STATUS
KEDOKTERAN INDUSTRI
Disusun oleh:
Riza Nur Azizi 201310401011120
Gladiar Pawintri 201310401011...
Pembimbing:
dr.Rubayat ......
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH GRESIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA (FACTORY)
A. IDENTITAS:
1. Nama Perusahaan/ : IGD RSMG
Tempat kerja
2. Alamat : Jl. KH. Kholil No. 88 Kecamatan
Gresik Kota Gresik, Jawa Timur
3. Jenis usaha : Pelayanan kegawatdaruratan Rumah
Sakit
4. Jumlah tenaga kerja :17 orang
B. ANALISIS KOMPONEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA:
1. Proses Kerja:No Unit Kerja Bahan Baku Alat Kerja Cara Kerja Bahan Berbahaya1. Pendaftaran
(Front Office)- Komputer
Kertas Bolpoin Penggaris Gunting
pasien yang datang membawa kartu kemudian didata nomor registrasi dan dilakukan pembuatan status
Gunting Penggaris
2. Pemeriksaan pasien (Dokter)
Alkohol Aseptic gel
Stetoskop Sphygnomanometer Termometer
Pasien yang datang, kemudian dilakukan anamnesis
Cuci tangan Kemudian
dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan suhu
-
3. Pemasangan infus (Perawat)
Cairan infus Selang infus Kasa Hypafix Tegaderm Alkohol Kapas
Abbocath Tiang infus Torniquet
Pasien diminta untuk berbaring
Persiapkan alat dan bahan
Cuci tangan Pasang handscoon Ikat torniquet di
Abbocath Kapas beralkohol sisa desinfeksi
Handscoon tangan yang akan dipasang infus
Lakukan desinfeksi dengan kapas beralkohol
Pasang abbocath ke dalam vena yang panjang dan tidak bercabang
Masukkan selang infus yang sudah dihubungkan ke dalam cairan infus
Pasang tegaderm dan hypafix sebagai fiksasi agar selang tidak jatuh
Buang semua bahan dan alat bekas pakai
Buang handscoon Cuci tangan
4. Pemasangan kateter (Perawat)
Dower kateter Urine bag Gel Handscoon Hypafix NS
Spuit Pasien diminta untuk berbaring
Persiapkan alat dan bahan
Lepas celana dalam pasien
Saflon Kassa
Tekuk kedua kaki pasien
Cuci tangan Pasang handscoon Bersihkan
kemaluan pasien menggunakan kassa dengan saflon
Minta asisten untuk memberikan gel pada punggung tangan kiri
Ambil dower kateter secara perlahan dan sudah disambungkan ke urine bag
Pastikan urine bag dalam keadaan terkunci
Pasang dower kateter ke OUE secara perlahan hingga masuk ke dalam VU
Kunci kateter dengan menggunakan NS
yang sudah dimasukkan ke dalam spuit sebanyak 10-20 cc
Beri hypafix pada selang kateter yang diletakkan di paha kanan bagian dalam atas sebagai fiksasi
Buang semua bahan dan alat bekas pakai
Buang handscoon Cuci tangan
5. Hecting dan wound management (dokter dan perawat)
Benang Kassa Hypafix Perhidrol PZ Lidocain Handscoon Sofratulle
Spuit Jarum hecting Hecting set
Baringkan pasien Persiapkan alat dan
bahan Cuci tangan Pasang handscoon Bersihkan luka
dengan kasa yang sudah dibasahi PZ dan perhidrol
Jika luka sudah bersih, dan dimaksudkan untuk dijahit, maka suntik daerah sekitar luka
Spuit Jarum hecting Bekas darah Bekas ampul lidocain
menggunakan lidokain sebagai anaestesi
Siapkan jarum dan benang
Lakukan hecting Tutup luka
menggunakan sofratulle, kasa steril dan hypafix
Buang semua alat dan bahan bekas pakai
Buang handscoon Cuci tangan
2. Lingkungan Kerja:No Unit Kerja Ling. Fisik Ling. Biologi Ling. Kimia Ling. Sos-Bud Ling. Ergonomi1. (Pendaftaran)
Front OfficeSampah kering - - - Orang di unit bekerja dengan
duduk lebih lama dibanding orang lain, dan membaca, menulis serta menatap komputer dalam waktu lebih lama.Jarak komputer dengan mata yang terlalu dekat serta pencahayaan sinar matahari yang tinggi
2. (Pemeriksaan Pasien) Dokter
- BakteriVirus
AlkoholAntiseptic gel
- Untuk melakukan pemeriksaan ini, dokter harus berdiri dan sesekali membungkuk, tetapi tidak dalam jangka waktu lama
3. (Pemasangan infus) Perawat
Sampah BakteriVirus
AlkoholDarah
- Untuk melakukan tindakan ini, perawat harus membungkukkan badan sedikit agar dapat memasang infus dengan benar, kemudian menegakkan badan ketika mengukur jumlah tetesan cairan infus yang masuk
4. (Pemasangan kateter) Perawat
Sampah BakteriVirus
UrinSaflonAseptic gel
- Untuk melakukan tindakan ini, perawat harus membungkukkan badan sedikit agar dapat memasang kateter dengan benar,
5. (Hecting dan wound
Sampah BakteriVirus
PerhidrolDarah
- Untuk melakukan tindakan ini, dokter dan perawat harus
management) Dokter dan perawat
membungkukkan badan sedikit agar dapat membersihkan luka dan melakukan hecting. Jika luka dapat dijangkau dengan duduk, maka dokter dan perawat dapat duduk dan melakukan tindakan, meski tempat duduk tanpa menggunakan sandaran. Sedangkan, jika luka tidak dapat dijangkau dengan duduk, maka perawat harus berdiri dan sedikit membungkuk dalam jangka waktu yang cukup lama.
3. Karyawan:
No. Unit kerja Nama Usia
Juml. Populasi Rata-rata
Lama kerjaStatus
KesehatanResiko
Kesehatan Penanganan ResikoL P
1. Front Office
Tn. A 41 thn L 20 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP,
Astenophia
Tidak dilakukan pemeriksaan secara
berkala pada karyawan, jika sakit, petugas dapat
langsung berobat ke RSIH MM
2. Front Office
Ny. I 33 thn P 7 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP,
Astenophia
3. Front Office
Ny. M 45 thn P 18 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP,
Astenophia4. Front
OfficeNy. R 41 thn P 19 tahun Normal Cephalgia,
Myalgia, LBP, Astenophia
5. Front Office
Ny. D 28 thn P 7 bulan Normal Cephalgia, Myalgia, LBP,
Astenophia6. Front
OfficeNn. A 22 thn P 2 bulan Normal Cephalgia,
Myalgia, LBP, Astenophia
7. Perawat Ny. N 36 thn P 18 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
Tidak dilakukan pemeriksaan secara
berkala pada karyawan, jika sakit, petugas dapat
langsung berobat ke RSIH MM
8. Perawat Tn. A 29 thn L 5 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
9. Perawat Tn. E 32 thn L 11 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
10. Perawat Ny. H 35 thn P 11 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
11. Perawat Ny. E 30 thn P 4 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
12. Perawat Ny. G 27 thn P 4 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
Tidak dilakukan pemeriksaan secara
berkala pada karyawan, jika sakit, petugas dapat
langsung berobat ke RSIH MM
13. Perawat Nn. D 23 thn P 1 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
14. Perawat Nn. N 25 thn P 1 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum,
vulnus laceratum
15. Perawat Tn. A 28 thn L 3 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP,
vulnus ictum, vulnus
laceratum16. Dokter dr. I 65 thn L 1 tahun Normal Cephalgia,
Myalgia, LBP, Astenophia
17. Dokter dr. A 29 thn L 2 tahun Normal Cephalgia, Myalgia, LBP,
Astenophia
4. Sistem Manajemen: Upaya atau kebijakan pimpinan pada kegiatan K3
No. Komponen Problem K3 Kebijakan Manajemen
Internal Eksternal1 Proses Industri/Kerja Para tenaga medis masih
sering terlihat tidak menggunakan APD lengkap pada saat melakukan tindakan medis
- Selalu mencuci tangan dengan enam langkah cuci tangan sebelum melakukan tindakan medis agar tidak memindahkan bakteri dari tangan kita ke tubuh pasien.
Gunakan APD lengkap, terutama handscoon dan masker guna melindungi tangan dari cairan tubuh pasien
Lakukan five moments cuci tangan yaitu sebelum memeriksa pasien, sebelum melakukan tindakan, setelah melakukan
tindakan pasien, setelah kontak dengan cairan dan tubuh pasien, serta setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
2 Lingkungan Kerja Sudah terdapat pemisahan tempat sampah, namun isi dari tempat sampah tersebut sering tidak sesuai dengan kategorinya.
- Buang jarum dan bekas abbocath pada safety box, yaitu tempat sampah khusus untuk benda tajam, begitu pula dengan bekas pecahan ampul
Pisahkan box sampah umum di tempat yang jauh dari tempat sampah medis, untuk meminimalisir kesalahan dalam membuang sampah.
3 Karyawan Cephalgia, Myalgia, LBP, vulnus ictum, vulnus laceratum
- Jaminan kesehatan untuk karyawan IGD RSIH MM
5. Regulasi/Undang-Undang
a. Nasional:
1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa
”Setiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Atas dasar pasal tersebut maka
telah disusun :
a. UU No.1 th.1951 tentang Pernyataan berlakunya UU Kerja
th. 1948 No.12
b. UU No.3 th.1969 tentang Persetujuan Konvensi ILO
no.120 mengenai Higiene dalam Perniagaan dan Kantor-
kantor
c. UU No.14 th.1969 tentang Pokok-Pokok mengenai Tenaga
Kerja sebagai pelaksanaan dari Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
tersebut di Pasal 9 UU No.14 th.1969 yang menyatakan
”Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta
perlakukan sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan
moral agama ” dan di pasal 10 menyatakan Pemerintah
membina perlindungan kerja yang mencakup :
Norma keselamatan kerja
Norma kesehatan kerja
Norma kerja
Pemberian ganti kerugian, perawatan, dan rehabilitasi
dalam hal kecelakaan kerja
1. Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan
Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan
Kerja.
2. Kepmenkes RI No.1087 Tahun 2010 tentang Standar Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit.
3. Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IX/2007 tentang Pedoman
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di RS
4. Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan
Pelaporan Penyakit Akibat Kerja
5. Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan
Kimia Berbahaya
6. Permenakertranskop RI No.1 Tahun 1976 tentang Kewajiban
Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan
7. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
8. (TAMBAHI KEBIJAKAN RUMAH SAKIT ATAU DAERAH)
b. Internasional:
Occupational Safety and Health Convention, 1981
Occupational Health and Safety Act 1993
safety in the use of chemicals at work, 1993
Recording and notification of occupational accidents
and diseases, 1995
Guidelines on occupational safety and health
management systems, 2001
II. OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN KERJA)
No Nama Penyakit akibat kerja
Penyakit berhubungan dengan kerja
1. Tn. A - Cephalgia2. Ny. I - -3. Ny. M - -4. Ny. R - -5. Ny. D LBP -6. Nn. A - -7. Ny. N - -8. Tn. A - -9. Tn. E - Myalgia10. Ny. H LBP -11. Ny. E LBP -12. Ny. G - -13. Nn. D - -14. Nn. N - -15. Tn. A LBP -16. dr. I Myalgia17. dr. A - -
III. PEMBAHASAN
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Permenkes RI Nomor 69, 2014)
Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban diantaranya memiliki system
pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana, mengupayakan keamanan
pasien, pengunjung dan petugas rumah sakit. Tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. (Permenkes
RI Nomor 69, 2014)
Dalam pasal 8 telah dijabarkan kewajiban rumah sakit mengenai sistem
pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana, ditujukan untuk mencegah
dan mengendalikan potensi bahaya, antara lain: (Permenkes Ri Nomor 69, 2014)
a. Kebakaran dan kecelakaan lain yang berhubungan dengan instalasi
listrik
b. Radiasi atau pencemaran bahan-bahan kimia yang berbahaya
c. Gangguan psikososisal
d. Masalah ergonomis
Pihak Rumah Sakit juga berkewajiban untuk memelihara gedung, peralatan
Rumah Sakit untuk menghilangkan resiko bagi pasien, tenaga kesehatan dan
pengunjung Rumah Sakit serta menyusun rencana tertulis tentang perlindungan
terhadap berbagai potensi bahaya atau resiko yang terjadi di Rumah Sakit.
Menurut Pasal 2 huruf v, Rumah Sakit berkewajiban dalam menjamin hak
petugas yang bekerja di Rumah Sakit, yang telah di jabarkan dalam Pasal 26
(Permenkes RI Nomor 69, 2014)
a. Memberikan imbalan jasa yang adil dan layak sesuai bebean kerja,
tanggung jawab dan resiko pekerjaannya.
b. Menetapkan prosedur keselamatan kerja dan melakukan pencegahan
risiko penyakit akibat kerja termasuk melakukan pengujian kesehatan
secara berkala.
c. Memberikan hak cuti.
d. Memberikan jaminan social tenaga kerja.
e. Melaksanakan pengembangan kompetensi dan/atau kemampuan
melalui pendidikan dan pelatihan.
Pelayanan gawat darurat harus dapat memberikan pelayanan gawat darurat
24 (dua puluh empat) jam dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan kemampuan
melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat, melakukan resusitasi
dan stabilisasi sesuai dengan standar. (Permenkes RI Nomor 34, 2010)
Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh
masyarakat, maka tuntutan pengelolaan program kesehatan dan keselamatan kerja
(K3) di rumah sakit semakin tinggi karena sumber daya manusia (SDM) rumah
sakit, pengungjung/pengantar pasien, pasien, dan masyarakat sekitar RS
inginmendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja,
baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena
kondisi sarana dan prasarana yang ada di RS yang tidak memnuhi standar
(Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1087, 2010)
Kesehatan kerja adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap pekerja dapat bekerja secara sehat dengan produktivitas
yang optimal tanpa membahayakan diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan
sekitarnya (Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan Kerja, 2006).
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu bagian dari
perlindungan bagi tenaga kerja dan bertujuan untuk mencegah serta mengurangi
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan di dalamnya termasuk :
1. Menjamin para pekerja dan orang lain yang ada disekitar tempat kerja
selalu dalam keadaan sehat dan selamat.
2. Menjaga agar sumber-sumber produksi digunakan secara aman dan
efisien.
3. Menjamin kelancaran proses produksi yang merupakan faktor penting
dalam meningkatkan produktivitas (Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan
Kerja, 2006)..
Kesehatan kerja bertujuan pada pemeliharaan dan pencegahan serta risiko
gangguan kesehatan fisik, mental dan sosial pada semua pekerja yang disebabkan
oleh kondisi dan lingkungan kerja sehingga diharapkan produktivitas pekerja
dapat dipertahankan dan apabila si pekerja telah memasuki usia pensiun maka
yang bersangkutan dapat menikmati hari tuanya tanpa mengalami gangguan
penyakit akibat hubungan kerja (Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan Kerja,
2006).
Sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah bagian
dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,
perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur dan sumber daya yang di
butuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat
kerja yang aman, efisien dan produktif (Permenaker Nomor 5, 1996)
Riset yang dilakukan badan ILO menghasilkan kesimpulan, setiap hari rata-
rata 6.000 orang meninggal, setara dengan 1 (satu) orang tiap 15 detik, atau 2,2
juta orang per tahun akibat sakt atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan
mereka. (Rahayuningsih & Hariyono, 2011)
Penyakit akibat dan atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan
oleh pemajanan di lingkungan kerja. Dewasa ini terdapat kesenjangan antara
pengetahuan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dan
usaha-usaha untuk mencegahnya. Misalnya antara penyakit yang sudah jelas
penularannya dapat melalui darah dan pemakaian jarum suntik yang berulang-
ulang, atau perlindungan yang belum baik pada para pekerja rumah sakit dengan
kemungkinan terpajan melalui kontak langsung. Untuk mengantisipasi
permasalahan ini maka langkah awal yang penting untuk melakukan upaya K3
adalah pengenalan/identifikasi bahaya yang bisa timbul dan di evaluasi, kemudian
dilakukan pengendalian (Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan Kerja, 2006).
Pengelola tempat kerja di Rumah Sakit mempunyai kewajiban untuk
menyehatkan para tenaga kerjanya. Oleh karena itu Rumah Sakit dituntut untuk
melaksanakan Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan
secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat
Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di Rumah Sakit dapat
dihindari. (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1087, 2010)
Kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan
pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal
cara/metode kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk :
1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di
semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun
kesejahteraan sosialnya.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya
dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
membahayakan kesehatan.
4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya (Pedoman Kesehatan
Dan Keselamatan Kerja, 2006).
Pihak RS wajib menyediakan SOP kerja, SOP peralatan, SOP penggunaan
alat pelindung diri dan kewajibannya, memberikan pengobatan dan perawatan
serta rehabilitasi bagi SDM Rumah Sakit yang menderita sakit. Melaksanakan
pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang berkaitan dengan kesehatan
kerja. Membentuk tenaga K3RS (Keputusan Menteri Kesehatan Ri No.1087,
2010)
Berdasarkan data dari WHO, bahwa dari 35 juta pekerja kesehatan, 3 juta
diantaranya terpajan patogen darah (2 juta terpajan virus HBV, 0,9 juta terpajan
virus HBC, dab 170.000 terpajan virus HIV/AIDS. Di Indonesia keluhan
subyektif low back pain didapat pada 83,3% pekerja, akibat gaya berat yang
ditanggung pekerja rata-rata lebih dari 20 kg. (Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1087, 2010)
Potensi bahaya di RS selain penyakit infeksi juga ada potensi bahaya bahaya
lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-
sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial, dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut
diatas jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi karyawan di RS, para pasien,
maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS (Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 432, 2007)
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan
bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain.
kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang,
tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi, dan lain-lain. Sejumlah kasus
dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS yaitu sprains, strains 52%;
contussion, crushing, bruising 11%; cuts, laceration, punctures 10,8%; fractures
5,6%; multiple injuries 2,1%; thermal burns 2%; scratches, abrasions 1,9%;
infections 1,3%; dermatitis 1,2%;, dan lain-lain 12,4% (Kepmenkes RI No. 432,
2007).
Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi
pada perawat (16,8%) dibandingkan dengan sektor industri lain. di Australia,
diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain (LBP), prevalensi 42% dan di
AS, insiden cedera muskuloskeletal 4,62/100 perawat per tahun. Cedera punggung
menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 miliardolar per tahun.
Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS
belum tergambar dengan jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan
dari para petugas di RS, sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS
(Kepmenkes RI No. 432, 2007)
Selain itu, terdapat catatan beberapa kasus penyakit kronis yang diderita
petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit
ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita)
serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae. Ditambahkan
juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih
besar 1,5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit,
saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain seperti sakit telinga, sakit
kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat
kehamilan, penyakit kulit, dan sistem otot dan tulang rangka (Kepmenkes RI No.
432, 2007)
K3 adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan
derajat kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan Penyakit
Akibat Kerja (PAK), pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan,
pengobatan dan rehabilitasi. (Keputusan Menteri Kesehatan Ri No.1087, 2010)
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian
Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease.
WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja:
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya
Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya
Karsinoma Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara
faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada
sebelumnya, misalnya asma (Sulistomo, 2002).
Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja (PAK) sangat banyak, tergantung
pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara
kerja, sehingga tidak mungkin disebutkan satu per satu. Pada umumnya faktor
penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan:
1. Golongan fisik: Suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang
sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
2. Golongan kimiawi: Bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja,
maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap,
gas, larutan, awan atau kabut.
3. Golongan biologis: Bakteri, virus atau jamur
4. Golongan fisiologis: Biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan
cara kerja
5. Golongan psikososial: Lingkungan kerja yang mengakibatkan stress
(Sulistomo, 2002).
Sumber: KMK 1087, 2010
Dalam pelayanan kesehatan kerja dikenal tahapan pencegahan PAK dan
kecelakan akibat kerja (KAK) yakni:
1. Pencegahan primer, meliputi pengenalan hazard (potensi bahaya),
pengendalian pajanan yag terdiri dari monitoring lingkungan kerja,
monitoring biologi, identifikasi pekerja yang rentan, pengendalian teknik,
administrasi, pengunaan APD.
2. Pencegahan sekunder meliputi screening penyakit, pemeriksaan kesehatan
berkala, pemeriksaan kesehatan bagi pekerja yang berpotensi terpajan
hazard tertentu, berdasarkan peraturan perundangan (statutory medical
examination).
3. Pencegahan tersier berupa pelayanan kesehatan kerja meliputi upaya
disability limitation dan rehabilitasi (Sulistomo, 2002).
Menurut ILO (International Labour Organization) 1989, pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja diklasifikasikan yaitu; (a)
peraturan-peraturan, (b) standarisasi, (c) pengawasan, (d)
penelitian-penelitian baik teknik, medis, psikologis maupun
statistik, (e) pendidikan, (f) pelatihan, (g) persuasi, (h) asuransi,
(i) penataan dan pengaturan ruangan yang baik, (j) tindakan-
tindakan atau pemakaian alat-alat pengaman yang dilakukan
oleh masing-masing individu berupa pakaian kerja, topi
pelindung, pelindung mata, penutup hidung dan mulut (masker),
penyumbat telinga, sarung tangan, sepatu pengaman, (k)
peringatan tanda-tanda, (l) penerangan, (m) ventilasi dan
pengaturan suhu (Suaeb, 2012).
Alat pelindung diri adalah alat yang digunakan oleh para
pekerja selama menjalankan pekerjaan sesuai dengan kriteria
pekerjaan masing-masing dengan maksud dan tujuan untuk
melindungi pekerja agar selama bekerja mendapat kenyamanan
dan keselamatan (Suaeb, 2012). Digunakan untuk melindungi kulit dan selaput
lendir petugas dari risiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret,
ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Macam-macam alat
pelindung :
a. Sarung tangan
b. Pelindung wajah/Masker/Kaca mata
c. Penutup kepala
d. Gaun pelindung (baju kerja/celemek)
e. Sepatu pelindung (sturdy foot wear) (Pedoman kesehatan dan keselamatan
kerja, 2006).
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh APD agar dalam
pemakaiannya dapat memberikan perlindungan yang maksimal. Menurut ILO dari
beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh semua jenis peralatan pelindung,
maka hanya dua yang terpenting yaitu:
1. Apapun sifat dan bahayanya, peralatan atau pakaian harus memberikan
cukup perlindungan terhadap bahaya tersebut.
2. Peralatan atau pakaian harus ringan dipakainya dan awet dan membuat
rasa kurang nyaman sekecil mungkin, tetapi memungkinkan mobilitas,
penglihatan dan sebagainya yang maksimum (Harwanti, 2009).
Kewajiban dalam penggunaan APD di tempat kerja yang mempunyai resiko
terhadap timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja telah diatur didalam
Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal-pasal yang
mengatur tentang penggunaan APD antara lain:
1. Pasal 3 ayat 1 sub f, menyebutkan bahwa ”Dengan peraturan perundangan
ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memberikan alat-alat
pelindung diri pada pekerja”.
2. Pasal 9 ayat 1 sub c, menyebutkan bahwa ”Pengurus diwajibkan
menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang, alat–alat
pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
3. Pasal 12 sub b, menyebutkan bahwa ”Dengan peraturan perundangan diatur
kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk, memakai alat-alat pelindung diri
yang diwajibkan”
4. Pasal 14 sub c, menyebutkan bahwa ”Pengurus diwajibkan menyediakan
secara cuma-cuma, semua alat pelindung diri yang diwajibkan pada tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang
lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-
petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-
ahli keselamatan kerja. (Harwanti, 2009)
Penyakit akibat kerja pada bagian IGD adalah cephalgia, myalgia, Low Back
Pain (LBP), astenophia, vulnus ictum, vulnus laceratum, dan penyakit lain akibat
posisi tubuh yang tidak sesuai dengan ergonomic yaitu musculosceletal injuries
(Suaeb, 2012).
Low back pain (LBP) merupakan salah satu gangguan muskuloskletal yang
disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. LBP dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit muskuloskeletal, gangguan psikologis dan mobilisasi yang
salah. Sedangkan postur merupakan faktor pendukung LBP. Kesalahan postur
seperti kepala menunduk ke depan, bahu melengkung ke depan, perut menonjol
ke depan dan lordosis lumbal berlebihan dapat menyebabkan spasme otot
(ketegangan otot). Hal ini merupakan penyebab terbanyak dari LBP. Aktivitas
yang dilakukan dengan tidak benar, seperti salah posisi saat mengangkat beban
yang berat juga menjadi penyebab LBP. (Suaeb, 2012).
Menurut data, dalam satu bulan rata-rata 23% pekerja tidak bekerja dengan
benar dan absen kerja selama delapan hari diakibatkan sakit pinggang. Menurut
penelitian, pekerjaan manual handling dan lifting merupakan penyebab utama
terjadinya cedera bagian belakang (back pain). (Junior, Goldenfum, & Siena,
2009).
Musculosceletal injuries adalah edera atau gangguan dari jaringan lunak,
yang termasuk tendon, ligamen, pembuluh darah, dan saraf atau jaringan lunak
yang lain. timbul akibat paparan faktor risiko seperti postur yang tidak sempurna,
gerakan berulang, dan pengerahan tenaga pada beban yang berlebihan. Cedera ini
dapat bersifat akut maupun kumulatif. Gejalanya dapat berupa nyeri, kelemahan,
kesemutan, gangguan tidur, pembengkakan, mati rasa, nyeri tanpa sebab, dan
kesulitan melakukan tugas atau memindahkan bagian-bagian tertentu dari tubuh.
Derajat musculoscletal injuries:
1. Stage 1: ketidaknyamanan ringan, timbul saat bekerja, namun menghilang
ketika tidak bekerja. Tidak mempengaruhi pekerjaan atau kehidupan
sehari-hari. Sepenuhnya reversibel.
2. Stage 2: Nyeri hadir saat bekerja dan menetap ketika tidak bekerja. Dapat
diredakan dengan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit. Mulai
mempengaruhi pekerjaan dan tugas sehari-hari. Sepenuhnya reversibel.
3. Stage 3: Nyeri hadir sepanjang waktu dan mempengaruhi kerja. Mulai
tidak dapat menyelesaikan tugas sehari-hari yang sederhana. Irreversibel,
dapat disembuhkan namun tidak sembuh total (Worksafe, 2010).
Infeksi lain yang dapat beresiko terjadi pada staf kesehatan di IGD adalah
infeksi yang penyebarannya melalui darah, seperti hepatitis dan HIV/AIDS.
(Maguire et al, 2014). Penelitian ini mengatakan bahwa penularan virus yang
penyebarannya melalui darah ini dapat melalui tertusuk jarum suntik,
mucocutaneus contact atau kontak darah dengan kulit yang tidak intak. Akibatnya
terjadi penularan kembali dari staf kesehatan ke pasien yang semestinya tidak
mengidap virus hepatitis maupun HIV/AIDS. (Wicker et al, 2008)
Resiko transmisi dari infeksi virus hepatitis B melalui needlestick injury
sekitar 30% apabila tidak diberikan profilaksis setelahnya atau belum
mendapatkan vaksinasi hepatitis B sebelumnya. (Ciorlia & Zanette, 2005) Resiko
penularan infeksi virus hepatitis C adalah 3-10% dimana dapat meningkat 10 kali
lipat bila pasien atau penderita memiliki viral-load yang tinggi. Sedangkan
penularan terendah adalah pada HIV sekitar 0,3%. (Ozturk et al, 2014)
Resiko penyakit lain yang dapat mengenai staf IGD adalah ISPA maupun
TBC, karena penyebarannya sangat mudah yaitu melalui udara. Seringkali karena
pasien gawat dan membutuhkan tindakan segera, personal safety dilupakan,
seperti penggunaan handscoun dan masker. Hal tersebut dapat memudahkan
transmisi dari penyakit ISPA maupun TBC ke staf kesehatan di IGD. ( Loeb et al.,
2009)
Ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitan
dengan pekerjaan mereka. Tujuan ergonomi adalah menyesuaikan pekerjaan
dengan kondisi tubuh manusia melalui upaya : penyesuaian ukuran tempat kerja
dengan dimensi tubuh, pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban yang sesuai
dengan kebutuhan tubuh manusia. Untuk dapat mengidentifikasi masalah
ergonomi di rumah sakit, perlu dipelajari dasar-dasar ergonomi antara lain:
antropometri, kerja otot, kelelahan, ketrampilan, perencanaan ruang kerja,
perancangan ruang kerja, pencahayaan dan warna, kebosanan, kejenuhan,
hubungan manusia dengan mesin, kemampuan mata dan alat pendengaran dan
lain-lain (Pedoman kesehatan dan keselamatan kerja, 2006).
Sumber: Health and savety authority, 2010
Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk
mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena
itu, K3 perlu dikelola dengan baik.
IV. INTERVENSI
1. Proses Kerja
Para petugas di RSI Hasanah diwajibkan untuk menggunakan alat pelindung
diri, seperti masker, sarung tangan, sepatu, sehingga resiko terkena penyakit
akibat kerja seperti ISPA, hepatitis dapat diminimalisir.
Disamping itu jumlah petugas hanya sekitar 2-3 orang tiap kali jaga,
sehingga apabila banyak pasien yang berobat di IGD, petugas sering merasa
kewalahan. Karena selain melakukan tindakan medis, petugas IGD juga dituntut
untuk menerima pasien dari kendaraannya, hingga mengantarkan pasien menuju
ruang rawat inap. Hal ini dapat diatasi dengan menambah jumlah tenaga medis
IGD RSI HMM mulai dari dokter hingga perawat.
2. Lingkungan Kerja
Salah satu masalah pada IGD RSI Hasanah adalah tidak adanya pemisahan
antara sampah medis dan sampah umum. Walaupun telah disediakan tempat
sampah yang berbeda, namun dari tempat sampah tersebut tetap bercampur
dengan sampah non medis serta ukuran tempat sampah yang kecil, sehingga hal
tersebut apat menjadi penyebab bercampurnya sampah.
Hal yang dapat diperbaiki dengan cara menyediakan tempat sampah yang
cukup besar dua macam dengan letak yang berjauhan guna menghindari kesalahan
pembuangan sampah. Sampah medis disediakan dalam jumlah banyak dan
diletakkan di dekat bed pasien, agar memudahkan pembuangan ketika sedang
menangani pasien. Sedangkan, sampah umum diletakkan cukup jauh dari bed
pasien, sehingga tidak tercampur. Selain itu pihak RS harus menyediakan “Safety
Box” untuk membuang benda-benda tajam seperti jarum dan bekas ampul.
Adanya bed (brangkar) pasien yang tidak memiliki pelindung pada kedua
sisi panjangnya. Selain dapat membahayakan pasien karena resiko jatuh, hal ini
juga dapat menyebabkan petugas bekerja lebih lagi untuk memantau agar pasien
tidak jatuh dan juga tidak adanya pemisah kontak antara pasien dan petugas.
Pihak RS seharusnya juga menyedikan kursi yang dapat direndahkan
maupun ditinggikan, untuk mempermudah dan menyamankan petugas yang akan
melakukan tindakan, seperti hecting yang cukup memakan waktu. Sehingga
petugas tidak perlu lagi membungkuk yang dapat meningkatkan resiko LBP pada
petugas IGD.
3. Kondisi Karyawan
Upaya Penanganan kesehatan kerja dilakukan melalui pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan pencegahan, yaitu:
a. Pencegahan primer, meliputi Health promotion dan Specific protection,
dengan cara:
- Melakukan penyuluhan mengenai penyakit yang disebabkan oleh
kerja, seperti LBP, cephalgia, myalgia, dan MSI serta cara
menanganinya
- Memberikan penyuluhan mengenai cara duduk, cara mengangkat
pasien, dan cara berdiri yang sesuai dengan ergonomi
- Memberikan penyuluhan mengenai penggunaan APD sebagai alat
bantu pelindung diri agar tidak menularkan bakteri
b. Pencegahan sekunder
- Bila tenaga kesehatan terdapat keluhan atau terjadi kecelakan kerja,
maka segera melapor dan melakukan pemeriksaan agar mendapatkan
pengobatan guna mencegah timbulnya kecacatan.
c. Pencegahan tersier
- Menambah asisten perawat guna membantu perawat dalam
mengantarkan pasien ke ruang rawat inap
4. Kebijakan Manajemen
Intervensi di bidang kebijakan manajemen dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Memberikan sosialisasi mengenai undang-undang yang mengatur
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Menjelaskan bahwa tiap pelanggaran yang dilakukan akan dikenai sanksi
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada petugas IGD terutama yang
berkaitan dengan penyakit akibat kerja serta melakukan sosialisasi tentang
penaganan kecelakaan kerja pada petugas.
Menambah jumlah perawat dan petugas yang bekerja di IGD
5. Regulasi yang berlaku
Penanganan masalah kesehatan kerja dapat dilakukan melalui peraturan dan
perundangan yang bertujuan melindungi karyawan. Sehingga penanganan
masalah kesehatan kerja dapat diselesaikan secara holistik dan komprehensif agar
tidak memunculkan masalah baru baik berkaitan dengan kesehatan secara
langsung maupun tidak langsung. Undang-undang yang menangani masalah
keselamatan dan kesehatan kerja adalah:
1. PERMENKES RI No.69 Tahun 2014
Pasal 2 huruf f : Rumah Sakit mempunyai kewajiban memiliki system
pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana
Pasal 2 huruf j : Rumah Sakit mempunyai kewajiban mengutamakan
keamaanan pasien, pengunjung dan petugas di Rumah Sakit
Pasal 2 huruf v : Rumah Sakit mempunyai kewajiban menjamin hak petugas
yang bekerja di Rumah Sakit.
2. UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Pasal 9 ayat 1: Pengurus/pengusaha wajib menunjukkan kondisi bahaya di
tempat kerja, menyediakan alat pelindung diri yang harus
dipakai.
Pasal 12: Tenaga Kerja memakai APD yang telah disediakan; menyatakan
keberatan kerja dimana syarat-syarat K3 diragukan olehnya
DAFTAR PUSTAKA
Ciorlia, L., & Zanetta, D. 2005. Hepatitis B in Healthcare Worker : Prevalence, Vaccination and Relation to Occupational Factor. The Brazilian Journal of Infectious Disease, pp: 384-89.
Harwanti, Nurdini. 2009. Pemakaian Alat Pelindung Diri Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Tenaga Kerja Di Instalasi Rawat Inap. Surakarta. Pp: 1-47
Health and Safety Autority. 2010. Ergonomics in the Workplace. Dublin.
Junior, M., Goldenfum, M., & Siena, C. 2009. Occupational Low Back Pain, Rev Assoc Med Bras, pp:583-89.
Keputusan Menteri Kesehatan RI NO 432, 2007. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Jakarta. Menteri Kesehatan RI
Keputusan Menteri Kesehatan RI NO.1087, 2010. STandar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta. Menteri Kesehatan RI.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI NO.333, 1989. Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja. Jakarta. Menteri Tenaga Kerja.
Loeb, M., et al. 2009. Surgical Mask vs N95 Respirator for Preventing Influenza Among Health Care Workers. JAMA-Express, pp:1865-71.
Maguire, B., O’Meara, P., Brightwell, R., O’Neil, B., & Fitzgerald, G. 2014. Occupational Injuryy Risk Among Australian Paramedics: an Analysis of National Data. MJA, pp:477-80
Ozturk, T., Guneysel, O., Tali, A., Yildrim, S., Onur, O., & Yaylaci, S. 2014. Hepatitis B, Hepatitis C and HIV Seroprevalence in Critically Ill Emergency Patient in Tertiary Inner City Hospital in Istambul, Turkey. Park J Med Sci, pp: 703-07.
Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja Instalasi Farmasi Rumah Sakit. 2006. Jakarta. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI
Peraturan Menteri Kesehatan RI NO. 69, 2014. Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan RI NO.34, 2010. Klasisfikasi Rumah Sakit. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi NO 2, 1980. Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja. Jakarta. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja NO 5, 1996. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta. Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Rahayuningsih, P.W. & Hariyono, W., 2011. Penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) di Instalasi Gawat Darurat RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. KES MAS, 5(1), pp.1-67.
Suaeb, Achmad. 2012. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Studi Kasus: Pembersihan Kaca Jendela). Jakarta. Pp: 1-27
Sulistomo, Astrid. 2002. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan Sistem Rujukan. Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 136. Pp: 6-8
Wicker, S., Cinati,J., Berger, A., Doerr, H., Gottschalk, R., & Rabenau, H. 2008. Determination of Risk of Infection with Blood-Borne Pathogens Following a Needlestick Injury in Hospital Workers. Ann Occup Hyg, pp:615-22.
Worksafe. 2010. Health & Safety Orientation Guide for Employers. Work Safe NB
Lampiran