1
HUBUNGAN ATARA KONSEP KEHARMONISAN
KELUARGA DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS II DI SMA
NEGERI 1 KEJOBONG PURBALINGGA
TAHUN PELAJARAN 2004/2005
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
PUTU PURNARETNA SUKMANTI
NIM. 1314000042
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
2005
2
ABSTRAK
Putu Purnaretna Sukmanti. 2005. Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Konsep Diri Siswa kelas II SMA Negeri 1 Kejobong Tahun Pelajaran 2004/2005. Skripsi. Jurusan Bimbingan dan Konseling. FIP. UNNES.
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Selain itu keluarga juga merupakan fondasi primer bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya. Pembentukan konsep diri seseorang turut ditentukan oleh keluarga sebab seorang individu akan memperlakukan dirinya dan cenderung memilih individu lain yang sekiranya dapat memperlakukan dirinya seperti perlakuan yang diperoleh dalam lingkungan sebelumnya dalam hal ini adalah keluarganya. Berdasarkan uraian tersebut timbul keinginan penulis untuk meneliti tentang : 1) Bagaimanakah profil keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa kelas II SMA Negeri I Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005, dan 2) Adakah hubungan antara keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: 1) Ingin mendapatkan informasi secara objektif tentang keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa kelas II SMA Negeri I Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005, dan 2) Mengetahui hubungan antara keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa.
Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas II SMA Negeri 1 Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005 sebanyak 170 siswa yang terbagi dalam 4 kelas . Sampel diambil secara random sampling sebanyak 43 siswa yang diambil dari tiap-tiap kelas antara 10 – 11 siswa. Variabel yang diteliti ada dua yaitu keharmonisan keluarga sebagai variabel bebas dan konsep diri siswa sebagai variabel terikat. Data diambil dengan skala psikologis. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Hasil analisis deskriptif persentase menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga siswa kelas II SMA Negeri 1 Kejobong purbalingga adalah harmonis dengan persentase 73,7% sedangkan konsep diri siswa termasuk kategori cukup baik dengan persentase 58,5%. Hasil analisis korelasi memperoleh koefisien korelasi 0,672. Pada α = 5% dengan N = 43 diperoleh rtabel = 0,301. Karena rhitung = 0,672 > rtabel = 0,301, yang berarti Ada hubungan antara keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa kelas II di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong Purbalingga.
Berkaitan dengan hasil penelitian ini penulis dapat mengajukan saran antara lain : 1) Bagi para siswa hendaknya menerapkan norma-norma dan aturan-aturan yag dipelajarinya dari orang tua sehingga mampu bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga dalam rangka mendapatkan pengalaman-pengalaman yang baru, belajar memerankan diri sebagai remaja yang dewasa, bergaul secara wajar, mendapatkan kepuasan akan keadaan dirinya dan mampu mengambil sikap dan tindakan yang bertangung jawab, dan 2) Perlunya kerja sama antara guru pembimbing dengan wali kelas untuk memberikan bimbingan dan perhatian terhadap siswa-siswa yang tingkat konsep dirinya kurang baik melalui peningkatan kemampu mengendalikan emosi siswa, meningkatkan kemampuan siswa untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya, mempertegas sikap siswa tentang kondisi saat ini dan harapan masa depannya, menghilangkan perasaan malu siswa yang berlebihan dan meningkatkan kemampuan penyesuaian diri para siswa
BAB I
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam UUSPN Th. 2003 Pasal 3 menyatakan, bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan secara
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Disamping itu juga
pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi
anak. Selain itu keluarga juga merupakan fondasi primer bagi perkembangan
anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk menghabiskan sebagian
besar waktu dalam kehidupannya. Keluarga juga diartikan sebagai suatu
satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang
ditandai adanya kerjasama.
Keluarga dipandang sebagai peletak dasar bagi pembentukan
kepribadian anak. Dalam lingkungan keluarga, anak belajar sebagai makhluk
4
pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan, sehingga anak tumbuh dan
berkembang mencapai kedewasaan. Suasana atau iklim psikologis keluarga
akan tampak dalam hubungan sikap dan perilaku antara kedua orang tua dan
perlakuan orang tua terhadap anak.
Kehidupan dalam keluarga banyak dipengaruhi oleh proses interaksi
dan faktor-faktor tertentu yang memunculkan suatu suasana atau iklim
didalam pola perilaku sehari-hari dengan anggota lainnya di keluarga. Salah
satu faktor tersebut yaitu suasana psikologis yang dirasakan oleh seluruh
anggota keluarga.
Ada beberapa pandangan atau anggapan mengenai keluarga. Menurut
Sigmund Freud dalam (Ahmadi, 1999:95) bahwa keluarga itu terbentuk
karena adanya perkawinan pria dan wanita. Dengan demikian keluarga
merupakan manifesitasi dari pada dorongan seksual suami istri. Sedangkan
Durkheim berpendapat bahwa kelurga adalah lembaga sosial sebagai hasil
faktor-faktor politik, ekonomi dan lingkungan.
Soelaeman (1994:19) menyatakan bahwa secara umum fungsi keluarga
meliputi: pengaturan seksual, reproduksi, sosialisasi, pemeliharaan, penempatan
anak dalam masyarakat, pemuas kebutuhan perseorangan dan kontrol sosial.
Pernyataan diatas mengimplikasikan bahwa suasana iklim yang kondusif
dalam keluarga adalah kebersamaan dan kasih sayang dalam lingkungan
pribadi setiap anggotanya, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan
dalam hal pembentukan sikap dan perilakunya sehari-hari. Sebab dalam
pembentukan dan perkembangan kepribadian masa kanak-kanak dilingkungan
5
keluarga yang kondusif mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pembentukan dasar kepribadian dan identitas, pribadi seseorang.
Perilaku terjadi dalam suasana, situasi, atau, kancah tertentu. Ini berarti
bahwa perilaku tidak dapat dipahami jika terlepas dari konteks, dan
lingkungannya, yaitu arena tempat perilaku tersebut terbentuk dan terjadi.
“Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya" demikian kata sebuah
peribahasa, artinya anak yang dilahirkan dan suatu keluarga tidak sama
dengan anak dari keluarga lain, baik dari sikap maupun perilakunya. Keluarga
sebagai unit terkecil adalah ladang asal mula tumbuh dan berkembangnya
individu.
Sebuah keluarga memiliki nilai-nilai, sikap, harapan-harapan serta
tuntutan-tuntutan terhadap para anggotanya yang tidak selalu sama dengan
keluarga lain, bahkan mungkin tidak sama dengan yang berlaku di sekolah.
Akibatnya tiap keluarga menghasilkan individu yang berbeda-beda. Pola
pendidikan yang tidak terarah, hubungan yang kurang harmonis dengan
sesama anggota keluarga, kurangnya nilai kebersamaan dalam keluarga,
terlalu mengatur dan selalu ingin terlibat dengan kepentingan anak, terlalu
ketat, terlalu bebas dan sebagainya tentunya akan berpengaruh terhadap pola
perilaku anak.
Upaya pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan intelektual siswa tetapi diarahkan pula kepada perwujudan individu
yang mandiri dan memiliki kepribadian yang mantap, mencakup kondisi fisik dan
psikis yang tentunya sangat berpengaruh dalam upaya mengembangkan potensi
belajar dan proses penyesuaian diri siswa di lingkungan sekolahnya. Dengan
demikian pendidikan dapat dipandang sebagai suatu upaya yang berkaitan dengan
6
proses pengembangan dan pembinaan kepribadian manusia kearah yang lebih
potensial.
Proses pengembangan dan pembinaan kepribadian individu tersebut
tentunya berawal dari “di mana lingkungan itu berasal". Lingkungan yang
dianggap penting dalam menumbuhkan atau mempengaruhi kehidupan
individu salah satunya adalah lingkungan keluarga. Sesuai dengan pendapat
Singgih D. Gunarsa (1993: 5) bahwa lingkungan pertama yang memberikan
pengaruh mendalam pada diri adalah lingkungan keluarganya sendiri.
Dalam ruang lingkup keluarga, anak dihadapkan pada tuntutan dan
harapan dari orang tuanya untuk menjadi individu yang mandiri dan
bertanggung jawab, di sisi lain kadang mereka merasa tidak mampu untuk
memenuhi tuntutan tersebut karena keadaan atau suasana dalam keluarganya
yang tidak mendukung atau tidak memberikan perasaan nyaman bagi anak
untuk tumbuh menjadi individu vang mandiri. Sering anak tidak mampu
mengambil suatu keputusan yang penting untuk dirinya sendiri karena
tuntutan dan perlakuan yang diterima dari lingkungan keluarganya. Dalam hal
ini, anak akan memiliki gambaran diri yang positif ataupun negatif tergantung
pada bagaimana cara anak memandang dirinya dan menyerap berbagai pola
perlakuan cara anak memandang dirinya dan menyerap berbagai pola
perlakuan dari lingkungannya. Perlakuan atau sikap dan suasana yang
diterima anak dan lingkungan keluarga tentunya akan membentuk suatu
gambaran diri atau konsep diri bagi anak tersebut dalam upayanya untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan lain. Dalam kenyatannya masih
terdapat kondisi-kondisi yang dirasakan anak sebagai penyebab timbulnya
suatu iklim yang kurang sehat di dalam rumah, sehingga anak merasa tidak
7
berdaya dan memunculkan perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Kondisi atau iklim di dalam rumah yang dirasakan oleh anak akan
terwujud dalam perilaku anak sebagai siswa sehari-hari di sekolah sesuai
dengan gambaran diri yang telah terbentuk oleh lingkungan keluarganya. Bila
iklim di dalam rumah dan keluarganya dirasakan memadai anak akan mampu
belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan memunculkan
gambaran diri yang positif, tetapi sebaliknva jika iklim kehidupan dalam
keluarganya dirasakan anak tidak mendukung, anak diperkirakan akan
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dan memunculkan gambaran
diri yang negatif
Konsep diri adalah gambaran individu itu sendiri berdasarkan titik
pandangnya sendiri. Dengan kata lain konsep diri merupakan pandangan
subyektif individu mengenai keadaan dirinya tentang karakteristik dan
kemampuannya, baik itu pandangan individu tentang dirinya dalam
berhubungan dengan orang lain maupun dengan lingkungannya.
Berkaitan dengan iklim kehidupan keluarga di atas, maka pembentukan
konsep diripun dalam keluarga turut menentukan perilaku anak atau individu.
Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku
individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh
perilaku. Dengan kata lain perilaku individu akan sesuai dengan cara individu
memandang dirinya. Jika ia merasa sebagai orang yang tidak mempunyai
cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya
akan menunjukkan ketidakmampuan tersebut.
8
Konsep diri mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menentukan bagaimana individu itu berperilaku atau bersikap. Jika perlakuan
atau suasana lingkungan membentuk konsep diri yang positif bagi individu,
maka individu akan memperlakukan dirinya dan cenderung memilih individu
lain yang sekiranya dapat memperlakukan dirinya seperti perlakuan yang
diperoleh dalam lingkungan sebelumnya. Begitupan sebaliknya, jika
lingkungan sebelumnya tidak memadai, maka individu cenderung akan
menuntut individu lain untuk memberikan perasaan yang memadai untuk
dirinya. Bila salah satu di antara keduanya dapat terpenuhi, akan dapat
memunculkan suatu gambaran diri atau konsep diri individual yang ideal, bila
tidak terpenuhi diduga akan memunculkan pola sikap atau perilaku individu
yang bertentangan dengan gambaran dirinya. Merasa diri tidak berharga di
lingkungan teman-temannya dapat dialami siswa karena ia merasa tidak
melakukan pekerjaan apapun dengan baik di lingkungan lainnya.
Melihat kenyataan yang ada dan dialami oleh siswa di Sekolah Menengah
Atas Negeri I Kejobong, bahwa siswa dengan keluarga yang harmonis (utuh)
konsep dirinya sudah berbeda dengan siswa yang keluarganya tidak harmonis.
Siswa dengan latar belakang keluarga harmonis, cara bertingkah laku dan
berpandangan selalu positif, seperti mematuhi aturan/ tata tertib yang berlaku di
sekolah, sopan, rajin, menghormati orang lain dan lain-lain. Berbeda dengan
siswa yang berlatar belakang keluarga yang tidak/ kurang harmonis, maka
konsep diri siswa menjadi negatif, yang hal tersebut dapat dilihat dalam setiap
perilakunya, seperti suka memberontak, keinginannya untuk melanggar aturan/
tata tertib sekolah lebih besar. Sikap dalam pergaulannya kasar, kurang bisa
menghormati dan menghargai orang lain, dan sebagainya. Dalam keluarga
9
harmonis biasanya orang tua penuh perhatian, kasih sayang, memberikan waktu
yang cukup untuk anak-anaknya, sehingga tercipta suatu hubungan yang
harmonis dalam keluarga antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga
yang lain. Dengan kondisi keluarga yang harmonis tersebut akan membentuk
konsep diri anak yang positif. Berbeda dengan keluarga yang tidak/ kurang
harmonis, dengan orang tua yang kurang perhatian, kurang kasih sayang serta
tidak memberikan waktu dan kesempatan pada anak-anaknya, maka akan
membentuk anak denagn konsep diri yang negatif. Karena biasanya apa yang
dilakukan dan diperbuat oleh anak adalah sesuai dengan apa yang ia pernah dan
pelajari selama ia tinggal dalam lingkungannya. Sementara lingkungan tempat
belajarnya yang utama dan pertama adalah keluarga, sehingga hasil belajar dari
keluarga yang ia peroleh itulah yang ia terapkan dalam kehidupannya.
Sedangkan hasil belajar dari keluarganya belum tentu keseluruhannya baik,
adapula yang buruk. Maka dari itu suatu keluarga yang harmonis akan
membentuk konsep diri anak menjadi baik, dan sebaliknya keluarga yang tidak/
kurang harmonis akan membentuk konsep diri yang tidak baik pada anak.
Dari latar belakang di atas keharmonisan keluarga sangat berpengaruh
bagi perkembangan anak terutama iklim kehidupan keluarga yang dirasakan
anak, serta kemungkinan munculnya gambaran sikap atau konsep diri yang
positif maupun negatif sebagai dampak dari suasana atau iklim kehidupan
keluarga tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mengadakan
penelitian dengan mencari sejauh mana hubungannya dan merumuskannya ke
dalam penelitian yang berjudul sebagai berikut: HUBUNGAN ANTARA
KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KONSEP DIRI SISWA
10
KELAS II DI SMA NEGERI 1 KEJOBONG PURBALINGGA TAHUN
PELAJARAN 2004/2005.
B. Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah profil keharmonisan keluarga siswa kelas II SMA Negeri I
Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005.
2. Bagaimanakah profil konsep diri siswa kelas II SMA Negeri I Kejobong
Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005.
3. Seberapa besarkah hubungan antara keharmonisan keluarga dengan konsep
diri siswa kelas II SMA Negeri I Kejobong Purbalingga Tahun Palajaran
2004/2005.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai hubungan antara keharmonisan keluarga dan
konsep diri siswa ini bertujuan agar:
1. Mendapatkan informasi secara objektif tentang keharmonisan keluarga
siswa kelas II SMA Negeri I Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran
2004/2005.
2. Mendapatkan informasi secara objektif tentang konsep diri siswa kelas II
SMA Negeri I Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005.
3. Mengetahui hubungan antara keharmonisan keluarga dengan konsep diri
siswa kelas II di SMA Negeri I Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran
2004/2005.
11
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Teoritik
Secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana ilmiah
dalam rangka memperkuat dasar kerangka konseptual strategi
pengembangan bidang pendidikan, khususnya pengembangan pendidikan
dalam bidang bimbingan dan konseling
2. Praktis
a. Bahan pertimbangan dan sumber data bagi pembimbing atau
konselor sekolah agar dapat memberikan layanan bimbingan dan
konseling yang tepat terhadap siswa-siswa yang memiliki kesulitan
dalam menggunakan dan mengembangkan konsep dirinya. Sehingga
siswa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu
menerima keadaan dirinya, mengetahui kelemahan dan kekuatan
dirinya dan dapat mengembangkan potensi diri sesuai dengan
kemampuannya.
b. Bahan rujukan bagi pihak sekolah terutama guru bidang studi
(melalui data yang didapat dan guru pembimbing) untuk lebih
memahami siswa dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di
dalam maupun di luar kelas.
12
c. Bahan rujukan bagi orang tua siswa (melalui konsultasi dengan guru
pembimbing) agar dapat membantu atau menolong siswa tersebut
mengoptimalisasikan dirinya sesuai dengan taraf kemampuannya.
E. Sistematika Skripsi
Dalam penelitian ini disusun sistematika penulisan skripsi sebanyak 5
bab dan uraiannya sebagai berikut:
BAB I, Merupakan Pendahuluan yang mencakup: Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan
Sistematika Skripsi.
BAB II, Berupa Landasan Teori yang memuat teori-teori tentang Hubungan
Antara Keharmonisan Keluarga Dengan Konsep Diri Siswa,
mencakup: Pengertian Keluarga, Fungsi-fungsi Keluarga,
Pengertian Keharmonisan Keluarga, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga, Ciri-ciri Keluarga
Harmonis, Pengertian Konsep Diri, Pembentukan Konsep Diri,
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep Diri,
Hubungan Konsep Diri dan Kepribadian, Ciri-ciri Konsep Diri
Positif dan Konsep Diri Negatif, Hubungan Antara Keharmonisan
Keluarga dan Konsep Diri, Garis Besar Pembuatan Kisi-kisi
Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri serta Hipotesis.
13
BAB III, Metode Penelitian, yang meliputi Populasi dan Sampel Penelitian,
Variabel Penelitian, Alat Pengumpul Data, Validitas dan
Reliabilitas serta Teknik Analisis Data.
BAB IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang penyajian
data secara garis besar kemudian dianalisis, sehingga data yang ada
mempunyai arti.
BAB V, Simpulan dan Saran, bab ini memuat tentang kesimpulan secara
keseluruhan dari pembahasan skripsi, disamping itu juga berisi
saran-saran yang berhubungan dengan masalah skripsi ini.
Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keharmonisan Keluarga
Pengertian Keluarga
Pada hakekatnya, seluruh perilaku manusia bersifat sosial, artinya perilaku
tersebut terbentuk dan dipelajari dari bagaimana individu berinteraksi dengan
individu lainnya. Semua yang dipelajari manusia merupakan hasil hubungan
dengan manusia lainnya. Adanya sifat sosial yang dimiliki oleh masing-masing
manusia, maka secara mutlak manusia dituntut untuk mengadakan ikatan-ikatan
sosial dengan manusia lain.
Salah satu ikatan sosial yang paling dasar adalah keluarga. Keluarga
merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat yang terbentuk dari
suatu hubungan yang tetap untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan
keorang tuaan dan pemeliharaan anak. Keluarga juga merupakan organisasi terbatas
yang di dalamnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang berintegrasi dan
berkomunikasi sehingga dapat terciptanya peranan-peranan sosial bagi anggotanya.
Bouman dalam Sayekti Pujosuwarno (1994: 10) mengemukakan pengertian keluarga
adalah persatuan antara dua orang atau lebih yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan
anak. Terjadinya persatuan ini adalah oleh adanya pertalian perkawinan sehingga ada
saling mengikat berdasarkan perkawinan. St Vembriarto dalam Sayekti Pujosuwarno
(1994: 10) mengemukakan pengertian keluarga yaitu, suatu kelompok dari orang-
orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi.
15
Pada intinya keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil yang
disatukan melalui ikatan-ikatan perkawinan yang menghasilkan peranan-peranan
sosial bagi anggotanya Singgih Dirga Gunarsa (2004: 185) mengemukakan
pengertian keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat yang
peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal
perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian
selanjutnya. Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada keluarga yang ada
dalam masyarakat itu. Apabila seluruh keluarga sudah sejahtera, maka masyarakat
tersebut cenderung akan sejahtera pula.
Mustafa (Ayah Bunda, 1986: 6) mengemukakan mengenai pengertian
keluarga yaitu, bahwa keluarga adalah kesatuan dari pribadi-pribadi yang ada
hubungan karena pernikahan, kelahiran yang berinteraksi dengan tujuan pokok
menciptakan dan memelihara norma-norma kebudayaan dan mendorong
perkembangan fisik, mental dan emosi setiap anggotanya.
Maciver dan Page (Muhamad Isa Soeleman, 1994: 9)menyebutkan bahwa
terdapat lima ciri khas yang menandai adanya suatu keluarga yaitu:
a. Adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis (pria dan wanita)
b. Dikukuhkan oleh suatu pernikahan
c. Adanya pengakuan terhadap anak yang dilahirkan
d. Adanya kehidupan ekonomis yang diselenggarakan bersama
e. Diselenggarakannya kehidupan berumah tangga
Kelima ciri khas keluarga seperti diungkapkan di atas, ternyata membawa
implikasi yang besar dalam penyelenggaraan kehidupan keluarga, baik terhadap
16
fungsi dan peranan keluarga dalam masyarakat maupun fungsi dan peranan
masing-masing keluarga serta pertanggungjawaban yang diemban oleh keluarga.
Sayekti Pujosuwarno (1994: 11) mengemukakan bahwa terdapat empat
unsur yang terkandung dalam keluarga, yaitu:
Keluarga merupakan perserikatan hidup antara manusia yang paling dasar dan
kecil.
Perserikatan itu paling sedikit terdiri dari dua orang dewasa yang berlainan jenis
kelamin.
Perserikatan itu berdasar atas ikatan darah, perkawinan dan adopsi.
Adakalanya keluarga hanya terdiri dari seorang laki-laki saja atau seorang
perempuan saja dengan atau tanpa anak.
Dari beberapa pengertian tersebut diatas, keluarga adalah suatu ikatan
persekutuan atas dasar perkawinan dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri
atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga. Fungsi-fungsi Keluarga
Keluarga sebagai suatu unit yang terkecil dari suatu masyarakat yang dalam
proses kehidupannya harus dapat menjalankan tugas dan fungsinya. Keluarga
mempunyai banyak fungsi dalam proses pelaksanaannya satu sama lain saling
berkaitan, dan fungsi yang satu melengkapi fungsi yang lainnya. Menurut Muhamad
Isa Soeleman (1994: 84-115) terdapat berbagai fungsi keluarga yang harus diterapkan
dalam kehidupan suatu keluarga. Fungsi-fungsi tersebut yaitu: a. Fungsi Edukasi
Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan salah satu tanggung jawab yang harus dipikul oleh
orang tua. Keluarga sebagai salah satu unsur pendidikan merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama bagi anak. Dalam kedudukannya ini, maka wajarlah bila kehidupan keluarga sehari-hari pada
saat tertentu menjadi situasi pendidikan yang dihayati oleh anak-anak, sehingga situasi keluarga akan
mengarah pada tujuan pendidikan.
Pendidikan di dalam keluarga merupakan fondasi yang sangat penting bagi masa depan anggota
keluarga terutama anak. Keluarga yang mempunyai fondasi pendidikan yang kuat akan memberikan
berbagai macam ilmu pengetahuan bagi anggota keluarga (anak) menuju masa depan yang lebih
cerah. Dengan pendidikan yang ada di dalam keluarga akan membantu suatu keluarga untuk menjadi
lebih kondusif, karena didasari oleh pengetahuan dan persepsi yang sama. Jadi pendidikan terhadap
17
anak-anak dalam keluarga akan mempunyai pemahaman terhadap pribadinya sendiri secara lebih
baik.
b. Fungsi Sosialisasi
Tugas keluarga dalam mendidik anak tidak saja mencakup pengembangan individu agar
menjadi yang mantap, akan tetapi pula mempersiapkannya menjadi anngota masyarakat yang
baik. Dalam pelaksanaan fungsi ini, keluarga mempunyai kedudukan sebagai penghubung
antara anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial dengan masyarakat lain. Fungsi
sosialisasi terhadap anak, dilakukan orang tua untuk membantu anak dalam menemukan
tempatnya di kehidupan sosial secara mantap, meliputi penerangan, penyaringan dan
penafsiran ke dalam bahasa yang dapat dimengerti anak.
Di dalam keluarga harus terdapat fungsi sosialisasi, dimana fungsi itu akan menjadi pedoman
bagi anggota keluarga terutama anak-anaknya. Fungsi sosialisasi akan menjadikan anak
menjadi manusia yang berjiwa sosial. Keluarga (orang tua) harus memberikan wawasan
terhadap anak tentang fungsi manusia sebagai mahluk sosial, dimana ia tidak dapat hidup
sendiri. Adanya fungsi sosialisasi yang baik dalam keluarga akan mewujudkan anak
mempunyai pemahaman terhadap konsep dirinya kearah yang lebih baik di dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Fungsi Proteksi atau Fungsi Lindungan
Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada anggota keluarga
terutama anak, sehingga anak mampu mengembangkan dirinya dan menampilkan peranannya,
serta mengenal lingkungannya secara luas. Perlindungan di sini menyangkut perlindungan
fisik, mental maupun moral.
Keluarga (orang tua) harus melindungi kebutuhan jasmani dan rokhani anak-anaknya, agar
anak merasa nyaman di dalam lingkungan keluarganya. Orang tua tidak boleh membiarkan
anak-anaknya merasa terancam atau tidak nyaman didalam keluarga. Hal ini akan
memberikan efek negatif terhadap pribadi anak. Dengan adanya perlindungan yang baik dari
keluarga, anak akan merasa tenang dimana perlindungan yang di dapatnya dari keluarga
(orang tuanya) tidak hanya dirasakan di dalam kehidupan keluarganya saja, tetapi juga dapat
dirasakan sampai ia berada di luar lingkungan keluarganya.
18
d. Fungsi Afeksi atau Fungsi Perasaan
Anak sangat peka terhadap iklim emosional yang terdapat dalam keluarga. Kehangatan yang
terpancar dari seluruh gerakan, ucapan, mimik wajah serta perbuatan orang tua merupakan
bumbu pokok dalam pelaksanaan pendidikan anak dalam keluarga. Hal ini mengandung
implikasi bahwa dalam menghadapi dan bergaul dengan anak, orang tua hendaknya
memahami, mampu menangkap dan turut merasakan apa yang dirasakan anak serta
bagaimana persepsi anak tentang orang tua dan lingkungan tempat anak tinggal.
Fungsi afeksi di dalam keluarga adalah sesama anggota keluarga (orang tua) saling menjaga
perasaan masing-masing anggota keluarga yang lain (anak-anaknya), dengan tidak meluapkan
emosi secara berlebihan, terutama di depan anak, agar perasaannya terjaga. Di dalam keluarga anak
seharusnya dilibatkan di setiap situasi dalam keluarga, seperti memusyawarahkan hal-hal yang
terjadi di dalam keluarga sehingga anak merasa diakui dan dihargai keberadaannya. Adanya
pengakuan terhadap anak di dalam berbagai keadaan akan memberikan pemahaman yang benar
terhadap konsep diri anak, karena konsep diri anak sudah terbentuk sejak anak berada di dalam
keluarganya.
e. Fungsi Religius
Keluarga mempunyai fungsi religius, artinya keluarga berkewajiban untuk memperkenalkan
dan mengajak anak serta anggota keluarga lainnya kepda kehidupan beragama. Tujuannya
bukan sekedar untuk mengetahui kaidah-kaidah agama, melainkan untuk menjadi insan
beragama, sebagai abdi yang sadar akan kedudukannya sebagai makhluk yang diciptakan-
Nya.
Fungsi religius mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan keluarga, karena
fungsi ini memberikan wawasan pengetahuan tentang agama terhadap anak, selain itu agama
merupakan pegangan bagi hidup kita. Fungsi ini harus ditanamkan sejak dini, agar anak lebih
mendalami terhadap agamanya, dan agama dapat membantu individu (anak) sebagai pegangan
hidup di dalam mengarungi kehidupannya. Dengan demikian dalam diri anak akan muncul
kesadaran dalam beragama dan terbentuk suatu sikap untuk melaksanakan kewajibannya
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
f. Fungsi Ekonomi
Merupakan fungsi yang sangat vital dalam berlangsungnya kehidupan tersebut. Dalam
pelaksanaan fungsi ekonomis keluarga terdapat berbagai kemungkinan yang akan menambah
saling pengertian, solidaritas dan tanggung jawab bersama dalam keluarga. Bila dalam
keluarga tidak diimbangi oleh saling pengertian dan kehidupan keluarga yang harmonis, maka
dapat saja timbul ekses yang negatif karena tidak didukung oleh pelaksanaan fungsi ekonomis
yang baik.
19
Fungsi ekonomi berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk mencukupi
kehidupan berumah tangga. Fungsi ini berperan penting untuk menunjang kelangsungan
kehidupan dalam keluarga. Keluarga dengan kebutuhan ekonomi yang cukup akan
memberikan keharmonisan dalam keluarganya, terutama terhadap kebutuhan anak, tetapi
berbeda jika suatu keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan (kurang), dengan keadaan seperti
ini biasanya kehidupan keluarga kurang harmonis, karena ada salah satu fungsi yang tidak
dapat terpenuhi. Dengan ekonomi yang baik akan memberikan bekal kepada anak untuk
mengembangkan dirinya dengan baik, karena kebutuhan anggota keluarga tercukupi. Dengan
adanya hal ini, yaitu kebutuhan yang terpenuhi, menjadikan anak akan mempunyai konsep diri
secara baik terhadap keluarganya.
g. Fungsi Rekreasi
Keluarga memerlukan suasana yang mampu mengakrabkan satu sama lain dan mampu
menghubungkan antar anggota keluarga untuk saling mempercayai, bebas dari ketakutan, bebas dari
beban yang memberatkan dan diwarnai suasana santai, rekreasi memberikan keseimbangan atas
pengeluaran energi yang dikeluarkan setelah melakukan tugas sehari-hari yang rutin bahkan sangat
monoton sehingga menimbulkan kebosanan.
Fungsi rekreasi sangat penting untuk memberikan suasana yang lebih santai namun penuh keakraban
dalam suatu keluarga. Keluarga yang memenuhi fungsi ini secara baik, akan memberikan dukungan
yang baik terhadap anak-anaknya. Dengan demikian adanya fungsi rekreasi yang baik di dalam
kehidupan keluarga akan memberikan pemahaman konsep diri terhadap anak secara baik.
Pengertian Keharmonisan Keluarga
Pengertian keharmonisan menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan
yang selaras atau serasi. Menurut Singgih Dirga Gunarsa (2004: 209) keharmonisan
keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh
berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan
keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental,
emosi dan sosial.
Peranan keluarga merupakan hal yang prinsipil sekali dalam membentuk
kepribadian anak, karena anak lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga tentunya akan memberikan banyak pengalaman bagi anak tersebut yang akan
membawa anak ke dalam pengalaman hidup yang beragam. Dari pengalaman tersebut
anak diharapkan mampu bersosialisasi dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan di
luar keluarganya dengan norma-norma dan aturan-aturan tertentu sehingga anak
mendapatkan pengalaman-pengalaman yang baru, belajar memerankan diri sebagai
remaja yang dewasa, bergaul secara wajar, mendapatkan kepuasan akan keadaan
dirinya dan mampu mengambil sikap dan tindakan yang bertanggung jawab. Untuk
mendapatkan hal tersebut tentunya tak lepas dari dorongan dan peran keluarga terutama
20
keharmonisan keluarga yang dirasakan didalamnya atau orang-orang dewasa yang
memberinya bantuan. Hal tersebut sangatlah penting bagi anak. Seperti yang
diungkapkan oleh B. Simanjuntak dan IL. Pasaribu (1984: 281) bahwa anak tidak akan
mampu untuk membentuk dirinya sendiri tetapi membutuhkan orang lain disekitarnya.
Keluarga dengan segala aspeknya adalah lingkungan pertama yang akan menentukan
peranan lingkungan yang lain. Keluarga memberikan “early homes stimulation” pada
anak membentuk anak dan menempa anak untuk menghadapi lingkungan yang lebih
kompleks, sehingga anak tidak akan jatuh ke dalam pengaruh buruk tetapi mampu
memanfaatkannya untuk pengembangan dirinya.
Mengacu pada pentingnya lingkungan keluarga sebagai lingkungan
pendidikan pertama bagi individu, tentunya akan berhubungan dengan sejauh mana
keharmonisan keluarga di dalamnya tercipta, serta dapat tidaknya memberikan
peluang bagi anak untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya agar
tumbuh dan berkembang secara optimal. Keharmonisan keluarga dapat terlihat dan
tercermin dari sikap dan pandangan akan hidup, kegemaran dan pola kepribadian para
anggota di dalamnya.
Dalam lingkungan keluarga yang demokratis dan permisif, posisi anak
bukanlah sebagai obyek tetapi subyek yang diperlakukan sebagai partner keluarga,
mendapat kesempatan untuk menyatakan diri, dihargai keberadaannya sebagai
individu, diterima kelebihan dan kelemahannya, serta dihormati hak-haknya sebagai
anak di tengah keluarganya. Dalam hal ini, sikap dan perlakuan orang tua yang
cenderung menekan, tentunya hanya akan menimbulkan dampak psikologis yang
merugikan. Sikap dan perlakuan orang tua dalam praktek pengasuhan dan pendidikan
anak sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian dan pribadi anak.
Anak yang diasuh penuh kehangatan akan menumbuhkan pribadi anak yang memadai
dibandingkan dengan anak yang tumbuh dan besar di tengah perlakuan keras dan
“ancaman” orang tuanya. Pendisiplinan seringkali dijadikan alasan bagi orang tua
21
dengan bersikap keras terhadap anak. Akibatnya pesan pendidikan yang ingin
disampaikan tidak dapat diterima anak sebagai pesan melainkan tekanan. Anak yang
mendapatkan curahan kasih sayang dari orang tuanya akan tumbuh menjadi individu
yang memiliki perasaan aman dan kepercayaan diri pada diriya dan orang lain. Situasi
seperti ini akan membentuk anak berani menghadapi dunia luar, sehingga anak dapat
mengembangkan kemampuan dirinya. Jika anak kurang mendapatkan kasih sayang
atau tidak sama sekali mendapatkan rasa aman, cenderung akan memandang dirinya
sebagai individu yang kurang mampu, tidak dihargai, merasa tidak dicintai dan tidak
mampu mencintai orang lain, pesimis, takut, selalu gelisah, dan selalu merasa tidak
bahagia dalam hidupnya. Lingkungan keluarga tampil sebagai penentu paling penting
bagi perkembangan psikologis remaja tersebut. Dan orang tua hendaknya mampu
mengantisipasi konflik pribadi yang dirasakan anak agar tidak berakibat fatal dan
mengantisipasi anak agar tidak mencari kompensasi yang keliru di luar lingkungan
lainnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keluarga Harmonis
Membangun sebuah keluarga yang harmonis adalah tugas yang paling penting
dalam hidup berkeluarga dan memunculkan berbagai permasalahan yang harus
dihadapi keluarga. Untuk itu keluarga yang harmonis harus memiliki konsep diri
didalam menjalankan kehidupan keluarganya.
Konsep diri dalam keharmonisan keluarga akan memberikan jalan yang
terang bagi semua anggota keluarga untuk menuju arah yang ingin dicapainya
oleh anggota keluarga. Untuk itu konsep diri yang jelas akan memudahkan bagi
anggota keluarga untuk meraih semua apa yang menjadi keinginannya atau cita-
citanya.
22
Sulitnya memberikan batasan yang umum, tentang keluarga yang
harmonis maka satu-satunya cara untuk mengukur kebahagiaan keluarga adalah
dengan menggunakan standar keharmonisan keluarga yang telah ditetapkan oleh
beberapa pakar/ ahli. Tentu saja ukuran-ukuran itu harus disesuaikan dengan
kondisi nyata diri sendiri dan tidak dikaitkan dengan ukuran-ukuran orang lain
atau tetangga.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1982: 78) dalam menetapkan ukuran-
ukuran kebahagiaan keluarga itu hendaknya diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Faktor kesejahteraan jiwa
Rendahnya frekuensi pertengkaran atau percekcokan dirumah, saling
mengasihi dan saling membutuhkan serta saling tolong menolong antara
sesama anggota keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan juga harus
memerlukan:
1). Sebuah tata hukum (legal system) disiplin yang adil dan konsisten, berdasarkan aturan-
aturan dan batasan-batasan tertentu.
2). Sebuah tata ekonomi yang memungkinkan anak-anak belajar mendapatkan uang melalui
usaha, belajar menabung dan belajar cara membelanjakan uang mereka dengan baik.
Tradisi kegiatan keluarga yang dapat membangun komunikasi, saling percaya,
dan kebersamaan.pelajaran masing-masing dan sebagainya adalah indikator-
indikator dari adanya jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat. b. Faktor kesehatan fisik
Faktor ini tidak kalah pentingnya dari faktor yang pertama tadi, karena
seringnya anggota yang sakit, banyaknya pengeluaran untuk dokter, obat-
obatan dan rumah sakit, tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya
kesejahteraan keluarga. c. Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga
Tidak semua keluarga beruntung dapat memperoleh penghasilan yang
mencukupi, tetapi tidak jarang pula keluarga-keluarga yang penghasilannya
cukup besar pun mengeluh kekurangan uang, bahkan sampai berhutang kesana
kemari. Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunyai keluarga-keluarga
23
yang bersangkutan merencanakan hidupnya sehingga pengeluaran pun
menjadi tidak terencana.
Keluarga, sebagai sebuah lembaga yang paling mendasar dan paling
penting diantara semua lembaga, juga harus memiliki konsep diri yang jelas, agar
semua anggotanya bisa berbahagia, bersatu dan langgeng.
Menurut Linda dan Richard Eyre(1995: 14) keluarga yang harmonis juga
harus memerlukan:
a. Sebuah tata hukum (legal system) disiplin yang adil dan konsisten,
berdasarkan aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu.
b. Sebuah tata ekonomi yang memungkinkan anak-anak belajar mendapatkan
uang melalui usaha, belajar menabung dan belajar cara membelanjakan uang
mereka dengan baik.
c. Tradisi kegiatan keluarga yang dapat membangun komunikasi, saling percaya
dan kebersamaan.
Ciri- ciri Keluarga Harmonis
Menurut Danuri (Sayekti Pujosuwarno, 1994: 53), mengungkapkan bahwa
keluarga bahagia adalah keluarga yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Adanya ketenangan jiwa yang dilandasi oleh ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
b. Hubungan yang harmonis antara individu yang satu dengan individu yang lain
dalam keluarga dan masyarakat.
c. Terjamin kesehatan jasmani, rohani dan sosial.
d. Cukup sandang, pangan dan papan.
e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia.
f. Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar.
g. Ada jaminan dihari tua, sehingga tidak perlu khawatir terlantar dimasa tua.
h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar.
24
Sedangkan menurut Singgih Dirga Gunarsa (Sayekti Pujo Suwarno, 1994:
53-56), mengungkapkan bahwa yang harus dipenuhi demi tercapainya keluarga
bahagia adalah:
a. Perhatian
Perhatian dapat diartikan sebagai menaruh hati. Menaruh hati pada seluruh
anggota keluarga adalah dasar pokok hubungan yang baik di antara para
anggota keluarga. Menaruh hati terhadap kejadian dan peristiwa yang terjadi
di dalam keluarga, berarti mengikuti dan memperhatikan perkembangan
seluruh keluarganya, lebih jauh lagi orang tua harus mengarahkan
perhatiannya untuk mencari lebih mendalam sebab dan sumber permasalahan
yang terjadi di dalam keluarga dan perlu memperhatikan juga terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap anggota keluarga.
b. Penambahan pengetahuan
Keluarga, baik orang tua maupun anak harus menambah pengetahuan tanpa
henti-hentinya. Di luar rumah mereka harus dapat menarik pelajaran dan inti
dari segala yang dilihat dan dialaminya. Lebih penting lagi ialah usaha
mengetahui mengenai mereka yang dekat yakni seluruh anggota keluarga.
Biasanya kita lebih cenderung untuk memperhatikan kejadian-kejadian di luar
rumah tangga, sehingga kejadian-kejadian di rumah terdesak dengan
kemungkinan timbulnya akibat-akibat yang tidak disangka-sangka, karena
kelalaian kita. Mengetahui setiap perubahan di dalam keluarga dan perubahan
anggota keluarga berarti mengikuti perkembangan setiap anggota.
c. Pengenalan diri
Dengan pengetahuan yang berkembang terus sepanjang hidup, maka usaha-usaha
pengenalan diri akan dapat dicapai. Pengenalan diri setiap anggota berarti juga
25
pengenalan diri sendiri. Anak-anak iasanya elum mengadakan pengenalan diri
dan baru akan mencapainya melalui bimbingan dalam keluarganya, setelah anak
banyak pergi keluar rumah, dimana lingkungan lebih luas, pandangan dan
pengetahuan diri mengenai kemampuan-kemampuan dan sebagainya akan
menambah pengenalan dirinya. Pengenalan diri yang baik akan memupuk pula
pengertian-pengertian.
d. Pengertian
Apabila pengetahuan dan pengenalan diri telah tercapai, maka lebih mudah
menyoroti semua kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di dalam
keluarga. Masalah-masalah lebih mudah diatasi apabila latar belakang
kejadian dapat cepat terungkap. Dengan adanya pengertian dari setiap anggota
keluarga, maka akan mengurangi timbulnya masalah-masalah di dalam
keluarga.
e. Penerimaan
Sikap menerima setiap anggota keluarga seagai langkah kelanjutan pengertian,
berarti dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihannya, ia seharusnya
mendapat tempat di dalam keluarga. Setiap orang harus yakin ahwa ia
sungguh diterima dan merupakan anggota penuh dari keluarganya. Setiap
anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya, sealiknya anak harus
menunaikan tugas dan kewajiban sebagai anak terhadap orang tuanya. Setiap
hak harus diikuti kewajiban. Menerima hal-hal atau kekuranagn yang tidak
mudah diubah sulit, maka setiap menerima terhadap kekurangan itu sangat
perlu agar supaya tidak menimbulkan kekesalan yang kronis. Kekecewaan
26
yang disebabkan kegagalan, dapat merusak suasana keluarga dan
mempengaruhi perkembangan-perkembangan lainnya.
f. Peningkatan usaha
Peningkatan usaha perlu dilakukan dengan mengembangkan setiap aspek dari
anggotanya secara optimal. Peningkatan usaha ini perlu agar tidak terjadi
keadaan yang statis dan membosankan. Peningkatan usaha disesuaikan dengan
setiap kemampuan baik materi dari pribadinya sendiri maupun kondisi
lainnya. Sebagai hasil peningkatan usaha tentu akan timbul prubahan-
perubahan lagi.
g. Penyesuaian
Penyesuaian harus mengikuti setiap perubahan baik dari pihak orang tua maupun
anak. Penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang dialami oleh dirinya
sendiri, misalnya akibat perkembangan biologis. Penyesuaian meliputi
penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diri sendiri, perubahan diri anggota
keluarga lainnya dan perubahan-perubahan di luar keluarga.
Hasan Basri (1994: 85-103) mengungkapkan beberapa ciri dari keluarga
yang harmonis/ keharmonisan keluarga, yaitu:
a. Dasar-dasar hubungan yang efektif
Kelahiran makhluk baru di permukaan bumi ini mudah-mudahan adalah
merupakan buah dari perasaan cinta dan kasih sayang di antara kedua orang
tuanya. Perasaan yang penuh keindahan dan keluhuran itu hendaknya masih
kuat berkelanjutan dalam keseluruhan proses pendidikan dan kehidupan anak
selanjutnya.
Kasih sayang dan kemesraan yang berkembang dalam kehidupan suami-isteri
dan kemudian membuahkan kelahiran tunas-tunas baru dalam keluarga dan
masyarakat serta bangsa, akan disambut dengan penuh kasih sayang. Dasar
kasih sayang yang murni akan sangat membantu perkembangan dan
pertumbuhan anak-anak dalam kehidupan selanjutnya. Perpaduan kasih ayah
sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang jalan akan membuahkan anak-anak
yang berkembang sehat lahir dan batin serta berbahagia dan sejahtera.
27
Kepribadian yang utuh dan teguh yang berbuah dalam tingkah laku yang baik
dan normatif akan sangat bermanfaat dijadikan bekal anak dalam mengarungi
lautan kehidupan selanjutnya.
Sebenarnya pelaksanaan pendidikan dan pengajaran terhadap anak yang
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang adalah
merupakan pemenuhan kewajiban agama dalam kehidupan manusia. Memang
ajaran agama yang mengajarkan dan kewajiban manusia agar bersungguh-
sungguh dalam mendidik anak dan mengasuh anak dengan penuh kasih
sayang dan tanggung jawab. Ajaran agama dengan tuntutan akhlak dan ibadah
serta aqidah jika dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh akan mampu
menghasilkan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak yang saleh dan
cukup membahagiakan kehidupan keluarga.
b. Hubungan anak-anak dengan orang tua
Sejak anak-anak dilahirkan di dunia ketergantungan anak-anak terhadap kedua
orang tua sangat besar. Dengan penuh kasih sayang kedua orang tuanya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya yang masih belum berdaya.
Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang
didasari oleh kasih sayang yang tulus, menyebabkan anak-anaknya akan
mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia pada umumnya, ialah
kegiatan yang bersifat individual, sosial dan kegiatan keagamaan.
c. Hubungan anak remaja dengan orang tua
Remaja pada umumnya sedang mengalami perubahan dan pertumbuhan yang
pesat dalam kehidupannya. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan yang begitu
pesat dan perkembangan mental yang cukup membingungkan mereka. Pikiran,
perasaan, perasaan tanggung jawab, kemauan dan nilai-nilai kehidupan
memang sedang mengalami perkembangan dan kematangan menuju taraf
kemasakan atau kedewasaannya.
Masa remaja adalah masa peralihan anak meninggalkan masa kanak-kanak
yang penuh dengan kemauan bermain dan akan memasuki masa dewasa yang
memerlukan perasaan bertanggung jawab yang maksimal.
Bermacam-macam permasalahn yang khas remaja dialami oleh sementara
anak-anak remaja, baik yang berhubungan dengan kondisi biologis, psikis,
sosial dan kebingungan terhadap keadaan dirinya sendiri. Semua
permasalahan tersebut disebakan perubahan-perubahan fisik-biologis, nilai-
nilai kehidupan yang belum sempurna diketahui serta mungkin pula karena
kurangnya upaya persiapan kedua orang tuanya dalam mengantarkan ke alam
remaja yang penuh pertanyaan dan kebingungan.
d. Memelihara komunikasi dalam keluarga
Hasil penelitian ahli psikologi dan sosiologi menunjukkan bahwa kurang
lancarnya komunikasi dalam kehidupan keluarga merupakan salah satu
penyebab timbul dan berkembangnya beberapa permasalahan yang gawat
dalam keluarga. Permasalahan-permasalahan dalam bidang keuangan, seks,
pendidikan anak-anak, anggota keluarga, hasrat menambah atau mengganti
28
alat-alat rumah tangga, jika ada keperluan di luar rumah, dan sebagainya
sangat perlu dikemukakan secara terbuka dengan yang lain, terutama antara
suami-isteri.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga ataupun dalam kehidupan
bermasyarakat sangatlah perlu bersikap jujur dan belajar untuk
mengembangkan diri terutama dalam hal kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain. Kemampuan berkomunikasi dalam kehidupan akan memberikan
beberapa keuntungan, antara lain:
1). Mampu menyampaikan ide/ pikiran kepada orang lain,
2). Mampu memahami pendapat orang lain,
3). Terpenuhi sesuatu keinginan yang didambakan,
4). Terhindar dari sesuatu kerugian/ kemalangan yang tidak dikehendaki,
5). Menambah taraf pengertian orang lain tentang diri kita sehingga
berpengaruh terhadap nilai persahabatan yang telah lama terbentuk,
6). Beban pikiran dan perasaan dapat dibebaskan sehingga dapat menambah taraf
kebahagiaan dalam kehidupan, dan
7). Persahabatan semakin luas, kebahagiaan semakin bertambah.
Dalam kehidupan keluarga seseorang individu perlu selalu belajar
meningkatkan dirinya, terutama dalam dua hal, yaitu:
1). Mampu mendengarkan pembicaraan yang lain dengan baik,
2). Mampu memahami pengertian yang terdapat pada keseluruhan
pembicaraan orang lain, dan
3). Mampu melahirkan pendapat dengan baik dan tepat tanpa menyinggung
perasaan orang lain.
Komunikasi dalam keluarga sebaiknya selalu memperhatikan nada dan irama
dalam kesopanan tanpa emosi yang tak terkendalikan. Kondisi yang demikian
hanya mungkin dicapai jika niat/ maksud mengadakan komunikasi adalah
untuk kebaikan, kasih sayang dan kebahagiaan dalam kehidupan keluarga.
Tentu saja bagaimana ekspresi wajah dan anggota badan selalu dalam keadaan
yang terkendali baik.
29
Kesalahan-kesalahan yang umum dilakukan orang dalam berkomunikasi ialah
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1). Tergesa-gesa memberikan jawaban sebelum maksud lawan bicara
dipahami dengan sebaik-baiknya,
2). Menyerang pribadi lawan bicara,
3). Melukai perasaan lawan bicara,
4). Suka menyalahkan pendapat orang lain dengan cara yang tidak bijaksana,
5). Terlalu mudah berprasangka atau menerka pendapat orang lain,
6). Bersikap sok tahu tentang sesuatu yang akan dikemukakan oleh lawan
bicara, dan
7). Kurang memperhatikan waktu, tempat, dan pemilihan kata-kata dalam
ungkapan yang tepat.
Dalam kegiatan berkomunikasi tidak selamanya dilaksanakan dengan lisan,
bahkan dengan pandangan atau tatapan muka yang mesra, elusan tangan yang
lembut dan gerakan-gerakan anggota badan yang dilakukan dengan tepat dan
ekspresif sering akan memberikan hasil yang cukup menggembirakan dan
mengesankan.
Orang tua yang bijaksana selalu tepat mempergunakan kesempatan yang
baik untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sebaliknya merupakan saat yang
kurang tepat jika anak-anak sedang menghadapi tamu atau orang-orang lain yang
dihormatinya, sedang makan, sedang akan istirahat, sedang belajar menghadapi
setumpuk tugas sekolah atau PR, atau mungkin jika anak sedang tergesa-gesa
akan berangkat ke sekolah, dan sebagainya. Dalam kondisi yang demikian
biasanya hasil komunikasi yang dilakukan kurang mampu memberikan hasil yang
memuaskan semua pihak.
Lancar tidaknya hubunagn orang tua dengan anak-anaknya merupakan salah
satu landasan bagi terciptanya kebahagiaan hidup dalam keluarga. Orang tua sebagai
30
soko guru keluarga sangatlah perlu mengupayakan agar sendi-sendi yang pokok
dalam menciptakan suasana dan hubungan yang lancar dan berbahagia selalu
diusahakan dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Hubungan dalam keluarga
yang lancar dan berbahagia akan memberikan dampak yang luas dalam kehidupan
keluarga, seperti: keutuhan keluarga, kasih sayang dan tanggung jawab yang semakin
bertambah besar, prestasi belajar anak-anak yang semakin membaik, taraf kesehatan
mental keluarga, semangat kerja suami dan isteri dalam memenuhi hajat hidup
keluarga, pergaulan sosial, kepuasaan hubungan suami-isteri, hubungan
emosional warga keluarga yang semakin kuat, taraf kemampuan dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan keluarga dan kehidupan pada umumnya.
Agar hubungan dalam keluarga dapat berjalan dengan baik usahakanlah selalu
berkomunikasi dengan lancar tanpa ada sedikit pun hambatan-hambatan dalam
pikiran dan perasaan.
B. Konsep diri
1. Pengertian Konsep Diri
Definisi konsep diri menurut para tokoh sangat beragam artinya. Rochman
Natawidjaya (1979: 102) menjelaskan bahwa “konsep diri adalah persepsi
individu tentang dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, tabiat-tabiatnya,
harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain”.
Konsep diri juga merupakan “gambaran mental diri sendiri yang terdiri
dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan diri dan penilaian terhadap diri
sendiri” (James F Calhoun, 1995: 90). Pengertian konsep diri menurut Jalaludin
Rahmat (1996: 125) yaitu “Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita,
persepsi ini boleh bersifat psikologis, sosial dan psikis. Konsep diri bukan hanya
31
gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita”. Pengertian konsep diri dalam
istilah umum mengacu pada persepsi seseorang mengenai dirinya sendiri. Persepsi ini
terbentuk melalui kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan pengalaman-
penglaman dan persepsi-persepsi terutama dipengaruhi oleh reward dan punishment
yang diberikan oleh seseorang yang berarti dalam kehidupannya.
Menurut Hurlock (1994) yang dimaksud konsep diri adalah kesan (image)
individu mengenai karakteristik dirinya, yang mencakup karakteristik fisik, sosial,
emosional, aspirasi dan achievement. Clara R Pudjijogyanti (1995: 2) berpendapat
bahwa konsep diri merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah seseorang
akan berperilaku negatif atau tidak, sebab perilaku negatif merupakan perwujudan
adanya gangguan dalam usaha pencapaian harga diri. Apabila seseorang remaja gagal
dalam pencapaian harga diri, maka ia akan merasa kecewa terhadap keadaan diri dan
lingkungannya. Ia akan memandang dirinya dengan sikap negatif, sebaliknya apabila
seorang remaja berhasil dalam mencapai harga dirinya, maka ia akan merasa puas
dengan dirinya maupun terhadap lingkungannya. Hal ini akan membuat ia bersikap
positif terhadap dirinya.
Persepsi mengenai tindakan yang mempengaruhi cara atau pandangan
hidup, sehingga suatu pemahaman mengenai konsep diri seseorang merupakan
dasar yang sangat berguna untuk meramalkan bagaimana seseorang itu akan
bertindak.
Ada tiga alasan pentingnya konsep diri dalam menentukan perilaku seperti
yang diungkapkan Clara R Pudjijogyanti (1995: 5):
a. Konsep diri mempunyai peranan dalam mempertahankan keseluruhan batin. Apabila timbul
perasaan, pikiran dan persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan satu sama lain, maka
akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menyeimbangkan dan
menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilakunya.
b. Seluruh sikap, pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi individu dalam
menafsirkan pengalamannya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan berbeda antara individu yang
satu dengan individu lainnya dikarenakan masing-masing individu mempunyai sikap dan
pandangan yang berbeda terhadap dirinya.
32
c. Konsep diri menentukan pengharapan individu. Pengharapan ini merupakan inti dari konsep
diri. Sikap dan pandangan negatif terhadap kemampuan diri akan menyebabkan individu tidak
mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang.
2. Pembentukan Konsep Diri
Joan Rais dalam Singgih Dirga Gunarsa (2003: 237-240) mengungkapkan
bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap-
sikap orang lain terhadap dirinya. Pada seorang anak, ia mulai belajar berpikir dan
merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain daloam
lingkungannya, misalnya orang tuanya, gurunya ataupun teman-temannya.
Sehingga apabila seorang guru mengatakan secara terus menerus pada seorang
anak muridnya bahwa ia kurang mampu, maka lama kelamaan anak akan
mempunyai konsep diri semacam itu.
Pada dasarnya konsep diri tersusun atas tahapan-tahapan, yang paling
dasar adalah konsep diri primer, di mana konsep ini terbentuk atas dasar
pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan rumahnya
sendiri. Pengalaman-pengalaman yang berbeda yang ia terima melalui anggota
rumah, dari orang tua, nenek, paman ataupun misalnya saudara-saudara
sekandung yang lainnya. Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari
perbandingan antara dirinya dengan saudara-saudara yang lainnya. Sedang konsep
tentang bagaimana perannya, aspirasi-aspirasinya ataupun tanggungjawabnya
dalam kehidupan ini, banyak ditentukan atas dasar didikan ataupun tekanan-
tekanan yang datang dari orang tuanya. Setelah anak bertambah besar, ia
mempunyai hubungan yang lebih luas daripada hanya sekedar hubungan
dalam lingkungan keluarganya. Ia mempunyai lebih banyak teman, lebih
banyak kenalan dan sebagai akibatnya ia mempunyai lebih banyak pengalaman.
33
Akhirnya anak akan memperoleh konsep diri yang baru dan berbeda dari apa yang
sudah terbentuk dalam lingkungan rumahnya, dan menghasilkan suatu konsep diri
sekunder.
Konsep diri sekunder terbentuk banyak ditentukan oleh bagaimana konsep
diri primernya. Apabila konsep diri primer yang dipunyai seseorang adalah bahwa
ia tergolong seagai orang yang pendiam, penurut, tidak nakal atau tidak suka
untuk mambuat suatu keributan-keributan, maka ia akan cenderung pula memilih
teman bermain yang sesuai dengan konsep diri yang sudah dipunyainya itu dan
teman-teman arunya itulah yang nantinya menunjang terentuknya konsep diri
sekunder.
Maslow (1970: 69-80) mengemukakan lima buah teorinya mengenai
kebutuhan-kebutuhan individu yang akan mempengaruhi perilakunya. Lima
klasifikasi tersebut dengan istilah “hierarchy of needs” yang terdiri dari:
a. The psycological needs, yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis misalnya makan, minum dan
lain sebagainya.
b. The safety needs, yaitu kebutuhan akan rasa aman, tenang, dilindungi dan bebas dari rasa
takut.
c. The belonginess and love needs, yaitu kebutuhan akan perasaan atau afeksi dalam
berhubungan dengan orang lain, perasaan memiliki dan di sayangi serta dicintai.
d. The esteem needs, yaitu kebutuhan akan harga diri, prestise dan prestasi, status, perasaan
berguna dan menghargai sesama.
e. The needs for self actualization, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
Di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut, setiap individu menunjukkan
bentuk perilaku yang berbeda-beda dan tertentu. Bentuk perilaku tersebut dilakukan
secara berulang-ulang dan akhirnya menjadi karakteristik dirinya yang disebut dengan
sifat. Sifat-sifat tersebut kemudian akan terorganisir dalam suatu bentuk karakteristik
yang unik dan khas dari kebiasaannya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukkan Konsep Diri
34
Konsep diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang
dipelajari dan dibentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan
individu lain. Setiap individu itu akan menerima tanggapan-tanggapan. Tanggapan-
tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin menilai dan memandang
dirinya.
Orang yang pertama kali dikenal oleh individu adalah orang tua dan anggota
yang ada dalam keluarga. Setelah individu mampu melepaskan diri dari
ketergantungannya dengan keluarga, ia akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih
luas sehingga akan membentuk suatu gambaran diri dalam individu tersebut.
Terbentuknya konsep diri seseorang berasal dari interaksinya dengan orang lain GH
Mead (Clara R Pudijogyanti, 1995: 12) mengatakan bahwa:
Konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses
internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman
psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan
refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting disekitarnya.
Individu semenjak lahir dan mulai tumbuh mula-mula mengenal dirinya
dengan mengenal dahulu orang lain. Saat kita masih kecil, orang penting yang
berada disekitar kita adalah orang tua dan saudara-saudara. Bagaimana orang lain
mengenal kita, akan membentuk konsep diri kita, konsep diri dapat terbentuk
karena berbagai faktor baik dari faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor
tersebut menjadi lebih spesifik lagi dan akan berkaitan erat sekali dengan konsep
diri yang akan dikembangkan oleh individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri tersebut yaitu:
a. Keadaan fisik
Keadaan fisik seseorang dapat mempengaruhi individu dalam menumbuhkan konsep dirinya. Individu
yang memiliki cacat tubuh cenderung memiliki kelemahan-kelemahan tertentu dalam memandang
keadaan dirinya, seperti munculnya perasaan malu, minder, tidak berharga dan perasaan ganjil karena
melihat dirinya berbeda dengan orang lain.
b. Kondisi keluarga
35
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam membentuk konsep diri anak. Perlakuan-
perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak akan membekas hingga anak menjelang dewasa
dan membawa pengaruh terhadap konsep diri anak baik konsep diri ke arah positif atau ke arah
negatif. Cooper Smith dalam Clara R Pudjijogyanti (1995: 30-31) menjelaskan bahwa kondisi
keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah. Yang dimaksud
dengan kondisi keluarga yang buruk adalah tidak adanya pengertian antara orang tua dan anak,
tidak adanya keserasian hubungan antara ayah dan ibu, orang tua yang menikah lagi, serta
kurangnya sikap menerima dari orang tua terhadap keberadaan anak-anak. Sedangkan
kondisi keluarga yang baik dapat ditandai dengan adanya intregitas dan tenggang rasa yang tinggi
serta sikap positif dari anggota keluarga. Adanya kondisi semacam itu menyebabkan anak
memandang orang tua sebagai figur yang berhasil dan menganggap orang tua dapat dipercaya
sebagai tokoh yang dapat mendukung dirinya dalam memecahkan seluruh persoalan hidupnya.
Jadi kondisi keluarga yang sehat dapat membuat anak menjadi lebih tegas, efektif, serta percaya
diri dalam mengatasi masalah kehidupan dirinya sebagai pembentuk kepribadiannya.
c. Reaksi orang lain terhadap individu
Dalam kehidupan sehari-hari, orang akan memandang individu sesuai dengan pola perilaku
yang ditunjukkan individu itu sendiri. Harry Stack Sullivan (Jalaludin Rakhmat, 1996: 101)
menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri
kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila
orang lain selalu meremehkan diri kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita cenderung
akan membenci diri kita.
d. Tuntutan orang tua terhadap anak
Pada umumnya orang tua selalu menuntut anak untuk menjadi individu yang sangat
diharapkan oleh mereka. Tuntutan yang dirasakan anak akan dianggap sebagai tekanan dan
hambatan jika tuntutan tersebut ternyata tidak dapat dipenuhi oleh anak. Selain itu sikap orang
tua yang berlebihan dalam melindungi anak akan menyebabkan anak tidak dapat berkembang
dan mengakibatkan anak menjadi kurang tingkat percaya dirinya dan memiliki konsep diri
yang rendah.
36
e. Jenis kelamin, ras dan status sosial ekonomi
Konsep diri dapat dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut. Clara R Pudjijogyanti (1995: 29)
memberikan pendapatnya melalui penelitian-penelitian para ahli bahwa berbagai hasil
penelitian yang dilakukan tersebut membuktikan bahwa kelompok ras minoritas dan
kelompok sosial ekonomi rendah cenderung mempunyai konsep diri yang rendah
dibandingkan dengan kelompok ras mayoritas dan kelompok sosial ekonomi tinggi, selain itu
untuk jenis kelamin terdapat perbedaan konsep diri antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan mempunyai sumber konsep diri yang bersumber dari keadaan fisik dan popularitas
dirinya, sedangkan konsep diri laki-laki bersumber dari agresifitas dan kekuatan dirinya.
Dengan kata lain, wanita akan bersandar pada citra kewanitaannya dan laki-laki akan
bersandar pada citra kelaki-lakiannya dalam membentuk konsep dirinya masing-masing.
f. Keberhasilan dan kegagalan
Konsep diri dapat juga dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan yang telah dialaminya.
Keberhasilan dan kegagalan mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosialnya dan ini berarti
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap konsep dirinya. Keberhasilan akan mewujudkan
suatu perasaan bangga dan puas akan hasil yang telah dicapai dan sebaliknya rasa frustasi bila
menjadi gagal.
g. Orang-orang yang dekat dengan kita
Tidak semua individu mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling
berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan kita, yaitu yang disebut significant others,
yaitu orang lain yang sangat penting. Mereka adalah orang tua, saudara dan orang yang tinggal satu
rumah dengan kita. Dari mereka secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman,
pujian, penghargaan, pelukan mereka menyebabkan kita menilai diri secara positif. Tetapi ejekan,
cemoohan, hardikan membuat kita menilai memandang diri secara negatif.
Dalam dimensi perkembangan, significant others meliputi semua orang
yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita. Mereka mengarahkan
tindakan kita, membentuk pikiran dan menyentuh kita secara emosional. Ketika
37
kita tumbuh dewasa kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang
pernah berhubungan dengan kita. Pandangan diri kita tentang keseluruhan
pandangan orang lain terhadap kita disebut “generalized others”. Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas, daapt disimpulkan bahwa konsep diri tersebut
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik itu faktor dari dalam individu itu
sendiri seperti keadaan fisik, keadaan keluarga, persepsi orang terhadap diri kita,
tuntutan orang tua terhadap anak, orang-orang yang dekat dalam lingkungan kita,
dan persepsinya terhadap keberhasilan dan kegagalan.
4. Jenis Konsep Diri
Konsep diri menurut James F Calhoun dan Joan Ross Acocella (1995: 72-
74) jenisnya ada 2 yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif.
a. Konsep diri negatif
Muncul karena pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur. Dia
tidak tahu apa kekuatan dan kelemahannya/ apa yang dia hargai dalam hidupnya dan juga
konsep diri yang terlalu teratur dengan kata lain kaku. Hal ini terjadi mungkin karena di didik
dengan sangat keras sehingga individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan
adanya penyimpangan dari hukum yang keras dan kaku yang dalam pikirannya merupakan cara
hidup yang tepat. Dalam kaitannya dengan penilaian diri, konsep diri yang negatif merupakan
penilaian negatif terhadap diri sendiri. Apapun yang diperoleh tampaknya tidak berharga
dibandingkan dengan apa yang diperoleh orang lain. Jadi ciri konsep diri yang negatif adalah
pengetahuan yang tidak tepat tentang diri sendiri, harapan yang tidak realistis dan harga diri
yang rendah.
Ciri orang yang memiliki konsep diri negatif adalah:
1). Individu mudah untuk marah dan naik pitam serta tahan terhadap kritikan yang
diterimanya.
2). Individu responsif sekali terhadap pujian yang diberikan oleh orang lain pada dirinya.
3). Individu tidak pandai dan tidak sanggup untuk mengungkapkan penghargaan/ pengakuan
kelebihan yang dimiliki oleh orang lain.
4). Individu cenderung merasa tidak disenangi olah orang lain.
5). Individu bersikap pesimis terhadap kompetisi, keengganannya untuk bersaing dengan
orang lain dalam membuat prestasi (Jalaludin Rahmat, 1996: 105).
b. Konsep diri positif
38
Orang dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Konsep diri positif cukup luas untuk menampung seluruh
pengalaman seseorang, maka penilaian tentang dirinya sendiri secara apa adanya. Hal ini tidak berarti
bahwa dia tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri. Dengan menerima dirinya sendiri, dia juga
dapat menerima orang lain. Orang dengan konsep diri positif akan mempunyai harapan dan
merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan dirinya dan realistis. Artinya memiliki kemungkinan
besar untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
Ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif adalah:
1). Dapat menerima dan mengenal dirinya dengan baik
2). Dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri baik itu informasi yang positif
maupun yang negatif. Jadi mereka dapat memahami dan menerima fakta yang bermaca-
macam tentang dirinya.
3). Dapat menyerap pengalaman masalahnya.
4). Apabila mereka memiliki pengharapan selalu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan
realistis.
5). Selalu memiliki ide yang diberikannya pada kehidupannya dan bagaimana seharusnya
dirinya mendekati dunia.
6). Individu meyadari bahwa tiap orang memiliki perasaan, keingimana dan perilaku yang
tidak seharusnya disetujui oleh masyarakat (James F Calhoun, 1995: 72-74)
5. Ciri-ciri Konsep Diri
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam lingkungan
sosial, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep
dirinya. Seseorang berusaha hidup sesuai dengan label yang ia lekatkan pada
dirinya.
Kesuksesan seseorang banyak bergantung pada kualitas konsep diri orang
tersebut baik positif atau negatif. Menurut William D Brooks dan Phili Emmert
(Jalaludin Rakhmat, 1996: 105) ada lima tanda orang yang memiliki konsep diri
negatif yaitu: a. Peka terhadap kritik, orang ini sangat tidak tahan terhadap kritik yang diterimanya dan mudah
marah atau cepat naik pitam;
b. Responsif sekali terhadap pujian, walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia
tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Orang-orang
39
seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat
perhatiannya bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian.
c. Hiperkritis terhadap orang lain. Orang yang memiliki konsep diri yang negatif cenderung
selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan
tidak sanggup mengungkap atau pengakuan pada kelebihan orang lain.
d. Merasa tidak di senangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi
pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban
persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya
sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.
e. Pesimis terhadap kompetensi, keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam
membuat prestasi.
Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima
hal: a. Ia yakin kemampuannya mengatasi masalah
b. Ia merasa setara dengan orang lain
c. Ia menerima pujian tanpa rasa malu
d. Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang
tidak seluruhnya disetujui masyarakat
e. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang
tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
E Hamachek (Jalaludin Rakhmat, 1996: 106), menyebutkan sebelas
karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif: a. Meyakini nilai dan prinsip tertentu, dan bersedia mempertahankannya
b. Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan
atau menyesali jika orang lain tidak setuju.
c. Tidak menghabiskan waktu untuk mencemaskan apa yang terjadi besok, yang terjadi waktu
lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
d. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia
menghadapi kegagalan atau kemunduran.
e. Merasa sama walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu
40
f. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, tidak
terlalu merendahkan dirinya.
g. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa
merasa bersalah.
h. Cenderung menolak usaha orang lain mendominasinya
i. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan
keinginan atau ungkapan emosionalnya.
j. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan,
permainan dan segala hal.
k. Peka pada kebutuhan orang lain, tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang
lain.
6. Isi Konsep Diri
Isi dari konsep diri tidaklah mudah dirumuskan secara tepat. Hal ini disebabkan karena isi
konsep diri sifatnya relatif, artinya isi konsep diri selalu berkembang sesuai dengan tingkatan usia.
Terbentuknya konsep diri antara lain ditentukan oleh internalisasi pengalaman sebagai hasil dari
internalisasinya dengan orang lain dalam kehidupan masyarakat, namun demikian secara umum isi
dari konsep diri antara lain:
a. Karakteristik fisik
Konsep diri yang berhubungan dengan karakteristik
b. Penampilan
c. Kesahatan dan kondisi fisik
Konsep diri yang berhubungan dengan kesehatan dan kondisi fisik anak
d. Sekolah dan pelajaran sekolah
Konsep diri anak yang berhubungan dengan kegiatan sekolah dan pelajaran sekolah
e. Status intelektual
Konsep diri yang berhubungan dengan status intelektual anak
f. Sikap dan hubungan sosial
Konsep diri anak yang berhubungan dengan bagaimana interaksi sosial anak
g. Rumah dan hubungan keluarga
41
Isi konsep diri anak yang berhubungan dengan interaksi anak dalam lingkungan rumah
h. Kecerdasan
Konsep Diri yang berhubungan dengan status sosial anak
7. Dimensi Konsep Diri
Konsep diri adalah pandangan diri sendiri tentang diri sendiri. Konsep diri
menurut James F Calhoun dan Joan Ross Acocella (1995: 67-73) memiliki 3
dimensi yaitu:
Pengetahuan
Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang diketahui tentang diri
sendiri. Dalam benak seseorang ada satu daftar julukan yang menggambarkan
diri seseorang, seperti: usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan dan
lain sebagainya. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan diri sendiri
dengan orang lain.
Harapan
Pada saat individu mempunyai pandangan tentang siapa dirinya, ia juga
mempunyai pandangan lain yaitu tentang kemungkinan menjadi apa dimasa
yang akan datang. Apapun harapan/ tujuan seseorang akan membangkitkan
kekuatan yang mendorong menuju masa depan.
Penilaian
Individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya setiap hari untuk
mengukur apakah bertentangan dengan harapannya. Hasil pengukuran tersebut
disebut rasa harga diri, yang pada dasarnya berarti seberapa besar menyukai
diri sendiri.
42
C. Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri
Anak
Anak lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga. Dari lingkungan keluarga anak mendapatkan banyak
pengalaman dan akan membawa anak ke dalam pengalaman
hidup yang beragam. Dari pengalaman tersebut anak mampu
bersosialisasi dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan di
luar keluarganya dengan norma-norma dan aturan-aturan
tertentu sehingga anak mendapatkan pengalaman-pengalaman
yang baru, belajar memerankan diri sebagai remaja yang
dewasa, bergaul secara wajar, menadapatkan kepuasan akan
keadaan dirinya dan ammpu mengambil sikap dan tindakan
yang bertanggung jawab.
Lingkungan keluarga yang harmonis dapa memberikan
peluang bagi anak untuk mengaktualisasikan potensi-potensi
yang dimilikinya agar tumbuh dan berkembang secsara optimal.
Keharmonisan keluarga dapa terlihar dan tercermin dari sikap
dan pandangan akan hidup, kegemaran dan pola kepribadian
para anggota di dalamnya.
43
Pendapat tersebut dipertegas Cooper Smith dalam Clara R
Pudjijogyanti (1995: 30-31) yang menjelaskan bahwa kondisi
keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang
rendah. Yang dimaksud dengan kondisi keluarga yang buruk
adalah tidak adanya pengertian antara orang tua dan anak,
tidak adanya keserasian hubungan antara ayah dan ibu, orang
tua yang menikah lagi, serta kurangnya sikap menerima dari
orang tua terhadap keberadaan anak-anak. Sedangkan kondisi
keluarga yang baik dapat ditandai dengan adanya integritas
44
dan tenggang rasa yang tinggi serta sikap positif dari anggota
keluarga. Sedangkan Clara R Pudjijogyanti (1995: 35)
menjelaskan bahwa kondisi keluarga yang kurang kondusif
(kurang mendukung) dalam keberlangsungan interaksi yang
sehat dapat menyebabkan konsep diri yang rendah.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa keharmonisan
keluarga berhubungan erat dengan konsep diri siswa. Oleh
karena itu orang tua perlu menciptakan suasana kehidupan
keluarga yang harmonis untuk mengembangkan konsep diri
agar anak mempunyai pandangan yang positif terhadap dirinya,
mampu menyesuaikan diri dengan baik dan menjadi lebih
mandiri.
D. HIPOTESIS
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data
yang terkumpul (Suharsimi Arikunto, 2002: 67)
Berdasarkan kajian teoritis diatas, peneliti mengajukan
hipotesis penelitian sebagai berikut “ada hubungan antara
keharmonisan keluarga dengan konsep diri siswa kelas II di
45
Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kejobong Purbalingga
tahun pelajaran 2004/2005”.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk memahami dan
memecahkan masalah secara ilmiah sistematis dan logis. Dalam setiap penelitian ilmiah,
masalah metode merupakan faktor yang ikut menentukan berhasil tidaknya penelitian yang
dilakukan, oleh karena itu untuk menguji kebenaran hipotesis, maka dalam penelitian ini
diperlukan data yang obyektif. Langkah-langkah yang diperlukan untuk memperoleh data
antara lain dengan menentukan obyek penelitian, penentuan data dan analisis data berdasarkan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian memerlukan subyek penelitian yang jelas, oleh karena itu
setiap penelitian diharapkan ada populasi yang jelas.
1. Populasi Penelitian
Sebelum mengadakan penelitian harus mengetahui siapa yang menjadi
subyek penelitian, hal ini akan membantu dalam mendapatkan data yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
Suharsimi Arikunto (2002: 108) memberikan batasan mengenai populasi
yaitu keseluruhan subyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi
penelitian adalah semua siswa kelas II SMA Negeri 1 Kejobong Purbalingga
Tahun Pelajaran 2004/2005, yang berjumlah 168 siswa.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti
(Suharsimi Arikunto, 2002: 109). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian
47
siswa SMA Negeri 1 Kejobong Purbalingga kelas II yang berjumlah 42 siswa,
yang tersebar di 4 kelas.
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sample yaitu random sampling
yaitu pengambilan sampel secara sembarang atau acak, yaitu semua siswa kelas II
pada SMA Negeri 1 Kejobong Purbalingga yang menjadi obyek penelitian. Adapun
jumlah sampel yang diambil dari masing-masing kelas berjumlah 10 sampai 11 siswa
sehingga semua sampel berjumlah 42 siswa.
Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik simple
random sampling, dan dilakukan secara undian, dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Membuat daftar yang berisi semua subyek atau siswa dalam populasi, yaitu sebanyak
4 kelas (dari nomor 1 sampai dengan 42).
b. Menulis nomor tersebut pada kertas-kertas kecil, kemudian digulung dan dimasukkan
dalam kotak kecil.
c. Kertas-kertas yang digulung diambil satu persatu sampai jumlah yang diinginkan,
yaitu sesuai dengan jumlah sampel dari setiap kelas.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek
pengamatan penelitian yang bervariasi. Sering pula dinyatakan variabel
penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala
yang akan diteliti (Soemadi Suryabrata, 2003: 25).
1. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diteliti, yaitu:
48
a. Variabel Independen, artinya variabel bebas, yaitu faktor penyebab dari variabel
terikat. Dalam hal ini yang berfungsi sebagai variabel bebas adalah keharmonisan
keluarga.
b. Variabel Dependen, artinya variabel terikat yang keberadaannya
tergantung dari variabel lainnya (variabel independen). Dalam
penelitian ini yang berfungsi sebagai variabel dependen adalah konsep
diri siswa.
2. Hubungan Antar Variabel
Dalam penelitian ini melibatkan dua variabel utama yaitu keharmonisan
keluarga dan konsep diri siswa. Dalam hal ini keharmonisan keluarga merupakan suatu
gambaran/ citra tentang bagaimana kehidupan keluarga yang harmonis itu atau tentang
keharmonisan keluarga. Sedangkan konsep diri adalah hasil dari pengalaman siswa
tentang kehidupan keluarganya atau keharmonisan keluarganya.
3. Definisi Operasional Variabel
a. Keharmonisan Keluarga
Keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa
bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan
puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan
aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial
(Singgih D Gunarsa, 2004: 209).
.
Kondisi yang aman dan terlindungi yang dirasakan oleh anggota
keluarga dan memungkinkan adanya suatu perkembangan yang wajar
bagi anggota keluarga tersebut.
b. Konsep Diri Siswa
49
Persepsi terhadap fisik, sosial dan psikis yang dimiliki individu melalui
pengalaman serta interaksinya dengan individu lain (Brooks dalam
Jalaludin Rakhmat 1996: 99).
Konsep diri siswa merupakan kondisi internal yang berhubungan
dengan konsep diri positif maupun konsep diri negatif.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data sangat penting dalam penelitian, data yang
diperoleh akan digunakan untuk membuat kesimpulan dalam penelitian
tersebut. Adapun metode atau teknik yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan angket dan skala
psikologi. Angket merupakan suatu instrumen yang dipakai untuk
mengungkap keharmonisan keluarga dan skala psikologi untuk mengungkap
konsep diri siswa kelas II SMA Negeri 1 Kejobong Purbalingga Tahun
Pelajaran 2004 / 2005.
Pengembangan skala psikologi ini didasarkan pada indikator dari
variabel keharmonisan keluarga yang meliputi empat sub variabel (aspek),
yaitu dasar-dasar hubungan yang efektif, hubungan anak-anak dengan orang
tua, hubungan anak remaja dengan orang tua, memelihara komunikasi dalam
keluarga. Sedangkan variabel konsep diri meliputi dua sub variabel (aspek),
yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Kemudian dari masing-
masing aspek dibuat pertanyaan yang jumlahnya 50 butir pertanyaan.
50
Kisi-kisi instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini
berdasarkan atas teori yang dikembangkan oleh Hasan Basri (1994: 85-103)
tentang keharmonisan keluarga, yaitu ciri-ciri dari adanya keluarga harmonis.
Sedangkan kisi-kisi instrumen tentang konsep diri mengacu pada ciri dari
orang yang memiliki konsep diri, dikembangkan oleh Jalaludin Rakhmat
(1996: 105-106).
Tabel 1
KISI-KISI INSTRUMEN
KEHARMONISAN KELUARGA
No Item Variabel
Sub Variabel Indikator
(+) (-)
Keharmonisan
Keluarga
1. Dasar-dasar
hubungan yang
efektif
2. Hubungan anak-
anak dengan
orang tua
3. Hubungan anak
remaja dengan
orang tua
4. Memelihara
komunikasi
dalam keluarga
a. Kasih sayang dan kemesraan
dalam keluarga
b. Kepribadian yang utuh dan teguh
dalam keluarga
c. Menanamkan nilai-nilai agama
d. Peran orang tua dalam
memberikan pertimbangan
e. Pemenuhan kebutuhan anak di
dalam keluarga
f. Kasih sayang dan tanggung
jawab orang tua terhadap
perkembangan anak
g. Persiapan orang tua dalam
mengantarkan anak ke alam
remaja
h. Orang tua memperhatikan
perubahan yang dialami anak-
anaknya
i. Memperhatikan peristiwa/
kejadian dalam keluarga
j. Menumbuhkan keterbukaan setiap
anggota keluarga
k. Menggunakan kesempatan
berkomunikasi dalam keluarga
l. Mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dalam keluarga
m. Komunikasi yang lancar dalam
keluarga
1,2,3,4,5
6,7,8,9,10,11
12
13,14,15,16
17,18
20,21,22
23,24,25
26,27,28
29,30,31,32
33,34,35
36,37,38,39
40,41,42,43,
44
45,46,47
19
51
Tabel 2
KISI-KISI INSTRUMEN
KONSEP DIRI SISWA
No Item Variabel
Sub Variabel Indikator
(+) (-)
Konsep Diri 1. Konsep Diri
Negatif
2. Konsep Diri
Positif
a. Mampu mengendalikan emosi
b. Menerima kritik
c. Responsif terhadap pujian
d. Optimis terhadap masa depan
e. Konsep mengenai kemampuan dan
ketidakmampuan diri
f. Perasaan kebermanfaatan
g. Sikapnya tentang kondisi saat ini dan
prospek masa depannya
h. Punya keyakinan diri
i. Pendirian yang kuat
j. Nilai-nilai hidup yang positif
k. Cita-cita
l. Aspirasi
m. Pandangan hidup
n. Mempunyai perasaan bangga
o. Mempunyai perasaan malu
p. Penyesuaian diri
9
13,15
17,20
21,23
26,28,29
33
34
35
36
37
38
39,40,41
1,2,3,4,5
6,7,8,10
11,12,14,16
18,19
22,24,25
27
30,31,32
42
43,44,45
Menurut Saefudin Azwar (2000: 3) bahwa skala psikologi selalu
mengacu kepada alat ukur aspek atau atribut afektif. Skala psikologi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala bertingkat (rating scale).
Alternatif jawaban tiap butir atau item untuk keharmonisan keluarga,
dibuat dalam empat kategori jawaban dan urutannya adalah sebagai berikut
52
“selalu”, “sering”, “kadang-kadang”, “tidak pernah”. Pensekoran dimulai dari
skala yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Pernyataan positif
“selalu” diberi skor 4, “sering” diberi skor 3, “kadang-kadang” diberi skor 2,
tidak pernah” diberi skor 1. Sebaliknya pernyataan negatif, jawaban “selalu”
diberi skor 1, “sering” diberi skor 2, “kadang-kadang” diberi skor 3, “tidak
pernah” diberi skor 4. Agar lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3
Cara Penyekoran Butir Item
No Kategori
jawaban positif Skor No
Kategori
jawaban negatif skor
1.
2.
3.
4.
SL
SR
KD
TP
4
3
2
1
1.
2.
3.
4.
SL
SR
KD
TP
1
2
3
4
Alternatif jawaban tiap butir atau item untuk konsep diri, dibuat dalam
lima kategori jawaban dan urutannya adalah sebagai berikut “sangat setuju”,
“setuju”, “kurang setuju”, tidak setuju”, “sangat tidak setuju”. Pensekoran
dimulai dari skala yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Pernyataan
positif “sangat setuju” diberi skor 4, “setuju” diberi skor 3, “kurang setuju”
diberi skor 2, “tidak setuju” diberi skor 1, “sangat tidak setuju” diberi skor 0.
Sebaliknya pernyataan negatif, jawaban “sangat setuju” diberi skor 0, “setuju”
diberi skor 1, “kurang setuju” diberi skor 2, “tidak setuju” diberi skor 3,
“sangat tidak setuju” diberi skor 4. Agar lebih jelas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 4
Cara Penyekoran Butir Item
53
No Kategori
jawaban positif Skor No
Kategori
jawaban negatif skor
1.
2.
3.
4.
5.
SS
S
KS
TS
STS
4
3
2
1
0
1.
2.
3.
4.
5.
SS
S
KS
TS
STS
0
1
2
3
4
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Validitas Instrumen
Validitas instrumen didefinisikan sejauh mana instrumen itu merekam/
mengukur apa yang dimaksudkan untuk direkam/ diukur (Soemadi Suryabrata,
2003: 60). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevaliditasan
atau kesahihan suatu instrumen (Suharsimi Arikunto, 2002: 144). Dalam
penelitian ini digunakan validitas konstruk, yaitu bertolak dari kumpulan konsep
tentang suatu teori. Jadi item-item disusun berdasarkan dari penjabaran variabel
yang diangkat dari batasan teori-teori tertentu. Untuk mengetahui valid tidaknya
butir dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis butir, skor-skor yang ada
pada butir dikorelasikan dengan skor total, kemudian dikonsultasikan pada taraf
signifikansi 5%.
Teknik yang digunakan dalam uji validitas adalah rumus Product Moment
angka kasar Person:
rxy = ( )( )
( ) ( ){ } ( ) ( ){ }2222YYNXXN
YXXYN
Σ−ΣΣ−Σ
ΣΣ−Σ
Keterangan :
rxy = koefisien korelasi antara X dan Y
X = skor item
54
Y = skor total
∑X = jumlah skor masing-masing item
∑Y = jumlah skor seluruh item (skor total)
∑X2 = kuadrat dijumlah skor tiap item (jumlah kuadrat butir)
∑Y2 = kuadrat dari skor total (jumlah skor total)
∑XY = jumlah skor seluruh item (perkalian skor butir dengan skor total)
N = jumlah subyek/ responden
Kaidah pengambilan keputusan dalam uji validitas adalah apabila
rhitung > rtabel, maka instrumen dikatakan valid dan layak digunakan dalam
pengambilan data. Sebaliknya apabila rhitung < rtabel, maka instrumen dikatakan
tidak valid dan tidak layak digunakan untuk pengambilan data.
2. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah suatu instrumen yang dapat dipercaya sebagai alat
pengumpul data karena instrumen itu cukup baik (Suharsimi Arikunto, 2002:
154). Dalam hal ini suatu alat ukur itu disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau
dapat dipercaya jika alat ukur itu mantap dan stabil, dapat diandalkan dan dapat
diramalkan, mampu mengungkap data sama atau sesuai untuk beberapa kali
pemberian kepada responden sehingga hasilnya akurat. Untuk mengetahui reliabel
atau tidaknya instrumen digunakan rumus Alpha.
11r =
−
−
∑2
2
11
t
b
k
k
σ
σ
r = realibilitas instrumen
k = banyaknya varian butir
2
bσΣ = jumlah varian butir
55
2
tσ = varian total
Hasil perhitungan reliabilitas yang telah diperoleh kemudian di
konsultasikan dengan r tabel. Apabila 11r > r tabel, maka instrumen reliabel.
Metode Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang teramat penting dalam
penelitian, karena dengan analisislah, data tersebut dapat diberi arti dan makna
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian (Moh. Nasir, 1999:
405). Adapun metode
analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Teknik analisis deskriptif persentase
Analisis deskriptif persentase ini digunakan untuk mengkaji variabel yang
ada dalam penelitian ini, yaitu keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penggunaan teknik analisis ini
yaitu:
a. Membuat tabel distribusi jawaban angket
b. Menentukan skor jawaban responden dengan ketentuan skor yang telah
ditetapkan
c. Menjumlahkan skor jawaban yang diperoleh dari tiap-tiap responden
d. Memasukkan skor tersebut kedalam rumus
% = %100xN
n
Keterangan :
56
n = nilai yang diperoleh
N = nilai total
% = tingkat keberhasilan yang dicapai
(Ali, 1987 : 184)
2. Uji t
Analisis statistik dengan menggunakan uji t digunakan untuk menguji
hipotesis penelitian. Adapun rumus di dalam uji t tersebut adalah sebagai berikut:
21
2
r
nrt
−
−=
(Sudjana, 2002 : 377)
57
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Keharmonisan keluarga para siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Kejobong Purbalingga tahun 2004/2005 termasuk kategori baik.
2. Konsep diri siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong
Purbalingga tahun 2004/2005 termasuk kategori cukup baik.
3. Hasil Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara keharmonisan keluarga dengan konsep diri siswa di
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong Purbalingga tahun 2004/2005.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat
diajukan beberapa saran, yaitu :
1. Para orang tua hendaknya mempertahankan keharmonisan keluarganya
yang sudah masuk dalam kategori baik dan tetap berusaha
meningkatkannya dengan lebih memperhatikan anak agar mereka dapat
berkembang sewajarnya, meningkatkan keterbukaan pada setiap anggota
keluarga dan meningkatkan kesempatan berkomunikasi dalam keluarga
dengan tidak membatasi komunikasinya dengan anak agar konsep diri anak
yang baru dalam kategori cukup tersebut dapat meningkat.
58
2. Para orang tua dan guru pembimbing hendaknya menyadari bahwa konsep
diri siswanya saat ini baru dalam kategori cukup baik, oleh karena itu
hendaknya orang tua dan guru pembimbing berusaha membantu
meningkatkan konsep diri siswanya agar menjadi lebih baik lagi dengan
meningkatkan kemampuan mengendalikan emosinya, meningkatkan
kemampuan mengenali diri atas kemampuan dan ketidakmampuannya,
meningkatkan sikapnya atas kondisi saat ini dan harapannya dimasa yang
akan datang, menghilangkan rasa malunya yang masih berlebihan, dan
meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
C. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
4. Keharmonisan keluarga para siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Kejobong Purbalingga tahun 2004/2005 termasuk kategori baik.
5. Konsep diri siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong
Purbalingga tahun 2004/2005 termasuk kategori cukup baik.
6. Hasil Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara keharmonisan keluarga dengan konsep diri siswa di
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong Purbalingga tahun 2004/2005.
59
D. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat
diajukan beberapa saran, yaitu :
3. Para orang tua hendaknya mempertahankan keharmonisan keluarganya
yang sudah masuk dalam kategori baik dan tetap berusaha
meningkatkannya dengan lebih memperhatikan anak agar mereka dapat
berkembang sewajarnya, meningkatkan keterbukaan pada setiap anggota
keluarga dan meningkatkan kesempatan berkomunikasi dalam keluarga
dengan tidak membatasi komunikasinya dengan anak agar konsep diri anak
yang baru dalam kategori cukup tersebut dapat meningkat.
4. Para orang tua dan guru pembimbing hendaknya menyadari bahwa konsep
diri siswanya saat ini baru dalam kategori cukup baik, oleh karena itu
hendaknya orang tua dan guru pembimbing berusaha membantu
meningkatkan konsep diri siswanya agar menjadi lebih baik lagi dengan
meningkatkan kemampuan mengendalikan emosinya, meningkatkan
kemampuan mengenali diri atas kemampuan dan ketidakmampuannya,
meningkatkan sikapnya atas kondisi saat ini dan harapannya dimasa yang
akan datang, menghilangkan rasa malunya yang masih berlebihan, dan
meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
60
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta
Ali, Muhammad. 1987. Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung: Angkasa
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta
Azwar, Saefudin. 2002. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Basri, Hasan. 2002. Keluarga Sakinah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Burns, R.B. 1993. Konsep Diri (Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku).Jakarta: PT.
Arcan
Calhoun, James F dan Acocella, J.R. 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan (terjemahan RS Satmoko). Semarang: IKIP Semarang Press
Gunarsa, Singgih D. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
. 2004. Psikologi Perkembangan Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung
Mulia
Hurlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
(terjemahan Istiwiayanti). Jakarta: Erlangga
Linda dan Eyre, Richard. 1995. Langkah Menuju Keluarga yang Harmonis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Umum
Maslow, A.H. 1970. Motivation and Personality. New York: Harper & Row
Mustafa. 1986. Ayah Bunda
Nasir. Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Natawijaya, R. 1979. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Departemen P dan K
Pasaribu, I.L dan Simanjutak, B. 1984. Pengantar Psikologi Perkembangan. Bandung: Tarsito
Pudjijogyanti, Clara R. 1995. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: PT Arcan
61
Top Related