MAKALAH FIQH SIYASAH
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH
DISUSUN OLEH:
NOVIZA DARTIWI (06 17 032)
RAHMATURROZIKIN (06 17 033)
RANI ANGGRAINI (06 17 034)
RENI APRILIA (06 17 035)
DOSEN PEMBIMBING
DR. H. IDZAN FAUTANU, MA
FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2008-2009
DAFTAR ISI
Daftar Isi...........................................................................................................
Pedahuluan........................................................................................................
Pembahasan.......................................................................................................
Pemikiran Politik Sunni
Pemikiran Politik Syiah
Pemikiran Politik Khawarij
Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kesimpulan.......................................................................................................
Daftar Pustaka...................................................................................................
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH
A. PENDAHULUAN
Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad
SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara
Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah
penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di
era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita
dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga
dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.
B. PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro
kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni
cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik
dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang
memerintahkan 1, namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi
ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal
yang darurat.
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh
tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa
pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan
pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan
tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan
yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga
1 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), hal.106.
pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci,
tidak dapat diganggu gugat. 2Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan
hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat
cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.
(QS.Al – An’am, 6:165).
Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar –
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia
telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan
memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan
kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah
mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan
adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah
berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya,
mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak
mendukung, sedang pendukungnya adalah negara. 3
2 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI – Press, 1990), hal.108.3 Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.107.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat
Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk
menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala
negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk
melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih
menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. 4
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan
perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat
Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak
yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi
yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada
pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka
terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak
menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran
Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku
Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu
Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa
tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai
kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh
Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas
kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam
percaturan politik Islam5, selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari
lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan 4 Ibid, hal.109.5 Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.112.
berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali6, para ahli penulis sejarah
sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara
golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah7, yang
diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah8,
dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir
khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan
dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang
paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak
pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai
peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini
dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam
Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada
akhir masa Ali. 9
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang
atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka
mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti
imam.
Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam: 10
1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan
dengan syari’at.
4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar
terhindar dari penyelewengan.
6 Munawir Sjadzali, Op, Cit., hal.211.7 Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), Cetakan keenam, hal.5.8 Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,Januari 1999), Cetakan kedua, hal.385.9 Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al – Madzahib al - Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cetkakan kesatu, hal.34.10 Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet ketiga, hal.207.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan
teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari
keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah
menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat –
sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya
pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti
merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa
tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka
anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk
menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum,
dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk
pengganti Nabi. 11
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi
oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak
pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang
memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis
dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas
politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka
mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang
ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma
dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni
mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah
satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan
Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman
pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi
berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari
penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini
menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa,
dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali
11 Ibid, hal.208.
sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang
mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali
sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah
merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama
dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab
Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’
Asy’ariyah). 12
Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam
dalam tubuh Syi’ah:
1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin,
Zaid ibn Ali.
2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali
Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn
Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al –
Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari,
Muhammad al – Mahdi.
Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang
berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk
mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita
lihat di bagan berikut:
Skema Perpecahan dalam tubuh Syi’ah
1. Ali
2. Hasan
12 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.24.
5. Zaid (Sekte Zaidiyah)
4. Muhammad bin Hanafiyyah (Mukhtar bin Ubaid al – Tsqifi), (sekte Kaisaniyah)
8. Ali al - Ridho
7. Isma’il(Sekte Isma’iliyyah/Bathiniyyah)
6. Ja’far ash - Shadiq
7. Musa al - Kadzim
4. Ali Zaenal Abidin
5. Abu Ja’farMuhammad al – Baqir(Sekte Imamaiyah)
11. Hasan al - Askari
12. Muhammad al – Mahdi(sekte Imamiyyah Itsna Asyariyah)
10. Ali al - Hadi
9. Muhammad al – Taqi’
3. Husein
Perbandingan paham dalam mazhab Syi’ah
Sekte
Kualifikasi Imam
Jumlah Imam Dasar pengangkatan Harus ‘Ali Ismah Ghabiah intizhar
Zaidiyah 5 Orang
‘Ali bin Abi
Thalib. Husen
Isyarat sifat-sifat imam
oleh Nabi Saw.
Tidak Tidak Tidak
Ibn ‘Ali. ‘Ali
Zainal
al-‘Abidin Zaid
ibn Ali
Isma’iyah
tsabiyah
5 Orang
‘Ali bin Abi
Thalib. Husen
Ibn ‘Ali. ‘Ali
Zainal
al-‘Abidin
Muhammad al-
Baqir. Ja’far al-
shadiq. Isma’il
ibn Jafar
Ya Ya (tidak
pernah)
Ya Ya
Imamiyah (Isna
‘Asy Anyah
12 Orang
‘Ali bin Abi
Thalib. Husen
Ibn ‘Ali. ‘Ali
Zainal
al-‘Abidin
Muhammad al-
Baqir. Ja’far al-
shadiq. Musa al-
Kharim, ‘Ali al-
Ridha.
Muhammad al-
Taqi’. ‘Ali
al-‘Aska
Muhammad al-
Mahdi
Ya Ya (tidak
pernah)
Ya Ya
PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing
muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada
awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran
kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah. 13
13 Ibid, hal.63.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah
arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan
Mu’awiyah di Siffin. 14 Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan
sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang
menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat
Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya
mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai
kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim
dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah
bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara
berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan
pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok
Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan
berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah
– pecah menjadi beberapa kelompok. 15
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau
kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua
manusia. 16 Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan
sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang
lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu
Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase
dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan
Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk
menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy
sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al –
Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan
Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, 17 juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum 14 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.120.15 Harun Nasution,Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (UI; Press, 1986), Cet.Kelima, hal.13.16 Abu Zahroh,Op. Cit. hal.68.17 Munawir Sjazdali,Op. Cit. hal.217.
Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang
disepakati oleh aliran – aliran Khawarij. 18
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang
benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang
khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh
dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang
berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli
suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan
menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij
bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya,
apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah
untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan
keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan
jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan
seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi
hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban
berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu
dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika
pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan
Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu
berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan
khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran
diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara
adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara
sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan
18 Abu Zahroh,Op. Cit. hal.69 - 70.
mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini
menujukkan kedemokrasian klompok ini. 19
PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik
beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa
pemerintahan Ali. 20 Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai
pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya
perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada
abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa21dalam referensi lain
disebutkan orang yang berbuat dosa besar.22Namun Harun Nasution sendiri menjelskan
banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat
mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi
rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran –
pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh
mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak
tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. 23
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat
Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana
pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk
menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal
negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan
pemilihan umat Islam sendiri.
19 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.121.20 Ibid, hal.24.21 Munawir Sjadzali,Op. Cit. hal.218.22 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.122., Harun Nasution, Op.cit., hal.38.23 Suyuti Pulungan,Op. Cit. hal.209.
C. PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran
politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili
oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah
Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita
paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa
pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya
Media Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI Press, 1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 1997.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan
kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1990.
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan
Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam,
Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s
Fiqih siyasah
Dosen :Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA
Disusun Oleh :
Mella Champisha MLaili khoirun NisaMuhammad Nawawi
Tema : Kehidupan Politik Pada Masa Khulafa Al Rasyidin (4 khalifah)Kehidupan Politik Pasca Masa Khulafa Al Rasyidin (Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah )
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah atas segala rahmat-Nya yang telah
memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun tugas kelompok ini. Dan
shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
memberikan inspirasi kepada penulis akan arti dan penerapan bidang-bidang Fiqh Siyasah.
Makalah ini ditulis penulis sebagai tugas mata kuliah Fiqh Siyasah. Dan tujuan dari
makalah ini adalah untuk mengetahui kehidupan politik pada masa khulafa al-Rasyidin dan
kehidupan politik pasca khulafa al-Rasyidin.Tiada Manusia yang Sempurna, begitupun dengan
makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena
itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan
dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
Ciputat, 2 Oktober 2009
Penulis
18
Daftar Isi
Kata Pengantar
Kehidupan Politik Masa khulafah al-Rasyidin ……....
Abu Bakar
Umar bin Khatab
Utsman bin Affan
Ali bin Abu Thalib
Kehidupan Politik Masa khulafah al-Rasyidin
Masa Bani Umayyah
Masa Bani Abbasiyah
Daftar Pustaka
19
AL Khufala Al – Rasyidin
Dengan wafat nya Nabi maka berakhirlah stuasi yang sangat unik dalam sejarah islam, yakni
kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi)
yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Illahi.
Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan
wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau
sebagai pemimpin umat. Itulah kiranya mengapa ada 4 Al-khulafa al – Rasyidin.
ABU BAKAR (11-13H / 632-634 M)
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang
berlangsung pada hari kedua setelah Nabi Wafat dan sebelum jenazah beliau di makamkan.
Itulah antara lain yang menyebabkan kemarahan keluarga Nabi, khususnya Fatimah, putrid
tunggal beliau.
Pada hari itu Umar Bin Khattab mendengar berita bahwa kelompok ansar mendengar berita
sedang melangsungkan pertemuan di Saqifah atau Balai pertemuan Bani Saidah, Madinah,
Untuk mengangkat Saad Bin Ubadah, seorang tokoh ansar dari suku khazraj, sebagai
khalifah. Dalam keadaan gusar umat cepat cepat pergi kerumah kediaman Nabi dan menyuuh
seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan memintanya
supaya keluar. Semula Abu Bakar Menolak denagan alsan sedang sibuk. Tetapi akhirnya dia
keluar setelah di beritahu telah terjadi peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu
Bakar.
Sampai di balai pertemuan ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, dan bahkan
telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Ansar dan kelompok Muhajirin.lalu Abu Bakar
dengan nada tenang mulai berbicara. Kepada kelopok Ansar beliau mengingatkan bukan kah
Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpinan umat islam itu seyogianya berada pada tengah
suku Quraisy, dan bahwa hanya pada di bawah pimpinan itulah akan terjamin keutuhan,
20
keselamatan dan kesejahteraan bangsa Arab. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh
Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, Umar Bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang
orang ansar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar itu, dan Umar tidak menyia
nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan menuju ke
tempat Abu Bakar untuk ber baiat dan menyatakan kesetiannya kepada Abu Bakar sebagai
Khalifah, seraya menyatakan bahwa bukanlah Abu Bakar yang selalu di minta oleh Nabi untuk
menggantikan beliau sebagai imam sholat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah
sahabat yang paling di sayangi oleh Nabi. Gerakan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah bin
Jarah. Tetapi sebelum kedua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu Bakar dan mengucapkan
baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj, mendahului mengucapkan
baiatnya kepada Abu Bakar. Barulah kemudian Umar dan Abu Ubaidah serta para hadirin,
baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok Ansar dari Aus. Baiat terbats ini kemudian
terkenal dala sejarah Islam dengan nama Bai’at Saqifah atau baiat di bali pertemuan. Para
sahabat senior tersebut kemudian seorang demi seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela
berbaiat kepada Abu Bakar. Zubair memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbaiat.
Adapun Ali bin Abu Thalib, menurut banyak ahli sejarah baru berbaiat kepada Abu Bakar
setelah Fatimah, istri Ali, dan putri tunggal Nabi wafat 6 bulan kemudian.
B. UMAR BIN KHATTAB ( 13-23H / 634–644M )
Berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar, mendapatkan kepercayaan sebagai khallifah
kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui
penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Pada tahun ketiga sejak menjabat khlifah, Abu
Bakar mendadak jatuh sakit. Selama 15 hari dia tidak pergi ke masjid dan meminta kepada
Umar agar mewakilinya menjadi imam sholat. Makin hari makin sakit Abu Bakar makin parah
dan timbul perasaan padanya bahwa ajal sudah dekat. Sementara itu kenangan tentang
pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia khawattir
kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajal segera datang, akan timbul pertentangan di
kalangan umat islam yang dapat lebih hebat daripada ketika Nabi wafat dahulu. Bagi Abu
Bakar orang yang paling tepat menggantikannya tidak lain adalah Umar bin Khattab. Maka dia
mulai mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan
21
menengok di rumahnya. Diantara mereka adalah Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin
Affan dari kelompok Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Ansar. Pada dasarnya
semua mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa diantaranya yang
menyampaikan catatan Abd al-Rahman misalnya, mengingatkan akan sifat “keras” Umar.
Peringatan itu dijawab oleh Abu Bakar bahwa Umar yang bersifat keras selama ini karena
melihat sifat Abu Bakar yang biasanya lunak, dan kelak kalau Umar sudah memimpin sendiri
dia akan berubah menjadi lebih lunak. Suatu hal yang cukup menarik ialah seusai
berkonsultasi dengan Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan, Abu Bakar berpesan
kepada mereka berdua agar tidak menceritakan isi pembicaraan itu kepada orang lain.
Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan, lalu mendiktekan pesannya. Baru saja setengah dari
pesan itu didiktekan, tiba tiba Abu Bakar jatuh pingsan, tetapi Utsman terus saja
menuliskannya. Ketika Abu Bakar sadar kembali dia bertanya kepada Utsman supaya
membacakan apa yang telah dia tuliskan. Utsman membacanya, yang pada pokoknya
menyatakan bahwa Abu Bakar telah menujuk Umar bin Khattab supaya menjadi penggantinya
(sepeninggal dia nanti). Seusai dibacakan pesan yang sebagian ditulis oleh Utsman sendiri itu
Abu Bakar menyatakan pula bahwa tampaknya Utsman juga ikut gusar terhadap kemungkinan
perpecahan umat kalau pesan itu tidak diselesaikan.
Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab di kukuhkan
sebagai khalifah kedua dalam suatu baiat dan terbuka di mesjid Nabawi.
C. UTSMAN BIN AFFAN ( 23-35H / 644-656M )
Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui proses lain lagi, tidak sama dengan
Abu Bakar, tidak serupa pula dengan Umar. Dia dipilih oleh sekelompok orang yang nama
namanya sudah di tentukan oleh Umar sebelum dia wafat.
Waktu itu datanglah sejunlah tokoh masyarakat mohon kepada Umar supaya segera
menunjuk pengganti, karena mereka khawatir bahwa akibat luka lukanya itu Umar tidak akan
22
hidup lebih lama lagi dan kalau sampai wafat tanpa terlebih dahulu menunjuk penggantinya di
khawatirkan akan terjadi pertentangan dana perpecahan dikalangan umat. Tetapi Umar
menolak memenuhi permintaan mereka dengan alasan bahwa orang orang yang menurut
pendapatnya pantas ditunjuk sebagai pengganti sudah lebih dahulu meniggal. Bahkan Umar
marah besar ketika tokoh tokoh tersebut mengusulkan agar dia menunjuk salah seorang
putranya sendiri Abudulah Bin Umar. Akhirnya Umar menyerah tetapi tidak secara langsung
menunjuk pengganti. Dia hanya menyebutkan enam sahabat senior dan merekalah nanti
sepeninggalnya yang harus memilih seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah: Ali bin
Abu Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Abu Waqqas, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin
Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, serta Abudllah bin Umar, putranya, tetapi “tanpa hak
suara”. Menurut Umar dasar pertimbangan mengapa memilih enam orang tersebut, yang
semuanya dari kelompok Muhajirin atau Quraisy, karena mereka berenam itu dahulu
dinyatakan oleh Nabi sebagai calon calon pengurus surga, dan bukan karena mereka masing
masing mewakili kelompok atau suku tertentu. Pesan Umar, sepeninggalnya nanti mereka
berenam segera berunding dan dalam waktu paling lama tiga hari sudah dapat memilih salah
seorang diantara mereka menjadi khalifah.
Setelah Umar wafat lima dari enam orang tersebut segaera bertemu untuk merundingkan
pengisiian jabatan khalifah. Sejak awal jalannya pertemuaan itu sangat alot. Abd al-Rahman
bin Auf menciba memperlancarnya dengan himbauan agar sebaiknya di anatara mereka
dengan sukarela membuka diri dan memberi kesempatan kepada orang yang betul betul
paling memenuhi syarat untuk dipilih sebagai khalifah. Tetapi himbauan itu tidak berhasil.
Kemudian Abd al-Rahman sendiri menyatakan mengundurkan diri, tetapi tidak ada seorang
pun dari empat orang yang lain itu mengikutinya. Dalam keadaan macet itu Abd al-Rahman
bermusyawarah dengan tokoh tokoh selain ke empat orang tersebut. Mereka terbelah menjadi
2 kubu : pendukung Ali dan pendukung Utsman. Dalam pertemuaan berikutnya dengan empat
rekannya, Abd al-Rahman menanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, bahwa seandainya bukan
dia (Ali), siapa menurut pendapatnya yang patut menjadi khalifah. Ali menjawab : Utsman.
Pertanyaan yang sama di ajukan kepada Zubair dan Saad, dan jawaban mereka berdua sama
: Utsman. Terakhir pertanyaan yang sama diajukan pula kepada Utsman dan Utsman
menjawab Ali. Dengan demikian semakin jelas bahwa hanya dua calon untuk jabatan khalifah:
Ali dan Utsman. Kemudian Abd al-Rhman menanyakan kepadanya seandainya dia di pilih
23
menjadi khalifah, sanggupkah dia melaksanakan tugasnya berdasarkan Alquran, sunah Rosull
dan kebijaksanaan dua khalifa sebelum dia. Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat
berbuat sejauh pengetahuaan dan kemampuaannya. Abd al-Rahman berganti mengundang
Utsman dan mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. Dengan tegas Utsma menjawab
“ya! Saya sanggup”. Berdasarkan jawaban itu Abd al-Rahman menyatakan Utsman menjadi
khalifah ketiga.
D. ALI BIN ABU THALIB (35-40H / 656-661M )
Ali bin Abu Thalib 12 tahun kemudian, diangkat menjadi khalifah yang ke empat melalui
pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Setelah para pemberontak
membunuh Utsman bin Affan, mereka mendesak Ali agar bersedia diangkat menjadi khalifah.
Ali menolak desakan para pemberontak, dan menanyakan dimana peserta (pertempuran)
Badar, dimana Thalhah, Zubair dan Saad, karena merekalah yang berhak menentukan
tentang siapa yang harus menjadi khalifah. Maka muncul lah tiga tokoh senior itu dan berbaiat
kepada Ali dan segera diikuti oleh orang banyak, baik dari kelompok Muhajirin maupun
kelompok Ansar. Orang pertama yang berbaiat kepada Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pemilihan terhadap Abu Bakar
dan Utsman dan pemilihan terhadap Ali. Dalam dua pemilihan yang terdahulu meskipun mula
mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon calon itu terpilih dan
diputuskan menjadi khalifah orang orang tersebut menerimanya dan ikut berbaiat serta
menyatakan kesetiaannya termasuk Ali, baik kepada Abu Bakar maupun terhadap Utsman.
Lain hal nya dalam pemilihan terhadap Ali penetapannya sebagai khalifah ditolak antara lain
oleh Muawiyah bin Abu Sofyan, gubernur di Suria yang keluarga Utsman, dengan alasan :
pertama Ali harus bertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman. Kedua, berhubung
wilayah Islam telah meluas timbul komunitas Islam, maka hak untuk menentukan pengisian
jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang berada di Madinah saja.
24
KEHIDUPAN POLITIK PASCA KHULAFAURRASYIDIN
A.BANI UMAYYAH
Nama Bani Umayyah dalam bahasa arab berarti anak turun Umayyah,yaitu
Umayyah bin Abdul Syams,salah satu pemimpin dalam kabilah suku Quraisy. Abdul
Syams adalah saudara dari Hasyim,sama-sama keturunan Abdul Manaf,yang
menurunkan Bani Hasyim. Dari Bani Hasyim inilah lahir Nabi Muhammad.
Pada masa sebelum islam,Bani Umayyah selalu bersaing dalam Bani Hasyim. Pada
waktu itu,Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim. Pada waktu itu,Bani
Umayyah lebih berperan dalam masyarakat mekah. Hal itu disebabkan mereka
menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung kepada
pengunjung kakbah. Dipihak lain,Bani Hasyim adalah orang-orang yang berekonomi
sederhana.
Keadaan mulai berubah pada waktu Nabi Muhammad SAW,salah seorang dari Bani
Hasyim,mendapatkan wahyu Allah SWT untuk mengembangkan agama islam,Bani
Umayyah merasa bahwa kekuasaan dalam perekonomiannya terancam. Oleh sebab
itu,merka menjadi penentang utama dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW.
1.Awal Berdirinya
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,pemerintahan islam dipegang oleh Abu
Bakar as-Siddiq. Pada masa itu,Bani Umayyah merasa bahwa kelas mereka di bawah
kaum Anshar dan Muhajitin. Hal itu disebabkan,mereka masuk islam pada gelombang
yang terakhir,untuk mendapat kelas yang setingkat,mereka harus menunjukkan
perjuangan mereka dalam perang membela islam. Ketika itu,Muawiyyah bin Abu
Sufyan berjasa karena keterlibatannya dalam perang riddah untuk menumpas kaum
murtad. Pada masa pemerintahan usman bin Affan,Muawiyyah bin Abu Sufyan
diangkat menjadi gubernur di Suriah menggantikan saudaranya. Bani Umayyah juga
mendapatkan ketetapan bahwa mereka menjadi penguasa disana,sebagaimana orang
25
Quraisy mendapatkan kekuasaan di Mekah. Hal itu juga disebabkan karena Usman bin
Affan adalah salah seorang Bani Umayyah .
Masa pemerintahan Ali bin Abi Talib menjadi awal perpecahan umat islam. Hal
ini disebabkan oleh kematian Usman bin Affan yang terbunuh.
2.Masa Pemerintahan
Muawiyyah bin Abu Sufyan mengawali pemerintahan 90 tahun Bani Umayyah di
Damaskus. Dalam peristiwa amul jama’ah yang menjadi titik awal pemerintahan
Bani Umayyah,Muawiyyah bin Abu Sufyan membuat kesepakatan dengan Hasan
bin Ali. Isi kedepakatan itu, antara lain mengenai pergantian kekuasaan yang akan
diserahkan kepada musyawarah umat islam. Umat islam berhak menentukan siapa
yang akan menjadi khlifah,akan tetapi,muawiyyah bin Abu Sufyan melanggar
kesepakatan itu. Ia mewariskan kekuasaan secara turun-temurun kepada anggota
Bani Umayyah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya perlawanan dari
masyarakat yang kecewa terhadapnya.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan,umat islam menyebrangi
sungai Oxus,menguasai daerah Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan
Samarkan. Umat islam juga memasuki India dan menguasai
Balukistan,Sind,Punjab,dan Multan.
Penyebaran islam dilanjutkan pada masa al-Walid nin Abdul Malik. Pada tahun
711 M,Tariq bin Ziyad menaklukan Aljazair dan Maroko. Ia bahkan menyebrang ke
Spanyol dan menguasai Kordoba,Sevilla,Elvira,dan Toledo. Sebuah gunung batu
tempat di mana Tariq bin Ziyad mendarat diabadikan dengan namanya,yaitu jabal
Tariq dan sekarang termahsyur dengan nama Gibraltar. Sejak saat itulah islam
mulai menyebar di Eropa serta mengembangkan berbagai macam ilmu
pengetahuan dari sana.
26
3.Keruntuhan Bani Umayyah
Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal,diantaranya adalah
terbaginya kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Kholifah Marwah
bin Muhammad berkuasa di wilayah semenajung Tanah Arab,dan Kholifah Yazid bin
Umar berkuasa di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat diantara kedua wilayah
tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri
kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk
menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun,termasuk menghabisi
nyawanya. Pembunuhan terhadap Marwan bin Muhammad dan Yazid bin Umar
momwnt inilah yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran daulah Bani Umayyah
yang sudah berkuasa selama 90 tahun.
B.BANI ABBASIYAH
1.Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib,paman
Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin
Al-Abbas,atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani
Abbasiyah berdiri antara tahun 132-656/750-1258 M. Lima setengah abad lamanya
keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khalifah islamiyah. Pusat
pemerintahannya di kota Baghdad.
Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah: Abul Abbas As-Saffah,Abu Ja’far Al-
Mansur,Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah mempunyai
khalifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas As-Saffah sampai
Khalifah Al-Watsiq Billah agama islam mencapai masa keemasan ( 132-232 H/749-
879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-Mu’tashim,islam
mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol
Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656 H/1258 M.
27
2.Perbedaan antara kekuasaan dinasti Abbasiyah dengan kekuasaan Dinasti bani Umayah,diantaranya adalah:
Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Orientid,artinya dalm segala hal para
pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni,begitu pula corak peradaban yang di
hasilakn pada dinasti ini.
Dinasti Abbasiyyah disamping bersifat arab murni,juga sedikit banyak telah
terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia,Romawi Timur,Mesir
dan sebagainya.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah,luas wilayah kekuasaan islam semakin
bertambah,meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah,antara lain
Hijaz,YamanUtara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia),
Yordania,Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia,Al-jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan
dan Pakistan dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.
3.Bentuk-Bentuk peradaban islam pada masa Daulah abbasiyah
Adapun bentuk-bentuk peradaban islam pada masa daulah Bani Abbasiyah
adalah sebagai berikut:
a.Kota-Kota Pusat PeradabanDiantara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adlah Baghdad dan
Samarra. Baghdad merupakan ibu kota Negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan
Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya
kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan.
Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris,yang berjarak + 60
km dari kota Baghdad. Didalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh
seni bangunan islam di kota-kota lain.
b.Bidang Pemerintahan.
28
Dalam pembagian wilayah (provinsi),pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya
dengan Imaraat,gubernurnya bergelar Amir/Hakim. Imaraat saat itu ada 3 macam
yaitu: Imaraat Al-Istikhfa,Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaraat Al-Istilau. Kepada
wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas,sedangkan desa/al-Qura dengan
kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh. Dinasti Abbasiyah juga
telah membentuk angkatan perang yang kuat. Kholifah juga membentuk Baitul
Mal/Departemen keuangan untuk mengatur keuangan Negara khususnya.
Disampaing itu khalifah juga membentuk badan peradilan guna membantu khalifah
dalam urusan hokum.
c.Bangunan Tempat Pendidikan dan Peribadatan Diantara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adlah
madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah,yang
didirikan di Baghdad,Isfahan,Nisabur,Basrah,Tabaristan,Hara dan Musol oleh Nizam
al-Mulk seorang perdana mentri pada tahun 456-486 H. Selain madrasah terdapt
juga Kuttab,sebagai lembaga pendidikan dasar dan menegah,Majlis Muhadhoroh
sebahai tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan,serta Darul Hikmah sebagai
perpustakaan.
Disamping itu juga terdapat masjid seperti masjid Cordova,Ibnu Toulun,Al-Azhar dan
lain sebagainya.
d.Bidang ilmu pengetahuanIlmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu
aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir,Ilmu Hadits,Ilmu Fiqih,Ilmu Kalam,Ilmu
Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapun Ilmu Aqli seperti: Ilmu Kedokteran,Ilmu
perbintangan,Ilmu Kimia,Ilmu Pasti,Logika,Filsafat dan Geografi.
4.Kemunduran Daulah Bani AbasiyahKehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak terjadi dengan cara spontanitas,
melainkan melalui proses yang panjang yang diawali oleh berbagai pemberontakan
dari kelompok yang tidak senang terhadap kepemimpinan Kholifah Abbasiyah.
Disampin itu juga kelemahan kedudukan kekholifahan dinasti Abbasiyah di
29
Baghdad,disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang
terkendali,sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.
Diantara kelemahan yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah
sebagai berikut:
a. Mayoritas kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya
dan cenderung hidup mewah.
b. Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah,sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan
c. Ketergantungan kepada tentara bayaran
d. Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia,yang menimbulkan
kecemburuan bagi bangsa Arab murni.
e. Permusuhan antar kelompok suku dan agama.
f. Perang salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang
menghancurleburkan kota Baghdad.
30
Daftar Pustaka
Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah da pemikiran. Jakarta: UI
Press,1990
Haludhi, khuslan dan Sa’id, Abdurrohim, Integrasi Budi Pekerti Dalam Pendidikan
Agama Islam. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,2004
Dalam memilih seorang kepala negara, rakyat harus mencari orang yang paling utama (Al-afdhal). Tapi jika tidak ada kesepakatan orang yang paling utama maka menurut hukum sah mengangkat seorang yang kurang utama. Hal ini untuk mencegah tidak terjadi kekacauan di kalangan rakyat.
Selain itu, Al – Mawardi berpendapat diantaranya :1. Tidak dibenarkan seorang kepada negara sendirian menunjukkan dan membaiat anak atau ayahnya sendiri menjadi putra mahkota, tanpa melalui musyawarah dengan anggota lembaga pemilih (ahl al – ihktiyar)2. Seorang kepala negara boleh menunjukkan seorang putra mahkota baik anaknya maupun ayahnya sendiri. Karena posisi waktu adalah sebagai amir al – ummat dan yang mengatur urusan mereka yang dipandang bukan karena hubungan keturunan tapi karena jabatannya.3. Kepada negara boleh sendirian menunjuk ayahnya menjadi putra mahkota, tapi tidak dibolehkan anaknya menjadi putra mahkota.Menurut Al – Mawardi, suatu negara dapat terbentuk jika memiliki unsur-unsur yang pokok dalam kajian politik negara, diantaranya rakyat, wilayah tertentu, dan adanya pemerintahan atau pemimpin.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2065445-fiqih-siyasah-pemikiran-politik-al/#ixzz1XyV6fTL6
31
Top Related