Hall Heroult Proses
1. Mekanisme Hall-Heroult Process? Alumina yang dihasilkan dari proses pemurnian masih
mengandung oksigen sehingga harus dilakukan proses selanjutnya yaitu peleburan. Peleburan
alumina dilakukan dengan proses reduksi elektrolitik. Proses peleburan ini memakai metode
Hall-Heroult. Alumina dilarutkan dalam larutan kimia yang disebut kriolit pada sebuah tungku
yang disebut pot. Pot ini mempunyai dinding yang dibuat dari karbon. Bagian luar pot terbuat
dari baja. Aliran listrik diberikan melalui anoda dan katoda. Proses reduksi memerlukan karbon
yang diambil dari anoda. Pada proses ini dibutuhkan arus listrik searah sebesar 50-150
kiloampere.
Arus listrik akan memgelektrolisa alumina menjadi alumunium dan oksigen bereaksi membentuk
senyawa CO2. Alumunium cair dari hasil elektrolisa akan turun ke dasar pot dan selanjutnya
dialirkan dengan prinsip siphon ke krusibel yang kemudian diangkut menuju tungku-tungku
pengatur (holding furnace). Kebutuhan listrik yang dihabiskan untuk menghasilkan 1kg
alumunium berkisar sekitar 12-15 kWh. Satu kilogram alumunium dihasilkan dari 2kg alumina
dan 1/2 kg karbon. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: Anoda: (elektroda positif) C (s) +
2O 2- (l) ---> CO 2(g) + 4e Katoda: (elektrode negatif) Al 3+ (l) + 3e ---> Al (l)
________________________________________ Reaksi Keseluruhan: 2Al 2 O 3(l) + 3C (s) ---
> 4Al (l) + 3CO 2(g) 2. Jenis-jenis Anoda? 1. Anoda Sodenberg Anoda Sodenberg adalah sistem
pot yang menggunakan anoda pasta tercetak dalam bentuk briket. Anoda pada sistem ini secara
berkesinambungan dan pemanggangan pasta anoda berasal dari panas yang ditimbulkan oleh
bath dan dialiri arus listrik. Keuntungan : 1. Tidak diperlukan adanya baking plant 2. Radiasi
sinar panas bagian atas anoda lebih kecil dibandingkan anoda prebaked 3. Tidak diperlukan
penggantian anoda 2. Anoda Prebaked Anoda prebaked dipanggang di anode baking furnace
pada temperatur 1100-12000C. Keuntungan : 1. Dapat dibuat dalam ukuran besar 2. Pelaksanaan
operasi yaitu dengan mekanisasi dan otomisasi 3. Pemakaian listrik yang lebih kecil
dibandingkan anoda Sodenberg 4. Kondisi ruang kerja lebih baik 5. Konsumsi karbon lebih
rendah dibanding anoda Sodenberg
Diposkan oleh Harinto Brown Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Bijih Besi & Pelletizing
2.1 Bijih Besi Bijih besi merupakan bahan baku utama industri baja. Bijih besi adalah bahan
galian yang mengandung unsur besi (Fe) yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis pada tempat
dan waktu tertentu, pada kondisi biaya dan harga pasar saat itu. [Wahyudi Utomo, 2005] Bijih
besi adalah campuran mineral berharga yang mengandung besi dengan mineral-mineral lainnya
yang kurang berharga yang disebur gangue. Meskipun dapat digunakan langsung untuk bahan
baku pembuatan besi, bijih besi tersebut biasanya diolah terlebih dahulu untuk memperbaiki
karakteristik kimia dan fisikanya. Semua cara digunakan untuk mengolah dan memperbaiki
karakteristik kimia dan fisika yang disebut proses benefisiasi bijih (ore beneficiation). Mineral
yang mengandung besi dapat dikelompokkan menurut komposisi kimianya sebagai oksida,
karbonat, sulfida, dan silikat. . [Wahyudi Utomo, 2005] 1. Magnetite Rumus kimia Fe3O4
(72,36% Fe, 27,64 % O). Warna abu-abu tua sampai hitam. Bersifat magnetik kuat. Kadang-
kadang magnetite mengandung Titanium dalam bentuk inklusi Ilmenite. Jika kandungan Ti
mencapai 2-15%, magnetite disebut Titaniferous magnetite.
Gambar 2.1 Bijih Magnetite 2. Hematite Komposisi kimia Fe2O3 (69,94% Fe, 30,06% O).
warna abu-abu sampai merah, bersifat magnet dan merupakan jenis bijih besi yang paling
penting dalam industri baja.
Gambar 2.2 Bijih Hematite 3. Limonite Merupakan hydrous oxide (oksida besi yang
mengandung air) yang secara mineralogis terdiri dari beberapa macam campuran mineral
goethite. Goethite adalah mineral yang mempunyai komposisi kimia HFeO2 (62,85% Fe,
27,01% O, dan 10,14% air), berwarna kuning atau coklat mendekati hitam.
Gambar 2.2 Bijih Limonite 4. Ilmenite Ilmenite mempunyai komposisi kimia FeTiO3 (36,80%
Fe, 31,57% Ti, dan 31,63% O). Ilmenite sering dapat bersama-sama dengan magnetite, ilmenite
juga dikenal sebagai besi titanat. Umumnya, ilmenite ditambang untuk mendapatkan unsur
titaniumnya, sedangkan Fe hanya sebagai produk samping.
Gambar 2.3 Bijih Ilmenite 5. Siderite Merupakan mineral besi karbonat. Komposisi kimia
FeCO3 (48,20% Fe, 37,99% CO2, dan 13,81% O). berwarna putih sampai abu-abu kehijauan
dan coklat. Umumnya mengandung sejumlah kalsium, magnesium, dan mangan. Bijih besi
karbonat biasanya di kalsinasi terlebih dahulu sebelumnya dimasukkan kedalam tanur tinggi
(blast furnace). Karena mengandung Ca dan Mg dalam jumlah yang cukup, unsur-unsur tersebut
bertindak sebagai flux yang berasal dari bijih sendiri
Gambar 2.4 Bijih Siderite 2.2 Pelletizing Pelletizing adalah proses aglomerasi campuran
konsentrat bijih besi dengan material halus lainnya, dengan cara dibentuk bola-bola lebih dahulu
(disebut green pellet), kemudian bola-bola tersebut dikeraskan dengan cara dibakar. Pembuatan
bola-bola dilakukan dalam balling drum atau disc pelletizer. [Wahyudi Utomo, 2005] . Pellet
bijih besi merupakan gumpalan berbentuk bola yang dibuat dari partikel halus konsentrat bijih
besi. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pellet bijih besi. Faktor-faktor tersebut
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu : [Kurt Meyer, 1980] 1. Kelompok pertama adalah
faktor yang tergantung pada bijih besi itu sendiri dan bukan merupakan sesuatu yang dapat
divariasikan. Fator ini dapat dikatakan karakter alami dari suatu bijih besi, seperti jenis mineral
penyusunnya, misalnya magnetite, hematite, atau goethite. Mineral utama penyusun bijih besi
tentu saja memiliki sifat yang beragam dan perilaku yang berbeda ketika diolah menjadi pellet
yang dihasilkan cenderung memiliki kualitas yang lebih baik. Sebaliknya bila faktor tersebut
memberikan efek negatif maka pellet yang dihasilkan cendrung memiliki kualitas yang kurang
baik, contohnya dengan pembuatan yang sama, dari bijih besi magnetite dapat dihasilkan pellet
yang memiliki kekuatan lebih baik dari pada pellet yang dihasilkan dari mineral goethite. Hal ini
disebabkan pellet bijih besi yang berasal dari mineral goethite cendrung lebih keropos karena
tingkat porositas yang tinggi setelah mengalami pemanasan pada temperatur tinggi 2. Kelompok
kedua adalah faktor yang tidak tergantung pada karakteristik bijih besi dan dapat divariasikan.
Faktor ini digunakan untuk merekayasa dan mengeliminiasi efek negatif dari kelompok pertama
sehingga mendorong untuk menghasilkan pellet yang berkualitas baik. Faktor ini terdiri dari
pengaturan ukuran partikel penyusun pellet bijih besi , kandungan air, penambahan binder dan
additive serta pemanasan. Selain memiliki kekuatan yang tinggi dan cocok untuk disimpan,
pellet dapat mudah ditransportasikan jarah jauh. Pellet bijih besi yang baik memiliki sifat berikut
ini: [Kurt Meyer, 1980] 1. Ukuran yang seragam dengan diameter 9-15 mm 2. Porositas yang
tinggi 25-30% 3. Bijih besi dengan kadar yang tinggi (lebih dari 63%). 4. Dapat direduksi
dengan baik (metalisasi = 92-94%) 5. Tidak mudah hancur selama penyimpanan dan
pengangkutan 6. Kuat. Tahan pada temperatur kamar 7. Mudah diangkut. Kandungan Fe dalam
pellet bijih besi adalah sifat yang paling penting untuk efisiensi proses. Pada prakteknya pellet
bijih besi dengan kadar Fe tinggi dapat diperoleh dengan mudah dari bijih besi dengan kadar Fe
yang tinggi. Untuk bijih besi dengan kadar Fe yang rendah maka perlu dilakukan benefiasiasi
untuk meningkatkan kadar Fe dalam konsentrat sebelum diolah menjadi pellet. Ukuran pellet
bijih besi yang seragam seperti pada gambar 2.5 berperan penting bagi permeabilitas gas reduksi.
Selain itu bijih besi perlu memiliki porositas yang cukup untuk memungkinkan gas reduksi
kontak dengan bagian dalam pellet. Kedua sifat ini berperan dalam meningkatkan keberhasilan
proses reduksi pellet bijih besi.
Gambar 2.5 Ukuran pellet yang seragam Pellet bijih besi dikatakan memiliki kekuatan yang baik
apabila pellet tersebut tidak mudak terdegradasi selama proses penyimpanan, pemindahan, dan
reduksi. Pada proses penyimpanan, pellet bijih besi ditumpuk dalam suatu gundukkan, sehingga
pellet mengalami pembebanan statis. Pada proses pemindahan, pellet bergerak dan saling
bertumbukan, dengan kata lain pellet mengalami pembebanan dinamis. Kekuatan pellet pada
dasarnya dipengaruhi ikatan antar partikelnya. Ikatan antar partikel penyusun pellet bijih besi
yang semakin kuat menyebabkan pellet bijih besi memiliki kekuatan yang lebih tinggi.
Umumnya pellet dibentuk dalam beberapa tahap, yaitu : a. Mixing. Mixing atau pencampuran
merupakan proses persiapan bahan baku sebelum dilakukan pembuatan pellet. Bijih besi yang
telah dihaluskan dicampurkan dengan bahan-bahan pengikat dalam jumlah tertentu sehingga
campuran yang dihasilkan homogen. b. Pelletizing Merupakan pembuatan bola-bola kecil
dengan ukuran diameter 9-16 mm. proses ini dilakukan dengan mencampur bijh besi yang telah
dihaluskan dengan bahan pengikat seperti air atau yang lainnya dan membentuknya menjadi
bola-bola kecil. c. Pembakaran. Tujuan dari proses ini adalah meningkatkan kekuatan pellet
dengan cara pembakaran yang terkendali secara perlahan agar air dapat diuapkan secara
sempurna.
Diposkan oleh Harinto Brown 2 komentar: Link ke posting ini
Leaching Tembaga
1. Leaching Leaching merupakan proses pengambilan logam berharga secara selektif dari bijih
dengan leaching agents sehingga didapatkan suatu larutan kaya. Leaching juga bertujuan
menaikan kadar dari bijih. Dalam melakukan leaching ada beberapa hal yang harus diperhatikan
yaitu: [Habashi, 1982] 1. Leaching agents sebaiknya dapat diregenerasi agar bernilai ekonomis 2.
Leaching agents harus murah dan mudah didapat 3. Material umpan harus bebas dari mineral-
mineral lempung 4. Leaching agents bersifat tidak beracun, tidak mudah terbakar dan tidak
korosif 5. Material umpan harus bersifat porous sehingga leaching agents mudah kontak dengan
material umpan Produksi tembaga 20% dilakukan secara hidrometalurgi, 80% dilakukan secara
pirometalurgi dan elektrometalurgi. Tembaga di alam ditemukan dalam bentuk bijih yang
bermacam-macam, dapat dilihat pada Tabel 1. sebagai berikut: [Davenport, 2002] Tabel 1.
Macam-macam bijih Tembaga
Teknik leaching yang bisa digunakan untuk leaching tembaga yaitu: [Habashi, 1982] 1. Insitu
Leaching Insitu leaching disebut juga sebagai leaching in places. Teknik leaching ini merupakan
teknik yang paling tua dan sederhana serta diterapkan pada sisa-sisa penambangan. Jadi dapat
dikatakan produk yang dihasilkan merupakan produk sampingan (by product). Waktu yang
diperlukan sangat lama atau skala tahunan dan terutama diterapkan untuk bijih tembaga berkadar
rendah. Teknik leaching ini dilakukan di Miami Copper Company (Arizona) untuk melarutkan
tembaga dari bijih dengan kadar 0,15% tembaga dengan waktu 10-15 tahun.
Gambar 1. Skematik Insitu Leaching 2. Heap Leaching Teknik heap leaching dilakukan pada
tumpukan bijih berkadar rendah (tailing dari suatu proses pengolahan bijih) yang bagian
bawahnya diberi lapisan kedap air (umumnya berupa aspal). Leaching agents disemprotkan dari
atas tumpukan dan larutan kaya yang dihasilkan ditampung didalam kolam-kolam kecil dibagian
bawah sebelah kanan dan kiri tumpukan bijih tersebut. Untuk lebih jelas nya dapat dilihat pada
gambar 2. Waktu leaching-nya skala bulanan karena ada bantuan mikroorganisme yang aktif
berperan untuk mempercepat proses pelarutan. Skala komersial heap leaching dilakukan di Rio
Tinto, Spanyol untuk leaching tembaga dan seng dari bijih pirit (pyrite).
Gambar 2. Skematik Heap Leaching 3. Percolation leaching Teknik leaching ini menggunakan
tangki sebagai tempat leaching dilakukan. Tangki dilengkapi dengan filter sehingga bijih tidak
ikut lolos kebawah tangki. Gambar 3 menunjukkan skema tangki yang digunakan untuk
melakukan teknik percolation. Pabrik yang menggunakan teknik percolation untuk pengolahan
tembaga yaitu Anaconda Copper, Yerington Nevada (12.500 ton/hari).
Gambar 3. Skema Tangki Percolation Leaching 2. Leaching Agents yang Digunakan untuk
Leaching Tembaga Leaching agents yang biasa digunakan untuk leaching tembaga yaitu:
[Habashi, 1982] 1. Asam Sulfat (H2SO4) 2. Amonia (NH4OH) 1. Leaching Tembaga dengan
leaching agents Asam Sulfat (H2SO4) Asam sulfat merupakan asam yang paling murah
harganya dan tingkat korosivitas yang ditimbulkan lebih kecil serta dapat digunakan untuk
melarutkan hampir semua jenis bijih daripada larutan asam lainnya. Asam sulfat umum
digunakan dalam me-leach bijih tembaga oksida. Tembaga akan dapat diperoleh kembali dari
larutan kaya hasil leaching setelah larutan kaya tersebut di elektrolisis (dapat dilihat pada gambar
4).
Gambar 4. Diagram Alir Pelarutan Leaching Tembaga dengan Menggunakan Asam Sulfat Salah
satu reaksi leaching tembaga menggunakan leaching agents asam sulfat sebagai berikut:
CuCO3.Cu(OH)2 + 2 H2SO4 → 2CuSO4+ 3H2O + CO2 2. Leaching Tembaga dengan
Leaching Agents Amonia (NH4OH) Amonia (NH4OH) adalah larutan NH3 dalam air, reaksinya
dapat dituliskan sebagai berikut: NH3 + H2O → NH4OH Melarutnya logam tembaga dalam
larutan amonia sudah diketahui sejak tahun 1858 yang ditemukan oleh Peligot. Larutan biru yang
diperoleh dari hasil reaksi ini telah digunakan secara khusus untuk melarutkan selulosa dalam
memproduksi cuprammoniun rayon, dan didalam indusri sintesis amoniak digunakan untuk
menghilangkan karbon monoksida dari gas sintesa, yang jika tidak dapat meracuni katalis.
Pelarutan tembaga tidak akan terjadi tanpa adanya udara, reaksinya dapat dituliskan sebagai
berikut : Cu + 4NH3 + ½ O2¬ + H2O → [ Cu (NH3)4 ]2+ + 2OH- Adapun diagram alir leaching
tembaga dengan menggunakan Amonia sebagai berikut:
Gambar 5. Diagram Alir Leaching Tembaga dengan Menggunakan Amonia 3. Mekanisme
Pelarutan Bijih Tembaga Adapun mekanisme pelarutan tembaga sebagai berikut: [Habashi,
1982] Mekanisme auto-katalis Pelarutan diasumsikan berlangsung pada 3 tahap: a. Pembentukan
Cupro-amine kompleks 2Cu + 4NH3 + ½ O2 + H2O 2 [ Cu(NH3)2]+ + 2OH- Logam Cu
bereaksi dengan amonia dan diinjeksikan oksigen menghasilkan larutan kaya Cupro-amine
kompleks. b. Oksidasi dari cupro-amine ke cupri-amine oleh oksigen [Cu(NH3)2]+ + 2NH3 + ½
O2 + H2O [ Cu(NH3)4]2+ + 2OH- Cupro-amine kompleks bereaksi dengan amonia dan
oksigen yang masih tersisa menghasilkan cupri-amine. c. Reduksi cupri-amine ke cupro oleh
tembaga [ Cu(NH3)4]2+ + Cu 2 [ Cu(NH3)2]+ cupri-amine bereksi dengan logam Cu yang
awalnya belum ikut bereaksi menghasilkan Cupro-amine kompleks. 4. Kinetika Reaksi Leaching
Tembaga Laju pelarutan Leaching Tembaga dipengaruhi berbagai oleh ukuran partikel dari bijih,
konsentrasi leaching agents serta leaching agents ini di bantu ole bakteri seingga laju pelautan
tembaga lebih cepat. 1. Pengaruh Ukuran Partikel Semakin halus ukuran partikel bijih, maka laju
pelarutan tembaga lebih cepat jika dibandingkan dengan ukuran partikel yang lebih besar. 2.
Konsentrasi Leaching Agents Dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini
Gambar 6. Pengaruh Konsentrasi Campuran Amonia Hidroksida dan Amonia Karbonat
Terhadap Leaching Tembaga (250C, PO2 =6,8 atm) Dari Gambar 1 merupakan hubungan
konsentrasi Amonia terhadap laju pelarutan tembaga, dapat dilihat bahwa semakin besar
konsentrasi Amonia maka laju dari pelarutan tembaga akan semakin cepat. 3. bantuan adanya
bakteri:
Gambar 7. Leaching Tembaga Dari Chalcopyrite dengan dan tanpa bantuan bakteri Dari gambar
terlihat bahwa bakteri dapat mempercepat pelarutan tembaga. Dimana fungsi bakteri adalah
sebagai katalis, yaitu dapat mempercepat laju pelarutan tembaga dimana tidak ikut bereaksi.
Secara Nenrst Boundary Layer, menggunakan NH4OH: Amonia senyawa kimianya dituliskan
dengan rumus NH4OH. Sedangkan Amoniak dituliskan dengan rumus NH3. Amonia adalah
larutan NH3 dalam air, reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut: NH3 + H2O → NH4OH Dari
gambar dapat dijelaskan mula-mula NH3 berdifusi menuju fase padat, dimana NH3 berasal dari
larutan NH4OH. Kemudian bereaksi dengan fase padat sebagai reaksi anodik, reaksinya sebagai
berikut: Reaksi Anodik, Cu + 4NH3 → [ Cu (NH3)4 ]2+ +2e- Selanjutnya O2 berdifusi menuju
antarmuka dan terjadi reaksi dengan H2O (yang berasal dari NH4OH) sebagai reaksi katodik.
Reaksi Katodik, H2O + ½ O2 + 2¬¬¬e- → 2OH- Reaksi dari keduanya adalah sebagai berikut:
Reaksi Anodik: Cu + 4NH3 → [ Cu (NH3)4 ]2+ +2e- Reaksi Katodik: H2O + ½ O2 + 2¬¬¬e-
→ 2OH-
______________________________________________________________________________
_________________+ Cu + 4NH3 + H2O + ½ O2 → [ Cu (NH3)4 ]2+ + 2OH- REFERENSI
Davenport, W. G. 2002. Extractive Metallurgy of Copper, Edisi 4, The Boulevard: Elsevier
Science Ltd Habashi, Fathi. 1970. Principles of Extractive Metallurgy, Vol.2. New York :
Gordon and Breach, Science Publishers, Ltd
Diposkan oleh Harinto Brown Tidak ada komentar:
Pengelasan (las busur)
2.1 Pengertian Pengelasan
Pengelasan dan perpotongan merupakan pelaksanaan pengerjaan yang sangat penting dalam
teknologi produksi dengan bahan baku logam dan perkembangannya yang pesat telah banyak
teknologi baru yang ditemukan sehingga boleh dikatakan hampir tidak ada logam yang tidak
dapat dipotong dan dilas dengan cara–cara saat ini. Di samping itu untuk proses las dapat juga
dipergunakan untuk reparasi misalnya untuk mengisi lubang–lubang pada coran, membuat
lapisan kertas pada perkakas, mempertebal bagian–bagian yang sudah aus dan macam–macam
reparasi lainnya.
Berdasarkan definisi Duetche Indrustrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada
sambungan logam atau logam paduan yang dilakukan dalam keadaan cair (1). Dari definisi diatas
Las juga memiliki arti sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan
energi panas. Pada waktu ini telah digunakan labih dari 40 jenis pengelasan termasuk pengelasan
yang dilaksanakan hanya dengan menekan dua logam yang disambung sehingga terjadi ikatan
antar atom–atom atau molekul–molekul dari logam yang disambungkan. Las (weld) adalah suatu
cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan(2).
Pengelasan dapat diklasifikasikan berdasarkan cara kerja dan energi atau sumber panas(3).
Pengelasan yang berdasarkan cara kerja dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :
1. Fusion Welding
Adalah cara pengelasan yang sambungan logamnya dipanaskan sampai mencair dengan
menggunakan busur listrik atau semburan api gas.
Contohnya : Las gas, Thermit, Busur plasma, Elektron
2. Las Tekan
Adalah cara pengelasan yang sambungan logamnya dipanaskan kemudian ditekan.
Contoh : Resistansi Listrik, Tekan Gas, Ultrasonik, induksi
3. Pematrian
Adalah cara pengelasan dimana sambungan diikat dan disatukan dengan menggunakan paduan
logam yang memiliki titik cair rendah dan dalam pengelasan ini logam induk tidak ikut mencair.
Sedangkan untuk pengelasan berdasarkan sumber energi atau sumber panas dapat dibagi menjadi
beberapa bagian(4), yaitu:
1. Bahan bakar minyak, untuk menghasilkan panas beberapa ratus derajat celcius untuk
pengelasan benda padat dengan titik lebur rendah, seperti timah, plastik dan lain-lain.
2. Campuran zat asam dengan gas pembakar seperti acetylene, propan, hydrogen. Proses ini
disebut oxy acetylene, oxy hydrogen, atau oxy fuel. Secara popular di Indonesia disebut dengan
las karbit atau autogen. Panas yang dihasilkan dapat mencapai titik leleh baja, yakni sekitar 1370
oC.
3. Gas pembakar bertekanan.
4. Busur nyala listrik (arc). Panas yang dihasilkan dari busur nyala listrik ini sangat tinggi (jauh
diatas titik lebur baja) sehingga dapat mencairkan baja dalam sekejap. Sumber panas ini yang
paling populer dipergunakan untuk pengelasan berbagai jenis baja, baja paduan serta jenis metal
non ferrous.
5. Induksi listrik
6. Busur nyala listrik dan gas pelindung. Sumber panas ini dipakai dalam pengelasan paduan baja
yang peka terhadap proses oksidasi. Karena fungsi dari gas pelindung ini adalah untuk
melindungi benda kerja dari proses oksidasi, serta untuk mendapatkan pengelasan yang optimal,
seperti TIG, MIG, plasma arc, dan lain-lain.
7. Sinar infra merah.
8. Ledakan bahan mesiu (cad, explosion). Menghasilkan suhu yang sangat tinggi sehingga dapat
mencairkan baja dan bahan metal lainnya hanya dengan sekejap. Biasanya digunakan untuk
penyambungan kabel kawat.
9. Getaran ultrasonik
10. Pemboman dengan elektron (electron bombardment)
11. Sinar laser.
12. Tahanan listrik atau resistansi listrik. Dapat menghasilkan panas yang cukup tinggi sehingga
dengan mudah dapat mencairkan baja. Metode ini yang biasa digunakan oleh pabrik-pabrik yang
menggunakan pelat sebagai benda kerjanya.
Bila dilihat dari cara kerja dan sumber energi maka pengelasan (welding) memiliki bermacam-
macam variasi cara pengerjaan terhadap benda kerja, tergantung dari kebutuhan pengguna dan
pemanfaat las ini.
2.2.1 Las Busur Listrik
Las busur adalah las yang menggunakan muatan listrik antara dua elektroda dimana pelepasan
muatan listrik tersebut akan mengeluarkan panas dan panas tersebut yang disebut dengan busur.
Pada saat sekarang ini banyak sekali pengelasan yang mempergunakan SMAW (Shielded Metal
Arc Welding), las busur nyala listrik terlindung, adalah pengelasan dengan mempergunakan
busur nyala listrik sebagai sumber panas pencair logam. Jenis las ini yang paling lazim dipakai di
mana-mana untuk hampir semua keperluan pengelasan1).
Keuntungan dari penggunaan las SMAW :
1. Peralatan relatif sederhana dan mudah dibawa
2. Peralatan relatif murah dibandingkan metoda pengelasan yang lain
3. Pemakaian yang relative luas
Kekurangan dari penggunaan las SMAW :
1. Gas pelindung kurang baik untuk logam- logam reaktif seperti aluminium dan titanium
2. Kecepatan deposit terbatas karena elektroda cendrung mengalami over heat bila menggunakan
arus yang tinggi
3. Panjang elektroda terbatas sehingga dapat mengurangi kecepatan produksi
Faktor-faktor penting dalam proses pengelasan busur listrik antara lain :
1. Arus yang tepat
2. Panjang busur atau voltase yang benar
3. Kecepatan pengelasan yang tepat
4. Sudut elektroda yang benar
Faktor- faktor penentu elektroda yang akan digunakan pada proses pengelasan ini antara lain :
1. Kekuatan logam induk
2. Komposisi logam induk
3. Posisi pengelasan
4. Arus yang digunakan
2.2.2 Las ekektroda terbungkus
Las elektroda terbungkus adalah cara pengelasan yang banyak digunakan pada masa ini. Dalam
cara pengelasan ini kawat elektroda logam yang dibungkus dengan fluks.
bahwa busur listrik terbentuk di antara logam induk dan ujung elektroda. Karena panas dari
busur ini maka logam induk dan ujung elektroda tersebut mencair dan kemudian membeku
bersama. (1)
Proses pemindahan logam elektroda terjadi pada saat ujung elektroda mencair dan membentuk
butir-butir yang terbawa oleh arus busur listrik yang terjadi. Bila digunakan arus listrik yang
besar maka butiran logam cair yang terbawa menjadi halus.
Di dalam pengelasan ini hal yang penting adalah bahan fluks dalam jenis listrik yang digunakan.
Di dalam las elektroda terbungkus fluks memegang peranan penting karena fluks dapat bertindak
sebagai :
1. Pemantap busur dan penyebab kelancaran pemindahan butir-butir cairan logam.
2. Sumber terak atau gas yang dapat melindungi logam cair terhadap udara di sekitarnya.
3. Pengatur penggunaan.
4. Sumber unsur-unsur paduan.
Bahan-bahan yang digunakan dapat digolongkan dalam bahan pemantapan busur, pembuat terak,
penghasil gas, deoksidator, unsur paduan dan bahan pengikat. Bahan-bahan tersebut antara lain
oksida-oksida logam, karbonat, silikat, flourida, zat organik, baja paduan dan serbuk besi.
Beberapa fluks sering yang digunakan dan sifat-sifat utamanya dapat dilihat dalam Tabel I
Walaupun jenis elektroda sangat banyak jumlahnya, tetapi secara garis besar dapat digolongkan
dalam kelas-kelas berikut yang pembagiannya didasarkan atas fluks yang membungkusnya.
a) Jenis Oksida Titan: Jenis ini juga disebut rutil atau titania dan berisi banyak TiO2 di
dalamnya. Busur yang dihasilkan oleh elektroda yang dibungkus dengan fluks jenis ini tidak
terlalu kuat, penetrasi atau penembusan cairan logamnya dangkal dan menghasilkan manik las
yang halus. Karena itu jenis ini baik sekali untuk pengelasan pelat-pelat baja tipis atau untuk
pengelasan terakhir pada pengelasan pelat tebal.
b) Jenis Titania Kapur: Jenis ini di samping berisi rutil juga mengandung kapur. Di samping
sifat-sifat seperti yang dimiliki oleh jenis oksida titan, jenis ini mempunyai keunggulan lain yaitu
kemampuannya menghasilkan sifat mekanik yang baik.
c) Jenis Ilmenit: Jenis ini terletak di antara jenis oksidasi titan dan jenis oksidasi besi. Bahan
fluksnya yang utama adalah Ilmenit atau FeTiO3¬. Busur yang dihasilkan agak kuat dan
memberikan penetrasi yang cukup dalam. Derajat kecairan dari terak yang terbentuk cukup
tinggi. Dengan sifat tersebut jenis ini dapat menghasilkan sambungan yang mempunyai sifat
mekanik yang tinggi. Karena sifat-sifatnya yang dapat mencakup penggunaan yang luas, maka
elektroda yang dibungkus dengan fluks jenis ini dianggap sebagai elektroda serba guna.
d) Jenis Hidrogen Rendah: Jenis ini kadang-kadang disebut juga dengan nama jenis kapur,
karena bahan utama yang dipergunakan adalah kapur dan fluorat. Jenis ini menghasilkan
sambungan dengan kadar hidrogen rendah, sehingga ketangguhannya sangat memuaskan. Hal-
hal yang kurang menguntungkan adalah busur listriknya yang kurang mantap. Sehingga butiran-
butiran cairan yang dihasilkan agak besar bila dibandingkan dengan jenis-jenis yang lain.
e) Jenis Selulosa: Jenis ini berisi kira-kira 30% zat organik yang dapat menghasilkan gas dengan
volume besar yang kemudian melindungi logam cair. Busurnya kuat dan penembusannya dalam.
f) Jenis Oksida Besi: Bahan pokok untuk jenis ini adalah Oksida Besi. Busur yang dihasilkan
terpusatkan dan penetrasinya dalam, karena itu jenis ini baik untuk pengelasan sudut horizontal.
g) Jenis Serbuk Besi-Oksida: Bahan utama dari fluks ini meliputi antara 15 sampai 50% adalah
silikat dan serbuk besi.
h) Jenis Serbuk Besi-Titania: Jenis ini menimbulkan busur yang sedang dan menghasilkan manik
las yang halus. Elektroda dengan fluks ini sangat baik untuk pengelasan sudut horizontal satu
lapis(3).
2.2.3 Las busur gas
Las busur gas adalah cara pengelasan dimana gas dihembuskan ke dearah las untuk melindungi
busur dan logam yang mencair terhadap atmosfir. Gas yang digunakan sebagai pelindung adalah
gas helium (He), gas Argon (Ar), gas karbondioksida (CO2) atau campuran dari gas-gas tersebut.
(1)
Las busur gas biasanya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok elektroda yang
terumpan dan kelompok elektroda tak terumpan. Kelompok elektroda yang tak terumpan
mengunakan batang wolfram sebagai elektroda yang dapat menghasilkan busur listrik tanpa turut
mencair, sedangkan kelompok elektroda terumpan sebagai elektrodanya digunakan kawat las.
2.2.4 Las busur pelindung bukan gas
Operasi pengelasan ini sama dengan operasi dalam busur gas. Dalam hal semiotomatik, kawat
las digerakan secara otomatis sedang alat pembakar digerakkan dengan tangan, sedangkan dalam
hal otomatik penuh kedua-dua nya di gerakan secara otomatik. Sesuai dengan namanya,
pengelasan ini tidak menggunakan selubung gas apapun juga. Karena itu proses pengelasan
menjadi lebih sederhana. Berikut ini adalah beberapa hal penting dalam las busur tanpa gas:
1. Tidak menggunakan gas pelindung sehingga pengelasan dapat dilakukan di lapangan yang
berangin.
2. Efisiensi pengelasan lebih tinggi daripada pengelasan dengan busur terlindung.
3. Dapat menggunakan sumber listrik AC.
4. Dihasilkan gas yang banyak sekali.
5. Kwalitas pengelasan lebih rendah daripada pengelasan yang lain.
2.3 Parameter – Parameter Pengelasan
2.3.1 Besar arus las
Besarnya arus las yang diperlukan tergantung dari bahan dan ukuran dari lasan, geometri
sambungan, posisi pengelasan macam elektroda dan diameter inti elektroda. Dalam hal daerah
las mempunyai kapasitas panas yang tinggi maka dengan sendirinya diperlukan arus las yang
besar dan mungkin juga diperlukan pemanasan tambahan. Dalam pengelasan logam paduan,
untuk menghindari terbakarnya unsur-unsur paduan sebaiknya menggunakan arus las yang kecil.
Bila ada kemungkinan terjadi retak panas seperti pada pengelasan baja tahan karat austenit maka
dengan sendirinya harus diusahakan menggunakan arus kecil saja. Dalam hal mengelas baja
paduan, di mana daerah HAZ dapat mengeras dengan mudah, maka harus diusahakan
pendinginan ang pelan dan untuk ini diperlukan arus yang besar dan mungkin masih memerlukan
pemanasan kemudian. (1)
2.3.2 Kecepatan pengelasan
Kecepatan pengelasan tergantung pada jenis elektroda, diameter inti elektroda, bahan ang dilas,
geometri sambungan, ketelitian sambungan dan lain-lainnya. Dalam hal hubungannya dengan
tegangan dan arus las, dapat dikatakan bahwa kecepatan las hampir tidak ada hubungannya
dengan tegangan las tetapi berbanding lurus dengan arus las. Karena itu pengelasan yang cepat
memerlukan arus las yang tinggi.Bila tegangan dan arus dibuat tetap, sedang kecepatan
pengelasan dinaikan maka jumlah deposit per satuan panjang las jadi menurun. Tetapi di
samping itu sampai pada suatu kecepatan tertentu, kenaikan kecepatan akan memperbesar
penembusan. Bila kecepatan pengelasan dinaikan terus maka masukan panas persatuan panjang
juga akan menjadi kecil, sehingga pendinginan akan berjalan terlalu cepat yang munkin dapat
memperkeras daerah HAZ. Pengalaman juga menunjukkan bahwa makin tinggi kecepatan makin
kecil perubahan bentuk yang terjadi.(1)
2.3.3 Tegangan busur las
Tingginya tegangan busur tergantung pada panjang busur yang dikehendaki dan jenis dari
elektroda yang digunakan. Pada elektroda yang sejenis tingginya tegangan busur yang diperlukan
berbanding lurus dengan panjang busur. Pada dasarnya busur listrik yang terlalu panjang tidak
dikehendaki karena stabilitasnya mudah terganggu sehingga hasil pengelasan tidak rata. Di
samping itu tingginya tegangan tidak banyak mempengaruhi kecepatan pencairan, sehingga
tegangan yang terlalu tinggi hanya akan membuang-buang energi saja.
Panjang busur yang dianggap baik kira-kira sama dengan garis tegah elektroda. Tegangan yang
diperlukan untuk mengelas dengan elektroda bergaris tengah 3 sampai 6 mm, kira-kira antara 20
sampai 30 volt untuk posisi datar. Sedangkan untuk posisi tegak atau atas kepala biasanya
dikurangi lagi dengan 2 sampai 5 volt. Kestabilan busur juga didengar dari kesetabilan suaranya
selama pengelasan. Untuk mereka yang telah berpengalaman ketepatan panjang busur pun dapat
diduga atau diperkirakan dari suara pengelasan. Sehubungan dengan panjang busur, hal yang
paling sukar dalam las busur listrik dengan tangan adalah mempertahankan panjang busur yang
tetap. (1)
2.3.4 Pengaruh Panas Lasan
Akibat adanya pemanasan maka logam dalam pengelasan dapat dikelompokan:
1. Daerah lasan (Fusion Zone), merupakan daerah yabng mengalami pencairan, mengalami
pemanasan yang paling tinggi hingga melebihi temperatur cair. Prinsip pembekuan akan sama
dengan proses pengecoran dimana waktu pendinginan akan mempengaruhi kecepatan
pembekuan. Semakin tinggi tempertur maka penyusutan yang terjadi akan semakin banyak.
Karakteristik daerah ini akan dipengaruhi sifat dari elektroda dan logam induk.
2. Daerah cair sebagian (PMZ), adalah daerah dekat diluar logam lasan dimana pencairan dapat
terjadi selama pengelasan berlangsung. Daerah ini merupakan daerah sempit antara WM dan
HAZ, dan merupakan daerah temperatur tertingginya memiliki dua fasa cair dan padat sehingga
sering kali terjadi retakan.
3. Daerah terpengaruh panas (HAZ), merupakan daerah yang tidak ikut mencair tetapi
mengalami perubahan struktur akibat temperatur pemanasan, temperature tertinggi pada daerah
ini lebih rendah dari daerah lasan dan daerah cair sebagian tetapi tetap mempengaruhi
karakteristik material. Pada daerah HAZ logam akan mengalami penguatan.
4. Logam induk daerah yang tidak terpengaruh panas), adalah daerah yang juga mengalami
panas tetapi tidak cukup untuk merubah struktur logam. Sifat daerah ini akan sama dengan
logam induknya serta daerah yang mengalami pemanasan yang paling rendah dari keempat
daerah lainnya.
Diposkan oleh Harinto Brown Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Screening (Pengayakan)
2.1 Proses Pengolahan Mineral
Sebelum bijih mengalami proses–proses metalurgi selanjutnya khususnya proses metalurgi
ekstraksi, ataupun sebagai produk untuk dijual bijih tersebut akan mengalami proses–proses
pengolahan mineral yang terdiri dari: [Kelly,1982]
1. Kominusi (Comminution)
Kominusi dibagi menjadi dua yaitu peremukan (Crushing) dan penggerusan (Grinding).
Kominusi atau pengecilan ukuran dilakukan dengan tujuan agar bahan galian yang akan diproses
memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, sehingga dapat dilakukan proses selanjutnya.
2. Klasifikasi (Sizing dan Clasification)
Sizing dan Clasification adalah pengelompokan berdasarkan ukuran dengan metoda pengayakan.
Contoh alatnya adalah Grizzly, Vibration Screening dan Spiral Clasifikator.
3. Proses Konsentrasi (Concentration)
Konsentrasi adalah klasifikasi mineral berdasarkan kelompoknya. Kelompok ini dibagi menjadi
dua yaitu mineral berat dan mineral ringan. Umumnya mineral berat adalah mineral berharga dan
mineral ringan adalah mineral tak berharga. Produk dari konsentrasi adalah konsentrat dan
tailing. Pada konsentrat persen mineral berharganya lebih besar dibandingkan mineral tak
berharga. Sedangkan pada tailing persen mineral berharganya lebih kecil dibandingkan mineral
tak berharga.
Konsentrasi adalah tahap akhir dalam preparasi bijih secara fisik. Hasil dari proses inilah yang
akan digunakan dalam proses ekstraksi. Konsentrasi dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
[Brown,1950]
1. Ore Sorting
2. Heavy media separator
3. Pemisahan berdasarkan gravitasi (Gravity Concentration)
4. Pemisahan berdasarkan sifat magnet (Magnetic Separation)
5. Pemisahan berdasarkan sifat elekostatis (Electrostatic Separation)
6. Flotasi (Flotation).
2.2 Proses Pengayakan ( Screening )
Screening merupakan proses pemisahan bahan galian berdasarkan ukuran. Berat atau ringannya
ukuran material disebabkan karena berat jenis dari material itu sendiri, dan juga gaya gravitasi
yang mempengaruhinya. Mineral yang dapat melewati lubang ayakan sering disebut oversize
sedangkan mineral yang tidak lolos dari lubang ayakan disebur undersize.
Tujuan dari proses pengayakan ini adalah: [Taggart,1927]
1. Mempersiapkan produk umpan (feed) yang ukurannya sesuai untuk beberapa proses
berikutnya.
2. Mencegah masuknya mineral yang tidak sempurna dalam peremukan (Primary crushing) atau
oversize ke dalam proses pengolahan berikutnya, sehingga dapat dilakukan kembali proses
peremukan tahap berikutnya (secondary crushing).
3. Untuk meningkatkan spesifikasi suatu material sebagai produk akhir.
4. Mencegah masuknya undersize ke permukaan.
Pengayakan biasanya dilakukan dalam keadaan kering untuk material kasar, dapat optimal
sampai dengan ukuran 10 # (10 mesh). Sedangkan pengayakan dalam keadaan basah biasanya
untuk material yang halus mulai dari ukuran 20 # sampai dengan ukuran 35 #.
Permukaan ayakan yang digunakan pada screen bervariasi, yaitu: [Brown,1950]
a. Plat yang berlubang (punched plate, bahan dapat berupa baja ataupun karet keras.
b. Anyaman kawat (woven wire), bahan dapat berupa baja, nikel, perunggu, tembaga, atau logam
lainnya.
c. Susunan batangan logam, biasanya digunakan batang baja (pararel rods).
Sistem bukaan dari permukaan ayakan juga bervariasi, seperti bentuk lingkaran, persegi ataupun
persegi panjang. Penggunaan bentuk bukaan ini tergantung dari ukuran, karakteristik material,
dan kecepan gerakan screen.
Pada proses screening zat padat itu dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan screening.
Partikel yang di bawah ukuran atau yang kecil (undersize), atau halusan (fines), lulus melewati
bukaan screen, sedang yang di atas ukuran atau yang besar (oversize), atau buntut (tails) tidak
lulus. Pengayakan lebih lazim dalam keadaan kering.
Ukuran yang digunakan bisa dinyatakan dengan mesh maupun mm (metrik). Yang dimaksud
mesh adalah jumlah lubang yang terdapat dalam satu inchi persegi (square inch), sementara jika
dinyatakan dalam mm maka angka yang ditunjukkan merupakan besar material yang diayak.
Perbandingan antara luas lubang bukaan dengan luas permukaan screen disebut presentase
opening.
Pelolosan material dalam ayakan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: [Taggart,1927]
1. Ukuran material yang sesuai dengan lubang ayakan
2. Ukuran rata-rata material yang menembus lubang ayakan
3. Sudut yang dibentuk oleh gaya pukulan partikel
4. Komposisi air dalam material yang akan diayak
5. Letak perlapisan material pada permukaan sebelum diayak
Kapasitas screen secara umum tergantung pada: [Kelly,1982]
1. Luas penampang screen
2. Ukuran bukaan
3. Sifat dari umpan seperti; berat jenis, kandungan air, temperature
4. Tipe mechanical screen yang digunakan.
Faktor – faktor yang mempengaruhi lolosnya undersize adalah: ukuran absolut dari bukaan
permukaan ayakan, persentase bukaan terhadap total luas permukaan ayakan,ukuran relatif
partikel, sudut jatuh partikel dan kecepatan jatuh partikel.
Efisiensi dari proses pengayakan ini bergantung pada: [Brown,1950]
a. Rasio ukuran minimal partikel yang bisa melewati lubang ayakan, yaitu: 0,17-1,25 x ukuran
lubang ayakan.
b. Persentase total area ayakan yang terbuka.
c. Teknik pengumpanan dan kecepatan pengumpanan.
d. Keadaan fisik dari material itu sendiri (kekerasan bijih, pola bongkahan bentuk partikel seperti
bulat, gepeng, ataupun jarum, kandungan air).
e. Ada atau tidak adanya penyumbatan lubang screen.
f. Ada atau tidak adanya korosi pada ayakan (kawat).
g. Mekanisme gerakan pengayakan (getaran).
h. Design mekanis dari ayakan tersebut dan Kemiringan ayakan (biasanya 12o-18o).
Gerakan partikel pada permukaan ayakan itu dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan kekuatan yang
digunakan oleh permukaan. Dengan kemiringan ayakan (20o-40o) menyebabkan adanya
dorongan yang cukup dari permukaan sehingga partikel ringan terdorong ke bawah. Gerakan
biasanya bersifat translasi (translation) cepat pada kapasitas besar, sentuhan yang kontinyu,
berguling (turn over) yang menyebabkan orientasi pergantian partikel serta pengeluaran
(ejecting) yaitu pembuangan keluar partikel.
Salah satu dari ayakan itu ada ayakan getar, Ayakan getar merupakan alat ayak yang baik dan
sering digunakan di masa sekarang dengan alasan seperti kapasitas ayakan yang cukup besar
dengan ruang penampung yang cukup, biaya operasi dan perawatan yang relatif murah (tahan
perawatan sampai dengan per ton ayakan) dan mampu memisahkan mineral dari ukuran 25 cm
sampai dengan ukuran 250 μm.
Ayakan ini dapat digunakan dalam keadaan basah ataupun kering. Pada keadaan basah
pengayakan dapat dilakukan sampai dengan ukuran 200 mesh, sedangkan keadaan kering
mencapai 325 mesh.
Ayakan getar (vibrating screen) dibagi menjadi tiga berdasarkan getarannya, yaitu: Berputar
(incline) dimana terjadi gerakan berputar pada pusat secara mekanis dengan kecepatan amplitudo
sebesar 600-7000 rpm, harisontal (Horizontal) terjadi gegalan linier dengan komponen vertikal
sebagai pengangkat dengan kecepatan amplitudo 600-3000 rpm dan acak (Probability) terjadi
gerakan yang bervariasi.
Ada dua macam mekanisme getaran pada proses ini yaitu mekanis dan elektris, yang langsung
dihasilkan dari permukaan ayakan. mekanisme elektris yaitu semua elektromagnet, seperti
berhenti atau meletakkan unsur ulet untuk memperkuat dan memperhebat getaran efek. Getaran
mekanis adalah getaran yang disebabkan oleh pergerakan alat terdiri dari palu (hammers), cams,
eksentrik, pemutar dan beberapa kombinasi mekanis lainnya. [Brown,1950]
Ayakan getar dapat di klasifikasikan berdasarkan beberapa faktor seperti: [Taggart,1927]
1. Getaran yang terjadi di atas permukaan ayakan.
2. Dimana getaran itu terjadi.
3. Bagaima getaran itu.
4. Sifat alami dari permukaan pengayakan
5. Bagaimana bentuk ayakan tersebut.
Contoh beberapa gerakan pada ayakan getar yang disebabkan oleh beberapa faktor tersebut
diatas: [Kelly,1982]
1. Tidak seimbangnya katrol: satu batang sepusat dengan pembalik arah yang dapat disetel dan
dua bearing. gerakan berputar keluar menghasilkan suatu getaran yang menyebabkan material
bergerak kesana kemari. Bekerja dengan frekuensi 500-2500 rpm. Biasanya pada ayakan Light
Duty Screen.
2. Gerakan eksentrik batang dengan batang eksentrik dan dua Bearing.
3. Penggetar elektromagnet, dengan osilasi frekuensi yang tinggi.
Bentuk dan luas permukaan partikel itu sendiri berpengaruh pada proses pemurnian bijih, yaitu
melalui faktor: [Kelly,1982]
1. Reaksi stokiometri.
2. Reaksi permukaan ( pada proses flotasi untuk memperbaiki sifat permukaan ).
3. Sifat fluida ( misal : viskositas dan density ).
4. Friksi atau gesekan, partikel bundar memiliki koefisien gesek lebih besar dibandingkan
dengan median lain.
5. Transfer panas dari dan ke arah partikel.
6. Proteksi mineral – mineral lain pada permukaan partikel.
Diposkan oleh Harinto Brown Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Korosi Galvanik
2.1. Definisi korosi
Korosi merupakan proses kerusakan suatu material karena pengaruh lingkungan yang korosif.
Lingkungan yang korosif merupakan bagian dari alam. Korosi tidak bisa dicegah keberadaannya,
akan tetapi korosi dapat dikendalikan keberadaannya sehingga kita dapat menunda datangnya
korosi yang membuat material jadi tahan lebih lama terhadap korosi (1).
Material secara umum digunakan dalam berbagai keperluan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan upaya meningkatkan taraf hidupnya. Hal ini merupakan suatu keadaan
yang tidak bisa dibantah, dan oleh karena itu teknologi material telah berkembang pesat di dunia
ini dan Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang harus turut serta dalam
penggunaan teknologi material ini secara optimal dan juga mengembangkan teknologi material
secara aktif. Tanpa mengusai teknologi material, maka kelangsungan usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan akan peralatan akan sia-sia saja, dan Indonesia bila tidak cepat tanggap
akan selalu tertinggal dari negara-negara lain yang telah mengembangkan industrinya
berbasiskan pada pengetahuan mengenai material yang telah dimilikinya.
Korosi merupakan suatu perusakan atau degradasi material yang terjadi secara alamiah. Material
diambil dari bumi dan akan kembali secara alamiah pula dengan proses korosi (1). Dalam
perjalanan penggunaan material khususnya logam berbagai masalah akan dapat timbul yang
disebabkan antara lain oleh :
1. Pemilihan material yang salah
2. Kondisi operasi yang tidak sesuai dengan desain kondisi operasinya
3. Perawatan yang kurang baik
4. Proses manufaktur yang kurang baik
Bentuk-bentuk korosi dapat berupa korosi merata, korosi galvanik, korosi sumuran, korosi celah,
korosi retak tegang (stress corrosion cracking), korosi retak fatik (corrosion fatique cracking) dan
korosi akibat pengaruh hidogen (corrosion induced hydrogen), korosi intergranular, selective
leaching, dan korosi erosi.
Korosi merata adalah korosi yang terjadi secara serentak diseluruh permukaan logam, oleh
karena itu pada logam yang mengalami korosi merata akan terjadi pengurangan dimensi yang
relatif besar per satuan waktu. Kerugian langsung akibat korosi merata berupa kehilangan
material konstruksi, keselamatan kerja dan pencemaran lingkungan akibat produk korosi dalam
bentuk senyawa yang mencemarkan lingkungan. Sedangkan kerugian tidak langsung, antara lain
berupa penurunan kapasitas dan peningkatan biaya perawatan (preventive maintenance).
Korosi galvanik terjadi apabila dua logam yang tidak sama dihubungkan dan berada di
lingkungan korosif. Salah satu dari logam tersebut akan mengalami korosi, sementara logam
lainnya akan terlindung dari serangan korosi. Logam yang mengalami korosi adalah logam yang
memiliki potensial yang lebih rendah dan logam yang tidak mengalami korosi adalah logam
yang memiliki potensial lebih tinggi
Korosi sumuran adalah korosi lokal yang terjadi pada permukaan yang terbuka akibat pecahnya
lapisan pasif. Terjadinya korosi sumuran ini diawali dengan pembentukan lapisan pasif
dipermukaannya, pada antarmuka lapisan pasif dan elektrolit terjadi penurunan pH, sehingga
terjadi pelarutan lapisan pasif secara perlahan-lahan dan menyebabkan lapisan pasif pecah
sehingga terjadi korosi sumuran. Korosi sumuran ini sangat berbahaya karena lokasi terjadinya
sangat kecil tetapi dalam, sehingga dapat menyebabkan peralatan atau struktur patah mendadak.
Korosi celah adalah korosi lokal yang terjadi pada celah diantara dua komponen. Mekanisme
terjadinya korosi celah ini diawali dengan terjadi korosi merata diluar dan didalam celah,
sehingga terjadi oksidasi logam dan reduksi oksigen. Pada suatu saat oksigen (O2) di dalam
celah habis, sedangkan oksigen (O2) diluar celah masih banyak, akibatnya permukaan logam
yang berhubungan dengan bagian luar menjadi katoda dan permukaan logam yang didalam celah
menjadi anoda sehingga terbentuk celah yang terkorosi.
Korosi retak tegang, korosi retak fatik dan korosi akibat pengaruh hidogen adalah bentuk korosi
dimana material mengalami keretakan akibat pengaruh lingkungannya. Korosi retak tegang
terjadi pada paduan logam yang mengalami tegangan tarik statis dilingkungan tertentu, seperti :
baja tahan karat sangat rentan terhadap lingkungan klorida panas, tembaga rentan dilarutan
amonia dan baja karbon rentan terhadap nitrat. Korosi retak fatk terjadi akibat tegangan berulang
dilingkungan korosif. Sedangkan korosi akibat pengaruh hidogen terjadi karena berlangsungnya
difusi hidrogen kedalam kisi paduan.
Korosi intergranular adalah bentuk korosi yang terjadi pada paduan logam akibat terjadinya
reaksi antar unsur logam tersebut di batas butirnya. Seperti yang terjadi pada baja tahan karat
austenitik apabila diberi perlakuan panas. Pada temperatur 425 – 815 oC karbida krom (Cr23C6)
akan mengendap di batas butir. Dengan kandungan krom dibawah 10 %, didaerah pengendapan
tersebut akan mengalami korosi dan menurunkan kekuatan baja tahan karat tersebut.
Selective leaching adalah korosi yang terjadi pada paduan logam karena pelarutan salah satu
unsur paduan yang lebih aktif, seperti yang biasa terjadi pada paduan tembaga-seng. Mekanisme
terjadinya korosi selective leaching diawali dengan terjadi pelarutan total terhadap semua unsur.
Salah satu unsur pemadu yang potensialnya lebih tinggi akan terdeposisi, sedangkan unsur yang
potensialnya lebih rendah akan larut ke elektrolit. Akibatnya terjadi keropos pada logam paduan
tersebut. Contoh lain selective leaching terjadi pada besi tuang kelabu yang digunakan sebagai
pipa pembakaran. Berkurangnya besi dalam paduan besi tuang akan menyebabkan paduan
tersebut menjadi porous dan lemah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pecah pada pipa.
Kombinasi antara fluida yang korosif dan kecepatan aliran yang tinggi menyebabkan terjadinya
korosi erosi, seperti yang terjadi pada pipa baja yang digunakan untuk mengalirkan uap yang
mengandung air.
2.2 Korosi galvanik
Korosi galvanik disebut juga sebagai korosi logam tak sejenis atau korosi dwilogam. Korosi ini
terjadi jika 2 buah logam atau logam paduan yang berbeda dalam suatu lingkungan yang sama
dan saling berhubungan. Hal ini terjadi karena dihasilkan suatu beda potensial diantara logam
tesebut.
Prinsip korosi galvanik sama dengan prinsip elektrokimia yaitu terdapat elektroda (katoda dan
anoda), elektrolit dan arus listrik. Logam yang berfungsi sebagai anoda adalah logam yang
sebelum dihubungkan bersifat lebih aktif atau mempunyai potensial korosi lebih negatif. Pada
anoda akan terjadi reaksi oksidasi atau reaksi pelarutan sedangkan pada katoda terjadi reaksi
reduksi logam atau tidak terjadi reaksi apa-apa dengan cara proteksi katodik.
Deret galvanik adalah suatu daftar harga-harga potensial korosi untuk berbagai logam paduan
yang berguna dalam kehidupan. Selain itu deret galvanik juga mencantumkan harga-harga
potensial korosi untuk logam-logam murni.
Suatu ringkasan dari deret galvanik untuk lingkungan air laut dapat dilihat pada Tabel 1 Untuk
meminimumkan terjadinya korosi galvanik salah satunya adalah dengan pemilihan pasangan
logam dengan perbedaan potensial yang sangat kecil. Deret galvanik hanya memberikan
informasi tentang kecenderungan terjadinya korosi galvanik pada pasangan dua logam atau
logam paduan.
Jenis korosi ini dapat diketahui dengan baik karena adanya dua logam yang kontak secara
elektrik dan tercelup dalam larutan air membentuk sel elektrokimia. Dimana salah satu logam
yang relatip kurang mulia akan mengalami korosi dan logam yang lebih mulia tidak akan terjadi
korosi. Dasar timbulnya mekanisme reaksi korosi jenis ini karena adanya perbedaan potensial
sistem logam dimedia larutan berair yang lebih dikenal dengan deret tegangan logam Sebagai
contoh atap seng gelombang yang mengalami korosi pada lapisan sengnya terlebih dahulu,
logam baja tidak akan terkorosi selama masih ada lapisan seng dan secara elektrik masih
terinteraksi.
2 .3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korosi Galvanik
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap korosi galvanik yaitu diantaranya:
1. Lingkungan
2. Jarak
3. Luas Penampang
2.3.1 Lingkungan
Tingkatan korosi galvanik tergantung pada keagresifan dari lingkungannya. Pada umumnya
logam dengan ketahanan korosi yang lebih rendah dalam suatu lingkungan berfungsi sebagai
anoda. Biasanya baja dan seng keduanya akan terkorosi akan tetapi jika keduanya dihubungkan
maka Zn akan terkorosi sedangkan baja akan terlindungi.
Pada kondisi khusus, sebagai contoh dalam lingkungan air dengan temperature 180 oF, terjadi
hal sebaliknya yaitu baja mengalami korosi sedangkan Zn terlindungi. Rupanya dalam kasus ini
produk korosi pada Zn bertindak sebagai permukaan yang lebih mulia terhadap baja. Menurut
Haney, Zn menjadi kurang aktif dan potensialnya menjadi kebalikannya jika ada ion-ion
penghalang seperti nitrat, bikarbonat atau karbonat dalam air.
Berdasarkan tabel diatas dan menurut penelitian dibeberapa macam kondisi lingkungan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Zn bersifat anodik terhadap baja pada semua kondisi
2. Al sifatnya bervariasi
3. Sn selalu bersifat sebagai katodik
4. Ni selalu bersifat sebagai katodik
Korosi galvanik tidak terjadi jika kedua logam benar-benar kering karena tidak ada elektrolit
yang memindahkan arus dintara anoda dan katoda.
Tabel 3 Perubahan berat baja dan Zn dalam gram untuk berbagai kondisi
lingkungan 1
Uncoupled Coupled
Environment Zinc Steel Zinc Steel
0,05 M MgSO4 0,00 - 0,04 - 0,05 + 0,02
0,05 M Na2SO4 - 0,17 - 0,04 - 0,48 + 0,01
0,05 M NaCl - 0,15 - 0,15 - 0,44 + 0,01
0,05 M NaCl - 0,06 -0,10 - 0,13 + 0,02
2.3.2 Jarak
Laju korosi pada umumnya paling besar pada daerah dekat pertemuan kedua logam. Laju korosi
berkurang dengan makin bertambahnya jarak dari pertemuan kedua logam tersebut. Pengaruh
jarak ini tergantung pada konduktivitas larutan dan korosi galvanik dapat diketahui dengan
adanya serangan korosi lokal pada daerah dekat pertemuan logam.
2.3.3 Luas Penampang
Yang dimaksud dengan luas penampang elektroda terhadap korosi galvanik adalah pengaruh
perbandingan luas penampang katodik terhadap anodik. Jika luas penampang katodik jauh lebih
besar dari pada katoda. Makin besar rapat arus pada daerah anoda mengakibatkan laju korosi
makin cepat pula.. Korosi di daerah anodik akan menjadi 100-1000 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan keseimbangan luas penampang anodik dan katodik.
Contoh lain luas penampang elektroda adalah ratusan tangki penyimpanan yang besar dipasang
pada bagian utama pabrik yang mengalami program ekspansi. Tangki-tangki yang pertama
digunakan adalah terbuat dari baja karbon dan permukaan dalamnya dilapisi atau dilindungi oleh
cat phenolik. Tangki-tangki ini dapat digunakan dengan baik untuk beberapa tahun. Akan tetapi
lama kelamaan lapisan cat bagian bawah rusak dan menyebabkan terjadinya kontaminasi.
Oleh karena itu tangki-tangki yang baru, bagian bawahnya dilengkapi dengan stainless steel yang
melindungi baja karbon (stainless steel-clad carbon steel) untuk pemakaian yang lebih baik dan
mengurangi biaya perawatan. Kemudian cat pelapis pheonik juga diberikan diseluruh
permukaan-permukaan dinding tangki sedangkan bagian bawah tangki yang dilapisi stainless
steel tidak diberi lapisan cat karena mempunyai sifat ketahanan korosi yang baik. Namun setelah
beberapa bulan dioperasikan, mulai terlihat adanya kebocoran di dinding tangki yaitu di atas
penyambung logam/las-lasnya.
2.4 Cara Pengendalian Korosi
Terdapat beberapa cara pengendalian yang umum dilakukan untuk mengendalikan korosi
galvanik., yaitu antara lain :
1. Pemilihan material yang tepat. Pemilihan material dengan perbedaan potensial dari kedua
material agar sekecil mungkin
2. Menghindarkan penggunaan 2 jenis logam yang saling berhubungan dalam suatu kontruksi.
3. Melakukan penggunaan lapis lindung. Jika harus menggunakan lapis lindung maka gunakan
lapis lindung pada katoda.
4. Menghindari kombinasi luas penampang material dengan anoda kecil sedangkan luas
penampang katoda besar.
5. Menambahkan inhibitor untuk mengurangi keagresifan lingkungan.
6. Merancang dengan baik agar dapat mengganti bagian-bagian anoda yang rusak dengan
menggunakan bahan-bahan yang siap pakai atau buatlah anodik yang lebih tebal agar lebih tahan
lama.
2.5 Kerugian Akibat Korosi
Ditinjau dari segi kerugian akibat korosi dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu kerugian dari
segi biaya korosi itu sangat tinggi atau mahal, kerugain dari segi pemborosan sumber daya
mineral yang sangat tinggi dan kerugian dari segi keselamatan jiwa manusia juga sangat
membahayakan.
1. Kerugian Ekonomi Akibat Korosi
Menurut sumber dari biro Klasifikasi indonesia pada tahun 1997 mengatakan bahwa pada
umumnya biaya pengendalian korosi di Indonesia berkisar antara 2 hingga 3,5 % dari GNP (
Growth National Produk ). Biaya pengendalian korosi adalah semua biaya yang timbul untuk
menanggulangi korosi mulai dari desain sampai dengan proses pemeliharaan.
2. Pemborosan Sumber Daya Alam
Pada dasarnya proses korosi dapat juga didefinisikan sebagai proses kembalinya logam teknis ke
bentuk asalnya di alam. Bentuk asalnya logam di alam adalah senyawa-senyawa mineral yang
abadi di perut bumi. Pada umumnya senyawa-senyawa mineral logam tersebut merupakan ikatan
kimia antara unsur logam dengan unsur logam dengan unsur halogen misalnya oksigen dan
belerang. Dengan adanya proses korosi pada struktur bangunan di tempat-tempat yang tersebar
di seluruh dunia, mengakibatkan sumber daya mineral yang semula berbentuk logam teknis telah
berubah menjadi produk korosi yang tersebar tanpa bisa didaur ulang untuk dijadikan logam
teknis kembali.
3. Korosi Dapat Membahayakan Jiwa Manusia
Korosi dapat menimbulkan kecelakaan yang menelan puluhan korban bahkan ratusan korban
jiwa atau mencederai manusia disebabkan karena kegagalan dari konstruksi bangunan akibat
korosi. Di dunia pelayaran, korban manusia yang meninggal akibat kapal tenggalam jumlahnya
sudah sangat banyak.
4. Estetika Menurun
Korosi dapat menurunkan nilai estetika suatu material. Hal ini karena korosi dapat merusak
lapisan permukaan material.
Diposkan oleh Harinto Brown 1 komentar: Link ke posting ini
Kristalografi 1
2.1 Pengertian Kristalografi
Kristalografi adalah bidang ilmu yang mempelajari struktur suatu bahan dalam arti seluas-
luasnya, baik keteraturan yang tampak secara eksternal ataupun secara mikroskopik. Dalam
pengertian lebih luas, kristalografi adalah studi tentang kristal : bentuk, pertumbuhan, struktur,
kimia, ikatan dan sifat-sifat fisik.
Kristal memiliki arti material solid yang memiliki atom-atom tersusun secara teratur dalam pola
tiga dimensi. Pola ini disebut struktur kristal yaitu dapat dijelaskan dari susunan geometri
sejumlah kecil atom yang membentuk sel satuan. Sel satuan berulang secara terus menerus dan
reguler membentuk kristal. Pengertian kristal secara saintifik jauh lebih umum daripada dalam
pengertian sehari-hari karena keteraturan internal terkadang tidak tampak dari luar
(makroskopis).
2.2 Klasifikasi Kristal Berdasarkan Unsur-Unsur Simetri Yang Dimiliki Suatu Kristal
Mineral dengan sedikit pengecualian, dimana proses penempatan atom-atom dalam keadaan
padat. Bilamana kondisi memungkinkan, mereka dapat membentuk permukaan yang halus secara
beraturan. Dan dalam bentuk geometri dikenal sebagai kristal. Pada saat ini banyak sekali proses
yang telah diketahui dalam terbentuknya kristal. Proses tersebut terdiri dari proses buatan
manusia di laboratorium atau proses alami seperti proses pendinginan magma, proses evaporit,
proses hidrotermal dan lain-lainnya. Bentuk kesempurnaan dari kristal dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
1. Euhedral (bentuknya sempurna)
2. Subhedral (masih terdapat bidang kristal)
3. Anhedral (sudah tidak terdapat sama sekali jejak bidang kristal)
Terbentuknya sebuah kristal yang mana setiap bagian merupakan yang serba sama, bentuk tiga
dimensi dari kristal dibentuk oleh bidang-bidang datar yang
terlihat dari luar dan bidang tersebut ditentukan oleh barisan atom-atom bagian dalam. Dalam
bagian ini hanya membahas beberapa unsur dari kristal seperti susunan atom, unsur-unsur
simetri, bentuk dan sistem-sistem kristal.
Sifat fisik yang khas dari kristal berasal dari :
Struktur
Komposisi kimia
Keadaan ikatan antar atom-atom
Dapat dipahami bahwa kristal dengan simetri eksternal merupakan benda yang pertama diamati
dalam bidang ini. Tanpa mengetahui unsur dasar pembangun yang saat ini dikenal sebagai atom
mereka mampu mengklasifikasikan ke dalam :
32 kelas kristal
7 sistem kristal
Hanya berdasarkan simetri dari struktur kristal suatu objek atau pola memiliki simetri bila benda
tersebut tidak berubah dengan operasi rotasi atau refleksi. Hanya beberapa sudut rotasi simetri
yang mungkin yakni 60o, 90o, 120o, 180o dan 360o. kombinasi operasi rotasi dan simetri
berjumlah terbatas, hal ini menghasilkan 32 kelas kristal dan 7 sistem kristal. Dengan menambah
simetri translasi akan diperoleh 230 space group. Dalam kasus tertentu tampak luar kristal
mampu menunjukkan struktur internal. Pada kasus lain beberapa test cahaya, listrik, tekanan,
suara dan lain-lain dapat juga mengungkapkan struktur internal. Pengetahuan tentang space
group dapat diperoleh dari difraksi sinar X.
Kristal memiliki kisi yang artinya memiliki pola-pola geometri dari susunan atom. Dalam kristal
terdapat dus kelas kisi, yaitu :
Bravais
Semua titik kisi equivalen (memiliki atom yang sama)
Non Bravais
Beberapa titik kisi tidak sama.
Gambar 2 Struktur Kristal Bravais
Kristal-kristal dikelompokkan berdasarkan unsur-unsur simetrinya menjadi tujuh pembagian
utama yang disebut tujuh sistem kristal. Sistem-sistem ini dibedakan atas kehadiran sumbu-
sumbu simetri yang berharga tertentu. Ketujuh sistem ini adalah sebagai berikut :
1. Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem reguler, bahkan sering dikenal sebagai sistem kubus/kubik. Jumlah
sumbu kristalnya 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Masing-masing sumbu sama
panjangnya.
a. Sumbu : α = β = γ = 90
b. Panjang sumbu satuan : a = b = c
2. Tetragonal
Sama dengan sistem isometrik, sistem ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing
saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang yang sama. Sedangkan sumbu c
berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Sumbu : α = β = γ = 90
Panjang Sumbu Satuan : a = b ≠ c
Kisi : Simple dan Body Centered
3. Orthorombik
Sistem ini disebut juga orthorombis dan mempunyai 3 sumbu kristal yang saling tegak lurus satu
dengan yang lain. Ketiga sumbu kristal tersebut mempunyai panjang yang berbeda.
Sumbu : α = β = γ = 90
Panjang Sumbu Satuan : a ≠ b ≠ c
4. Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya.
Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu b; b tegak lurus terhadap c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus
terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya
sumbu c yang paling panjang dan sumbu b yang paling pendek.
Sumbu : α = β = 90 , γ ≠ 90
Panjang Sumbu Satuan : a ≠ b ≠ c
5. Triklin
Sistem ini mempunyai tiga sumbu yang satu dengan lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian
juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Sumbu : α ≠ β ≠ γ ≠ 90
Panjang Sumbu Satuan : a ≠ b ≠ c
6. Trigonal
Beberapa ahli memasukkan sistem ini ke dalam sistem heksagonal. Demikian pula cara
penggambarannya juga sama. Perbedaannya bila pada trigonal setelah terbentuk bidang dasar,
yang berbentuk segienam kemudian dibuat segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang
melewati satu titik sudutnya.
Sumbu : α = β = γ = 120
Panjang Sumbu Satuan : a = b = d ≠ c
7. Hexagonal
Sistem ini mempunyai empat sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu
yang lain. Sumbu a, b, dan d masing-masing saling membentuk sudut 120o satu terhadap yang
lain. Sumbu a, b, dan d mempunyai panjang yang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat
lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Sumbu : α = β = γ = 120
Panjang Sumbu Satuan : a = b = d ≠ c
2.3 Unsur-Unsur Simetri Kristal
Dari masing-masing sistem kristal dapat dibagi lebih lanjut menjadi kelas-kelas kristal yang
jumlahnya 32 kelas. Penentuan klasifikasi kristal tergantung dari banyaknya unsur-unsur simetri
yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur simetri yang dimiliki suatu kristal adalah bidang
cermin, sumbu simetri, pusat simetri, titik inversi (i), sumbu putar, dan sumbu rotoinversi.
Operasi dari masing-masing unsur simetri adalah sebagai berikut :
a. Sumbu simetri
Sumbu simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus pusat kristal, dan bila kristal
diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu putaran penuh akan didapatkan beberapa kali
kenampakan yang sama. Sumbu simetri dibedakan menjadi tiga, yaitu Gire, Giroide dan sumbu
inversi putar. Ketiganya dibedakan berdasarkan cara mendapatkan nilai simetrinya.
Gire, atau sumbu simetri biasa, cara mendapatkan nilai simetrinya adalah dengan memutar kristal
pada porosnya dalam satu putaran penuh. Bila terdapat dua kali kenampakan yang sama
dinamakan digire, bila tiga trigire, empat tetragire, heksagire dan seterusnya.
Giroide adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya dengan memutar kristal
pada porosnya dan memproyeksikannya pada bidang horizontal.
Sumbu inversi putar adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya dengan
memutar kristal pada porosnya dan mencerminkannya melalui pusat kristal. Penulisan nilai
simetrinya dengan cara menambahkan bar pada angka simetri itu.
b. Pusat simetri
Suatu kristal dikatakan mempunyai pusat simetri bila kita dapat membuat garis bayangan tiap-
tiap titik pada permukaan kristal menembus pusat kristal dan akan menjumpai titik yang lain
pada permukaan di sisi yang lain dengan jarak yang sama terhadap pusat kristal pada garis
bayangan tersebut. Atau dengan kata lain, kristal mempunyai pusat simetri bila tiap bidang muka
kristal tersebut mempunyai pasangan dengan kriteria bahwa bidang yang berpasangan tersebut
berjarak sama dari pusat kristal, dan bidang yang satu merupakan hasil inversi melalui pusat
kristal dari bidang pasangannya.
c. Titik Inversi (i)
Mekanisme operasinya disebut inversi. Jika i ada maka letaknya pada perpotongan sumbu-sumbu
kristalografis. Titik ini akan mengkonversikan setiap titik yang terdapat pada kristal.
Gambar 3 Titik Inversi
d. Sumbu Putar
Mekanisme operasinya disebut rotasi. Kenampakan sebuah bidang kristal akan terlihat kembali
apabila kristal diputar 180, 120, 90, dan 60 masing-masing terhadap sumbu 2, 3, 4 dan 6.
e. Sumbu Rotoinversi
Mekanisme operasinya merupakan penggabungan antara rotasi dan inversi.
1. Sumbu 3 (baca 3 inversi)
Kenampakan sebuah bidang kristal akan terlihat kembali apabila kristal diputar 1200 terhadap
sumbu tersebut dan setiap kenampakan dari bidang kristal itu dapat diinversikan. (Dalam kristal
tersebut ada 3 sumbu dan titik inversi).
2. Sumbu 4 (baca 4 inversi)
Kenampakan sebuah bidang kristal akan terlihat seolah-olah diinversikan. Setelah bidang kristal
itu diputar 90 terhadap sumbunya. Sumbu 4 muncul didalam kristal sebagai sumbu 2 yang tidak
mempunyai titik inversi nyata (yang ada hanya titik inversi khayal / imajiner). Keadaan
sebaliknya tidak berlaku sumbu 2 tidak muncul sebagai sumbu 4.
3. Sumbu 6 (baca 6 inversi)
Sumbu ini muncul didalam kristal sebagai sumbu 3 yang tegak lurus terhadap bidang cermin
(m).
f. Bidang Cermin
Bidang cermin adalah bidang bayangan yang dapat membelah kristal menjadi dua bagian yang
sama, dimana bagian yang satu merupakan pencerminan dari yang lain. Bidang cermin ini dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu bidang cermin aksial dan bidang simetri menengah. Bidang simetri
aksial bila bidang tersebut membagi kristal melalui dua sumbu utama (sumbu kristal). Bidang
simetri aksial ini dibedakan menjadi dua, yaitu bidang simetri vertikal, yang melalui sumbu
vertikal dan bidang simetri horisontal, yang berada tegak lurus terhadap sumbu c. Bidang simetri
menengah adalah bidang simetri yang hanya melalui satu sumbu kristal. Bidang simetri ini sering
pula dikatakan sebagai bidang siemetri diagonal. Selanjutnya masing-masing sistem kristal
dikelompokan lagi menjadi pembagian yang lebih kecil menurut jumlah unsur-unsur simetrinya.
Pembagian ini disebut Klasifikasi Kristal. Klasifikasi ketujuh sistem kristal menghasilkan 32
kelas kristal, masing-masing Isometrik 5 kelas, Tetragonal 7 kelas, Orthorhombik 3 kelas,
monoklin 3 kelas, Triklin 2 kelas, Trigonal 5 kelas, dan hexagonal 7 kelas. Dalam setiap sistem
kristal terdapat kelas kristal dengan jumlah unsur simetri yang maksimum. Kelas kristal tersebut
dinamakan kelas holohedral. Sebagai contoh kelas Hexoctahedral dalam sistem isometrik adalah
kelas holohedral.
Berdasarkan sudut-sudut kita mengenal :
1. Tiga buah sumbu yang saling tegak lurus
2. Empat buah sumbu, dimana 3 sumbu terletak dalam satu bidang datar dan saling menyudut
120 sedangkan sumbu keempat tegak lurus pada ketiga sumbu yang tadi.
3. Tiga sumbu, dimana satu sumbu tegak lurus pada dua sumbu yang lain, sedang kedua sumbu
terakhir ini saling menyudut antara 90 dan 180 serta terdapat dalam satu bidang datar.
4. Tiga buah sumbu yang saling berpotongan dengan membuat sudut lebih besar dari 90.
Berdasarkan satuan panjang (parameter) pada sumbu-sumbu, kita bedakan susunan sumbu
sebagai berikut :
1. Pada ketiga sumbu diukurkan satuan yang sama
2. Pada sebuah sumbu diukurkan satuan yang berlainan dengan kedua / ketiga sumbu yang lain.
3. Pada ketiga sumbu diberikan satuan panjang yang berbeda-beda.
2.4 Bidang Kristal dan Indeks Miller
Orientasi bidang kristal dalam suatu kisi dapat di spesipikasikan dengan indeks miller.
Perpotongan bidang pada sumbu-sumbu x, y dan z. dibentuk triplet :
lalu dibalik
Kemudian triplet ini dibuat seemikian rupa sehingga menjadi bilangan bulat (h,k,l) yang disebut
indeks miller. Dibawah ini contoh bidang cristal
Gambar 6 Bidang-bidang kristal
Top Related