sibuk dan anak bertanya tentang pelajaran • Menanggapi & memberi
perhatian • Menanggapi sekilas &
melanjutkan pekerjaan • Tidak menanggapi &
menyuruh pergi
13 6 1
65,0
30,0
5,0
9
11 1
42,9
52,4
4,8
26
24 2
50,0
46,2
3,8
48
41 4
51,6
44,1
4,3
82
Dari Tabel 33 diketahui bahwa sebanyak 86% orang tua tidak memberi tes
bila akan diadakan ulangan / ujian, karena anak sudah mengerti apa yang
dipelajari (65,6%). Sebanyak 50,5% orang tua memeriksa nilai hasil ulangan
contoh. Sebanyak 77,4% orang tua menasehati dan membantu anak kembali
dalam belajar bila ternyata nilai ulangan tersebut jelek. Dan sebanyak 52,7%
orang tua menanyakan kepada contoh tentang pelajaran yang baru diterima di
sekolah, dan kegiatan tersebut kadang-kadang dilakukan (33,3%).
Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan peran orangtua dalam membimbing kegiatan belajar anak
Membimbing Kegiatan Belajar Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Memberi tes bila akan ada ulangan / ujian • Ya • Tidak
6 14
30,0 70,0
1 20
4,8 95,2
6 46
11,5 88,5
13 80
14,0 86,0
Bila ya, kegiatan itu dilakukan • Setiap kali ada ulangan • Kadang-kadang
3 3
15,0
15,0
0 1
0,0
4,8
3 3
5,8
5,8
6 7
6,5
7,5 Bila tidak, karena :
• Sudah mengerti apa yang dipelajari
• Ortu lelah / sibuk
12 2
60,0
10,0
16 4
76,2
19,0
33
13
63,5
25,0
61
19
65,6
20,4
Memeriksa nilai hasil ulangan anak • Ya • Tidak
11 9
55,0 45,0
9 12
42,9 57,1
27 25
51,9 48,1
47 46
50,5 49,5
Tindakan orangtua apabila nilai ulangan jelek • Menasehati • Dimarahi • Dibiarkan saja
17 3 0
85,0 15,0 0,0
16 2 3
76,2 9,5 14,3
39 10 3
75,0 19,2 5,8
75 15 6
77,4 16,1 6,5
Menanyakan tentang pelajaran di sekolah • Ya • Tidak
10 10
50,0 50,0
8 13
38,1 61,9
31 21
59,6 40,4
49 44
52,7 47,3
Bila ya, kegiatan itu dilakukan • Setiap hari • Kadang-kadang • Jarang
2 6 2
10,0 30,0 10,0
2 3 3
9,5 14,3 14,3
3 22 7
5,8 42,3 13,5
7 31 12
7,5 33,3 12,2
Bila tidak, karena : • Anak sudah mengerti
kewajibannya • Sudah lelah/sibuk
8 2
40,0
10,0
13 0
61,9
0,0
14 6
26,9
11,5
35 8
37,6
8,6
Besarnya persentase lingkungan keluarga dengan kategori sedang,
dikarenakan dalam hal peran orang tua dalam memotivasi anak belajar serta
keterlibatan orang tua dalam membimbing kegiatan belajar anak masih belum
optimal, ini disebabkan banyak hal antara lain karena orang tua yang sibuk kerja,
sibuk mengurusi anggota keluarga yang lainnya, mengalih perankan tugas
83
membimbing anak dalam belajar pada guru privat, maupun karena orang tua
sulit/tidak memahami pelajaran yang dipelajari contoh.
Hasil uji anova menunjukkan lingkungan keluarga tidak berbeda nyata
pada ketiga kelas, sedangkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa lingkungan
keluarga berhubungan positif dengan pendidikan ibu, perilaku konsumsi pangan,
tingkat kepuasan dan motivasi, serta berhubungan negatif dengan uang saku dan
tingkat kelelahan.
Hubungan yang serasi antara remaja-orang tua, bimbingan dan dorongan
senantiasa dibutuhkan remaja terutama bila remaja menghadapi berbagai masalah
dan kesulitan sekolah. Tetapi tidak jarang orang tua acuh tak acuh, tidak pernah
memberikan penghargaan apapun terhadap usaha anak, hal ini dapat
menyebabkan berbagai hal yang negatif pula, termasuk dalam hal malas belajar
karena merasa tidak berguna bagi orang tua (Gunarsa & Gunarsa 1995).
Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan output sekolah yang sangat penting dan
merupakan alat untuk mengukur kemampuan siswa. Cara yang dapat dilakukan
ada bermacam-macam. Pengajar dapat melakukannya dengan cara melakukan
pertanyaan lisan, memberikan pekerjaan rumah atau tugas tertulis, melihat
penampilan aktual pada tugas ketrampilan dan tertulis. Cara mana yang akan
digunakan biasanya berkaitan dengan tujuan dan bidang prestasi belajar yang akan
dievaluasi. Namun yang paling umum digunakan adalah test tertulis.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan nilai raport karena dapat
memberikan gambaran prestasi belajar contoh, dan juga raport merupakan hasil
akhir belajar siswa dalam setiap semester. Seperti yang dikemukakan oleh
Suryabrata (1993) bahwa raport merupakan perumusan terakhir yang diberikan
guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid selama masa tertentu ( 4 – 6
bulan). Nilai ini merupakan nilai rata-rata raport semester 4 untuk kelas reguler
dan unggulan dan nilai raport semester 3 untuk kelas akselerasi dengan jumlah
mata pelajaran yang diajarkan 15 mata pelajaran.
84
Nilai Pelajaran IPA
Pada Tabel 34, secara umum sebagian besar nilai pelajaran IPA contoh
pada ketiga kelas tergolong baik dengan persentase 78,5%. Proporsi nilai
pelajaran IPA dengan kategori baik contoh kelas unggulan lebih banyak daripada
kelas akselerasi dan reguler.
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran IPA
Pelajaran IPA Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Lebih dari cukup
Baik
2
18
10,0
90,0
1
20
4,8
95,2
17
35
32,7
67,3
20
73
21,5
78,5
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Rata-rata ± SD Min – Max
84,9 ± 4,8 77,0 – 94,2
85,4 ± 3,1 78,2 – 91,0
80,5 ± 4,1 71,0 – 88,2
82,6 ± 4,7 71,0 – 94,2
Hasil uji anova menunjukkan bahwa nilai pelajaran IPA ketiga kelas
berbeda sangat nyata. Dan hasil uji statistik diketahui bahwa nilai pelajaran IPA
berhubungan positif dengan aktivitas belajar, dan berhubungan negatif dengan
kadar Hb, aktivitas nonton tv dan aktivitas tidur. Hasil penelitian ini sedikit
berbeda dengan penelitian Muchtar (2000) yang menunjukkan terdapat hubungan
positif nyata antara kadar Hb dengan nilai pelajaran IPA.
Nilai Pelajaran IPS
Secara umum sebagian besar nilai pelajaran IPS contoh pada ketiga kelas
tergolong baik dengan persentase 88,2%. Proporsi nilai pelajaran IPS dengan
kategori baik contoh kelas unggulan lebih banyak daripada kelas akselerasi dan
reguler (Tabel 35).
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran IPS
Pelajaran IPS Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Lebih dari cukup
Baik
1
19
5,0
95,0
0
21
0,0
100,0
10
42
19,2
80,8
11
82
11,8
88,2
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Rata-rata ± SD Min - Max
86,4 ± 4,0 78,5 – 94,5
87,1 ± 2,9 80,8 – 92,8
82,3 ± 3,6 75,3 – 90,5
84,3 ± 4,2 75,3 – 94,5
85
Hasil uji anova menunjukkan bahwa nilai pelajaran IPS berbeda sangat
nyata pada ketiga kelas. Dan hasil uji statistik diketahui bahwa nilai pelajaran IPS
berhubungan positif dengan tingkat kepuasan dan aktivitas belajar, dan
berhubungan negatif dengan aktivitas tidur. Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Muchtar (2000) menunjukkan kadar Hb berhubungan nyata dengan
nilai pelajaran IPS.
Nilai Pelajaran Bahasa
Dari Tabel 36, diketahui bahwa sebagian besar nilai pelajaran Bahasa
contoh pada ketiga kelas tergolong baik dengan persentase 78,5%. Proporsi nilai
pelajaran Bahasa dengan kategori baik contoh kelas akselerasi dan kelas unggulan
lebih banyak daripada kelas reguler.
Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran bahasa
Pelajaran Bahasa Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Lebih dari cukup
Baik
0
20
0,0
100,0
0
21
0,0
100,0
20
32
38,5
61,5
20
73
21,5
78,5
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Rata-rata ± SD Min – Max
86,4 ± 2,5 80,8 – 90,1
84,9 ± 1,9 80,2 – 87,8
80,0 ± 3,9 71,8 – 88,0
82,5 ± 4,3 71,8 – 90,1
Hasil uji anova menunjukkan bahwa nilai pelajaran Bahasa pada ketiga
kelas berbeda sangat nyata. Dan hasil uji statistik diketahui bahwa nilai pelajaran
Bahasa berhubungan positif dengan aktivitas belajar, dan berhubungan negatif
dengan kadar Hb dan aktivitas tidur. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan
penelitian yang dilakukan Muchtar (2000) yang menunjukkan kadar Hb tidak
berhubungan dengan pelajaran bahasa.
Nilai Pelajaran Agama
Dari Tabel 37, diketahui bahwa sebagian besar nilai pelajaran Agama
contoh pada ketiga kelas tergolong baik dengan persentase 88,2%. Proporsi nilai
pelajaran Agama dengan kategori baik contoh kelas akselerasi dan kelas unggulan
lebih banyak daripada kelas reguler.
86
Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai pelajaran agama
Pelajaran Agama Akselerasi Unggulan Regular Total n % n % n % n %
Lebih dari cukup
Baik
0
20
0,0
100,0
0
21
0,0
100,0
11
41
21,2
78,8
11
82
11,8
88,2
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 Rata-rata ± SD Min – Max
87,3 ± 3,2 79,3 – 91,8
89,0 ± 2,2 84,7 – 93,3
82,6 ± 4,3 73,3 – 89,3
85,1 ± 4,6 73,3 – 93,3
Hasil uji anova menunjukkan bahwa nilai pelajaran IPA ketiga kelas
berbeda sangat nyata. Dan hasil uji statistik diketahui bahwa nilai pelajaran
Agama berhubungan positif dengan tingkat kepuasan dan aktivitas belajar, dan
berhubungan negatif dengan aktivitas tidur.
Secara umum, sebagian besar contoh 84,9% memiliki prestasi belajar yang
baik, dan sebanyak 15,1% memiliki prestasi belajar dengan kategori lebih dari
cukup.
Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai
Nilai Akselerasi Unggulan Reguler Total n % n % n % n %
Lebih dari cukup
Baik
0
20
0,0
100,0
0
21
0,0
100,0
14
38
26,9
73,1
14
79
15,1
84,9
Total 20 100,0 21 100,0 52 100,0 93 100,0 ± SD
Min–Max 86,8 ± 2,3 80,5 – 91,9
86,3 ± 1,0 85,1 – 88,7
81,7 ± 2,4 76,6 – 84,9
83,8 ± 3,2 76,6 – 91,1
Dari Tabel 38 diketahui bahwa pada kelas akselerasi dan unggulan seluruh
contoh 100% memiliki prestasi belajar baik. Sedangkan pada kelas reguler
sebanyak 73,1% contoh memiliki prestasi belajar yang baik dan selebihnya
sebanyak 26,9% contoh memiliki prestasi belajar tergolong lebih dari cukup.
Prestasi belajar merupakan salah satu ukuran dari tingkat intelegensi
seseorang. Hanum (1993) menyatakan prestasi belajar anak dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu antara lain faktor dari dalam diri anak sendiri (intelegensi,
motivasi, minat, sikap dan keadaan gizi), dan faktor luar diri anak (sosio kultural,
sosio ekonomi keluarga, kurikulum, cara guru mengajar dan fasilitas fisik seperti
buku-buku pelajaran). Lebih lanjut Hanum menjelaskan bahwa prestasi belajar
anak dipengaruhi oleh dua kelompok variabel yaitu lingkungan sekolah seperti
87
jumlah bacaan dan jenis kelamin, serta lingkungan di rumah yang meliputi
keadaan sosial ekonomi orang tua, besar keluarga dan besarnya perhatian orang
tua pada sekolah anak-anaknya.
Secara statistik, semakin baik status ekonomi keluarga tidak secara nyata
diikuti dengan semakin baiknya prestasi belajar anak. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa prestasi belajar mungkin tergantung pada kemampuan intelektual anak dan
kemampuan anak itu sendiri dalam memanfaatkan fasilitas dan kesempatan yang
ada. Meskipun demikian, Purwanto ( 1998) menyatakan bahwa keluarga yang
mampu menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang diperlukan dalam belajar turut
memegang peranan penting dalam keberhasilan belajar.
Menurut Nasution & Nasution (1986), orang tua sebaiknya memberikan
perhatian pada pendidikan anaknya. Perhatian dapat berupa bimbingan kepada
anak dalam hal belajar, sehingga anak akan senang menerimanya dan akan
menganggap belajar sebagai kewajiban sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut
juga dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk memberikan semangat dan
dorongan kepada anak dalam meningkatkan kegiatan belajar secara efektif untuk
mencapai prestasi belajar yang optimal.
Terbentuknya konsep diri dan motivasi anak untuk berprestasi tidak
terlepas dari reaksi lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan orang tua
(keluarga). Orang tua yang selalu memberi dorongan pada saat yang tepat akan
menimbulkan konsep diri yang positif untuk berprestasi.
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kelelahan
Pada dasarnya tingkat kelelahan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dari
hasil analisa statistik diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat kelelahan siswa adalah umur, perilaku konsumsi pangan dan tingkat stres.
Adapun besar pengaruhnya adalah 42,4% yang berarti pula bahwa peubah lain di
luar penelitian ini memiliki pengaruh sebesar 57,6%.
Saat ini anak bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang dan
setelah itu, anak masih harus mengikuti berbagai macam kegiatan les untuk
mencapai prestasi akademik yang memuaskan di sekolahnya. Hal ini
menyebabkan anak mengalami kelelahan fisik maupun rohani (psikis).
88
Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh, sedangkan
kelelahan rohani (psikis) ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan dan sulit
berkonsentrasi. Kelelahan jasmani dan rohani (psikis) di atas, salah satunya dapat
disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dialami anak sekolah. Aktivitas belajar
sangat memerlukan kondisi kesehatan yang baik karena selama belajar melibatkan
kondisi fisik jasmani dan mental spiritual. Otak dituntut untuk bekerja keras yang
akan menguras tenaga secara cepat. Terkait dengan belajar, siswa harus
menyiapkan dan menyusun kekuatan tenaga secara optimal karena belajar yang
mayoritas melibatkan peran otak harus diimbangi dengan kondisi fisik yang sehat
pula. Akibat tidak adanya keseimbangan antara kondisi fisik dan mental, biasanya
anak akan mudah lelah dan kegiatan belajarnya tidak dapat maksimal.
Slamet (1991) dalam Dermawan (2006) menambahkan bahwa kelelahan
ini dapat menyebabkan motivasi untuk belajar menurun padahal Theios (dalam
Atkinson,1964) mengatakan bahwa motivasi pada individu ini sangat penting
dalam proses belajar karena motivasi akan mempengaruhi timbulnya keinginan
untuk belajar dan banyaknya materi yang dipelajari.
Siswa yang mengikuti program akselerasi akan mengalami frustasi dengan
tingkat tekanan dan tuntutan yang dihadapinya. Dorongan yang terus menerus
untuk berprestasi akan menimbulkan tingkat stres yang tidak dapat diterima, dan
pada akhirnya siswa akselerasi akan kehabisan energi karena tekanan-tekanan
yang ada (Asshat 2003).
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Prestasi Belajar Siswa
Pada dasarnya prestasi belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
faktor dari dalam diri anak dan faktor dari luar diri anak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas belajar, aktivitas tidur, serta kadar Hb sangat nyata
berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Adapun besar pengaruhnya adalah
42,5% yang berarti pula bahwa peubah lain di luar penelitian seperti faktor
kecerdasan dan minat belajar memiliki pengaruh sebesar 57,5%.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman (2000), dimana
kecerdasan emosional dan kecerdasan kognitif merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kemampuan belajar. Perubahan yang terjadi pada diri remaja baik
89
fisik maupun psikis akan mempengaruhi keseluruhan pola perilakunya termasuk
dalam pencapaian prestasi belajar.
Pencapaian prestasi sekolah anak sangat berhubungan dengan
perkembangan fisik dan aktivitasnya. Anak yang mendapat kesempatan untuk
melatih fisiknya akan memiliki kemampuan yang lebih dalam aspek mental
intelektual dibandingkan dengan anak yang kurang mendapatkan kesempatan
untuk melatih fisiknya (Friedman & Clark 1987 dalam Agustina 2003).
Aktivitas belajar dan tidur berpengaruh terhadap prestasi belajar. Dimana
semakin banyak waktu yang digunakan untuk belajar maka alokasi waktu yang
dihabiskan untuk tidur menjadi semakin berkurang. Semakin banyak waktu yang
digunakan untuk belajar, maka akan semakin baik prestasi belajar yang dicapai.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Thoha (2006) yang melaporkan
aktivitas belajar dan aktivitas tidur berpengaruh terhadap prestasi belajar (IPK).
Kadar Hb berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Ini tidak terlepas
dari peran hemoglobin yang berfungsi mengangkut oksigen (O2) ke jaringan dan
karbondioksida (CO2) dari jaringan, dan dalam menjalankan tugasnya tersebut
hemoglobin memerlukan zat gizi mikro yaitu Fe (zat besi) yang berfungsi untuk
membentuk hemoglobin dalam darah (Sunarti 1990). Di dalam tiap sel, besi
bekerjasama dengan rantai protein-pengangkut elektron yang berperan dalam
metabolisme energi. Protein pengangkut memindahkan hidrogen dan elektron
yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen, sehingga membentuk air.
Dalam proses tersebut dihasilkan ATP (Almatsier 2002). ATP inilah sebagai
makanan otak yang akan digunakan untuk aktivitas yang berkaitan dengan kerja
otak seperti belajar, berfikir, konsentrasi, dan lain-lain.
90
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini yaitu sebagai
berikut :
1. Pada umumnya tingkat pendidikan orangtua contoh adalah
diploma/sarjana (D3/S1), lebih dari separuh pekerjaan ayah contoh sebagai
PNS dan ibu contoh sebagai ibu rumah tangga. Seratus persen keluarga
contoh dikategorikan tidak miskin, umumnya termasuk dalam kategori
keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga lima sampai tujuh orang.
2. Lebih dari separuh contoh berusia 14 tahun, berjenis kelamin perempuan,
dengan besar uang saku berkisar antara Rp 5.395,- sampai Rp 10.917,-.
Umumnya pengetahuan gizi contoh termasuk dalam kategori baik.
3. Pada contoh akselerasi, unggulan dan reguler, alokasi waktu terbesar
digunakan untuk tidur, sedangkan alokasi waktu terkecil digunakan untuk
olahraga. Umumnya tingkat kelelahan contoh termasuk dalam kategori
lelah. Tingkat kelelahan contoh tidak berhubungan dengan pola aktivitas.
4. Umumnya perilaku konsumsi pangan contoh termasuk dalam kategori
sedang. Semakin baik perilaku konsumsi pangan, maka semakin rendah
tingkat kelelahan contoh. Hal tersebut dibuktikan dengan hubungan
signifikan negatif antara perilaku konsumsi pangan dengan tingkat
kelelahan.
5. Pada penelitian ini, proporsi anemia pada siswa MTsN 1 Malang sebesar
1,1%. Hasil uji statistik menunjukkan status anemia tidak berhubungan
dengan prestasi belajar, melainkan kadar hemoglobin (Hb) yang
berhubungan dengan prestasi belajar.
6. Pada contoh akselerasi, unggulan dan reguler, semakin tinggi tingkat stres,
maka tingkat kelelahan semakin tinggi dan semakin rendah tingkat stres,
maka semakin banyak alokasi waktu yang digunakan untuk bermain. Hal
tersebut dibuktika dengan hubungan signifikan positif antara tingkat stres
dengan tingkat kelelahan serta hubungan signifikan negatif antara tingkat
91
stres dengan aktivitas bermain. Umumnya tingkat stres contoh termasuk
dalam kategori sedang.
7. Tingkat kelelahan contoh dipengaruhi oleh umur, perilaku konsumsi
pangan dan tingkat stres.
8. Prestasi belajar dipengaruhi oleh aktivitas belajar, aktivitas tidur dan kadar
hemoglobin (Hb).
Saran
1. Untuk menurunkan tingkat kelelahan siswa disarankan siswa
meningkatkan serta memperbaiki perilaku konsumsi pangan serta
dianjurkan untuk membiasakan sarapan.
2. Mengingat kadar Hemoglobin (Hb) berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa, diharapkan siswa meningkatkan konsumsi makanan terutama
konsumsi makanan yang mengandung protein dan zat besi melalui warung
sekolah, karena pada umumnya pada masa sekolah siswa lebih suka jajan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Achir. 1991. Meningkatnya Hubungan Remaja dengan Orang Tua. Jakarta : Pustaka antara.
Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama. Anonim. 2007. Anemia Defisiensi Besi Apa Bahayanya Untuk anak Kita?.
http:/www.republika.co.id/koran. 27 September 2007. Arnelia et al. 1995. Dampak Kekurangan Gizi terhadap Kecerdasan Anak SD
Pasca Pemulihan Gizi Buruk. Penelitian Gizi dan Makanan. Jilid 18. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangn Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Asshat II. 2003. Program Akselerasi untuk Siswa Berbakat.[Tesis]. Jakarta :
Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia. Asmoro AF. 2007. Kepuasan Siswa Terhadap Cara Mengajar Guru di Tingkat
Sekolah Menengah Pertama (SMP). [Skripsi]. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Astuti RW. 2002. Status Anemia dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswi
SMUN 1 Trenggalek. Jawa timur. Media Gizi dan Keluarga. Vol.25 No.2 Desember 2002.
Atasasih H. 2001. Status Anemia, Status Gizi dan Hubungannya dengan Prestasi
Belajar Siswa Siswi SMUN 30 Jakarta Pusat.[Skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Atkinson RL, et al. 2000. Pengantar Psikologi. Batam : Interaksara. Atmodiwirjo ET. 1993. Stimulasi Terencana Sebagai Upaya Meningkatkan
Kecerdasan Anak. Simposium Peranan Ibu dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Berg A, Sajogyo. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta :
Rajawali. Darmokusumo HV. 1972. Hubungan Orangtua Anak Sebagai Faktor Penyebab
Kegagalan Prestasi Belajar Anak di Sekolah. [Karya Ilmiah]. Jakarta: Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia.
93
Depkes. 1996. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Dermawan S. 2006. Perbedaan Motivasi Belajar Pada Siswa Sekolah Dasar Kelas
IV yang Mengikuti Les Pelajaran dengan yang Tidak Mengikuti Les Pelajaran (Penelitian Pada SDK BPK Penabur). [Tesis]. Jakarta : Universitas Katolik Atma Jaya.
Dillon HS. 2007. Sekolah Tempat Efektif Memutus Mata Rantai Anemia. Pusat
data dan informasi PERSI. 5 Juli 2007. Firlie D. 2000. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Morbiditas Anak Baduta pada
Keluarga Miskin dan Tidak Miskin. [Skripsi]. Bogor : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Fitrihana N. 2008. Kelelahan Kerja. B4D3 Consultant.mht. Food Facts Asia. 2004. Kick Start You Day with Breakfast. Issue 22, November
2004. Bangkok : Food and Nutrition Communications. Grantham – Mc Gregor SM & Ani C. 2001. A Review of Studies on The Effect of
Iron Deficiency on Cognitive Development in Children. Am J Nutr 131 : 649S – 668S.
Goleman D. 2000. Emotional Intelligence. Marca Registrada. New York : Batam
Book. Guharja et al. 1992. Diktat Kuliah Manajemen Sumberdaya Keluarga. Jurusan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Gunarsa SA & YAA Gunarsa. 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Jakarta : BPK Gunung Mulia. ________________________. 2004. Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan
Keluarga. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Gustiana I. 2008. Enggan Beraktivitas Akibat Sindrom Kelelahan. Koran SINDO.
1 Februari 2008. Hanum Y. 1993. Profil Siswa Sekolah Menengah Pertama Berprestasi Kaitannya
dengan Konsumsi Makanan dan Status Gizi. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah & Martianto D. 1992. Gizi terapan. PAU Pangan dan Gizi. Bogor :
Institut Pertanian Bogor. Harper et al. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : UI Press.
94
Helms DB & JS Turner. 1990. Lifespan Development. Chicago : Holt, Rinehart and Winston Inc.
Heald et al. 1998. Diet, Nutrition and Adolescene. Di dalam : Shil ME, Olson JA,
Shike M, Ross AC, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Baltimore : Williams & Wilkins. Edisi ke 9. Departemen PPSDM : 857 – 867
Herawati N. 2005. Tingkat Stres dan Strategi Cooping Menghadapi Stres Pada
Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Tahun Akademik 2005/2006.[ Laporan Penelitian]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hermina. 1993. Keamanan dan Gizi. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan
Gizi V. Jakarta : LIPI. Hurlock EB. 1997. Perkembangan Anak, Jilid II. Jakarta : Erlangga. Husaini. 1989. kecukupan Konsumsi Besi : Wanita Membutuhkan Lebih Banyak.
Buletin Gizi 1 (13) : 25-31. Husin. 1980. Perencanaan Pendidikan dengan Tekanan Aspek Kuantitatif, Analisa
Pendidikan Tahun 1 No.1. Departemen P dan K. Jakarta : Departemen P dan K.
Idjradinata P & Pollit E. 1993. Reversal of Developmental Delays in Iron –
Deficient Anaemic Infants Treated with Iron. Lancet 341 (8836) : 1 – 4. Ifada Q. 2004. Kajian Ketahanan Keluarga : Manajemen Stres Keluarga
Pengungsi Korban Kerusuhan Aceh di Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah. [Skripsi]. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Judarwanto, W. 2004. Mengatasi Kesulitan Makan Anak. Jakarta : Puspaswara. Kalpen AS. 1997. Tidak Bodoh tapi Tinggal Kelas. Intisari. Pebruari. Hlm.170-
175 Kanani SJ & Poojara RH. 2000. Suplementation with Iron and Folic Acid
Enhances Growth in Adolescent Indian Girls. American Society for Nutritional Sciences. Hal 452S-455S.
Kartasapoetra & Marsetyo H. 2003. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan
Produktivitas Kerja). Jakarta : Rineka Cipta. Kartono K. 1995. Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. Jakarta : Rajawali Press.
95
Khomsan A. 2000. Tehnik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
___________. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama. Khumaidi. 1994. Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas. Bogor : Institut
Pertanian Bogor. Kotler P. 1999. Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi
dan Pengendalian edisi 7. Adi Zakariah Afif. Penerjemah. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kustiyah L. 2005. Kajian pengaruh Intervensi Makanan Kudapan terhadap
Peningkatan Kadar Glukosa Darah dan Daya Ingat Anak Sekolah Dasar. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kusumaningrum A. 2006. Keragaan Anak-Anak Sibuk : Prestasi Belajar,
Kecerdasan Emosional, Status Gizi, dan Status Kesehatan.[Skripsi]. Bogor : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. IPB.
Losyk B. 2007. Kendalikan Stres Anda!. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mardapi D. 2005. Penelitian Perguruan Tinggi : UAN Masih Perlu Dilaksanakan.
Berita-pendidikan.com. 31 Januari 2005. Martoatmodjo. 1978. Membina Gizi keluarga Sehat. Bogor : Puslitbang Gizi. Maryam S. 2001. Status Gizi, Peer Group dan Aktivitas Harian serta Kaitannya
dengan Prestasi Belajar Remaja Studi Kasus Pada Dua SMU di Kota Bogor. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Monks F.J, et al. 1992. Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam Berbagai
Bagian-Bagiannya. Yogyakarta : Gajahmada University Press. Muhilal, Jalal & Hardinsyah. 2004. Penentuan Kebutuhan Gizi dan Kesepakatan
Harmonisasi di Asia Tenggara. Prosiding WNPG : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta : LIPI.
Muchtar MD, Briawan D, Karsin ES. 2000. Status Anemia dan Prestasi Belajar
Siswa SMU 1 Kapuas Kabupaten Kapuas. Media Gizi & Keluarga. Desember 2000.
Mujiran P. 2004. Persoalan Kelas Akselerasi. Bernas. 18 Maret 2004.
96
Napitu N. 1994. Perilaku Jajanan di Kalangan Siswa SMA di Pinggiran Kota DKI Jakarta. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Nasoetion A, Khomsan A. 1995. Aspek Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan
Pertanian. Dalam Kertas Kerja Lokakarya Eksekutif dalam Rangka Training Integrasi Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian di Ciloto. Bogor.
Nasution T. & N. Nasution. 1986. Peranan Orangtua dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Anak. Jakarta : BPK Gunung Mulia. O’Dea JA. 1996. A Health Weight Range Chart for Adolescent Self Assessment.
Journal of nutrition Education, 28 (5), 293 – 294. Pilliang WG, Djojosoewondo S. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume 2. Bogor : IPB
Press. Pitriyani, E., S. Guhardja, I. Tanziha. 1999. Prestasi Anak Sekolah Dasar yang
Bekerja sebagai Pedagang Asongan di Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Media Gizi dan Keluarga. Volume XXIII (2) : 28 – 35.
Polii JH. 2003. Gaya Hidup, Pola Aktivitas, Pola Makan dan Status Gizi Remaja
SMU di Bogor. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Pollit E. 2000. a Development View of The Undernourished Chile : Background
and Purpose of The Study in Pangalengan Indonesia. European J Clin Nutr 54:S2 – S10. Mei 2000.
Puar MW. 1998. Agar Anak Belajar. Jakarta : Puspa Swara. Purwanto MN. 1998. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rachman A & Latifah U. 2001. Mengenal Lebih Dekat tentang Program
Akselerasi Tingkat SLTP – SMU. Buletin BPK Penabur. No 2 Thn. XXVIII.
Rahman A. 2004. Rendah Tingkat Kepuasan Siswa terhadap Sistem Pendidikan.
Kompas.com. 24 April 2004. Rahmawati E. 2008. Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Siswa
Melalui Tugas Pekerjaan Rumah dan Umpan Balik Pada Sub Pokok bahasan Segi Empat di SMP Negeri 1 Gondangrejo. [Skripsi]. Surakarta : Fakultas pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
97
Ramakhrisnan U. 2001. Nutritional Anemias. New York : CRC Press. Riyadi H. 1995. Prinsip dan Petunjuk Penilaian Status Gizi. Bogor : Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
_______. 1996. Pola Konsumsi Pangan. Di dalam : Khomsan A dan A. Sulaeman,
editor. Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan dan Pertanian. Bogor : IPB Press. Hlm. 174 – 183.
________. 2003. Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Bogor : Departemen
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Rush D. 1984. The Behavioral Consequences of Protein-Energy Deprivation and
Suplementation in Early Life : An Epidemiological Perspective. Sajogyo. 1978. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga dan Kecukupan Gizi. Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi II. LIPI. Sanjur. 1982. Social and Culture Perspective in Nutrition. Englewood Cliffs :
Prentice- Hall Inc. New Jersey. Sediaoetama AD. 1991. Ilmu Gizi II. Jakarta: Dian Rakyat. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Solo : Debara Publisher. Sofianti N. 2002. Studi Motivasi dan Perilaku Ibu dalam Memelihara Kesehatan
selama Kehamilan di Kabupaten Asahan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Bogor : Institut Pertanian Bogor. Soekanto S. 1991. Kehidupan Remaja dan Masalahnya: Mengenal dan Memahami
Masalah Remaja. Jakarta : Pustaka Antara. Soekirman. 1997. Intelegensi, Kemandirian, Kebiasaan Belajar dan Prestasi
Belajar Mahasiswa D2 PGSD IKIP Semarang. Jakarta : Program Pascasarjana. Program Studi Psikologi. Universitas Indonesia.
________. 1999. Nutritional Status Dietary and Physical, Activity, Patterns of
Urban Primary School Children in Indonesia. Bogor Agriculture Institut.
________. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
98
Soemanto W. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Sunarti E. 1990. Aktivitas Kerja dan Tingkat Konsumsi Energi serta Zat Gizi
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Lembaga Penelitian IPB [laporan penelitian]. Bogor : Fakultas Politeknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Suryabrata S. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Susanto IG. 1997. Dinamika Perilaku dan Kebiasaan Makan. Pra Widya
KaryaNasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta. Suhardjo, Kusharto CM. 1988. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Bogor : Pusat Antar
Universitas dan Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Suharto T. 2008. Survei Anemia pada Remaja Putri di Kabupaten Sleman.
Yogyakarta : PERSAGI DIY. 23 Januari 2008. Sukadji S. 1988. Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan. Jakarta : Fakultas
Psikologi. UI. Sumardjan S. 1991. Remaja Desa dan Kota dengan Lingkungannya. Dalam
Sanusi, Badri dan Syarrudin. Jakarta : Pustaka Antara. Suparno, A.S. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Suryosubroto B. 1988. Dasar-Dasar Psikologi untuk Pendidikan di Sekolah.
Jakarta : PT. Prima Karya. Tjiptono F. 2002. Manajemen Jasa. Jakarta : Andi Offset. Thonthowi A. 1993. Psikologi Pendidikan. Bandung : Angkasa. Thoha. 2006. Hubungan Pola Konsumsi Pangan, Pola Aktivitas, Status Gizi dan
Anemia dengan Prestasi Belajar pada Mahasiswa Putri Diploma III kebidanan Yayasan Madani dan Assyifa di Kota Tangerang. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Villavieja GM, et al. 1987. Fundamentals in Applied and Public Health Nutrition.
The Nutritionist-Dietitians Association of the Philippines. Philippines : Metro Manila.
Widyastono H. 2004. Makalah Seminar Program Percepatan Belajar bagi
Pengawas dan Kepala SMP Negeri dan Swasta di Jakarta. Williams M. 1980. Nutrition for the Growing Years. 3rd Ed. New York : Jhon &
Wiley Sons.
99
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Winkel WS. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Grasindo. (WHO) World Health Organization. 1982. Nutrition Anemia. Technical Report
Series. No. 503. Geneva : World Health Organization. _____________________________. 1995. Physical Status : The Use and
Interpretation of Anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. WHO Technical Report Series 854. Geneva : World Health Organization.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Skor Jenis Penyakit berdasarkan Tingkat Keparahannya terhadap Anak
No Jenis Penyakit Skor*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
13.
14.
15.
Kulit (bisul, kulit merah, gatal)
Mata
Sariawan, panas dalam
Sembelit, kembung
Gigi
Cacar
Telinga
Bronchitis, asma, gejala paru-paru
ISPA (batuk, pilek, panas)
Batuk rejan
Campak
Bayi kuning, bilirubin tinggi
Diare, mencret
Kejang
Muntaber
10
10
10
10
20
30
40
50
50
60
70
80
80
80
80
Keterangan : *Hasil wawancara dengan dokter (Firlie 2000).
Lampiran 2. Kuesioner Tingkat Kelelahan Tingkat Kelelahan 1. Selama kita hidup, sebagian besar dari kita memiliki waktu dimana kita
merasa sangat capek atau lelah. Apakah anda pernah merasa capek atau lelah pada minggu-minggu terakhir ini ? a. Ya b. Tidak
2. Tingkat kelelahan Anda hari ini : a. Tidak lelah c. Lelah b. Cukup lelah d. Sangat lelah 3. Rata-rata tingkat kelelahan Anda seminggu yang lalu : a. Tidak lelah c. Lelah b. Cukup lelah d. Sangat lelah 4. Tingkat kelelahan terburuk yang pernah Anda alami seminggu yang lalu : a. Tidak lelah c. Lelah b. Cukup lelah d. Sangat lelah 5. Pengaruh tingkat kelelahan Anda terhadap
A. Aktivitas sehari-hari a. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh b. Cukup berpengaruh d. Sangat berpengaruh B. Mood a. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh b. Cukup berpengaruh d. Sangat berpengaruh C. Kemampuan Berjalan a. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh b. Cukup berpengaruh d. Sangat berpengaruh D. Pekerjaan biasa (pekerjaan rumah dan pekerjaan lainnya) a. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh b. Cukup berpengaruh d. Sangat berpengaruh E. Hubungan dengan orang lain a. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh b. Cukup berpengaruh d. Sangat berpengaruh F. Kenikmatan hidup a. Tidak berpengaruh c. Berpengaruh b. Cukup berpengaruh d. Sangat berpengaruh
Lampiran 3. Kuesioner Tingkat Stres Tingkat Stres Lingkari pilihan jawaban terhadap masing-masing pernyataan di bawah ini ! 1 = Tidak Pernah (0 kali/mggu) 2 = Jarang (1-2 kali/bln) 3 = cukup (3-4 kali/bln) 4 = Sering (1-2 kali/mggu) 5 = Sering Sekali (>3 kali/mggu)
No
Pernyataan (Apakah anda mengalami kondisi ini sejak masuk di
kelas akselerasi / unggulan / reguler?)
Pilihan
1. Merasa letih dan lesu yang luar biasa 1 2 3 4 5 2. Merasa sedih sekali dan ingin menangis 1 2 3 4 5 3. Merasa tegang, tidak tenang, cemas dan terancam 1 2 3 4 5 4. Merasa kurang bersemangat pergi ke sekolah 1 2 3 4 5 5. Merasa sukar berkonsentrasi dalam belajar dan
beraktivitas 1 2 3 4 5
6. Mengalami sukar tidur atau tidur tidak nyenyak 1 2 3 4 5 7. Merasa tertekan dengan tugas-tugas / PR di sekolah 1 2 3 4 5 8. Mengalami perubahan nafsu makan 1 2 3 4 5 9. Mengalami kehilangan minat melakukan aktivitas 1 2 3 4 5 10. Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas 1 2 3 4 5 11. Merasa pegal-pegal pada leher, punggung, dan bahu 1 2 3 4 5 12. Merasa tertekan dengan jadwal sekolah yang padat 1 2 3 4 5 13. Merasa bosan karena tidak punya waktu bermain 1 2 3 4 5 14. Lepas kontrol / temperamen 1 2 3 4 5 15. Perut terasa kembung, mulas, mual dan diare pada saat
akan melakukan sesuatu 1 2 3 4 5
16. Merasa dingin dan berkeringat lebih banyak dari biasanya
1 2 3 4 5
Lampiran 4. Kuesioner Tingkat Kepuasan Tingkat Kepuasan Lingkari pilihan jawaban terhadap masing-masing pernyataan di bawah ini ! 1=sempurna 3=biasa saja 5=buruk 2=bagus 4=kurang bagus
No. Pernyataan Pilihan
1. Bagaimana Anda menilai keseluruhan kualitas kesehatan fisik Anda ?
1 2 3 4 5
2. Bagaimana Anda menilai keseluruhan kualitas kesehatan mental Anda ?
1 2 3 4 5
3. Bagaimana Anda menilai tingkat kepuasan Anda di kelas yang Anda pilih ?
1 2 3 4 5
4. Bagaimana Anda menilai pembagian waktu Anda antara di sekolah dengan di rumah ?
1 2 3 4 5
5. Bagaimana Anda menilai kemampuan Anda mengikuti kegiatan belajar di kelas ?
1 2 3 4 5
6. Bagaimana Anda menilai proses belajar mengajar di kelas ? 1 2 3 4 5
7. Bagaimana Anda menilai prestasi yang sudah anda capai ? 1 2 3 4 5
8. Bagaimana Anda menilai keoptimisan Anda berhasil dengan prestasi baik di sekolah ?
1 2 3 4 5
9. Bagaimana Anda menilai kemampuan Anda beradaptasi terhadap lingkungan sekolah ?
1 2 3 4 5
10. Bagaimana Anda menilai kemampuan Anda beradaptasi terhadap lingkungan di luar sekolah ?
1 2 3 4 5
Lampiran 5. Kuesioner Motivasi Belajar Motivasi Belajar
No
Pernyataan
Pilihan SS S TS
1. Saya belajar tanpa harus disuruh (atas kemauan sendiri) 2. Saya merasa kurang puas dengan prestasi saya di sekolah
saat ini
3. Saya akan lebih giat belajar lagi supaya dapat memperbaiki nilai saya yang dulu
4. Kalau nilai saya beberapa waktu lalu tidak memuaskan maka saya akan berusaha belajar lebih giat lagi
5. Saya tidak putus asa meskipun nilai saya jelek 6. Bila teman mendapat nilai ulangan yang lebih tinggi dari
saya maka saya akan bersaing secara sehat
7. Saya belajar dengan giat karena ingin berhasil seperti orang-orang yang sukses
8. Saya belajar dengan giat supaya naik kelas 9. Saya belajar setiap hari meskipun tidak ada PR atau
ulangan
10. Saya merasa nilai saya perlu ditingkatkan lagi 11. Saya harus belajar supaya nilai saya tetap baik 12. Saya merasa sudah cukup belajar seperti sekarang ini
Keterangan : TS : Tidak Setuju S : Setuju SS : Sangat Setuju