Naskah Publikasi
PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE
Oleh :
Supriadi
No. Mahasiswa : 21733/IV-4/1625/04
A. Pendahuluan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae terletak di Kampung Bellae, Kelurahan
Biraeng, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep dengan posisi astronomis
04049’20” – 04050’10” LS dan 1190 45” - 1190 36’50” BT. Kompleks gua
prasejarah Bellae terdiri atas 21 gua dengan posisi berjejer di sepanjang bukit
kars yang berada tidak jauh dari permukiman penduduk Kampung Bellae. Bukit
kars yang melintasi Bellae dan merupakan tempat beradanya gua-gua prasejarah
yakni Bulu1 Matojeng dan Bulu Matanre. Bulu Matojeng dan Bulu Matanre
termasuk gugusan kars yang membentang antara Maros-Pangkep yang sering
disebut sebagai kawasan kars Maros-Pangkep.
Sebagai sumber data prasejarah di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua
Prasejarah Bellae mempunyai tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai
tinggalan arkeologis baik berupa artefak batu, sisa makanan maupun lukisan
dinding (rock art) masih banyak dijumpai. Temuan artefak batu terutama adalah
alat serpih dan bilah yang sebarannya hampir merata di semua gua, selain itu juga
ditemukan lancipan maros (maros point) dan mikrolit geometris yang hanya
ditemukan di beberapa situs tertentu. Lukisan dinding yang terdapat di Bellae
berupa lukisan figuratif dan non figuratif.
Keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang kini dekat dengan
pemukiman dan areal persawahan, mengakibatkan gua-gua ini tidak terlepas dari 1 Bulu merupakan bahasa Bugis yang berarti gunung. Dalam bahasa Bugis istilah bulu mencakup
istilah gunung dan bukit. Dalam tulisan ini, penggunaan kata bulu untuk menyebut Bulu Matojeng dan Bulu Matenre lebih mengarah pada istilah bukit.
2
ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas
pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam
kelestarian kompleks gua prasejarah Bellae. Tidak jarang beberapa gua
dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat menyimpan jerami padi dan alat-alat
pertanian. Bahkan kadangkala masyarakat menggali tanah pada bagian depan gua
sehingga bagian depan gua semakin cekung dan dapat menghilangkan tinggalan
arkeologis yang terdapat pada gua tersebut. Coretan-coretan baru pada dinding
ditemukan bercampur dengan lukisan dinding yang terdapat pada gua.
Selain kelestarian Kompleks Gua Prasejarah yang semakin terancam oleh
aktivitas masyarakat setempat, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae oleh
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangkep ternyata membawa
permasalahan tersendiri. Tidak terjalinnya koordinasi antara Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Pangkep dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
(BP3) Makassar telah memicu konflik menyangkut perlakuan dan kewenangan
terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Beragamnya kepentingan dari berbagai pihak dalam pemanfaatan
sumberdaya budaya merupakan permasalahan tersendiri yang dapat berujung pada
benturan kepentingan. Benturan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya
budaya umumnya disebabkan oleh ketidaksamaan persepsi dan pemberian makna
terhadap benda warisan budaya (Anom, 1996). Pemanfaatan sumberdaya budaya
sering memberi dua dampak yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positif
adalah munculnya keinginan masyarakat untuk memberi perhatian kepada
sumberdaya budaya sehingga muncul kesadaran untuk melestarikan dan
memanfaatkannya. Dampak negatif akan muncul seiring dengan pemanfaatan
sumberdaya yang sangat eksploitatif (Prasodjo, 2004: 4).
Agar pemanfaatan sumberdaya budaya tidak hanya bertujuan untuk
eksploitasi dan ekonomis saja, maka diperlukan pemahaman terhadap aspek
yuridis, aspek arkeologis serta aspek manajerial (Haryono, 2003:2). Oleh karena
itu, dalam pemanfaatan sumberdaya budaya perlu ada asas keseimbangan
3
sehingga tidak terjadi konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan
sumberdaya tersebut (Haryono, 2005: 5).
B. Permasalahan
Berdasarkan kenyataan yang dijelaskan di atas, maka diperlukan usaha
untuk tetap mempertahankan dan menyelamatkan Kompleks Gua Prasejarah
Bellae yang memiliki beberapa keunikan ini. Penyelamatan yang dimaksud adalah
penyelamatan dari ancaman kerusakan, baik yang disebabkan oleh aktivitas
manusia maupun dari faktor alam. Di samping itu, perlu ada ada kesamaan
pemahaman antara stakeholder terkait dengan bentuk pemanfaatan yang
berwawasan pelestarian. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana model
pemanfaatan yang tepat terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang dapat
mengakomodasikan keinginan dan kepentingan pihak-pihak yang terkait?
C. Landasan Konseptual
CRM atau pengelolaan sumberdaya budaya adalah proses mengelola
sumberdaya budaya pada lansekap dari segala sesuatu yang terjadi pada
sumberdaya budaya (Pearson & Sullivan, 1995: 4). Pendapat lain menyatakan,
Cultural Resource Mangement itu pada dasarnya adalah tatacara mengelola situs
atau kawasan sumberdaya arkeologi dengan mengakomodasi beberapa
kepentingan yang seringkali bertentangan. Dengan demikian, Cultural Resource
Management harus dilihat sebagai manajemen konflik (Tanudirjo, 1998: 16).
Secara garis besar, Cultural Resource Management menekankan pada lima
aspek. Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang tidak dapat
diperbaharui, terbatas, tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua ada kesadaran
bahwa tidak semua sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari ancaman
kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam maupun faktor yang
disebabkan oleh manusia. Sekali sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak
mungkin akan dimunculkan kembali. Begitupun dengan konteksnya, jika benda
arkeologis kehilangan konteks maka tidak dapat memberikan informasi apa-apa.
Ketiga adanya berbagai kepentingan diluar dari kepentingan arkeologi itu sendiri.
4
Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat luas (publik), antara lain :
ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang (Tanudirjo, 2003).
Aspek keempat yang menjadi penekanan Cultural Resource Management
adalah pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Pengelolaan
terhadap sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi
lebih pada bagaimana agar pengelolaan tersebut dapat berjalan secara terus
menerus. Kelima adalah aspek hukum dan politis. Antara akademisi, pemerintah
dan masyarakat harus ada keterkaitan dari aspek hukum dan politik.
Cultural Resource Management, dalam penerapannya mencakup lima
langkah utama yakni : 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik
sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2) penilaian nilai penting terhadap
kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting,
peluang dan hambatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi, 4)
implementasi dari perencanaan dan kebijakan, dan 5) evaluasi (Pearson and
Sullivan, 1995: 8-9).
D. Tata Cara Penelitian
Sehubungan dengan studi pemanfaatan sumberdaya budaya, pengumpulan
data mencakup semua semua data tentang objek yang akan dikelola. Hal ini
sebagaimana yang diutarakan oleh Lipe (1970) bahwa usaha penyelamatan tidak
fokus pada satu masalah dan mengabaikan masalah yang lainnya (Lipe 1970
dalam Schaafsma, 1989: 43). Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan
berupa data hasil wawancara dan pengamatan, sumber data tertulis dan foto.
Pengumpulan data antara lain dilakukan dengan cara wawancara serta
pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara menggabungkan kegiatan
melihat, mendengar dan bertanya. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara
bebas terstruktur terhadap beberapa stakeholder untuk mendengar jawaban
mereka tentang nilai penting, pengetahuan, persepsi, serta keinginan dan jenis
pengelolaan terhadap keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
5
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai penting
sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan menilai hambatan
dan peluang dalam pengelolaannya. Dalam pengukuran nilai penting, kriteria yang
digunakan adalah nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, dan nilai
penting kebudayaan. Penilaian terhadap peluang dan hambatan pengelolaan
diukur dari persepsi stakeholder dan perangkat perundangan.
E. Penentuan Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah
Bellae
1. Konsep Nilai Penting
Proses pelaksanaan Cultural Resource Management ada beberapa tahap
dan salah satunya adalah penentuan nilai penting. Penentuan nilai penting suatu
sumberdaya arkeologi merupakan tahap penting karena pada dasarnya tujuan
CRM adalah melestarikan nilai penting sumberdaya budaya. Nilai penting yang
kuat dan dominan akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terhadap
sumberdaya budaya (Mason, 2002: 5; Tanudirjo, 2004a: 1) dan akan
menghasilkan rekomendasi apakah suatu sumberdaya budaya akan
dikonservasi, dihancurkan, dimodifikasi atau dibiarkan begitu saja (Pearson &
Sullivan, 1995: 8).
Walau demikian, di Indonesia pedoman baku tentang penilaian nilai
penting sumberdaya budaya belum ada (Tanudirjo,2004a: 2). Oleh karena itu,
Tanudirjo (2004b) mengusulkan pedoman penentuan nilai penting yang
terdapat dalam UU No. 5 tahun 1992.
a. Nilai Penting Sejarah, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat menjadi
bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan
sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti
perkembangan penting dalam bidang tertentu;
b. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumberdaya budaya itu mempunyai
potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah
dalam bidang keilmuan tertentu.
6
c. Nilai Penting Kebudayaan, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat
mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan
budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas
tertentu. Nilai etnik dapat memberikan pemahaman latar belakang
kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang semuanya
merupakan jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu, merupakan bagian
dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu (Tanudirjo, 2004b: 6-8).
Lebih lanjut Tanudirjo (2004b) menambahkan, untuk memahami nilai
penting sumberdaya budaya maka perlu diadakan pembobotan. Hal ini
bertujuan untuk membandingkan nilai penting suatu sumberdaya budaya
dibanding sumberdaya budaya yang lain. Untuk melakukan pembobotan, ada
beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai berikut.
a. kelangkaan, apakah jumlah sumberdaya budaya yang termasuk jenis ini
jarang atau mudah ditemukan (jumlahnya banyak)
b. Keunikan, apakah sumberdaya budaya yang dinilai sangat khas di antara
sumberdaya sejenis
c. Umur/pertanggalan, semakin kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi)
d. Tataran, nilai penting sumberdaya dirasakan dan diakui oleh komunitas
atau masyarakat pada tingkat lokal (Kabupaten/Kota), regional (provinsi),
nasional (negara), atau internasional (dunia).
e. Integritas (termasuk keutuhan), nilai sumberdaya akan semakin tinggi
apabila masih menunjukkan kesatuan yang utuh dengan konteksnya, baik
itu sebagai benda tunggal, berkelompok (compound), maupun kompleks
(tersebar tetapi merupakan kesatuan).
f. Keaslian, nilai sumberdaya budaya semakin tinggi jika bahan belum
mengalami penggantian, pengurangan, atau percampuran (Tanudirjo,
2004b: 8).
2. Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
1. Nilai Penting Sejarah
7
Istilah Toalean menurut Bulbeck (2001) hanya digunakan pada
kumpulan mikrolit yang terdapat di Sulawesi Selatan yang berlangsung
antara 8000 BP – 1500 BP (Bulbeck 2001: 1). Periode ini ditandai dengan
mulainya manusia bertempat tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari sumber
air dan lahan yang dicirikan dengan produksi/kumpulan alat mikrolit yang
berasosiasi dengan lukisan dinding (Heekeren, 1972: 106; Soejono, 1975:
147; Bulbeck, 2001: 1).
Secara garis besar, ciri kebudayaan Toalean dapat dibedakan atas
tiga ciri utama yakni penghunian gua, temuan mikrolit yang berasosiasi
dengan lukisan dinding, dan tipologi artefaktualnya. Dari tinggalan
artefaktualnya, beberapa gua di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
mengindikasikan pernah dijadikan sebagai hunian manusia pendukung
budaya Toalean, seperti Leang Kassi, Leang Cammingkana dan Leang
Bubbuka (Said, 1988 Dalam Sumantri, 2004: 156). Temuan mikrolit yang
berasosiasi dengan lukisan dinding dapat dijumpai pada Leang Kajuara.
Di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, berbagai temuan arkeologi
menunjukkan tipologi yang sama dengan artefak batu Toalean. Secara
ringkas, kesesuaian antara ciri artefaktual lapisan budaya Toalean dengan
tinggalan artefak batu di Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagaimana
yang terlihat pada tabel dibawah ini.
No. Nama Leang
Jenis Artefak Batu
Bilah SerpihMata
Panah
Maros
Point
Mikrolit
Geometris
1 Lessang √ - - - -
2 Bubbuka √ √ √ √ -
3 Caddia √ √ - - -
8
4 Buto √ √ - - -
5 Tinggia - √ - - -
6 Lompoa √ √ - - -
7 Kassi √ √ - - -
8 Kajuara √ - - √ √
9 Patennung - - - - -
10 Jempang √ √ - - -
11 Tanarajae √ √ - - -
12 Sakapao √ √ - - -
13 Bawie √ √ - - -
14 Buluribba √ √ - - -
15 Cammingkana √ √ √ - √
16 Bungung √ √ - - -
17 Carawalie - - - - -
18 Ujung - - - - -
19 Sassang - - - - -
20 Batanglamara - - - - -
21 Sapiria √ √ √ - -
Tabel 1. Jenis Artefak Batu di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
Berdasarkan pada tabel di atas, temuan artefak seperti serpih,
lancipan maros (maros point), serpih, dan mikrolit menunjukkan tipologi
yang sama dengan typology artefak lapisan budaya Toalean. Oleh karena
itu, maka dapat dikatakan bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae
merupakan bukti dan representasi tentang keberadaan lapisan budaya
Toalean di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa
situs Bellae merupakan situs-situs masa prasejarah yang penting bagi
penyusunan sejarah kebudayaan Indonesia pada umumnya.
2. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan
9
Banyak sumberdaya budaya mempunyai nilai penting ilmu
pengetahuan. Hal ini disebabkan sumberdaya budaya merupakan
representasi dari budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, sumberadaya
budaya mempunyai potensi tinggi untuk kegiatan penelitian. Nilai penting
ilmu pengetahuan adalah manfaat atau kegunaan kompleks gua prasejarah
sebagai media atau wahana pembelajaran terhadap berbagai disiplin ilmu
terkait (Hall and McArthur, 1993; Pearson and Sullivan, 1995 dalam
Timothy dan Boyd, 2003: 90).
Berdasarkan hasil identifikasi, berbagai disiplin ilmu yang
berpotensi memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk
kepentingan ilmu pengatahuan yaitu, Arkeologi, Antropologi, Ilmu
Kebumian dan Biologi. Nilai penting arkeologi dapat dilihat dengan
banyaknya penelitian yang pernah dilakukan di Kompleks Gua Prasejarah
Bellae. Sejak tahun 1987 hingga tahun 2000, tercatat tidak kurang 16
penelitian yang dilakukan oleh peneliti orang Indonesia maupun yang dari
luar, secara individu maupun kelembagaan (lihat Bab I). Bahkan satu
orang/tim peneliti tidak jarang melakukan penelitian lebih dari satu kali
seperti yang pernah dilakukan oleh Said (1988 dan 2000) dan Puslit Arkenas
(1991, 1993, 1994 dan 1995). Secara umum, penelitian yang pernah
dilakukan bertujuan untuk mengungkap cara-cara hidup manusia masa
lampau ketika manusia bertempat tinggal di gua.
Melihat tingginya minat peneliti arkeologi terutama yang
berkecimpung dalam arkeologi prasejarah terhadap komples gua prasejarah
bellae, maka jelas bahwa wilayah ini mempunyai peranan tersendiri dalam
mentubangkan data prasejarah. Kompleks Gua Prasejarah Bellae
menyediakan data yang tergolong cukup lengkap untuk penelitian
arkeologis seperti artefak, ekofak, dan lukisan dinding. Oleh karena itu,
peluang penelitian arkeologi masih memungkinkan terus berlanjut di masa
mendatang. Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan laboratorium
10
dalam mengkaji kehidupan manusia prasejarah yang memanfaatkan gua
sebagai tempat tinggal ataupun kegiatan ritual.
Dalam disiplin ilmu antropologi, hal yang menarik menjadi objek
penelitian yakni cap tangan. keberadaan cap tangan di dinding-dinding
berpeluang menjadi objek penelitian. Walaupun Kompleks Gua Prasejarah
Bellae ada keterputusan hubungan dengan budaya masyarakat sekarang di
Sulawesi selatan, namun penggunaan simbol cap tangan yang dianggap
sebagai penolak bala masih dapat ditemukan di Kabupaten Barru dan
Kabupaten Soppeng. Kenyataan ini menjadi menarik apabila dikaji dari sisi
antropologi.
Dalam ilmu-ilmu kebumian disiplin ilmu yang terkait adalah
geografi dan geologi. Dari sisi ilmu geografi, lukisan dinding juga
merupakan salah satu instrumen untuk mengungkap lingkungan purba
dimana lukisan tersebut berada. Lukisan perahu yang berada pada dinding
gua mengisyaratkan bahwa lingkungan di sekitarnya merupakan daerah
perairan baik yang berupa rawa maupun laut dangkal. Hal ini diperkuat
dengan tinggalan lain berupa kerang-kerang habitat air tawar maupun air
payau.
Dari sisi ilmu geologi, berkaitan erat dengan letak Kompleks Gua
Prasejarah Bellae di kawasan kars Maros-Pangkep. Kawasan kars Maros-
Pangkep dicirikan dengan bukit-bukit berlereng terjal yang sebagian besar
genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi. Sebelum diperlebar dan
diperluas oleh proses pelarutan atau karstifikasi, struktur ini membentuk
bangunan menara yang sangat khas (kars tower) (Samodra, 2003: 28-116).
Kars juga mempunyai kandungan mineral utama untuk pertambangan batu
kapur yang merupakan hasil pengangkatan dari jaman Miosen, termasuk
juga kontribusinya dalam penyusunan sejarah geologi Sulawesi (Whitten,
Mustafa dan Haederson, 1987: 1-14).
11
Dalam disiplin ilmu Biologi, keberadaan berbagai flora dan fauna
yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan objek
penelitian. Cangkang kerang yang sering dinterpretasikan sebagai sisa
makanan, untuk mengetahui kandungan gizinya, maka ilmu biologi
memegang peranan penting. Berbagai jenis flora dan fauna endemik yang
terdapat di Bellae (lihat Bab II) merupakan objek penelitian biologi yang
potensial. Dalam survei bersama yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan
Biologi dan mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin pada
tahun 2006, di Kompleks Gua Prasejarah Bellae ditemukan flora (sejenis
pakis) dan fauna (sejenis lipan) spesies baru. Ini mengindikasikan bahwa
Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai potensi penelitian biologi di
masa yang akan datang.
3. Nilai Penting Kebudayaan.
Merujuk pada sumberdaya arkeologi Kompleks Gua Prasejarah
Bellae, maka Kompleks gua prasejarah Bellae berdasarkan tinggalan
artefaktualnya bisa dikategorikan sebagai hasil pencapaian budaya
masyarakat prasejarah di Sulawesi Selatan. Nilai penting kebudayaan di
Kompleks Gua Prasejarah mencakup nilai estetik dan nilai publik. Nilai
estetik terlihat pada temuan lukisan dinding yang dibuat sekitar 5.000 tahun
yang lalu. Lukisan dinding yang merupakan refleksi dari kehidupan
masyarakat yang membuatnya bisa jadi menjadi data primer untuk
kepentingan bagi mereka yang menggeluti seni. Bagaimana peran seni
terhadap kehidupan, bagaimana seni berperan terhadap masyarakatnya dan
bagaimana seni itu berperan terhadap dirinya sendiri baik ketika lukisan itu
dibuat maupun ketika secara fisik masih hadir di jaman sekarang
(Ackerman, 1963: 127). Nilai estetik juga terlihat pada lingkungan alam
Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pemandangan bukit/tower kars yang
rimbun dan asri serta hamparan padi yang menghijau pada saat musim
tanam merupakan salah satu aspek nilai penting estetika.. Keserasian antara
12
dengan bukit karst denganm hamparan hijau di persawahan merupakan
lanskap budaya yang mempunyai nilai estetika tinggi.
Nilai publik yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
mencakup sarana pembelajaran dan kepariwisataan. Sebagai media
pembelajaran, Kompleks Gua Prasejarah Belae memiliki kekayaan dan
kekhasan temuan arkeologi. Temuan arkeologi yang berupa lukisan dinding,
alat batu dan sisa-sisa makanan serta hubungan antar gua dalam satu
kawasan tertentu dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi generasi
mendatang untuk melihat satu periode tertentu dalam prasejarah di Sulawesi
Selatan. Tata cara pembelajaran bukan hanya sebatas membaca laporan
penelitian, tetapi masyarakat dapat mengetahui proses pengungkapan masa
lampau melalui penelitian. Sampai saat ini, penelitian prasejarah di Bellae
hanya dilakukan oleh mereka yang berkecimpung dalam disiplin ilmu
arkeologi saja.
Dari segi kepariwisataan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae
mempunyai potensi untuk dimanfaatkan. Pada tahun 2006 pemerintah
Kabupaten Pangkep mulai memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae
sebagai objek wisata. Salah satu program kerja Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Pangkep adalah pengadaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana objek wisata purbakala dengan sasaran terwujudnya
pembangunan objek dan daya tarik wisata (Laporan Program Kerja Dinas
Pariwisata Kabupaten pangkep, 2006: 10). Salah satu objek purbakala yang
menjadi sasaran dari program kerja tersebut adalah Leang Caddia yang
berada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Program kerja tersebut adalah
pembuatan jalan dan tangga berupa beton menuju mulut gua serta
pembuatan dua gardu
Pemanfaatan juga dilakukan oleh BP3 Makassar di Leang Sakapao.
Beberapa fasilitas bagi pengunjung seperti tangga beton, tempat duduk daro
beton dan tangga kayu untuk menjangkau mulut gua telah dibangun.
13
Pemanfaatan Leang Sakapao oleh BP3 Makassar didasarkan atas
pertimbangan bahwa Leang Sakapao mempunyai jenis tinggalan lukisan
dinding yang bervariasi dan mempunyai panorama alam yang paling indah.
Walau Kompleks Gua Prasejarah Bellae telah dimanfaatkan oleh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta BP3 Makassar, data resmi jumlah
pengunjung sampai sekarang belum ada. Hal ini diakibatkan kompleks gua
prasejarah bellae belum dikomersilkan (belum dipungut biaya dari
pangunjung) sebagaimana di beberapa daerah tujuan wisata. Data kunjungan
hanya bisa ditemukan dalam bentuk catatan buku tamu dari penjaga situs.
Sebagian besar jumlah pengunjung mempunyai tujuan jalan-jalan serta
penyaluran hobby baik yang berupa panjat tebing maupun susur gua tercatat
141 orang selama kurun waktu 1999 – 2005.
Bagi sebagian masyarakat yang bermukim di sekitar gua-gua
prasejarah, kehadiraan gua-gua prasejarah membawa dampak baik secara
ekonomi maupun sosial. Beberapa penduduk oleh BP3 Makassar dijadikan
sebagai tenaga honorer yang bertugas sebagai penjaga situs. Bahkan
beberapa dari mereka telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Pekerjaan
sebagai penjaga situs baik yang masih berstasus sebagai tenaga honorer
terlebih yang berstatus pegawai negeri sipil menurut pengamatan penulis
membawa dampak tidak hanya hanya dari segi ekonomi tetapi juga segi
sosial. Ada satu kebanggaan tersendiri dengan profesi sebagai penjaga situs
terlebih yang sering menerima dan mengantar pengunjung dari luar (baik
secara individu maupun kelembagaan).
Di samping potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata, kars
di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mengandung nilai ekonomi untuk
pertambangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Pertambangan
Kabupaten Pangkep, dimana Kompleks Gua Prasejarah Bellae termasuk
kars kelas I sehingga merupakan kars yang sangat potensial untuk bahan
baku semen dan marmer. Walau demikian, kars ini dilarang untuk
14
ditambang (lihat Bab V) karena dianggap dapat menyebabkan kerusakan
kawasan kars yang membentang antara Maros dan Pangkep. Pemanfaatan
kars sebagai bahan tambang, walau mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
tetapi dapat mengakibatkan kerusakan pada kars secara permanen. Padahal,
selain bentukan alam yang unik dan khas, kars mempunyai potensi sebagai
resapan air yang mampu mengatasi ketersediaan air di permukaan di
samping potensi gua-gua prasejarah yang terdapat di dalamnya (Suryatmojo,
2006: 5-6).
Untuk memahami nilai penting sumberdaya budaya maka perlu
diadakan pembobotan. Pembobotan dimaksudkan untuk menentukan prioritas
pengelolaan dan pelestarian (Tanudirjo, 2004b: 7). Pembobotan dilakukan
dengan melihat unsur kelangkaan, umur, dan keunikan Kompleks Gua
Prasejarah Bellae. Untuk menentukan nilai bobot dari nilai penting sejarah
digunakan unsur kelangkaan. Hal ini untuk melihat apakah Kompleks Gua
Prasejarah Bellae sebagai satu-satunya bukti keberadaan budaya Toalean di
Sulawesi Selatan atau tidak. Unsur umur digunakan untuk menentukan nilai
bobot dari nilai penting ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat unsur umur
sering menjadi variable penelitian dalam ilmu pengetahuan (Tanudirjo, 200b:
9). Unsur keunikan untuk menentukan nilai bobot nilai penting kebudayaan.
Kriteria nilai bobot nilai penting dibagi atas tiga nilai yakni tidak penting,
penting dan sangat penting. Kriteria tidak penting jika nilai penting
sumberdaya budaya tidak langka, tidak tua, dan tidak unik berdasarkan kriteria
pembobotan. Penting jika sumberdaya tersebut walaupun bukan satu-satunya
tetapi jarang ditemukan, tidak tua, tapi juga tidak terlalu muda, dan mempunyai
keunikan yang dapat ditemukan di daerah lain. sangat penting apabila
sumberdaya budaya bersifat langka, terutama jika hanya satu, sangat tua dan
mempunyai berbagai lapisan budaya, serta mempunyai keunikan yang khas,
Secara sederhana pembobotan dan nilai bobot nilai penting sumberdaya
budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae terlihat pada tabel dibawah ini.
15
No. Nilai Penting Pembobotan Nilai Bobot
1 Sejarah
Sebagai bukti bahwa pernah
berlangsung kebudayaan
Toalean di Sulawesi Selatan,
Kompleks Gua Prasejarah
Bellae bukan sebagai bukti
tunggal. Ada beberapa
sumberdaya budaya sejenis
yang tersebar di kawasan karst
maros-pangkep.
Penting
2 Ilmu Pengetahuan
Sebagai sumberdata penelitian,
Kompleks Gua Prasejarah
Bellae mempunyai rentang
waktu yang panjang baik dari
pertanggalan arkeologi maupun
pertanggalan geologi. Pada
tataran pengakuan, Kompleks
Gua Prasejarah Bellae tidak
hanya diteliti oleh peneliti
Indonesia, tetapi juga peneliti
luar negeri.
Sangat Penting
3 Kebudayaan Kompleks Gua Prasejarah
Bellae tidak hanya mempunyai
nilai estetik sumberdaya
arkeologi,tetapi juga seni dan
lingkungan alamnya.
Mempunyai potensi
sumberdaya budaya,
sumberdaya alam dan kesatuan
antara sumberdaya budaya dan
Sangat Penting
16
sumberdaya alam (lanskap
budaya) untuk kepentingan
pariwisata. Dapat menjadi
media pembelajaran yang
lengkap untuk generasi
selanjutnya
Tabel 2. Bobot Nilai Penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae
Berdasarkan pada hasil pembobotan nilai penting Kompleks Gua
Prasejarah Bellae, maka dapat disimpulkan bahwa Sumberdaya budaya di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai bobot nilai penting sejarah yang
penting, bobot nilai penting ilmu pengetahuan dan nilai penting budaya yang
sangat tinggi. Oleh karena itu, maka perlu ada strategi pengelolaan yang tepat
untuk melestarikan nilai penting yang tinggi tersebut.
D. Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae
1. Rekomendasi Pemanfaatan
Berdasarkan hasil analisa nilai penting dan peluang pemanfaatan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka pemanfaatan Kompleks Gua
Prasejarah Bellae harus diarahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kepentingan kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
a. Kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae, perlu ada
keleluasan akses penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan
mengingat sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak
hanya sebagai objek penelitian arkeologi, tetapi mencakup antropologi,
biologi, dan ilmu-ilmu kebumian. Keleluasan akses tidak hanya ditujukan
pada peneliti, tetapi keleluasan akses mencakup masyarakat untuk bebas
menafsirkan sumberdaya budaya tersebut menurut mereka sendiri. Dalam
17
pengembangan ilmu pengetahuan, salah satu bentuk akses masyarakat
adalah terlibat dalam kegiatan penelitian. Masyarakat tidak hanya sekedar
menjadi konsumen dari hasil penelitian, tetapi dapat juga mengetahui dan
berpartisipasi dalam proses penelitian sehingga masyarakat dapat mengerti
bagaimana sebuah persoalan ilmu pengetahuan dipecahkan. Dalam
pemanfaatan untuk kepentingan ilmu pengetahuan harus tetap
mempertahankan informasi yang asli sehingga selalu membuka peluang
untuk penelitian selanjutnya. Pengetahuan atau tafsiran tentang masa
lampau bersifat relatif dan terus berubah dari waktu ke waktu. Penafsiran
juga sangat tergantung pada konteks sosial budaya sang penafsir.
Sebagai contoh pemanfaatan sumberdaya budaya yang berdasarkan
pada nilai penting ilmu pengetahuan adalah pemanfaatan situs Mount
Vernon di Sungai Potomac dekat Washington, D.C, Amerika. Situs ini
didesain dengan model wisata pendidikan dimana pengunjung yang datang
dapat berpartisipasi sebagai peneliti dalam aktivitas penelitian arkeologis,
seperti kegiatan penggalian (ekskavasi). Akibat pelibatan publik dalam
kegiatan penggalian, menjadikan situs ini selalu ramai dikunjungi oleh
wisatawan (White, 2002: 146-147).
b. Kepentingan kebudayaan.
Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk
kepentingan kebudayaan mencakup dua nilai yakni nilai estetika dan nilai
publik. Pemanfaatan untuk kepentingan kebudayaan berdasarkan pada
estetik adalah tetap mempertahankan unsur estetika yang mencakup lukisan
dinding dan keserasian antara sumberdaya budaya dan lingkungannya.
Sumberdaya budaya yang merupakan penyusun nilai estetika tidak
ditafsirkan hanya sebatas keindahan produk masa lalu, tetapi juga peran dan
fungsinya dalam konteks masyarakat sekarang. Pemanfaatan untuk
kepentingan kebudayaan berdasarkan pada nilai publik adalah menjadikan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai media/sarana pembelajaran untuk
18
generasi mendatang. Proses pembelajaran dalam arti luas tidak terbatas
hanya di ruang kelas tetapi juga mencakup pendidikan di luar sekolah.
Pendidikan di ruang kelas dilakukan setiap hari di sekolah, sedang cakupan
pendidikan di luar sekolah antara lain berupa kunjungan ke objek maupun
praktek. Bentuk pemanfaatan ini terkait dengan bentuk pemanfaatan pada
nilai ilmu pengetahuan.
Dari sisi pariwisata, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae
harus direncanakan secara bersama oleh stakeholder sehingga dapat
menciptakan keadilan, baik peran dalam pelestarian maupun pemanfaatan.
Perlu ada penyamaan visi antara stakeholder bahwa Kompleks Gua
Prasejarah Bellae merupakan sumberdaya yang mempunyai nilai ilmu
pengetahuan yang tinggi sehingga dalam pemanfaatannya aspek pelestarian
harus menjadi kerangka kerja. Pelestarian tidak sekedar melestarikan fisik,
tetapi juga melestarikan nilai penting itu sendiri.
Sebagai contoh bentuk pemanfaatan yang berdasarkan pada nilai
kebudayaan dapat kita lihat pada pemanfaatan situs Petra di Yordania.
Terletak di barat daya Yordania, ± 230 km selatan kota Amman ibu kota
Jordania Petra dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata dengan nama
Petra National Park. Masyarakat berperan aktif dalam usaha pemanfaatan
petra dengan cara berpartisipasi pada usaha pelayanan dalam tingkat wisata
mikro. Usaha penginapan dalam skala kecil hanya ditujukan untuk
masyarakat lokal. Begitu juga dengan masyarakat yang mempunyai rumah
yang berasitektur tradisional diarahkan untuk dijadikan sebagai penginapan
yang khas di Petra. Hal ini mendorong peningkatan standar hidup
masyarakat serta membangun kesadaran publik untuk mengapresiasi dan
melindungi Petra (Najjar, 1997: 36-40). Bahkan situs Petra dijadikan
sebagai pilot project penelitian bagaimana masyarakat dapat bertahan hidup
dengan sumberdaya air terbatas. Hasil penelitian menjadi rekomendasi
untuk mengatasi persoalan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan
19
sumber air bersih, serta menjadi solusi dalam pemanfaatan sumberdaya air
oleh manusia demi menjaga kestabilan ekosistem.
Salah satu alternatif bentuk pemanfaatan yang dapat diterapkan di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah menjadikan Kompleks Gua Prasejarah
Bellae menjadi Laboratorium alam. Sebagai laboratorium alam, Kompleks Gua
Prasejarah Bellae berfungsi sebagai pusat penelitian dari berbagai disiplin ilmu,
khususnya disiplin ilmu arkeologi. Ada berbagai alasan pemanfaatan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai laboratorium alam. Pertama,
pemanfaatan sebagai laboratorium alam berarti memanfaatkan Kompleks Gua
Prasejarah Bellae sesuai dengan nilai pentingnya yakni nilai ilmu pengetahuan.
Kedua, dalam penerapannya, kegiatan penelitian di laboratorium alam
dapat melibatkan masyarakat dalam proses penelitian sehingga masyarakat
dapat memahami sumberdaya budaya baik bentuk, fungsi maupun proses
penafsirannya. Ketiga, Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki data baik
secara kuantitas maupun kualitas yang memungkinkan untuk dilakukan
penelitian baik arkeologi maupun disiplin ilmu lainnya. Keempat, pemanfaatan
sebagai laboratorium alam, dapat melibatkan masyarakat dalam proses
penelitian sebagaimana pelibatan masyarakat pada situs Mount Vernon.
Dengan demikian, proses pemberian pemahaman tentang pentingnya
sumberdaya budaya akan berjalan semakin efektif.
Dalam penerapannya, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae
sebagai laboratorium alam tentunya mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Sebagai laboratorium alam, ada kesan pemanfaatan hanya diperuntukkan oleh
ilmuwan atau peneliti. Oleh karena itu, untuk tetap memberi akses pada
masyarakat luas perlu ada penyediaan lahan tersendiri untuk dimanfaatkan
sebagai museum terbuka yang terbebas dari kegiatan penelitian arkeologis.
Museum terbuka juga merupakan pusat informasi yang berkaitan dengan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan berfungsi sebagai wahana pembelajaran
20
bagi generasi muda. Berdasarkan pada kualitas dan kuantitas sumberdaya
arkeologi serta potensi lingkungannya, Leang Sakapao dan Leang Caddia
mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai museum terbuka. Hal ini juga
untuk lebih memfokuskan jenis pemanfaatan pada Leang tersebut yang telah
dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan BP3 Makassar menjadi pemanfaatan yang
berdasarkan pada nilai penting kebudayaan.
Dengan demikian, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang
menggabungkan antara laboratorium alam dan museum terbuka dapat
mencerminkan dan tetap mempertahankan nilai penting yang terdapat di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Berbagai kepentingan stakeholder dapat
terakomodasi baik untuk kepentingan ideologik, akademik, dan ekonomik yang
dapat mewakili berbagai kepentingan stakeholder yang terkait sehingga potensi
konflik dapat dimiminalisir. Peluang pemanfaatan sebagaimana yang diuraikan
sebelumnya, dimungkinkan untuk menerapkan bentuk pemanfaatan berupa
laboratorium alam dan museum terbuka.
2. Model Pengelolaan
Untuk melaksanakan pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang
efektif, akomodatif dan berkelanjutan, maka perlu ada koordinasi antara
stakeholder terkait. Stakeholder harus bersama-sama menentukan kebijakan
pemanfaatan dan menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka. Jika
selama ini kebijakan pelestarian dan pemanfaatan menjadi otoritas negara,
saatnya kebijakan pelestarian dan pemanfaatan tidak lagi diputuskan sepihak
oleh instansi pemerintah, tetapi perlu mengakomodasi kepentingan stakeholder
yang lain sehingga pemanfaatan bisa bermanfaat bagi semua pihak. Kompleks
Gua Prasejarah Bellae tidak lagi dimanfaatkan untuk kepentingan pelestarian
semata menurut perspektif negara, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjalankan pengelolaan yang akomodatif dan berkelanjutan
secara operasional, maka perlu dibentuk lembaga pengelola. Sebagai lembaga
21
yang bertujuan menegosiasikan kepentingan stakeholder, maka anggota
lembaga bersama merupakan wakil-wakil dari stakeholder yakni BP3
Makassar, Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep, Dinas Pertambangan
Kabupaten Pangkep, Pemerintah setempat, akademisi, organisasi pencinta
alam, dan masyarakat. Selain stakeholder tersebut, lembaga ini juga
beranggotakan LSM yang bergerak baik di bidang pelestarian budaya maupun
yang bergerak di bidang lingkungan. Peran LSM ikut mengontrol pemanfaatan
kompleks gua prasejarah Bellae sehingga pemanfaatan tersebut bersifat
berkelanjutan tidak bersifat eksploitatif. LSM juga diharapkan dapat
menyuarakan kepentingan masyarakat yang selama ini tidak pernah terlibat
dalam pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae.
Melihat beragamnya kepentingan dari anggota lembaga bersama tersebut,
langkah awal yang harus dilakukan oleh lembaga bersama adalah menyamakan
visi tiap stakeholder. Penyamaan visi sangat penting untuk lebih memudahkan
menegosiasikan kepentingan sehingga rencana pemanfaatan yang dihasilkan
dapat mengakomodasi kepentingan semua stakeholder. Tugas utama lembaga
bersama itu sendiri adalah membuat rencana stategis, implementasi, monitoring
dan evaluasi sebagaimana langkah kerja CRM. Rencana strategis yang
berdasarkan pada nilai penting, peluang dan hambatan pengelolaan mencakup
strategi pelestarian, strategi pemanfaatan dan strategi lain yang dianggap perlu.
Selanjutnya mengimplementasikan rencana strategi tersebut dan memonitoring
pelaksanaannya.
Pada tataran implementasi, setiap stakeholder melaksanakan perannya
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Jika selama ini peran pelestarian
hanya dilakukan oleh BP3 Makassar, maka dalam pemanfaatan Kompleks Gua
Prasejarah Bellae merupakan tanggung jawab bersama stakeholder. Dinas
Pariwisata tidak sekedar memanfaatkan, tetapi juga melestarikan. Peran
masyarakat tidak sebatas memberikan usulan dalam penyusunan rencana
strategis, tetapi mencakup pelestarian dan ikut menikmati hasil dari
22
pemanfaatan. Organisasi pencinta alam tidak hanya mencintai alam dan,
memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tetapi juga melestarikan sumberdaya
budaya.
Agar saat implementasi dari rencana strategis berjalan sesuai dengan
rencana dan tidak keluar dari koridor kesepakatan, serta tetap memperhatikan
aspek pelestarian, maka perlu ada monitoring atau pengawasan. Pengawasan
ada dua macam yakni pengawasan secara internal dan pengawasan secara
eksternal. Pengawasan secara internal dilakukan oleh pengelola Kompleks Gua
Prasejarah sendiri, dan pengawasan eksternal dilakukan oleh akademisi dan
LSM. Pengawasan diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Berangkat dari pemikiran bahwa pemanfaatan sumberdaya budaya
disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat, maka tidak tertutup
kemungkinan kepentingan stakeholder pada suatu saat akan berubah sesuai
perkembangan jaman. Pemaknaan masyarakat tentang kompleks gua prasejarah
Bellae tentunya akan ikut berubah. Oleh karena itu, rencana strategis
pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae harus merupakan proses dinamis
dan bukan sebagai produk final. Sebagai sebuah proses, maka pelaksanaan
rencana strategi akan dievaluasi bersama oleh stakeholder dengan melihat sisi
positif dan negatifnya. Penilaian kembali terhadap kompleks gua prasejarah
Bellae harus dilakukan untuk melakukan perencanaan kembali sesuai dengan
konteks sosial masyarakat.
Dengan demikian, model pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae
yang diajukan akan mampu menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi, tidak
bersifat eksploitatif dan berkelanjutan. Model pemanfaatan sebagaimana yang
dijelaskan dalam tulisan ini hanya pada tataran konsep. Menyangkut
pelaksanaan konsep pada tataran aplikatif merupakan tanggungjawab
stakeholder lewat lembaga bersama yang diusulkan. Jika dalam perkembangan
selanjutnya model ini berhasil pada tahap pelaksanaan, maka konsep ini bisa
23
dijadikan rujukan dan dapat diadaptasi untuk pemanfaatan sumberdaya
arkeologi yang sejenis.
3. Penutup
Tingginya nilai penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae tentunya harus
dipertahankan dan dilestarikan untuk kepentingan bersama saat ini maupun untuk
kepentingan generasi selanjutnya. Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah
tentunya harus tetap mengacu pada nilai penting sehingga sehingga pemanfaatan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak bersifat eksploitatif yang bahkan dapat
menurunkan bahkan menghilangkan nilai penting tersebut. Pemanfaatan bukan
berdasarkan satu kepentingan tertentu, tetapi harus mencakup berbagaai
kepentingan stakeholder yang terkait.
Oleh karena itu, dalam upaya pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae
perlu ada suatu konsep pemanfaatan dalam kerangka Cultural Resource
Management (CRM). Perlu ada kesamaan visi dari tiap stakeholder bahwa
pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae bukan hanya pada aspek kebendaan
saja tetapi mencakup nilai penting yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah
Bellae. Pemanfaatan yang dapat menjembatani kepentingan stakeholder yang
terkait, serta pemanfaatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Akhirnya tulisan ini hanya sebatas memberi konsep dasar pengelolaan dan
rekomendasi pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pengembangan
selanjutnya yang sesuai dengan tuntutan serta teknis pelaksanaan menjadi
wewenang dari stakeholder yang terkait. Konsep dasar yang diajukan tidak
tertutup kemungkinan suatu saat perlu dievaluasi kembali sesuai dengan tuntutan
kepentingan tiap stakeholder. Selalu perlu ada penyesuaian-penyesuaian antara
konsep pemanfaatan dengan konteks sosial masyarakat. Dengan demikian
pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae adalah pemanfaatan dalam kerangka
pelestarian, berkelanjutan dan tetap memperhatikan keselarasan lingkungan serta
daya dukung sumberdaya budaya.
Top Related