2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Kuniran (Upeneus sp.)
2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran (Upeneus sp.)
Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk
badan memanjang sedang, pipih samping dengan penampang melintang bagian
depan punggung, serta ukurannya tubuhnya yang mencapai 20 cm. Klasifikasi ikan
kuniran menurut Saanin (1984):
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Percomorphi
Famili : Mullidae
Genus : Upeneus
Spesies : Upeneus sulphureus
Adapun gambar ikan kuniran dapat dilihat pada Gambar 1.
Google Image (2017)
Gambar 1. Ikan Kuniran (Upeneus sp.)
Jenis ikan ini hidup di daerah dangkal berpasir di sekitar terumbu karang.
Bentuk badan memanjang sedang, pipih samping dengan penampang melintang
bagian depan punggung beberapa garis bengkok yang dalam dan kepala tumpul.
Mempunyai pita gelap berwarna coklat kemerahan memanjang di atas gurat sisi mulai
dari moncong melewati mata sampai ke pertengahan dasar pangkal ekor. Ikan kuniran
merupakan ikan karnivora yang memiliki panjang usus lebih pendek dari pada ukuran
tubuhnya. Ikan kuniran memiliki sungut di rahang bagian bawah (Prabha dan
Manjulatha, 2008).
2.1 Tanaman Pepaya
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan, tanaman pepaya ( Carica
papaya ) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae ( tumbuh-tumbuhan )
Divisio : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )
Subdivisio : Angiospermae ( berbiji tertutup )
Class : Dicotyledonae ( biji berkeping dua )
Ordo : Caricales
Familia : Caricaceae
Genus : Carica
Species : Carica papaya L.
Adapun gambar tanaman papaya dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Google Image (2017)
Gambar 2. Buah Pepaya (Carica papaya)
Pepaya ( Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika
tropis. Buah pepaya tergolong buah yang popular dan digemari oleh hampir seluruh
penduduk penghuni bumi ini. Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung
getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau
enzim proteolitik yang disebut papain (Moehd, 1999). Adapun daftar komposisi kimia
buah papaya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Buah Pepaya Per 100 g
Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 24.00 Protein (g) 1.9
Lemak (g) 0.2
Karbohidrat (g) 3.7
Kalsium (mg) 51.00 Fosfor (mg) 33.00 Besi (mg) 1.8 Vitamin A (SI) - Vitamin B1 (mg) 0.32 Vitamin C (mg) 85.30 Air (g) 93.40 B.d.d (%) 60.00
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1995).
Adapun struktur morfologi buah papaya dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Google Image (2017)
Keterangan :
Gambar 3. Struktur Morfologi Buah Pepaya
EX : Eksokarp (lapisan terluar buah)
ME : Mesokarp (daging buah)
PL : Plasenta (tempat dudukan biji)
SS : Stigma scar (bekas kepala putik)
P : Peduncle (tangkai bunga)
DB : (berkas pembuluh dorsal)
2.2 Enzim Papain
Enzim berfungsi di dalam tubuh makhluk hidup berbeda dengan katalisator
anorganik yang sering digunakan di laboratorium, enzim mempunyai sifat khusus,
enzim tertentu mau mengkatalis hanya sekelompok reaksi tertentu (Supraytino, 2001).
Suatu molekul substrat berikatan dengan bagian aktif enzim melalui suatu mekanisme
khas dan selektif dalam hubungan yang disebut dengan Lock and Key (Suprayitno,
1991). Enzim protease berperan dalam memperpendek lama fermentasi dan
mempengaruhi kualitas kecap ikan yang di buat. Salah satu jenis enzim protease
adalah enzim papain. Protease dapat diperoleh dari jaringan tumbuhan. Salah satu
jenis tumbuhan yang mengandung enzim protease adalah pepaya (Carica papaya L.).
Pepaya adalah tumbuhan penghasil enzim papain yang merupakan golongan enzim
protease sulfihidril (Dongoran, 2004). Enzim papain didalam perdagangan dibagi
menjadi dua jenis yaitu papain kasar (crude papain) dan papain murni (crystal papain).
Papain kasar adalah getah pepaya yang dikeringkan dan kemudian dihaluskan
sehingga berbentuk tepung. Papain kasar masih mengandung material dan enzim
lainnya seperti kimopapain dan lisozim. Papain murni adalah papain kasar yang
dimurnikan sehingga tidak mengandung material dan enzim lainnya selain enzim
papain (Warisno, 2003). Dalam suasana asam pH optimum adalah 4 sampai 6
(Suprayitno, 1995). Adapun spesifikasi papain secara komersial dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Papain Secara Komersial
Pengujian Papain Kasar Papain Murni
Warna Cokelat sampai putih Putih Bau Tidak disukai Disukai Bahan tak larut (%( Sampai 30 Maks. 0.05 Kadar Air (%) Sampai 18 Maks. 6.00 Total Abu (%) Sampai 14 Maks. 5.00 Pasir (%) Sampai 5 Tidak ada Kotoran Banyak Tidak ada Total Bakteri Sampai 3 10³/g Maks. 10³ g Penurunan aktivitas setelah 6 bulan (%)
Sampai 50 Sampai 5
Aktivitas proteolitik (U g) 70 – 500 70 – 1000
Sumber : Muchtadi et al., (1980)
Beberapa kegunaaan proteolitik telah diteliti antara lain berfungsi sebagai
pengempuk daging, pembuatan konsentrat protein, proses hidrolisis protein dan
sebagai anti dingin dalam industri pembuatan bir (Yuniwati dan Purwanti, 2008).
Adapun komposisi kimia getah pepaya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Getah Pepaya
Sumber : Winarno (1983)
Enzim ini mempunyai aktivitas katalitik sebagai proteinase dan sanggup
menghidrolisis peptida. Berdasarkan sifat-sifat kimia dari lokasi aktif, papain termasuk
protease sulfhidril, karena bagian aktif papain adalah gugus –SH. Aktivitas enzim
papain cukup spesifik karena papain hanya dapat mengkatalisis proses hidrolisis
dengan baik pada kondisi pH serta suhu dalam kisaran waktu tertentu. Papain
mempunyai pH optimum 7,2 pada substrat BAEE (benzoil arginil etil ester), pH 6,5
pada substrat kasein, pH 7,0 pada albumin dan pH 5,0 pada gelatin (Muchtadi et al.,
1980).
Komposisi % Dalam Getah
Enzim Papain 10
Enzim Kimopapain 45
Enzim Lizozim 20
Suhu optimal papain sendiri adalah 50-60ºC. Selain pepaya dikenal beberapa
jenis tanaman lain yang menghasilkan enzim protease. Komposisi dan daya aktif
masing-masing enzim tersebut akan berbeda. Papain relatif tahan terhadap suhu, bila
dibandingkan dengan enzim proteolitik lainnya seperti bromelin dan lisin (Winarno,
1983). Ekstraksi enzim papain dilakukan dengan cara menimbang 5 gram getah
papaya. Kemudian dilarutkan dalam 50 ml 0.1 M NaCl atau 0.1 – 0.5 M larutan buffer
fosfat pH 7.0. Campuran tersebut dibiarkan selama 1 – 2 jam pada suhu 4ºC.
Disentrifugasi untuk memisahkan bagian – bagian yang tidak terlarut pada 3.000 g
selama 15 menit pada suhu dingin. Pemisahan enzim dilakukan dengan cara
pengendapan (Suprayitno, 1995). Adapun diagram alur proses ekstrak enzim papain
dapat dilihat pada Gambar 4.
5 gram getah pepaya
Dilarutkan dalam 50 ml M NaCl
atau 0.1-0.5 M Buffer Fosfat pH 7
Dibiarkan selama 1 – 2 jam pada
suhu 4ºC
Disentrifugasi selama 15 menit pada suhu
dingin
Pemisahan enzim dengan pengendapan
Gambar 4. Diagram Alir Ekstrak Enzim Papain Menurut Suprayitno (1995)
2.3 Kecap Ikan
Kecap berasal dari Cina merupakan penyedap makanan tradisional yang telah
dikenal di Asia sejak 1000 tahun yang lalu, kemudian menjadi terkenal pula di negara
Amerika. Kecap merupakan produk tradisional yang sudah dikenal dan diterima
secara meluas di dunia internasional seperti kecap manis Indonesia yang telah
diekspor ke negara Australia, Uni Emirat Arab, Fiji, Suriname, Singapura, Hongkong,
Kuwait, Brunai Darussalam, Taiwan, Jepang, Selandia Baru, dan Belanda (Wibowo,
1990). Kecap Ikan merupakan produk perikanan yang banyak dimanfaatkan sebagai
bahan tambahan dalam masakan dan makanan oleh berbagai negara seperti China,
Korea, dan Thailand. Kecap ikan mempunyai rasa dan aroma yang khas . Biasanya
setiap negara mempunyai kualitas produk kecap ikan yang berbeda, hal ini
dikarenakan jenis ikan yang digunakan pembuatan ikan berbeda-beda. Nampla
merupakan kecap ikan dari Thailand yang mendominasi pasar dunia (Udomsil et al.,
2010 ). Menurut data statistik perikanan tangkap Indonesia tahun 2010, kecap ikan
merupakan proses pengolahan ikan yang paling sedikit dilakukan oleh para pengolah
hasil perikanan dibandingkan fermentasi yang lain, karena selama tahun 2010
produksi kecap ikan hanya sebesar 266 ton (Widyastuti et al., 2014).
Kecap ikan merupakan salah satu produk hasil fermentasi ikan. Kecap ikan
memiliki cita rasa yang berbeda dengan kecap kedelai. Mempunyai warna yang
bening kekuningan sampai cokelat muda dengan rasa asin yang relatif serta banyak
mengandung senyawa – senyawa nitrogen. Selain komponen nitrogen, kecap ikan
mengandung mineral yang penting bagi tubuh contohnya garam NaCl atau garam
kalsium. Kecap Ikan mempunyai kandungan gizi tinggi karena mengandung nitrogen
.Pada proses pengolahan kecap, protein ikan akan terhidrolisis. Berdasarkan hasil
penelitian selama proses, amino nitrogen akan mengalami peningkatan tetapi akan
terjadi penurunan total nitrogen. Amino nitrogen merupakan unsur gizi yang baik untuk
tubuh karena mudah dicerna (Adawyah, 2007) .
Secara terminologi teknologi, kecap ikan merupakan hasil penguraian secara
biologis melalui proses fermentasi terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama
protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), kecap ikan didefinisikan sebagai
produk cair yang diperoleh dengan hidrolisis ikan dengan atau tanpa penambahan
bahan makan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Proses hidrolisis
dapat dilakukan melalui proses fermentasi atau proses kimia. Sebagai produk pangan,
kecap termasuk bumbu makanan berbentuk cair, berwarna coklat kehitaman, serta
memiliki rasa dan aroma ikan yang khas (Ebook Industri Kecap Ikan, 2010). Adapun
komposisi kimia kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Kecap Ikan
Komposisi Jumlah (g/l)
Keasaman 2.5 – 3 NaCl 275 – 280
Total N 11.2 – 22.0
N Organik 7.5 – 15
N Formol Titrasi 8 – 16
N Amonia 3.5 – 7
N Asam amino 4.5 – 9
Sumber : Adawiyah (2007)
Kecap ikan merupakan salah satu produk bahan makanan hasil olahan melalui
proses fermentasi yang dibuat dari ikan maupun limbah ikan, mempunyai rasa dan
bau yang khas serta daya simpannya yang lama (Purwaningsih dan Nurjanah, 1995).
Kecap ikan adalah produk hasil hidrolisa ikan (baik fermentasi dengan garam,
enzimatis maupun kimiawi) yang berbentuk cair dan berwarna coklat jernih (Astawan,
1988). Adapun syarat mutu kecap ikan menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Syarat Kualitas Kecap Ikan
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan 1.1 Penampakan - Jernih 1.2 Bau - Khas 1.3 Rasa - Khas 1.4 Warna - Normal 2. pH - 5-6 3. Amino Nitrogen %b/b Min. 5 4. NaCl %b/b 19 – 25 5. Bahan Tambahan
Makanan
5.1 Pengawet Makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 5.2 Pewarna Tambahan mg/kg 6. Cemaran Logam mg/kg 6.1 Timbal (Tb) mg/kg Maks. 2,0 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0 6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 100,0 6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,5 7. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0 8. Cemaran Mikroba: 8.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks. 10⁴ 8.2 Coliform APM/g <3 8.3 Salmonella/25ml - Negatif 8.4 Staphylococcus
aureus/ ml - Negatif
8.5 Kapang - Negatif
Sumber : SNI- 2017
2.4 Kualitas Kecap Ikan
Kecap merupakan salah satu bentuk produk hasil fermentasi yang telah dikenal
sejak lama. Produk ini berbentuk cairan, berwarna coklat tua, berasa relatif manis,
asin atau diantara keduanya dengan aroma yang khas sehingga sering digunakan
sebagai bumbu masakan dan pelengkap beberapa makanan (Khotimah dan
Nooryantini, 2016). Namun kecap merupakan salah satu produk yang paling sedikit
dilakukan oleh para pengolah dibandingkan dengan proses fermentasi lain Menurut
data statistik perikanan tangkap Indonesia tahun 2010, kecap ikan merupakan proses
pengolahan ikan yang paling sedikit dilakukan oleh para pengolah hasil perikanan
dibandingkan fermentasi yang lain, karena selama tahun 2010 produksi kecap ikan
hanya sebesar 266 ton. Padahal menurut beberapa penelitian, kecap ikan dapat
menaikkan nilai mutu dari limbah perikanan dan ikan yang kurang ekonomis menjadi
suatu produk yang cukup bernilai. Sesuai dengan beberapa parameter yang
digunakan dalam setiap penelitian menunjukkan kenaikan nilai mutu terhadap hasil
olahan kecap ikan terutama kecap ikan yang diolah secara enzimatis dengan bantuan
enzim protease (Widyastuti et al., 2014)
Menurut Moniharapon dan Fredy (2016), daging merah biasanya dijual murah
dan kurang dimanfaatkan, sementara potensinya cukup besar. Pengolahan kecap
ikan merupakan solusi pemecahan dalam rangka diversifikasi produk olahan hasil
perikanan. Pembuatan kecap ikan secara enzimatis menggunakan ekstrak nanas.
Dalam hasil penelitian diketahui kualitas kadar protein kecap ikan menggunakan yang
dihasilkan sebesar 5 %, kadar air sebesar 37.74%, kadar lemak 0.50%, kadar abu
5.02% dan pH 5.43. Bahkan pada penelitian Khotimah dan Nooryantini (2016)
mengenai kecap keong sawah dengan fermentasi enzimatis kombinasi bromelin dan
papain didapat kadar air 74.275%, kadar abu 9.89%, kadar lemak 2.355% dan kadar
protein yang cukup tinggi sebesar 21.71%. Sedangkan pada penelitian Kristianawati
et al., (2014), penggunaan enzim tripsin dan pepsin pada kecap ikan isi rongga perut
ikan Manyung menghasilkan pH 5.48 yang memenuhi kriteria mutu kecap dari
Thailand.
Pada penelitian mengenai kualitas kecap ikan diatas terdapat indikator mengenai
kadar protein yang telah sesuai standar bahkan jauh diatas standar mutu pertama
kualitas kecap ikan. Adapun syarat mutu kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Syarat Kualitas Kecap Ikan
Pemeriksaan Tetapan
1. Kadar Protein Mutu I min 6%
Mutu II min 2%
2. Logam – logam berbahaya( Hg, Pb, Cu) dan As
Negatif
3. Keadaan (bau, rasa dll) Normal
Sumber : SII-0032-74
2.5.1 Profil Asam Amino Uji HPLC
Protein yang dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan dihasilkan
campuran asam – asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino,
sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada atom
C yang dikenal sebagai karbon ɑ, serta gugus R merupakan rantai cabang (Winarno,
2004). Kromatografi cair dengan kinerja tinggi (High Performance Liquid
Chromatography) banyak digunakan untuk analisis asam amino. Metode ini ditunjang
dengan peralatan yang baik dan modern, menggunakan kolom yang sangat efisien
dan dibawah tekanan yang besar sehingga analisis asam amino dapat dilakukan
dalam waktu yang singkat dan memberikan hasil yang tepat dan teliti (Rediatning dan
Kartini, 1987). Asam amino biasanya diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia rantai
samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai samping dapat membuat asam
amino bersifat asam lemah, basa lemah, hidrofilik jika polar, dan hidrofobik jika
nonpolar (Rafiqi dan Junaidi, 2012). Menurut Sprayitno dan Sulistyati (2017) bahwa
berdasarkan kepada sifat kimia yang dimiliki, asam amino dikelompokkan kedalam
asam amino dengan rantai karbon terbuka, asam amino yang bersifat asam, asam
amino dengan rantai karbon tertutup, asam amino yang memliki aroma dan asam
amino yang mengandung ion sulfur
Kromatografi adalah teknik yang digunakan untuk pemisahan konstituen
dalam campuran. Teknik ini melibatkan 2 fase yaitu fase stasioner (fase diam) dan
mobile (fase gerak). Pemisahan konstituen didasarkan pada perbedaan antara
koefisien partisi dari dua fase. Pada sistem kromatografi fase normal (normal phase
Chromatography), metode pemisahan didasarkan pada polaritas dimana fase
diamnya adalah polar yang menggunakan beberapa silika dan fase geraknya adalah
non polar yang biasanya menggunakan heksana, kloroform dan dietil eter. Sedangkan
kebalikan dari fase normal, jika fase geraknya adalah polar dan fase diamnya non
polar atau hidrofobik disebut kromatografi fase terbalik (reverse phase
choromatography) sehingga Semakin banyak sifat non-polar semakin banyak yang
akan dipertahankan (Thammana, 2016).
Ciri teknik HPLC adalah dengan penggunaan tekanan tinggi untuk mengirim
fase gerak ke dalam kolom. Dengan memberikan tekanan tinggi, akibatnya, HPLC
disebut sebagai kromatografi cair bertekanan tinggi (Veronica et al., 1999). Prinsip
pemisahan kromatografi yaitu adanya distribusi komponen – komponen dalam fase
diam dan fase gerak berdasarkan perbedaan sifat fisik komponen yang akan
dipisahkan (Ardianingsih, 2009). Ditambahkan oleh Adapun prinsip dari HPLC yaitu
suatu sampel berupa larutan diinjeksikan kedalam kolom yang berisi fase diam dan
fase gerak, kemudian diberikan tekanan tinggi sehingga fase gerak dapat mengelusi
sampel keluar dari kolom dan terdeteksi oleh detektor yang kemudian dihasilkan
kromatogram (Charde et al., 2014). Menurut Rediatning dan kartini (1987) bahwa
pada derivatisasi fase terbalik, asam amino primer akan bereaksi secara spesifik
dengan OPA/2-ME atau OPA/ETSH sehingga terbentuknya suatu derivat yang dapat
berfluoresensi kuat dan bersifat hidrofob yang memunkinkan terjadinya pemisahan
secara kromatografi fase balik menggunakan kolom non polar dan fase gerak yang
polar sehingga asam amino yang mempunyai kepolaran tinggi akan terelusi terlebih
dahulu. Dua hal penting yang perlu diketahui tentang masing-masing analit yang
muncul sebagai puncak dalam kromatogram adalah waktu retensi dan area puncak.
Bagian terpenting dari informasi yang diperlukan untuk setiap puncak adalah waktu
retensi (merupakan informasi jenis analit) dan area puncak (merupakan informasi
jumlah analit). Waktu retensi harus sama untuk standar dan sampel (Terril, 2003).
Adapun proses uji asam amino dapat dilihat pada Gambar 5 dan diagram alir uji HPLC
dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Google Image (2017)
Rantai samping pada asam amino (gugus –R) yang berbeda-beda pada asam
amino menentukan struktur, ukuran, muatan elektrik dan sifat kelarutan dalam air.
Asam amino yang bersifat hidrofobik (non polar) : Alanin, isoleusin, leusin, metionin,
Gambar 5. Proses Uji Profil Asam Amino
fenilalanin, prolin, triptofan, tirosin, valin. Asam amino yang bersifat hidrofilik (polar) :
arginin, aspargin, asam aspartat, sistein, asam glutamat, glutamin, glisin, histidin, lisin,
serin, treonin (Rafiqi dan Junaidi, 2011).
Sumber: AOAC (1990)
Sampel ditimbang 3 g kemudian di hidrolisis
menggunakan HCl 6N 10 ml
Tambahkan N2 dan masukan dalam oven suhu
110ºC selama 24 jam
Disaring dengan kertas saring dan keringkan menggunakan
rotary evaporator suhu 85ºC selama 30 menit
Tambahakan 5 ml HCl 0.01 N dan disaring menggunakan
kertas saring
Injeksi larutan standar (Pencampuran larutan stok dengan larutan
standar dan buffer borat (1:1) lalu ambil 5 μL dan injeksikan ke
dalam HPLC selama 30 menit
Campurkan sampel dengan pencampuran larutan stok dengan
larutan standar dan buffer borat (1:1) dan di injeksikan pada HPLC
campurkan ortoftalaldehida (OPA) 50 mg, metanol 4 mL, merkaptoetanol
0,025 mL, brij-30 30% sebanyak 0,050 mL, dan buffer borat 1 M pH = 10,4.
Lalu campurkan satu bagian larutan stok dengan dua bagian larutan buffer
Kalium Borat pH 10,4.
Gambar 6. Diagram Alir Uji Profil Asam Amino.
2.5 Fermentasi
Fermentasi merupakan cara pengawetan tradisional di Indonesia dan negara –
negara Asia Tenggara, yang prosesnya relatif mudah dan murah. Di Indonesia proses
fermentasi biasanya dilakukan terhadap ikan – ikan kecil, ikan yang kurang baik
mutunya jika diolah langsung dalam keadaan utuh dan sisa – sisa ikan pada waktu
penangkapan yang terdiri dari campuran berbagai jenis ikan (Suprayitno, 2017).
Menurut Winarno dan Fardiaz (1979) menyatakan bahwa fermentasi merupakan
suatu reaksi oksidasi – reduksi di dalam system biologi yang menghasilkan enersi,
dimana sebagai donor dan aseptor elektron digunakan senyawa organik. Senyawa
organik yang biasanya digunakan adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa
tersebut akan diubah oleh reaksi – reduksi dengan katalis enzim menjadi suatu bentuk
lain misalnya aldehida dan dapat dioksidasi menjadi asam.
Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara
biologis atau semibiologis terhadap senyawa – senyawa kompleks terutama protein
menjadi senyawa – senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama
proses fermentasi, protein ikan akan dihidrolisis menjadi asam – asam amino dan
peptida, kemudian asam – asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen –
komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk (Adawyah, 2007).
Fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi bahan yang berkualitas rendah serta
berfungsi dalam pengawetan bahan dan merupakan suatu cara untuk menghilangkan
zat antinutrisi atau racun yang terkandung dalam suatu bahan makanan (Ebook,
2008).
Menurut Adawyah (2007) menerangkan cara fermentasi pada dasarnya hanya
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Proses fermentasi yang memungkinkan terjadinya penguraian atau
transformasi yang nantinya akan mampu menghasilkan suatu produk dengan
bentuk dan sifat yang sama sekali berbeda ( berubah ) dari keadaan awalnya.
Misalnya saja dalam pengolahan terasi , kecap ikan, dan ikan peda.
2. Proses fermentasi yang menghasilkan senyawa-senyawa , secara nyata akan
memiliki kemampuan atau daya awet dalam produk yang diolah tersebut ,
misalnya pembuatan ikan peda.
2.6.1 Bakteri Halofilik
Bakteri halofilik merupakan bakteri yang membutuhkan konsentrasi Natrium
chlorida (NaCl) minimal tertentu untuk pertumbuhannya. Kebutuhan garam untuk
pertumbuhan optimum bervariasi, yaitu 2 – 5 % untuk bakteri halofilik ringan, 5 – 20
% untuk bakteri halofilik sedang, dan 20 – 30 % untuk bakteri halofilik ekstrim. Bakteri
halofilik ringann antara lain Pseudosomonas, Moraxella, Flavobacterium,
Acinobacter, dan spesies Vibrio. Kelompok halofilik ringan ini sering dijumpai pada
ikan dan kerang – kerangan. Bacillus, Micrococcus, Vibrio,
Acinetobacter, dan Moraxella termasuk kelompok bakteri halofilik sedang.
Sedangkan bakteri halofilik ekstrim biasanya tampak berwarna merah atau merah
muda dan berasal dari kelompok bakteri Halobacterium dan Halococcus serta sering
tampak pada makanan yang telah diawetkan dengan penggaraman (Fardiaz, 1992).
Bakteri halofilik yang dominan tumbuh Micrococcus sp, Micrococcus varian,
Brevibacterium linens strain B, Brevibacterum linens strain C, dan Artrobacter sp.
(Kumalaningsih, 1990).
Pada fermentasi kecap ikan menggunakan bakteri halofilik, kecepatan
produksi tergantung pada keaktifan enzim bakteri pada ikan. Fermentasi biasanya
membutuhkan waktu yang lama hingga menghasilkan produk karena bakteri halofilik
yang berbeda pada ikan membutuhkan waktu yang lama untuk adaptasi dan
menghasilkan enzim proteolitik guna menghidrolisisi protein dalam ikan (Prasetyo et
al., 2012). Adapun pada kecap ikan kuniran dapat dikategorikan terdapat bakteri
halofilik dengan kadar rendah karena penambahan garam sebesar 5 %.
2.6.2 Lama Fermentasi Kecap Ikan
Proses pembuatan kecap ikan secara tradisional memerlukan waktu sekitar 3 –
9 bulan (Deswati dan Armaini, 2004). Hal tersebut merupakan kelemahan dari proses
fermentasi kecap ikan tersebut. Menurut Supraytino (2017) proses fermentasi kecap
ikan (sardine, kembung, isi perut) digarami dalam wadah dengan kadar air 20-25%
setelah itu ditutup kemudian disimpan ditempat dingin dan gelap dibiarkan terjadi
fermentasi hingga terbentuk cairan. Untuk mendapatkan produk bermutu biasanya di
fermentasikan lebih dari satu tahun bahkan kadang – kadang 5 – 7 tahun. Waktu
proses fermentasi tersebut tergolong lama, sehingga perlu di cari solusi untuk
mempercepat proses tersebut. Ada beberapa upaya untuk mempercepat proses
fermentasi tanpa mempengaruhi rasa khas dan kualitas gizi kecap ikan, misalnya,
dengan menggunakan protease tanaman seperti bromelin, papain atau fisin (Ooshiro
et al., 1981). Proses pembuatan kecap ikan secara enzimatik lebih cepat
dibandingkan dengan cara tradisional sehingga secara ekonomis menguntungkan
(Astawan, 1988).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa reaksi enzimatis mampu
mempersingkat proses fermentasi dalam pembuatan kecap ikan dan memiliki mutu
yang cukup baik. Kombinasi proses hidrolisis secara enzimatis dan fermentasi dapat
digunakan untuk pembuatan kecap ikan dengan waktu yang relatif singkat dan
Gambar 7. Mekanisme Kerja Enzim Proteolitik
menghasilkan kecap ikan dengan mutu yang cukup baik. Pada penelitian Khotimah
dan Nooryantini (2016) pembuatan kecap berbahan baku keong sawah dapat
dipersingkat menjadi 7 hari fermentasi dengankombinasi enzim papain sebesar 1%
dan enzim bromelin sebesar 1.5%. Sedangkan Pada penelitian Purwaningsih dan
Nurjanah, (1995) kombinasi enzim papain 3% dan 5% dapat mempercepat waktu
fermentasi menjadi 3 hari dan 4 hari. Didukung dengan penelitian Simanjorang et al.,
(2012), penambahan enzim papain 5% mampu mempersingkat waktu fermentasi
kecap tutut menjadi 5 hari. Bahkan pada penelitian Prasetyo (2012) penambahan sari
nanas 10% pada pembuatan kecap ikan gabus mampu mempersingkat waktu
fermentasi menjadi hanya 3 hari saja.
2.6 Mekanisme Kerja Enzim Proteolitik
Mekanisme kerja enzim proteolitik menurut Suprayitno (1991) adalah sebagai
berikut:
Pada gambar 5 merupakan sebagian rantai polipeptida protein dengan sebuah
ikatan peptida sebagai substrat yang akan dihidrolisis. Pada gambar 5, hidrolisis
terjadi pada ikatan peptide yang selanjutnya menghasilkan (a) dan (b) keduanya
merupakan potongan protein. Tiap kelompok enzim pada golongan ini mempunyai
persyaratan yang harus ada pada substrat. Syarat – syarat tersebut antara lain rantai
cabang (R) sisa asam amino pada rantai polipeptida, gugus terminal, konfigurasi asam
Gambar 8. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ikatan Peptida
Dikatalis Oleh Gugus Sulfhidril (---SH)
amino (L). suatu bagian yang sangat kecil dari satu molekul besar protein enzim
berperan mengkatalisis reaksi. Bagian kecil ini disebut sebagai bagian aktif enzim.
Suatu molekul substrat yang berikatan dengan bgian aktif enzim melalui suatu
mekanisme khas dan selektif dalam hubungan yang disebut Lock and Key. Sebagian
enzim mempunyai kekhususan yang mutlak terhadap substrat dan tidak akan
menyerang substrat lain meskipun strukturnya hamper sama. Sebagian lainnya
mempunyai kekhususan yang kurang dan dapat bereaksi dengan suatu golongan
substrat tertentu atas kelompok molekul sejenis.
Pada beberapa enzim gugus fungsi yang terdapat dalam bagian awalnya
berperan dalam reaksi katalitik. Gugus ---SH yang terdapat pada bagian aktif
peptidase berperan sebagai katalisator dalam proses hidrolisis ikatan peptida tertentu
Top Related