1 Naskah Publikasi PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA ...

40
Naskah Publikasi PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE Oleh : Supriadi No. Mahasiswa : 21733/IV-4/1625/04 A. Pendahuluan Kompleks Gua Prasejarah Bellae terletak di Kampung Bellae, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep dengan posisi astronomis 04 0 49’20” – 04 0 50’10” LS dan 119 0 45” - 119 0 36’50” BT. Kompleks gua prasejarah Bellae terdiri atas 21 gua dengan posisi berjejer di sepanjang bukit kars yang berada tidak jauh dari permukiman penduduk Kampung Bellae. Bukit kars yang melintasi Bellae dan merupakan tempat beradanya gua-gua prasejarah yakni Bulu 1 Matojeng dan Bulu Matanre. Bulu Matojeng dan Bulu Matanre termasuk gugusan kars yang membentang antara Maros-Pangkep yang sering disebut sebagai kawasan kars Maros-Pangkep. Sebagai sumber data prasejarah di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai tinggalan 1 Bulu merupakan bahasa Bugis yang berarti gunung. Dalam bahasa Bugis istilah bulu mencakup istilah gunung dan bukit. Dalam tulisan ini, penggunaan kata bulu untuk menyebut Bulu Matojeng dan Bulu Matenre lebih mengarah pada istilah bukit.

Transcript of 1 Naskah Publikasi PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA ...

Naskah Publikasi

PEMANFAATAN KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE

Oleh :

Supriadi

No. Mahasiswa : 21733/IV-4/1625/04

A. Pendahuluan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae terletak di Kampung Bellae, Kelurahan

Biraeng, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep dengan posisi astronomis

04049’20” – 04050’10” LS dan 1190 45” - 1190 36’50” BT. Kompleks gua

prasejarah Bellae terdiri atas 21 gua dengan posisi berjejer di sepanjang bukit

kars yang berada tidak jauh dari permukiman penduduk Kampung Bellae. Bukit

kars yang melintasi Bellae dan merupakan tempat beradanya gua-gua prasejarah

yakni Bulu1 Matojeng dan Bulu Matanre. Bulu Matojeng dan Bulu Matanre

termasuk gugusan kars yang membentang antara Maros-Pangkep yang sering

disebut sebagai kawasan kars Maros-Pangkep.

Sebagai sumber data prasejarah di Sulawesi Selatan, Kompleks Gua

Prasejarah Bellae mempunyai tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai

tinggalan arkeologis baik berupa artefak batu, sisa makanan maupun lukisan

dinding (rock art) masih banyak dijumpai. Temuan artefak batu terutama adalah

alat serpih dan bilah yang sebarannya hampir merata di semua gua, selain itu juga

ditemukan lancipan maros (maros point) dan mikrolit geometris yang hanya

ditemukan di beberapa situs tertentu. Lukisan dinding yang terdapat di Bellae

berupa lukisan figuratif dan non figuratif.

Keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang kini dekat dengan

pemukiman dan areal persawahan, mengakibatkan gua-gua ini tidak terlepas dari 1 Bulu merupakan bahasa Bugis yang berarti gunung. Dalam bahasa Bugis istilah bulu mencakup

istilah gunung dan bukit. Dalam tulisan ini, penggunaan kata bulu untuk menyebut Bulu Matojeng dan Bulu Matenre lebih mengarah pada istilah bukit.

2

ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas

pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mengancam

kelestarian kompleks gua prasejarah Bellae. Tidak jarang beberapa gua

dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat menyimpan jerami padi dan alat-alat

pertanian. Bahkan kadangkala masyarakat menggali tanah pada bagian depan gua

sehingga bagian depan gua semakin cekung dan dapat menghilangkan tinggalan

arkeologis yang terdapat pada gua tersebut. Coretan-coretan baru pada dinding

ditemukan bercampur dengan lukisan dinding yang terdapat pada gua.

Selain kelestarian Kompleks Gua Prasejarah yang semakin terancam oleh

aktivitas masyarakat setempat, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae oleh

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangkep ternyata membawa

permasalahan tersendiri. Tidak terjalinnya koordinasi antara Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kabupaten Pangkep dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala

(BP3) Makassar telah memicu konflik menyangkut perlakuan dan kewenangan

terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

Beragamnya kepentingan dari berbagai pihak dalam pemanfaatan

sumberdaya budaya merupakan permasalahan tersendiri yang dapat berujung pada

benturan kepentingan. Benturan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya

budaya umumnya disebabkan oleh ketidaksamaan persepsi dan pemberian makna

terhadap benda warisan budaya (Anom, 1996). Pemanfaatan sumberdaya budaya

sering memberi dua dampak yaitu dampak positif dan negatif. Dampak positif

adalah munculnya keinginan masyarakat untuk memberi perhatian kepada

sumberdaya budaya sehingga muncul kesadaran untuk melestarikan dan

memanfaatkannya. Dampak negatif akan muncul seiring dengan pemanfaatan

sumberdaya yang sangat eksploitatif (Prasodjo, 2004: 4).

Agar pemanfaatan sumberdaya budaya tidak hanya bertujuan untuk

eksploitasi dan ekonomis saja, maka diperlukan pemahaman terhadap aspek

yuridis, aspek arkeologis serta aspek manajerial (Haryono, 2003:2). Oleh karena

itu, dalam pemanfaatan sumberdaya budaya perlu ada asas keseimbangan

3

sehingga tidak terjadi konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan

sumberdaya tersebut (Haryono, 2005: 5).

B. Permasalahan

Berdasarkan kenyataan yang dijelaskan di atas, maka diperlukan usaha

untuk tetap mempertahankan dan menyelamatkan Kompleks Gua Prasejarah

Bellae yang memiliki beberapa keunikan ini. Penyelamatan yang dimaksud adalah

penyelamatan dari ancaman kerusakan, baik yang disebabkan oleh aktivitas

manusia maupun dari faktor alam. Di samping itu, perlu ada ada kesamaan

pemahaman antara stakeholder terkait dengan bentuk pemanfaatan yang

berwawasan pelestarian. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana model

pemanfaatan yang tepat terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang dapat

mengakomodasikan keinginan dan kepentingan pihak-pihak yang terkait?

C. Landasan Konseptual

CRM atau pengelolaan sumberdaya budaya adalah proses mengelola

sumberdaya budaya pada lansekap dari segala sesuatu yang terjadi pada

sumberdaya budaya (Pearson & Sullivan, 1995: 4). Pendapat lain menyatakan,

Cultural Resource Mangement itu pada dasarnya adalah tatacara mengelola situs

atau kawasan sumberdaya arkeologi dengan mengakomodasi beberapa

kepentingan yang seringkali bertentangan. Dengan demikian, Cultural Resource

Management harus dilihat sebagai manajemen konflik (Tanudirjo, 1998: 16).

Secara garis besar, Cultural Resource Management menekankan pada lima

aspek. Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang tidak dapat

diperbaharui, terbatas, tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua ada kesadaran

bahwa tidak semua sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari ancaman

kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam maupun faktor yang

disebabkan oleh manusia. Sekali sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak

mungkin akan dimunculkan kembali. Begitupun dengan konteksnya, jika benda

arkeologis kehilangan konteks maka tidak dapat memberikan informasi apa-apa.

Ketiga adanya berbagai kepentingan diluar dari kepentingan arkeologi itu sendiri.

4

Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat luas (publik), antara lain :

ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang (Tanudirjo, 2003).

Aspek keempat yang menjadi penekanan Cultural Resource Management

adalah pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Pengelolaan

terhadap sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi

lebih pada bagaimana agar pengelolaan tersebut dapat berjalan secara terus

menerus. Kelima adalah aspek hukum dan politis. Antara akademisi, pemerintah

dan masyarakat harus ada keterkaitan dari aspek hukum dan politik.

Cultural Resource Management, dalam penerapannya mencakup lima

langkah utama yakni : 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik

sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2) penilaian nilai penting terhadap

kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting,

peluang dan hambatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi, 4)

implementasi dari perencanaan dan kebijakan, dan 5) evaluasi (Pearson and

Sullivan, 1995: 8-9).

D. Tata Cara Penelitian

Sehubungan dengan studi pemanfaatan sumberdaya budaya, pengumpulan

data mencakup semua semua data tentang objek yang akan dikelola. Hal ini

sebagaimana yang diutarakan oleh Lipe (1970) bahwa usaha penyelamatan tidak

fokus pada satu masalah dan mengabaikan masalah yang lainnya (Lipe 1970

dalam Schaafsma, 1989: 43). Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan

berupa data hasil wawancara dan pengamatan, sumber data tertulis dan foto.

Pengumpulan data antara lain dilakukan dengan cara wawancara serta

pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara menggabungkan kegiatan

melihat, mendengar dan bertanya. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara

bebas terstruktur terhadap beberapa stakeholder untuk mendengar jawaban

mereka tentang nilai penting, pengetahuan, persepsi, serta keinginan dan jenis

pengelolaan terhadap keberadaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

5

Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai penting

sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan menilai hambatan

dan peluang dalam pengelolaannya. Dalam pengukuran nilai penting, kriteria yang

digunakan adalah nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, dan nilai

penting kebudayaan. Penilaian terhadap peluang dan hambatan pengelolaan

diukur dari persepsi stakeholder dan perangkat perundangan.

E. Penentuan Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah

Bellae

1. Konsep Nilai Penting

Proses pelaksanaan Cultural Resource Management ada beberapa tahap

dan salah satunya adalah penentuan nilai penting. Penentuan nilai penting suatu

sumberdaya arkeologi merupakan tahap penting karena pada dasarnya tujuan

CRM adalah melestarikan nilai penting sumberdaya budaya. Nilai penting yang

kuat dan dominan akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan terhadap

sumberdaya budaya (Mason, 2002: 5; Tanudirjo, 2004a: 1) dan akan

menghasilkan rekomendasi apakah suatu sumberdaya budaya akan

dikonservasi, dihancurkan, dimodifikasi atau dibiarkan begitu saja (Pearson &

Sullivan, 1995: 8).

Walau demikian, di Indonesia pedoman baku tentang penilaian nilai

penting sumberdaya budaya belum ada (Tanudirjo,2004a: 2). Oleh karena itu,

Tanudirjo (2004b) mengusulkan pedoman penentuan nilai penting yang

terdapat dalam UU No. 5 tahun 1992.

a. Nilai Penting Sejarah, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat menjadi

bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan

sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti

perkembangan penting dalam bidang tertentu;

b. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumberdaya budaya itu mempunyai

potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah

dalam bidang keilmuan tertentu.

6

c. Nilai Penting Kebudayaan, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat

mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan

budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas

tertentu. Nilai etnik dapat memberikan pemahaman latar belakang

kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang semuanya

merupakan jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu, merupakan bagian

dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu (Tanudirjo, 2004b: 6-8).

Lebih lanjut Tanudirjo (2004b) menambahkan, untuk memahami nilai

penting sumberdaya budaya maka perlu diadakan pembobotan. Hal ini

bertujuan untuk membandingkan nilai penting suatu sumberdaya budaya

dibanding sumberdaya budaya yang lain. Untuk melakukan pembobotan, ada

beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai berikut.

a. kelangkaan, apakah jumlah sumberdaya budaya yang termasuk jenis ini

jarang atau mudah ditemukan (jumlahnya banyak)

b. Keunikan, apakah sumberdaya budaya yang dinilai sangat khas di antara

sumberdaya sejenis

c. Umur/pertanggalan, semakin kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi)

d. Tataran, nilai penting sumberdaya dirasakan dan diakui oleh komunitas

atau masyarakat pada tingkat lokal (Kabupaten/Kota), regional (provinsi),

nasional (negara), atau internasional (dunia).

e. Integritas (termasuk keutuhan), nilai sumberdaya akan semakin tinggi

apabila masih menunjukkan kesatuan yang utuh dengan konteksnya, baik

itu sebagai benda tunggal, berkelompok (compound), maupun kompleks

(tersebar tetapi merupakan kesatuan).

f. Keaslian, nilai sumberdaya budaya semakin tinggi jika bahan belum

mengalami penggantian, pengurangan, atau percampuran (Tanudirjo,

2004b: 8).

2. Nilai Penting Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae

1. Nilai Penting Sejarah

7

Istilah Toalean menurut Bulbeck (2001) hanya digunakan pada

kumpulan mikrolit yang terdapat di Sulawesi Selatan yang berlangsung

antara 8000 BP – 1500 BP (Bulbeck 2001: 1). Periode ini ditandai dengan

mulainya manusia bertempat tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari sumber

air dan lahan yang dicirikan dengan produksi/kumpulan alat mikrolit yang

berasosiasi dengan lukisan dinding (Heekeren, 1972: 106; Soejono, 1975:

147; Bulbeck, 2001: 1).

Secara garis besar, ciri kebudayaan Toalean dapat dibedakan atas

tiga ciri utama yakni penghunian gua, temuan mikrolit yang berasosiasi

dengan lukisan dinding, dan tipologi artefaktualnya. Dari tinggalan

artefaktualnya, beberapa gua di Kompleks Gua Prasejarah Bellae

mengindikasikan pernah dijadikan sebagai hunian manusia pendukung

budaya Toalean, seperti Leang Kassi, Leang Cammingkana dan Leang

Bubbuka (Said, 1988 Dalam Sumantri, 2004: 156). Temuan mikrolit yang

berasosiasi dengan lukisan dinding dapat dijumpai pada Leang Kajuara.

Di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, berbagai temuan arkeologi

menunjukkan tipologi yang sama dengan artefak batu Toalean. Secara

ringkas, kesesuaian antara ciri artefaktual lapisan budaya Toalean dengan

tinggalan artefak batu di Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagaimana

yang terlihat pada tabel dibawah ini.

No. Nama Leang

Jenis Artefak Batu

Bilah SerpihMata

Panah

Maros

Point

Mikrolit

Geometris

1 Lessang √ - - - -

2 Bubbuka √ √ √ √ -

3 Caddia √ √ - - -

8

4 Buto √ √ - - -

5 Tinggia - √ - - -

6 Lompoa √ √ - - -

7 Kassi √ √ - - -

8 Kajuara √ - - √ √

9 Patennung - - - - -

10 Jempang √ √ - - -

11 Tanarajae √ √ - - -

12 Sakapao √ √ - - -

13 Bawie √ √ - - -

14 Buluribba √ √ - - -

15 Cammingkana √ √ √ - √

16 Bungung √ √ - - -

17 Carawalie - - - - -

18 Ujung - - - - -

19 Sassang - - - - -

20 Batanglamara - - - - -

21 Sapiria √ √ √ - -

Tabel 1. Jenis Artefak Batu di Kompleks Gua Prasejarah Bellae

Berdasarkan pada tabel di atas, temuan artefak seperti serpih,

lancipan maros (maros point), serpih, dan mikrolit menunjukkan tipologi

yang sama dengan typology artefak lapisan budaya Toalean. Oleh karena

itu, maka dapat dikatakan bahwa Kompleks Gua Prasejarah Bellae

merupakan bukti dan representasi tentang keberadaan lapisan budaya

Toalean di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa

situs Bellae merupakan situs-situs masa prasejarah yang penting bagi

penyusunan sejarah kebudayaan Indonesia pada umumnya.

2. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan

9

Banyak sumberdaya budaya mempunyai nilai penting ilmu

pengetahuan. Hal ini disebabkan sumberdaya budaya merupakan

representasi dari budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, sumberadaya

budaya mempunyai potensi tinggi untuk kegiatan penelitian. Nilai penting

ilmu pengetahuan adalah manfaat atau kegunaan kompleks gua prasejarah

sebagai media atau wahana pembelajaran terhadap berbagai disiplin ilmu

terkait (Hall and McArthur, 1993; Pearson and Sullivan, 1995 dalam

Timothy dan Boyd, 2003: 90).

Berdasarkan hasil identifikasi, berbagai disiplin ilmu yang

berpotensi memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk

kepentingan ilmu pengatahuan yaitu, Arkeologi, Antropologi, Ilmu

Kebumian dan Biologi. Nilai penting arkeologi dapat dilihat dengan

banyaknya penelitian yang pernah dilakukan di Kompleks Gua Prasejarah

Bellae. Sejak tahun 1987 hingga tahun 2000, tercatat tidak kurang 16

penelitian yang dilakukan oleh peneliti orang Indonesia maupun yang dari

luar, secara individu maupun kelembagaan (lihat Bab I). Bahkan satu

orang/tim peneliti tidak jarang melakukan penelitian lebih dari satu kali

seperti yang pernah dilakukan oleh Said (1988 dan 2000) dan Puslit Arkenas

(1991, 1993, 1994 dan 1995). Secara umum, penelitian yang pernah

dilakukan bertujuan untuk mengungkap cara-cara hidup manusia masa

lampau ketika manusia bertempat tinggal di gua.

Melihat tingginya minat peneliti arkeologi terutama yang

berkecimpung dalam arkeologi prasejarah terhadap komples gua prasejarah

bellae, maka jelas bahwa wilayah ini mempunyai peranan tersendiri dalam

mentubangkan data prasejarah. Kompleks Gua Prasejarah Bellae

menyediakan data yang tergolong cukup lengkap untuk penelitian

arkeologis seperti artefak, ekofak, dan lukisan dinding. Oleh karena itu,

peluang penelitian arkeologi masih memungkinkan terus berlanjut di masa

mendatang. Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan laboratorium

10

dalam mengkaji kehidupan manusia prasejarah yang memanfaatkan gua

sebagai tempat tinggal ataupun kegiatan ritual.

Dalam disiplin ilmu antropologi, hal yang menarik menjadi objek

penelitian yakni cap tangan. keberadaan cap tangan di dinding-dinding

berpeluang menjadi objek penelitian. Walaupun Kompleks Gua Prasejarah

Bellae ada keterputusan hubungan dengan budaya masyarakat sekarang di

Sulawesi selatan, namun penggunaan simbol cap tangan yang dianggap

sebagai penolak bala masih dapat ditemukan di Kabupaten Barru dan

Kabupaten Soppeng. Kenyataan ini menjadi menarik apabila dikaji dari sisi

antropologi.

Dalam ilmu-ilmu kebumian disiplin ilmu yang terkait adalah

geografi dan geologi. Dari sisi ilmu geografi, lukisan dinding juga

merupakan salah satu instrumen untuk mengungkap lingkungan purba

dimana lukisan tersebut berada. Lukisan perahu yang berada pada dinding

gua mengisyaratkan bahwa lingkungan di sekitarnya merupakan daerah

perairan baik yang berupa rawa maupun laut dangkal. Hal ini diperkuat

dengan tinggalan lain berupa kerang-kerang habitat air tawar maupun air

payau.

Dari sisi ilmu geologi, berkaitan erat dengan letak Kompleks Gua

Prasejarah Bellae di kawasan kars Maros-Pangkep. Kawasan kars Maros-

Pangkep dicirikan dengan bukit-bukit berlereng terjal yang sebagian besar

genesanya dipengaruhi oleh struktur geologi. Sebelum diperlebar dan

diperluas oleh proses pelarutan atau karstifikasi, struktur ini membentuk

bangunan menara yang sangat khas (kars tower) (Samodra, 2003: 28-116).

Kars juga mempunyai kandungan mineral utama untuk pertambangan batu

kapur yang merupakan hasil pengangkatan dari jaman Miosen, termasuk

juga kontribusinya dalam penyusunan sejarah geologi Sulawesi (Whitten,

Mustafa dan Haederson, 1987: 1-14).

11

Dalam disiplin ilmu Biologi, keberadaan berbagai flora dan fauna

yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan objek

penelitian. Cangkang kerang yang sering dinterpretasikan sebagai sisa

makanan, untuk mengetahui kandungan gizinya, maka ilmu biologi

memegang peranan penting. Berbagai jenis flora dan fauna endemik yang

terdapat di Bellae (lihat Bab II) merupakan objek penelitian biologi yang

potensial. Dalam survei bersama yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan

Biologi dan mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin pada

tahun 2006, di Kompleks Gua Prasejarah Bellae ditemukan flora (sejenis

pakis) dan fauna (sejenis lipan) spesies baru. Ini mengindikasikan bahwa

Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai potensi penelitian biologi di

masa yang akan datang.

3. Nilai Penting Kebudayaan.

Merujuk pada sumberdaya arkeologi Kompleks Gua Prasejarah

Bellae, maka Kompleks gua prasejarah Bellae berdasarkan tinggalan

artefaktualnya bisa dikategorikan sebagai hasil pencapaian budaya

masyarakat prasejarah di Sulawesi Selatan. Nilai penting kebudayaan di

Kompleks Gua Prasejarah mencakup nilai estetik dan nilai publik. Nilai

estetik terlihat pada temuan lukisan dinding yang dibuat sekitar 5.000 tahun

yang lalu. Lukisan dinding yang merupakan refleksi dari kehidupan

masyarakat yang membuatnya bisa jadi menjadi data primer untuk

kepentingan bagi mereka yang menggeluti seni. Bagaimana peran seni

terhadap kehidupan, bagaimana seni berperan terhadap masyarakatnya dan

bagaimana seni itu berperan terhadap dirinya sendiri baik ketika lukisan itu

dibuat maupun ketika secara fisik masih hadir di jaman sekarang

(Ackerman, 1963: 127). Nilai estetik juga terlihat pada lingkungan alam

Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pemandangan bukit/tower kars yang

rimbun dan asri serta hamparan padi yang menghijau pada saat musim

tanam merupakan salah satu aspek nilai penting estetika.. Keserasian antara

12

dengan bukit karst denganm hamparan hijau di persawahan merupakan

lanskap budaya yang mempunyai nilai estetika tinggi.

Nilai publik yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae

mencakup sarana pembelajaran dan kepariwisataan. Sebagai media

pembelajaran, Kompleks Gua Prasejarah Belae memiliki kekayaan dan

kekhasan temuan arkeologi. Temuan arkeologi yang berupa lukisan dinding,

alat batu dan sisa-sisa makanan serta hubungan antar gua dalam satu

kawasan tertentu dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi generasi

mendatang untuk melihat satu periode tertentu dalam prasejarah di Sulawesi

Selatan. Tata cara pembelajaran bukan hanya sebatas membaca laporan

penelitian, tetapi masyarakat dapat mengetahui proses pengungkapan masa

lampau melalui penelitian. Sampai saat ini, penelitian prasejarah di Bellae

hanya dilakukan oleh mereka yang berkecimpung dalam disiplin ilmu

arkeologi saja.

Dari segi kepariwisataan, Kompleks Gua Prasejarah Bellae

mempunyai potensi untuk dimanfaatkan. Pada tahun 2006 pemerintah

Kabupaten Pangkep mulai memanfaatkan Kompleks Gua Prasejarah Bellae

sebagai objek wisata. Salah satu program kerja Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kabupaten Pangkep adalah pengadaan dan pemeliharaan

sarana dan prasarana objek wisata purbakala dengan sasaran terwujudnya

pembangunan objek dan daya tarik wisata (Laporan Program Kerja Dinas

Pariwisata Kabupaten pangkep, 2006: 10). Salah satu objek purbakala yang

menjadi sasaran dari program kerja tersebut adalah Leang Caddia yang

berada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Program kerja tersebut adalah

pembuatan jalan dan tangga berupa beton menuju mulut gua serta

pembuatan dua gardu

Pemanfaatan juga dilakukan oleh BP3 Makassar di Leang Sakapao.

Beberapa fasilitas bagi pengunjung seperti tangga beton, tempat duduk daro

beton dan tangga kayu untuk menjangkau mulut gua telah dibangun.

13

Pemanfaatan Leang Sakapao oleh BP3 Makassar didasarkan atas

pertimbangan bahwa Leang Sakapao mempunyai jenis tinggalan lukisan

dinding yang bervariasi dan mempunyai panorama alam yang paling indah.

Walau Kompleks Gua Prasejarah Bellae telah dimanfaatkan oleh

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta BP3 Makassar, data resmi jumlah

pengunjung sampai sekarang belum ada. Hal ini diakibatkan kompleks gua

prasejarah bellae belum dikomersilkan (belum dipungut biaya dari

pangunjung) sebagaimana di beberapa daerah tujuan wisata. Data kunjungan

hanya bisa ditemukan dalam bentuk catatan buku tamu dari penjaga situs.

Sebagian besar jumlah pengunjung mempunyai tujuan jalan-jalan serta

penyaluran hobby baik yang berupa panjat tebing maupun susur gua tercatat

141 orang selama kurun waktu 1999 – 2005.

Bagi sebagian masyarakat yang bermukim di sekitar gua-gua

prasejarah, kehadiraan gua-gua prasejarah membawa dampak baik secara

ekonomi maupun sosial. Beberapa penduduk oleh BP3 Makassar dijadikan

sebagai tenaga honorer yang bertugas sebagai penjaga situs. Bahkan

beberapa dari mereka telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Pekerjaan

sebagai penjaga situs baik yang masih berstasus sebagai tenaga honorer

terlebih yang berstatus pegawai negeri sipil menurut pengamatan penulis

membawa dampak tidak hanya hanya dari segi ekonomi tetapi juga segi

sosial. Ada satu kebanggaan tersendiri dengan profesi sebagai penjaga situs

terlebih yang sering menerima dan mengantar pengunjung dari luar (baik

secara individu maupun kelembagaan).

Di samping potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata, kars

di Kompleks Gua Prasejarah Bellae mengandung nilai ekonomi untuk

pertambangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Pertambangan

Kabupaten Pangkep, dimana Kompleks Gua Prasejarah Bellae termasuk

kars kelas I sehingga merupakan kars yang sangat potensial untuk bahan

baku semen dan marmer. Walau demikian, kars ini dilarang untuk

14

ditambang (lihat Bab V) karena dianggap dapat menyebabkan kerusakan

kawasan kars yang membentang antara Maros dan Pangkep. Pemanfaatan

kars sebagai bahan tambang, walau mempunyai nilai ekonomi yang tinggi

tetapi dapat mengakibatkan kerusakan pada kars secara permanen. Padahal,

selain bentukan alam yang unik dan khas, kars mempunyai potensi sebagai

resapan air yang mampu mengatasi ketersediaan air di permukaan di

samping potensi gua-gua prasejarah yang terdapat di dalamnya (Suryatmojo,

2006: 5-6).

Untuk memahami nilai penting sumberdaya budaya maka perlu

diadakan pembobotan. Pembobotan dimaksudkan untuk menentukan prioritas

pengelolaan dan pelestarian (Tanudirjo, 2004b: 7). Pembobotan dilakukan

dengan melihat unsur kelangkaan, umur, dan keunikan Kompleks Gua

Prasejarah Bellae. Untuk menentukan nilai bobot dari nilai penting sejarah

digunakan unsur kelangkaan. Hal ini untuk melihat apakah Kompleks Gua

Prasejarah Bellae sebagai satu-satunya bukti keberadaan budaya Toalean di

Sulawesi Selatan atau tidak. Unsur umur digunakan untuk menentukan nilai

bobot dari nilai penting ilmu pengetahuan. Hal ini mengingat unsur umur

sering menjadi variable penelitian dalam ilmu pengetahuan (Tanudirjo, 200b:

9). Unsur keunikan untuk menentukan nilai bobot nilai penting kebudayaan.

Kriteria nilai bobot nilai penting dibagi atas tiga nilai yakni tidak penting,

penting dan sangat penting. Kriteria tidak penting jika nilai penting

sumberdaya budaya tidak langka, tidak tua, dan tidak unik berdasarkan kriteria

pembobotan. Penting jika sumberdaya tersebut walaupun bukan satu-satunya

tetapi jarang ditemukan, tidak tua, tapi juga tidak terlalu muda, dan mempunyai

keunikan yang dapat ditemukan di daerah lain. sangat penting apabila

sumberdaya budaya bersifat langka, terutama jika hanya satu, sangat tua dan

mempunyai berbagai lapisan budaya, serta mempunyai keunikan yang khas,

Secara sederhana pembobotan dan nilai bobot nilai penting sumberdaya

budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae terlihat pada tabel dibawah ini.

15

No. Nilai Penting Pembobotan Nilai Bobot

1 Sejarah

Sebagai bukti bahwa pernah

berlangsung kebudayaan

Toalean di Sulawesi Selatan,

Kompleks Gua Prasejarah

Bellae bukan sebagai bukti

tunggal. Ada beberapa

sumberdaya budaya sejenis

yang tersebar di kawasan karst

maros-pangkep.

Penting

2 Ilmu Pengetahuan

Sebagai sumberdata penelitian,

Kompleks Gua Prasejarah

Bellae mempunyai rentang

waktu yang panjang baik dari

pertanggalan arkeologi maupun

pertanggalan geologi. Pada

tataran pengakuan, Kompleks

Gua Prasejarah Bellae tidak

hanya diteliti oleh peneliti

Indonesia, tetapi juga peneliti

luar negeri.

Sangat Penting

3 Kebudayaan Kompleks Gua Prasejarah

Bellae tidak hanya mempunyai

nilai estetik sumberdaya

arkeologi,tetapi juga seni dan

lingkungan alamnya.

Mempunyai potensi

sumberdaya budaya,

sumberdaya alam dan kesatuan

antara sumberdaya budaya dan

Sangat Penting

16

sumberdaya alam (lanskap

budaya) untuk kepentingan

pariwisata. Dapat menjadi

media pembelajaran yang

lengkap untuk generasi

selanjutnya

Tabel 2. Bobot Nilai Penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae

Berdasarkan pada hasil pembobotan nilai penting Kompleks Gua

Prasejarah Bellae, maka dapat disimpulkan bahwa Sumberdaya budaya di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae mempunyai bobot nilai penting sejarah yang

penting, bobot nilai penting ilmu pengetahuan dan nilai penting budaya yang

sangat tinggi. Oleh karena itu, maka perlu ada strategi pengelolaan yang tepat

untuk melestarikan nilai penting yang tinggi tersebut.

D. Model Pengelolaan Sumberdaya Budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae

1. Rekomendasi Pemanfaatan

Berdasarkan hasil analisa nilai penting dan peluang pemanfaatan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka pemanfaatan Kompleks Gua

Prasejarah Bellae harus diarahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan,

kepentingan kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

a. Kepentingan ilmu pengetahuan.

Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae, perlu ada

keleluasan akses penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan

mengingat sumberdaya budaya di Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak

hanya sebagai objek penelitian arkeologi, tetapi mencakup antropologi,

biologi, dan ilmu-ilmu kebumian. Keleluasan akses tidak hanya ditujukan

pada peneliti, tetapi keleluasan akses mencakup masyarakat untuk bebas

menafsirkan sumberdaya budaya tersebut menurut mereka sendiri. Dalam

17

pengembangan ilmu pengetahuan, salah satu bentuk akses masyarakat

adalah terlibat dalam kegiatan penelitian. Masyarakat tidak hanya sekedar

menjadi konsumen dari hasil penelitian, tetapi dapat juga mengetahui dan

berpartisipasi dalam proses penelitian sehingga masyarakat dapat mengerti

bagaimana sebuah persoalan ilmu pengetahuan dipecahkan. Dalam

pemanfaatan untuk kepentingan ilmu pengetahuan harus tetap

mempertahankan informasi yang asli sehingga selalu membuka peluang

untuk penelitian selanjutnya. Pengetahuan atau tafsiran tentang masa

lampau bersifat relatif dan terus berubah dari waktu ke waktu. Penafsiran

juga sangat tergantung pada konteks sosial budaya sang penafsir.

Sebagai contoh pemanfaatan sumberdaya budaya yang berdasarkan

pada nilai penting ilmu pengetahuan adalah pemanfaatan situs Mount

Vernon di Sungai Potomac dekat Washington, D.C, Amerika. Situs ini

didesain dengan model wisata pendidikan dimana pengunjung yang datang

dapat berpartisipasi sebagai peneliti dalam aktivitas penelitian arkeologis,

seperti kegiatan penggalian (ekskavasi). Akibat pelibatan publik dalam

kegiatan penggalian, menjadikan situs ini selalu ramai dikunjungi oleh

wisatawan (White, 2002: 146-147).

b. Kepentingan kebudayaan.

Dalam pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk

kepentingan kebudayaan mencakup dua nilai yakni nilai estetika dan nilai

publik. Pemanfaatan untuk kepentingan kebudayaan berdasarkan pada

estetik adalah tetap mempertahankan unsur estetika yang mencakup lukisan

dinding dan keserasian antara sumberdaya budaya dan lingkungannya.

Sumberdaya budaya yang merupakan penyusun nilai estetika tidak

ditafsirkan hanya sebatas keindahan produk masa lalu, tetapi juga peran dan

fungsinya dalam konteks masyarakat sekarang. Pemanfaatan untuk

kepentingan kebudayaan berdasarkan pada nilai publik adalah menjadikan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai media/sarana pembelajaran untuk

18

generasi mendatang. Proses pembelajaran dalam arti luas tidak terbatas

hanya di ruang kelas tetapi juga mencakup pendidikan di luar sekolah.

Pendidikan di ruang kelas dilakukan setiap hari di sekolah, sedang cakupan

pendidikan di luar sekolah antara lain berupa kunjungan ke objek maupun

praktek. Bentuk pemanfaatan ini terkait dengan bentuk pemanfaatan pada

nilai ilmu pengetahuan.

Dari sisi pariwisata, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae

harus direncanakan secara bersama oleh stakeholder sehingga dapat

menciptakan keadilan, baik peran dalam pelestarian maupun pemanfaatan.

Perlu ada penyamaan visi antara stakeholder bahwa Kompleks Gua

Prasejarah Bellae merupakan sumberdaya yang mempunyai nilai ilmu

pengetahuan yang tinggi sehingga dalam pemanfaatannya aspek pelestarian

harus menjadi kerangka kerja. Pelestarian tidak sekedar melestarikan fisik,

tetapi juga melestarikan nilai penting itu sendiri.

Sebagai contoh bentuk pemanfaatan yang berdasarkan pada nilai

kebudayaan dapat kita lihat pada pemanfaatan situs Petra di Yordania.

Terletak di barat daya Yordania, ± 230 km selatan kota Amman ibu kota

Jordania Petra dimanfaatkan sebagai daerah tujuan wisata dengan nama

Petra National Park. Masyarakat berperan aktif dalam usaha pemanfaatan

petra dengan cara berpartisipasi pada usaha pelayanan dalam tingkat wisata

mikro. Usaha penginapan dalam skala kecil hanya ditujukan untuk

masyarakat lokal. Begitu juga dengan masyarakat yang mempunyai rumah

yang berasitektur tradisional diarahkan untuk dijadikan sebagai penginapan

yang khas di Petra. Hal ini mendorong peningkatan standar hidup

masyarakat serta membangun kesadaran publik untuk mengapresiasi dan

melindungi Petra (Najjar, 1997: 36-40). Bahkan situs Petra dijadikan

sebagai pilot project penelitian bagaimana masyarakat dapat bertahan hidup

dengan sumberdaya air terbatas. Hasil penelitian menjadi rekomendasi

untuk mengatasi persoalan masyarakat yang hidup dalam keterbatasan

19

sumber air bersih, serta menjadi solusi dalam pemanfaatan sumberdaya air

oleh manusia demi menjaga kestabilan ekosistem.

Salah satu alternatif bentuk pemanfaatan yang dapat diterapkan di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah menjadikan Kompleks Gua Prasejarah

Bellae menjadi Laboratorium alam. Sebagai laboratorium alam, Kompleks Gua

Prasejarah Bellae berfungsi sebagai pusat penelitian dari berbagai disiplin ilmu,

khususnya disiplin ilmu arkeologi. Ada berbagai alasan pemanfaatan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagai laboratorium alam. Pertama,

pemanfaatan sebagai laboratorium alam berarti memanfaatkan Kompleks Gua

Prasejarah Bellae sesuai dengan nilai pentingnya yakni nilai ilmu pengetahuan.

Kedua, dalam penerapannya, kegiatan penelitian di laboratorium alam

dapat melibatkan masyarakat dalam proses penelitian sehingga masyarakat

dapat memahami sumberdaya budaya baik bentuk, fungsi maupun proses

penafsirannya. Ketiga, Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki data baik

secara kuantitas maupun kualitas yang memungkinkan untuk dilakukan

penelitian baik arkeologi maupun disiplin ilmu lainnya. Keempat, pemanfaatan

sebagai laboratorium alam, dapat melibatkan masyarakat dalam proses

penelitian sebagaimana pelibatan masyarakat pada situs Mount Vernon.

Dengan demikian, proses pemberian pemahaman tentang pentingnya

sumberdaya budaya akan berjalan semakin efektif.

Dalam penerapannya, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae

sebagai laboratorium alam tentunya mempunyai konsekuensi-konsekuensi.

Sebagai laboratorium alam, ada kesan pemanfaatan hanya diperuntukkan oleh

ilmuwan atau peneliti. Oleh karena itu, untuk tetap memberi akses pada

masyarakat luas perlu ada penyediaan lahan tersendiri untuk dimanfaatkan

sebagai museum terbuka yang terbebas dari kegiatan penelitian arkeologis.

Museum terbuka juga merupakan pusat informasi yang berkaitan dengan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan berfungsi sebagai wahana pembelajaran

20

bagi generasi muda. Berdasarkan pada kualitas dan kuantitas sumberdaya

arkeologi serta potensi lingkungannya, Leang Sakapao dan Leang Caddia

mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai museum terbuka. Hal ini juga

untuk lebih memfokuskan jenis pemanfaatan pada Leang tersebut yang telah

dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan BP3 Makassar menjadi pemanfaatan yang

berdasarkan pada nilai penting kebudayaan.

Dengan demikian, pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang

menggabungkan antara laboratorium alam dan museum terbuka dapat

mencerminkan dan tetap mempertahankan nilai penting yang terdapat di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Berbagai kepentingan stakeholder dapat

terakomodasi baik untuk kepentingan ideologik, akademik, dan ekonomik yang

dapat mewakili berbagai kepentingan stakeholder yang terkait sehingga potensi

konflik dapat dimiminalisir. Peluang pemanfaatan sebagaimana yang diuraikan

sebelumnya, dimungkinkan untuk menerapkan bentuk pemanfaatan berupa

laboratorium alam dan museum terbuka.

2. Model Pengelolaan

Untuk melaksanakan pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang

efektif, akomodatif dan berkelanjutan, maka perlu ada koordinasi antara

stakeholder terkait. Stakeholder harus bersama-sama menentukan kebijakan

pemanfaatan dan menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka. Jika

selama ini kebijakan pelestarian dan pemanfaatan menjadi otoritas negara,

saatnya kebijakan pelestarian dan pemanfaatan tidak lagi diputuskan sepihak

oleh instansi pemerintah, tetapi perlu mengakomodasi kepentingan stakeholder

yang lain sehingga pemanfaatan bisa bermanfaat bagi semua pihak. Kompleks

Gua Prasejarah Bellae tidak lagi dimanfaatkan untuk kepentingan pelestarian

semata menurut perspektif negara, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Untuk menjalankan pengelolaan yang akomodatif dan berkelanjutan

secara operasional, maka perlu dibentuk lembaga pengelola. Sebagai lembaga

21

yang bertujuan menegosiasikan kepentingan stakeholder, maka anggota

lembaga bersama merupakan wakil-wakil dari stakeholder yakni BP3

Makassar, Dinas Pariwisata Kabupaten Pangkep, Dinas Pertambangan

Kabupaten Pangkep, Pemerintah setempat, akademisi, organisasi pencinta

alam, dan masyarakat. Selain stakeholder tersebut, lembaga ini juga

beranggotakan LSM yang bergerak baik di bidang pelestarian budaya maupun

yang bergerak di bidang lingkungan. Peran LSM ikut mengontrol pemanfaatan

kompleks gua prasejarah Bellae sehingga pemanfaatan tersebut bersifat

berkelanjutan tidak bersifat eksploitatif. LSM juga diharapkan dapat

menyuarakan kepentingan masyarakat yang selama ini tidak pernah terlibat

dalam pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae.

Melihat beragamnya kepentingan dari anggota lembaga bersama tersebut,

langkah awal yang harus dilakukan oleh lembaga bersama adalah menyamakan

visi tiap stakeholder. Penyamaan visi sangat penting untuk lebih memudahkan

menegosiasikan kepentingan sehingga rencana pemanfaatan yang dihasilkan

dapat mengakomodasi kepentingan semua stakeholder. Tugas utama lembaga

bersama itu sendiri adalah membuat rencana stategis, implementasi, monitoring

dan evaluasi sebagaimana langkah kerja CRM. Rencana strategis yang

berdasarkan pada nilai penting, peluang dan hambatan pengelolaan mencakup

strategi pelestarian, strategi pemanfaatan dan strategi lain yang dianggap perlu.

Selanjutnya mengimplementasikan rencana strategi tersebut dan memonitoring

pelaksanaannya.

Pada tataran implementasi, setiap stakeholder melaksanakan perannya

sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Jika selama ini peran pelestarian

hanya dilakukan oleh BP3 Makassar, maka dalam pemanfaatan Kompleks Gua

Prasejarah Bellae merupakan tanggung jawab bersama stakeholder. Dinas

Pariwisata tidak sekedar memanfaatkan, tetapi juga melestarikan. Peran

masyarakat tidak sebatas memberikan usulan dalam penyusunan rencana

strategis, tetapi mencakup pelestarian dan ikut menikmati hasil dari

22

pemanfaatan. Organisasi pencinta alam tidak hanya mencintai alam dan,

memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tetapi juga melestarikan sumberdaya

budaya.

Agar saat implementasi dari rencana strategis berjalan sesuai dengan

rencana dan tidak keluar dari koridor kesepakatan, serta tetap memperhatikan

aspek pelestarian, maka perlu ada monitoring atau pengawasan. Pengawasan

ada dua macam yakni pengawasan secara internal dan pengawasan secara

eksternal. Pengawasan secara internal dilakukan oleh pengelola Kompleks Gua

Prasejarah sendiri, dan pengawasan eksternal dilakukan oleh akademisi dan

LSM. Pengawasan diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan

pengelolaan Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

Berangkat dari pemikiran bahwa pemanfaatan sumberdaya budaya

disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat, maka tidak tertutup

kemungkinan kepentingan stakeholder pada suatu saat akan berubah sesuai

perkembangan jaman. Pemaknaan masyarakat tentang kompleks gua prasejarah

Bellae tentunya akan ikut berubah. Oleh karena itu, rencana strategis

pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae harus merupakan proses dinamis

dan bukan sebagai produk final. Sebagai sebuah proses, maka pelaksanaan

rencana strategi akan dievaluasi bersama oleh stakeholder dengan melihat sisi

positif dan negatifnya. Penilaian kembali terhadap kompleks gua prasejarah

Bellae harus dilakukan untuk melakukan perencanaan kembali sesuai dengan

konteks sosial masyarakat.

Dengan demikian, model pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae

yang diajukan akan mampu menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi, tidak

bersifat eksploitatif dan berkelanjutan. Model pemanfaatan sebagaimana yang

dijelaskan dalam tulisan ini hanya pada tataran konsep. Menyangkut

pelaksanaan konsep pada tataran aplikatif merupakan tanggungjawab

stakeholder lewat lembaga bersama yang diusulkan. Jika dalam perkembangan

selanjutnya model ini berhasil pada tahap pelaksanaan, maka konsep ini bisa

23

dijadikan rujukan dan dapat diadaptasi untuk pemanfaatan sumberdaya

arkeologi yang sejenis.

3. Penutup

Tingginya nilai penting Kompleks Gua Prasejarah Bellae tentunya harus

dipertahankan dan dilestarikan untuk kepentingan bersama saat ini maupun untuk

kepentingan generasi selanjutnya. Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah

tentunya harus tetap mengacu pada nilai penting sehingga sehingga pemanfaatan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak bersifat eksploitatif yang bahkan dapat

menurunkan bahkan menghilangkan nilai penting tersebut. Pemanfaatan bukan

berdasarkan satu kepentingan tertentu, tetapi harus mencakup berbagaai

kepentingan stakeholder yang terkait.

Oleh karena itu, dalam upaya pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae

perlu ada suatu konsep pemanfaatan dalam kerangka Cultural Resource

Management (CRM). Perlu ada kesamaan visi dari tiap stakeholder bahwa

pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae bukan hanya pada aspek kebendaan

saja tetapi mencakup nilai penting yang terdapat di Kompleks Gua Prasejarah

Bellae. Pemanfaatan yang dapat menjembatani kepentingan stakeholder yang

terkait, serta pemanfaatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat.

Akhirnya tulisan ini hanya sebatas memberi konsep dasar pengelolaan dan

rekomendasi pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pengembangan

selanjutnya yang sesuai dengan tuntutan serta teknis pelaksanaan menjadi

wewenang dari stakeholder yang terkait. Konsep dasar yang diajukan tidak

tertutup kemungkinan suatu saat perlu dievaluasi kembali sesuai dengan tuntutan

kepentingan tiap stakeholder. Selalu perlu ada penyesuaian-penyesuaian antara

konsep pemanfaatan dengan konteks sosial masyarakat. Dengan demikian

pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae adalah pemanfaatan dalam kerangka

pelestarian, berkelanjutan dan tetap memperhatikan keselarasan lingkungan serta

daya dukung sumberdaya budaya.

24

Perlu ditambahkan daftar pustaka dan kalau perlu gambar/foto yang

relevan.