1
POSTMODERNISME DALAM PANDANGAN JEAN FRANCOIS LYOTARD
Oleh : Ummi Rodliyah
A. PENDAHULUAN
Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun
1939. Walaupun ada pendapat lain dari seorang pemikir postmodernisme, Charles Jencks,
yang menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang
Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya Antologia de la poesia espanola e
hispanoamericana (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut untuk
menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme.
Namun yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah
Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Toynbee
yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah
pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau
semenjak tahun 1870-an. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang
pertama kali menggunakan istilah tersebut, namun terdapat kesepakatan bahwa istilah
tersebut muncul pada tahun 1930-an.
Postmodern merupakan reaksi dari modernism. Walaupun sampai saat ini belum
ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik
perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu
berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada
pemikiran tersebut. Jean Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat
dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Postmodern
Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai
dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana
yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami
konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan
2
kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir akibat
ketidakjelasan akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan,
sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari
modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang
sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari
modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and
Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok
tadi tentang memahami Post-modernisme. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat
berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain
menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang
mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan
modernisme.
Senada dengan pendapat yang kedua, Berman dan Jurgen Habermas cenderung
menyamakan pengertian modern dengan postmodern, dengan menyatakan bahwa
postmodern merupakan lanjutan dari modernitas. Habermas dan Daniel Bell berpendapat
bahwa postmodern merupakan perkembangan budaya yang secara umum masih berada
dalam ‘logika modernisme’ yang disebut dengan ‘proyek pencerahan yang belum
selesai’. Jenks menyebutkan The New Modernism, sementara Giddens menyebutnya
dengan modernitas tinggi yang mana cirri utamanya adalah radikalisme dan globalisasi.
(Lubis, 2003). Sebaliknya tokoh postmodern seperti J. F. Lyotard, Foucault, Richard
Rorty dan lainnya mengkritik dengan tajam ideologi modern.
Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap
mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang
postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang
berlawanan dari modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang
mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di
antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-
3
fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu
yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal
menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan
postmodernist kepada modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala
“nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf
semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan
penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan
berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme
(http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme).
Namun demikian meskipun para tokoh posmodernisme dengan sangat tajam
mengkritik rasio, akan tetapi sesungguhnya yang mereka lakukan bukanklah
mengabaikan rasio itu sama sekali, tetapi belajar untuk menggunakan rasio dengan cara-
cara baru, menghilangkan penggunaan rasio hitam-putih, dalam memahami realitas.
Menurut mereka kita memerlukan logika baru cara pandang baru terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini.
Pemahaman pemikiran postmodernis menjadi penting untuk memahami berbagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tak lagi memadai untuk dianalisis
hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan,
homogenitas, pobjektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam
pandangan postmodernis lebih menekankan pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya
local/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari.
Makalah ini berusaha memberikan pemaparan tentang salah satu tokoh
postmodernis yaitu Jean Francois Lyotard mulai dari sejarah hidup, pendidikan, dan
pemikiran-pemikirannya terutama pandangannya tentang pluralisme budaya atau
heterogenitas dalam ilmu pengetahuan budaya.
B. SEJARAH HIDUP JEAN FRANCOIS LYOTARD
Jean Francois Lyotard lahir pada tahun 1924 di Versailles di sebuah kota kecil di
paris bagian selatan. Jean-Pierre Lyotard adalah ayahnya dan ibunya bernama Madeleine.
4
Ia menikah dengan Andree May pada tahun 1948. Setelah berakhir Perang Dunia ke II, ia
belajar filsafat di Sorbonne dan mendapat gelar agre’gation de philosophie tahun 1950.
tahun 1950-1952 ia mengajar di sekolah menengah di kota Constantine di Aljazair Timur.
Kemudian ia menjadi profesor filsafat di Universitas Paris VIII (Saint-Denis). Jabatan ini
dipegangnya sampai usia pensiunnya tahun 1989.
Dari tahun 1956-1966, Lyotard menjadi anggota dewan redaksi jurnal sosialis
Socialisme au Berbarie (Sosialisme atau Keadaan Barbar) istilah yang diambilnya dari
Marx yang mengandaikan perlunya pilihan antara sosialisme atau keadaan barbar. Ia juga
menjabat sebagai anggota dewan redaksi surat kabar sosialis ”Pouvoir Ouvier”. Lyotard
menentang secara keras kebijakan pemerintah Prancis saat terjadinya Perang di Aljazair,
dan ikut dalam gerakan yang terjadi di Prancis tahun 1968.
Dari tahun 1950-1960 ia dikenal sebagai seorang aktivis yang beraliran Marxis,
akan tetapi sejak tahun 1980-an ia dikenal sebagai pemikir posmodernisme non-Marxis
yang terkemuka. Tahun 1954 terbit buku pertamanya yang berjudul La
Phenomena\ologie, sebuah pengantar untuk memahami fenomenologi Husserl. Meskipun
ia masuk kelompok Marxis, akan tetapi kelompoknya selalu kritis dan menolak
interprestasi dogmatis terhadap pemikiran Marx seperti yang dilakukan Stalinisme,
Trotkyisme dan maoisme. Karena perbedaan pandangan dengan teman-temannya, ia
meninggalkan Socialisme ou Barbarie dan mendirikan majalah marxis baru berjudul
Puovoir Ouvrier (Kuasa Kaum Buruh)
Ia resmi keluar dari lingkungan marxis tahun 1966, karena kekecewaannya
terhadap kegagalan gerakan marxis untuk membangun masyarakat sosialis yang adil
sebagaimana didengung-dengungkan selama ini. Tahun1971 ia berhasil memperoleh
gelar doktor sastra dengan disertasi yang berjudul Discours, figure (Diskursus, Figure)
yang membahas tentang problem bahasa dengan fenomenologi. Dengan cara ini ia
berharap dapat melampaui aliran strukturalisme dan memposisikannya sebagai salah
seorang tokoh posstrukturalisme dan posmodernisme Prancis terkemuka.
5
Pada awal tahun 1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII,
Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa pensiun sebagai Professor atau
Emeritus. Selama dua dekade yang berikutnya ia memberi kuliah di luar Prancis
khususnya sebagai Professor dari Critical Theory di Universitas California, Irvine dan
sebagai dosen/profesor keliling pada berbagai Universitas di seluruh dunia termasuk
Yohanes Hopkins, Berkeley, Yale dan San Diego States, the Université de Montréal di
Canada dan the University of Sao Paulo di Brazil. Ia bersama dengan Derrida ikut
berperan sebagai pendiri dan anggota Collège International de Philosophie, Paris dan
untuk beberapa tahun memimpin lembaga tinggi filsafat itu. Ia menghabiskan waktunya
antara Paris dan Atlanta, di mana ia mengajar pada Emory University sebagai suatu
Woodruff Professor.
Lyotard berulang-kali menegaskan tentang pemikiran Postmodern di dalam esei-
esei yang terkumpul dalam bahasa Inggris sebagai The Postmodern Explained to
Children, Toward the Postmodern, dan Postmodern Fables. Pada Tahun 1998, selagi
bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference on Postmodernism and Media
Theory, ia meninggal dengan tak diduga-duga karena leukemia yang telah mengedepan
dengan cepat. Ia dikuburkan di Le Père Lachaise Cemetery di Paris.
1. Karya Jean Francois Lyotard
Lyotard merupakan pemikir yang termasyhur, khususnya setelah menulis buku
The Postmodern Condotion: A Report On Knowledge, diterjemahkan Geoff Bennington
and Brian Massumi (Manchester: Manchester University Press, 1984). Lyotard
menyebutnya sebagai gambaran umum dari pemikiran posmodern. Lyotard hendak
menggambarkan perubahan status pengetahuan dalam masyarakat yang paling maju:
masyarakat yang memasuki era pasca industri atau bisa di sebut era kapitalisme lanjut. Ia
menggunakan istilah “postmodern” untuk menggambarkan kondisi tersebut. Lyotard
mengkaitkan perubahan status pengetahuan dengan krisis narasi-narasi.
Dalam The Differend: Phrase in Dispute (Manchester: Manchester University
Press, 1986), Lyotard hendak memberikan landasan filosofis tenang keadilan pada
6
sensitivitas kita pada perbedaan. Lyotard mengemukakan tenang “rezimentasi frase”
yang salah satunya dilakukan lewat diskursus. Rezimentasi frase, sebagaimana
permainan bahasa, memiliki aturan main sendiri dan mewakili komunitas anggotanya
masing-masing. Oleh karena itu menurut Lyotard, sebenarnya tidak ada semesta bahasa
yang universal (tunggal).
Karya Lyotard The Inhuman: Reflections on Time (Cambridge, Politu Press,
1988), menyatakan bahwa umat manusia berada dalam cengkraman kebutuhan untuk
meninggalkan system matahari dalam jangka 4 milyar tahun. Suatu ungkapan
kecemasan yang menekankan kesan kegentingan, menggoncang kesadaran kita dan
memicu perdebatan. Kecemasan yang ia “ramalkan” adalah bahwa pada akhirnya mesin
(computer) yang canggih akan deprogram untuk menggantikan manusia dengan tujuan
“memperpanjang kehidupan”, hingga melampaui saat habisnya energi matahari. Kita
hidup dalam semesta yang terbatas umur. Kira-kira 4 hingga 6 milyar tahun lagi,
matahari yang menjadi sumber kehidupan kita “akan habis terbakar”dan kehidupan di
bumi akan berkakhir. Gambaran situasi yang sungguh dramatis, dan sekaligus tragis,
kendati sangat sedikit di antara kita yang cemas (atau mungkin terganggu) oleh
“ramalan” masa depan tersebut, mengingat rentang rata-rata umur kita di dunia yang
rata-rata kurang dari 100 tahun (bandingkan dengan 4 hingga 6 milyar tahun). Ia
memikirkan, secara filosofis dengan begitu serius dan reflektif, dampak apa yang
diakibatkan oleh habisnya energi matahari yang memang sudah teramalkan terhadap
kondisi kemanusiaan dewasa ini.
Dalam The Postmodern Explained to Children: Correpondence 1982-1985
(Sidney, Power Publications, 1992), ia membahas pemikiran postmodern dalam bidang
estetika dan kaitan dengan seni awant-garde. Dalam buku ini Lyotard memulai
pembahasan dengan menunjukkan keruntuhan bentuk-bentuk social yang sering
diasosiasikan dengan medornitas. Keruntuhan bentuk-bentuk social itu antara lain;
semakin tak terbatasnya antara seni dan kehidupan sehari-sehari, ambruknya
pembedaan hierarkis antara budaya popular dan elit, runtuhnya orisinalits dan
pandangan pencipta seni sebagai orang yang memiliki kecerdasan, terjadinya
pergeseran pencipta seni sebagai orang yang memiliki kecerdasan, terjadinya
7
pergeseran dari isi ke gaya, realitas ke cipta, fragmentasi waktu jadi rangkaian era kini
yang abadi.
C. POKOK PIKIRAN JEAN FRANCOIS LYOTARD
Memahami tentang postmodernisme berarti mengasumsikan pertanyaan tentang
hilangnya kepercayaan pada proyek modernnitas, munculnya semangat pluralisme,
skeptisisme, terhadap ortodoksi tradisional, serta penolakan terhadap pandangan bahwa
dunia merupakan suatu totalitas yang universal, pendekatan terhadap harapan akan solusi
akhir dan jawaban yang sempurna. Maka untuk memahaminya diperlukan kekayaan
makna dan keluasan wawasan dan bukan model berpikir hitam-putih, akan tetapi
membuat tingkatan makna, mencari kombinasi dari berbagai fokus (prespektif). Bagi
kaum postmodernis berbagai prespektif dan idiologi yang bersaing dalam kehidupan
ditengah masyarakat tidak ubahnya seperti berbagai barang dengan merek yang berbeda
dan dijual bebas di pusat perbelanjaan. Hal ini dirumuskan oleh Akbar S.Ahmed seorang
antropolog muslim tentang ciri-ciri postmodern (Lubis, 2003).
1. Pengertian Postmodern
Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale berpendapat bahwa istilah
postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, merupakan pengertian yang sangat
luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale
(2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu : 1. Postmodernitas yang
berkaitan dengan era posmodern, 2. Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi
kultural era posmodern, dan 3. Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan
dengan refleksi filosofis dari era dan budaya posmodern. (http://www. itu.dk/courses
/VV/E2000/Frank-PoMo.doc)
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan
postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana
masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan
reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan.
Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi
kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah
8
wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri
digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai
objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas
pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti
adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia,
dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian
modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme,
dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme,
dan diskontuinitas.
Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada Postmodern, merupakan
elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan tradisi
modern dengan cara memunculkan cara-cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama
sekali. Pemutusan dengan masa lalu (jaman modern) menurutnya merupakan jalan untuk
melupakan dan merepresi masa lalu. Jadi semacam prosedur psikoanalitik dari anamnesis
atau analisis yang memungkinkan para pasien untuk mengelaborasi persoalan-persoalan
sekarang dengan secara bebas mengasosiasikan detil-detil melalui berbagai situasi masa
lalu yang memungkinkan mereka untuk mengungkapkan makna-makna tersembunyi
dalam kehidupan dan prilaku mereka (Lubis, 2003).
Kalau ilmu pengetahuan modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan
untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan masyarakat primitif menjelaskan
fenomena alam, dan modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan
berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju kemajuan (progress). Mitos politik ini
menganggap sain modern sebagai alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sementara
dalam pandangan Postmodernism bahwa sain tidak mampu menghilangkan mitos-mitos
dari wilayah ilmu pengetahuan. Sementara metanarasi itu berfungsi sebagai mitos baru
bagi masyarakat modern.
Bagi Postmodernis ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis,
konstruksi sosial budaya dan bukan sesuatu yang sifatnya alami (kodrat) dan universal.
Karena itu mereka tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-
historis serta budaya lokal. Keaneka ragaman pemikiran menurut Lyotard hanya dapat
dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity), dengan mencari disensus
9
(ketidaksepakatan) secara radikal. Habermas menyebut kondisi kebudayaan baru itu
sebagai situasi ketidakteraturan baru (die neue Unubersichtlichkeit) sambil mengajukan
rasio komunikatif sebagai alternatif.
Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena ia
memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya terhadap
konsep Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan
language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).
2. Penolakan terhadap Grand Narative
Bagi Lyotard penolakan posmodern terhapad narasi agung sebagai salah satu ciri
utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand-
Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi) . Baginya Ilmu Pengetahuan
pramodern dan modern mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada cerita-
cerita besar (Grand-Naratives) yang menjadi kerangka untuk menjelaskan berbagai
permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil sekalipun. Cerita Besar itu
menjadi kerangka penelitian ilmiah dan sekaligus sebagai justifikasi keilmiahan. Grand-
Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala
hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias ilmu pengetahuan. Dengan
konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi besar dianggap sebagai narasi non-
ilmiyah.
Sebagaimana di jelaskan sebelumnya bahwa sains modern berkembang sebagai
pemenuhan keinginan untuk keluar dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan
mitos-mitos yang dipakai masyarakat primitif. Namun dalam pandangan kaum
postmodernis termasuk Lyotard bahwa sains ternyata tidak mampu menghilangkan
mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua
narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu : kepercayaan
bahwa ilmu pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress).
Namun era modern telah membuktikan banyak hal yang tidak rasional dan bertentangan
dengan narasi besar itu seperti perang dua II, pembunuhan sekitar 6 (enam) juta yahudi
oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti dari kegagalan proyek
10
modernitas. Ambruknya ideologi marxisme-komunisme dan ceraiberainya Unisoviet,
runtuhnya tembok Berlin, terjadi sepuluh tahun setelah penolakan Lyotard terhadap
Narasi itu.
Penolakan terhadap metanarasi/grandnarasi berarti menolak penjelasan yang
sifatnya unifersal/global tentang realitas, tentang tingkah laku dan sebagainya. Lyotard
juga menyatakan bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, unifersal, atau
transendental (esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan ruang-waktu
(historis). Bagi pemkir postmodern ilmu pengetahuan memiliki sifat prespektifal,
posisional dan tidak mungkin ada satu prespektif yang dapat menjangkau karakter dunia
secara objektif-universal.
Memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses
delegitimasi atau krisis legitimasi, di mana fungsi legitimasi narasi-narasi besar
mendapatkan tantangan berat. Contoh delegitimasi adalah apa yang dialami oleh sains
sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme.
Dalam masyarakat pascaindustri, sains mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa
mempertahankan dirinya terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri. Legitimasi sains
pada narasi spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi
pengetahuan di masa capitalist technoscience tidak bisa lagi dipenuhi. Pengetahuan sains
tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit di mana kriterium yang
berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium performatif: maximum output with a
minimum input (menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin).
Sains adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung aturan-aturan
normatif (misalnya pembuat proposisi tidak boleh membuat proposisi tanpa menyediakan
bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak bisa memberikan bukti
melainkan hanya memberi persetujuan atau penolakannya). Sains dihadapkan pada
kenyataan bahwa ia tidak bisa memberlakukan aturan mainnya secara universal hingga
berhak menilai mana pengetahuan absah dan mana yang tidak. Lyotard yakin bahwa kita
memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati
digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi.
Ketika kita ingin menjelaskan tentang manusia maka kita memiliki berbagai
bidang ilmu, berbagai paradigma, dan prespektif, ini menunjukkan heterogenitas
11
fenomena, pluralitas perspekstif yang menghasilkan polivokalitas., lokalitas pengetahuan
(keanekaragaman wacana).
Perspektivisme tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche digunakan
Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total.
Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal.
Manusia tidak memiliki akses untuk melihat dunia sebagaimana nyatanya, anggapan dan
keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia. Kebutuhan dan keinginan untuk menemukan
kebenaran ilmu pengetahuan, sesungguhnya hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada
wacana (discourse) yang berhasil dan bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan
dan logika yang selalu bersifat profesional dan perspektif.
Pada situasi postmodern ini ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan bukan lagi
untuk penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi lebih pada tujuan
performatif dan nilai-nilai pragmatis.
Dalam pandangan Lyotard relativisme dan kebenaran absolut sama-sama
memiliki kelemahan. Kelemahan pandangan kebenaran absolut-universal adalah karena
pada kenyataannya ilmuwan memiliki keterbatasan ketika menghadapi (meneliti) realitas.
Apalagi kebenara teori juga bersifat tentatif atau propabilitas, sehingga pandangan
bahwa teori bersifat benar secara absolut-universal tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain
perspektivisme mengarahkan kita pada relativisme ilmiah, tetapi relativisme ilmiah ini
tidak identik dengan penolokan akan kebenaran, akan tetapi mengakui kebenaran ilmu
yang relatif, yaitu kebenaran sesuai dengan perspektif/paradigma yang digunakan. Bisa
jadi perspektif tertentu dianggap lebih memilki kesempurnaan dibanding perspektif yang
lain karena lebih akurat, lebih mendekati kebenaran dan lebih berguna
3. Language Games
Jean Francois Lyotard menolak untuk menyususn sebuah cara pandang tunggal
(paradigma tunggal) yang menyatakan tentang adanya berbagai paradigma, perspektif
dalam melihat realitas (dunia). Pandangan modern digantikan dengan postmodern,
singgasana ilmu pengetahuan digantikan oleh hermeneutika (penafsiran) tentang realitas.
Kebenaran ilmu mengacu pada spisifikalitas, historisitas dan linguistikalitas.
12
Sains setelah mengalami krisis legitimasi terbukti bukan lagi pemonopoli
kebenaran tunggal, karena dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya sekedar satu dari
sekian banyak permainan bahasa. Permainan bahasa sains adalah permainan bahasa
denotatif. Aturan main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan harus
disertai bukti dari pihak yang mengajukan pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua
sebagai pihak yang wajib memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti
yang diajukan pihak pertama
Terjadinya pergantian paradigam ilmiah dari mono-paradigma menjadi multi-
paradigma ini dianggap sebagai terjadinya keterputusan epistimologis. Ia kemudian
membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep
Language games yang mengacu pada keanekaragaman penggunaaan bahasa dapam
kehidupan sehari-hari, dimana masing-masing bahasa menggunakan aturannya sendiri-
sendiri.
Konsep permainan bahasa ini merupakan pergeseran dari bahasa sebagai cermin
realitas kepada bahasa sebagai suatu permainan, yang memiliki aturan sebagai berikut :
1. Only denotative (descriptive) statements are scientific. (pernyataan atau proposisi
ilmiah adalah pernyataan denotatif (descriptif).
2. Scientific statements are Quite different from thode (concerned with origins)
constituting the social bond. (Proposisi ilmiah berbeda dengan proposisi yang
menekankan ikatan social atau yang terkait dengan asal-asul).
3. Competence is only required on the part of the sender of scientific massage, not
on the part of the receiver. (kompetensi hanya diperlukan pada pengirim bukan
pada penerima)
4. A Scientific statements only exist within aseries of statements wich are validated
by argument and by proof. (Proposisi ilmiah adalah sekumpulan pertanyaan yang
dapat diuji oleh bukti dan argument).
5. In light of (4) the scientifict language game requires a knowledge of the existing
state of scientifict knowledge. Science no longer requires a narrative for its
legitimation, for the rules of science are immanent in its game (Berkaitan dengan
4 (empat point diatas konsep ini mengharuskan pemahaman tentang situasi
pengetahuan ilmiah yang sedang berlangsung. Untuk legitimasi ilmiah, ilmu
13
pengetahuan tidak memerlukan satu narasi (meta narasi) karena aturan-aturan
ilmiah itu bersifat imanen dalam permainannya (paradigmanya sendiri). (Leche,
1994, sebagaimana dikutip oleh Lubis, 2006)
Lyotard mengembangkan konsep perbedaan difference. Sesuai dengan konsep
pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, ada banyak genres de discours (wacana),
maka postmodern menghargai adanya perbedaan, membuka suara bagi yang lain (the
other), penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah,
seni, politik, dan masyarakat. Penelitian yang bersifat lokal, etnik, menghasilkan
deskripsi atau narasi khas dengan rezim frase dan genre diskursus masing-masing.
4. Antifundasionalisme
Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa
metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang dijadikan fundasi
dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah cacat. Karena itu kita harus
mencoba menghasilkan model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap berbagai bentuk
perbedaan. Hal ini dimungkinkan ketika para intektual menggantikan peran mereka
sebagai legislator kepercayaan kepercayaan menjadi seorang interpreter. Karena itu
Postmodernis lebih menerima metode interpretasi (hermeneutika) dari pada pendekatan
logika/metode linear yang dominan pada era modern.
Antifundasionalisme itu dapat dimengerti sebagai berikut :
1. Antifundasionalis dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa meta
narasi yang dijadikan fundasi dalam modernitas Barat dengan universalitas dan
hak-hak istimewanya adalah cacat. Maka harus ada mode pengetahuan yang lebih
sensitif terhadap perbedaan.
2. Pemberian hak istimewa pada hal-hal yang bersifat lokal dan vernakuler ini
diterjemahkan sebagai seorang demokrat dan populis yang mengharuskan hirarkhi
simbolik dikalangan akademik, intelektual dan seni.
3. Peralihan dari bentuk upaya diskursif ke arah bentuk budaya figural yang tampak
dalam penekanan dan imajinasi visual dan bukan kata-kata, proses primer ego dan
bukan proses skunder, apresiasi dengan cara melibatkan diri bukan mengambil
jarak dengan penonton yang tidak memihak.
14
4. aspek ini ditangkap sebagai fase budaya dangkal postmodern.
Pandangan ini sejalan dengan Anderson yang mengemukakan ciri kaum
postmoernis dengan tidak adanya kemutlakan dalam ilmu pengetahuan dan budaya.
Namun justru mendukung pluralisme dengan menyatakan bahwa kita harus berhadapan
satu sama lain sebagai orang-orang dengan informasi yang berbeda, cerita dan visi-visi
yang berbeda. Postmodern percaya perbedaan dan keanekaragaman tidak akan
menimbulkan konflik dan pertentangan. (Aderson, 1980). Keanekaragaman akan
membuat kehidupan semakin indah asal saja pluralisme dan heterogenitas itu dihadapi
dengan keterbukaan, dialog, solidaritas dan bukan egoisme dan anarkisme kelompok.
Kebebasan memilih paradigma dan metode sejalan dengan anti fundasionalisme
dan postmodernisme. Dalam ilu pengetahuan refleksi tentang teori (metanarasi) dan
antifundasionalisme merupakan hal yang penting dalam ilmu pengetahuan postmodern.
Metateori itu sendiri bersifat antifundasional, karena seluruh teori yang kuat dan lemah
sama-sama berperan dalam kehidupan sosial. Maka metateori bersifat inheren dalam
postmodern.
5. Analisis Kritik Terhadap Pemikiran Lyotard
Jika dilihat dari sisi epistemologis, skala berpikir yang disodorkan oleh teori
postmodernis sangatlah dangkal. Banyak paradoksi yang akan kita dapati dari teori
tersebut, jika dipaksakan pada dataran praksis akan terjadi apa yang disebut dengan
“nihilisme”, kekosongan. Kosong dari prinsip, ideologi, argumentasi rasional, logika
sehat, pemahaman teks, konsep beragama dsb. Menurut keyakinan postmodernisme,
tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang disisi lain, doktrin
mereka, manusia selalu dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Kemudian
bagaimana mungkin manusia akan selalu mengadakan pergolakan, sementara tidak ada
tolok ukur jelas dalam penentuan kebenaran akan pergolakan? Bagaimana mungkin
manusia selalu mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolok ukur
kebenaran berpikir? Bagaimana mungkin manusia bisa beragama, sedang konsep
beragama harus dibarengi dengan keimanan, sementara menurut postmodernis tidak ada
15
keimanan dan keyakinan universal dan permanen? dan masih banyak lagi persoalan-
persoalan yang bisa dimunculkan dari asas-asas dasar postmodernisme.
Salah satu pertanyaan prinsip yang bisa dilontarbalikkan kepada para pendukung
aliran ini adalah : adakah asas-asas postmmodernisme sendiripun bersifat universal atau
permanen? Tentunya berdasar pondasi pemikiran mereka jawabannya negatif, Hal ini
berarti postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (universal dan permanen).
Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas
dan landasannya?. Jika jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu bertentangan dengan
statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu menekankan untuk
mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen. Maka atas
dasar postmodernisme pula seseorang dapat menggugat ke-universal-an dan ke-
permanen-an asas-asasnya yang telah mereka sepakati. Jadi, atas dasar pemikiran
postmodernisme seorang individu dapat menolak postmodernisme, hal itu dikarenakan
postmodernisme tidak meyakini adanya prinsip logika yang jelas dalam menentukan
tolok ukur kebenaran berpikir, relativitas kebenaran. Ini salah satu bukti dari sekian
banyak kerancuan berpikir dalam konsep postmodernisme.
D. KESIMPULAN
Pemikiran Lyotard sebagai postmodern secara umum sejalan dengan pemikiran
para posmodernis lainnya yaitu menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan
(diversity) dari pada persatuan (unity). Antifundasionalis dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan sosial budaya menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fundasi ilmu
pengetahuan, humanisme, sosialisme dan lain-lain, adalah cacat. Untuk itu metode
pengetahuan harus lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan. Peran para intelektual
sebagai legislator kepercayaan digantikan dengan interpreter.
Konsep perbedaan, perspektif, multivokalitas, languge game dan hal-hal yang
bersifat lokal lainnya menjadi perhatian khusus dalam pemikiran postmodern menurut
Lyotard.
Budaya dangkal postmodern sebagai salah satu pengakuan terhadap keterbatasan
ilmuwan dalam menemukan esensi realitas (kebenaran objektif universal). Pandangan
16
esensialisme yang didukung oleh paradigma positivisme dianggap tidak relistik dan tidak
mampu menjelaskan fenomena sosial budaya yang begitu beraneka ragam (heterogen).
Sehingga pemikiran dan konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Dahana, Radhar Panca. 2004 Jejak posmodernisme; pergulatan kaum intelektual
Indonesia. Bandung : Bentang.
Dedi, 2005. Kebenaran tanpa kebenaran. http://dedi-maestro.blogspot.com/2005/10/
kebenaran-tanpa-kebenaran-1.html. diakses tanggal 10 Oktober.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Filsafat Ilmu dan Metodologi Postmodernis. Bogor :
Akademia.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2003. Setelah Kebenaran dan Kepastian dihancurkan Masih
Adakah tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor : Akademia.
Huda, Nurul 2006. Jameson, Posmodernisme, dan Logika Kapitalisme Lanjut. http://
nurulhuda.wordpress.com/2006/11/24/jameson-posmodernisme-kapitalisme/Di
akses tanggal 22 Oktober 2007
http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism
http://www. itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc.
Muchtar Luthfi. 2007. Postmodernisme: Fatamorgana Alam Khayal. http://www.al-
shia.com/html/id/service/maqalat/002.htm.
Stanley J. Grenz. Postmodernisme: Sebuah Pengenalan http://www. sabda.org/
reformed/etos_postmodern, diakses tanggal 06 Okt 2007
Top Related