31
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK
(Studi Kasus Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang)
Oleh:
FEBRIANI, SE,MSi
Dosen Tetap Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas
Tamansiswa Padang
Abstrak
Budaya organisasi sangat penting dalam mencapai keunggulan organisasi,
sehingga budaya yang berkembang seperti sekarang ini dapat diubah jika kelangsungan
hidup organisasi sedang dipertaruhkan. Penelitian dilakukan di rumah sakit M. Djamil
Padang untuk melihat bagaimana budaya organisasi tersebut. Karena rumah sakit
merupakan suatu organisasi kompleks yang mempunyai sifat,ciri dan fungsi yang
khusus dalam proses menghasilkan jasa medik serta mempunyai berbagai kelompok
profesi dalam pelayanan pasien penderita. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
untuk melihat bagaimana budaya yang ada pada rumah sakit tepat penelitian. Data yang
diperoleh berupa data kualititaif dari survey dan wawancara yang dilakukan. Hasil
penelitian menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi pelayanan publik
karena memberikan jasa pelayanan, jasa pendidikan dan jasa penelitian dibidang
kesehatan kepada masyarakat. Hubungan karyawan dengan keterkaitan lingkungan
organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi mereka sangat dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat sehingga mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada
pasien dan keluarganya, sehingga pasien adalah raja yang mana semua karyawan
bergantung padanya, bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Karyawan bekerja
bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan,
karena telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan.
Hubungan karyawan dengan organisasi berorientasikan pada kelompok, karena
kelompok merupakan media untuk mewujudkan sebuah gagasan atau ide sekaligus alat
untuk mengimplementasikan gagasan yang telah dikemas dalam bentuk program dan
kegiatan di dalam organisasi sebuah rumah sakit.
Key word: Organisasi, Budaya organisasi, Rumah Sakit
LATAR BELAKANG
Budaya Rumah sakit adalah merupakan suatu organisasi yang unik dan
kompleks karena ia merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan
ciri-ciri serta fungsi-fungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik dan
mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayananpasien penderita. Di samping
melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit juga mempunyai
fungsi pendidikan dan penelitian (Boekitwetan 1997).
32
Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua institusi. Pertama
adalah pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat umum terutama yang tidak mampu. Kedua adalah institusi keagamaan yang
membangun rumah sakit nirlaba untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka
penyebaran agamanya. Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan
orientasi pemerintah tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit
pemerintah digalakkan untuk mulai berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep
Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji pegawai ditanggung pemerintah
namun biaya operasional rumah sakit harus ditutupi dari kegiatan pelayanan
kesehatannya (Rijadi 1994).
Dengan demikian, kini rumah sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap
melakukan pelayanan publik sekaligus memperoleh penghasilan (laba) atas
operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Mengingat
adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan eksternal yang semakin
berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya penyesuaian diri untuk merespons
dinamika eksternal dan integrasi potensi-potensi internal dalam melaksanakan tugas
yang semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak
mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus
memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia
tidak dapat mengabaikan sumber daya manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas
kepuasan kerjanya (Muluk.1999)
Pengabaian atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat
berdampak serius pada kualitas pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut,
pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi
penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar yang terlibat (misalnya pasien
dan keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah
terkait) maupun bagi pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri
dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun sayangnya
penelitian atau kajian khusus tentang persoalan ini belum banyak diketahui, atau
mungkin perhatian terhadap hal ini belum memadai.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengingat berbagai aspek dan
karakteristik budaya organisasi rumah sakit sebagai lembaga pelayanan public maka
33
kecendrungan baru organisasi publik menunjukkan perhatian serius atas budaya
organisasi dari para pengambil kebijakan dan pimpinan puncak organisasi pelayanan
publik. Sehingga perhatian atas budaya organisasi menjadi semakin meningkat ketika
baik perspektif kebijakan publik maupun perspektif manajemen publik dalam
administrasi negara masih menyisakan sejumlah masalah dalam masa transisi di negara
sedang berkembang (Minogue, Polidano, Hulme : 1998, 3-4). Permasalahan tersebut
menunjuk pada nilai, kepercayaan, dan norma institusional dan dibarengi pula dengan
sikap-sikap individual. Hal ini mengarah pada substansi budaya organisasi dan
bagaimana mengubah budaya tersebut.
Tujuan dan manfaat penelitian adalah untuk menjelajahi budaya organisasi
pelayanan publik di Sumatera Barat khususnya rumah sakit umum Dr. M. Djamil
Padang. Meskipun kajian ini tidak cukup mewakili namun memberikan wacana
idiografis yang memadai bagi sebuah organisasi dalam mengambil kebijakan.
TINJAUAN TEORI
Definisi Budaya Organisasi
Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal
mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi.
Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke permukaan sebagai
suatu dimensi utama dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein
(1984) mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhir ini berpendapat tentang peran
kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan organisasi. Mengingat keberadaan
budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya, maka telaah terhadap konsep ini perlu
dilakukan terutama atas berbagai isi yang dikandungnya.
Banyaknya definisi tentang budaya organisasi diajukan oleh para pakar seperti
halnya Robbins (1996) yang telah mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu
"persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu dan menjadi suatu
sistem dari makna bersama." Sementara itu, Schein (1991) memilih definisi yang dapat
menjelaskan bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti
sekarang ini, atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi
34
sedang dipertaruhkan. Untuk itu diperlukan definisi yang dapat membantu memahami
kekuatan-kekuatan evolusi dinamik yang mempengaruhi suatu budaya berkembang dan
berubah.
Banyak teori budaya organisasi yang telah meluas dikenal di kalangan teoritisi
dan praktisi organisasi. Pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Kluckhon-
Strodtbeck (dalam Robbins 1996) yang mengemukakan enam dimensi budaya dasar.
Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu
dengan budaya lainnya antara lain:
1. Hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap
lingkungan, harmoni dengan lingkungan, dan tunduk atau didominasi oleh
lingkungan.
2. Orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini,
dan masa depan.
3. Kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada
dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran antara baik dan buruk.
4. Orientasi kegiatan yang memiliki variasi adanya penekanan untuk melakukan
tindakan, penekanan untuk menjadi atau mengalami sesuatu, dan penekanan pada
upaya mengendalikan kegiatan.
5. Fokus tanggungjawab yang mempunyai variasi individualistis, kelompok, atau
hierarkis.
6. Kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan
campuran antara keduanya.
Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah
mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat
dimensi budaya, yaitu: individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian,
dan tingkat maskulinitas. Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial
yang terajut longgar dalam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri
mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan
kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku,
atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu
utama dalam dimensi ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat
diantara anggota-anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri masyarakat : "saya"
35
atau "kami". Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu
masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak
didistribusikan secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang
kurang berkuasa dan yang berkuasa.
Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan besar menerima
tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak lagi
memerlukan justifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil
menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan.
Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani perbedaan
diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas
terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan organisasi mereka (Hofstede
1983). Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat
merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan
mereka untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara
lembagalembaga yang melindungi penyesuaian.
Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga
kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang
menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah
menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan
penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi ini adalah bagaimana
suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang hanya sekali dan masa depan yang
tidak diketahui. Apakah ia mencoba mengendalikan masa depan atau membiarkannya
berlalu. Seperti halnya jarak kekuasaan, penghindaran ketidak pastian memiliki
konsekuensi akan cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi mereka.
Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan,
ketegasan, dan keberhasilan material. Lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan
hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup. Isu utama
pada dimensi ini adalah cara masyarakat mengalokasikan peran social atas perbedaan
jenis kelamin.
Semangat penelitian Hofstede (dalam Gibson & Ivanicevich & Donnely 1996)
ini mengundang perkembangan telaah budaya organisasi yang semakin meluas di
36
kalangan teoritisi organisasi dan manajemen. Namun demikian beberapa kritik tetap
dilontarkan berkaitan dengan keterbatasan penelitian tersebut untuk digeneralisasikan,
serta keraguan akan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang dipergunakan.
Selain itu, kritik terutama tertuju pada kemampuan empat dimensi tersebut menjelaskan
budaya yang sesungguhnya sehingga dianggap kurang mampu menjelaskan fenomena
budaya yang jauh lebih kompleks. Selanjutnya adalah teori yang dikemukakan Schein
(dalam Hatch 1997) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan
dalam tiga tingkatan antara lain:
1. Artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat
diartikan.
2. Nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak.
3. Budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari.
Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan
fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku
yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran
dasar, materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup rumit
karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini dapat diuraikan
bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat
dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami
logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka
lakukan. Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka
perlihatkan maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku.
Namun nilai sulit diamati secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk
menyimpulkan mereka melalui wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi
atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi,
dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara
akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan
pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal
mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan
rasionalisasi (baca : pembenaran) bagi perilaku mereka. Namun alasan mendasar bagi
perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari.
37
Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara
lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang
mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana
para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi seperti ini dengan
sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang
didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika
perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi
asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima
begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih.
Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah
nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa
adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat
terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai (Schein 1991). Mengacu
kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya organisasi, Schein memberikan
beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat
dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi adalah :
1. Keterkaitan lingkungan organisasi.
Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar tentang hubungan manusia
dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan bagaimana anggota-anggota kunci
organisasi memandang hubungan tersebut. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini.
a. Bagaimana mereka memandang peran organisasi dalam masyarakat yang mana hal
ini dapat dilihat melalui jenis produk yang dihasilkan atau cara pelayanan yang
diberikan, atau dimana pasar utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik.
b. Tentang apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan
organisasi, apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial-budaya, atau yang
lainnya.
c. Bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasi terhadap lingkungan,
apakah organisasi mendominasi, atau didominasi oleh, atau seimbang dengan
lingkungannya tersebut.
2. Hakikat realitas dan kebenaran.
38
Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota organisasi tentang kaidah-
kaidah linguistik dan keperilakuan yang menetapkan mana yang riil dan mana yang
tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya ditentukan, dan apakah
kebenaran diungkapkan atau ditemukan Ada empat dimensi dari aspek ini adalah:
a. Realitas fisik yang menyangkut persoalan criteria obyektif atas fakta.
b. Realitas sosial yang mempersoalkan konsensus atas opini, kebiasaan, dogma,
dan prinsip.
c. Realitas subyektif yang mempersoalkan pengalaman subyektif atas pendapat,
kecenderungan, dan cita rasa pribadi.
d. Mengenai kriteria kebenaran yang berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya
ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat orang-orang
bijak atau orang-orang yang berwenang, proses hukum, resolusi konflik, uji coba,
atau pengujian ilmiah.
3. Hakikat sifat manusia.
Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota organisasi tentang apa yang
dimaksud dengan manusia dan apa atribut-atribut yang dianggap intrinsik atau puncak?
Terdapat dua dimensi dari aspek ini adalah: Pertama, tentang sifat dasar manusia yaitu
apakah manusia pada dasarnya bersifat baik, buruk, atau netral? Kedua, mengenai
perubahan sifat tersebut yaitu apakah sifat manusia itu tetap (tidak dapat berubah)
ataukah dapat berubah dan disempurnakan? Mana yang lebih baik misalnya antara teori
X atau teori Y?
4. Hakikat kegiatan manusia.
Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisasi tentang hal-hal
benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas dasar asumsi mengenai realitas,
lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus aktif, pasif, pengembangan
pribadi, fatalistik, atau yang lainnya? Apa yang dimaksud dengan kerja dan apa yang
dimaksud dengan main? Dimensi utama dari aspek ini adalah sikap mental manusia
terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif, reaktif, ataukah harmoni?
5. Hakikat hubungan antar manusia.
Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang apa yang dipandang sebagai
cara yang benar bagi manusia untuk saling berhubungan, untuk mendistribusikan
39
kekuasaan atau cinta? Apakah hidup ini kooperatif atau kompetitif; individualistik,
kolaboratif kelompok atau komunal? Ada dua dimensi dari aspek ini adalah: Pertama,
struktur hubungan manusiawi yang memiliki alternatif linealitas, kolateralitas, atau
individualitas. Kedua, struktur hubungan organisasi yang mempunyai variasi otokrasi,
paternalisme, konsultasi, partisipasi, delegasi, kolegialitas.
Selanjutnya Schein menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam karyanya
tersebut sebagai sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran. Dua asumsi ini adalah :
1. Hakikat waktu.
Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi tentang orientasi
dasar waktu. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, arahan focus yang
menyangkut masa lalu, kini, dan masa mendatang. Kedua, konsep dasar waktu tentang
apakah waktu itu bersifat linear (monokronik), atau polikronik, atau siklikal. Ketiga,
tentang apakah ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut,
yaitu apakah mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bukan, tahun, dan
seterusnya.
2. Hakikat Ruang.
Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi mengenai konsep
ruang. Terdapat tiga dimensi dalam aspek ini. Pertama, ketersediaan ruang yang
menyangkut apakah ruang itu tersedia, ataukah tersedia namun terbatas, ataukah
terbatas dalam pandangan orang-orang tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai
simbol yang berkenaan dengan pandangan apakah ruang itu berfungsi sebagai status dan
kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga, fungsi ruang
sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal , dan jarak antara sahabat-
teman, serta jarak dalam pertemuan dan hubungan dengan orang luar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berasal dari penelitian deskriptif yang mengambarkan budaya
organisasi saat ini dari objek penelitian ini yaitu rumah sakit umum M. Djamil Padang
dengan satuan dasar analisis adalah individu anggota organisasi atau karyawan rumah
40
sakit umum M. Djamil Padang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan
permasalahan yang ada untuk memperbaiki metode dengan pengembangan teori yang
ada. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif untuk mengeksplorasi hasil yang
diperoleh dengan teorinya dengan analisis deskriptif. Populasinya dalam penelitian ini
adalah seluruh karyawan rumah sakit tersebut dari berbagai tingkatan manajerial,
seluruh bagian yang ada, serta berbagai status kepegawaian yang ada, dengan masa
kerja lebih dari satu tahun. Sedangkan sampel dalam penelitian diambil secara acak
sederhana dilakukan berdasarkan pengelompokan kerja. Ukuran sample ditentukan
sebesar ± 40% dari populasi masing-masing unit kerja. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah: survey dan wawancara.
PEMBAHASAN
1 Karakteristik Budaya Organisasi Rumah M. Djamil Padang
Karakteristik dari Rumah sakit Dr. M. Djamil Padang adalah memberikan jasa
pelayanan, jasa pendidikan dan jasa penelitian dibidang kesehatan. Dalam memberikan
jasa pelayanan pada pasien rumah sakit juga menyelenggarakan pengembangan
pendidikan dan penelitian dalam bidang rehabilitas medik, bedah jantung dan pelayanan
UGD serta mendidik dan melatih sumber daya manusia yang professional dalam bidang
ilmu klinis, non klinis serta keperawatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat (Lone Rahayu, Dwi, 2009) dengan asumsi: Pertama: karyawan tentang
keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi mereka
didominasi dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat khusus kota Padang dan
masyarakat Sumataera Barat umumnya.
Pada situasi seperti ini, karyawan harus menyadari betul fungsi yang harus
dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan
pelayanan terbaik kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya. Nilai-
nilai yang harus ditanamkan pihak rumah sakit kepada karyawan dalam memberikan
pelayanan kepada konsumennya adalah bahwa konsumen adalah orang terpenting dalam
pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan bergantung padanya
bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan
karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk
41
menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan karena pasien
tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan.
Salah satu contoh yang harus diberikan oleh karyawan rumah sakit M. DJamil
Padang terhadap pasien adalah berusaha memberikan pelayanan yang baik, sopan,
perhatian terhadap keluhan pasien serta memperhatikan kerbersihan, kerapian dan
kenyaman ruangan. Hal ini dilakukan tidak lain adalah meningkatkan kepuasan pasien
atau konsumen. Namun kenyataanya, justru karyawan yang kurang memperhatikan
kondisi pasien, sehingga kadang-kadang pasien berobat kerumah sakit bukannya
bertambah sehat malah kadang-kadang bertambah penyakitnya setelah melihat tingkah
laku dari karyawannya yang tidak sopan, berbicara tidak santun, dan sangat tidak
memperhatikan pasiennya. Disamping itu apabila terdapat perselisihan antara karyawan
dan pasien sebaiknya karyawan haruslah mengerti dengan kondisi pasien yang tidak
nyaman atau dalam kondisi tidak sehat maka seharusnya karyawan mengalah, karena
tidak ada yang pernah menang dalam berselisih dengan konsumen. Dengan demikian
adanya perbedaan antara asumsi yang seharusnya dijalankan oleh karyawan kepada
pasien dengan fungsi yang dicanangkan oleh pihak rumah sakit sebagai pelayan
masyarakat merupakan sumber natural rewards (imbalan natural) yang menciptakan
kepuasan kerja bagi karyawan (Manz & Sims, 1990).
Imbalan natural merupakan kandungan pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang
dan berasal dari aktivitas pekerjaan itu sendiri yang merangsang pikiran dan perasaan
konstruktif dan positif tentang pekerjaan itu. Imbalan natural dapat dilacak dari
kesesuaian perasaan tujuan antara tujuan pribadi karyawan dengan tujuan pekerjaan
yang ditekuninya. Seseorang akan dapat menikmati pekerjaannya jika ia merasa
memiliki terhadap tujuan dari pekerjaan itu sendiri. Jika hal ini dapat disediakan oleh
pekerjaan itu maka seorang karyawan akan memiliki sikap kerja yang baik atas
pekerjaan tersebut, termasuk kepuasan kerja. Dengan demikian, tidak adanya kesesuaian
antara tujuan kerja pribadi yang terungkap melalui asumsi pelayanan dengan
karakteristik pekerjaan yang ditekuninya memang memberikan dan menuntut pelayanan
terhadap pasien, keluarga dan pengunjung lainnya. Sehingga, dapatlah dipahami
mengapa asumsi keterkaitan lingkungan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan
dan pasien di rumah sakit umum M. Djmail Padang.
42
Kedua, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar
manusia. Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau teman
sekerja mereka itu memiliki sifat yang pada dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat
memperhatikan waktu kerja (masuk dan pulang kerja tepat waktu), siap membantu
pekerjaan rekan-rekan lainnya. Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa sifat
ini tidak selamanya berlaku konsisten. Akan ada selalu godaan atau kondisi yang dapat
mengubah sifat manusia. Mereka percaya betul bahwa tidak ada sifat yang kekal, sifat
baik dapat saja berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa berubah menjadi
baik.
Perubahan sifat manusia berarti seseorang yang memiliki sifat baik dapat saja
karena sesuatu hal berubah menjadi buruk begitu pula sifat buruk manusia karena
beberapa hal bisa berubah menjadi baik. Konsekuensi dari asumsi tersebut nampak dari
kebijakan organisasi dan pandangan karyawan juga bahwa untuk memelihara sifat baik
karyawan agar tetap tampil dalam perilaku positif maka diperlukan instrumen penguat
(reinforcement). Dalam hal ini maka terdapat dua jenis penguatan yang harus diterapkan
di rumah sakit M. Djamil Padang, yaitu penguatan yang bersifat positif dan penguatan
yang bersifat negatif. Penguatan positif berarti berbagai instrumen yang harus
diberlakukan untuk merangsang karyawan yang mempunyai sifat baik tetap berperilaku
baik dan karyawan yang bersifat buruk terangsang untuk berperilaku baik. Kebijakan
yang berkaitan dengan instrumen positif ini misalnya: (a) penghargaan atas lama
pengabdian (b) kenaikan pangkat dan jabatan istimewa bagi mereka yang menunjukkan
prestasi kerja luar biasa selama dua tahun berturut-turut; (c) peluang kenaikan pangkat
dan jabatan reguler bila masih ada lowongan jabatan di atasnya bagi mereka yang
menunjukkan prestasi kerja baik terus menerus; (d) peluang memperoleh tugas belajar.
Sementara penguatan negatif berarti instrumen yang diberlakukan untuk
mencegah karyawan yang bersifat baik berubah menjadi buruk dan mencegah karyawan
yang bersifat buruk leluasa berperilaku buruk sesuai dengan sifatnya tersebut. Beberapa
kebijakan yang berkenaan dengan instrumen negatif ini misalnya: (a) penggunaan
checkclock setiap karyawan datang dan pulang untuk mengendalikan disiplin waktu
kerja; (b) peringatan bertingkat atas pelanggaran larangan kategori ringan sampai
peringatan ketiga yang dapat berakhir dengan pemutusan hubungan kerja; (c)
43
pemutusan hubungan kerja seketika jika karyawan melakukan pelanggaran larangan
kategori berat dengan tanpa mendapat ganti kerugian apapun.
Selain itu, tindakan indisipliner ringan, ketidakcakapan kerja, kemalasan,
pelayanan yang buruk yang tidak masuk kategori pelanggaran ringan sekalipun dapat
mengakibatkan karyawan terkena instrumen negatif yang berupa penundaan kenaikan
gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dan jabatan, maupun kehilangan berbagai
kesempatan berkembang lainnya. Dengan membandingkan kedua jenis penguatan
tersebut maka karyawan merasakan bahwa penguatan positif merupakan hal yang
selayaknya mereka dapatkan, namun pandangan ini berbeda pada penguatan negatif
yang dirasakan terlalu berat dan bernada mengancam agar mereka selalu tampil baik.
Selain itu dirasakan pula bahwa mencapai penguatan positif tersebut lebih sulit jika
dibandingkan dengan kemungkinan memperoleh penguatan negatif. Hukuman yang
akan mereka terima lebih mudah jatuhnya dibandingkan dengan imbalan yang akan
diterima.
Banyak dan murahnya penguatan negatif inilah yang menyebabkan mengapa
asumsi hakikat sifat manusia memiliki arah pengaruh negatif. Karena justru semakin
protektif organisasi menyusun instrumen yang berusaha mencegah sifat buruk karyawan
maka justru akan menurunkan tingkat kepuasan kerja karyawan dan bahkan bisa
menjadi sumber ketidak-puasan kerja. Penguatan melalui instrumen negatif memang
mampu mencegah perilaku buruk karyawan namun karena sifatnya yang lebih berupa
sanksi dan ancaman maka jika dipergunakan secara berlebih akan mempengaruhi
bagaimana seseorang melakukan pekerjaannya dan terutama mempengaruhi sikap atau
perasaan seseorang atas pekerjaan yang dilakukannya. Teori penguatan (reinforcement
theory) memang mengkaitkan antara penguatan yang diberikan melalui instrumen
tertentu dengan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang, namun tidak mengkaitkan
antara bagaimana sikap seseorang dalam menerima penguatan tersebut.
Untuk hal ini, Manz & Sims (1990) mengungkapkan bahwa penguatan positif
mempunyai dampak yang lebih diinginkan oleh karyawan sementara penguatan negatif
memiliki dampak yang tidak diinginkan oleh karyawan. Semakin besar dan sering
penguatan yang diberikan maka semakin besar pula dampak yang diberikan. Karena
penguatan positif yang bersifat merangsang sementara penguatan negatif bersifat
mengancam maka penguatan positif jauh lebih mempunyai dampak yang bersifat
44
meningkatkan kepuasan kerja ketimbang penguatan negatif. Dengan melihat faktor
tersebut maka dapat dimengerti mengapa penggunaan penguatan negatif yang jauh lebih
dominan dalam pelayanan di rumah saki M. Djamil Padang justru menurunkan tingkat
kepuasan kerja. Apalagi jika diketahui bahwa mereka berasumsi bahwa karyawan
mempunyai sifat baik sehingga akan lebih baik jika menggunakan instrumen yang
merangsang karyawan untuk berperilaku baik ketimbang menggunakan instrumen yang
mengancam jika berperilaku tidak baik. Akhirnya dapat dipahami mengapa asumsi sifat
manusia mempunyai arah pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja.
Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia yang
menunjukkan bahwa aktivitas manusia itu selaras dengan aktivitas organisasi. Tidak
hanya aktivitas manusia saja yang mampu menentukan keberhasilan organisasi. Namun
mereka juga menolak bahwa aktivitas organisasi semata yang menentukan keberhasilan
organisasi karena mereka memandang bahwa aktivitasnya juga memberikan kontribusi
atas keberhasilan organisasi. Pada intinya, mereka memandang bahwa aktivitasnya yang
meliputi curahan waktu, tenaga, dan pikiran harus selaras dengan aktivitas organisasi
secara keseluruhan yang berupa kinerja sumber daya manusia, keuangan, aktiva tetap,
infra dan supra struktur organisasi. Misalnya, selama ini mereka telah bekerja keras
dengan harapan ada perbaikan atas nasib mereka dari pihak rumah sakit.
Namun demikian, terdapat kesadaran bahwa apa yang mereka berikan tidak
berdampak langsung terhadap perolehan imbalan pribadi masing-masing karyawan
secara signifikan melainkan terhadap organisasi secara keseluruhan. Kasus yang dapat
diungkapkan dalam konteks ini adalah kerelaan mereka untuk bekerja keras sebagai
manifestasi pandangan harmoni atas hakikat aktivitas manusia menghasilkan prestasi
organisasi berupa kemampuan untuk berswadana dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kerja keras karyawan ternyata memang mampu meningkatkan kinerja organisasi namun
hanya berkait sedikit sekali dengan peningkatan kesejahteraan karyawan. Sebagai
contoh dapat diungkapkan apa yang diceritakan oleh beberapa karyawan dari berbagai
unit yang ada. Seorang pengemudi bertutur bahwa disaat liburpun mereka harus siap
sewaktu-waktu dipanggil bila dibutuhkan. Meskipun untuk hal ini disediakan uang
lembur sebagai kompensasinya namun jika disuruh memilih mereka akan memilih
untuk tidak dipanggil bekerja karena waktu tersebut merupakan waktu luang untuk
istirahat dan waktu untuk keluarga.
45
Hal yang senada juga diungkapkan oleh karyawan di bagian bedah, dan
perawatan (rawat inap). Kondisi ini mereka sadari betul dan tidak sampai membuat
mereka tidak puas atas pekerjaan mereka, namun kompensasi langsung atas lembur
yang mereka lakukan juga tidak mampu mengangkat kepuasan kerja mereka menjadi
lebih baik lagi. Contoh lainnya, yang diungkapkan oleh banyak karyawan adalah
kurangnya jumlah karyawan pada masing-masing bagian dibanding dengan beban tugas
yang ada. Mereka sadar betul bahwa kurangnya jumlah personil ini disebabkan oleh
gerakan efisiensi yang dicanangkan oleh manajemen dalam rangka pengelolaan
keuangan rumah sakit. Mereka sadar betul bahwa kondisi ini merupakan kerja keras
yang mereka lakukan untuk kepentingan organisasi secara langsung dan untuk
kepentingan mereka sendiri juga secara tidak langsung (atau bisa juga disebut
kepentingan jangka panjang karyawan). Namun kerja keras ini juga tidak diikuti oleh
imbalan produktivitas secara langsung. Mereka mau bekerja keras atau tidak maka
upah/gaji berikut tunjangan yang mereka terima setiap bulannya mereka pandang tetap
saja dan tidak banyak perubahannya. Akhirnya disimpulkan bahwa kerja keras yang
dilakukan karyawan disebabkan karena mereka melakukannya secara sadar dan rela
dalam rangka kepentingan organisasi namun secara pribadi dampaknya tidak bersifat
langsung dirasakan dalam jangka pendek. Kondisi ini mengakibatkan kurangnya
pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan namun juga tidak sampai
menimbulkan ketidakpuasan kerja.
Kesadaran atas apa yang mereka kerjakan berpengaruh terhadap keberhasilan
kolektif membuat mereka merasa bertanggung jawab penuh atas yang dilakukan.
Selanjutnya, perpaduan antara kerja keras yang dilakukan dengan imbalan yang
diterima dirasakan bahwa keberhasilan bukan hanya hasil kerja orang perorang atau
karyawan tertentu saja karena setiap karyawan merasa memiliki andil atas keberhasilan
yang dicapai, baik itu keberhasilan aktivitas organisasi secara keseluruhan, atau
keberhasilan unit tertentu, maupun keberhasilan atas penanganan pasien tertentu yang
bersifat kasuistis.
Dalam proses penyembuhan seorang pasien bisa jadi melibatkan petugas UGD,
petugas kamar bedah, petugas laboratorium, petugas radiologi, petugas kamar
perawatan, petugas apotik, petugas instalatir dan sebagainya. Asumsi hubungan antar
karyawan yang berorientasi kelompok dan hubungan kolegialitas yang ditampilkan di
46
tempat penelitian merupakan dasar iklim partisipatif dalam wacana supervisi. Kondisi
ini dapat berarti memperteguh komitmen atas aktivitas dan pengambilan keputusan.
Secara teoritik memang hal tersebut mempunyai dampak yang substansial
terhadap kepuasan kerja karyawan. Asumsi hubungan kerja seseorang dengan kelompok
kerjanya dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karena kelompok salah satu alat
yang dapat dijadikan sarana untuk mencapai tujuan dan program (Elfindri dan Rimilton
Ridwan, 2008). Sehingga bagaimanapun bekerja dalam kelompok merupakan kekuatan
bersifat teknis maupun sosial yang dapat dijadikan sebagai alat perubahan ditengah
masyarakat, oleh sebab yang demikian kelompok sangat efektif untuk dapat dijadikan
salah satu media untuk mewujudkan sebuah gagasan, atau ide yang juga sekaligus untuk
mengimlementasikan gagasan yang telah dikemas dalam bentuk program. Khusus pada
rumah saki M. Djamil Padang kelompok kerja yang ramah dan kooperatif merupakan
sumber dukungan, kenyamanan, saran, bantuan operasional dan mental sehingga sangat
menentukan kepuasan kerja seorang karyawan secara individual.
Selain itu kesadaran atas apa yang mereka miliki serta kekhawatiran kehilangan
suasana kerja bila mereka harus pindah ke tempat kerja lain membangkitkan kesadaran
betapa kelompok kerja dan hubungan keorganisasian yang dimiliki sudah sesuai dengan
yang diharapkan. Kondisi inilah yang mendorong kepuasan kerja karyawan di rumah
sakit umum M. Djamil Padang.
Karakteristik budaya organisasi rumah sakit yang merupakan ciri khas dari
budaya organisasi. Karakteristik budaya organisasi rumah sakit M. Djamil Padang dapat
dilihat pada table 1 dibawah ini.
Tabel 1. Karakteristik Budaya Organisasi Rumah Sakit M. Djamil Padang
A s u m s i Karakteristik
Keterkaitan Lingkungan Organisasi
Hakikat Realitas & Kebenaran
Hakikat Sifat Manusia
Hakikat Hubungan Manusia
Institusi Pelayanan, pendidikan dan penelitian
Realitas Sosial & Kebenaran Rasional
Sifat Manusia Baik dan dapat dirubah
Kekeluargaan (collaterality)
Sumber: Data survey, 2009
Kombinasi karakteristik asumsi dasar yang terungkap di M. Djamil Padang di
atas memunculkan karakteristik budaya organisasi secara utuh bagi rumah sakit
tersebut. Karakteristik budaya organisasi di rumah sakit itu dapat dikategorikan sebagai
47
budaya organisasi adaptif jika mengacu pada tipologinya Kotter & Heskett (1992) yang
membagi dua jenis budaya menjadi budaya organisasi yang adaptif dan budaya
organisasi yang tidak adaptif. Karakteristik budaya adaptif mencakup kepedulian
pimpinan dan anggota organisasi terhadap lingkungannya, konsumen, maupun
karyawan.
Pimpinan mempunyai penilaian yang kuat atas proses yang mampu
mengakomodasi perubahan yang bermanfaat bagi organisasi. Proses tersebut dapat
berupa asumsi perubahan sifat manusia, asumsi kekuatan aktivitas karyawan terhadap
lingkungan, dan hubungan antar karyawan dan hubungan keorganisasian yang kondusif
bagi terciptanya ide baru. Karakteristik asumsi budaya tersebut telah terinternalisasi
dengan baik sehingga dapat disebut rumah sakit mempunyai budaya organisasi yang
kuat karena tidak lagi terjadi pertentangan budaya dalam organisasi. Budaya yang ada
telah diterima sebagai sesuatu yang benar dalam merespons segala persoalan adaptasi
ekternal dan integrasi internal.
Internalisasi nilai-nilai secara mendalam oleh segenap elemen dalam suatu
organisasi yang dibarengi secara konsisten dengan perilaku setiap anggota organisasi
dan kebijakan organisasi akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang ada. Hal ini
dapat dengan jelas dilihat, kesesuaian asumsi dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam
aktivitas organisasi akan menekan atau mengurangi tingkat kesenjangan antara apa yang
diharapkan dengan kenyataan yang langsung dirasakan oleh karyawan. Semakin kecil
kesenjangan tersebut maka semakin tinggi kepuasan kerja yang ada. Semakin besar
kesenjangan tersebut maka semakin rendah kepuasan dan bahkan mungkin timbul
ketidakpuasan.
KESIMPULAN
Asumsi bahwa budaya organisasi mempengaruhi pelayanan publik dimana
rumah sakit Dr. M. Djamil Padang adalah memberikan jasa pelayanan, jasa pendidikan
dan jasa penelitian dibidang kesehatan kepada masyarakat. Dalam memberikan jasa
pelayanan pada pasien rumah sakit juga menyelenggarakan pengembangan pendidikan
dan penelitian dalam bidang rehabilitas medic, bedah jantung dan pelayanan UGD
dengan asumsi: Pertama: karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang
menunjukkan bahwa organisasi mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat
48
khusus kota Padang dan masyarakat Sumatera Barat umumnya. Pada situasi seperti ini,
karyawan harus menyadari betul fungsi yang harus dimainkan ketika berhadapan
dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien
dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya. Nilai-nilai yang harus ditanamkan
pihak rumah sakit kepada karyawan dalam memberikan pelayanan kepada
konsumennya adalah tadi bahwa konsumen adalah orang terpenting dalam pekerjaan
mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan bergantung padanya, bukan
pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan
karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk
menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan karena pasien
tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan.
Asumsi hakikat hubungan manusia menunjukkan pandangan karyawan rumah
sakit M. Djamil terhadap struktur hubungan manusiawi didominasi oleh hubungan
kekeluargaan, dan struktur hubungan keorganisasian lebih didominasi oleh hubungan
kolegialitas atau hubungan lainnya. Kombinasi karakteristik dari asumsi dasar
memunculkan budaya organisasi yang bersifat integral. Kombinasi ini bisa
dikategorikan sebagai budaya adaptif sehingga mampu mendukung organisasi
memenangkan adaptasi eksternal. Pada saat yang sama konfigurasi atas asumsi dasar
juga menunjukkan tipologi budaya organisasi yang kuat. Dengan demikian
memudahkan organisasi mencapai tujuan dan sasaran program internal jika terdapat
kesesuaian antara karakteristik budaya dengan praktek manajemen.
DAFTAR PUSTAKA
Boekitwetan, P. (1997) Pemahaman rekam medik rumah sakit. Majalah Ilmiah FK
Universitas Trisakti Volume 16, No. 1, 1675-1685.
Elfindri & Rimilton Ridwan, 2008, Tahapan Pembentukan Kelompok dan Pendamping:
Sebuah Rekonstruksi, Jurnal Ipteks Terapan Vol. 2 No.2 Agustus 2008 Kopertis
Wilayah X Sumbar, Riau, Jambi & Kepri
Frost, P.J., et.al. (1985) Organizational Culture. Sage Publication, Inc., London. Gibson
& Ivanicevich & Donnely. (1996) Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses.
Penerjemah Adiarni, N. Binarupa Aksara, Jakarta.
49
Hofstede, G. (1983) The cultural relativity of organizational practices and theories.
Journal of International Bussines Studies Fall.
Hofstede, G. (1984) Cultural dimensions in management and planning. Asia Pacific
Journal of Management January.
Kotter, J.P. & Heskett, J.L. (1992) Corporate Culture and Performance. The Free Press,
New York.
Luthans, F. (1989) Organizational Behavior. Mc.Graw Hill Co.
Lone Rahayu, Dwi, 2009. Analisa Kualitas Pelayanan jasa dan Kepuasan Pelangan
Dengan Cara bayar Akses pada Instalasi Rawat Darurat RS. M. Djamil Padang,
Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Tamansiswa Padang
Muluk, Khairul, 1999, Budaya Organisasi Pelayanan Publik, Jurusan Administrasi
Universitas Brawijaya
Rijadi, S. (1994) Tantangan industri rumah sakit Indonesia 2020. Jurnal Administrasi
Rumah Sakit. Volume 2, No.2, 11-18.
Robbins, S.P. (1996) Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi.
Prenhallindo, Jakarta.
Schein, E.H. (1984) Coming to a new awareness of organizational culture. Sloan
Management Review winter.
Top Related