KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi Kasus Ponpes Daarul Rahman dan Masjid Hidayatul
Musyawaroh)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syriah dam Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar (S.H)
Diajukan oleh :
Adib Mubaroki
NIM : 1113043000019
KONSESNTRAS PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIEF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018/1439 H
v
ABSTRAK
ADIB MUBAROKI. NIM 1113043000019. Konversi Wakaf di DKI Jakarta Menurut
Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Kasus di Pondok Pesantren Daarul Rahman dan Masjid
Hidayatul Musyawaroh). Skripsi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439H/2018M. (x halaman
dan 72 halaman).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang konversi wakaf menurut hukum Islam
dibandingkan menurut pelaksanaan dalam hukum positif di Indonesia berikut juga mengenai
dampak sosial yang terjadi setelah terjadinya konversi wakaf.
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, yaitu merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pada pencarian makna,
pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena.
Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini, penulis menggunakan
jenis penelitian normative dan sosiologis, dengan metode field research (kajian lapangan).
Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan., yang dalam hal ini penulis
membandingkan antara hukum Islam dengan hukum positif di Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konversi wakaf menurut moyoritas ulama fiqih
diperbolehkan, karena lebih memilih keabadian fungsi wakafnya yang jadi prioritas,
dibandingkan dengan keabadian bentuk wakafnya. Dan pada prakteknya di Indonnesia konversi/
istibdal/ ruislagh wakaf ini diperbolehkan dan dilindungi oleh Undang-Undang No.41 Tahun
2004 tentang perwakafan dengan beberapa prosedur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
No.42 tahun 2006 tentang aturan pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang perwakafan. Dari
segi dampak sosialnyapun lebih dirasakan mashlahatnya oleh masyarakat jika terjadinya
konversi wakaf itu untuk pengelolaan dan pengembangan wakaf yang membuat lebih produktif
lagi.
Kata Kunci : konversi, istibdal, wakaf.
Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan, SH, MA, MH.
Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag
Daftar Pustaka :
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis,
terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin. Sesungguhnya hanya dengan
pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat
beriringan salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan
para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan haasil dan upaya yang maksimal dari
penulis. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai
pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik
moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan
III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
beserta Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., Sekertaris Program Studi Perbandingan
Mazhab yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi
kepada penulis dalam kepentingan akademik maupun sosial.
vi
3. Bapak Dr. Yayan Sopyan, S.H, MH, beserta Dr. Abdurrahman Dahlan M.A, sebagai
dosen pembimbing skripsi penulis yang telah sabar dan terus memberikan arahan,
saran dan ilmunya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini
dengan sungguh-sungguh dan penuh kecintaan.
4. Bapak H. Ahmad Bisyri Abd Shomad, LC., MA. Sebagai dosen penasehat akademik
penulis yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu
penulis dalam merumuskan desain judul skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan
pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
6. Ibu Nanik selaku divisi bidang pengembangan penelitian di Badan Wakaf Indonesia,
yang selalu sabar memberikan arahan dan data yang berkaitan dengan penbulisan
skripsi ini.
7. Ustadz M. Faiz (Perwakilan Nazhir Pondok Pesantren Daarul Rahman) dan KH. M.
Nuruddin Munawwar (Pimpinan Nazhir masjid Hidayatul Musyawarah) yang telah
meluangkan waktunya kepada penulis unntuk melakukan wawancara guna
menambah data penulisan skripsi.
8. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Widji
Musta’in dan Hj. Khairiyah yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya,
memberikan dukungan secara formil dan materil dengan tak pernah jenuh dan tanpa
menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis
dalam menempuh pendidikan, serta saudara kandung penulis yang telah memberikan
vii
dukungan baik dukungan spiritual maupun moril dengan segenap hati yang tulus dan
ikhlas.
9. Bella Sartika Maulida, terimakasih banyak telah menjadi inspirasi dan partner yang
telah memberikan partisipasi dan motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini
dengan penuh suka dan kesabaran.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan Ivan Dimas Pratama, Fahmi Dzakky, Arya
Chairunnisa, Al-Ahsan Sakino, Izzat Muttaqin, Syamazka Dzakirni, Ismah Nur
Afiati. Yang telah memmberikan support selama berproses selama jadi mahasiswa di
UIN Syarief Hidayatullah.
11. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terimakasih telah
memberikan pengalaman berorganisasi.
Semog skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya
serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin.
Jakarta, 7 Februari 2018
21 Jumadil Awwal 1439 H
ADIB MUBAROKI
viii
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………....…..… xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 3
C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 4
E. Riview Kajian Terdahulu ............................................................... 5
F. Metode Penelitian........................................................................... 7
G. Sistematika Penulisan..................................................................... 9
BAB II : WAKAF DAN PERPINDAHAN HARTA WAKAF
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf ................................................... 11
1. Pengertian …………………………………………. ............. 11
2. Dasar Hukum Wakaf………....…………………………....... 14
3. Rukun dan Syarat Wakaf …………………………………... 15
x
4. Perubahan Harta Wakaf……………………………………... 25
B. Teori Keabadian Harta dan Fungsi Wakaf Dalam Istibdal Wakaf
1. Pengertian……………………………………………………. 27
2. Menurut Ulama Fikih………………………………………... 29
3. Menurut Perundang-undangan………………………………. 31
BAB III : PRAKTIK KONVERSI WAKAF DI PROVINSI DKI JAKARTA
A. Gambaran Umum Praktik Konversi Wakaf DI Indonesia dan
DKI Jakarta ................................................................................... 34
B. Faktor Penyebab Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta ...... 36
C. Proses Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta.................... .. 37
BAB IV : ANALISIS KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA
A. Hukum Menukar dan Merubah Fungsi Tanah Wakaf Dalam
Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif ............................... 42
B. Analisis Ketentuan Hukum Islam Terhadap Konversi Wakaf
yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta .…………………………. .. 56
C. Analisis Ketentuan Hukum Positif Terhadap Konversi Wakaf
yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta ............................................. . 62
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 66
B. Saran .............................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………....…………………. 72
1. Surat Penunjukkan Dosen Skripsi........................................................ 72
2. Surat Permohonan Wawancara............................................................ 74
3. Surat Pernyataan Wawancara………………………………………... 76
xi
4. Data Konversi Wakaf di DKI Jakarta.................................................... 78
5. Hasil Wawancara …………………………………………………….. 80
6. Dokumentasi wawancara……………………………………………... 84
12
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan
terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan
beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia
atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam
aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
بb
be
تt
te
ثts
te dan es
جj
Je
حh
ha dengan garis bawah
خkh
ka dan ha
دd
de
ذdz
de dan zet
رr
Er
زz
zet
xiii
سs
es
شsy
es dan ye
صs
es dengan garis bawah
ضd
de dengan garis bawah
طt
te dengan garis bawah
ظz
zet dengan garis bawah
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
غgh
ge dan ha
فf
ef
قq
Qo
كk
ka
لl
el
مm
em
نn
en
وw
we
هh
ha
ء
apostrop
xiv
يy
Ya
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah ــــــــــ
i kasrah ــــــــــ
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي___ ai
a dan i
و___ au
a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
xv
â ـــــاa dengan topi diatas
î ـــــىi dengan topi atas
û ـــــوu dengan topi diatas
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan
huruf alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
اإلجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
xvi
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسالمية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-
Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar
kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-
Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح احملظورات 1
xvii
al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah األصل يف األشياء اإلباحة 4
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wakaf merupakan salah satu ibadah yang dapat mencakup habl min Allâh
dan habl min al-nâs, yaitu ibadah yang selain berhubungan dengan Tuhan juga
berhubungan dengan sesama manusia, disamping sebagai salah satu aspek ajaran
Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan
pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Sepanjang sejarah Islam,
wakaf merupakan sarana dan modal yang sangat penting dalam memajukan
perkembangan agama. Menurut Rahmat Djatnika, tanah wakaf mempunyai fungsi
yang multidimensional dalam membantu kesejahteraan, perkembangan, dan
kemajuan masyarakat.1
Berkaitan dengan harta benda, tanah merupakan hal primer bagi sebagian
besar orang termasuk bagi masyarakat Indonesia. Tanah menempati kedudukan
penting dalam kehidupan mereka sehari-hari, terlebih bagi rakyat pedesaan yang
pekerjaan pokoknya bertani, berkebun atau berladang. Tanah merupakan tempat
bergantung hidup mereka. Sedangkan bagi masyarakat moderen, tanah merupakan
faktor produksi terpenting yang menjadi topik kajian serius para ahli ekonomi.2
Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia,
pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan Undang-Undang tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No. 5 Tahun 1960 yang disahkan
tanggal 24 September 1960. Sehubungan dengan hal tersebut, pasal 14 ayat (1)
huruf “b” UUPA menentukan bahwa pemerintah Indonesia dalam rangka
sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Dalam peruntukan seperti dimaksud di atas,
1 Rahmat Djatnika, Tanah Wakaf, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 31
2 Irfan Rafana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattâb,(Jakarta: Pustaka
Firdaus,1990),h.17.
2
termasuk untuk keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa.3
Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pada Pasal 215 ayat (1) dijelaskan
sebagai berikut: ”Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.4
Wakaf maknanya berhenti dari kepemilikan diri sendiri dan berpindah
kepada pemilik jagat raya, yaitu Allah SWT. Harta wakaf tidak boleh dijual,
dihibahkan dan diwariskan. Sebagaimana dalam pasal 40 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang perubahan status harta benda wakaf disebutkan bahwa :
“Harta benda yang sudah diwakafkan dilarang untuk : (a) dijadikan jaminan, (b)
disita, (c) dihibahkan, (d) dijual, (e) diwariskan, (f) ditukar, (g) dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya.”
Fenomena masyarakat sekarang banyak kasus harta wakaf dipindah
tangankan, dengan alasan demi kepentingan umum (al-maslahah al-„âmmah),
sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hanbal bahwa wakaf
tidak boleh melakuan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan
pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada orang lan, baik
dengan tukar menukar ataupun tidak. Sedangkan menurut imam Malik bahwa
pemilik harta wakaf menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan, tapi
membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, sedang harta itu tetap
milik wakif. 5
3 Ahmad Djunaedi dkk, Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan Perwakafan Tanah
Milik, (Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf Depag. RI, 1984/1985), h. 1
4 Pasal 215 angka 1 Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
(Yogyakarta: Graha Pustaka,), h. 205.
5 Tulus dkk, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf, Depag RI), h. 3
3
Banyak persoalan-persoalan yang timbul akibat dari dimensi sosial ini.
Salah satunya adalah masalah tukar guling tanah wakaf yang dalam istilah fikih
disebut al-istibdâl atau dalam hukum positif disebut ruilslag.6Al-Istibdâl diartikan
sebagai penukaran barang wakaf untuk ditukar barang lain sebagai wakaf
penggantinya. Ada yang mengartikan, bahwa al-Istibdâl adalah mengeluarkan
suatu barang dari status wakaf dan menggantikannya dengan barang lain.
Sedangkan menurut M. Abid Abdullah al-Kabisi, yang dimaksud dengan al-
Istibdâl adalah menjadikan barang lain sebagai pengganti barang wakaf asli yang
telah dijual.7
Oleh karena itu, dengan banyaknya polemik di masyarakat dalam praketek
perpindahan harta wakaf, penilitian ini peneliti akan menganalisis mengenai
hukum perpindahan harta wakaf, tentang kesesuaian pelaksanaan yang ada di
masyarakat dengan ketentuan hukum Islam dan undang-undang yang berlaku di
Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Potensi wakaf yang begitu besar saat ini, apa yang melatarbelakangi
terjadinya praktik tukar guling berdasarkan data di BWI ?
2. Kenapa pengelolaan dan pemberdayaan wakaf masih belum maksimal
sehingga masih jauh dari harapan untuk mensejahterakan umat ?
3. Bagaimana sebenarnya model pengelolaan wakaf produktif dengan
kerangka kerja yang profesional ? yang tidak bertentangan dengan konsep
hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
4. Bagaimana sebenarnya hukum konversi harta wakaf menurut jumhur
ulama ?
5. Apa dampak dari terjadinya koversi wakaf ?
6 Kata tukar guling dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut tukar lalu,
yang berarti bertukar barang dengan tidak menambah uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH.Per), tukar guling disebut dengan ruilslag yang berarti tukar guling yang didasarkan
atas persetujuan pemerintah. Dalam istilah fiqih disebut al-Istibdâl.
7 M. Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Jakarta: IIman Press, 2003), h. 349.
4
6. Bagaimana prosedur konversi wakaf yang sesuai dengan undang-undang
yang berlaku di Indonesia.
7. Di mana letak persamaan, perbedaan dan keterkaitan antara hukum Islam,
dengan hukum positif mengenai konversi wakaf?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Adanya batasan masalah dalam suatu penelitian sangatlah diperlukan agar
penelitian yang dilakukan lebih terfokus pada substansi persoalan yang akan
diteliti sehingga tujuan dari penelitian dapat terarah dengan baik. Oleh karena itu
batasan dalam penelitian ini ialah meneliti mengenai hukum Praktek Pertukaran
Harta Wakaf dalam presepektif fiqih jumhur dengan kesesuaian prosedur
keperdataan yang berlaku di Indonesia.
Mengingat kasus praktek ruislag yang ada di Indonesia ini banyak sekali,
karena itu peneliti mengambil sampel kasus yang berada di provinsi DKI Jakarta,
berdasrkan data yang ada di BWI dan Bimas Islam Kementerian Agama dari
tahun 2007 – 2016.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus dalam skripsi ini
adalah:
a. Apa faktor yang menyebabkan timbulnya konversi wakaf di DKI
Jakarta?
b. Bagaimana proses terjadinya konversi wakaf di DKI Jakarta?
c. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif dalam praktik
konversi wakaf di DKI Jakarta?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui permasalahan terjadinya koversi wakaf.
b. Untuk mengetahui tujuan dari terjadinya konversi wakaf.
c. Untuk mengetahui ketetentuan hukum yang terjadi pada konversi
tersebut.
5
2. Manfaat Penulisan
a. Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada penulis agar dapat
lebih memahami tentang permasalahan perpindahan wakaf.
b. Sebagai acuan pedoman mengelola wakaf, karena banyak terjadi di
masyarakat tentang konversi wakaf.
c. Hasi penelitian ini setidaknya bisa ikut andil dalam memperkaya kajian
keislaman tentang perpindahan wakaf.
E. Review Kajian Terdahulu
Review terhadap studi terahulu digunakan oleh penulis agar dapat
mengetahui tentang hal yang akan diteliti oleh penulis apakah sudah dibahas atau
belum dibahas sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelilitian
ini, penulis melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa
penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan
yang diteliti oleh penulis jika diteliti secara umum, namun jika ditelusuri
mendalam tentu ada perbedaan dari sudut pembahasan maupun substansi dalam
penelitan ini tentang Konvesri Wakaf Di DKI Jakarta (Perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif). Adapun penelitian terdahulu tersebut diantaranya :
1. Skripsi berjudul Pola Penyelesaian Sengketa di KUA Kecamatan
Cimanggis Kota Depok yang ditulis oleh Reynaldi Dzulkaidt.8 Dalam
penelitiannya, ia menjelaskan tentang pola dalam menyelesaikan
sengketa pada praktek pelaksanaan wakaf di KUA Kecamatan
Cimanggis Kota Depok.
2. Skripsi berjudul Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah
Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kabupaten Bekasi-Jawa
Barat) yang ditulis oleh Mochamad Awaludin Romdoni.9 Dalam
skripsi ini, awaludin menjelaskan tentang keabsahan praktik wakaf
yang terjadi di daerah Kertasari Kec.Pebayuran Kab. Bekasi.Yang
mana ada beberapa kendala praktik wakaf di daerah itu, hingga kini
8 Reynaldi Dzulkaidt, Pola Penyelesaian Senketa di KUA Kecamatan Cimanggis Kota
Depok, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Jakarta 2017.
9 Achmad Awaludin Romdoni, Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah
Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kabupaten Bekasi-Jawa Barat), Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta 2014.
6
belum bisa tersertifikasi tanah wakaf. Padahal menurut UU No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal 68 diwajibkan
untuk didaftarkan kepada pihak yang berwenang setelah dilakukan
ikrar wakaf didepan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf).
Masalah lain dari praktik wakaf di daerah Kertasari yaitu wakif dalam
hal ini H. M. Yasin juga turut serta menjadi nadzir (pengelola wakaf)
dalam yayasan Hidayatunnajah. Untuk itu dia menganalisis
kedudukan kedua masalah tersebut jika dilihat dari segi hukum Islam
(fiqh) dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
3. Skripsi berjudul “Pertukaran Tanah Wakaf Masjid Baiturrahim
Jerakah Kecamatan Tugu Semarang (Analisis Hukum Islam)” yang
ditulis oleh Sulistiyowati.10
Dalam penelitiannya, ia membahas
mengenai pertukaran tanah wakaf milik Masjid Baiturrahim Jerakah
kecamatan Tugu Kabupaten Semarang yang belum bersertifikat. Jadi,
penelitian ini hanya membahas mengenai pertukaran tanah wakaf
Masjid yang tidak bersertifikat ditinjau dan dianalisis menggunakan
Hukum Islam dan penelitian yang dilakukannya menggunakan metode
penelitian secara normatif.
4. Jurnal AL-AWQAF (Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam) Badan Wakaf
Indonesia. Dalam jurnal ini memaparkan beberapa tulisan tentang
wakaf dan Istibdâl wakaf. Prof. Dr. Suparman Ibrahim dalam
tulisannya yang berjudul Praktik Istibdal Harta Benda Wakaf Di
Indonesia, ia menguraikan sesuatu yang polemic dalam Istibdâl di
Indonesia. Tulisan ini juga diperkuat oleh Bey Sapta Utama yang
berjudul Optimalisasi Manfaat Wakaf dengan Istibdâl.Lebih Detil Bey
mengulas persoalan Istibdâl berdasarkan kasus-kasus yang pernah
masuk di Badan Wakaf Indonesia. Topik Istibdâl istibdal ini juga
dikupas berdasarkan sudut pandang fiqih dan perundang-udangan.
Pokok pembahasan ini dikemukakan oleh Dr. Anwar Ibrahim dan KH.
Hafidz Utsman keduanya menyoroti Istibdâl wakaf berdasarkan
logika hukum. Dan yang terakhir Istibdâl perspektif sosiologis yang
10
Sulistyowati, “Pertukaran Tanah Wakaf Masjid Baiturrahim Jerakah Kecamatan Tugu
Semarang (Analisis Hukum Islam)” IAIN Walisongo, Semarang 2006.
7
dikemukakan oleh Dr. Amelia Fauzia, mengupas persoalan ini dengan
merefleksikan beberapa kasus yang berujung kontoversi dan konflik.
Dari beberapa penelitian di atas, penulis belum melihat ada yang
membahas secara signifikan tentang tinjauan hukum Islam dan hukum positif
mengenai perpindahan harta wakaf, dengan menggunakan penelitian lapangan.
Karena itu penulis anggap penting terhadap penelitian tersebut sebagai barometer
dalam penerapan hukum tentang praktek perpindahan harta wakaf di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Untuk mengetahui penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian
yang disebut metodelogi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan
penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa
sampai dengan menyusun laporan.11
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam
penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitia ini penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu
suatu pendekatan yang dimaksud untuk menjelaskan masalah yang diteliti dengan
hasil penelitian yang diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukum dan
melihat kehidupan kenyataan yang berkembang di masyarakat.12
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala
lainnya.13
Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang
baik, jelas dan dapat memberikan data yang seteliti mungkin tentang obyek yang
diteliti. Dalam hal ini untuk mendekripsikan tentang konversi wakaf yang terjadi
di DKI Jakarta. Dari keterangan tersebut peneliti menggunakan field reaserch
yaitu penelitian lapangan.
11
Cholid Narbuko, Metode Penelitian, (Bumi Pustaka, Jakarta, 1997), h. 60.
12
Hilman Hadi Kusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
(Mandar Maju, Bandung, 1995), Cet. Pertama, h. 63
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Pres, Jakarta, 1998), h. 58
8
3. Lokasi Penelitian
Berdasarkan Sesuai data yang dilansir di Badan Wakaf Indonnesia, bahwa Di
DKI Jakarta banyak dan beragam praktik konversi atau perpindahan harta benda
wakaf. Oleh karena itu penulis mengambil dua sampel, yang pertama berdasarkan
pembahasan yang di perdebatkan, yaitu tentang konversi harta benda wakaf secara
umum, dan konversi wakaf masjid. Kedua, berdasarkan yang paling besar
terhadap dampak sosial atau perkembangan harta benda wakaf tersebut setelah di
ruislag, diantaranya:
a. Pondok Pesantren Daarul Rahman yang asal wakaf bertempat di Jl.
Senopati Dalam II No. 35 A, Keb. Baru, Jakarta Selatan. Kemudian
dikonversi ke Jl. Purwaraya RT 006 RW 03 Kel. Cipedak Kec. Jagakarsa
Kota Administrasi Jaakarta Selatan
b. Masjid Hidayatul Musyawaroh beralamat di Jl. Kayumanis Gg. AMD 28,
RT 003/RW 005, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramatjati,
Condet, Jakarta Timur. yang merupakan perpaduan dana wakaf masjid Al-
Hidayah yang beralamat di daerah tersebut, dan masjid Al- Musyawaroh
yang beralamat di daerah Mangga Dua Jakarta Pusat, yang kemudian di
pindah ke Condet Jakarta Timur sehingga menjadi masjid Hidayatul
Musyawaroh.
4. Sumber Data
Sumber data yang terkait dengan skripsi ini yakni :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti.14
Data primer ini diperoleh melalui wawancara kepada wakif, nazir, dan tokoh
masyarakat setempat.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka
yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori. Dalam hal ini data yang
diambil yakni dari buku-buku literatur dan karya ilmiah yang sesuai dengan
hukum menukar dan merubah fungsi tanah wakaf.
5. Metode Pengumpulan Data
14
Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, Cet Ke-I 2004),
h. 57
9
a. Penelitian Lapangan
Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke lokasi
penelitian dengan cara wawancara. Adalah suatu bentuk komunikasi
verbal merupakan percakapan untuk memperoleh informasi.15
Disini penulis mengumpulkan data dengan cara mengadakan Wawancara
secara langsung dengan nazhir pondok pesantren Daarul Rahman, dan
Masjid Hidayatul Musyawarah.
b. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara mencari,
menghimpun, dan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang ada relevansinya dengan obyek yang diteliti, dengan cara
menelaah atau memmbaca buku-buku literature fikih, perundang-
undangan, Al-Quran, Al- Hadits, maupun kumpulan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dibahas.
6. Metode Analisis Data
Analisis data adalah upaya mencari dan menata secara sistematis atau hasil
wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus
yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.16
Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul, tahap selanjutnya yang
dilakukan adalah proses analisis data, yang dalam hal ini menggunakan metode
Analisis Deskriptif Kualitatif yaitu peneletian yang bermaksud untuk membuat
pemaparan atau deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam
hal ini penulis bermaksud memaparkan fenonema-fenomena dan fakta-fakta yang
ada dari kasus yang akan diteliti, lalu disandingkann dengan teori untuk kemudian
diambil kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline
dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas teurai dalam penjelasan berikut:
15 S. Nasution, Metode Research, (Bumi Aksara, Jakarta, 2001), h. 71.
16
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi 3, (Yogyakarta: Rake
Sarasin,1996), Cet. ke-7, h. 142
10
BAB I Penulisan memaparkan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, review studi terdahulu,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Dalam bab ini, agar faham terlebih dahulu terhadap teori, penulis
menguraikan dan menjelaskan tinjauan umum tentang wakaf , yang di dalamnya
berisi tentang pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, ketentuan-ketentuan syarat
dan rukun wakaf, serta mengenai teori keabadian harta dan fungsi wakaf dalam
istibdal wakaf menurut fikih, dan perundang-undangan yang ada di Indonesia
yang menjadi dasar sebab terjadinya berbeda pendapat.
BAB III Pada bab ketiga ini, merupakan pokok inti permasalahan yang
membahas tentang metode penelitian ilmiah dengan langkah-langkah tertentu
mulai dari pengumpulan data sampai menarik kesimpulan terhadap data-data yang
sudah ada, meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber
data, metode pengumpulan data, metode pengolahan dan analisis data yang akan
digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis penelitian terkait dengan
konversi wakaf yang terjadi di DKI Jakarta.
BAB IV berisikan analisis tentang praktik pertukaran wakaf di DKI Jakarta
dengan ketentuan hukum Islam, pendapat ulama yang rojih dan hukum positif
agar cocok untuk di praktekan di Indonesia.
BAB V merupakan penutup dari penelitian, yang berisi kesimpulan, saran-saran
dan penutup. Dalam Bab ini penulis hendak menyimpulkan hasil-hasil penelitian
yang diperoleh sebagai jawaban atas rumusan pokok masalah.
11
BAB II
WAKAF DAN PERPINDAHAN HARTA WAKAF
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf
Wakaf merupakan sebuah pranata yang berasal dari hukum Islam. Oleh
karena itu apabila berbicara tentang masalah perwakafan, tidak mungkin lepas
dari pembicaraan wakaf dalam konsepsi hukum Islam. Akan tetapi, dala hukum
islam tidak hanya mempunyai konsep tunggal tentang wakaf, karena apabila
mendalami tentang wakaf, akan dihadapkan pada pendapat yang beragam.1 Untuk
itu sebagian pendapat akan penulis angkat dalam skripsi ini, dengan mengawali
dengan pengertian wakaf.
1. Pengertian Wakaf
Secara bahasa Kata wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa dari kata: يقف - وقفا
.yang artinya ialah berhenti atau menahan الحبس bersinonim dengan kata وقف –2
Dalam peristilahan syara‟ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal (tahbis al-
ashli) lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbis al-ashli
adalah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan sejenisnya.
Istilah wakaf ini mempunyai mempunyai beragam pengertian. Berikut ini
uraian perbedaan-perbedaan itu :
a. Hanafiyah
Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanafiyah mempunyai definisi
wakaf adalah :
1 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, Cet, Ke-4, (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1994), h, 15.
2 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Cet. Ke-14,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1576
12
نع ال س ب ح و ل و ةنع ف ن م ال بنقند ص الت و فناقنو ال كنل منال منك ىح ل ع ي فن ةنل م ا3
Artinya : menahan „ain (suatu harta) dengan hukum tetap sebagai milik pemberi
wakaf, dengan menyedekahkan manfaatnya walau hanya sebagian.
Dengan arti mudahnya yaitu menahan benda yang statusnya tetap milik
wakif (orang yang mewakafkan), sedangkan yang disedekahkan yaitu manfaatnya.
Definisi versi Abu Hanifah ini terkenal kontroversial di tengah jumhur ulama,
karena menurutnya harta yang sah di wakafkan itu tetap masih menjadi milik yang
memberi wakaf.
b. Malikiyah
Menurutnya wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik
berupa sewa atau hasilnya, untuk diserahkan orang yang berhak, dengan
penyerahan berjangka waktu sesuai dengan kehendak wakif.4
c. Syafi‟iyah
Para ulama Syafi‟iyah mendefinisikan wakaf sebagai :
فنر ص الت عنط ق بنوننني ع اءنق ب ع م ونبناع ف تنن النن كني ال م س ب ح د و ج و م اح ب م ف رنص ىم ل ع و تنب ق ر فن5
Artinya : Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya bersama keabadian „ain-
nya (suatu hartanya), untuk di salurkan pada hal-hal yang mubah dan
ada.
d. Hanabilah
Menurutnya wakaf adalah menahan kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang bermanfaat disertai dengan kekalan dzat benda
3 Muhammad Azam Abdul Aziz, Al-Fiqh al-Mu‟amalat, Juz 1 (Kairo: Maktabah al-
Risalah al-Dauliyah, 1997),h. 209.
4 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,
Hambali. (Terj), (Jakarta: PT Lentera Basritama. 2001), h. 51
5 Muhammad Azam Abdul Aziz, Al-Fiqh al-Mu‟amalat, h. 208.
13
serta memutus semua hak wewenang atas benda itu, sedangkan manfaatnya
dipergunakan dalam hal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.6
e. UU Nomor 41 Tahun 2004
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagia harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut
syariah.7
f. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya selama-
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya yang sesuai
dengan ajaran Islam.8
g. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
harta bendanya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.9
Dari beberapa definisi wakaf di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf
adalah memberikan harta milik pribadi bertujuan untuk memberikan manfaat atau
faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai
6 Ali Fikri, al-Mu‟amalah al-madiyah wa al-Adabiyah, vol.2 (Mesir: Mustafa al-
Halabi,1938), h. 312
7 Pasal 1 Ayat (1) UU RI Nomor 41 Tahun 2004. Tentang wakaf
8 Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006. Tentang
pelaksanaan UU Nomor 41 tentang wakaf.
9 Pasal 215 angka 1 Undang-undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
(Yogyakarta: Graha Pustaka,), h. 205.
14
dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan
pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan
ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
2. Dasar Hukum Wakaf
Secara umum, ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf tidak
terlihat secara jelas. Adapun dasar utama disyariatkannya wakaf lebih dipahami
berdasarkan pemahaman konteks ayat al-Quran itu sendiri, yaitu wakaf
merupakan sebuah amal kebajikan.10
Para ulama dalam menerangkan konsep
wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan
tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain :
ت ي و ل ال ر ضن منن ن ال ك م ر ج و من اأ خ ب ت م ك س م ا ط يب اتن آم ن واأ ن فنق وامنن منن و ي اأ ي ه اال ذنين بني م م واا
ح نيد ت غ منض وافنيونو اع ل م واأ ن الل و غ نن أ ن ذنيونإنل ت م بنآخن ت ن فنق ون و ل س
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (QS. Al-Baqarah:267)
ش ت ن فنق وامن ات نب ون و م ات ن فنق وامنن ت ن ال واال بن ح ت ء ف إنن الل و بنونع لنيم ل ن ي
Artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”.(QS.Ali Imran:92)
Ayat-ayat Al-quran diatas di atas mengandung perintah secara umum agar
kaum muslim tidak hanya menjalin hubungan baik dengan Allah melalui kegiatan
10
Achmad Djunaidi dan Thobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz
Publishing, 2008), cet. Ke- 5, h. 66
15
ibadah mahdah saja, akan tetapi diperintahkan juga untuk dapat menjalin
hubungan baik dengan Allah melalui kegiatan sosial seperti menjalin hubungan
baik dengan sesama. Menurut ulama ahli fiqih ayat-ayat tersebut dijadikan
landasan hukum wakaf karena perintah untuk berbuat kebaikan mengandung
petunjuk umum, termasuk didalamnya melaksanakan amal wakaf.
Adapun hadits yang menjadi dasar hukum wakaf yaitu hadits yang
mencereitakan tentang kisah Umar bin Khattab menerima tanah di Khaibar, yaitu:
ف أ ت ىالن بن أ ر ضابن ي ب ر أ ص اب ط ابن ا ب ن ع م ر الل و ع ن ه م اأ ن ي ر ضن ع م ر اب نن ص ل ىالل و ع ل ي ونع ن
أ ن ف م الق ط ل أ صنب أ ر ضابن ي ب ر أ ص ب ت إنن الل ون ي ار س ول ت أ منر ه فنيه اف ق ال ي س ن و و س ل م عنن دن من س
ف ت ص بن اق ال ل ه او ت ص د ق ت أ ص ح ب س ت ئ ت شن إنن بنونق ال ف م ات أ م ر ي وى ب ي ب اع و ل أ ن و ل بن اع م ر د ق
و الس بنيلن و اب نن الل ون بنيلن س و فن الرق ابن و فن ال ق ر ب و فن ال ف ق ر اءن بن افن و ت ص د ق ي ور ث )رواه الض ي فنو ل 11البخار (
Artinya: Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki
sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk
konsultasi tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya
mempunyai sebidang tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum
pernah saya miliki selama hidup saya. Lantas, bagaimana menurut
Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu berkenan, silakan dirawat pokok
(bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon tersebut.” Kemudian Ibn
Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan sebagaiman saran
Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya, bibitnya tidak dijual,
tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya
ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para budak, para pejuang di
jalan Allah, para ibn sabil, serta tamu. (HR. Bukhari).
3. Rukun dan Syarat Wakaf
Wakaf dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya.
Hal ini sangat penting, karena tanpa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, maka
wakaf tidak akan terwujud. Dengan perkataan lain wakaf sebagai suatu lembaga
pasti memiliki unsur-unsur pembentuknya. Tanpa unsur itu wakaf tidak dapat
11
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-
Najah, 1422 H.), juz 3, h. 199
16
berdiri. Unsur-unsur pembentuk wakaf sekaligus merupakan rukun dan syarat
wakaf.
Agar tidak terhindar salah pengertian serta memperjelas pemahaman
syarat dan rukun wakaf, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan pengertian
syarat dan rukun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah sesuatu
yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,12
sedangkan syarat adalah
ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dilakukan.13
Dengan kata lain Rukun
adalah unsur/ bagian dari ibadah tersebut yang harus di kerjakan didalamnya,
sedangkan Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi sebelum melakukan ibadah.
a. Rukun Wakaf
Dalam Islam, wakaf dianggap sah jika wakaf itu telah dilaksanakan
dengan memenuhi syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam hukum Islam. Adapun rukun wakaf menurut fuqoha ada 4, yaitu:
1) Wakif (orang yang berwakaf)
2) Mauquf bih (harta yang diwakafkan)
3) Mauquf alaih (peruntukan wakaf)
4) Sighat (ikrar wakaf)14
Namun, UU Nomor 41/2004 pada pasal 6 menambahi rukun wakaf dengan:15
5) Nadzir (Pengelola Wakaf); dan
6) Jangka waktu wakaf
b. Syarat Wakaf
Rukun-rukun wakaf yang dikemukakan di atas masing-masing harus
memenuhi syarat. Adapun syarat-syaratnya dari tiap-tiap rukun wakaf adalah
sebagai berikut:
12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2004), h. 966.
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2004), h. 1114
14
Muhammad Salam Madkur, al-waqf (Beirut : Dar Al-Nahdah al-'Arabiyyah,1961),
h.187 15
Hadi Setya Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, h. 2
17
1) Wakif (Orang yang berwakaf)
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Suatu
perwakafan dapat dikatakan sah dan dapat dilaksanakan apabila wakif mempunyai
kecakapan untuk melakukan tabarru‟ yaitu melepaskan hak milik dari hartanya
tanpa mengharapkan imbalan.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam memberikan syarat bagi wakif.
Perbedaan tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut;
a) Menurut Hanafiyah wakif disyaratkan harus memiliki kecakapan tabarru‟,
yaitu merdeka, dewasa, dan berakal. Oleh karena itu, wakaf yang
dilakukan anak kecil, orrang gila, dan orang idiot batal (tidak sah). Sebab
mereka termasuk dalam kategori orang tidak cakap tabarru‟.16
b) Menurut Malikiyah wakif disyaratkan harus dewasa, berakal, rela, sehat,
tidak berada dibawah pengampuan, dan sebagai pemilik dari harta yang
diwakafkan.
c) Menurut Syafi‟iyah wakif harus orang yang cakap tabarru‟. Karena itu
tidak sah wakaf anak kecil, orang gila, orang bodoh dan budak mukatabah.
d) Menurut Hanabilah syarat wakif ada tiga.Pertama, pemilik harta. Karena
itu tidak sah wakaf orang yang mewakafkan hak milik orang lain. Kedua,
diperbolehkan membelanjakan hartanya. Karenanya, tidak sah wakafnya
orang yang berada di bawah pengampuan dan orang gila. Ketiga, orang
yang mengatasnamakan orang lain, seperti jadi wakil orang lain.17
Dari beberapa pendapat fuqaha di atas dapat disumpulkan bahwa wakif harus
mukallaf, dan harta yang diwakafkan milik sendiri,
Adapun menurut UU No. 41 Tahun 2004, syarat-syarat wakif adalah:
a) Dewasa
b) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
c) Berakal sehat
16
Ali Fikri, Al-Mu‟amalah al-Madiyah wa al-„Adabiyah, vol. 2 (Mesir: Mustasfa Al-Babi
al-Halabi, 1938), h. 301
17
Ali Fikri, Al-Mu‟amalah al-Madiyah wa al-„Adabiyah, vol. 2, h. 313
18
d) Pemilik sah harta benda wakaf.18
Wakaf tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila, idiot (lemah mental),
berubah akal karena usia, sakit atau kecelakaan.
2) Mauquf bih (harta yang diwakafkan)
Benda wakaf adalah segala benda baik itu benda bergerak atau benda tidak
bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai
menurut ajaran Islam.19
Harta benda wakaf terdiri dari: benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Benda tidak bergerak meliputi:
a) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
b) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf a
c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
d) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
e) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda yang tidak
bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a) Uang
b) Logam mulia
c) Surat berharga
d) Kendaraan
e) Hak atas kekayaan intelektual
f) Hak sewa
g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
18
Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004, Pasal 8. Tentang Wakaf.
19
Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, h. 305
19
Adapun syarat harta wakaf yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
a) Harta wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak habis sekali
pakai ;
Mayoritas ulama berpendapat, harta yang diwakafkan itu sifat zatnya
kekal, atau tahan lama, tidak cepat habis seperti perlengkapan atau makanan.
Jika diperhatikan, barangkali itu sebaabnya contoh contoh yang terjadi pada
masa rasul, umumnya benda yang tahan lama, dan kekal zatnya.20
Jadi, semua barang yang dapat diperjualbelikan dapat diwakafkan
tanpa menghabiskan barangnya. Artinya, tidak sah wakaf jika benda itu tidak
dapat diambil manfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti emas, perak,
dan makanan. Oleh sebab itu mafhum mukholafahnya, benda yang dilarang
untuk diperjualbelikan seperti barang haram. Dan barang yang cepat habis
kalau dimanfaatkan atau cepat rusak, maka tidak sah benda tersebut dijadikan
wakaf.21
b) Harta wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum22
c) Harta wakaf merupakan harta dengan kepemilikan sempurna. Ia terbebas
dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa; Sebagaimana
dikatakan Wahbah Zuhaili;
حنفناقنو ل النكو ل م ف و ق و م ال ن و ك ي ن أ 23 اام ات كل منونفنق و ي
Artinya: “Hendaknya harta wakaf itu milik wakif secara sempurna
(tanpa ada pembebanan pada saat mewakafkannya)”.
d) Harta yang sudah diwakafkan itu tidak dapat diperjual belikan,
dihibahkan, atau dipergunakan selain wakaf. Sebagaimana dikatan Sayyid
Sabiq :
ي ش أ بنوني فنف ر ص الت ل و و ت ب ىنل و و ع ي ب ز و ي ل و ن إنف ف ق و ال م زنال ذ إنو و ت ي فنق و ل ي زني ء
24
20
Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: (Ciputat Press,2005) h.20
21
Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 20
22
Abdul Hakim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 21
23 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatu, Juz VIII, (Beirut: Dar-Alfikr) h. 185
20
Artinya : “Aabila wakaf telah tetap (mempunyai kekuatan hukum)
maka tidak boleh menjualnya, menghibahkannya, dan tindakan tindakan lain
yang menghilangkan sifat wakafnya”.
3) Mauquf „Alaih (Tujuan Wakaf)
Yang dimaksud mauquf alaih adalah tujuan wakaf atau peruntukan wakaf
yang harus digunakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran
Islam. Karena itu benda-benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf harus benda-
benda yang tujuannya mendekatkan diri kepada Allah SWT.25
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 pasal 22 menyebutkan
bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya
diperuntukkan bagi:
a) Sarana dan kegiatan ibadah
b) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
d) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.26
4) Shigat (Ikrar)
Ikrar wakaf ialah pernyataan kehendak wakif yang dinyatakan secara lisan
dan/ atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda miliknya.27
Ikrar
wakaf cukup di ucapkan saja dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf
„alaih, sebagaimana dinyatakan oleh Zakariyya Al-Anshori, dalam kitab fath Al-
Wahhab.
24 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Jakarta: Pena Pundi Perkasa, 2006), h. 552
25
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 241
26
Undang-undang Repiblik Indonesia No. 41 Tahun 2004, Pasal 22 Tentang Wakaf.
27
Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual dari Normative ke Pemahaman Sosial, (Semarang:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 323.
21
ع م ن منو ل )و ط ر ت ش ي ل (ف ل و ب ق )ل ة ب ر ق و ن أ ل أ ر ظ ن (ي 28
Artinya : “Maka tidak disyaratkan adanya qobul, walaupun dari
sesuatu yang nyata jelasnya, karena sesungguhnya wakaf adalah
ibadah untuk mendekatkan diri kepda Allah”.
Pernyataan tersebut menunjukkan, bahwa ikrar wakaf tindakan hukum
yang bersifat deklaratif (sepihak). Untuk itu, tidaka diperlukan adanya qobul dari
orang yang menerima harta wakaf. Karena fungsi dari wakaf adalah ibadah
kepada Allah SWT.
Para fuqaha telah menyaratkan shighat (ikrar) sebagai berikut :
a. Shighat harus mengandung pernyataan bahwa wakaf itu bersifat kekal
(ta`bid). Untuk itu wakaf yang dibatasi waktunya tidak sah. Lain
halnya mazhab maliki yang tidak mensyaratkan ta‟bid sebagai syarat
sah wakaf.29
b. Shighat harus mengandung kepastian, dalam arti suatu wakaf tidak
boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih.
c. Shighat tidak boleh dibarengi dengan syarat yang meambatalkan,
seperti mensyaratkan barang terebut untuk keperluan maksiat.
5) Nazhir (orang yang mengelola benda wakaf)
Nazhir adalah orang yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf. Dalam
undang-undang R.I. No. 41 tahun 2004 pasal 1 nadzir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai
dengan peruntukannya.
Pada umumnya nazhir wakaf tidak disebutkan sebagai salah satu rukun
wakaf dalam kitab-kitab fiqih. Namun setelah memperhatikan tujuan wakaf
adalah ingin melestarikan manfaat dari hasil wakaf, maka keberadaan nadzir
diperlukan, karena membutuhkan peran untuk mengembangkan, mengelola dan
memelihara harta wakaf.
28 Abu Yahya Zakariya Al-Anshori, Fath Al-Wahhab, Juz 1, (Semarang: Toha Putra.
T.th), h. 257.
29 Wahbah Zuhaili, Al- Fiqh Al- Islami Wa Adillatuh, h. 196.
22
Nazhir terdiri atas nazhir perorangan, nazhir organisasi, dan nazhir badan
hukum. Adapun syarat nadzir perorangan adalah adalah:30
a) Warga Negara Indonesia
b) Beragama Islam
c) Dewasa
d) Amanah
e) Mampu secara jasmani dan rokhani
f) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Syarat nazhir organisasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan dalam nadzir
perseorangan
b) Organisasi bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan
keagamaan islam
c) Salah seorang pengurusnya harus berdomisili di Kabupaten / Kota
letak benda wakaf berada.
d) Memiliki:
(1) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasarnya
(2) Daftar susunan pengurus
(3) Anggaran Rumah Tangga
(4) Program kerja dalam pengembangan wakaf
(5) Daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari
kekayaan lain atau merupakan kekayaan organisasi
(6) Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
Persyaratan nazhir badan hukum harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) Memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
b) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
c) Badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan,dan keagamaan islam
d) Terdaftar pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia
30
Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 10
23
e) Salah seorang pengurus harus berdomisili di Kabupaten / Kota letak
benda wakaf berada
f) Memiliki:
(1) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan
hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang
(2) Daftar susunan pengurus
(3) Anggaran Rumah Tangga
(4) Program kerja dalam pengembangan wakaf
(5) Daftar terpisah kekayaan yang berasa dari harta wakaf atau yang
merupakan kekayaan badan hukum
(6) Surat pernyataan bersedia diaudit.
Selanjutnya jika nazhir berbentuk badan hukum, maka harus badan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta mempunyai perwakilan di
kecamatan tempat letak tanahnya yang diwakafkan. Nazhir harus didaftar pada
KUA setempat untuk mendapatkan pengesahan.31
Baik nazhir perorangan maupun badan hukum, sama-sama harus
didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar
saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
Dan harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi. Baik nadzir
perorangan maupun badan hukum, sama-sama harus didaftarkan pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan
Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan. Dan harus
mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.32
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 200 nazhir mempunyai
kewajiban, yaitu:
31
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 353-354
32
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
68
24
a) Mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya,
dan pelaksaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
b) Membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud di atas kepada Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Camat setempat sesuai dengan
tata cara yang ditetapkan dalam Menteri Agama.
Dengan demikian nazhir merupakan hal yang pokok dalam mengelola dan
mengembangkan harta wakaf di Indonesia berdasarkan ketentuan undang-undang
dan peraturan pemerintah yang berlaku.
6) Jangka Waktu
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam syarat keabadian waktu
dalam wakaf. Pada satu sisi mencantumkan sebagai syarat, dan pada sisi lain tidak
mencantumkan sebagai syarat. Artinya diantara ulama mazhab ada yang
memperbolehkan wakaf muaqqot (wakaf untuk jangka waktu) dan ada juga yang
tidak membolehkan wakaf muaqqot.
Satu sisi para ulama mazhab kecuali Maliki berpendapat, bahwa wakaf
tidak terwujud kecuali bila orang yang mewakafkan barangnya untuk selama-
lamanya dan terus menerus. Itu pula sebabnya maka wakaf disebut shodaqah
jariyah.33
Pada sisi lain mazhab maliki mengatakan, wakaf tidak disyaratkan
berlaku untuk selamanya, akan tetapi sah jika berlaku untuk satu tahun misalnya
sesudah itu harta wakaf kembali kepada wakif.34
Di Indonesia, syarat permanent (kekal) sempat dicantumkan dalam KHI
pasal 215, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.35
33
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala Mal-Madzahib al-Khamsah, Terj.
Masykur, et al., “Fiqih Lima Mazhab”, Cet. Ke-5. (Jakarta: Lentera, 2000), h. 635-636.
34
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala Mal-Madzahib al-Khamsah, h. 636.
35
Depag, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1999), h. 99.
25
Namun syarat itu berubah seiring dengan ditetapkan nya UU Nomor
41/2004 pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/ atau memisahkan sebagian harta benda miliknya,
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
kepentingan nya guna keperluan ibadah dan/ kesejahteraan umum menurut
syariah.36
Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan teori keabadian harta
wakaf dan teori keabadian fungsi wakaf pada sub bab berikutnya.
4. Perubahan Harta Wakaf
Perubahan yang dimaksud disini mempunnyai tiga jenis perubahan, yaitu
perubaha dzat harta wakaf, perubahan status harta wakaf, dan perubahan fungsi
harta wakaf. Sebagaimana telah dikemukakan bagian sebelumnya bahwa
perwakafan bertujuan untuk memanfaatkan sesuatu baik untuk kepentingan
ibadah maupun sosial. Dan disyaratkan agar harta yang diwakafkan haruslah
benda yang mempunyai nilai manfaat dan sifatnya kekal. Akan tetapi jika melihat
realita yang ada bahwa tidak semua dari benda yang diwakafkan itu kekal
dzatnya, contohnya saja kayu untuk bangunan masjid, jendela, atau perlengkapan
bangunan lainnya yang dimungkinkan akan kerusakannya suatu saat yang akan
datang. Ataupun status dan fungsi harta wakaf itu sangat dimungkinkan akan
mengalami perubahan, sehingga manfaat harta wakaf itu tidak dapat dirasakan dan
tidak dapat berkembang.
Jika harta wakaf mengalami perubahan dzat, status atau fungsinya, maka
Rasulullah SAW membatasi dalam mengatasi masalah tersebut. Sebagaimana
yang disebut dalam hadits Ibnu Umar, bahwa wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh
dihibahkan dan tidak boleh didiwariskan.37
ص ل ى ف أ ت ىالن بن أ ر ضابن ي ب ر أ ص اب ط ابن ا ب ن ع م ر الل و ع ن ه م اأ ن ي ر ضن ع م ر اب نن الل و ع ل ي ونع ن ل أ صن أ ر ضابن ي ب ر أ ص ب ت إنن الل ون ي ار س ول ت أ منر ه فنيه اف ق ال ي س ن و و س ل م عنن دن من أ ن ف س م الق ط ب
36
Hadi Setya Tunggal, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf, h. 6
37
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
55
26
ي ب ا أ ن و ل بن اع م ر ف ت ص د ق بن اق ال ل ه او ت ص د ق ت أ ص ح ب س ت ئ ت شن إنن بنونق ال ف م ات أ م ر ي وى ب ع و ل ال و فن ال ق ر ب و فن ال ف ق ر اءن بن افن و ت ص د ق ي ور ث الل ونو ل بنيلن س و فن و الض ي فنرق ابن الس بنيلن )رواه و اب نن
38البخار (
Artinya: “Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki
sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk
konsultasi tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya
mempunyai sebidang tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum pernah saya miliki selama hidup saya. Lantas, bagaimana
menurut Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu berkenan, silakan
dirawat pokok (bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon tersebut.”
Kemudian Ibn Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan
sebagaiman saran Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya,
bibitnya tidak dijual, tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan.
Ia menyedekahkannya ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para
budak, para pejuang di jalan Allah, para ibn sabil, serta tamu.” (HR.
Bukhari).
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa benda asal atau pokoknya tidak
boleh dijual, tidak boleh diberikan dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Akan
tetapi, apabila suatu saat benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya, atau sudah
berkurang manfaatnya, kecuali dengan ada perubahan pada benda wakaf tersebut,
seperti menjual, merubah bentuk atau sifat, memindahkan ke tempat lain, atau
menukar dengan benda lain, bolehkah perubahan itu dilakukan terhadap benda
wakaf tersebut, mengingat pentingnya menjaga amanat wakif dan sisi manfaat
harta wakaf tersebut.
Dalam pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004. Harta benda wakaf yang sudah
diwakafkan dilarang:
a. Dijadikan jaminan
b. Disita
c. Dihibahkan
d. Dijual
e. Diwariskan
f. Ditukar, atau 38
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-Najah,
1422 H.), juz 3, h. 199
27
g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Namun apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan syariah dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari
Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang sudah
diubah statusnya karena adanya pengecualian tersebut, maka wajib ditukar dengan
harta benda yang mempunyai manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama
dengan harta benda wakaf semula.39
Perubahan status dan penggunaan tanah wakaf terebut harus segera
dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati atau Walikota sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 pasal 11.
Dalam PP No. 42 tahun 2006 juga menyatakan bahwa pada dasarnya tidak
dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan tanah wakaf. Tetapi
sebagai pengecualian, dalam keadaan kasus tertentu dapat dilakukan dengan
persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yang alasannya meliputi:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif.
b. Karena untuk kepentingan umum.40
Dengan demikian jika harta wakaf yang mengalami perubahan dzat, status,
dan fungsi maka harus diselesaikan dengan baik dan benar sesuai ketentuan fikih
dan peraturan yang ada di Indonesia.
B. Teori Keabadian Harta dan Fungsi Dalam Istibdal Wakaf
1. Pengertian
Keabadian berasal dari kata “Abadi” yang berarti kekal atau tidak
berkesudahan, sedangkan kata “Harta” diartikan sebagai barang atau sesuatu yang
39
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 386
40
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:
CV Rajawali, 1989), h. 25
28
berwujud. Dan kata “Fungsi” disini berati kegunaan suatu hal.41
Jadi yang
dimaksud keabadian harta adalah dzat harta yang kekal, sedangkan keabadian
fungsi adalah kegunaan terhadap harta yang kekal.
Istibdal dalam bahasa Indonesia disebut Tukar Guling. Kata tukar guling
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut tukar lalu, yang berarti
bertukar barang dengan tidak menambah uang.42
Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH.Per), tukar guling disebut dengan ruilslag yang berarti
tukar guling yang didasarkan atas persetujuan pemerintah.
Dalam KUH.Per. sebagaimana pasal 1541 kata tukar guling mempunyai
arti suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk
saling memberi suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya atas suatu
barang.
Tukar guling wakaf biasa disebut juga tukar menukar harta wakaf atau
konversi harta wakaf. Dalam istilah fikih disebut “istibdal” atau “ibdal”. Al-
istibdal diartikan sebagai penjualan barang wakaf, untuk dibelikan barang lain
sebagai wakaf penggantinya. Ada yang mengartikan bahwa, al-istibdal adalah
mengeluarkan suatu barang dari status wakaf dan menggantikannya dengan
barang lain. Sedangkan al-ibdal diartikan sebagai penggantian barang wakaf
dengan barang wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya ataupun tidak, seperti
menukar tanah pertanian dengan tanah untuk bangunan. Ada juga yang
mengatakan sama anatara al-istibdal dengan al-ibdal.43
Prinsip wakaf sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW ketika
memberikan arahan kepada Umar bin Khattab RA, yang ingin menyerahkan
sebidang tanahnya di Khaibar untuk kepentingan sabilillah, beliau bersabda yang
artinya tahanlah barang pokoknya dan sedekahkan hasilnya. Dari kutipan
pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut, ada dua prinsip yang membingkai
tasyri‟ wakaf, yakni:
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi ketiga h. 175
42
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi ketiga h. 1217
43
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, (Cairo: Matba‟ah Ali Mukhaymir,
1959), h. 150
29
a. Prinsip keabadian (ta`bid al-Ashli)
b. Memelihara kemanfaatan (tahbis al-Manfa‟ah)
Kedua prinsip tersebut yang menjadikan alasan dasar perbedaan pendapat ulama
fikih dalam menyikapi hukum istibdal harta wakaf.
2. Menurut Ulama Fikih
Dalam masalah istibdal harta benda wakaf, sebenarnya para ulama fiqih
dari empat mazhab telah membahasnya, Mereka mereka memang berbeda
pendapat dalam menghukumi boleh atau tidaknya. Diantara mereka ada yang
memperbolehkannya karena saran dari wakif, atau karena alasan hasil dari istibdal
ini lebih banyak manfaatnya.44
Berikut secara ringkas uraian mazhab fikih tentang
teori keabadian harta dan fungsi dalam istibdal harta benda wakaf;
a) Mazhab Hanafi
Dalam mazhab Hanafi istibdal harta benda wakaf dibolehkan
asalkan bukan masjid.45
Mereka membagi istibdal harta benda wakaf
menjadi tiga kategori: Pertama, wakif mensyaratkan istibdal harta benda
wakaf ketika mewakafkannya sehingga kewenangan untuk melakukannya
berada dalam kekuasaan wakif atau orang yang ditunjuk wakif. Kedua,
wakif tidak mensyaratkan istibdal namun kondisi harta benda wakaf tidak
dapat dimanfaatkan lagi, tidak memberikan hasil atau ada hasilnya, tapi
tidak sebanding dengan biaya pengelolaannya. Mayoritas ulama Hanafiyah
membolehkan istibdal harta benda wakaf dalam kasus ini dengan syarat
harus ada izin dari hakim berdasarkan kemaslahatan. Ketiga, harta benda
wakaf tidak disyaratkan olehh wakif, sedangkan kondisi harta benda wakaf
masih masih bermanfaat dan menghasilkan, tetapi ada harta benda
pengganti yang kondisinya lebih baik. Dalam kasus ini, ulama Hanafiyah
berbeda pendapat. Abu Yusuf membolehkan dilakukan istibdal karena
lebih bermanfaat untuk wakaf dan tidak bertentangan dari tujuan wakaf.46
44
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 183
45
Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 9
46
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 183
30
b) Mazhab Maliki
Mazhab Maliki pada dasarnya melarang keras istibdal harta benda
wakaf, meskipun pada kasus tertentu mereka membolehkannya. Istibdal
harta benda wakaf menurut mereka dibedakan menjadi harta bergerakn
dan harta tidak bergerak. Untuk harta benda wakaf bergerak, mayoritas
ulama Malikiyah membolehkan istibdal wakaf demi kemaslahatan dengan
syarat harta benda wakaf tersebut adalah telah rusak atau tidak dapat
berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Adapun untuk harta benda wakaf
tidak bergerak, mereka melarangnya kecuali dalam keadaan darurat dan ini
sangat jarang sekali teradi. Khusus masjid, mazhab Maliki melarang
mutlaq istibdal,47
sedangkan selain masjid diperbolehkan apabila tidak
dapat dimanfaatkan lagi.48
c) Mazhab Syafi‟i
Mazhab Syafi‟i terkesan mutlak melarang istibdal harta benda
wakaf karena diindikasikan membuka praktik penipuan atau
penyalahgunaan harta benda wakaf tersebut. Namun demikian, apabia
merujuk kitab-kitab mazhab Syafi‟i akan ditemukan pembahasan istibdal
haerta benda wakaf hanya berkisar seputar hewan yang sakit, pohon kurma
yang telah kering, atau batang pohon yang patah dan menimpa masjid
sampai hancur sehingga manfaat semua barang tersebut hilang sama
sekali. Dalam menghukumi persoalan ini, kalangan ulama Syafi‟iyah
terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama secara mutlak
melarang istibdal harta wakaf karena harta benda wakaf harus diambil
manfaatnya hingga betul-betul tidak berfungsi lagi. Kelompok kedua tidak
melarang istibdal harta benda wakaf asalkan harta benda wakaf tersebut
tidak dapat dimanfaatkan sesuai kehendak wakif.49
47
Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 10
48
Muhammad Abid al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah, (Baghdad:
Matba‟ah al-Irshad 1977), J. II, h. 30
49
Muhammad Abid al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah, (Baghdad:
Matba‟ah al-Irshad 1977), J. II, h. 39
31
d) Mazhab Hanbali
Dalam mazhab Hanbali. Dalam mazhab Hanbali istibdal harta
benda wakaf dibolehkan baik terhadap harta benda bergerak maupun harta
benda tidak bergerak. Bahkan sebagian ulama hanabilah membolehkan
istibdal masjid manakala kondisinya mengharuskan untuk diganti dengan
masjid lain yang baru.50
Dalam membolehkan istibdal harta benda wkaf,
yang harus dijadikan pertimbangan adalah kondisi darurat dengan tetap
memperhatikan kemaslahatan dan demi menjaga tujuan wakaf itu
sendiri.51
Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya bertolak dari adanya
perbedaan pandangan dalam memahami keabadian wakaf. Bagi mereka
yang memahami bahwa keabadian wakaf terletak pada bentuk fisik harta
benda wakaf mengatakan bahwa kelestarian atau keberadaan harta benda
wakaf merupakan keniscayaan kapan dan dimana saja, tidak boleh ditukar
atau dijual dengan alasan apapun. Sementara itu, bagi mereka yang
memahami bahwa keabadian wakaf terletak pada keabadian manfaatnya
mengatakan bahwa istibdal harta benda wakaf boleh dilakukan dengan
alasan-alasan tertentu, misalnya apabila hartabenda wakaf tersebut sudah
tidak dapat memberikan manfaat sebagaimana yang dimaksud oleh wakif
atau karena darurat, seperti hawatir rusak atau karena kepentingan umum,
seperti untuk jalan umum atu tujuan-tujuan lain yang lebih besar maslahat
dan manfaatnya bagi masyarakat luas.52
3. Menurut Undang-Undang
Pendapat yang membolehkan istibdal harta wakaf berdasarkan
pertimbangan kemanfaatan harta benda wakaf tersebut diakomodir oleh Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang membolehkan penukaran
harta benda wakaf demi menjaga manfaat harta benda wakaf. Hanya saja
50
Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 11
51
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 183
52
Tholhah Hasan, Istibdal Harta Benda Wakaf , Juranal Al- Awqaf, Volume II, Nomor
03 (Agustus 2009) h. 5
32
penukaran harta benda wakaf dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 2004
tentang wakaf diberi batasan, yaitu apabila digunakan untuk kepentingan umum
sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syariah serta telah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan
Badan Wakaf Indonesia.53
Selain alasan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf menambahkan alasan lain dibolehkannya penukaran harta benda wakaf,
yaitu harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf dan
pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan
mendesak.54
Jika memperhatikan ketentuan tentang penukaran harta benda wakaf dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan Peraturan-
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, semangat yang ditekankan adalah kehati-hatian
dlam melakukan istibdal atau penukaran harta benda wakaf . Kehati-hatian ini
dimaksudkan agar jangan sampai penukaran harta benda wakaf menimnbulkan
dampak negatif yang merugikan wakaf.55
Dalam rangka kehati-hatian itu, penukaran harta benda wakaf yang
diusulkan oleh nazhir harus disertai dengan alasan yang kuat sesuai peraturan
perundang-undangan. Penyebutan alasan ini menjadi sebuah keharusan untuk
menghadiri adanya kepentingan atau keuntungan pribadi nazhir atau pihak
penukar dalam pengajuan penukaran harta benda wakaf. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu Nazhir
mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalu Kantor Urusan
53
Tholhah Hasan, Istibdal Harta Benda Wakaf , h. 12
54
Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41
Th. 2004 tentang wakaf, pasal 49 huruf b dan huruf c.
55
Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 13
33
Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan-alasan perubahan status/
tukar menukar tersebut.56
Alasan yang tepat saja dalam melakukan penukaran tanah wakaf belum
dianggap cukup untuk keluarnya izin dari Menteri Agama, masih ada syarat
lainnya yang harus dipenuhi terkait dengan tanah penukar :
a) Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b) Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang kurangnya sama
dengan harta benda wakaf semula dengan perhitungan bahwa harta
benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-
kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf dan harta benda
penukar yang berada diwilayah yang strategis dan mudah untuk
dikembangkan.57
Dengan terpenuhunya alasan dan syarat tersebut, penukaran harta benda
wakaf dapat diandalkan sebagai jalan keluar atau alternatif bagi perkembangan
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejhteraan
umum.58
Namun jika ketentuan-ketentuan mengenai penukaran harta benda wakaf
itu diabaikan, penukaran harta benda wakaf akan menimbulkan dampak negatif,
yang merugikan wakaf, seperti hilangnya harta benda wakaf, atau menurunnya
nilai dan manfaat harta benda wakaf tersebut.
56
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 51 huruf a.
57
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 49 ayat (3) dan Pasal 50.
58
Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-Undang, h. 14
34
BAB III
PRAKTIK KONVERSI WAKAF DI PROVINSI DKI
A. Gambaran Umum Masyarakat
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak
agama Islam masuk di Indonesia. Data yang dilansir oleh Kementerian Agama
menunjukkan tingkat kesadaran umat Islam Indonesia untuk berwakaf sangat
tinggi. Menurut data yang tercatat di Kementerian Agama Republik Indonesia
sampai tahun 2016 dan di perkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of
Religion and Reaserch) bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia adalah 435.768
lokasi, dengan luas 4.359.443.170 m2.1 Selanjutnya berdasarkan data penelitian
yang dilakukan oleh CSRC (Centre for the Study of Religion and Reaserch)
bahwa 79 persen asset wakaf di Indonesia digunakan untuk pembangunan sarana
ibadah (keagamaan) dalam bentuk musholla atau masjid. Sementara untuk
kegiatan sosial dan kemaslahatan serta kesejahteraan masyarakat (pelayanan
kesejahteraan, panti asuhan dan sarana-sarana umum) masih relatif rendah.
Terbukti dengan masing-masing hanya sekitar 3% dari total asset wakaf secara
keseluruhan.2
Dapat dipahami mengapa wakaf produktif sulit dikembangkan di
Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa faktor:
a. Banyak tanah wakaf yang tidak strategis secara ekonomi, misalnya terletak
didaerah pegunungan yang jauh dari pusat kota dan tidak ada alat transportasi
yang memadai.
b. Berkaitan daengan kondisi tanah yang tidak subur (gersang) sehingga sulit
untuk dijadikan tanah pertanian yang menghasilkan.
1 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Kemenag RI, 2017.
2 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Kemenag RI, 2017.
35
c. Kemampuan SDM pengelola wakaf masih sangat minim. Mereka biasanya
bekerja paruh waktu dan bukan profesional yang memahami pengelolaan
wakaf secara produktif.
d. Kendala berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang kebanyakan
menganut pandangan yang melarang penjualan harta wakaf dan
penukarannya dengan aset lain yang lebih produktif. Dan istibdal wakaf
perspektif berbagai mazhab istibdal wakaf merupakan istilah penggantian
barang wakaf yang telah dijual maupun penggantian dalam hal peruntukan
wakaf.3
Dengan melihat realita umat muslim Indonesia notabene masih dibawah
sejahtera, istibdal wakaf sangat relevan dengan kebutuhan umat apalagi kalau
melihat data yang ada, bahwa sebagian besar wakaf yang ada di Indonesia adalah
berbentuk asset khususnya tanah. Sampai abad ke 19 saja, menurut Rahmat
Djatnika, dari semua luas tanah wakaf yang ada hampir semuanya berupa tanah
wakaf yang kering. Jika tidak diberdayakan dengan baik, maka maqasid syariah
wakaf akan sulit tercapai. Maqasid syariah dari istibdal wakaf adalah manfaatnya
terus mengalis dan memberikan kesejahteraan umat. Maka istibdal wakaf sebagai
solusi, jelaslah sudah bahwa salah satu cara bagaimana wakaf bisa produktif
adalah dengan melakukan praktik istibdal wakaf. Tidak perlu ragu lagi, bahwa
istibdal wakaf bukan lah hal yang bertentangan dengan syariah. Karena ulama
berbagai mazhab pun sudah membahas dan sampai membolehkan praktek
tersebut, walaupun salah satu yang menjadi kendala pengembangan wakaf
produktif di Indonesia adalah sebagian besar masyarakat Indonesia masih
memegang teguh pendapat Syafi’iyah dan mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah
melarang praktek istibdal wakaf.
3 Antonio, Muhammad Syafi’i, 2007, “Pengantar Pengelolaan Wakaf Secara Produktif”
dalam bukunya Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta:
Mumtaz Publishing, h. 1
36
B. Faktor Penyebab Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta
Sesuai data yang tercatat di Badan Wakaf Indonesia bahwa Di DKI Jakarta
banyak dan beragam praktik konversi atau perpindahan harta benda wakaf. Oleh
karena itu penulis mengambil dua sampel, yang pertama berdasarkan pembahasan
yang di perdebatkan, yaitu tentang konversi harta benda wakaf secara umum, dan
konversi wakaf masjid. Kedua, berdasarkan yang paling besar terhadap dampak
sosial atau perkembangan harta benda wakaf tersebut setelah di ruislag :
1. Pondok Pesantren Daarul Rahman yang asal wakaf bertempat di Jl.
Senopati Dalam II No. 35 A, Keb. Baru, Jakarta Selatan. Kemudian
dikonversi ke Jl. Purwaraya RT 006 RW 03 Kel. Cipedak Kec.
Jagakarsa Kota Administrasi Jaakarta Selatan
2. Masjid Hidayatul Musyawaroh beralamat di Jl. Kayumanis Gg. AMD
28, RT 003/RW 005, Kelurahan Balekambang, Kecamatan
Kramatjati, Condet, Jakarta Timur. yang merupakan perpaduan dana
wakaf masjid Al-Hidayah yang beralamat di daerah tersebut, dan
masjid Al- Musyawaroh yang beralamat di daerah Mangga Dua
Jakarta Pusat, yang kemudian di pindah ke Condet Jakarta Timur
sehingga menjadi masjid Hidayatul Musyawaroh.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nazhir dan tokoh agama setempat,
berikut beberapa faktor penyebab terjadinya konversi wakaf di DKI Jakarta,
diantaranya:
1. Untuk mengembangkan harta wakaf supaya lebih produktif lagi
2. Karena berdasarkan program pemerintah yaitu Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR)
3. Karena ketidaknyamanan masyarakat pengguna harta wakaf
4. Nazhir yang sadar akan hukum dari esensi wakaf adalah keabadian
manfaatnya, bukan keabadian dzatnya. Sehingga memberikan
kebijakan berupa konversi atau istibdal.
37
Setelah terjadinya konversi wakaf, tentu adanya dampak setelahnya.
Adapun dampak setelah terjadinya konversi wakaf yaitu :
1. Produktifitas harta wakaf meningkat
2. Memberikan kenyamanan terhadap masyarakat pengguna harta wakaf
3. Terkelola dengan baik menejemen tata kotanya
4. Memberikan kebahagiaan kepada wakif, karena harta yang
diwakafkan dikelola dengan baik dan produktif.
Akan tetapi ada sebagian nazhir yang tidak memberikan kebijakan berupa
konversi atau istibdal terhadap harta wakaf yang dikelolanya dengan alasan:
1. Tidak mengertinya cara mengkonversi wakaf berdasarkan perundang-
undangan wakaf diIndonesia
2. Memahami hadits Rasulullah bahwa wakaf tidak boleh dikonversi
atau di istibdalkan. Karena menganggap yang harus diabadikan adalah
dzat harta wakafnya, bukan fungsi dari harta wakaf tersebut.
Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan memberikan solusi kepada para
pengelola wakaf (Nazhir) agar harta wakaf yang dikelola, dapat diberdayakan
dengan baik dan benar, berdasarkan ketentuan hukum Islam yang rajih dan sesuai
dengan Perundang-undangan di Indonesia
C. Proses Terjadinya Konversi Wakaf di DKI Jakarta
Untuk mengetahui proses terjadinya konversi wakaf yang di DKI Jakarta,
peneliti melakukan wawancara dengan nazhir, dan tokoh agama setempat.
1. Yang pertama wawancara dengan Ustadz M. Faiz Syukron Makmun
anak dari KH. Syukron Makmun selaku perwakilan tim nazhir pondok
pesantren Daarul Rahman.
Beliau mengatakan bahwa wakaf pondok pesantren Daarul
Rahaman awalnya berupa amanah tanah wakaf dari H. Abdurrahman
diperuntukkan kegiatan pendidikanIslam. Dan pembangunannya hasil dari
38
kumpulan sumbangan jamaah pengajian ayahnya (KH. Syukron
Makmun). Ditahun 1990 tata kota menjadi berubah, yang membuat
banyak gedung-gedung tinggi perkantoran di sekitar pondok pesantren.
Yang menjadi alasan melakukan ruislagh adalah keadaan pondok
pesantren di tengah kepadatan penduduk kota, dan banjir yang
menyebabkan sulitnya pondok pesantren untuk berkembang. Karena
dengan kapasitas santri yang kurang lebih seribu orang, ditumpuk dengan
lokasi yang hanya seluas 4.601 m2, sehingga tidak punya lapangan yang
luas, dan sarana prasarana tidak dapat dikembangkan. Kemudian seorang
pengusaha bernama Maftuh Basuni menawarkan untuk ruislagh dengan
perusahaan PT. Ambal Akor.4
Ustadz Faiz berpandangan mengenai hadits Rasulullah tentang
pelarangan ruislagh wakaf, lâ yuba‟, walâ yurots. Tapi yang beliau ketahui
di kajian BWI seminar wakaf sedunia, bahwa ruislagh itu bukan kepada
„ainul waqfi (zat wakaf) nya tapi lebih kepada sabil al-manfa‟at
(keberlangsungan manfaat) nya. Dan ketika beliau melakukan ruislagh
wakaf melihat regulasi dan aturannya, ternyata Indonesia sudah
mengadopsi pemahaman itu, bahwa melihat kemanfaatan wakafnya bukan
kepada dzat wakafnya. Karena hadits tersebut di sesuaikan dengan
zamannya. Mungkin zaman dulu kualitas tanah sama saja, Tapi sekarang
berbeda.
Jadi ruislagh harta benda wakaf itu boleh, mengingat bahwa
sahabat Umar RA, pernah mengganti masjid di Irak. Ini pembahasan fikih
yang notabene adalah zhonny, dan menurut peraturan pemerintahpun
diperbolehkan ruislagh karena “hukmu al-hakim yarfa‟ul khilaf ”
(keputusan hakim/ pemerintah memghilangkan perbedaan). Karena beliau
yakin akan membawa maslahat yang lebih besar untuk produktifitas
4 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal
11 November 2017, pukul: 12.54 WIB
39
wakaf, maka dari itu beliau bersama ayahandanya KH. Syukron Makmun
melakukan ruislagh wakaf.5
Lalu ustadz Faiz menambahkan ceritanya bahwa setelah pondok
pesantren ini di ruislagh, alhamdulillah menambah luas tanah dan
bangunan, santri lebih nyaman. Dulu di pesantren ini, yang daftar masuk
sektar 700 orang, Karena kondisi sekitar pondok pesantren ini adalah
apartemen, sehingga berikisik, debu, polusi udara tidak enak, bissing dan
banyak kuli proyek yang menyebabkan santri yang daftar turun dari 1.750
orang hingga 400 orang yang daftar.
Begitu diruislagh dan di pindah di Jagakarsa, tahun kemarin yang
daftar 1.800 orang, berhubung sember daya manusia yang mengurus santri
terbatas, jadi yang diterima 750 orang. Dulu di senopati santri yang keluar
dari pesantren setiap tahunnya sekitar 200 orang dari yang daftar sekitar
400 orang santri. Dan sekarang santri yang keluar hanya sekitar 20 orang
dari yang daftar 750 orang. Dan itu terbilang wajar, karena santri yang
masuk di jagakarsa lebih banyak dibanding santri di senopati. Karena
mungkin dulu tidak nyaman belajar, sehingga prestasi merosot. Sekarang
santri lebih nyaman, lebih sehat, dan lebih banyak kegiatan karena lokasi
yang sekarang lebih nyaman dan luas sehingga fasilitas memadai.6
2. Yang kedua wawancara dengan KH. M. Nuruddin Munawwar, selaku
pimpinan nazhir masjid Hidayatul Musyawaroh.
Pada tahun 1980 an asal tanah wakaf yang ada itu untuk musholla
Al-Hidayah, luas 150 m2 kurang lebih, wakafnya H. Yahya dan H. Thohir.
Waktu itu surat wakafnya tidak ada, pemberiannya pemberian langsung
saja berdasarkan kepercayaan. Lalu beliau sebagai nazhir, H. Yahya dan
5 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal
11 November 2017, pukul: 13.00 WIB
6 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal
11 November 2017, pukul: 13.15 WIB
40
H. Thohir sebagai wakif sepakat wakaf itu di buat masjid. Dan disamping
musholla itu ada tanah untuk anak yatim, terus di tukar dengan tanahnya
jamaah kyai Nuruddin bernama pak Prapto sehingga wakafnya menjadi
650 m2.
Pada waktu itu di tempat kyai Nuruddin mengajar di masjid
Musyawaroh daerah mangga dua Jakarta Pusat, ingin di bongkar karena
alasan program pemerintah RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Singkat
cerita semua penduduk yang ada di daerah tersebut digusur termasuk
wakaf masjid itu. Ketika itu nazhir masjid Musyawaroh tersebut tidak tahu
ingin dipindahkan kemana. Kebetulan beliau sedang bangun masjid di
condet, kemudian wakaf masjid Musyawaroh itu dibeli oleh developer
perusahaan, beerdasarkan kesepakatan nazhir dipindahkan wakafnya untuk
mengembangkan pembangunan masjid yang ada di condet, sehingga
masjid tersebut diberi nama Hidayatul Musyawaroh.7
Jika tidak dipindahkan masjid Musyawaroh tersebut, akan
terbengkalai dan hilang kemanfaatannya, oleh sebab itu menjaga
kemanfaatan harta wakaf adalah perbuatan baik, karena wakaf itu untuk
kemashlahatan ummat. Wakaf itu yang diambil manfaatnya bukan
Syai‟un Yuqof nya, sekarang kalau Syai‟un Yuqof nya sudah hilang dan
manfaatnya bisa diambil, yasudah diambil, karena Syai‟un Yuqof itu
hanyalah sarana, yang terpentinng manfaatnya.
Kyai Nuruddin berpendapat adda kitab yang menjelaskan, bahwa
dzatnya wakaf itu bisa di jual. Seperti suatu bangunan masjid, ada benda-
benda yang sudah tidak bisa dipakai, tapi masih bisa dimanfaatkan untuk
hal yang lain, boleh di jual, yang terpenting untuk kepentingan dan
kemanfaatan masjid itu juga.8
7 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul
Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB
8 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul
Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.45 WIB
41
Setelah terjadinya ruislagh, warga di sekitar masjid Hidayatul
Musyawaroh Condet Jakarta Timur senang karena dibantu untuk
pembangunan masjid, dan pengurus masjid Musyawaroh di mangga dua
juga senang, karena msjidnya selamat, tetap dimanfaatkan untuk ibadah
umat Islam. Alhamdulillah jamaah masjidnya menjadi banyak, nyaman,
dan banyak kegiatan keagamaan di masjid, seperti pengajian rutin,
santunan yatim dan lain sebagainya. Sampai Kyai Nuruddin bisa bangun
pondok pesantren di sebelah masjid ini, salah satunya berkat syiar melalui
masjid Hidayatul Musyawaroh setelah di ruislagh.9
9 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul
Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB
42
BAB IV
ANALISIS HUKUM MENUKAR DAN MERUBAH FUNGSI TANAH
WAKAF DI DKI JAKARTA
A. Hukum Menukar dan Merubah Fungsi Harta Wakaf Dalam Pandangan
Hukum Islam dan Hukum Positif.
1. Istibdal dalam Hukum Islam
Pada dasarnya tidak ada nash yang sharih yang melarang dan
memperbolehkan adanya tukar guling terhadap tanah wakaf, sehingga
menimbulkan berbagai perspektif hukum dari para mujtahid fiqh yang berbeda.
Walaupun pada dasarnya membolehkan namun harus dengan berbagai ketentuan.1
Makna wakaf adalah berhenti, berhenti dari kepemilikan dari diri sendiri
berpindah kepada milik Allah SWT. Maka harta wakaf tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Prinsip wakaf adalah keabadian harta dan
prinsip kemanfaatan.2
هما أن عمر بن الطاب أصاب أرضا بيب ر فأتى النب صلى اللو عليو عن ابن عمر رضي اللو عن منو وسلم يستأمره فيها ف قال يا رسول اللو إني أصبت أرضا بيب ر ل أصب مال قط أن ف س عن
ق با عمر أنو ل ي باع ول يوىب فما تأمر بو قت با قال ف تص قال إن شئت حبست أصلها وتصق با ف الفقراء وف القرب وف الريقاب وف سبيل اللو )رواه وابن السبيل والضيف ول يورث وتص
البخار (
“Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki
sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk konsultasi
tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya mempunyai sebidang
tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum pernah saya miliki selama
hidup saya. Lantas, bagaimana menurut Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu
berkenan, silakan dirawat pokok (bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon
tersebut.” Kemudian Ibn Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan
1 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqfu, Dar al-Fikr, (Beirut, Libanon, 1971), h. 161-170
2 Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih 3, cet II, (Jakarta: Depag, 1986), h. 57
43
sebagaiman saran Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya, bibitnya tidak
dijual, tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya
ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para budak, para pejuang di jalan Allah,
para ibn sabil, serta tamu.” (HR. Bukhari).3
Majelis Ulama Indonesia mengatakan penukaran harta benda wakaf
diperbolehkan sepanjang untuk merealisasikan kemaslahatan karena untuk
mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf dan diganti dengan nilai yang
sepadan atau lebih baik. Dengan ketentuan, adanya hajah dalam rangka menjaga
maksud wakif. Hasil wakaf harus digunakan untuk membeli harta wakaf lain
sebagai wakaf pengganti. Serta kemanfaatan wakaf pengganti sama dengan benda
wakaf sebelumnya atau lebih baik.4
Pendapat imam mazhab tentang penukaran harta wakaf sebagai berikut:
a. Madzhab Malikiyah
Imam Malik berpendapat tidak boleh menukar harta benda wakaf yang
terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak
menghasilkan sesuatu. Tetapi ada sebagian yang berpendapat golongan Imam
Maliki membolehkan penukaran harta benda tidak bergerak lainnya supaya tidak
sia-sia.5
Madzhab Malikiyah juga membedakan jenis benda wakaf kaitannya
dengan menjual benda wakaf tersebut:
1) Apabila harta wakaf berwujud masjid. Dalam hal melarang Istibdal masjid
ini terjadi kesamaan antara imam imam mazhab: Imam Abu Hanifah bin
Nu‟man, Imam Malik bin Anas, dan Imam Muhammad bin Idris As-
3 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-
Najah, 1422 H.), juz 3, h. 199
4 Majelis Ulama Indonesia, Ijma‟ Ulama‟ Keputusan Ijtima‟ Ulama‟ Komisi Fatwa Se
Indonesia III, (Jakarta : MUI, 2009). Dalam Komisi B Ijma‟ Ulama‟ Komisi fatwa Se Indonesia
III Tentang Masa‟il Fiqhiyah Mu‟ashirah, h. 44
5 Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h. 67
44
Syafi‟i, kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang membolehkan menukar
masjid dengan tanah lain yang dipakai untuk membangun masjid.
2) Apabila berbentuk harta tidak bergerak, maka tidak boleh dijual sekalipun
hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama, tetapi boleh dijual
dengan syarat dibelikan lagi sesuai kebutuhan untuk memperluas masjid
atau jalan umum, hal tersebut merupakan mashalih al-„aammah
(Kemaslahatan Umum). Karena apabila barang tersebut tidak dapat ditukar
atau dijual untuk memenuhi untuk memenuhi kemaslahatan umum tadi,
maka masyarakat akan mengalami kesulitan, padahal mempermudah
ibadah bagi masyarakat, lalu lintas, atau mengubur mayat adalah seuatu
hal yang wajib.
3) Dalam bentuk benda lain dan hewan, apabila sudah tidak ada manfaatnya
maka boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan
sejenis.
Dalam pelaksanaan Istibdal, ulama Malikiyah juga berpendapat bahwa
syarat wakif menjadi pertimbangan. Apabila wakif mensyaratkan istibdal maka
nazhir harus melaksanaka syarat wakif itu. Sebalknya, apabila wakif tidak
mensyaratkan istibdal, maka nazhir tidak boleh melakukan istibdal.6
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ulama Malikiyah
sepakat melarang istibdal harta benda wakaf tidak bergerak yang masih
bermanfaat, kecuali dalam keadaan darurat untuk kepentingan umum. Sementara
itu, untuk benda wakaf tidak bergerak yang telah rusak, sebagian ulama
Malikiyah membolehkan istibdal dan sebagiannya lagi melarangnya.
b. Madzhab Hanafiyah
Menurut madzhab Hanafi, istibdal harta benda wakaf kecuali masjid7
dibolehkan selama membawa kemaslahatan.8 Adapun pelaksanaannya boleh
6 Sami Muhammad al-Salahat, “Wasa‟il I‟mar A‟yan al-Waqf”, 228-229.
7 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, (Cairo: Matba‟ah Ali Mukhaymir,
1959), h. 183
45
dilakukan oleh wakif, nazhir, atau hakim, baik harta benda wakaf yang masih
bermanfaat ataupun yang sudah tidak bermanfaat, harta benda bergerak ataupun
yang tidak bergerak. Hanya saja dalam praktiknya, masih ditemukan perbedaan
pendapat dikalangan mereka.9
Menurut ulama Hanafiyah, istibdal harta benda wakaf selain masjid dibagi
menjadi tiga kategori10
:
1) Istibdal harta benda wakaf disyaratkan oleh wakif.
2) Istibdal tidak disyaratkan oleh wakif, sedangkan kondisi harta benda
wakaf tidak dapat dimanfaatkan lagi.
3) Istibdal harta benda wakaf tidak disyaratkan oleh wakif, sedangkan
kondisi harta benda wakaf masih bermanfaat dan menghasilkan, tetapi ada
harta benda pengganti yang lebih baik.
Kategori pertama, wakif mensyaratkan istibdal harta benda wakaf untuk
dirinya sendiri, atau untuk nazhir. Contohnya, ketika ia mewakafkan harta
bendanya, ia berkata “tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa dikemudian
hari aku bisa menggantinya dengan harta benda yang lain, atau aku berhak
menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya”. Persyaratan yang
diungkapkan oleh wakif sebagaimana contoh diatas, dapat dibenarkan dan berlaku
khusus untuk diri wakif, tidak untuk nazhir kecuali apabila ia memberlakukan
syarat itu untuk nazhir juga. Dalam permasalahan ini, ulama hanafiyah berbeda
pendapat mengenai keabsahan wakaf dan syaratnya. Pendapat pertama,
Muhammad Ibnu Hasan berpendapat bahwa wakafnya sah, sementara syaratnya
batal. Alasannya adalah syarat tersenut menafikan maksud sebenarnya dari wakaf,
karena syarat wakaf adalah memberikan harta secara kekal. Pendapat kedua Abu
Yusuf Hilal berpendapat bahwa wakaf dan syaratnya sama-sama sah. Alasannya
8 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi al-Waqf, h. 190.
9 Muhammad Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah,
(Baghdad: Matba‟ah al-Irshad 1977), J. II, h. 9
10
Muhammad Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari‟ah al-Islamiyah, h. 10
46
adalah bahwa yang dia maksud bukanlah kekal harta bendanya, tetapi pelaksanaan
(manfaat) wakaf tersebut secara terus menerus.11
Pendapat ketiga, sebagian ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa syarat maupun wakafnya sama sama batal, dan
sebagian ulama yang lain mengatakan syaratnya sah, asal ada persetujjuan dari
hakim.12
Menurut Muhammad „Abid „Abdallah Al-Kabisi pendapat yang kuat
adalah pendapat Abu Yusuf dan Hilal yang menyatakan bahwa baik wakaf
maupun syaratnya sama-sama sah. Dengan pertimbangan bahwa syarat istibdal
harta benda wakaf tidak menghilangkan wakaf dan keabadiannya. Hal ini
disebabkan karena wakaf dan keabadiannya tidak ditentukan oleh suatu harta
benda tertentu, tetapi ditentukan oleh manfaat atau hasil yang didapat dari harta
benda wakaf. Oleh karena itu, yang menjadi faktor utama dari keberadaan wakaf
yang sebenarnya adalah manfaat yang diperoleh dari harta benda wakaf itu
sendiri. Selama harta benda wkaf bermanfaat untuk mauquf „alaih maka selama
itu pula wakaf tetap abadi, dan syarat istibdal harta benda wakaf tidak untuk
menghilangkan manfaat harta benda wakaf itu. Padahal pada kasus tertentu,
dengan istibdal maka manfaat harta benda wakaf makin berlipat.13
Termasuk dalam kategori ini bahwa wakaf dan syarat sama-sama sah,
ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa beberapa permasalahan, antara lain:
Pertama, setelah pelaksanaan istibdal harta benda wakaf yang pertama, wakif
tidak diperbolehkan untuk melakukan kedua kalinya karena masa berlaku syarat
istibdal harta benda wakaf yang ditentukannya sudah habis. Kecuali jika ia
11
Afiffudin Muhammed Noor dan Ridzuan Awang, “The Implementation of istibdal
Endowment in The State Of Kedah Darul Aman”, Islamiyyat The International Journal of Islamic
Studies, Vol. 35, No. 1 (2013) h. 50
12
Sami Muhammad al-Salahat, “Wasa‟il I‟mar A‟yan al-Waqf” h. 224
13
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h.12-14
47
menyatakan bahwa haknya melakukan istibdal harta benda wakaf bida dilakukan
berulang-ulang.14
Kedua, jika wakif berkata: “Saya mewakafkan tanh ini dengan syarat suatu
hari saya berhak menjualnya guna membeli tanah yang lain”, kemudian ia tidak
berkata apa-apa lagi maka menurut qiyas wakafnya dianggap batal. Hal ini
disebabkan wakif tidak menyatakan maksudnya untuk menjadikan tanah yang lain
sebagai penggantinya. Berbeda denan qiyas, istihsan menganggap praktik itu
boleh dan dengan dasar bahwa selama tanah yang pertama adalah wakaf uang
yang didapatkan dari penjualan itu kedudukannya sebagai wakaf. Jadi apabila
uang tersebut dibelikan tanah lain maka secara otomatis tanah itu menjadi tanah
wakaf dengan syarat-syaratnya seperti pada tanah sebelumnya.15
Ketiga, jika wakif mensyaratkan istibdal dengan tanah, ia tidak berhak
menukarnya atau meggantinya dengan rumah. Demikian juga sebaliknya karena ia
tidak memiliki hak untuk mengganti syarat. Jika ia memberi batasan bahwa
istibdal hanya berlaku dengan tanah di Bashrah, batasan itu dapat diterima an
diberlakukan sebab tanah di suatu wilayah dengan wilayah yang lain bisa saja
berbeda kualitas kesuburannya dan biaya pengelolaannya. Jika wakif
mensyaratkan hal itu, ia tidak boleh menggantikan dengan tanah lainnya.16
Begitu
juga, jika wakif mensyaratkan istibdal tapi tidak menyebutkan apakah
penggantinya beruo tanah atau rumah, kemudian ia menjual harta benda wakaf,
maka ia berhak meenggantinya denganharta benda tidak bergerak baik tanah,
ataupun rumah. Demikian juga jika dalam syarat istibdal ia tidak membatasinya
14
Kamal al-Din Muhammad bin „Abd al-Wahid al-Siwasi bin al-Hammam, Fath al-
Qadir (t.k. Mustafa Muhammad, 1356) h. 58
15
Sami Muhammad al-Salahat, “Wasa‟il I‟mar A‟yan al-Waqf” h. 224
16
Ibnu Najim, al-Bahr al-Ra‟iq Sharh Kanz al-Daqaiq (Mesir: „Ilmiyah, 1311), J. V,
h.240
48
dengan wilayah tertentu, ia boleh melakukan istibdal di wilayh manapun secara
mutlak tanpa ada batasan.17
Kategori kedua, wakif tidak mensyaratkan istibdal, namun kondisi harta
benda wakaf tidak dapat dimanfaatkan lagi, tidak memberikan hasil atau ada
hasilnya tapi tidak sebanding dengan biaya pengelolanya. Mayoritas ulama
Hanafiyah membolehkan praktik istibdal dalam kasus ini dengan syarat harus ada
izin dari hakim berdasarkan kemaslahatan.18
Hakim berhak membuat keputusan
untuk menggantikan harta benda wakaf yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi
karena terdapat mashlahat yang lebih esar bagi masyarakat muslim. Apabila
masalah yang terjadi ini tidak diatasi, maka masyarakat muslim yang akan
menanggung kerugiannya disebabkan harta benda wakaf yang tidak dapat
dimanfaatkan lagi dan di biarkan begitu saja.
Kategori ketiga, istibdal harta benda wakaf tidak disyaratkan oleh wakif,
sedangkan kondisi harta benda wakaf masih bermafaat dan menghasilkan, tetapi
tidak ada harta benda yang kondisinya lebih baik. Ulama Hanafiyah berbeda
pendapat dalam menghukumi kasus ini. Pertama, menurut Ibnu Abidin dan Imam
Al-Hlawani, istibdal harta benda wakaf dalam kasus ini tidak diperbolehkan.
Pendapat ini dipilih oleh al-Kamal bin al- Hammam, ia berkata istibdal baik
disyaratkan oleh wakif atau wakif tidak mensyaratkannya, namun harta benda
wakaf tidak lagi bermanfaat bagi mauquf „alaih dalam masalah ini semua sepakat
bolehnya istibdal. Tetapi jika wakif tidak mensyaratkan istibdal tapi sementara
harta benda wakaf masih bermanfaat, istibdal atau penggantinya dengan harta
benda lain yang lebi baik tidak dibolehkan, karena yang wajib adalah
mengabdikan harta benda wakaf bukan istibdal. Selain itu, dalam kasus ini tidak
ditemukan alasan yang membolehkan dilaksanakannya sebagaimana
dibolehkannya istibdal pada kategori pertama dengan alasan karena adanya syarat
dari wakif, sedangkan dalam katwgori kedua dengan alasan darurat. Kedua
17
Hasan bin Mansur Al-Awzundi, al- Fatawa al-Kaniyah, (Mesir: Dar al-Fikr, 1310),
J.III, h. 307
18
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h. 19
49
menurut Abu Yusuf, istibdal harta benda wakaf pada kasus ini dibolehkan karena
lebih bermanfaat untuk wakaf dan tidak bertentangan dengan tujuan wakaf.19
Sejumlah ulama Hanafiyah yang membolehkan istibdal harta benda
wakaf, menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Apabila harta benda wakaf sudah tidak bermanfaat
2) Tidak ada hasil dari wakaf yang dapat digunakan untuk biaya
pembangunan.
3) Penjualan tidak boleh mengandung unsur penipuan karena hal itu sama
saja dengan menyumbangkan sebagian harta benda wakaf.
4) Pengelola wakaf tidak boleh menjual harta benda wakaf kepada orang
yang tidak diterima kesaksiannya dan orang yang memberinya pijaman
hutang. Sebab menjualnya kepada orang yang tidak diterima
persaksiannya mengandung kemungkinan terjadinya penipuan dan
penjualan kepada orang yang memberinya pinjaman utang, dikhawatirkan
akan menghabiskan uang hasil penjualan sebagai akibat ketidakmampuan
pengelola wakaf melunasi hutangnya.
5) Harta benda pengganti harus berupa harta benda yang tidak bergerak
bukan berpa uang, karena jka dengan uang dikhawatirkan uang itu akan
habis atau tidak digunakan untuk membeli harta benda pengganti.
6) Penukaran rumah wakaf dengan rumah lainnya dibolehkan apabila berada
di satu wilayah atau rumah pengganti lebih baik dari rumah wakaf.
7) Harta pengganti sejenis dengan hrta benda wakaf supaya tidak terjadi
penyalahgunaan. Namun demikian, sebagian ulama Hanafiyah
berpendapat syarat ini tidak diperlukan salama istibdal memberikan hasil.
8) Pelaksanaan istibdal hars berdasarkan izin hakim berdasarkan
kemaslahatan.20
19
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h. 22-23 20
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h. 26-30
50
Menurut „Abid „Abdallah al-Kabisi, syarat-syarat tersebut bisa berubah
seiring perubahan yang terjadi dimasyarakat dengan tetap mempertimbangkan
keabadian harta benda wakaf dan kemaslahatan mauquf „alaih.21
c. Madzhab Syafi‟i
Dalam masalah istibdal harta benda wakaf, Madzhab Syafi‟i mempunyai
sikap yang sangat tegas dibandingkan mazhab lainnya sehingga terkesan melarang
secara mutlak. Hal itu dilakukan demi menjaga kelestarian harta benda wakaf atau
terjadinya penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. Ketegasan hukum dalam
madzhab Syafi‟i ini berdasarkan kepada prinsip wakaf yang menjadi pegangan
dalam mazhab Syafi‟i bahwa harta benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan
dan diwariskan berdasarkan hadits dari Umar bin Khattab yang mewakafkan tanah
di Khaibar dan mensyaratkan tanah tersebut tidak boleh dijual, dihbahkan, dan
diwariskan. Tujuan wakaf yang telah dibuat, tidak boleh diubah selain apa yang
diniatkan oleh wakif. Madzhab ini melarang pelaksanaan istibdal wakaf secara
mutlak, karen penjualan atau penggantian akan membawa kepada hilangnya harta
benda yang diwakafkan. Namun demikian, sebagian ulama Madzhab Syafi‟i yang
membolehkan istibdal dengan syarat tanah wakaf pengganti mendatangkan
manfaat yang lebih bermanfaat dari sebelumnya.22
Jika seseorang mewakafkan masjid, lalu masjid itu rusak atau roboh,
sehingga tidak bisa digunakan untuk sholat, masjid itu tidak boleh dijual, atau
ditukar, sebab mesjid itu telah milik Allah.23
Menurut ulama Syafi‟iyah puing-
puing runtuhan mesjid tersebut tetap harus dijaga dan disimpan untuk digunakan
dalam membangun kembali masjid itu. Akan tetapi, apabila masjid itu tidak
21
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h. 30
22
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h. 39 23
Mohd Afendi Mat Rani, “ Mekanisme Istibdal dalam Pembangunan Tanah Wakaf:
Kajian Terhadap Isu Pengambilan Tanah Wakaf oleh Pihak Berkuasa di Negeri Malaysia”, Jurnal
Pengurusan Jawhar, Vol. IV, No.1 (2010), h. 8\
51
dibangun kembali, puing puing runtuhan tersebut digunakan untuk pembangunan
masjid lain yang lokasinya berdekatan berdasarkan keputusan Hakim.24
Dalam kitab al-Muhadhdhab disebutkan bahwa:25
Apabila seseorang
mewakafkan pohon kurma, kemudian pohon kurma itu kering, atau mewakafkan
hewan ternak kemudian sakit-sakitan karena umurnya sudah tua, atau batang
kurma untuk tiang masjid kemudian lapuk, dalam kasus ini terdapat dua pendapat
yang berbeda di kalangan ulama Syafi‟iyah. Pendapat pertama, harta benda wakaf
tersebut tidak boleh diual, seperti yang sudah dijelaskan tentang masalah masjid.
Pendapat kedua, harta benda wakaf tersebut boleh dijual karena sudah tidak dapat
diharapkan lagi manfaatnya maka menjualnya lebih baik daripada membiarkannya
rusak tanpa ada gunanya. Hukum ini tidak berlaku dalam masjid yang rusak
sebagian, karena meskipun masjid itu telah rusak masih bisa digunakan kembali
untuk shalat. Apabila dijual, uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli
harta benda lain sebagai penggantinya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ulama Syafi‟iyah
melarang penjualan atau istibdal harta benda wakaf selama masih mendatangkan
hasil sedikit apapun, meskipun pengadilan mengizinkannya. Bahkan beberapa
kitab madzhab Syafi‟i melarang secara mutlak istibdal harta benda wakaf.
Tentunya banyak menghambat pengembangan harta benda wakaf dan membawa
dampak negatif karena menyebabkan banyaknya harta benda wkaf yang rusak
dan tidak bermanfaat lagi. Hal ini mengakibatkan banyak tanah wakaf yang tidak
terurus, terbengkalai dan tida menghasilkan apa-apa. Keadaan ini sangat
bertentangan dengan kemaslahatan mauquf „alaih dan kemaslahatan umat.26
Oleh
24
Ahmad bin Salamah al-Qalyubi, Hashiyatan (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), J.III, h. 108
25
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhadhdhab, J.I, h.445
26
Muhammad „Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shari‟ah al-Islamiyah, J.II,
h. 43
52
karena itu, pelaksanaan istibdal wakaf perlu mengambil semua pendapat ulama
fikih tanpa terikat dengan satu madzhab.27
d. Madzhab Hanbali
Menurut madzhab Hanabilah istibdal dibolehkan selama ada kondisi
darurat yakni harta benda wakaf tersebut tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan
sesuai dengan tujuan diwakafkannya. Mereka berpendapat bahwa hukum asal
penjualan harta benda wakaf adalah haram, namun tidak dilarang penjualannya
jika dalam kondisi darurat demi menjaga tujuan wakaf.28
Apabila terjadi istibdal
harta benda wakaf karena ada kondisi darurat, uang hasil harta benda wakaf
tersebut boleh digunakan untuk membeli harta benda apa saja yang memberikan
hasil untuk mauquf „alaih meskipun harta benda tersebut tidak sama jenisnya
dengan harta benda wakaf. Menurut mereka hal ini diperbolehkan karena yang
terpenting adalah hasilnya yang banyak bukan pada kesamaan jenis harta benda
wakaf. Namun demikian, untuk hasilnya tetap harus digunakan untuk kemaslahatn
yang menjadi tujuan wakaf.
Mereka juga membolehkan istibdal tanpa membedakan antara harta benda
wakaf bergerak maupun tidak bergerak. Bahkan mereka mengambil dalil hukum
istibdal harta benda wakaf tidak bergerak dari dalil yang mereka gunakan untuk
menentukan hukum istibdal harta benda wakaf bergerak. Sebagai contoh, mereka
membolehkan istibdal harta benda wakaf bergerak dan harta benda wakaf tidak
bergerak dengan mendasarkan pada ijma‟ yang memperbolehkan penjualan kuda
yang diwakafkan untuk tujuan perang jika sudah tua dan lemah serta tidak bisa
digunakan untuk keperluan lain, seperti mengangkut barang dan sejenisnya. Jika
27
Mohd Afendi Mat Rani, “ Mekanisme Istibdal dalam Pembangunan Tanah Wakaf:
Kajian Terhadap Isu Pengambilan Tanah Wakaf oleh Pihak Berkuasa di Negeri Malaysia”, Jurnal
Pengurusan Jawhar, Vol. IV, No.1 (2010), h. 30
28
Ibrahim „Abd al-Latif Ibrahim al-„ubaydi, Istibdal al-Waqf Ru‟yah Shar‟iyah
Iqtisadiyah Qonuniyah, h. 80-81.
53
menjual kuda wakaf tersebut dibolehkan, menjual harta benda wakaf yang
bergerak maupun yang tidak bergerak juga dibolehkan.29
Khusus harta benda berupa masjid, ulama Hanabilah membolehkan
penjualannya jika masjid tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, seperti
terasa sempit atau mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan lagi. Setelah
masjid itu dijual, uang hasil penjualannya dipakai untuk membangun masjid lain
sebagai penggantinya.30
Ibnu Qudamah berkata “ jika harta benda wakaf rusak,
seperti rumah roboh, tanah yang gersang atau tidak subur, masjid di suatu
kampung yang penduduknya telah pindah sehingga tidak dipergunakan lagi atau
terlalu sempit untuk menampung jamaah serta tidak mungkin diperluas maka
harta benda wakaf tersebut boleh dijual/ istibdal.31
Tentang bolehnya istibdal
masjid ini, mereka berdalil bahwa Umar bin Khattab pernah memindahkan masjid
di kufah ke tempat lain dan menjadikannya sebagai pasar. Selain itu, menurut
mereka istibdal harta benda wakaf dengan pertimbangan kemaslahatan adalah
untuk mempertahankan manfaat wakaf ketika hara benda wakaf yang asli tidak
dapat dipertahankan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama
hanafiyah memperbolehkan istibdal harta benda wakaf baik yang masih
bermanfaat ataupun sudah tidak bermanfaat, disyaratkan oleh wakif ataupun tidak
disyaratkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Begitu juga dengan ulama
Hanabilah, yang memperbolehkan istibdal harta benda wakaf selama ada kondisi
darurat yakni harta benda wakaf tersebut tidak dapat digunakan atau
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan diwakafkannya. Bahkan ulama Hanabilah juga
membolehkan istibdal wakaf masjid, jika masjid tersebut tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, seperti terasa sempit atau mengalami kerusakan dan tidak
29
Muhammad „Abid „Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shariah al-Islamiyah, J.II,
h. 44
30
Muhammad „Abid „Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Shariah al-Islamiyah, J.II,
h. 45
31
„Abdallah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni ma‟a Sharh al-Kabir
(Mesir: al-Manar, 1348), J. VI, h. 225
54
dapat digunakan lagi. Pendapat ulama Hanabilah mengenai bolehnya istibdal
masjid ini, berbeda dengan ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi‟i yang
sepakat melarang istibdal harta benda wakaf berupa masjid. Sementara itu ulama
Malikiyah melarang istibdal harta benda wakaf tidak bergerak kecuali untuk
kepentingan umum. Namun demikian, untuk istibdal harta benda wakaf bergerak,
mereka tidak melarangnya dengan syarat tidak dimanfaatkan lagi sesuai dengan
peruntukannya. Adapun ulama Syafi‟iyah cenderung melarang istibdal wakaf.
2. Istibdal Dalam Hukum Positif ( UU. No. 41 Th.2004 dan PP No.42
Th.2006)
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, Tentang Wakaf ini, masalah Istibdal
dimasukkan dalam "hukum pengecualian” (al-hukmu al-istitsna‟i) seperti dalam
BAB IV Pasal 40 dan 41 ayat (1). Dalam pasal 40 dinyatakan:
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
a. Dijadikan jaminan;
b. Disita;
c. Dihibahkan;
d. Dijual;
e. Diwariskan;
f. Ditukar; atau
g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Dalam Pasal 41 dinyatakan:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan
apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengansyariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas
persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar
dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya
sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
55
Dari ketentuan-ketentuan yang tercantum mulai pasal 40 dan 41 diatas,
terlihat adanya sikap kehati-hatian dalam tukar menukar barang wakaf, dan masih
menekankan upaya menjaga keabadian wakaf selama keadaannya masih normal-
normal saja. Tapi disisi lain juga sudah membuka pintu istibdal meskipun tasahul
(mempermudah masalah). Hal ini lebih jelas lagi dengan melihat aturan yang
terdapat pada Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006. Dalam BAB VI, Pasal 49
dinyatakan:
(1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang
kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.
(2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan
umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan
dengan prinsip syariah;
b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf;
atau
c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan
mendesak.
(3) Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin
pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:
a. harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan
b. nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama
dengan harta benda wakaf semula.
(4) Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim
penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:
a. pemerintah daerah kabupaten/kota;
b. kantor pertanahan kabupaten/kota;
c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota;
d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan
e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Pasal 50 dan 51 PP Nomor 42 tersebut, selanjutnya dinyatakan :
Pasal 50
Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut:
a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-
kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
56
b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk
dikembangkan.
Pasal 51
Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan
sebagai berikut:
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan
status/tukar menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota;
c. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah menerima
permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti
dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat
Surat Keputusan;
d. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan permohonan
tersebut dengan dilampiri basil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya meneruskan
permohonan tersebut kepada Menteri;
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat
dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan
dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Konversi Wakaf yang terjadi
di Provinsi DKI Jakarta
Pada bab sebelumnya telah disebutkan bahwa menukar dan merubah
fungsi harta benda wakaf yang terjadi di pondok pesanrtren Darul Rahman
Jagakarsa Jakarta Selatan, karena keadaan pondok pesantren berada di tengah
kepadatan penduduk kota, dan banjir yang menyebabkan sulitnya pondok
pesantren untuk berkembang. dan masjid Hidayatul Musyawaroh Condet
Balekambang Jakarta Timur, karena penduduk sekitar dipindahkan berikut
masjidnya berdasarkan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) yang diusung oleh
pemerintah untuk dijadikan gedung Mangga Dua Square, sehingga masjid tidak
akan produktif lagi jika dibiarkan berada didaerah tersebut.
57
Berdasarkan kesepakatan antara pengurus pondok pesantren Darul
Rahman dengan perusahaan swasta PT. Ambal Akor, sepakat untuk menukar
harta benda wakaf dengan mengambil nilai tengah-tengah dari NJOP wakaf yang
berada di Senopati Jakarta Selatan dipindah Ke Jagakarsa Jakarta Selatan agar
harta wakaf pondok pesantren Darul Rahman berkembang dan produktif.
Begitu juga dengan Masjid Hidayatul Musyawaroh, berdasarkan
kesepakatan antar kedua pengurus masjid, mereka sepakat untuk memindahkan
masjid berada di daerah Mangga Dua untuk memperluas memperbesar
pembangunan wakaf milik masjid yang berada di Condet Balekambang Jakarta
Timur kala itu. Agar manfaat dari wakaf tersebut masjid tetap abadi.
Dari beberapa data yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa
dengan adanya istilah perubahan harta wakaf dalam ilmu perwakafan, pengurus
masjid, nadzir dan tokoh agama di pondok pesantren Darul Rahman dan masjid
Hhidayatul Musyawaroh memandang perpindahan dan penukaran itu sebagai
suatu jalan keluar untuk mempertahankan harta wakaf. Sehingga menukar dan
memindahkan terhadap harta wakaf harus dilakukan pada setiap praktek
perwakafan. Perubahan harta wakaf sendiri menurut pemaparan mereka hanya
dapat dilakukan apabila benar-benar diperlukan dengan tujuan untuk melestarikan
nilai manfaat yang terkandung pada setiap harta wakaf dan untuk kemaslahatan
masyarakat. Bentuk dari perubahan harta wakaf sendiri bisa berupa perubahan
dalam bentuk wujud atau fisiknya maupun perubahan fungsi pemakaiannya.
Tindakan menukar dan merubah harta benda wakaf merupakan sesuai
dengan keinginan masyarakat tersebut, dengan memindahkan pondok pesantren
Darul Rahman dari Senopati ke Jagarsa Jakarta Selatan memberikan keamanan
dan kenyamanan dalam menjalankan kegiatan aktifitas keagamaan kepada
penghuni pondok pesantren, yakni santri dan Ustadz. Begitu juga yang terjadi di
Masjid Hidayatul Musyawaroh, berkat dipindahkan nilai masjid Musyawaroh dari
Mangga Dua Jakarta Pusat, untuk pembangunan masjid Hidayatul Musyawaroh
Condet Jakarta Timur. Kedua belah pihak merasa diuntungkan, yang di Mangga
58
Dua senang karena masjid yang di urus terselamatkan manfaatnya, dan yang di
Condet Jakarta Timur senang karena dibantu dalam pengembangan pembangunan
masjid, sehingga sampai saat ini Jamaah merasa nyaman beribadah dengan
kondisi masid yang lebih luas.
Apabila kita cermati peristiwa di atas, maka dapat kita pahami bahwa
penukaran dan perubahan fungsi tanah wakaf masjid atau non masjid tersebut
memang harus dilakukan karena kalau tidak, akan terbatas dalam pengembangan
harta benda wakaf.
Sebagaimana dijelaskan dalam bab III, bahwa dalam hukum menukar dan
merubah harta atau fungsi tanah wakaf masjid ataupun non masjid terjadi
beberapa pendapat antara para ulama madzhab. Yang menjadi sebab perbedaan
pendapat adalah mengenai dzat dan kemanfaatan wakaf, Semuanya berdasarkan
perbedaan pandangan dalam menyikapi dalil dari hadits Rasulullah SAW:
ه صلهى جر فأتى الىهج عىمب أن عمر ثه الخطهبة أصبة أرضب ثخ للاه سلهم عه اثه عمر رض عل للاه
جر لم أصت مبل قط أوفس عىد إو أصجت أرضب ثخ قبل ستأمري فب فقبل ب رسل للاه ي مى فمب تأمر ث
قت ثب قبل فتصدهق تصده ق ثب ف إن شئت حجست أصلب تصده ل رث ل ت ل جبع ثب عمر أوه
ف الضه جل اثه السه ف سجل للاه قبة ف الر ف القرثى )راي الجخبري( الفقراء 32
“Diriwiyatkan dari Ibn Umar, bahwa Umar bin Khattab memiliki
sebidang tanah di Khaibar. Kemudian mendatangi Rasulullah untuk konsultasi
tentang tanah tersebut. Umar berkata: “wahai Rasul, saya mempunyai sebidang
tanah di Khaibar yang berisikan harta yang belum pernah saya miliki selama
hidup saya. Lantas, bagaimana menurut Anda?” Rasul menjawab: “Jika kamu
berkenan, silakan dirawat pokok (bibit)nya, dan bersedekah dari buah pohon
tersebut.” Kemudian Ibn Umar berkata bahwa Umar bin Khattab melakukan
sebagaiman saran Rasul, yaitu bersedekah dengan buah pohonnya, bibitnya tidak
dijual, tidak pula dibagi-bagikan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkannya
ke orang-orang fakir, para kerabatnya, para budak, para pejuang di jalan Allah,
para ibn sabil, serta tamu.” (HR. Bukhari).
Ulama Syafi‟iyah sangat ketat sekali dalam hal perubahan harta benda
wakaf, karena wakaf itu sifatnya mengikat, abadi, dan tidak bisa ditarik kembali
32
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (T.tp.: Dar Tauq al-
Najah, 1422 H.), juz 3, h. 199
59
atau diperjual belikan, digadaikan, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif
sekalipun wakaf itu telah rusak dan hilang manfaatnya. Baik itu wakaf berupa
masjid ataupun bukan masjid. Karena wakaf itu bersifat abadi, sehingga kondisi
apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian rupa.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak boleh merubah harta benda
wakaf yang berbentuk benda-benda tidak bergerak, walaupun benda tersebut akan
rusak dan tidak menghasilkan sesuatu. Sedangkan untuk benda bergerak
membolehkan, karena dengan adanya penukaran maka benda itu tidak sia-sia
Ulama Hanafiyah mengajukan tiga syarat, yaitu apabila wakif memberi
isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar, apabila benda wakaf itu
tidak dapat dipertahankan lagi, jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih
besar dan lebih bermanfaat.
Ulama Hanabilah tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk
masjid atau bukan masjid. Menurut Hambali wakaf yang sudah hilang manfaatnya
boleh dijual dan uangnya dibelikan seperti semula. Ibnu Taimiyah misalnya,
mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini
benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak dapat lagi
digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas,
atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, sementara di tempat yang
baru mereka tidak mampu membangun masjid yang baru.33
Dasar yang meraka gunakan adalah tindakan sahabat Umar bin Khattab
RA yang memindahkan masjid Kufah yang lama dijadikan pasar bagi para penjual
kurma. Ini adalah penggantian tanah masjid, adapun penggantian bangunannya
dengan bangunan lain, maka sahabat Umar dan Utsman pernah membangun
33
Muhammad Jawad al-Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah ‘ala Mazahib al-Khamsah,
Beirut: Dar al-„Ilm al-Malayin, 1964, h. 333
60
masjid Nabawi tanpa mengikuti konstruksi pertama dan melakukan tambahan
serta perluasan.34
Dengan ini penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa
wakaf boleh ditukar, dipindahkan atau dijual asalkan untuk kepentingan umum
dan menambahnya kemanfaatan terhadap produktifitas barang wakaf tersebut.
Sesuai dengan peristiwa yang ada pada pondok pesantren Darul Rahman, yang
jika tidak dipindahkan, maka tidak bisa berkembang harta benda wakafnya dan
tidak memberikan kenyamanan sebab banjir dan kebisingan di tengah tengah
kepadatan penduduk kota. Begitu juga dengan masjid Hidayatul Musyawarah,
apabila tidak di pindahkan nilai kemanfaatan masjid di Mangga Dua ke masjid di
Daerah Condet Jakarta Timur, maka akan hilang kemanfaatannya. Karena itu
peneliti cenderung sepakat boleh menukar harta benda wakaf, masjid ataupun
bukan masjid untuk memberdayakan harta benda wakaf agar supaya lebih
produktif lagi.
Perubahan harta wakaf menurut ahli fiqih dari kalangan Hanafi dan
Hanbali ini diantaranya adalah Imam Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Taimiyah
berpendapat boleh menjual harta wakaf, atau menukarnya, menggantinya,
memindahkannya harta wakaf yang sudah tidak berfungsi atau kurang berfungsi
(seperti karena rusak atau sebab lain) dan menggunakan hasil penjualan tersebut
untuk kemudian digunakan lagi bagi kepentingan wakaf, kebolehan itu, baik
dengan alasan supaya tetap maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk
mendapatkan maslahat yang lebih besar/ lebih baik bagi kepentingan manusia
pada umumnya.
Amalan wakaf akan bernilai ibadah, bila harta wakaf dapat memenuhi
fungsinya. Apabila harta wakaf mengalami penyusutan, rusak, atau tidak dapat
memenuhi fungsinya sebagaimana tujuan semula, maka harus dicarikan solusi
supaya harta wakaf itu tetap berfungsi.
34
Depag RI, Fiqh Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006, h. 81
61
Harta wakaf itu abadi dan harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis
barang dan cara pemeliharaan yang disyaratkan wakif. Wakaf tersebut boleh
dijual, dipindahkan, dirubah atau diganti untuk kemudian untuk diatur kembali
pemanfaatannya bagi kepentingan umum, sesuai dengan tujuan wakaf. Landasan
utama dari kebolehan tersebut adalah agar benda wakaf itu tetap memberikan
kemaslahatan bagi umat manusia.
Dalam Fiqh dikenal dengan prinsip maslahat, yaitu memelihara
maksudnya, yakni memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang
merugikan. Prinsip ini setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan
perubahan status harta benda wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana
dinyatakan oleh wakif, dari pada dipertahankan tetapi berakibat tidak
berfungsinya aset wakaf tersebut.
Kondisi suatu barang sudah tidak berguna karena rusak, maka benda itu
tidak dapat di ambil manfaatnya, penukaran benda menjadi suatu kebutuhan untuk
mengembalikan manfaat yang ada.
Apabila benda masih bisa dijual, dan apabila taksiran dari penjualan benda
tersebut bisa digunakan untuk membeli barang yang kemanfaatannya minimal
sama dengan benda terdahulu, maka hal ini justru lebih baik. Sebab tidak
menghilangkan segi kemanfaatan dari benda tersebut walaupun jika dilihat dari
segi bentuk benda sudah berubah namun tidak menghilangkan substansi dari
benda itu sendiri. Berbeda dengan benda yang sudah rusak, benda tersebut tidak
dapat memberi manfaat. Mempertahankan benda yang sudah rusak sama halnya
mempertahankan hilangnya tujuan dari benda itu sendiri.
Menjaga nilai manfaat yang terkandung di dalam harta wakaf itu sangatlah
penting, agar manfaat dari harta wakaf tersebut tetap bisa dinikmati, untuk
menghindari terjadinya kemubadziran atas harta wakaf kedepannya, dan
merupakan tanggung jawab seorang nadzir terhadap harta wakaf dan kepada
wakif yang telah mengamanatkan harta wakaf tersebut.
62
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 225 dan Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 1977 pasal 11 dijelaskan bahwa pertukaran wakaf pada dasarnya tidak
dapat dilakukan perubahan. Tetapi sebagai pengecualian, dalam keadaan khusus
perubahan hanya dapat dilakukan ketika telah mendapat persetujuan tertulis dari
Menteri Agama, yang alasannya meliputi:
1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif,
2. Karena kepentingan umum
Menurut penulis bahwa menjaga nilai manfaat dalam harta wakaf
sangatlah penting, karena mengingat tanggung jawab kepada wakif dan berkaitan
juga dengan tujuan wakaf itu sendiri. Akan tetapi apabila terdapat harta wakaf
yang sudah tidak digunakan lagi atau sudah kurang berfungsi atau bahkan tidak
berfungsi, maka demi kepentingan dan prinsip kemaslahatan serta tercapai dan
terpenuhinya tujuan wakaf itu sendiri, maka benda tersebut sebaiknya dilakukan
suatu perubahan sehingga manfaat yang dirasakan terus bersambung sebagai amal
jariyah bagi si wakif.
C. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Konversi Wakaf yang
terjadi di Provinsi DKI Jakarta
Seperti yang dijelaskan dalam bab III, bahwa status tanah pondok
pesantren Darul Rahman Jagakarsa Jakarta Selatan dan Masjid Hidayatul
Musyawaroh Condet Jakarta Timur telah memiliki status hukum yang sah baik
menurut hukum fiqh Islam maupun menurut Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia. Karena memiliki sertifikat tanah yang sah dan sudah didaftarkan
kepada PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf).
Di dalam Undang-undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf, pasal 17
disebutkan bahwa:
1. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan
PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
63
2. Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara
lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh
PPAIW.
Dalam pasal 18 menyebutkan:
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau
tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang
dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat
kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Dalam pasal 19 menyebutkan:
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan
surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Pasal di atas, menjelaskan bahwa Nazhir berkewajiban mendaftarkan tanah
wakaf kepada PPAIW setelah dilakukan Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh dua
orang saksi. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa
dalam pembuatan wakaf dikatakan sah apabila telah didaftarkan kepada PPAIW,
setelah pembuatan Akta Ikrar Wakaf yang disaksikan oleh dua orang saksi.
Dalam KHI pasal 223 menyebutkan:
1. Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar
wakaf.
2. Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3. Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf,
dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
4. Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut
dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. Tanda bukti pemilikan harta benda
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka
harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat
oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak
bergerak dimaksud.
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari
benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Dalam KHI pasal 224 menyebutkan:
64
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan
permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang
bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
Dalam hal menukar dan merubah fungsi tanah wakaf juga di atur dalam Undang-
undang No. 41 tahun 2004, dalam pasal 36 menyebutkan:
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui
PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf
Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda
wakaf.
Mengenai perubahan status harta benda wakaf, dalam pasal 40
menyebutkan:
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
1. Dijadikan jaminan
2. Disita
3. Dihibahkan
4. Dijual
5. Diwariskan
6. Ditukar
7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Dalam Pasal 41 dinyatakan:
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan
apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengansyariah.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas
persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
(7) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar
dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya
sama dengan harta benda wakaf semula.
(8) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
65
Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nadzir dilarang
melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin
tertulis dari Badan Wakaf Indonesia, dan Izin hanya dapat diberikan apabila harta
benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang
dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Undang-undang tentang perwakafan yang dikeluarkan oleh pemerintah,
tidak lain adalah untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah, tentang
perwakafan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat betul-betul memahami dan
menjalankan undang-undang yang telah ditetapkan itu.
Dalam perubahan harta wakaf itu sendiri tidak terlepas dari pentingnya
menjaga nilai manfaat, sebelum harta wakaf tersebut rusak seorang nadzir
mempunyai kewajiban untuk mengelola dan memelihara, akan tetapi apabila harta
wakaf memerlukan adanya perubahan, seorang nadzir juga mempunyai hak untuk
melakukan perubahan baik keadaan ataupun bentuk harta wakaf sehingga menjadi
lebih baik dan bermanfaat, apabila nadzir menghendakinya. Dalam perubahan
harta wakaf itu sendiri tidak terlepas dari pentingnya menjaga nilai manfaat,
sebelum harta wakaf tersebut rusak seorang nadzir mempunyai kewajiban untuk
mengelola dan memelihara, akan tetapi apabila harta wakaf memerlukan adanya
perubahan, seorang nadzir juga mempunyai hak untuk melakukan perubahan baik
keadaan ataupun bentuk harta wakaf sehingga menjadi lebih baik dan bermanfaat,
apabila nadzir menghendakinya.
Berdasarkan penelitian para nadzir dan tokoh agama di pondok pesantren
Darul Rahman di Jagakarsa Jakarta Selatan dan masjid Hidayatul Musyawaroh di
Condet Jakarta Timut telah memahami betapa pentingnya menjaga manfaat yang
ada pada harta wakaf yaitu dengan cara pengelolaan yang benar dimana hal
tersebut merupakan kewajiban dari nadzir dan sangat penting untuk dijaga karena
berdampak dengan kelangsungan nilai manfaat daripada harta wakaf tersebut,
yang pada akhirnya berkaitan dengan tanggung jawabnya kepada wakif, dan
kepada Allah sebagai amanah dalam amal jariyah.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Dampak Sosial
Keagamaan Terhadap Istibdal Wakaf, dengan ini penulis menyimpulkan beberapa
point penting yang menjadi inti dari pembahsan hasil penelitian ini:
1. Dalam prakteknya perwakafan yang terjadi di DKI Jakarta tidak jauh
berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Bahwa harta benda wakaf lambat
laun akan mengalami perubahan, dan membutuhkan pengelolaan wakaf
agar tetap produktif dengan cara melalui ruislag. Ada yang disebabkan
karena faktor harta wakaf tersebut tidak layak pakai, atau tidak produktif
lagi dalam penggunaannya, dan ada sebab terjadinya istibdal wakaf karena
untuk Rencana Umum Tata Ruang yang di programkan pemerintah. Oleh
sebab itu mereka menjadikan ruislag. wakaf sebagai solusi untuk
memproduktifkan harta benda wakaf.
2. Mengenai proses terjadinya konversi wakaf di DKI Jakarta, dalam hal
yang diteliti ini yang menjadi representatif adalah pondok pesantren
Daarul Rahman dan masjid Hidayatul Musyawarah, yaitu prosesnya
berdasarkan keresahan pengelola wakaf, agar bisa terus berkembang tanpa
menyalahi aturan dalam hukum islam dan sesuai dengan prosedur
peraturan ruislag yang diatur dalam PP No.42 tahun 2006 tentang aturan
pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang perwakafan.
3. Mengenai tinjauan hukum islam terhadap konversi harta benda wakaf, atau
disebut juga istibdal wakaf. Bahwa secara umum dalam hal ini ulama
madzhab berbeda pendapat. Ada yang berpendapat harta benda secara
fisiknya yang harus dipertahankan, sehingga tidak boleh diruislag attau
keberlangsungan manfaatnya yang harus dipertahankan sehingga boleh
diruislag untuk kepentingan ummat. Dalam hal ini penulis menganalisis
dan mengambil kesimpulan, bahwa pendapat yang rojih (unggul) adalah
67
boleh mengkonversikan harta benda wakaf hukumnya adalah
diperbolehkan, dengan catatan barang di tukar dengan barang dan nilai
harta wakaf yang ada tidak lebih kecil dibandingkan nilai harta benda
wakaf yang akan digantikan.
Begitu juga tinjauan dalam hukum posiitif tentang ruislag harta
benda wakaf, sudah diatur didalam UU No.41 Tahun 2004 tentang
perwakafan. Kemudian dalam pelaksanaannya diatur dalam PP No.42
tahun 2006 tentang aturan pelaksanaan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang
perwakafan, selanjutnya dengan adanya aturan tersebut, ruislag wakaf
diperbolehkan dengan catatan mengikuti prosedur aturan tersebut.
B. Saran
Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil dalam penelitian
ini, yaitu:
1. Untuk mensukseskan program-program wakaf dikalangan umat Islam
diperlukan berbaagai langkah strategis, cerdas, dan inovatif yaitu
sosialisasi tentang pemahaman wakaf dan pengelolaan wakaf yang lebih
transparansi agar lebih produktif lagi dalam meningkatkan kesejahteraan
ummat melalui wakaf. Maka BWI dan Depag yang menjadi tugas dan
wewenang dalam menangani permasalahan wakaf di Indonesia.
2. Pembinaan nazhir yang lebih intens, karena merupakan salah satu upaya
pengawasan atas pengelolaan harta benda wakaf, maka dalam
pelaksanaannya harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku dengan tetap mempertimbangkan kepentingan umum.
68
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Buku
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita, Cet, Ke-4, Bandung: PT. Aditya Bakti, 1994.
Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual dari Normative ke Pemahaman Sosial,
Semarang: Pustaka Pelajar, 2004.
Al- Anshori, Abu Yahya Zakariya. Fath Al-Wahhab. Juz 1. Semarang: Toha
Putra. T.th
Al-Abiji, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia, Dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: CV Rajawali, 1989.
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih al-Bukhari, Juz 3, T.tp.:
Dar Tauq al-Najah, 1422 H.
Al-Kabisi Muhammad Abid Abdallah, Ahkam al-Waqf al-Shari’ah al-Islamiyah,
J. II Baghdad: Matba’ah al-Irshad 1977.
al-Kabisi, M. Abid Abdullah, Hukum Wakaf, Jakarta: IIman Press, 2003.
Asikin, Amirudin, Zainal , Penghantar Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-1
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,
Azam, Abdul Aziz Muhammad, Al-Fiqhul Mu’amalat, Juz 1 Kairo: Maktabah al-
risalah al-dauliyah, 1997.
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Bimas Islam,
1999.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2004
69
Djunaidi, Achmad dan Thobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, Cet. Ke-5 Depok:
Mumtaz Publishing, 2008.
Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fiqih dan Undang-
Undang,Tangerang: Pustaka Mandiri, 2016.
Fikri, Ali, Al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-‘Adabiyah, Vol. 2, Mesir: Mustasfa
Al-Babi al-Halabi, 1938.
Hadi, Sutrisno Metodologi Research, Cet. Ke 30 Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset,
2000.
Hakim, Abdul, Hukkum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press,2005.
Hasan bin Mansur Al-Awzundi, al- Fatawa al-Kaniyah, Juz , Mesir: Dar al-Fikr,
1310 H
Hasan, Tholhah. “Istibdal Harta Benda Wakaf”, Jurnal Al-Awqaf, Volume II,
Nomor 03 Agustus 2009.
Madkur, Muhammad Salam, al-waqf Beirut : Dar Al-Nahdah al-'Arabiyyah,1961.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006
Mughniyyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala Mal-Madzahib al-Khamsah. Terj.
Masykur, et al., “Fiqih Lima Mazhab”, Cet. Ke-5. Jakarta: Lentera, 2000.
Muhadjir, Noeng Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi ke-3, Yogyakarta: Rake
Sarasin,1996.
Muhammad Abid Abdallah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf al-Shari’ah al-Islamiyah,
Juz II. Baghdad: Matba’ah al-Irshad 1977
Muzarie Mukhlisin. Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat (Implementasi Wakaf di Pondok Modern
Darussalam Gontor), Jakarta: Kementerian Agama RI.
Narbuko, Cholid, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1997.
70
Nawawi, Hasan, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Cet. Ke-2, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1995.
Ra'ana, Irfan, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattâb, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1990.
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Rianto, Adi Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Cet. Ke-1 Jakarta: Granit
2004,
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Perkasa, 2006.
Shomad, Abdul. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Tulus dkk, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, Depag RI.
Tunggal, Hadi Setya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005.
Zaheah, Muhammad Abu. Muhadarat fi al-Waqf, Cairo: Matba’ah Ali
Mukhaymir, 1959
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatu, Juz VIII, Beirut: Dar-Alfikr.
B. Skripsi
Dzulkaidt, Reynaldi. Pola Penyelesaian Senketa di KUA Kecamatan Cimanggis
Kota Depok, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Jakarta 2017.
Romdhoni, Achmad Awaludin. Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah
Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kabupaten Bekasi-Jawa Barat),
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta
2014.
78
NO ALAMAT
TANAH
WAKAF
ALAMAT
TANAH
PENUKAR
LUAS/NILAI
TANAH
WAKAF
LUAS/ NILAI
TANAH
PENUKAR
PERUNTUKA
N TANAH
WAKAF
PEMANFAATAN
TANAH WAKAF
SETELAH
DITUKAR
PEMANFA
ATAN
TANAH
PENUKAR
WAKAF
ALASAN
PENUKARA
N
1 Gang Masjid Al
falah RT 07/02
Pasar Minggu
Jakarta selatan.
Pasar Minggu
RT 08/02 Jakarta
Selatan
47m2/
Rp.43.052.000
86m2/Rp.78.776.0
00
Plus bangunan
musholla
Rp.101.500.000
Majelis Taklim
Al-Ikhlas
Musholla Al-Ikhlas Musholla
Al-Ikhlas
Musholla
sempit, tidak
dapatmenam
pung jamaah
2 Jl. Pejompongan
V Benhil, Tanah
Abang Jakarta
Pusat.
Meruya Utara,
Kemanggisan
Jakarta Barat.
123m2/
Rp.381.300.0000
243 m2/
Rp.753.300.000
Musholla Perluasan Komplek
BPK
Dibangun
masjid
Berada
ditengah-
tengah
komplek
BPK.
3 Pondok
Pesantren
Daarul Rahman,
Jl. Senopati
DalamII No. 35
A, Keb. Baru,
Jakarta Selatan
Jl.Purwaraya RT
006 RW 03 Kel.
Cipedak Kec.
Jagakarsa Jakarta
Selatan
4.601 m2
30.535 m2 Pondok
Pesantren
Pembangunan
Perusahaan
Pondok
Pesantren
4 Yayasan
Pendidikan Al-
Quran, Kel.
Smper, Kec.
Cilincing
Jakarta Utara
Kel. Rorotan,
Kec. Cilincing,
Jakrta Utara.
12.176 m2/
Rp.1.147.000,
permeter.
27.037 m2/
Rp.614.000,
permeter.
Untuk
Pembangunan
Madrasaah Al-
Quran.
Peti Kemas Akses yang
tidak
memungkink
an, karena di
kelilingi oleh
peti kemas.
TABEL I
DATA KONVERSI WAKAF DI DKI JAKARTA
79
5 Jl. AMD 28
Condet Kel.
Balekambang,
Kec. Kramatjati.
Jakarta Tmur
Mangga Dua,
Jakarta Pusat
Untuk Masjid
Hidayatul
Musyawaroh
Perluasan
pembangunan Mall
Mangga dua
Masjid
Hidayatul
Musyawaro
h
RUTR
(Remcana
Umum Tata
Ruang)
80
HASIL WAWANCARA
Dalam hal ini penulis melakukan wawancara kepada Ust. M. Faiz Syukron
Makmun dan KH. M. Nuruddin Munawwar selaku tokoh agama dan nazhir.
1. Apa alasan dan Bagaimana latarbelakang terjadinya konversi harta benda
wakaf ?
Untuk menggali informasi tentang apa alasan dan bagaimana
latarbelakang terjadinya konversi harta benda wakaf yang terjadi di pondok
pesantren Daarul Rahman dan masjid Hidayatul Musyawaroh.
Peneliti melakukan wawancara yang pertama adalah dengan ustadz
Muhammad Faiz selaku tokoh agama dan sekaligus selaku wakil nazhir pondok
pesantren Daarul Rahman, berikut pendapat beliau:
Wakaf pondok pesantren Daarul Rahaman ini awalnya amanah tanah
wakaf dari H. Abdurrahman diperuntukkan kegiatan pendidikanIslam. Dan
pembangunannya hasil dari kumpulan sumbangan jamaah pengajian ayah saya
(KH. Syukron Makmun). Ditahun 1990 tata kota menjadi berubah, yang
membuat banyak gedung-gedung tinggi perkantoran di sekitar pondok pesantren.
Nah, yang menjadi alasan melakukan ruislagh adalah keadaan pondok pesantren
di tengah kepadatan penduduk kota, dan banjir yang menyebabkan sulitnya
pondok pesantren untuk berkembang. Karena dengan kapasitas santri yang
kurang lebih seribu orang, ditumpuk dengan lokasi yang hanya seluas 4.601 m2,
sehingga tidak punya lapangan yang luas, dan sarana prasarana tidak dapat
dikembangkan. Kemudian seorang pengusaha bernama Maftuh Basuni
menawarkan untuk ruislagh dengan perusahaan PT. Ambal Akor.1
Selanjutnya peneliti melakukan wawancara yang kedua adalah dengan
Drs. KH.M. Nuruddin Munawwar selaku pimpinan nazir di masjid Hidayatul
Musyawaroh, berikut pendapat beliau:
1 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal
11 November 2017, pukul: 12.54 WIB
81
Pada tahun 1980 an asal tanah wakaf yang ada itu untuk musholla Al-
Hidayah, luas 150 m2 kurang lebih, wakafnya H. Yahya dan H. Thohir. Waktu
itu surat wakafnya tidak ada, pemberiannya pemberian langsung saja
berdasarkan kepercayaan. Lalu saya sebagai nazhir, H. Yahya dan H. Thohir
sebagai wakif sepakat wakaf itu di buat masjid. Dan disamping musholla itu ada
tanah untuk anak yatim, terus di tukar dengan tanahnya jamaah saya bernama
pak prapto sehingga wakafnya menjadi 650 m2.
Pada waktu itu di tempat saya mengajar di masjid Musyawaroh daerah
mangga dua Jakarta Pusat, ingin di bongkar karena alasan program pemerintah
RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Singkat cerita semua penduduk yang ada
di daerah tersebut digusur termasuk wakaf masjid itu. Ketika itu nazhir masjid
Musyawaroh tersebut tidak tahu ingin dipindahkan kemana. Kebetulan saya
sedang bangun masjid di condet, kemudian wakaf masjid Musyawaroh itu dibeli
oleh developer perusahaan, beerdasarkan kesepakatan nazhir dipindahkan
wakafnya untuk mengembangkan pembangunan masjid yang ada di condet,
sehingga masjid tersebut diberi nama Hidayatul Musyawaroh.2
2. Apa Hukum menukar harta benda wakaf dan merubah fungsi tanah wakaf?
Untuk mengetahui informasi tentang Hukum menukar harta benda wakaf
dan merubah fungsi tanah wakaf di pondok pesantren Daarul Rahman dan masjid
Hidayatul Musyawaroh.
Berikut pendapat ustadz Muhammad Faiz:
Hadits tentang pelarangan ruislagh wakaf saya tau, lâ yuba’, walâ yurots.
Tapi yang saya ketahui di kajian BWI seminar wakaf sedunia, bahwa ruislagh itu
bukan kepada ‘ainul waqfi (zat wakaf) nya tapi lebih kepada sabil al-manfa’at
(keberlangsungan manfaat) nya. Dan ketika kami melakukan ruislagh wakaf
melihat regulasi dan aturannya, ternyata Indonesia sudah mengadopsi pemahaman
itu, bahwa melihat kemanfaatan wakafnya bukan kepada dzat wakafnya. Karena
2 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul
Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB
82
hadits tersebut di sesuaikan dengan zamannya. Mungkin zaman dulu kualitas
tanah sama saja, Tapi sekarang berbeda.
Jadi ruislagh harta benda wakaf itu boleh, mengingat bahwa sahabat Umar
RA, pernah mengganti masjid di Irak. Ini pembahasan fikih yang notabene adalah
zhonny, dan menurut peraturan pemerintahpun diperbolehkan ruislagh karena
“hukmu al-hakim yarfa’ul khilaf ” (keputusan hakim/ pemerintah memghilangkan
perbedaan). Karena kami yakin akan membawa maslahat yang lebih besar untuk
produktifitas wakaf, maka dari itu kami melakukan ruislagh wakaf.3
Dan selanjutnya pendapat kyai Nuruddin Munawwar:
Jika tidak dipindahkan masjid Musyawaroh tersebut, akan terbengkalai
dan hilang kemanfaatannya, oleh sebab itu menjaga kemanfaatan harta wakaf
adalah perbuatan baik, karena wakaf itu untuk kemashlahatan ummat.
Wakaf itu yang diambil manfaatnya bukan Syai’un Yuqof nya, sekarang
kalau Syai’un Yuqof nya sudah hilang dan manfaatnya bisa diambil, yasudah
diambil, karena Syai’un Yuqof itu hanyalah sarana, yang terpentinng manfaatnya.
Ada kitab yang menjelaskan, bahwa dzatnya wakaf itu bisa di jual. Seperti
suatu bangunan masjid, ada benda benda yang sudah tidak bisa dipakai, tapi masih
bisa dimanfaatkan untuk hal yang lain, boleh di jual, yang terpenting untuk
kepentingan dan kemanfaatan masjid itu juga.4
3. Apa dampak sosial yang terjadi setelah dilakukan konversi wakaf?
Untuk mengetahui informasi tentang dampak sosial setelah dilakukan
koversi wakaf di pondok pesantren Daarul Rahman dan masjid Hidayatul
Musyawaroh.
Berikut pendapat ustadz M. Faiz:
Setalah pondok pesantren ini di ruislagh, alhamdulillah menambah luas
tanah dan bangunan, santri lebih nyaman. Dulu di pesantren ini, yang daftar
masuk sektar 700 orang, Karena kondisi sekitar pondok pesantren ini adalah
3 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal
11 November 2017, pukul: 13.00 WIB
4 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul
Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.45 WIB
83
apartemen, sehingga berikisik, debu, polusi udara tidak enak, bissing dan banyak
kuli proyek yang menyebabkan santri yang daftar turun dari 1.750 orang hingga
400 orang yang daftar.
Begitu di ruislagh dan di pindah di Jagakarsa, tahun kemarin yang daftar
1.800 orang, berhubung sember daya manusia yang mengurus santri terbatas, jadi
yang diterima 750 orang. Dulu di senopati santri yang keluar dari pesantren setiap
tahunnya sekitar 200 orang dari yang daftar sekitar 400 orang santri. Dan
sekarang santri yang keluar hanya sekitar 20 orang dari yang daftar 750 orang.
Dan itu terbilang wajar, karena santri yang masuk di jagakarsa lebih banyak
dibanding santri di senopati. Karena mungkin dulu tidak nyaman belajar, sehingga
prestasi merosot. Sekarang santri lebih nyaman, lebih sehat, dan lebih banyak
kegiatan karena lokasi yang sekarang lebih nyaman dan luas sehingga fasilitas
memadai.5
Selanjutnya pendapat kyai Nuruddin:
Setelah terjadinya ruislagh, warga sini senang karena dibantu untuk
pembangunan masjid, dan pengurus masjid Musyawaroh di mangga dua juga
senang, karena msjidnya selamat, tetap dimanfaatkan untuk ibadah umat Islam.
Alhamdulillah jamaah masjid ini banyak, nyaman, dan banyak kegiatan
keagamaan di masjid ini, seperti pengajian rutin, santunan yatim Dll. Sampai saya
bisa bangun pondok pesantren di sebelah masjid ini, salah satunya berkat syiar
melalui masjid ini.6
5 Wawancara dengan bapak ustad M. Faiz, di Pondok Pesantren Daarul Rahman, tanggal
11 November 2017, pukul: 13.15 WIB
6 Wawancara dengan bapak KH. M. Nuruddin Munawwar, di Masjid Hidayatul
Musyawarah, tanggal 17 November 2017, pukul: 13.33 WIB
84
Dokumentasi Wawancara
Wawancara dengan Ustadz M. Faiz.
Nazhir Pondok Pesantren Daarul Rahman
Wawancara dengan KH. M. Nuruddin Munawwar
Nazhir Masjid Hidayatul Musyawaroh
Top Related