SKRIPSI
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH TNI-AL
DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
OLEH :
FIRMAN SETIADHI MAKMUR
B 111 07 612
BAGIAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
i
HALAMAN JUDUL
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH TNI-AL
DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
OLEH :
FIRMAN SETIADHI MAKMUR
B 111 07 612
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesain Studi Sarjana dalam
Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
FIRMAN SETIADHI MAKMUR (B11107 612). Penanggulangan Tindak Pidana Perikanan oleh TNI-AL (dibimbing oleh Muhadar dan Kaisaruddin Kamaruddin).
Penelitian ini bertujuan Untuk menganalisis dan memahami berbagai faktor yang turut mempengaruhi terjadinya tindak pidana perikanan di wilayah zona ekonomi eksklusif indonesia (ZEEI) Guna mengetahui sejauhmana upaya TNI-AL dalam penanggulangan tindak pidana perikanan di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).
Penelitian ini dilaksanakan Di Kota Makassar dan memilih instansi
Lantamal VI Kota Makassar dan Pusat Dokumentasi & Informasi Hukum Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Faktor yang mempengaruhi
terjadinya tindak pidana perikanan di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) lebih didasari oleh faktor ekonomi. Faktor ekonomi sangat dominan oleh karena di wilayah ZEEI banyak mengandung sumber daya alam hayati dan non hayati yang berlimpah. Motivasi memperoleh keuntungan besar dari segi bisnis mendorong untuk melanggar ketentuan perundang-undangan di bidang perikanan di wilayah ZEEI. (2) Penanggulangan tindak pidana perikanan di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) oleh TNI-AL dilakukan dalam bentuk preventif dan represif. Bentuk preventif mengarah kepada upaya pencegahan terhadap niat pihak-pihak tertentu untuk melakukan berbagai pelanggaran dilaut, seperti: memfokuskan kehadiran unsur laut dan patrol udara maritim di perairan perbatasan dan jalur –jalur strategik serta perairan rawan selektif. Sedangkan, bentuk represif yaitu TNI-AL senantiasa menindak tegas pihak-pihak tertentu yang terbukti melakukan tindak pidana di laut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku upaya ini dilakukan secara cepat untuk menghindari timbulnya kerugian dan klaim dari pihak yang di rugikan,konsisten dengan penerapan sanksi yang seimbang dan dengan adanya efek penjeraan, serta profesional dengan tindakan aparat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
vi
ABSTRACT
FIRMAN SETIADHI MAKMUR ( B11107 612). Penanggulangan of Doing An Injustice (of) Fishery by TNI-AL ( guided by Muhadar and Kaisaruddin Kamaruddin).
This Research aim to To analyse and comprehend various factor
which partake to influence the happening of doing an injustice [of] fishery [in] exclusive economic zona region [of] indonesia ( ZEEI) Utilize to know the sejauhmana strive the TNI-AL in penanggulangan of doing an injustice (of) fishery [in] exclusive economic zona region (of) Indonesia ( ZEEI)
This Research (is) executed (In) Town Makassar and chosen the institution of Lantamal VI of Town Makassar and Center The Documentation & Information Punish The Science Laboratory Punish The Faculty Of Law of University Hasanuddin
Result of research indicate that ( 1) Factor influencing the happening of doing an injustice (of) fishery (in) exclusive economic zona region [of] Indonesia ( ZEEI) more constituted by economic factor. Economic factor very dominant because of (in) region ZEEI (of) a lot of containing experienced resource involve and non involving galore. Motivate to obtain;get the big advantage from business facet push to impinge the legislation rule (in) fishery area [in] region ZEEI. ( 2) Penanggulangan of doing an injustice (of) fishery [in] exclusive economic zona region (of) Indonesia ( ZEEI) by TNI-AL (done/conducted) in the form of preventif and represif. Form the preventif instruct to prevention effort to certain unrightious intention to (do/conduct) various collision gone out to sea, like: focussed the element attendance go out to sea and patrol of air maritim (in) territorial water of frontier and band - strategic band and also territorial water selective gristle. While, form represif that is TNI-AL ever act coherent (of) proven certain partys [do/conduct) doing an injustice (in) sea (of) according to law and regulation going into effect this effort (is) (done/conducted) quickly to avoid incidence (of) loss and claim from party which is (in),konsisten with the well-balanced sanction applying and with the existence of discouragement effect, professional and also with the action aparat
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur Penulis ucapkan yang tiada hentinya kepada
Allah SWT yang maha esa atas segala rahmat dan karunia-Nya berupa
nikmat iman dan kesehatan ,sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
“Tak ada gading yang tak retak” pribahasa inilah yang dapat penulis
kiaskan,karena Penulis menyadari bahwa skripsi ini, disusun atas segala
keterbatasan yang di miliki sehingga masih jauh dari kesempurnaan.oleh
karena itu segala saran dan kritik Penulis harapkan sebagai sebuah masukan
dan pelajaran bagi Penulis.
Dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak hambatan dan kesulitan
yang di hadapi oleh Penulis,tetapi semua itu dapat dilewati Penulis berkat
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak .oleh karena itu ,dengan segala
kerendahan hati Penulis haturkan terima kasih kepada segala pihak yang
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Pada kesempatan ini ,Penulis ingin menghaturkan terima kasih
kepada pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini
terutama kepada :
1. Ayahanda H.Nadir Makmur,S.E dan ibunda Hj.Rosinah nurdin, S.E
yang telah menjadi orang tua nomor satu di dunia karena berkat
viii
kesabaran, kasih sayang dan doa restunya selama penulis menuntut
ilmu , dan juga kepada saudara-saudaraku Andhika Kurniawan
Makmur,SE dan Hardian Dewantara Makmur yang selama ini telah
menjadi saudara sekaligus sahabat bagi penulis.
2. Bapak Prof.Dr Muhadar,S.H,M.S selaku pembimbing 1dan Bapak
Kaisaruddin Kamaruddin,S.H selaku pembimbing 2 yang telah
meluangkan waktu membagi ilmu yang berharga dalam membimbing
Penulis menyusun skripsi ini.
3. Bapak Prof.Dr,dr,Idrus Patturusi selaku Rektor Universitas Hasanuddin
beserta segenap jajarannya.
4. Bapak Prof .Dr.Aswanto,S.H,M.H,DFM, selaku Dekan fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.
5. Bapak Prof.Dr.Aswanto,S.H,M.H,DFM, Bapak Amir Ilyas S.H,M.H dan
ibu Haeranah ,S.H,M.H selaku penguji dalam ujian skripsi Penulis
yang telah memberikan saran-saran dalam perbaikan dalam skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu DosenFakultas Hukum Universitas Hasanuddin
atas segala ilmu yang telah diberikan selama kurang lebih empat
tahun Penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Univeritas
Hasanuddin.
7. Para staf akademik ,kemahasiswaan ,dan perpustakaan yang telah
banyak membantu Penulis.
ix
8. Komandan Lantamal VI (wilayah Makassar)beserta seluruh jajarannya
yang membantu Penulis memperoleh data yang dibutuhkan.
9. Sahabat-sahabat Penulis Nadia Natasya, Mayor satu taruna Akhmad
Rivandy, Mayor satu taruna. Rizal Nugraha, A.Khadijah S.Pawi S.H,
Syahraeni Arsam S.H, Randi H.Salim , dan Andi Marksun Setiawan.
10. Teman-teman seperjuangan Insan Anshari S.H,Alamsyah S.H,Anshar
nugraha S.H, Yogie Adhiyaksa S.H dan Dwi Awal S.H
11. My lovely Buje “Sakina Setia Mana”, yang dengan sabar memberikan
dukungan,doa dan mendampingi Penulis dalam penyelesaiaan Skripsi
ini.
12. Rekan-rekan Posko Biraeng Nurmaulani S.E, Andi syuranti Akhmad
S.Pt ,Greace Tulak S.T, Risma Fatimah Lolok, Faizal Alimaturahim
S.Pi, Hardiansyah ,dan Wahyudi
13. LEGALITAS 07 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
,COMPANERO , OVJ FC serta semua pihak yang tidak Dapat Penulis
sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan sumbangsih
pikiran ,dukungan, baik materi dan non materi ,penulis haturkan terima
kasih.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang
telah diberikan dengan segala limpahan rahmat dan hidayah dari-
x
Nya.akhir kata Penulis persembahkan karya ini semoga bermanfaat bagi
kita semua.Amin.
Makassar, November 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PENGESAHAN SKRIPSI ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI iv
ABSTRAK v
UCAPAN TERIMA KASIH vi
DAFTAR ISI x
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang masalah 1
B. Rumusan masalah 8
C. Tujuan penilitian 8
D. Kegunaan penilitian 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
A. Tindak Pidana 9
1. Pengertian Tindak Pidana 9
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana 11
3. Penggolongan Tindak Pidana 14
4. Tempat dan Waktu Terjadinya 20
5. Jenis-Jenis Tindak Pidana 21
6. Faktor-Faktor yang menimbulkan tindak pidana 22
B. Kriminologi 26
1. Pengertian Kriminologi . 26
2. Ruang Lingkup Kriminologi 28
3. Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi 29
C. Tindak Pidana Perikanan 32
D. TNI –AL Dalam Ketentuan Undang-Undang Perikanan 65
xii
E. Zona Ekonomi Eksklusif 67
1. Definisi Zona Ekonomi Eksklusif 67
2. Status Hukum Zona Ekonomi Eksklusif 74
BAB III METODE PENELITIAN 77
A. Lokasi Penilitian 77
B. Jenis dan Sumber Data 77
C. Teknik Pengumpulan Data 78
D. Teknik Analisis Data 78
BAB IV PEMBAHASAN 79
A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak Pidana
Perikanan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 79
B. Upaya TNI –AL dalam penanggulangan tindak pidana Perikanan
di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 94
BAB V PENUTUP 126
A. Kesimpulan 126
B. Saran 127
DAFTAR PUSTAKA 128
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 . Purse Seine bagian 1
Gambar 2. Purse Seine bagian 2
Gambar 3. Trawl bagian 1
Gambar 4.Trawl bagian 2
Gambar 5. Mekanisme Penegakkan Hukum Di laut
Gambar 6.Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana di Lantamal
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia terletak pada Lintang Utara -
Lintang Selatan dan Bujur Timur - Bujur Timur. Terletak di Asia
Tenggara, melintang di garis khatulistiwa di antara Benua Asia dan
Australia serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Karena
terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia disebut juga
sebagai Nusantara, yang bermakna Kepulauan Antara. Indonesia
berbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan, berbatasan dengan
Singapura dan Malaysia di timur laut yang dibatasi oleh selat Malaka,
berbatasan dengan Philipina yang dibatasi laut Sulawesi, berbatasan
langsung dengan Papua Nugini di pulau Papua, berbatasan langsung
dengan Timor Leste (Timor Timur) di Pulau Timor, dan berbatasan
dengan Australia di sebelah selatan yang dibatasi oleh Samudera Hindia
atau Samudera Indonesia (Gamal Komandoko, 2010:7) .
Indonesia juga tercatat sebagai Negara kepulauan terbesar
didunia. Jumlah pulau besar maupun kecil yang termasuk dalam wilayah
Negara Republik Indonesia sekitar 17.508 pulau. Pulau-pulau utama di
15
Indonesia adalah pulau Kalimantan (539.460 ), Irian atau Papua
(421.981 ), Sulawesi (189.216 ), Sumatera (473.606 ), dan
Jawa (132.107 ). Luas wilayah keseluruhan Negara Indonesia sekitar
1.904.443 yang dihuni penduduk Indonesia, menurut sensus tahun
2005, sekitar 241.973.900 jiwa jumlahnya dengan angka kepadatan
penduduk 127 jiwa/ . Dengan wilayah seluas itu dan juga besar jumlah
penduduknya membuat Negara Republik Indonesia tercatat sebagai
Negara terluas ke-15 dunia dan Negara berpenduduk terbesar ke-4 dunia
di bawah Republik Rakyat China, India, dan Amerika Serikat. Selain itu,
Negara Republik Indonesia juga tercatat selaku Negara dengan garis
pantai terpanjang nomor 2 di dunia setelah Kanada (Gamal Komandoko,
2010:7).
Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau, sekitar 6.000 di antaranya
tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar khatulistiwa, memberikan
cuaca tropis (iklim di Indonesia dapat dikategorikan menjadi: musim
(muson), tropika, dan laut). Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung
berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak
terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan dua
rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire), dan terdapat puluhan
patahan aktif di wilayah Indonesia. Suhu udara di dataran rendah
16
Indonesia berkisar antara 23 derajat celcius sampai 28 derajat celcius
sepanjang tahun.
Curah hujan di Indonesia rata-rata 1.600 milimeter setahun, di
daerah Palu dan Timor. Daerah yang curah hujannya rata-rata tinggi
sepanjang tahun adalah Aceh, Sumatera barat, Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Bengkulu, sebagian Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi
Barat, Sulawesi Utara, Malaku Utara dan Delta Mamberamo di
Irian.(www.wikipedia.com, Diakses Pada Tanggal 12 September 2011).
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta
kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan
sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun
pembudidayaan ikan sekaligus meningktakan kemakmuran dan keadilan,
guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan
Negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan
nasional (Penjelasan Umum Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan).
http://www.wikipedia.com/
17
Untuk definisi perikanan itu sendiri telah ditentukan dalam Pasal 1
Ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan :
“Perikanan adalah semua kegiatan yang yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.”
Jelas bahwa bidang perikanan mempunyai peranan yang penting
dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama
dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan
pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya,
nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di
bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan
ketersediaan sumber daya ikan.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi
sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan
perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan
perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan
suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Penegakan hukum atas tindak
pidana perikanan meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
siding pengadilan.
18
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di siding pengadilan, disamping mengikuti hokum acara
yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam undang-undang
perikanan yang memuat ketentuan khusus.
Lalu kemudian muncul pertanyaan, sejauh manakah keterkaitan
TNI-AL dalam penegakan hukum pidana di bidang perikanan ?.
berdasarkan kontekstual pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan telah ditentukan dengan tegas melalui Pasal 73
Ayat (1) :
“Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI-AL, dan pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.”
Ayat (2) :
“Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi.”
Ayat (3) :
“Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pelaksanaannya harus sudah diterapkan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan.”
19
Berdasarkan ketentuan diatas dapat dikatakan TNI-AL dalam
upaya penanganan tindak pidana perikanan hanya berperan sebagai
penyidik, disamping penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan pejabat
polisi Negara Republik Indonesia serta dapat juga menjalin koordinasi
bersama dalam penanganan tindak pidana perikanan.
Hal tersebut diatas dibuktikan sebagaimana berita yang diperoleh
penulis dibawah ini (www.detiknews.com, diakses pada tanggal 13
September 2011) :
“Aparat TNI AL menangkap menangkap kapal ikan berbendera Taiwan dan tugboat serta tongkang berbendera Singapura karena beroperasi secara ilegal. Kapal Taiwan, Hwang Jyi Long, ditangkap di perairan Ranai, Kepulauan Natuna. Sedangkan tugboat serta tongkang berbendera Singapura TB Marcopolo-107 dan TK Marcopolo-108 dibekuk di perairan Bengkalis, Sumatera Utara. Kapal-kapal itu ditangkap pada Kamis (12/3/2009). Demikian disampaikan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul dalam rilis yang diterima detikcom. Kapal ikan tuna long line Hwang Jyi Long dengan tanda selar CT4-2976 ditangkap oleh KRI Imam Bonjol-383 pada posisi 04 52 75 Utara dan 8211; 107 > 07 00 Timur. Kapal Taiwan tersebut diawaki 11 orang anak buah kapal (ABK) dan memuat kurang lebih 50 ton ikan tuna yang diduga ditangkap di perairan yurisdiksi nasional Indonesia secara ilegal karena tidak disertai dokumen perizinan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, antara lain tidak memiliki dokumen kapal untuk pelayaran berupa Port Clearence maupun Log Book. Berdasarkan data recording posisi kapal CT4-2978 pada Sea Map yang terpasang di kapal menunjukkan bahwa kapal Hwang Jyi Long memasuki wilayah teritorial Indonesia, sehingga kapal tersebut diduga melakukan transhipment di perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Bukti-bukti yang ditemukan termasuk jaring dan tuna long line. Kapal itu diduga kapal tersebut melakukan tindak pidana perikanan yang melanggar UU 31/ 2004 tentang Perikanan dan UU RI No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Selanjutnya kapal dan sejumlah barang bukti lainnya
http://www.detiknews.com/
20
dikawal menuju Pos TNI AL Sabang Mawang, Ranai, Natuna. Sementara itu, TB. Marcopolo 107 dengan tanda selar GT 164 No. 157/PPJ yang diawaki 10 ABK dan nakhoda Donal Wahyudi adalah milik PT. Pelayaran Teguh Persada Kencana. Sedangkan TK. Marcopolo-108 dengan tanda selar GT-1967 NT.591 adalah milik PT. Pelayaran Armada Maritim Nusantara berbendera Singapura bermuatan tisu 40 container, Pulp 33 konteiner dan kertas 128 konteiner. TB. Marcopolo-107 ketika sedang menarik TB. Marcopolo-108 ditangkap oleh Patroli Keamanan Laut (Patkamla) Lanal Dumai pada posisi 01 17 970 Utara dan 8211; 102 25 590 Timur karena tidak memiliki dokumen yang seharusnya ada di atas kapal sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya kedua kapal tersebut dikawal menuju Pos TNI AL Bengkalis.”
Peranan TNI AL dalam penanggulangan tindak pidana perikanan
akan sangat terasa apabila tindak pidana perikanan itu diwujudkan
diwilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI). Oleh karena dalam
undang-undang perikanan tepatnya pada Pasal 97 Ayat (1) ditegaskan :
“Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbedera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Ayat (2) berbunyi :
“Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbedera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkpan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milliar rupiah).”
21
Jadi berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat
suatu karya ilmiah dengan judul “PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PERIKANAN OLEH TNI-AL”.
B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana
perikanan di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI)?
2. Bagaimanakah upaya TNI-AL dalam penanggulangan tindak pidana
perikanan di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis dan memahami berbagai faktor yang turut
mempengaruhi terjadinya tindak pidana perikanan di wilayah zona
ekonomi eksklusif (ZEE)
2. Guna mengetahui sejauhmana upaya TNI-AL dalam penanggulangan
tindak pidana perikanan di wialayah zona ekonomi eksklusif (ZEE)
D. Kegunaan Penelitian
1. Data menjadi bahan pembelajaran dan pengembangan ilmu
pengetahuan dibidang hukum pidana khususnya pada bidang tindak
pidana perikanan.
2. Melengkapi sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk Undang-Undang kita menyebut istilah tindak
pidana sebagai pengganti dari perkataan Strafbaar feit. Perkataan
feit berasal dari bahasa Belanda, sedangkan Strafbaar berarti
“dapat dihukum” sedangkan feit yang berarti “sebagian dari suatu
kenyataan”. Secara harafiah perkataan Strafbaar feit dapat
diterjemahkan sebagai dari suatu kenyataan yang dapat dihukum,
sehingga akan diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuataan,
ataupun tindakan. Selain tindak pidana, Strafbaar feit juga
diterjemahkan sebagai perbuatan pidana.
Peristiwa pidana dan perbuatan yang dapat hukum.
Moeljatno (2001 : 76) menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu
sebagai berikut :
“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu
diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
23
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkannya kejadian itu”.
Yaitu adanya kelakuan atau perbuatan, dirumuskan dalam
Undang-Undang, Bersifat melawan hukum atau bertentangan,
diancam pidana atau patut dipidana dan dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab.
Alasan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan karena
antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat
antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu
berhubungan erat. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu
dipakai perkataan perbuataan yaitu suatu pengertian abstrak yang
menunjuk kepada dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian
tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan
kejadian itu.
Strafbaar feit atau yang biasa dikenal dengan tindak pidana
atau perbuatan pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam
hukum pidana. Pengertian perbuatan ternyata yang dimaksudkan
bukan hanya yang berbentuk “positif”, artinya “sesuatu” atau
“berbuat sesuatu” (yang dilarang), dan berbentuk ”negatif”, artinya
”tidak berbuat sesuatu” (yang dilarang) dan “berbentuk negatif”,
artinya “tidak berbuat sesuatu” (yang diharuskan).
24
Berdasarkan pengertian di atas dapat dirumuskan, bahwa
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang
dilarang oleh aturan pidana baik dilakukan secara sengaja maupun
tidak sengaja yang merugikan orang lain dan bagi pelakunya akan
dikenakan pidana.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Di dalam suatu tindak pidana terdapat unsur–unsur dalam
arti luas yaitu yang membuat suatu perbuatan itu menjadi tindak
pidana ditinjau dari segi subjektif. Kecuali itu tindak pidana mewakili
unsur-unsur dalam arti sempit yaitu unsur-unsur yang dijumpai
dalam rumusan tiap-tiap delik di dalam pasal-pasalnya, dengan
maksud untuk memiliki.
Unsur-unsur subyektif pidana adalah yang melekat pada diri
pelaku:
1) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)
2) Niat atau maksud dengan segala bentuknya
3) Ada atau tidaknya perencanaan untuk melakukan
perbuatan tersebut;
4) Adanya perasaan takut.
Sedangkan unsur obyektif dalam tindak pidana adalah hal-
hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah ketika tindak
pidana dilakukan, antara lain:
25
1) Sifat melawan hukum
2) Kualitas atau kedudukan si pelaku
3) Kausalitas, yaitu hubungan sebab akibat yang terdapat
di dalamnya.
Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindakan pidana
apabila perbuataan tersebut:
1) Melawan hukum
2) Merugikan masyarakat
3) Dilarang oleh aturan dengan pidana
4) Pelakunya diancam dengan pidana
Rumusan tindak pidana terdapat dalam buku Kedua dan
Ketiga KUHPidana dan biasanya dimulai dengan kata barangsiapa
yang berarti yang dapat melakukan suatu tindak pidana atau
subyek tindak pidana atau subyek pidana pada umumnya adalah
manusia. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan sesuai dengan
Pasal 10 KUHP, seperti pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, denda, dan tambahan mengena pencabutan hak, dan
sebagainya. Menunjukkan bahwa yang dapat dikenai pada
umumnya adalah manusia atau person.
Undang-Undang mengenai pengertian tindak pidana
penganiayaan, hal itu tidak ditentukan oleh Undang-Undang. Di
dalam KUHP tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan
26
dengan penganiayaan, sebagaimana di dalam yurisprudensi,
penganiayaan diartikan sebagai sengaja menyebabkan perasaan
tidak enak (penderitaan) merasa sakit termasuk pula sengaja
merusak kesehatan orang.
Untuk unsur-unsur tindak pidana ini, Moeljatno (2001:128)
melihat dari segi yang lain yaitu mengemukakan bahwa unsur-
unsur tindak pidana berdasarkan rumusan undang-undang adalah:
1) Dalam tiap-tiap delik terdapat unsur tindakan atau perbuatan seseorang;
2) Dalam beberapa delik disebutkan apa yang dinamakan akibat konstitutif, terdapat dalam delik materiil, misalnya hilangnya nyawa orang lain.
3) Banyak delik yang memuat unsur-unsur psikis, seperti kesengajaan atau kealpaan.
4) Dalam beberapa delik terdapat faktor subyektif psikis dan subyektif non psikis.
5) Dalam beberapa delik terdapat keadaan yang obyektif; 6) Beberapa delik memuat syarat tambahan untuk dapat
dipidana; 7) Dalam berbagai delik terdapat sifat melawan hukum
yang disebut dengan tegas.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur suatu peristiwa
dikatakan sebagai perkara tindak pidana apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1) harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang;
2) perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang. Pelakunya harus telah
27
melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya;
3) harus ada kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan hukum; dan
4) harus ada ancaman hukumnya. Dengan kata lain,
ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan
sanksinya.
3. Penggolongan Tindak Pidana
Pembagian tindak pidana dalam suatu kelompok benda atau
manusia dalam jenis tertentu dapat sangat bermacam-macam
sesuai dengan kehendak yang mengelompokkan yaitu menurut
dasar apa yang diinginkan, demikian pula dengan tindak pidana.
Menurut Moeljatno pembentuk undang-undang membuat
penggolongan tindak pidana dari berbagai undang-undang tentang
hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran (overtredingen).
28
Penggolongan yang dimaksud diatas tadi terlihat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari :
1) Buku I, memuat Ketentuan Umum (algemene leerstrukken); Terdiri atas Bab I – IX (Pasal – 103)
2) Buku II, memuat tentang Kejahatan (misdrijven) Terdiri atas Bab I – XXXI (Pasal 104 – 488)
3) Buku III, memuat tentang Pelanggaran (overtredingen). Terdiri atas Bab I – IX (Pasal 489 – 569)
KUHP sendiri mengklarifikasi tindak pidana atau delik ke
dalam dua kelompok besar yaitu dalam buku Kedua dan Ketiga
masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran-
pelanggaran, misalnya Bab I buku Kedua adalah kejahatan
terhadap keamanan negara dengan demikian merupakan kelompok
yang tindak pidana yang sasarannya adalah keamanan negara,
yaitu :
1. Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP menempatkan kejahatan di dalam KUHP
buku kedua dan pelanggaran pada buku Ketiga, tetapi
tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut dengan
kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan merupakan suatu delik hukum dan
sedangkan pelanggaran adalah merupakan suatu delik
Undang-Undang. Delik Hukum adalah suatu pelanggaran
hukum yang dirasakan melanggar keadilan misal;
29
pembunuhan, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik
Undang-Undang misalnya; keharusan memiliki SIM dan
mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor.
Karena adanya pembedaan kualitatif di atas sulit
dipertahankan, akhirnya orang mencoba membedakan
secara kuantitatif yaitu ditinjau dari berat ringannya
ancaman pidana. Untuk kejahatan ancaman pidananya
lebih berat daripada pelanggaran.
2. Delik formal dan delik material
Delik formal di sini adalah suatu delik yang
dianggap selesai dengan “dilakukan perbuatan” itu atau
titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Inti delik
formal adalah perbuatannya sedangkan akibatnya adalah
hanya merupakan hal yang kebetulan.
Untuk delik material, titik beratnya ada pada “akibat
yang dilarang”, delik ini dianggap selesai jika akibat sudah
terjadi. Di dalam pembuktian, membuktikan delik materi
lebih sulit karena kecuali harus membuktikan bahwa
seseorang telah melakukan delik tersebut juga harus
dibuktikan hubungan sebab akibatnya.
30
3. Delik Dolus dan Delik Culpa
a) Delik Dolus adalah delik yang memuat unsur
kesengajaan, rumusan kesengajaan mungkin dengan
kata-kata yang tegas ……dengan sengaja, tetapi
mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada,
seperti … diketahui, dan sebagainya.
b) Delik Culpa membuat unsur kealpaan, dengan kata
….karena kealpaannya.
4. Delik Commisionis dan Omissionis
Pelanggaran hukum ini dapat berbentuk berbuat
sesuatu yang dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang
diharuskan.
a. Delik Commisionis
Contoh berbuat mengambil, menganiaya, dan
sebagainya
b. Delik Ommisionis
Misal Pasal 522 (tidak datang menghadap ke
Pengadilan sebagai saksi).
Ada juga Delik Commersial Perommissionem
Commisa, contoh seorang penjaga pintu lintasan kereta
api yang tidak menutup pintu sehingga terjadi kecelakaan
(164).
31
5. Delik Aduan dan Delik Biasa
Delik aduan adalah tindak pidana yang
pengetahuannya hanya dilakukan atas dasar adanya
pengawasan dari pihak yang berkepentingan. Ada dua
jenis delik aduan yaitu :
a. Delik aduan absolute
Yang penuntutannya berdasarkan pengaduan
b. Delik aduan relative
Karena adanya hubungan istimewa antara pelaku
dengan korban.
Contoh pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2)
dan (3)).
Sebaliknya dalam masalah pembajakan buku,
kaset dan sebagainya yang semula merupakan delik
aduan di dalam UU hak cipta yang baru dinyatakan
bukan sebagai delik aduan.
6. Delik berturut-turut
Tindak pidana yang dilakukan berturut-turut
7. Delik yang berlangsung terus
8. Delik berkualifikasi
Tindak pidana dengan pemberatan
9. Delik dengan Privilege
32
Delik ini dengan peringanan
10. Delik politik
11. Suatu tindak pidana yang berkaitan dengan negara
sebagai suatu keseluruhan.
12. Delik Propria
Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai kualitas tertentu.
Demikian penelaahan dari pengertian tindak pidana atau
strafbaar feit.
Sedangkan perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan
yang melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman.
Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1. Perbuatan pidana (delik) formal ialah perbuatan pidana yang
sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar
ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang
bersangkutan. Contoh : pencurian adalah perbuatan yang
sesuai dengan rumusan Pasal 326 KUHP.
2. Delik material adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang,
yaitu akibat yang timbul dari perbuatan. Contoh : Pembunuhan.
33
3. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan
dengan sengaja. Contoh pembunuhan berencana (Pasal 340
KUHP).
4. Delik Culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja,
karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.
Contoh : Pasal 359 KUHP.
5. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan
pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum
merupakan delik. Contoh : perzinahan, penghinaan.
4. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan
kepada keamanan Negara baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contoh : pemberontakan menggulingkan pemerintahan
yang sah. (Kansil & Christine, 2001:166-172)
5. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana
Mengenai tempat di mana peristiwa itu terjadi (locus
delictie), adalah penting untuk menetapkan :
1) Apakah terhadap suatu peristiwa itu berlaku undang-
undang negara kita sendiri ataukah undang-undang
pidana negeri asing.
2) Pengadilan mana yang kompeten mengadili perkaranya,
berhubung dengan ketentuan pembagian kekuasaan
pengadilan.
34
Sedangkan mengenai waktu terjadinya peristiwa pidana
(tempus delicti) penting untuk (Kuffal, 2007:210) :
1. Menetapkan, apakah yang harus diperlakukan itu
ketentuan-ketentuan dari KUHP yang berlaku sekarang
ataukah yang berlaku sebelumnya.
2. Menetapkan berlaku tidaknya pasal 45, 46, 47 KUHP,
yaitu ketentuan terhadap tertuduh pada waktu melakukan
tindak pidana belum cukup umur.
3. Menetapkan berlaku tidaknya pasal 79 ayat (1) KUHP,
yaitu tentang daluwarsa (verjaring).
6. Jenis-jenis Tindak Pidana
Ada beberapa jenis-jenis tindak pidana, yaitu:
1) Tindak Pidana Materiil (materieel delict) adalah apabila
tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan
hukum pidana di situ dirumuskan sebagai perbuatan
yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
merumuskan wujud dari perbuatan itu.
2) Tindak pidana formal (formeel delict) adalah apabila
tindak pidana yang dimaksudkan dirumuskan sebagai
wujud perbuatanya, tanpa mempersoalkan akibat yang
disebabkan oleh perbuatan itu.
35
3) Commissie Delict adalah tindak pidana yang berupa
melakukan suatu perbuatan positif, umpamanya
membunuh, mencuri dan lainlain. Jadi hampir meliputi
semua tindak pidana.
4) Ommissie delict adalah melalaikan kewajiban untuk
melakukan sesuatu.
5) Gequalificeerd Delict, istilah ini digunakan untuk suatu
tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa.
6) Voortidurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada
hentinya.
7. Faktor-faktor Yang Menimbulkan Tindak Pidana
Sebab-sebab timbulnya tindak pidana atau suatu kejahatan
dapat dijumpai dalam berbagai faktor. secara garis besar faktor-
faktor yang dapat menimbulkan tindak pidana atau suatu kejahatan
terdiri atas dua bagian yaitu (Waluyadi, 2003:29-56) :
1. Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern),
seperti :
a) Sifat khusus dalam diri individu
(1) Sakit jiwa : orang yang terkena sakit jiwa mempunyai
kecenderungan untuk bersikap anti sosial. Seorang sakit
36
jiwa mempunyai kecenderungan untuk melakukan
penyimpangan.
(2) Data emosional : masalah emosional erat hubungannya
dengan masalah sosial yang dapat mendorong seseorang
untuk berbuat menyimpang. Penyimpangan ini dapat
mengarah kepada suatu perbuatan kriminal jika orang
tersebut tidak mampu untuk mencapai keseimbangan
antara emosinya dengan kehendak masyarakat.
(3) Rendahnya mental : rendahnya mental erat hubungannya
dengan daya intelegensi. Jika seseorang mempunyai daya
intelegensi yang tajam dan dapat menilai realitas, maka
semakin mudah ia untuk dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat dan begitu pun sebaliknya.
(4) Anomi (kebingungan : secara psikologis, kepribadian
manusia itu sifatnya dinamis yang ditandai dengan adanya
kehendak, berorganisasi, berbudaya dan sebagaianya.
Kehendak-kehendak tersebut bersandar pada manusia
sebagai makhluk sosial. Masa anomi (kebingungan)
biasanya ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang
lama dan mulai menginjak dalam keadaan yang baru.
b) Sifat umum dalam diri individu, seperti :
37
(1) Umur : sejak kecil hingga dewasa, manusia selalu
mengalami perubahan-perubahan di dalam jasmani dan
rohaninya. Dengan adanya perubahan-perubahan tadi
maka tiap-tiap masa manusia dapat berbuat kejahatan,
hanya ada perbedaan dalam tingkatan kejahatan sesuai
dengan perkembangan alam pikiran serta keadaan lain
yang ada di sekitar individu pada masanya.
(2) Seks : Hal ini berhubungan dengan keadaan fisik. Fisik laki-
laki lebih kuat daripada wanita, maka kemungkinan untuk
berbuat jahat lebih besar.
(3) Kedudukan individu di dalam masyarakat.
(4) Pendidikan. Hal ini mempunyai mempengaruhi keadaan
jiwa, tingkah laku terutama intelegensinya.
(5) Rekreasi atau hiburan : walaupun kelihatannya sepele, hal
ini mempunyai hubungan dengan kejahatan, sebab sangat
kurangnya rekreasi dapat pula menimbulkan suatu tindak
pidana atau kejahatan di dalam masyarakat.
2. Faktor-faktor yang bersumber dari luar diri individu, seperti :
a) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab
timbulnya orang melakukan suatu tindak pidana. Beberapa
ekonomi yang dapat memicu adanya suatu tindak pidana
38
adalah perubahanperubahan harga, pengangguran dengan
urbanisasi.
a) Faktor Agama
Telah banyak usaha dilakukan untuk mengetahui
sejauhmana pengaruh faktor agama terhadap timbulnya
kejahatan. Norma-norma yang terkandung di dalam agama
mempunyai nilai-nilai yang tinggi dalam hidup manusia, sebab
norma-norma tersebut merupakan norma Ketuhanan.
c) Faktor Bacaan
Bacaan-bacaan yang buruk, porno dan kriminal
merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya
kejahatan. Bacaan porno merupakan sumber yang berbahaya,
khususnya bagi orang-orang yang punya pembawaan
melakukan kejahatan seks.
d) Faktor media massa
Pengaruh film atau tontonan terhadap timbulnya tindak
pidana hampir sama dengan pengaruh bacaan, hanya terletak
pada khayalan si pembaca atau penonton. Bacaan dapat
menimbulkan khayalan secara tidak langsung tentang kejadian
yang dibacanya, sedangkan penonton dapat langsung
menganalogikan dirinya pada film yang sedang ditontonnya.
39
Namun keduanya sama-sama mempunyai pengaruh terhadap
timbulnya tindak pidana atau kejahatan.
B. Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Asal mula perkembangan kriminologi tidak dapat disangkal
berasal dari penyelidikan C.Lomborso (1876). Bahkan lomborso
menurut Pompe dipandang sebagai salah satu tokoh revolusi
dalam sejarah hukum pidana, disamping Cesare Baccaria. Namun
ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa penyelidikan
secara ilmiah tentang kejahatan justru bukan dari Lomborso
melainkan dari Adolphe Quetelet, seorang Belgia yang memiliki
keahlian dibidang Matematika. Bahkan, dari dialah berasal “statistic
kriminil” yang kini dipergunakan terutama oleh pihak kepolisian si
semua negara dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan
kejahatan di negaranya (Romli Atmasasmita, 2010:9) .
Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu
sosiologi, antropologi, dan psikologi. Nama kriminologi pertama kali
ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi
Prancis. Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian kriminologi,
40
berikut Penulis kemukakan pandangan beberapa sarjana hukum
terkemuka, antara lain (A.S. Alam, 2010:1) :
a. Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa Criminology is the
body of knowledge regarding delinquency and crimes as social
phenomena (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang
membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala
sosial)
b. W.A. Bonger menjelaskan bahwa kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan yang
seluas-luasnya.
c. J. Constant mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang
menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat.
d. WME. Noach menjelaskan bahwa kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan
tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-
akibatnya.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan,
serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan dan upaya-upaya
penanggulangannya.
41
2. Ruang Lingkup Kriminologi
Berdasarkan ruang lingkup pembahasan, kriminologi meliputi tiga
hal pokok, yaitu :
1) Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making
laws). Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana
(process of making laws) meliputi :
a. Definisi kejahatan
b. Unsur-unsur kejahatan
c. Relativitas pengertian kejahatan
d. Penggolongan kejahatan
e. Statistik kejahatan
2) Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori
yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws).
Sedangkan yang dibahas dalam etiologi kriminal (breaking of
laws) meliputi : a) Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi, b)
Teori-teori kriminologi, c) Berbagai perspektif kriminologi
3) Reaksi terhadap pelanggaran hukum, (reacting toward the
breaking of laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan
kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga
reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya
pencegahan kejahatan (criminal prevention). Selanjutnya yang
dibahas dalam bagian ketiga adalah perlakuan terhadap
42
pelanggar-pelanggar hukum (Reacting Toward the Breaking
laws) meliputi : a) Teori-teori penghukuman, b) Upaya-upaya
penanggulangan/pencegahan kejahatan baik berupa tindakan
pre-emtif, preventif, represif, dan rehabilitatif.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kriminologi
mempelajari tentang kejahatan yaitu norma-norma yang ada dalam
peraturan pidana, yang kedua yaitu mempelajari pelakunya yang
sering disebut penjahat. Dan yang ketiga bagaimana tanggapan
atau reaksi masyarakat terhadap gejala-gejala timbul dalam
masyarakat.
3. Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi
Dalam kriminologi dikenal tiga aliran pemikiran untuk
menjelaskan fenomena kejahatan yaitu kriminologi klasik, positivis
dan kritis, yaitu (Susanto, 1991:5) :
1. Kriminologi Klasik
Seperti halnya dengan pemikiran klasik pada umunya
yang menyatakan bahwa intelegensi dan rasionalitas
merupakan ciri-ciri yang fundamental manusia dan menjadi
dasar untuk memberikan penjelasan perilaku manusia, baik
yang bersifat perorangan maupun kelompok, maka masyarakat
dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang
43
dikehendakinya. Ini berarti bahwa manusia mengontrol
nasibnya sendiri, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Begitu pula kejahatan dan penjahat pada umumnya
dipandang dari sudut hukum, artinya kejahatan adalah
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana,
sedangkan penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan.
Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu
yang menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Tanggapan
rasional yang diberikan oleh masyarakat adalah agar individu
tidak melakukan pilihan dengan berbuat kejahatan yaitu dengan
cara meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan sebaliknya
dengan menurunkan keuntungan yang dapat diperoleh dari
melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini, maka tugas
kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem hukuman
yang akan meminimalkan tindak kejahatan.
2. Kriminologi Positivis
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa
perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya,
baik yang berupa faktor biologis maupun kultural. Ini berarti
bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat
menuruti dorongan kehendaknya dan intelegensinya, akan
44
tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh situasi
biologis atau kulturalnya.
Aliran positivis dalam kriminologi mengarahkan pada
usaha untuk menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan
melalui studi ilmiah ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial dan
kultural. Oleh karena kriminologi positivis dalam hal-hal tertentu
menghadapi kesulitan untuk menggunakan batasan undang-
undang, akibatnya mereka cenderung untuk memberikan
batasan kejahatan secara alamiah, yaitu lebih mengarahkan
pada batasan terhadap ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada
perilaku yang didefinisikan oleh undang-undang.
3. Kriminologi Kritis
Aliran pemikiran ini tidak berusaha untuk menjawab
persoalan-persoalan apakah perilaku manusia itu bebas
ataukah ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada
proses-proses yang dilakukan oleh manusia dalam membangun
dunianya di mana dia hidup. Dengan demikian akan
mempelajari proses-proses dan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi pemberian batasan kejahatan kepada orang-
orang dan tindakan-tindakan tertentu pada waktu dan tempat
tertentu.
45
C. Tindak Pidana Perikanan
Tindak pidana atau perbuatan pidana menurut Moeljatno dalam
bukunya “Asas-asas Hukum Pidana” adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut. Moeljatno (1993 : 54) juga mengemukakan bahwa menurut
wujud atau sifatnya dalam arti bertentangan atau menghambat akan
terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap benar dan
adil. Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan menjadi suatu
tindak pidana, bila perbuatan itu :
1) Melawan hukum;
2) Merugikan masyarakat;
3) Dilarang oleh aturan-aturan pidana;
4) Pelakunya diancam dengan pidana. (Moeljatno, 1993 : 54)
Dalam hukum pidana terdapat asas lex specialis derogate legi
generalis, artinya peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan
yang umum. Maksudnya apabila undang-undang telah mengatur
tentang suatu tindak pidana maka tidak perlu menggunakan aturan
yang ada dalam KUHP. Sehingga hakim dalam memutus terdakwa
dalam menjatuhkan putusan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada. Dalam perkara penangkapan ikan dengan
menggunakan bom/bahan peledak ini aturan yang digunakan
46
hendaknya undang-undang yang ada yaitu Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan.
Adapun yang termasuk kedalam unsur-unsur tindak pidana di
bidang perikanan (illegal fishing) terkait dengan ketentuan-ketentuan di
dalm Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun
2009 Tentang Perikanan adalah (Aziz Syamsuddin, 2011:38-40) :
Setiap orang baik orang perseorangan maupun korporasi,
Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan ,ahli penangkapan
ikan dan anak buah kapal,
Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan
penanggung jawab perusahaan perikanan ,dan atau operator
kapal perikanan, dan
Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan ,kuasa pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan ,dan /atau penanggung
jawab perusahaan budidaya ikan, yang :
Melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia ,bahan biologis
,bahan peledak alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan, dan/atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya;
47
Dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa
,dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkap ikan yang berada di kapal
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan
,atau standar yang di tetapkan untuk tipe tertentu
dan/atau alat penangkap ikan yang tidak sesuai dengan
persyaratan,atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat
tertentu dan/atau alat penagkap ikan yang di larang
sebagaimana di dalam Pasal 9 UU No.31 tahun 2004;
Dengan sengaja memiliki ,menguasai ,membawa ,dan
atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat
bantu penangkap ikan yang mengganggu dan merusak
keberkanjutan sumber daya ikan di kapal penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara republik
Indonesia ,sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 UU
No. 31 Tahun 2004;
Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penagkapan
ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Negara republik
Indonesia dan/atau di laut lepas ,yang tidak memiliki SIPI
48
sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 Ayat (1) UU
No.45 Tahun 2009;
Memiliki dan /atau mengoperasikan kapal ikan
berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI
yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 Ayat (2) UU No.45 tahun 2009;
Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara
republik Indonesia yang tidak membawa SIPI asli
sebagaimana di maksud dalam Pasal 27 Ayat (3) UU
No.45 tahun 2009;
Memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI dan
SIKPI palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat
(3) UU No.45 Tahun 2009;
Tidak memiliki surat persetujuan berlayar yang di
keluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan dan
berlayar melakukan penangkap ikan dan/atau
penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari
pelabuhan perikanan ,sebagaiamana di maksud dalam
Pasal 42 Ayat (3) UU No.45 Tahun 2009;
49
Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan sumber daya ikan /atau
lingkungannya;
Membudidayakan ikan yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/ atau lingkungan sumber daya ikan
dan/atau kesehatan manusia;
Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang
dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan
manusia sebagaimana di maksud dalam Pasal 12 Ayat (3)
UU No.31 Tahun 2004;
Menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan
yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan
manusia sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 Ayat
(4) UU No.31 Tahun 2004;
Merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan;
Memasukkan,mengeluarkan,menagadakan,mengedarkan,
dan/atau memilihara ikan yang merugikan
masyarakat,pembudidayaan ikan, sumber daya ikan,
50
dan/atau lingkungan sumber daya ikan kedalam dan/atau
keluar wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia;
Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak
memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan sistem jaminan mutu dan keamanan
hasil perikanan; dan
Melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau
hasil perikanan dari dan /atau ke wilayah republik
Indonesia yang tidak di lengkapi sertifikat kesehatan untuk
konsumsi manusia.
Sanksi pidana yang di kenakan kepada pelaku tindak pidana di
bidang perikanan berupa pidana penjara dan pidana denda.(ketentuan
pasal 84 sampai pasal 102 UU No.31 Tahun 2004 jo ,UU No.45 tahun
2009)
Keberadaan tindak Pidana di Bidang Perikanan dapat dikatakan
merupakan akibat dari perkembangan kejahatan yang melahirkan
bentuk atau jenis-jenis kejahatan baru, yang kemudian melahirkan
tuntutan untuk mempersiapkan perangkat-perangkat hukum yang
khusus untuk mengatur kejahatan tersebut.
51
Mengenai pengertian tindak pidana perikanan maka pengertian
tindak pidana perikanan juga dapat didefenisikan dari beberapa aspek,
seperti :
a) Pengertian tindak pidana perikanan dilihat dari aspek
wilayah atau daerah atau tempat terjadinya tindak pidana,
maka tindak pidana di bidang perikanan dapat diartikan
sebagai tindak pidana yang merupakan bagian dari tindak
pidana wilayah perairan.
b) Pengertian tindak pidana di bidang perikanan diartikan dari
aspek ruang lingkup aktivitas di bidang perikanan.
c) Pengertian tindak pidana di bidang perikanan yang diberikan
atas dasar modus operandi tindak pidana yang dilakukan.
Secara keseluruhan rumusan tindak pidana perikanan adalah
melakukan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-
undangan perikanan, yang berakibat rusaknya atau membahayakan
sumber daya ikan, baik itu populasi ikan maupun habitat lingkungan
ikan.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bom/bahan peledak
yang digunakan oleh pelaku tindak pidana atau kejahatan dengan
maksud dan tujuan tertentu, dengan cara atau modus kejahatan yang
telah direncanakan sehingga menyebabkan terganggu atau rusaknya
potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
52
Republik Indonesia merupakan perbuatan yang dilarang oleh
peraturan perundang-undangan sehingga digolongkan dalam tindak
pidana perikanan.
Pengaturan mengenai penangkapan ikan dengan
menggunakan bom/bahan peledak ini diatur dalam Pasal 85 Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Perikanan yang
berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Untuk perkaran penangkapan ikan dengan menggunakan
bom/bahan peledak dalam Undang-Undang ini menyebutkan ancaman
pidana bagi pelaku dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00. Hal-hal lain yang dapat
mempengaruhi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana
kepada pelaku kejahatan dapat mengurangi atau menambahkan
acaman pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum..
Sumber daya ikan menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 mendefenisikan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua
jenis ikan. Sehubungan dengan penangkapan ikan yang mengganggu
53
dan merusak berkelanjutan sumber daya ikan maka diperlukan adanya
perlindungan lingkungan sumber daya ikan di wilayah pengelolaann
perikanan Negara Republik Indonesia.
a) UU. No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif
1) Pasal 16 Ayat (1) “Barang siapa melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) ,pasal 6 dan Pasal 7 dipidana dengan pidana denda setingi-tingginya Rp225.000.000,-(dua ratus dua puluh lima juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Barang siapa
Unsur objektif
Tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) ,pasal 6 dan Pasal 7
Sanksi pidana
Pidana denda setingi-tingginya Rp225.000.000,-(dua
ratus dua puluh lima juta rupiah).
2) Pasal 16 Ayat (3)
“Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tecemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang lingkungan hidup”.
Unsur subjektif
Barang siapa
54
Dengan sengaja
Unsur objektif
Melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan
rusaknya lingkungan hidup dan/atau tecemarnya
lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
Sanksi pidana
Pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dibidang lingkungan hidup.
3) Pasal 17
“Barang siapa merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 16 ayat (1),dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada wakti dilakukan pemeriksaan ,dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp75.0000.000,-(tujuh puluh lima juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Barang siapa
Unsur objektif
Merusak dan memusnahkan barang bukti yang dilakukan
untuk melakukan tindak pidana sebagaimana di maksud
dalam pasal 16 ayat (1),dengan maksud untuk
menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan terhadap
55
barang-barang tersebut pada wakti dilakukan
pemeriksaan
Sanksi pidana
Pidana denda setinggi-tingginya Rp75.0000.000,-(tujuh
puluh lima juta rupiah).
b) UU. No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
1) Pasal 84 Ayat (1)
“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia,bahan biologis,bahan peledak ,alat dan/atau cara ,dan atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam pasal 8 ayat (1) ,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00(satu miliar dua ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia,bahan
biologis,bahan peledak,alat dan/ataumembahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
56
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 6 (enam)tahun ,dan
Pidana denda paling banyak Rp1.200.000.000,00
(satu miliar dua ratus juta rupiah).
2) Pasal 84 Ayat (2)
“Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan ,ahli penangkapan ikan ,dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia ,bahan biologis ,bahan peledak,alat dan/atau cara ,dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam pasal 8 ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,-(satu miliar dua ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan,ahli
penangkapan ikan,dan anak buah kapal
Dengan sengaja.
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kiimia,bahan biologis,bahan peledak,alat dan/atau
cara,dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
lingkungannya
57
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun,dan
Pidana denda paling banyak Rp1.200.000.000,00
(satu miliar dua ratus juta rupiah).
3) Pasal 84 Ayat (3)
“Pemilik kapal perikanan , pemilik perusahaan perikanan,penanggung jawab perusahaan perikanan,dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan RepubliK Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia ,bahan biologis ,bahan peledak,alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam pasal 8 ayat (3),dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh)tahun dan denda paling banyak Rp2.0000.000.000,00(dua miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Pemilik kapal perikanan , pemilik perusahaan
perikanan,penanggung jawab perusahaan
perikanan,dan/atau operator kapal perikanan.
Dengan sengaja.
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia,bahan biologis,bahan
peledak,alat dan/atau cara ,dan/atau bangunan yang
58
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaraan
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 10(sepuluh)tahun,dan
Pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
4) Pasal 84 Ayat (4)
“Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan ,kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan ,dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengeloaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia ,bahan biologis,alat dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam pasal 8 ayat (4) ,dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh)tahund dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00(dua miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,kuasa
pemilik,perusahaan pembudidayaan ikan,dan atau
penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan.
Dengan sengaja.
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara,dan/atau bangunan yang
59
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lungkungannya sebagaimana
dimaksud.
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 10(sepuluh)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
5) Pasal 85
“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki,menguasai, membawa ,dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang di tetapkan ,alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyratan ,atau standar yan g di tetapkan untuk tipe alat tertentudan atau alat penangkapan ikan yag dilarang sebagaimana di maksud dalam pasal 9 di pidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00(dua miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
memiliki,menguasai,membawa,dan/atau
menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat
60
bantu penangkapan ikan yang berada di kapal
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan dengan
persyaratan ,atau standar yang di tetapkan untuk tipe
alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang
dilarang sebagaimana dimaksud.
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah)
6) Pasal 86 Ayat (1)
“Setiap orang yang dengan sengaja di wlayah pengolahan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimanadi maksud dalam pasal 12 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00(dua miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Diwilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud.
61
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 10(sepuluh)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
7) Pasal 86 Ayat (2)
“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengolahan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaiman dimaksud dalam pasal 12 ayat(2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
membudidayakan ikan yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan
dan/atau kesehatan manusia.
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
62
8) Pasal 86 Ayat (3)
“Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau keehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun denda paling banyak Rp1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang
dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 6 (enam)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
63
9) Pasal 86 Ayat (4)
“Setiap orang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana di maksud dalam pasal 12 ayat(4),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan
ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan umat manusia.
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
64
10) Pasal 87 Ayat (1)
“Setiap orang yang dengan sengaja di wiliyah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana di maksud dalam pasal 14 ayat (4) di pidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua)tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
ikan
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 2(dua)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
11) Pasal 87 Ayat (2)
“Setiap orang yang karena kelalaiaannya di wilayah pengelolalaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaita dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat(4),dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima ratus juta rupiah)”.
65
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
12) Pasal 88
“Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan ,mengeluarkan ,mengadakan,mengedarkan,dan/atau memilihara ikan yang merugikan masyarakat ,pembudidayan ikan,sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan kedalam dan atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan atau keluar wilayah pengelolaan periakanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
66
Unsur objektif
Memasukkanmengeluarkan,mengadakan,mengedarkan,
dan/atau memilihara ikan yang merugikan masyarakat
,pembudidayan ikan, sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan kedalam dan atau
lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan atau keluar
wilayah pengelolaan periakanan Republik Indonesia
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah)
13) Pasal 89
“Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan dan kelayakan pengolahan ikan ,sistem jaminan mutu,dan keamanan hasil perikanan sebagaimana di maksud dalam pasal 20 ayat (3),dipidana dengan denda pidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan denda paling banyak Rp.800.000.000,00(delapan ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Unsur objektif
Yang melakukan dengan penanganan dan
pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak
67
menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan
sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1(satu) tahun; dan
Pidanadenda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
14) Pasal 90
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/ atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak di lengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 21,dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00(delapan ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau
hasil perikanan dari dan/ataukelwilayah Republik
Indonesia yang tidak di lengkapisertifikat kesehatan
untuk konsumsi manusia.
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan
68
Pidana denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
15) Pasal 91
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku ,bahan tambahan makanan ,bahan penolong ,dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat(1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Menggunakan bahan baku ,bahan tambahan
makanan,bahan penolong,dan/atau alat yang
membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan
dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
69
16) Pasal 92
“Setiap orang yag dengan sengaja diwilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan,pembudidayaan ,pengangkutan ,pengolahan ,dan pemasaran ikan yang tidakmemeiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 8(delapan)tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Dengan sengaja
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan
,pembudidayaan,pengangkutan ,pengolahan dan
pemasaran ikan yang tidak memiliki SIUP
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 8 (delapan)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
17) Pasal 93 Ayat (1)
“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan /atau di laut lepas yang tidak memilik SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat
70
(1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00(dua miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
penangkapan ikan.
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dan /atau di laut lepas yang tidak memilik SIPI
Sanksi pidana
pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan
pidana denda banyak Rp2.000.000.000,00(dua miliar
rupiah).
18) Pasal 93 Ayat (2)
“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)tahun denda paling banyak Rp20.000.000.000,00(dua puluh miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
71
Unsur objektif
Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Asing melakukan penangkapan ikan. Di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,yang
tidak memiliki SIPI
Sanksi pidana
pidana penjara paling lama 6(enam)tahun dan
pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah)”.
19) Pasal 94
“Setiap orang yang memiliki dan /atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaiman dimaksud dalam pasal 28 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan denda paling banyakRp 1.500.000.000,00(satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang yang memiliki dan /atau mengoperasikan
kapal pengangkut ikan
Unsur objektif
Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang
terkait yang tidak memiliki SIKPI
72
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan
Pidana denda paling banyakRp 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
20) Pasal 95
“Setiap orang yang membangun,mengimpor,,atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1),di pidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00(enam ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang yang membangun , mengimpor,atau
memodifikasi kapal perikanan.
Unsur objektif
tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah)
21) Pasal 96
“Setiap orang yang mengoperasikan kapal peikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) dipidana
73
dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan deda paling banyak Rp.800.000.000,00(delapan ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan
Unsur objektif
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan
Pidanadenda paling banyak Rp.800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah)”.
22) Pasal 97 Ayat (1)
“Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkap ikan ,yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebgaimana di maksud dalam pasal 38 ayat (1),dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkap
ikan ,yang selama berada
74
Unsur objektif
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka
Sanksi pidana
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima
ratus juta rupiah)”.
23) Pasal 97 Ayat (2)
“Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1(satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana di maksud dalam pasal 38 ayat (2),dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan
ikan
Unsur objektif
1(satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu di ZEEI yang
membawa alat penangkapan ikan lainnya.
Sanksi pidana
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00(satu
miliar rupiah).
75
24) Pasal 97 Ayat (3)
“Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan,yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan didalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat(3) ,dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima ratus juta rupiah)”.
Unsur subjektif
Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan
ikan,yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan
didalam palka selama berada di luar daerah
penangkapan ikan yang diizinkan
Unsur objektif
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
Sanksi pidana
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00(lima
ratus juta rupiah)
25) Pasal 98
“Nahkoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kappa; perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) ,dipidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah)”.
76
Unsur subjektif
Nahkoda
Unsur objektif
berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kappa;
perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1(satu)tahun dan
Pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
26) Pasal 99
“Setiap orang asing yang melakukan penilitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dlam pasal 55 ayat (1) ,dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang asing yang melakukan penilitian perikanan
Unsur objektif
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
yang tidak memiliki izin dari pemerintah
Sanksi pidana
Pidana penjara paling lama 1 (satu)tahun dan
77
Pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
27) Pasal 100
“Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2)dipidana dengan pidana denda paing banyak Rp.250.000.000,00(dua ratus lima puluh juata rupiah)”.
Unsur subjektif
Setiap orang
Unsur objektif
melanggar ketentuan yang ditetapkan.
Sanksi pidana
pidana denda paling banyak Rp.250.000.000,00(dua
ratus lima puluh juata rupiah)”.
28) Pasal 101
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1),pasal 85,pasal 86,pasal 87,pasal 88,pasal 89,pasal 90,pasal 91,pasal 92,pasal 93,pasal 94,pasal 95,dan pasal 96 dilakukan oleh korporasi ,tuntutan dan sanksi pidananya di jatuhakan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya di tambah 1/3(sepertiga)dari pidana yang di jatuhkan”.
Unsur subjektif
Korporasi
Unsur objektif
78
pasal84 ayat (1),pasal 85,pasal 86,pasal 87,pasal
88,pasal 89,pasal 90,pasal 91,pasal 92,pasal 93,pasal
94,pasal 95,dan pasal 96
Sanksi pidana
Pidana denda ditambah 1/3(sepertiga)dari pidana ynag
dijatuhkan.
29) Pasal 103 Ayat (1)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 84,pasal
85,pasal 86,pasal 88,pasal 91,pasal 92,pasal 93,dan pasal
94 adalah kejahatan .
30) Pasal 103 Ayat (2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 87,pasal
89,pasal 90,pasal 95,pasal 96,pasal 97,pasal 98,pasal
99,dan pasal 100.
D. TNI-AL Dalam Ketentuan Undang-Undang Perikanan
Melihat peraturan perundang yang menjadi dasar kewenangan
untuk melakukan penyidikan aparat penegak hukum dalam
pe
Top Related