1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab satu, berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.
1.1 Latar Belakang
Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur
konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam basa darah, serta ekskresi
bahan buangan dan kelebihan garam (Pearch, 2009). Apabila ginjal gagal
menjalankan fungsinya maka penderita memerlukan pengobatan dengan segera.
Keadaan dimana ginjal lambat laun mulai tidak dapat melakukan fungsinya dengan
baik disebut dengan gagal ginjal kronis (Sidabutar, dalam Supriyadi, Wagiyo, &
Widowati, 2011).
Menurut U.S Renal Data System, lebih dari 300.000 penduduk Amerika
mengalami ESRD (End Stage Renal Disease), yang disebut juga penyakit ginjal
tahap akhir. Beberapa diantara mereka harus menjalani hemodialisis, dan hampir
57.000 dari mereka harus menunggu transplantasi ginjal (Safa`a, 2006). Bahkan
dalam keadaan terburuk, diantara mereka terancam jiwanya karena ginjalnya tidak
lagi memadai untuk menghilangkan limbah dan air dari darah.
Data lain menyebutkan, diperkirakan 800.000 penduduk Amerika
mengalami penyakit gagal ginjal kronis dengan kreatinin serum 2,0 Mg/dL dan
lebih dari 6,2 juta orang kadar kreatinin serum mencapai 1,5 mg/dL atau lebih
(Prodjosudjadi, 2009).
2
Di Indonesia penyakit gagal ginjal setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Penyumbang utama pada penderita gagal ginjal adalah penderita yang mengalami
penyakit diabetes dan hipertensi. Berdasarkan data yang dirilis PT. Askes pada
tahun 2010 jumlah penderita gagal ginjal ialah 17.507 orang. Kemudian meningkat
lagi sebesar 23.261 pasien di tahun 2011. Pada tahun 2013 jumlah ini diperkirakan
akan terus meningkat terkait terus meningkatnya populasi penyakit diabetes dan
juga hipertensi (Nawawi, 2013). Angka tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, hal
tersebut tentu membutuhkan usaha khusus yang harus dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat guna menekan jumlah prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di
Indonesia.
Dari data di atas menunjukkan bahwa penyakit ini sangat penting untuk kita
perhatikan, mengingat jumlah penderita pertahunnya selalu mengalami
peningkatan dan biaya yang ditanggung oleh negara untuk mengobati penderita
dengan penyakit ini sangat mahal, dan juga tidak ada program khusus dari
pemerintah guna mencegah terjadinya peningkatan jumlah penderita yang hidupnya
harus tergantung pada alat hemodialisa.
Hemodialisa (HD) merupakan suatu prosedur dimana darah dikeluarkan
dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin luar tubuh yang disebut
dialiser. Frekuensi tindakan hemodialisa bervariasi tergantung banyaknya fungsi
ginjal yang tersisa, rata-rata penderita menjalani tiga kali seminggu, sedangkan
lama pelaksanaan hemodialisa paling sedikit tiga sampai empat jam tiap sekali
tindakan terapi. Berbagai keluhan fisik maupun psikologis dialami penderita gagal
ginjal kronis sebelum menjalani hemodialisa. Penderita akan sangat terganggu
3
aktivitasnya baik untuk bekerja maupun bersosialisasi, juga kesulitan tidur karena
rasa nyeri yang dirasakan. Berbagai keluhan fisik dikeluhkan penderita tergantung
dari tingkat keparahan penyakitnya dan komplikasi yang menyertai tidak sama
antara satu penderita dengan penderita lainnya. Penderita gagal ginjal kronis akan
merasakan adanya rasa tidak nyaman, sesak, oedema, nyeri dada, rasa mual dan
bahkan muntah, serta kram otot yang mengakibatkan nyeri hebat (Brunner &
Suddath, 2002). Keluhan fisik lain yang dialami penderita pada umumnya akan
menimbulkan stres fisik, penderita akan merasakan kelelahan, sakit kepala, dan
keluar keringat dingin akibat tekanan darah yang menurun (Gallieni et al, dalam
Supriyadi, Wagio & Widowati, 2011).
Terapi hemodialisa juga akan mempengaruhi keadaan psikologis penderita.
Berdasarkan Kubler dan Ross (1969) dalam bukunya ada beberapa tahapan reaksi
penderita ataupun keluarga ketika mendengar penyakit yang diderita yaitu denial
(penderita menolak keadaan), anger (penderita tidak dapat mengontrol kondisi
emosinya), bargaining (penderita mulai mencoba berdialog dengan perasaannya),
depression (penderita sudah mulai beradaptasi tetapi belum cukup motivasi
sehingga masuk fase sense of hopelessness) dan acceptance (penderita menerima
kenyataan dan patuh terhadap rencana tindak lanjut). Menurut Taylor (2003),
penyakit kronis sering menjadikan shock bagi seseorang. Respon emosi penderita
penyakit kronis dapat berupa penolakan, kecemasan hingga depresi. Penolakan
merupakan mekanisme pertahanan penderita yang menghindari implikasi dari
penyakit. Semua kondisi tersebut akan menyebabkan menurunnya happiness
penderita gagal ginjal kronis.
4
Menurunnya happiness penderita disebabkan karena adanya penyakit gagal
ginjal kronis yang dialami penderita sebagai dampak gaya hidupnya pada masa lalu.
Saat penderita gagal ginjal merasakan kebahagiaan bisa terlepas dari penyakit, atau
mengalami kebahagiaan melalui penyakit. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi
kondisi seseorang menjadi bahagia atau tidak bahagia, tergantung dari cara pandang
seseorang menilainya. Menurut Lyumbomirsky dan Lepper (1999), happiness
sebagai penilaian subjektif dan global dalam diri sebagai orang yang bahagia atau
tidak bahagia.
Selama ini terdapat penelitian mengenai happiness pada penderita penyakit
kronis, misalnya pada penelitian yang dilakukan Hoppe (2013), mengenai
happiness pada penderita Multipel Sclerosis yang menyerang sistem saraf pusat
hingga mengakibatkan hilangnya fungsi tubuh. Dilakukan 52 responden
penyandang cacat di Amsterdam dan di Dublin menyatakan penyandang cacat dan
kebahagiaan dapat hidup berdampingan. Sementara beberapa orang dapat
merasakan kebahagiaan bisa terlepas dari penyakit, atau mengalami kebahagiaan
melalui penyakit. Meskipun dalam penelitian ini menggambarkan orang sakit
kronis yang mengalami kebahagiaan, hidup dengan penyakit kronis atau cacat tidak
berarti mudah dan adaptasi dengan cepat. Lebih tepatnya, kebanyakan orang pada
umumnya mengungkapkan bahwa orang-orang yang sakit atau orang cacat belum
tentu bahagia, seperti yang banyak diyakini dan dirasakan. Fakta bahwa kualitas
hidup yang baik dan kebahagiaan yang dialami juga tidak berarti bahwa frustrasi,
kesedihan, ratapan dan putus asa tidak hadir dalam keberadaan individu. Hal ini
telah menjadi jelas, melalui penelitian ini, bahwa orang penyandang cacat dapat
5
mengalami kebahagiaan dengan baik atau sangat baik tergantung dari munculnya
situasi yang saling berlawanan ini karena penyandang cacat cenderung
mengalihkan fokus dari negatif ke positif. Begitu pula pada penderita penyakit
kronis dapat merasakan happiness, bahkan dalam menghadapi kesulitan, atau
sebagai orang yang konsisten tetap bahagia meskipun pada situasi yang terbaik.
Selain itu, terdapat kasus lain berdasarkan wawancara penulis temukan di
klinik hemodialisa Muslimat NU Cipta Husada I, bahwa hampir semua penderita
gagal ginjal mengalami perasaan yang sama dengan penderita lainnya. Ketika
divonis gagal ginjal dan baru menjalani hemodialisa yaitu merasa stres, masih
belum bisa menerima kenyataan dan penyangkalan terhadap penyakitnya, dan
merasa tidak bahagia. Setelah itu, beberapa tahun menjalani hemodialisa bahwa
penyakit gagal ginjal tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Dengan menjaga
pola hidup sehat, asupan makanan sehat, rutin melakukan hemodialisa membuat
mereka lebih bersyukur dan pasrah atas nikmat yang Tuhan berikan. Beberapa
diantara mereka tetap merasa bahagia meskipun dalam keadaan sakit tidak
mengurungkan semangatnya untuk menikmati hidupnya.
Tetapi ada juga beberapa penderita yang lain merasakan ketidakbahagiaan
dalam hidupnya dengan penyakit yang dideritanya. Menurut mereka, bisa merasa
bahagia bila terlepas dari penyakitnya. Berharap dapat merasakan kesembuhan
seperti sediakala merupakan keinginannya. Tetapi tidak akan terwujudnya
keinginan itu membuat mereka merasa pasrah terhadap penyakitnya. Seperti yang
dijelaskan Priyanti (2012), bahwa penyakit dan kebahagiaan, secara kasat mata
merupakan sesuatu yang sangat bertolak belakang. Semua tergantung dari
6
perspektif mana kita melihat dan makna yang kita peroleh. Kualitas peristiwa bukan
pada peristiwanya, tetapi pada “makna” yang kita berikan pada peristiwa tersebut.
Sakit adalah peristiwa. Sakit bisa dimaknai sebagai sesuatu yang buruk, dan juga
bisa dimaknai sebagai sesuatu yang baik.
Menurut Myers dan Diener (dalam Lyubomirsky & Lepper, 1999), dari
penjelasan tersebut menjadi bukti dalam pengalaman sehari-hari menunjukkan
bahwa salah satu yang paling penting diposisi manusia adalah happiness. Kita
semua dapat mengidentifikasi orang yang kronis bisa bahagia, bahkan dalam
menghadapi kesulitan sekalipun, atau orang-orang yang konsisten bahagia
meskipun dalam situasi yang terbaik. Berarti, seseorang bisa saja merasakan
ketidakbahagiaan dalam hidupnya walaupun hidupnya dikelilingi oleh segala
kenyamanan, cinta, kesehatan dan kesejahteraan. Sebaliknya seseorang bisa saja
tetap merasakan kebahagiaan walaupun hidupnya penuh dengan permasalahan
hidup, rintangan, tragedi, ketidaksejahteraan, dan tidak adanya cinta. Hal ini
membuktikan bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria subjektif
(personal) yang dimiliki individu dan sangat bervariasi tergantung dari seseorang
menilainya.
Pentingnya happiness menjadi salah satu cara bagi penderita gagal ginjal
untuk dapat mengalami kebahagiaan dengan baik atau sangat baik tergantung dari
munculnya situasi yang saling berlawanan ini dengan mengalihkan emosi negatif
ke emosi positif, agar bisa bertahan dengan dengan penyakitnya dan dapat
melanjutkan hidupnya dengan baik. Oleh sebab itu, apabila penderita gagal ginjal
bisa merasakan kebahagiaan maka akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikisnya.
7
Hal ini akan menimbulkan suatu keyakinan pada diri penderita terhadap
kesehatannya, serta dapat menampilkan perilaku lebih positif, dimana penderita
akan termotivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan
melakukan hemodialisa secara teratur dan mengikuti prosedur pengobatan yang
telah ditentukan.
Happiness pada setiap individu tentu dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu. Berdasarkan penelitian terbaru faktor-faktor yang mempengaruhi
happiness menurut Alavi (2007), diantaranya adalah religiusitas, sukarela dalam
melakukan kebaikan, rasa saling berbagi, hubungan sosial, kondisi negara
mencakup perekonomian dan kestabilan sosial, meditasi, pernikahan, usia, jenis
kelamin, kesehatan, global self-esteem, kepribadian (humor).
Faktor yang mempengaruhi happiness salah satunya adalah kepribadian.
Menurut Allport (dalam Schultz, 2005) salah satu ciri kepribadian yang sehat yaitu
kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri secara objektif dan mampu menangkap
humor terutama yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Hasanat dan Subandi (1998)
humor dinilai dapat menimbulkan emosi positif, sebab humor menjadikan
seseorang dapat tersenyum ataupun tertawa dan memunculkan ekspresi wajah
positif. Emosi positif yang ditimbulkan dari humor merupakan salah satu upaya
coping yang berfokus pada emosi. Selain itu, kepekaan humor yang tinggi dapat
membuat seseorang menjadi lebih rileks, tidak tegang lagi, sehingga pikiran pun
dapat lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan masalah. Menurut Liu (2012),
humor merupakan stimulus yang membuat orang tertawa dan merasa bahagia.
8
Pada dasarnya humor merupakan naluri manusia untuk mencari kesenangan
dan kegembiraan. Humor menjadi sangat penting bagi para penderita gagal ginjal
yang menganggap humor sebagai pengalihan untuk mencari kesenangan dan
kebahagiaan untuk bertahan dari keluhan penyakit yang dideritanya. Seperti yang
djelaskan Hendarto dan Widjaja (dalam Rahmanadji, 2007), naluri manusia untuk
mencari kesenangan, kegembiraan, dan hiburan sudah dimiliki sejak bayi. Manusia
hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan hiburan. Selain itu,
Kelucuan atau humor berlaku bagi manusia normal, dengan tujuan untuk
menghibur, karena hiburan merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia untuk
ketahanan diri dalam proses pertahanan hidupnya.
Bagi pada penderita gagal ginjal kronis, humor style menjadi faktor yang
menentukan keadaan happiness seseorang. Dengan humor sebagai salah satu cara
untuk menciptakan hiburan dan mengalihkan emosi negatifnya. Seperti penelitian
terbaru yang dilakukan Ford, McCreight, dan Richardson (2014) bahwa ada
hubungan antara gaya humor adaptive atau dua humor style positif (affiliative dan
self-enhancing humor) terhadap happiness. Dari hasil penelitian lain yang
dilakukan oleh Liu (2012) dengan sampel mahasiswa di Hongkong ditemukan
bahwa adaptive humor (affiliative dan self-enhancing humor) memiliki hubungan
yang positif terhadap happiness, dan maladaptive humor (aggressive dan self-
defeating humor) memiliki hubungan yang negatif terhadap happiness. Hal tersebut
terjadi karena aggressive humor dan self-defeating humor termasuk dalam
maladaptive humor yang berpotensi dapat merugikan individu, sedangkan
9
affiliative dan self-enhancing humor merupakan humor yang adaptive dan tidak
merugikan.
Faktor lain juga memiliki peranan penting yang dapat mempengaruhi
happiness, salah satunya adalah self-esteem. Branden (2011), menyebutkan self-
esteem mengandung nilai keberlangsungan hidup yang merupakan kebutuhan dasar
manusia. Selain itu, Branden juga menyatakan bahwa self-esteem merupakan suatu
kebutuhan mendasar bagi manusia, karena berfungsi sebagai penyumbang utama
dalam proses kehidupan seseorang. Hal ini memungkinkan self-esteem mampu
memberikan sumbangan bermakna bagi proses kehidupan individu selanjutnya,
maupun bagi perkembangan pribadi yang sehat.
Berne dan Savary (dalam Ghufron, 2010), menjelaskan bahwa orang yang
memiliki harga diri yang sehat adalah orang yang mengenal dirinya sendiri dengan
segala keterbatasannya, mereka tidak malu atas keterbatasan yang dimiliki,
memandang keterbatasan sebagai suatu realitas dan menjadikan keterbatasan itu
sebagai tantangan untuk berkembang. Ia juga menyebutkan bahwa harga diri yang
sehat adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri berharga, berkemampuan,
penuh kasih sayang yang memiliki bakat-bakat pribadi yang khas serta kepribadian
yang berharga dalam hubungannya dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang
merasa rendah diri, memiliki gambaran negatif pada diri, sedikit mengenal dirinya
sehingga menghalangi kemampuan untuk menjalin hubungan, merasa terancam dan
tidak berhasil.
Dalam beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan self-esteem
yaitu penelitian yang dilakukan Farzaee (2012), dengan jumlah sampel 150 murid
10
yang terdiri dari 8 kelas perempuan, menyatakan bahwa self-esteem merupakan
salah satu variabel psikologis yang penting dalam membentuk dan meningkatkan
happiness seseorang. Didukung oleh penelitian lain dari Furham dan Cheng (2000),
dengan jumlah sampel 406 murid SMA diberbagai sekolah di Amerika, juga
menyatakan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa self-esteem sangat dominan
kuat sebagai prediktor happiness. Berarti dapat disimpulkan bahwa tingginya self-
esteem akan menyebabkan happiness yang lebih besar, bila self-esteem meningkat
maka happiness akan meningkat dan begitu juga sebaliknya.
Didukung oleh penelitian Lyubomirsky, Tkach, dan Dimatteo (2006)
dengan sampel pensiunan karyawan, yang menjelaskan bahwa dalam pengalaman
sehari-hari, orang berpikir baik tentang diri mereka sendiri cenderung merasa
bahagia. Orang yang tidak memiliki harga diri umumnya tidak bahagia. Bukti
empiris mendukung intuisi ini, mengungkapkan terdapat korelasi tinggi antara
pengukuran happiness dan self-esteem.
Self-esteem memiliki korelasi yang kuat dengan happiness bukan hanya
karena tingkat tinggi, self-esteem mengarah ke kehidupan yang bahagia dan
produktif, tetapi juga kekuatan prediksi langsung pada happiness (Baumeister et al,
2003). Pada penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa self-esteem yang lebih
tinggi akan menyebabkan happiness yang lebih besar dalam kondisi tertentu, self-
esteem rendah lebih cenderung menyebabkan depresi. Berbagai penelitian yang
diusulkan sudut pandang yang berbeda. Beberapa menyarankan bahwa self-esteem
dapat meringankan stress. Namuiun pada penelitian lain yang berbeda,
menunjukkan efek negatif dari self-esteem rendah terutama dirasakan dimasa yang
11
baik sementara yang lain masih menemukan bahwa self-esteem yang tinggi
membawa bahagia, hasil-hasil terlepas dari stress atau keadaan lain (Baumeister et
al, 2003).
Selain humor style, self-esteem, hal lain yang dapat meningkatkan happiness
adalah mendekatkan diri dengan Tuhan YME. Sejalan dengan yang dijelaskan oleh
Seligman (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi happiness adalah agama.
Selain itu, salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para penderita gagal ginjal
kronis agar dapat mendapatkan happiness serta mengatasi masalah psikologis
dalam hidupnya melalui keberagamaan (religiusitas). Religiusitas diwujudkan
dengan berbagai sisi kehidupan manusia. Segala aktivitas yang dilakukan dalam
beragama bukan hanya dilakukan dalam perilaku ritualnya (beribadah) saja, tetapi
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
Selanjutnya Brody, Stoneman, Flor, dan McCrary (dalam Franklin, 2008)
menyatakan bahwa keyakinan dan kegiatan keagamaan dapat memberikan manfaat,
seperti dukungan emosional ketika menghadapi berbagai situasi yang sulit. Hal ini
juga terjadi pada penderita gagal ginjal kronis agar hidupnya lebih bermakna untuk
mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, penderita penyakit ini lebih
mendekatkan diri dengan menjalankan ritual (beribadah), berserah diri, pasrah dan
yakin akan takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Karena dengan memiliki
keyakinan serta menjalankan ritual (beribadah) merupakan suatu simbol nilai untuk
memperoleh tujuan hidup seseorang dan dapat memberikan manfaat dalam
mengahadapi berbagai situasi yang sulit.
12
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haller dan Hadler (2006)
menjelaskan agama dan keberagamaan merupakan determinan yang signifikan
terhadap happiness. Partisipasi dalam aktifitas keagamaan memiliki efek yang
signifikan terhadap happiness seseorang. Sementera itu, menurut Koenig (dalam
Khalek, 2006) juga menyatakan bahwa seseorang yang beriman serta tulus dalam
menjalankan ibadahnya sesuai dengan aturan agamanya maka ia lebih menikmati
kesehatannya secara fisik dan psikis menjadi lebih baik. Menurut Alavi (2007)
dalam penelitiannya bahwa orang beragama cenderung lebih bahagia dari pada
orang yang tidak beragama. Keimanan dalam agama juga menghubungkan individu
dengan sesuatu yang melampaui diri mereka. Orang yang melakukan ritual
keagamaannya (beribadah) menikmati manfaat pada kesehatan dan kesejahteraan.
Dalam penelitian lain, menurut Aghili dan Kumar (2008) dengan sampel
1491 karyawan, menjelaskan ada hubungan positif antara sikap religious dan
happiness. Dari penelitian tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menjelaskan orang yang religiusitasnya tinggi ditemukan lebih bahagia dari pada
orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Khalek, 2006; Balswick & Balkwell,
1979; Cutler, 1976; Ellison, 1991; Frankel & Dia Graney, 1975). Berarti dengan
religiusitas yang rendah dapat membawa lebih banyak ketegangan serta kecemasan
dalam diri.
Penelitian mengenai humor style, self-esteem, religiusitas dan happiness
memang sudah banyak dilakukan diberbagai negara. Namun, informasi mengenai
happiness pada pasien penderita gagal ginjal kronis masih sangat kurang di
Indonesia. Jadi dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui apakah seseorang
13
yang mengalami penyakit gagal ginjal kronis tetap dapat memiliki kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan dengan penyakit yang dideritanya. Untuk itu penulis tertarik
untuk meneliti masalah yang dialami oleh penderita gagal ginjal kronis berdasarkan
fenomena yang penulis temukan.
Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti fenomena masalah yang dialami
oleh penderita gagal ginjal kronis. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi
happiness peneliti hanya memfokuskan pada humor style, self-esteem dan
religiusitas terhadap happiness. Berdasarkan uraian diatas, maka penting untuk
diadakan penelitian dengan judul: “Pengaruh Humor Style, Self-esteem, dan
Religiusitas terhadap Happiness Penderita Gagal Ginjal Kronis”
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
1.2.1 Batasan Masalah
Agar penelitian ini fokus terhadap variabel yang akan diteliti, penelitian ini dibatasi
hanya untuk mengetahui pengaruh humor style, self-esteem, dan religiusitas
terhadap happiness. Adapun pengertian konsep masing-masing variabel adalah
sebagai berikut:
1. Happiness yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi definisi happiness
menurut Lyumbomirsky dan Lepper (1999) yang menyatakan bahwa
kebahagiaan sebagai penilaian subjektif dan global dalam menilai diri sebagai
orang yang bahagia atau tidak bahagia.
2. Humor Style yang dimaksud dalam konteks penelitian ini dibatasi pada definisi
humor style menurut Martin (2007) adalah segala hal yang dilakukan dan
14
diucapkan seseorang yang dianggap lucu dan cenderung membuat orang lain
tertawa.
3. Self-esteem yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada definisi self-
esteem menurut Rossenberg et al (1995) yaitu penilaian individu positif atau
negatif secara keseluruhan terhadap diri sendiri.
4. Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi pada definisi
religiusitas menurut Glock dan Stark (1967) yaitu sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlambangkan, yang
semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu
yang paling maknawi.
5. Penderita gagal ginjal yang dimaksud dalam konteks penelitian ini adalah
individu yang mengalami kemunduran pada organ ginjal dan harus melakukan
terapi hemodialisa lebih dari 3 bulan (penderita gagal ginjal kronis) di klinik
hemodialisis Muslimat NU Cipta Husada I.
1.2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara humor style, self-esteem, dan
religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi affiliative humor pada
variable humor style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi self-enhancing humor
pada variable humor style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
15
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi aggressive humor pada
variable humor style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi self-defeating humor pada
variable humor style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara self-esteem terhadap happiness
penderita gagal ginjal kronis?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi intellectual pada variable
religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi ideology pada variable
religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi public practice pada
variable religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
10. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi private practice pada
variable religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
11. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi experience pada variabel
religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh humor
style (affiliative humor, self-enhancing humor, aggressive humor, self-defeating
humor), self-esteem, religiusitas (intellectual, ideology, public practice, private
practice, experience) terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis.
16
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh humor style, self-esteem,
dan religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis. Happiness
penderita gagal ginjal kronis dalam penelitian ini digunakan melihat sudut pandang
kebahagiaan penderita dengan penyakitnya, serta untuk membantu kualitas hidup
penderita gagal ginjal kronis agar tetap bertahan dengan keadaan sakit kronis
sekalipun. Sehingga diharapkan dapat memperkaya dan memberikan kontribusi
terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Psikologi Klinis, Psikologi
Kesehatan dan Psikologi Agama.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah informasi dan masukan
kepada masyarakat, serta penderita gagal ginjal kronis tentang pentingnya
happiness terutama untuk mengatasi ketegangan, konflik, stress, dan frustasi yang
dialami pasien setelah di diagnosa gagal ginjal dan harus melakukan hemodialisa.
Apabila penderita merasa happy, hal ini akan menimbulkan suatu keyakinan pada
diri penderita terhadap kesehatannya, serta dapat menampilkan perilaku lebih
positif, dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik, daya tahan tubuhnya akan
meningkat sehingga penderita akan termotivasi untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dengan melakukan hemodialisa secara teratur dan
mengikuti prosedur pengobatan yang telah ditentukan. Penelitian ini juga membuka
wawasan mengenai kebahagiaan bermanfaat bagi kesehatan mental kita.
17
BAB 2
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan dipaparkan beberapa kajian teori, diantaranya mengenai teori
humor style, self-esteem, religiusitas, happiness penderita gagal ginjal, serta
kerangka berpikir dan hipotesis.
2.1 Happiness Penderita Gagal Ginjal Kronis
2.1.1 Pengertian happiness penderita gagal ginjal kronis
Carr (2004) menjelaskan happiness dan subjective well-being mengarah pada
perasaan positif yaitu sebagai perasaan bahagia atau ketenangan maupun keadaan
positif. Sedangkan menurut Diener et.al (dalam Carr, 2004) happiness dan
subjective well-being sebagai gabungan dari perasaan positif dan kepuasan hidup.
Happiness merupakan evaluasi seseorang terhadap kehidupan yang mereka alami,
lebih spesifik lagi kebahagiaan meliputi pengalaman yang menyenangkan
seseorang dan apresiasinya terhadap kehidupan.
Sheldon dan Lyumbomirsky (2004), happiness merupakan kriteria pusat
kesehatan mental (Jahoda, 1958; Taylor & Brown, 1988) dan telah ditemukan
berbagai manfaat nyata, seperti dapat meningkatkan kesehatan fisik, mengurangi
psikopatologi, memiliki keterampilan mental yang unggul, bahkan dapat membuat
hidup lebih lama.
Menurut Seligman (2005) happiness adalah kondisi dan kemampuan
seseorang untuk merasakan emosi positif di masa lalu, masa depan, dan sekarang.
Seligman juga menggunakan istilah happiness untuk menggambarkan tujuan dari
cabang ilmu psikologi baru yaitu psikologi positif. Happiness ini meliputi perasaan
18
positif dan kegiatan positif. Perasaan positif yaitu merasa puas, bangga,
tenang, optimis, percaya diri dan lain-lain. Perasaan positif dapat menikmati dan
melaksanakan kegiatan atau keterlibatan aktifitas yang menyenangkan. Sedangkan
menurut Lyubomirsky dan Lepper (1999), happiness sebagai penilaian subjektif
dan global dalam menilai diri sebagai orang yang bahagia atau tidak.
Dari beberapa definisi mengenai happiness, penulis menggunakan definisi
yang dikemukakan oleh Lyumbomirsky dan Lepper (1999) bahwa happiness
sebagai penilaian subjektif secara keseluruhan dalam menilai diri sebagai orang
yang bahagia atau tidak bahagia.
Happiness dapat memeberikan perasaan positif seseorang, khususnya
penderita gagal ginjal kronis. Menurut Powdthavee (2010), pengaruh happiness
dalam kesehatan dapat membawa suasana hati yang positif merupakan efek jangka
pendek dari kebahagiaan pada kesehatan. Orang yang bahagia cenderung bertahan
untuk jangka waktu lebih lama terhadap penyakitnya. Seperti penderita gagal ginjal
kronis yang merasa diri mereka bahagia dengan kehidupan secara keseluruhan
dengan penyakitnya lebih cenderung bertahan hingga empat tahun lebih lama dari
pada mereka yang kurang bahagia dengan hidup mereka. Dalam hal ini, bahwa
orang yang bahagia dengan penyakitnya cenderung bisa bertahan hidup lebih lama.
Menurut Boehm dan Kubzansky (dalam Priyanti, 2012), bahwa individu
dengan perasaan bahagia dan pikiran positif di otaknya mendorong seseorang untuk
menjalankan perilaku hidup sehat. Hal ini juga dapat terjadi pada penyakit kronis
seperti gagal ginjal. Menurut Tassey (dalam Priyanti, 2012), bahwa perasaan
bahagia dan pikiran positif memiliki dampak yang baik terhadap kesehatan.
19
Individu yang optimis tidak akan merasa terganggu dengan sakit atau nyeri yang
dirasakan sehari-hari.
Menurut Colvy (2010) gagal ginjal sebagai sebuah penyakit dimana fungsi
ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan
dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urine.
Penyebab gagal ginjal kronik dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Penyebab pre-renal
Penyebab pre-renal berupa gangguan aliran darah kearah ginjal sehingga ginjal
kekurangan suplai darah. Kurangnya suplai darah mengakibatkan kurangnya
oksigen yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan jaringan ginjal.
Sederhananya, penyebab pre-renal adalah berkurangnya daya pompa jantung,
adanya sumbatan/hambatan aliran darah pada arteri besar yang ke arah ginjal,
dan lain-lain. Misalnya, dehidrasi dari kehilangan cairan tubuh (muntah, diare,
berkeringat, demam), hypovolemia (volume darah yang rendah).
2. Penyebab renal
Penyebab renal berupa gangguan/kerusakan yang mengenai jaringan ginjal
sendir seperti kerusakan akibat penyakit diabetes militus, hipertensi, penyakit
system kekebalan tubuh seperti SLE (Systemic Lupus Erythematosus),
peradangan, keracunan obat, kista dalam ginjal, berbagai gangguan aliran
darah di dalam ginjal yang merusak jaringan ginjal.
20
3. Penyebab post-renal
Penyebab post-renal berupa gangguan/hambatan aliran keluar (output) urin
sehingga terjadi aliran balik urin kea rah ginjal yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal. Sederhananya, penyebab post-renal antara lain adalah adanya
sumbatan atau penyempitan pada saluran pengeluaran urin antara ginjal sampai
ujung saluran kemih, adanya batu pada ureter sampai uretra, penyempitan
akibat saluran tertekuk, penyempitan akibat pebesaran kelenjar prostad, tumor
dan lain-lain.
Dari beberapa penyebab penyakit gagal ginjal diatas, selanjutnya dilakukan
diagnosa berdasarkan klasifikasi yang terbagi menjadi beberapa tahapan. Menurut
Susalit (2002) klasifikasi membagi penyakit ginjal kronis dalam lima stadium,
yaitu:
1. Stadium I: kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
2. Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan ringan fungsi ginjal,
3. Stadium 3: kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal,
4. Stadium 4: kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan
5. Stadium 5 adalah gagal ginjal
Sementara itu, dari segi aspek psikologis penderita gagal ginjal kronis
menurut Kubler dan Ross (1969) secara umum aspek psikologis penderita gagal
ginjal kronis dipengaruhi beberapa reaksi tahapan, yaitu:
1. Denial (penderita menolak keadaan)
Reaksi kebanyakan individu saat pertama kali mendengar diagnosa penyakit
kronis yang menimpanya adalah pernyataan “Tidak, bukan saya, itu tidak
21
benar”. Biasanya penyangkalan merupakan pertahanan sementara dan segera
akan digantikan dengan penerimaan yang bersifat parsial.
2. Anger (penderita tidak dapat mengontrol kondisi emosinya)
Apabila penyangkalan pada tahap pertama tidak tertahan lagi, maka hal
tersebut akan digantikan dengan rasa marah, gusar, cemburu, dan benci.
Berlawanan dengan tahap penyangkalan, tahap marah ini akan sangat sulit
diatasi dari sisi keluarga dan para staf rumah sakit.
3. Bargaining (penderita mulai mencoba berdialog dengan perasaannya)
Pada tahap ini tidak terlalu dikenal, namun sebenarnya sangat menolong
penderita, meskipun terjadi hanya beberapa saat. Ketika kita akan mampu
menghadapi kenyataan yang menyedihkan pada awal periode dan menjadi
marah pada orang-orang sekitar dan Tuhan pada fase kedua, boleh jadi kita
akan membuat perjanjian yang mungkin menunda terjadinya hal yang tidak
diharapkan.
4. Depression (penderita sudah mulai beradaptasi tetapi belum cukup motivasi
sehingga masuk fase sense of hopelessness)
Terdapat dua macam depresi, yaitu depresi reaktif dan depresi prepatori
(persiapan). Pada depresi reaktif, penderita memiliki banyak hal untuk
diungkapkan dan memerlukan banyak interaksi verbal serta sering melibatkan
interaksi aktif. Seorang yang penuh pengertian tidak akan menemui kesulitan
dalam mengungkapkan penyebab depresi dan menyebabkan perasaan bersalah
atau malu yang tidak realistis, yang biasanya menyertai depresi. Ketika depresi
menjadi alat persiapan bagi kehilangan yang harus terjadi atas objek-objek
22
yang dicintai, demi mempermudah sikap menerima, dorongan, dan
penentraman hati tidak lagi terlalu berarti.
5. Acceptance (penderita menerima kenyataan dan patuh terhadap rencana tindak
lanjut)
Penerimaan lebih merupakan kehampaan perasaan. Ketika penderita
mengalami kedamaian dan penerimaan, lingkaran minatnya pun hilang.
Penderita berharap dibiarkan sendiri atau setidaknya tidak dipusingkan oleh
berita-berita masalah diluar.
Sedangkan menurut Rahmach (2007) berdasarkan aspek psikologis
penderita gagal ginjal kronis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Beban ekonomi, dikarenakan salah satunya biaya hemodialisa, konsultasi dokter
yang dirasa cukup berat.
2. Mobilitas yang terbatas, karena keterbatasan kegiatan sehari-hari merupakan
stressor utama bagi penderita gagal ginjal.
3. Ketergantungan terhadap mesin dialisa, kualitas hidup penderita gagal ginjal
sangat tergantung pada mesin/ alat dialisa dan ketergantungan pada orang-
orang yang menolongnya pada saat proses hemodialisa.
4. Stressor-stressor lain misalnya, kehilanagn pekerjaan, penghasilan, status
finansial, efek samping obat, persaan lelah, perubahan suasana hati, sulit
menemukan teman yang mengerti penyakitnya, kakacauan suasana keluarga,
dan hubungan sosial kurang baik.
5. Harapan patah ditengah jalan, dikarenakan penderita merasa hidupnya sudah
tidak ada harapan lagi untuk menggapai masa depannya.
23
Pada faktor-faktor ini, apabila tidak diperhatikan bisa menimbulkan
kecemasan luar biasa dan depresi dalam jangka panjang bisa mengakibatkan stress.
Apabila penderita sudah mengalami depresi maka akan muncul persaan sedih,
murung, merasa kosong, tidak ada rasa senang, lesu, sulit tidur, selera makan
menurun, mudah tersinggung, tidak kooperatif, merasa tidak berharga, tidak
berguna hingga putus asa (Rachmach, 2007 : Nurmalika, 2010).
2.1.2 Dimensi happiness
1. Penilaian subjektif dan global dalam menilai diri sebagai orang yang bahagia
atau tidak
Dalam melihat gambaran kebahagiaan individu secara keseluruhan, komponen-
komponen dari kesejahteraan subjektif harus dilihat karena masing-masing
komponen memiliki informasi yang unik sehingga bisa didapatkan gambaran
kesejahteraan subjektif yang lebih lengkap (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003).
Menurut Lyumbomirsky dan Lepper (1999) memberikan kritik bahwa penilaian
kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan tidak cukup hanya dilihat dari masing-
masing komponen. Dibutuhkan sebuah penilaian global mengenai keseluruhan
hidup yang lebih luas dari pada hanya melihat afek, kepuasan hidup, ranah
kepuasan yang penting bagi individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa
kebanyakan orang dapat dengan mudah menilai dirinya sebagai orang yang
bahagia atau tidak. Tidak hanya itu, kebanyakan orang juga dapat menilai orang
lain sebagai orang yang bahagia atau tidak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah
term mengenai kebahagiaan yang tidak sekedar menilai kebahagiaan seseorang
dari komponen-komponen subjective well-being. Lymbomorsky dan Lepper
24
(1999) menyebutnya dengan subjective happiness, yaitu penilaian subjektif dan
global dalam menilai diri sebagai orang bahagia atau tidak. Dalam hal ini,
bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria subjektif yang dimiliki
individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber kebahagiaan
bervariasi dari individu ke individu lain (Lyumbomirsky & Lepper, 1999).
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi happiness
Alavi (2007) dalam studinya yang berjudul Correlatives of Happiness in the
University Students of Iran (A Religious Approach) menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi happiness berdasarkan penelitian terbaru.
1. Religiusitas. Orang beragama cenderung lebih bahagia dari pada orang yang
tidak beragama. Keimanan dalam agama juga menghubungkan individu dengan
sesuatu yang melampaui diri mereka. Orang yang melakukan ritual
keagamaannya (beribadah) menikmati manfaat pada kesehatan dan
kesejahteraan.
2. Sukarela dalam melakukan kebaikan. Peneliti menemukan bahwa orang yang
bahagia lebih berminat untuk bekerja sukarela. Ditemukan juga sebaliknya
bahwa para sukarelawan cenderung menjadi lebih bahagia, kita lebih bersedia
untuk membantu orang lain.
3. Rasa saling berbagi. Terutama saling berbagi dalam kesulitan atau penderitaan.
4. Hubungan personal. Hubungan pribadi terutama yang dekat, yang sangat
penting untuk kebahagiaan. Hubungan personal berkontribusi uang, ketenaran,
kesuksesan konvensional, kekayaan materi, kecerdasan, bahkan kesehatan.
Disisi lain, kesepian melahirkan ketidakbahagiaan dan memperburuk
25
kesehatan. Memiliki hubungan yang baik dengan orang lain cenderung lebih
sukses disekolah, tempat kerja, juga dalam hal finansial. Selain itu, ikatan
emosional dengan keluarga, pekerjaan, komunitas, teman-teman, kebebasan
individu, dan nilai-nilai moral juga membuat individu merasakan happiness.
5. Kondisi negara mencakup perekonomian dan kestabilan sosial. Finansial dan
keseimbangan sosial juga memainkan peran dalam happiness. Namun
peningkatan kemakmuran ekonomi tidak bisa menghasilkan happiness yang
lebih jika terjadi ketimpangan dalam sosial kemasyarakatan.
6. Meditasi. Berbagai bentuk meditasi dapat meningkatkan happiness dan
mengurangi kecemasan. Matahari terbenam yang indah, mendengarkan musik,
pandangan seorang bayi, suara laut, dan banyak lagi yang dapat merangsang
transendensi kesenangan atau happiness.
7. Pernikahan. Mereka yang menikah jauh lebih bahagia dari pada mereka yang
tidak. Hubungan anatara pernikahan dan happiness ditemukan disebagian besar
masyarakat. Perbandingan yang dilakukan di 17 negara menunjukkan 16
diantaranya memiliki hubungan positif antara pernikahan dengan happiness.
Berbeda dengan beberapa faktor potensial lainnya, pernikahan membawa efek
happiness yang cenderung tahan lama.
8. Usia. Individu yang jauh lebih tua cenderung lebih puas dengan kehidupannya
dibandingkan yang berusia muda.
9. Jenis kelamin. Tidak terlalu banyak berbeda happiness antara laki-laki dan
perempuan (meskipun perempuan lebih beresiko depresi). Bukti menunjukkan
bahwa perempuan muda cenderung sedikit lebih bahagia dari pada laki-laki
26
muda, sedangkan wanita yang lebih tua cenderung tidak bahagia dari pada pria
yang lebih tua.
10. Kesehatan. Kesehatan baik fisik maupun mental berhubungan dengan
happiness. Happiness pada satu tahap kehidupan terbukti menjadi prediktor
untuk kesehatanditahun selanjutnya.Happiness juga pada dasarnya adalah
produk psikologi individu. Untuk itu kesehatanpsikologis seseorang turut
menentukan happinessorang tersebut.
11. Global self-esteem. Global self-esteem mempunyai pengaruh kuat pada
happiness anak keseluruhan. Dimana academic self-esteem (bagaimana mereka
merasa dan menilai sikap atau penampilan mereka di sekolah) memiliki
pengaruh kuat terhadap perilaku mereka di sekolah.
12. Kepribadian. Faktor kepribadian dapat menunjukkan bahwa happiness tidak
hanya berasal daro dunia itu sendiri tetapi juga dari cara orang tersebut
mengatasi dunianya. Carr (2004) mengatakan bahwa afek positif berhubungan
dengan tipe kepribadian ekstrovert.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi happiness menurut Seligman
(2005) adalah:
1. Uang. Banyak data tentang pengaruh kekayaan dan kemiskinan terhadap
kebahagiaan. Pada tingkatan umum, terlihat uang mempengaruhi kesejahteraan
sebjektif rata-rata orang yang tinggal di Negara kaya dengan orang-orang yang
tinggal di negara miskin. Penilaian seseorang terhadap uang akan
mempengaruhi kebahagiaan dibandingkan uang itu sendiri.
27
2. Perkawian. Pusat Riset Nasional Amerika Serikat mensurvei 35.000 warga
Amerika selama 30 tahun terakhir. Hasilnya, 40 % dari orang-orang yang
menikah mengatakan mereka “sangat bahagia” sedangkan hanya 24 % dari
orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, dan ditinggal mati pasangannya
yang mengatakan mereka bahagia. Kebahagiaan orang yang menikah
mempengaruhi panjangnya usia dan besarnya penghasilan, ini berlaku baik
pada pria maupun wanita.
3. Kehidupan Sosial. Orang yang sangat bahagia jauh berbeda dengan orang rata-
rata dan orang yang tidak bahagia, yaitu mereka menjalani kehidupan social
yang kaya dan memuaskan.Orang-orang yang sangat bahagia paling sedikit
menhabiskan waktu sendirian dan kebanyakan dari mereka
bersosialisasi.Kemampuan bersosialisasi meningkat pada orang yang sedang
bahagia kemungkinan sebenarnya merupakan temuan positif dari penyebab
mengapa orang ingin menikah.
4. Emosi Negatif. Kegembiraan teringgi terkadang datang setelah seseorang bebas
dari ketakutan terburuknya. Menurut Bradburn (dalam Seligman, 2002) orang
yang memiliki emosi negative bukan berarti tidak memiliki kehidupan yang
bahagia. Sama halnya dengan seseorang yang memiliki emosi positif belum
tentu ia terhindar dari kesedihan. Wanita mengalami depresi dua kali lipat
dibandingkan pria.
5. Usia. Kebahagiaan pada orang dewasa biasanya terdiri dari kepuasan hidup,
perasaan menyenangkan, dan perasaan tidak menyenangkan. Kepuasan hidup
sedikit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, perasaan menyenangkan
28
sedikit meningkat, dan perasaan negative tidak berubah, yang berubah ketika
seseorang bertambah tua adalah intensitas emosinya.
6. Kesehatan. Banyak orang yang mengira dengan kesehatan yang baik adalah
salah satu jalan menuju kebahagiaan karena kesehatan merupakan salah satu
bagian terpenting.Tetapi sebenarnya kesehatan yang objektif tidak terlalu
berkaitan dengan kebahagiaan.
7. Jenis Kelamin. Jenis kelamin memiliki hubungan yang mengherankan berkaitan
dengan suasana hati.Tingkat emosi pria dan wanita rata-rata tidak banyak
berbeda, yang membedakannya ialah wanita cenderung lebih bahagia, cepat
merasa sedih, dan lebih muda terkena depresi dibandingkan dengan pria.
8. Agama. Menurut Seligman (2002), orang yang religius jelas lebih kecil
kemungkinannya untuk terlibat obat-obatan terlarang, melakukan kejahatan,
bercerai, dan bunuh diri. Mereka juga secara fisik lebih sehat dan berumur
panjang.Sebaliknya orang yang memiliki tingkat religiusitasnya rendah takut
terhadap perceraian, pengangguran, penyakit, dan kematian. Relevansi
langsung yang paling terlihat pada fakta bahwa data survey secara konsisten
menunjukkan bahwa orang-orang yang religious lebih bahagia dan lebih puas
terhadap kehidupan dibandingkan orang-orang yang tidak religius. Hubungan
yang kausal antara agama dan kebahagiaan yang lebih besar terlihat dengan
tingkat depresi yang rendah, dan kelenturan menghadapi tragedi tidak seperti
garis lurus. Menurut Seligman (2002), agama mengisi manusia dengan harapan
akan masa depan dan menciptakan makna dalam hidup.
29
Dari berbagai faktor yang ada, penulis menggunakan teori Alavi (2007).
Karena dalam teori tersebut menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
happiness berdasarkan penelitian terbaru.
2.1.4 Pengukuran happiness
Dalam beberapa literature, pengukuran happiness menggunakan berbagai macam
teknik. Dari kajian literature yang ada, peneliti menemukan beberapa alat ukur yang
mengukur happiness, yaitu alat ukur yang ditemukan oleh Argyle, Martin &
Crossland (1989) dinamakan Oxford Happiness Inventory (OHI). OHI telah dibuat
sebagai ukuran kebahagiaan pribadi, terutama di departemen psikologi eksperimen
khusunya di Universitas Oxford diakhir 1980. OHI menggunakan desain dan format
Beck Depression Inventory (BDI, Beck, Ward, Mendelson, Hock, & Erbaugh,
1961) yang tersedia 20 item pilihan ganda yang relevan untuk Subjective Well-
Being. Item selanjutnya ditambahkan untuk menutupi aspek kebahagiaan dalam
skala akhir dipertahankan 29 item.
Selanjutnya alat ukur Oxford Happiness Questioner (OHQ) yang terdiri dari
29 item. OHQ diturunkan dari OHI. Ketika diuji terhadap OHI, validitas OHQ
cukup memuaskan dan hubungan antara sisi kepribadian variabel yang diketahui
terkait kesejahteraan lebih kuat untuk OHQ dari pada OHI (Hills & Argyle, 2002).
Satisfaction With Life Scale (SWLS) sebuah skala yang terdiri dari 5 item
yang dirancang untuk mengukur penilaian kognitif secara global kehidupan
seseorang. Responden diminta menunjukkan berapa banyak mereka setuju atau
tidak setuju dengan masing-masing 5 item menggunakan skala 7 titik yang berkisar
dari 7 sangat setuju dengan 1 sangat tidak setuju (Diener & Griffin, 1985). SWLS
30
dikembangkan sebagai ukuran komponen dari SWB. Bukti reliabilitas dan validitas
prediktif dari SWLS disajikan dan dibandingkan dengan skala SWB. SLWS
terbukti menjadi ukuran valid & reliabel dari kepuasan hidup. SWLS
dikembangkan untuk menilai kepuasan dengan kehidupan responden secara
keseluruhan. SWLS dianjurkan sebagai pelengkap skala yang berfokus pada
psikopatologi atau emosional well-being, menilai evaluatif sadar seseorang
individu dari hidupnya dengan menggunakan kriteria orang itu sendiri (Jarden,
2011).
Subjective Happiness Scale (SHS) merupakan empat ukuran subjektif
kebahagiaan secara keseluruhan. Dalam alat ukur SHS responden menilai empat
item pada skala Likert yang berbeda, masing-masing mulai dari 1 sampai 7.
Responden diminta untuk melingkarkan titik pada skala yang paling tepat
menggambarkan dirinya. Item pertama meminta responden apakah mereka
menganggap dirinya sebagai (1) bukan orang yang sangat bahagia (7) seseorang
sangat bahagia. SHS cocok untuk usia yang berbeda pekerjaan, bahasa, dan
kelompok budaya (Jarden, 2011).
Dari berbagai literature yang ada, peneliti memutuskan untuk menggunakan
alat ukur Subjektif Happiness Scale (SHS). Menurut penulis alat ukur tersebut
sesuai dengan penelitian ini karena itemnya lebih luas dan lebih menyentuh aspek
psikologis secara keseluruhan. Serta dapat membedakan penderita yang baru atau
yang sudah lama di hemodialisa. Menurut Lyubomirsky dan Lepper (1999)
mengklaim bahwa SHS mencerminkan kategori kesejahteraan lebih luas dan lebih
menyentuh psikologis secara keseluruhan. Alat ukur kebahagiaan ini tersusun atas
31
empat item dengan pilihan jawaban yang memiliki rentang 1-7. Namun dalam
penelitian ini digunakan alat ukur yang telah diadaptasi, sehingga rentang jawaban
adalah 1-4.
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur kebahagiaan adalah
subjective happiness scale yang sudah diadaptasi secara budaya dalam penelitian.
Alat ukur ini merupakan skala yang terdiri dari 4 item dan mengukur kebahagiaan
secara global (Lyumbomirsky & Lepper, 1999). Alat ukur ini dikembangkan
berdasarkan teori dari subjective well-being, bahwa kebahagiaan dinilai
berdasarkan kriteria-kriteria subjektif yang dimiliki individu, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sumber kebahagiaan bervariasi dari individu ke individu lain
(Lyumbomirsky & Lepper, 1999). Alat ukur subjective happiness scale ini dipilih
karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu mengukur kebahagiaan secara global
(tidak hanya mengukur salah satu komponen kebehagiaan saja) dan terdiri dari
beberapa item sehingga dapat diuji properti psikometrinya (Lyumbomirsky &
Lepper, 1999).
2.2 Humor Style
2.2.1 Pengertian humor style
Dalam kamus Inggris Oxford (dalam Martin, 2007) humor merupakan kualitas,
tindakan, ucapan, atau tulisan yang menggairahkan, hiburan, keanehan, kelucuan,
kejenakaan yang menyenangkan. Sedangkan definisi lain menurut Martin (2007),
humor merupakan istilah luas yang mengacu pada apapun yang orang katakan atau
lakukan yang dianggap lucu dan cenderung membuat orang lain tertawa, serta
32
proses mental yang masuk dalam menciptakan dan memahami stimulus lucu dan
respon afektif yang terlibat dalam kenikmatan itu.
Sedangkan menurut Rahmanadji (2007), humor merupakan sesuatu yang
dibutuhkan oleh manusia normal, sebagai sarana berkomunikasi untuk
menyalurkan uneg-uneg, pelampiasan tekanan problematik yang dialami
seseorang, memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur.
Keberadaan humor dalam kehidupan manusia adalah sejak manusia mengenal
bahasa, melakukan komunikasi antar personal. Humor merupakan hal-hal yang
lazimnya berhubungan dengan tersenyum atau juga tertawa. Humor juga diartikan
sebagai sesuatu yang menggelikan, mempesona, aneh, identik dengan kelucuan,
dan akhirnya merangsang seseorang untuk tertawa atau tersenyum.
Menurut Martin (2000), kognitif dan emosional termasuk dalam elemen
humor, dengan demikian humor bisa menjadi keadaan gaya atau suatu sifat
seseorang. Dalam psikologi kontemporer, istilah “humor” sebagai kepribadian atau
sifat seseorang (Ruch, dalam Liu, 2012). Selanjutnya, menurut Martin (2007)
humor style bisa menjadi keadaan gaya atau suatu sifat seseorang. Martin (2007)
definisi humor style adalah kecenderungan seseorang dalam menggunakan humor
dikehidupannya sehari-hari. Humor style dapat sedikit berbeda tergantung pada
situasi, tetapi cenderung menjadi karakteristik kepribadian yang relatif stabil
diantara individu. Artinya, individu cukup konsisten dalam cara mereka
menggunakan humor dari waktu ke waktu.
Dari beberapa definisi mengenai humor style, penulis menggunakan definisi
yang dikemukakan oleh Martin (2007) maka disimpulkan bahwa humor style
33
merupakan segala hal yang dilakukan dan diucapkan seseorang yang dianggap lucu
dan cenderung membuat orang lain tertawa
2.2.3 Dimensi-dimensi Humor Style
Adapun dimensi humor style menurut (Martin, 2007: Stieger, 2011 : Liu 2012)
yaitu:
1. Affiliative humor yaitu mengacu pada kecenderungan untuk melakukan lelucon
secara spontan untuk memberikan hiburan dan mengurangi ketegangan dalam
menjalin hubungan interpersonal.
Individu dengan affiliative humor berarti individu yang memiliki
kecenderungan untuk melakukan lelucon secara spontan sehingga membuat
individu tertawa dengan tujuan untuk menghibur individu lainnya. Lelucon ini
untuk mengurangi ketegangan yang dirasakan individu tersebut dalam
menjalin hubungan interpersonal. Seperti dapat muncul berupa rasa simpati,
ungkapan dan pengertian yang dapat menjadi symbol untuk mengurangi
ketegangan dan tekanan.
2. Self-enhancing humor yaitu kecenderungan untuk menemukan hiburan dari
keganjilan dalam hidup.
Individu dengan self-enhancing humor ini berarti individu yang memiliki
kecenderungan menemukan hiburan (emosi positif) dari keganjilan dalam
hidupnya. Keganjilan ini maksudnya, individu ini mengalami
ketidakseimbangan, putus harapan, dan mengalami kejadian yang tidak
diinginkan secara bersamaan.
34
3. Aggressive humor yaitu kecenderungan menggunakan humor untuk mengkritik
atau memanipulasi orang lain.
Individu dengan agresssive humor ini berarti individu yang memiliki
kecenderungan menggunakan humor untuk mengkritik. Humor yang bersifat
seperti ini dapat mengandung kebencian karena sudah menyalahi aturan atau
sesuatu yang sangat jelek dengan memanipulasi orang lain.
4. Self-defeating humor yaitu kecenderungan mengambil hati dari orang lain dan
mencoba untuk menghibur orang lain dengan mengolok-olok kelemahan
mereka.
Individu dengan self-defeating humor ini berarti individu yang memiliki
kecenderungan mengambil hati orang lain dan mencoba menghibur orang lain
dengan mengolok-olok kelemahan mereka. Humor atau lelucon yang seperti
ini dapat meremehkan atau menghina seseorang, karena mentertawakan
individu dengan tujuan mengambil hati individu dengan cara mengolok-olok
kelemahan individu hingga menggelikan sampai diluar kebiasaan. Sedangkan
subyek yang ditertawakan berada pada posisi yang diremehkan atau dihina
hingga mengolok-olok kelemahan individu.
2.2.4 Pengukuran humor style
Pengukuran variable humor style dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada
Humor Styles Questionnaire (HSQ) yang terdiri dari empat dimensi humor style
(Martin et.al, 2003; Martin, 2007; Liu, 2012). HSQ terdiri dari 32 item, yang
mengukur empat dimensi humor style yaitu affiliative humor, self-enhancing
humor, aggressive humor, dan self-defeating humor. Martin (2007) HSQ
35
merupakan sebuah ukuran untuk membedakan antara humor style menguntungkan
dan merugikan. Fokus dari ukuran ini adalah fungsi pada orang yang secara spontan
menggunakan humor dalam kehidupan sehari-hari mereka, terutama dalam domain
interaksi sosial dan dalam kehidupan menghadapi stress.
2.3 Self-esteem
2.3.1 Definisi self-esteem
Menurut Baron dan Byrne (2004), self-esteem adalah evaluasi diri yang dibuat oleh
setiap individu; sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi
positif-negatif. Self-esteem yang juga sering disebut martabat diri (self-worth), atau
gambaran diri (self-image), adalah suatu dimensi global dari diri (Santrock, 2008).
Menurut Branden (1992), self-esteem didefinisikan sebagai berikut:
Self-esteem is the experience that we are appropriate to life and to the
requirements of life. More specifically, self-esteem is…
1. Confidence in our ability to think and to cope with the basic challenges
of life.
2. Confidence in our right to be happy, the feeling of being worthy,
deserving, entitled to assert our needs and to enjoy the fruits of our
efforts.
Maksudnya, self-esteem adalah pengalaman individu yang sesuai dengan
kehidupan dan dengan persyaratan kehidupan. Lebih khusus lagi, self-esteem
adalah :
1. Keyakinan dalam kemampuan untuk bertindak dan menghadapi tantangan
hidup ini.
36
2. Keyakinan dalam hak kita untuk bahagia, perasaan berharga, layak,
memungkinkan untuk menegaskan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-
keinginan kita serta menikmati buah dari hasil kerja keras kita.
Rosenberg (1995) self-esteem adalah komponen dari konsep diri sebagai
penilaian positif atau negatif secara keseluruhan terhadap diri sendiri.Sedangkan
menurut Powell (2005) self-esteem adalah bagaimana berpikir dan merasakan
tentang dirinya sendiri. Hal ini mengacu pada bagaimana individu berpikir tentang
cara ia melihat, kemampuan dirinya, hubungannya dengan orang lain, dan harapan
individu untuk masa depan. Menurut Clemes dkk (2012) self-esteem merupakan
rasa nilai diri kita. Hal itu berasal dari seluruh pikiran, perasaan, sensasi, dan
pengalaman yang telah kita kumpulkan sepanjang hidup kita.
Dari definisi mengenai self-esteem, penulis menggunakan definisi yang
dikemukakan oleh Rossenberg (1965) yang mengemukakan bahwa self-esteem
sebagai penilaian individu secara keseluruhan berupa positif atau negatif terhadap
diri sendiri.
2.3.2. Dimensi self-esteem
Adapun dimensi self-esteem menurut Rosenberg (dalam Flynn, 2001) yaitu:
1. Penilaian individu positif atau negatif secara keseluruhan terhadap diri sendiri.
. Self-esteem merupakan salah satu bagian suatu konsekuensi hasil perbandingan
mereka sendiri dengan orang lain (perbandingan sosial) dan perolehan evaluasi
atau penilaian diri, baik yang positif maupun yang negatif
37
2.3.2 Pengukuran self-esteem
Dalam beberapa literature, pengukuran self-esteem menggunakan berbagai macam
teknik. Salah satu instrument yang paling banyak digunakan untuk menilai self-
esteem adalah Rosenberg Self-Esteem Scale. Menurut Rosenberg et.al (1995)
mengungkapkan self-esteem adalah penilaian individu positif atau negatif secara
keseluruhan terhadap diri sendiri. RSES adalah instrument unidimensional hanya
terdiri dari satu dimensi yaitu self-esteem itu sendiri dengan menangkap persepsi
global subyek dari nilai mereka sendiri dengan menggunakan skala berjumlah 10
item, 5 item pernyataan positif dan 5 item pernyataan negatif (Rossenberg et.al,
1995). Adapun skala ini menggunakan 4 point jawaban dengan model skala likert,
mulai dari 1 (sangat setuju) hingga 4 (sangat tidak setuju).
Instrumen lain yang digunakan untuk mengukur self-esteem adalah
Coopersmith yang menciptakan skala self-esteem yaitu The School Short-form
Coopersmith Self-esteem Inventory pada tahun 1981 terdiri atas 50 item sikap
terhadap diri sendiri, yang kemudian dikembangkan oleh Hills, Francis dan
Jennings (2011) yang terdiri atas 25 item. Instrument tersebut diciptakan untuk
mengukur self-esteem pada anak-anak sekolah (Jarden, 2011).
Namun, dari beberapa alat ukur yang telah dijelaskan diatas, dalam
penelitian ini peneliti memilih untuk mengadaptasi alat ukur self-esteem yang
mengacu kepada kuesioner Rosenberg`s Self-esteem Scale (RSES) yang disusun
oleh Rosenberg (1995). Karena menurut peneliti skala tersebut sesuai dengan
sampel yang peneliti gunakan.
38
2.4 Religiusitas
2.4.1 Definisi religiusitas
Religiusitas berasal dari kata religion yang artinya agama. Religion atau agama
adalah satu sistem yang kompleks dari kepercayaan, keyakinan, sikap-sikap, dan
upacara-upacara yang menggabungkan individu dengan satu keberadaan atau
makhluk yang bersifat ketuhanan (Chaplin, 2006).
Glock dan Stark (1967) mendefinisikan agama sebagai sistem simbol,
sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlambangkan, yang
semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang
paling maknawi.Sependapat dengan hal itu, Koenig (2005) menyatakan bahwa
religiusitas adalah sistem terorganisir dari keyakinan, praktek, dan ritual
masyarakat. Koenig (2005) mengatakan bahwa agama dirancang untuk
meningkatkan rasa kedekatan dengan sesuatu yang sakral atau transenden, baik itu
Tuhan, kekuatan yang lebih tinggi, atau kebenaran hakiki / kenyataan, dan untuk
menyebarkan pemahaman tentang hubungan seseorang dan tanggung jawab bagi
orang lain yang hidup bersama dalam komunitas.
Fetzer (1999) memaknai religiusitas sebagai sesuatu yang menekan pada
perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama yang wajib diikuti
oleh setiap pengikutnya. Dan sesuatu yang lebih menitikberatkan pada masalah
perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau
golongan.Karena doktrin yang dimiliki oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap
pengikutnya.
39
Menurut Robert H. Thouless definisi agama adalah sikap (cara penyesuaian
diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih
luas dari pada lingkungan fisik yang terikat ruang dan waktu (the spatial temporal
physical world) dalam hal ini yang dimaksud adalah dunia spiritual (dalam
Jalaluddin, 2010).
Religiusitas menurut Allport dan Ross (1967) memiliki dua aspek orientasi
yaitu orientasi religius intrinsik (intrinsic religious) dan orientasi religius ekstrinsik
(extrinsic religious). Orientasi religius intrinsik menunjuk kepada bagaimana
individu “menghidupkan” agamanya (lives his/her religion) sedangkan orientasi
religius ekstrinsik menunjuk kepada bagaimana individu “menggunakan”
agamanya (uses his/her religion). Singkatnya, orientasi religius intrinsik melihat
setiap kejadian melalui kacamata religius, sehingga tercipta makna. Sebaliknya
orientasi religius ekstrinsik lebih menekankan pada konsekuensi emosional dan
sosial.
Dari beberapa definisi religiusitas, penulis menggunakan definisi yang
dikemukan oleh Glock dan Stark (1967), yang mengemukakan bahwa religiusitas
sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, system nilai, dan sistem perilaku yang
terlambangkan yang berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang
paling maknawi.
2.4.2 Dimensi religiusitas
Dimensi religiousitas yang akan diukur dalam penelitian ini yaitu menurut Glock
dan Stark (1967). Dimensi tersebut dibagi menjadi lima dimensi yaitu:
40
1. Keyakinan atau akidah (Ideological)
Keyakinan atau akidah (Ideological) adalah tingkatan sejauh mana seseorang
berpegang teguh, menerima, dan mengakui ajaran dalam agamanya. Setiap
agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut
diharapkan untuk taat. Dalam dimensi ini berisi pengharapan dimana orang
religious berpegang teguh kepada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin tersebut.
2. Peribadatan (Ritual)
Pada dimensi ini melihat sejauh mana tingkatan seseorang dalam menunaikan
kewajiban ritual dalam agamanya. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan,
ketaatan dalam menjalani kewajiban agama, dan hal-hal yang menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Peribadatan atau praktik agama
terdiridari dua hal yaitu ritual dan ketaatan.Ritual mencakup kegiatan yang
berhubungan dengan agama, seperti menghadiri pengajian bagi umat muslim,
mengadakan baptis dan sekolah minggu untuk umat kristiani. Sedangkan
ketaatan mencakup hal yang utama dan merupakan suatu kewajiban untuk
menjalankannya, seperti shalat, membaca Al-Qur`an atau alkitab,
menyanyikan puji-pujian dan lain-lain.
3. Pengalaman (Experience)
Pengalaman adalah perasaan keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan
seperti merasa dekat dengan Tuhan, tenteram saat berdoa, tersentuh mendengar
atau membaca ayat-ayat kitab, merasa senangdoanya dikabulkan, dan lain-lain.
Setiap agama memiliki penilaian yang berbeda-beda dan biasanya bersifat
41
subyektif dalam menilai feeling atau penghayatan yang pernah dirasakan oleh
setiap orang.
4. Pengetahuan agama (Intellectual)
Dimensi ini melihat seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami ajaran
agamanya yang terdiri dari dasar keyakinan, ritual, atau tradisi terutama yang
ada dalam kitab suci, hadis, paritta, dan lain-lain.
5. Konsekuensi (consequential)
Konsekuensi mengenai implikasi ajaran agama mempengaruhi perilaku
seseorang dalam kehidupan sosial.Selain itu, mengacu pada identifikasi
komitmen terhadap agama dari keyakinan agama, praktik, pengalaman, dan
pengetahuan yang dimiliki. Dimensi ini merujuk pada seberapa tingkatan
individu berperilaku dimotivasi oleh ajaran agamanya, yaitu individu berelasi
dengan dunianya, terutama dengan manusia lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Glock dan Stark (1967) menghilangkan
dimensi konsekuensi dari model dan membagi dimensi peribadatan (ritual) menjadi
religious public practice dan religious private practice sehingga mempertahankan
lima dimensi. Dalam penelitian terbaru Huber dan Huber (2012) yang
mengembangkan dimensi religiusitas dengan menjelaskan lima dimensi religiusitas
antara lain:
1. Pengetahuan agama (intellectual), merupakan pengalaman individu yang
mempunyai beberapa pengetahuan dan mereka bisa menjelaskan
pandangannya tentang transenden, agama dan keberagamaan.
42
2. Keyakinan atau akidah (ideology), merupakan pengalaman individu yang
mempunyai kepercayaan yang menganggap eksistensi dan esensi sebuah
realitas transenden dan percaya bahwa ada hubungan antara transenden dan
kemanusiaan.
3. Peribadatan atau praktik secara umum (public practice), merupakan
pengalaman individu yang memiliki komunitas agama yang dimanifestasikan
dalam partisipasi public pada ritual keagamaan dan aktivitas komunitas
keagamaan.
4. Peribadatan atau praktik secara khusus (private practice), merupakan
pengalaman individu yang dicurahkan pada sesuatu yang transenden dalam
aktifitas dan ritual individu pada tempat yang khusus (private).
5. Pengelaman keagamaan (experience) merupakan pengalaman individu yang
mengalami beberapa macam kontak langsung pada realitas yang paling besar
secara emotional.
Dalam penelitian yang diterbitkan oleh Jhon E. Fetzer Institute (1999) yang
berjudul Multidimensional Measurement of Religiousness, Spirituality for Use in
Health Research menjelaskan dua belas dimensi religiusitas antara lain: daily
spiritual experience, value, beliefs, forgiveness, private religious practice,
religious/spiritual coping, religious support, religious/spiritual history,
commitment, organizational religiousness, dan religious preference.
1. Daily spiritual experience atau pengalaman beragama sehari-hari merupakan
dimensi yang mengukur persepsiindividu mengenai transendensi Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari yang mencakup interaksi dengan Tuhan, atau
43
keterlibatan Tuhan dalam kehidupan dan pentingnya kehadiran Tuhan dalam
kehidupan. Domain ini mencoba untuk menangkap aspek kehidupan yang
mewakili pengalaman spiritual sehari-hari bukan pengalaman luar biasa seperti
kematian atau diluar aktivitas manusia pada umumnya. Pengalaman beragama
yang tercermin dalam domain ini dapat pula mencerminkan sejarah keagamaan
individu atau keyakinan keberagamaannya.
2. Meaning adalah mencari makna dari kehidupan dan berbicara mengenai
pentingnya makna atau tujuan hidup sebagai bagian dari rasa koherensi fungsi
penting untuk mengatasi permasalahan besar dalam hidup atau sebagai unsur
kesejahteraan psikologis. Pencarian makna juga telah didefinisikan sebagai
salah satu fungsi kritis agama. Domain ini menitikberatkan pada pencapaian
hasil dari pencarian makna dari proses yang dilakukan.
3. Values adalah bagaimana individu memberi nilai atas keimanan atau
agamanya. Domain ini dimaksudkan untuk mengukur dimensi mengenai
persepsi individu atas nilai dari agama yang dianutnya, dengan kata lain
seberapa penting agama dalam kehidupan individu tersebut. Domain ini
didasari pada pendekatan yang dilakukan Merton yang menggambarkan nilai
sebagai tujuan dan norma sebagai sarana untuk tujuan tersebut. Domain ini
mencoba untuk menilai sejauh mana individu mencerminkan perilaku
normative atas keimanan atau agamanya sebagai nilai tertinggi.
4. Belief. Fitur utama dari keberagamaan adalah dimensi kognitif keyakinan
(belief). Setiap agama mempunyai keyakinan yang berbeda-beda, namun
ditemukan seperangkat keyakinan umum untuk semua agama. Keyakinan akan
44
makna dari sebuah musibah atau kematian menjadi suatu hal yang sentral di
setiap agama. Hal ini meliputi keyakinan dengan kekuatan dan cinta kasih
Tuhan juga keyakinan akan kehidupan setelah kematian.
5. Forgiveness yaitu suatu tindakan memaafkan. Forgiveness adalah mengatasi
afek negative dengan pertimbangan terhadap pelaku kesalahan, bukan dengan
menyangkal diri sendiri atau suatu kebenaran, melainkan dengan berusaha
untuk melihat pelaku dengan kasih saying, kebajikan, dan cinta. Domain ini
mencakup pengampunan diri, pengampunan orang lain, dan pengampunan dari
Tuhan.
6. Private religious practice. Domain ini untuk menilai ibadah pribadi. Ritual
ibadah pribadi adalah subset dari perilaku yang merupakan konstruk dari
keterlibatan yang lebih menyeluruh dalam agama. Domain dari ritual ibadah
pribadi berbeda dari domain public seperti perilaku organisasi atau institusi
keagamaan. Ibadah pribadi terjadi di luar konteks agama yang terorganisir.
Ibadah pribadi yang dilakukan ini termasuk berdoa, menyaksikan program
keagamaan, membaca literature agama, membaca Kitab Suci, berkontribusi
kepada lembaga keagamaan atau bersedekah.
7. Religious/spiritual coping. Domain ini menilai 2 pola coping stress terhadap
stressful life event: positive religious/spiritual coping merefleksikan metode
agama yang baik dalam memahami dan menangani stress, dan negative
religious/spiritual coping merefleksikan perlawanan terhadap agama dalam
menghadapi stress tersebut. Peristiwa besar dalam hidup dapat mengancam
atau membahayakan banyak hal, seperti menyamarkan kebermaknaan,
45
menghancurkan rasa kenyamanan, agama menawarkan berbagai metode untuk
mengatasi dan menjaga hal tersebut pada stress.
8. Religious support adalah aspek hubungan sosial antara individu dengan
pemeluk agama sesamanya. Aspek yang diukur dalam kaitannya dengan
dukungan sosial dalam konteks antar umat seagama ialah dukungan yang
diterima dari umat seagama dan dukungan yang diberikan kepada orang lain
dalam satu agama. Selain dua aspek tersebut dapat pula sesame penganut
agama yang sama menunjukkan interaksi negative.
9. Religious/spiritual history. Domain ini dimaksudkan untuk menilai sejarah
keberagamaan individu yaitu seberapa jauh individu berpartisipasi untuk
agama dalam hidupnya dan seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan
hidupnya. Untuk mengukurnya dikembangkan beberapa langkah namun hal
yang diukur dalam domain ini sangat terbatas, yaitu biografi keberagamaan,
pengalaman keberagamaan yang mengubah hidup. Dan kematangan spiritual.
10. Commitment adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya,
komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya. Domain ini mengukur
kepentingan dan komitmen individu terhadap keyakinan beragamanya.
Komitmen beragama diukur dengan kehadiran di tempat ibadah, komitmen
waktu dan uang untuk organisasi keagamaan, persepsi mengenai pentingnya
agama dalam keseharian.
11. Organizational religiousness merupakan konsep yang mengukur sebarapa jauh
individu ikut serta dalam lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan
beraktifitas di dalamnya. Domain ini menilai keterlibatan responden dengan
46
lembaga resmi keagamaan masyarakat: gereja, sinagog, kuil, masjid, ashram,
dll.
12. Religious preference yaitu memandang sejauh mana individu membuat pilihan
dan memastikan agamanya.
Dari beberapa aspek-aspek yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diatas,
penulis menggunakan aspek berdasarkan penelitian terbaru dikembangkan oleh
Huber dan Huber (2012) yang mengembangkan dimensi religiusitas dari teori
Glock dan Stark (1967), dimensinya adalah intellectual atau pengetahuan agama
(intellectual), ideology, peribadatan atau praktek agama secara umum (public
practice), peribadatan atau praktik agama secara khusus (private practice),
pengalaman keagamaan (experience).
2.4.3 Pengukuran religiusitas
Dalam beberapa literature, pengukuran religiusitas menggunakan berbagai macam
teknik. Banyak survey digunakan satu pertanyaan dengan pilihan jawaban
menggunakan skala untuk mengukur religiusitas. Dari kajian literature yang ada,
peneliti menemukan beberapa alat ukur yang mengukur religiusitas, yaitu alat ukur
yang dikembangkan oleh Raiya (2008) dinamakan Psychological Measure of
Islamic Religiusness (PMIR). PMIR terdiri dari 7 faktor yaitu: Islamic belief,
prinsip etis islam & universal , Islamic ethical religious struggle, Islamic religious
duty, obligation & exclusivism, Islamic positive religious coping & identification
and punishing Allah reappraisal. Jumlah item dalam PMIR adalah 70 item.
Kemudian alat ukur Religiusitas yang ditemukan oleh Allport dan Ross
(1967) yang dinamakan Religious Orientation Scale (ROS) memiliki dua aspek
47
orientasi yaitu orientasi religius intrinsik (intrinsic religious) dan orientasi religius
ekstrinsik (extrinsic religious). Orientasi religius intrinsik menunjuk kepada
bagaimana individu “menghidupkan” agamanya (lives his/her religion) sedangkan
orientasi religius ekstrinsik menunjuk kepada bagaimana individu “menggunakan”
agamanya (uses his/her religion). Singkatnya, orientasi religius intrinsik melihat
setiap kejadian melalui kacamata religius, sehingga tercipta makna. Sebaliknya
orientasi religius ekstrinsik lebih menekankan pada konsekuensi emosional dan
sosial. Jumlah item dalam alat ukur ROS ini dari aspek ekstrinsik berjumlah 12 item
dan dari aspek intrinsic berjumlah 9 item.
Pengukuran religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teori Glock dan Stark (1967). Dimensi yang diukur untuk mengukur religiusitas
berdasarkan alat ukur baku yang ditemukan dan dikembangkan dalam penelitian
terbaru Huber dan Huber (2012) yaitu Centrality Religiousity Scale (CRS). CRS
merupakan arti penting dari makna religious dalam kepribadian yang telah
diterapkan karena mengacu pada lima dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan
Stark (1967) dapat hidup religious secara total. Peneliti menggunakan alat ukur ini
karena itemnya sangat simpel sehingga relevan untuk sampel yang mengalami
penyakit kronis.
2.5 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan tentang pengaruh humor style, self-
esteem, dan religiusitas pada happiness penderita gagal ginjal kronis. Happiness
sangat penting bagi penderita gagal ginjal kronis sebagai salah satu cara agar
penderita dapat bertahan dengan penyakit kronisnya. Oleh sebab itu, happiness
48
sangat membantu kondisi penderita. Apabila penderita merasa happy, maka kualitas
hidupnya akan menjadi lebih baik dan akan merasa lebih positif dalam menjalani
hidupnya.
2.5.1 Pengaruh humor style terhadap happiness
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
happiness, seperti humor style. Humor style merupakan segala hal yang dilakukan
dan diucapkan seseorang yang dianggap lucu dan cenderung membuat orang lain
tertawa (Martin, 2007). Individu yang memiliki humor style yang positif, akan
merasa baik tentang dirinya sendiri, serta hubungannya dengan orang lain. Oleh
karena itu, dengan melakukan segala sesuatu untuk membuat orang lain tertawa
sebagai bentuk pelepasan ketegangan pada masa-masa sulit.
Menurut Martin (2007), gaya atau suatu sifat seseorang yang dilihat dari
empat dimensi dari humor style itu sendiri, yaitu affiliative humor, dapat
mempengaruhi happiness penderita. Affiliative humor memiliki kecenderungan
untuk melakukan lelucon secara spontan sehingga membuat penderita tertawa
dengan tujuan untuk menghibur orang lain (Martin, 2007). Dengan demikian,
melalui affiliative humor maka seseorang dapat menjalin dan memperkuat
hubungan dengan orang lain. Seperti hubungan interpersonal berupa rasa simpati
terhadap penderita gagal ginjal lainnya.
Dimensi self-enhancing humor yang merupakan kecenderungan untuk
menemukan hiburan dari keganjilan dalam hidup (Martin, 2007). Individu yang
memiliki self-enhancing humor yang baik akan mempertahankan kelucuannya
bahkan dalam menghadapi stress atau kesulitan dan dapat menggunakan humor
49
sebagai coping mechanism yang dapat memberikan happiness bagi penderita gagal
ginjal. Keganjilan ini maksudnya, individu ini mengalami ketidakseimbangan,
putus harapan, dan mengalami kejadian yang tidak diinginkan secara bersamaan.
Dimensi aggressive humor yaitu kecenderungan menggunakan humor
untuk mengkritik atau memanipulasi orang lain (Martin, 2007). Kaitannya dengan
happiness berarti individu yang memiliki kecenderungan menggunakan humor
untuk mengkritik sehingga timbul rasa bahagia untuk hiburan semata.
Dimensi self-defeating humor yaitu kecenderungan mengambil hati dari
orang lain dan mencoba untuk menghibur orang lain dengan mengolok-olok
kelemahan mereka (Martin, 2007). Kaitannya dengan happiness berarti individu
yang memiliki kecenderungan mengambil hati orang lain dan mencoba menghibur
orang lain dengan mengolok-olok kelemahan mereka sehingga timbul happiness.
Berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan Ford, McCreight, dan Richardson
(2014) bahwa ada hubungan antara gaya humor adaptif atau dua humor style positif
(affiliative dan self-enhancing humor) terhadap happiness.
2.5.2 Pengaruh self-esteem terhadap happiness
Dalam penelitian ini tidak hanya happiness, terdapat faktor lain juga
memiliki peranan penting yang dapat mempengaruhi happiness, salah satunya
adalah self-esteem. Self-esteem merupakan penilaian individu positif atau negatif
secara keseluruhan terhadap diri sendiri (Rossenberg et al, 1995). Penilaian diri ini
sebagai penghargaan atas dirinya sendiri dapat berupa evaluasi terhadap diri dinilai
sebagai sesuatu yang positif atau negatif yang nantinya akan membuatnya menjadi
optimis atau pesimis. Oleh karena itu, apabila penderita gagal ginjal yang dapat
50
menilai dirinya secara positif maka akan merasakan happiness dan cenderung
merasa baik tentang diri mereka sendiri serta dapat diasumsikan memiliki
pemikiran yang lebih optimis dibandingkan seseorang yang menilai dirinya secara
negatif.
2.5.3 Pengaruh religiusitas terhadap happiness
Selain humor style, self-esteem, hal lain yang dapat mempengaruhi
happiness adalah religiusitas. Dengan mendekatkan diri dengan Tuhan YME. Hal
tersebut merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para penderita gagal
ginjal kronis untuk mendapatkan happiness serta mengatasi masalah psikologis
dalam hidupnya melalui keberagamaan (religiusitas). Religiusitas diwujudkan
dengan berbagai sisi kehidupan manusia. Menurut Glock dan Stark (1967),
menggambarkan religiusitas sebagai suatu bentuk kepecayaan, keyakinan, simbol,
dan sistem perilaku yang didalamnya terdapat penghayatan pada persoalan-
persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Religiusitas memiliki peran penting
terhadap happiness. Menurut Brody, Stoneman, Flor, dan McCrary (dalam
Franklin, 2008) mengungkapkan bahwa keyakinan dan kegiatan keagamaan dapat
memberikan manfaat, seperti dukungan emosional ketika menghadapi berbagai
situasi yang sulit. Begitupun pada penderita gagal ginjal kronis agar hidupnya lebih
bermakna penderita penyakit ini, lebih mendekatkan diri pada Tuhan untuk
mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Karena dengan memiliki keyakinan
serta menjalankan ritual (beribadah) merupakan suatu simbol nilai untuk
memperoleh tujuan hidup seseorang.
51
Menurut Glock & Stark (1967) dimensi intellectual merupakan harapan
sosial bagi orang religius yang memiliki pengetahuan agama. Kaitannya dengan
happiness adalah dimana pada dimensi ini melihat seberapa jauh seseorang
mengetahui dan memahami ajaran agamanya yang terdiri dari dasar keyakinan,
ritual, atau tradisi terutama yang ada dalam kitab suci sehingga dapat memunculkan
ketenangan dalam diri nya sehingga dapat merasakan happiness.
Dimensi ideology merupakan harapan sosial bagi orang religius yang
memiliki keyakinan mengenai keberadaan. Hubungan antara transendensi dan
manusia (Glock & Stark, 1967). Sejauh mana penderita dapat berpegang teguh,
menerima, dan mengakui ajaran dalam agamanya serta taat kepada agamanya. Serta
mempunyai arahan dan tujuan hidup yang lebih baik, maka penderita akan sangat
yakin bahwa agama akan membantunya untuk menemukan kembali tujuan
hidupnya. Hal tersebut akan meningkatkan atau menumbuhkan happiness pada diri
mereka.
Dimensi public practice merupakan sejauh mana tingkatan seseorang dalam
menunaikan kewajiban dalam partisipasi publik dalam komunitas agama dan ritual
dalam agamannya (Glock & Stark, 1967). Apabila individu memiliki public
practice yang baik, dengan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan agama,
seperti menghadiri pengajian bagi umat muslim, mengadakan baptis dan sekolah
minggu untuk umat kristiani dapat menjalin silaturahmi dan bersosialisasi dengan
masyarakat guna mendapatkan kebahagiaan agar penderita gagal ginjal kronis tidak
merasa sendirian atau kesepian.
52
Dimensi private practice, pada dimensi ini melihat sejauh mana tingkatan
seseorang dalam menunaikan ketaatan dalam menjalani kewajiban agama/
kewajiban ritual dalam agamanya (Glock & Stark, 1967). Dengan demikian,
individu dapat menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya dengan
menjalankan kewajiban utama dalam beribadah. Serta dapat memunculkan
memunculkan ketenangan dan kebahagiaan dalam jiwa penderita gagal ginjal
kronis.
Selanjutnya, pada dimensi experience merupakan harapan sosial individu
dapat secara langsung merasa dekat dengan Tuhan dan dapat mempengaruhi
emosional sebagai pengalaman dan perasaan religius (Glock & Stark, 1967).
Individu yang memiliki religious experience yang baik, akan selalu merasakan
kehadiran Tuhannya, menemukan kekuatan dan kenyamanan dalam agamanya,
merasakan kedamaian yang mendalam, merasakan cinta dan kasih sayang
Tuhannya, dan selalu ingin mendekatkan diri dengan Tuhannya. Apabila penderita
gagal ginjal kronis memiliki religious experience yang baik, maka akan lebih
bahagia dalam menjalani kehidupan dan menerima segala cobaan penyakit kronis
yang dideritanya, karena merasa bahwa Tuhan akan selalu bersamanya.
2.5.4 Pengaruh humor style, self-esteem, dan religiusitas terhadap happiness
Dari penjelasan diatas, maka peneliti menggambarkan pengaruh humor
style, self-esteem, dan religiusitas terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
ke dalam bagan sebagai berikut:
53
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, dan kerangka
berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang akan diajukan dalam
penelitian ini, ialah:
Hipotesis Mayor
Ada pengaruh yang signifikan Humor style (affiliative humor,self-enhancing
humor, aggressive humor, self-defeating humor), self-esteem, religiusitas
Self-esteem
Affiliative humor
Self-enhancing humor
Aggressive humor
Self-defeating humor
Intellectual
Ideology
Public Practice
Private Practice
Happiness
Experience
Humor Style
Self-esteem
Religiusitas
54
(intellectual, ideology, public practice, private practice, dan experience) terhadap
happiness penderita gagal ginjal kronis.
Hipotesis Minor
H1: Ada pengaruh yang signifikan dimensi affiliative humor pada variabel humor
style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
H2: Ada pengaruh yang signifikan dimensi self-enhancing humor pada variabel
humor style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
H3: Ada pengaruh yang signifikan dimensi aggressive humor pada variabel humor
style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
H4: Ada pengaruh yang signifikan dimensi self-defeating humor pada variabel
humor style terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
H5: Ada pengaruh yang signifikan pada variabel self-esteem terhadap happiness
penderita gagal ginjal kronis
H6: Ada pengaruh yang signifikan dimensi intellectual pada religiusitas terhadap
happiness penderita gagal ginjal kronis
H7: Ada pengaruh yang signifikan dimensi ideology pada religiusitas terhadap
happiness penderita gagal ginjal kronis
H8: Ada pengaruh yang signifikan dimensi public practice pada religiusitas
terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
H9: Ada pengaruh yang signifikan dimensi private practice pada religiusitas
terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
H10: Ada pengaruh yang signifikan dimensi religious experience pada religiusitas
terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis
55
BAB 3
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian
yang terdiri dari populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional
variabel, instrumen pengumpulan data, uji validitas alat ukur, teknik analisa data,
dan prosedur penelitian.
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
3.1.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini yaitu seluruh pasien penderita gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisa di klinik hemodialisa Muslimat NU Cipta Husada I. Dari
jumlah populasi pasien penderita gagal ginjal kronis di klinik hemodialisa Muslimat
NU Cipta Husada I berjumlah 120 orang, yang merupakan jumlah keseluruhan
penderita gagal ginjal di klinik tersebut. Adapun karakteristik sampel penelitian
yang diambil adalah:
1. Pasien penderita gagal ginjal kronis dengan justifikasi dari dokter
2. Pasien penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa lebih dari tiga
bulan lamanya (stadium 4 sampai stadium 5) yang merupakan penderita
gagal ginjal tahap akhir (kronis).
3.1.2 Teknik Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah total sampling, yaitu pengambilan sampel yang digunakan dari
total populasi. Teknik ini digunakan karena jumlah populasinya terbatas yaitu 120
responden, sehingga dari jumlah tersebut dapat dijadikan sampel dalam penelitian
56
ini. Dalam metode ini ditentukan dengan karakteristik sampel diambil berdasarkan
jumlah keseluruhan penderita di klinik hemodialisa Muslimat NU Cipta Husada I.
3.1.3 Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini yaitu
menggunakan pernyataan dengan instrumen skala penelitian. Skala penelitian yang
digunakan ialah skala model Likert.
3.2 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat variabel yang terdiri dari:
1. Happiness
2. Affiliative humor
3. Self-enhancing humor
4. Aggressive humor
5. Self-defeating humor
6. Self-esteem
7. Intellectual
8. Ideology
9. Public practice
10. Private practice
11. Experience
3.3 Definisi Operasional Variabel
1. Happiness sebagai penilaian subjektif (personal) secara keseluruhan dalam
menilai diri sebagai orang yang bahagia atau tidak (Lyumbomirsky &
Lepper, 1999).
57
2. Affiliative humor merupakan kecenderungan untuk melakukan lelucon
secara spontan untuk memberikan hiburan dan mengurangi ketegangan
dalam menjalin hubungan interpersonal (Martin, 2007).
3. Self-enhancing humor merupakan kecenderungan untuk menemukan
hiburan dari keganjilan dalam hidup (Martin, 2007).
4. Aggressive humor merupakan kecenderungan menggunakan humor untuk
mengkritik atau memanipulasi orang lain (Martin, 2007).
5. Self-defeating humor merupakan kecenderungan mengambil hati dari orang
lain dan mencoba untuk menghibur orang lain dengan mengolok-olok
kelemahan mereka (Martin, 2007).
6. Self-esteem merupakan penilaian dan perasaan secara keseluruhan penderita
gagal ginjal kronis tentang penilaian diri sendiri, baik pikiran dan perasaan
dapat berupa sikap positif atau negatif secara keseluruhan (Rossenberg,
et.al, 1995).
7. Intellectual merupakan harapan sosial bagi orang religius yang memiliki
pengetahuan agama (Glock & Stark, 1967).
8. Ideology merupakan harapan sosial bagi orang religius yang memiliki
keyakinan mengenai keberadaan. Hubungan antara transendensi dan
manusia (Glock & Stark, 1967).
9. Public practice merupakan harapan sosial individu yang diwujudkan dalam
partisipasi publik dalam komunitas agama dan ritual agama (Glock & Stark,
1967).
58
10. Private practice merupakan harapan sosial individu untuk mengabdikan diri
untuk dalam kegiatan individual dan ritual di ruang pribadi (Glock & Stark,
1967).
11. Experience merupakan harapan sosial individu dapat secara langsung
merasa dekat dengan Tuhan dan dapat mempengaruhi emosional sebagai
pengalaman dan perasaan religius (Glock & Stark, 1967).
3.4 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan berupa kuesioner. Kuesioner yang
digunakan pada penelitian ini berbentuk skala model Likert, yaitu sangat setuju
(SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang masing-
masing jawaban menunjukan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan
keadaan yang dirasakan oleh subjek. Model skala Likert ini terdiri dari pernyataan
positif (favorable) dan pernyataan negative (unfavorable). Perhitungan skor tiap-
tiap pilihan jawaban adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Format Model Skala Likert
Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable
SS 4 1
S 3 2
TS 2 3
STS 1 4
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas empat alat
ukur, yaitu : happiness, humor style, self-esteem, dan religiusitas.
59
3.4.1 Skala Happiness
Pada skala ini, peneliti menggunakan skala yang ditemukan oleh Lyumbormirsky
dan Lepper (1999), yaitu Subjective Happiness Scale (SHS), karena menurut
peneliti alat ukur tersebut sesuai dengan penelitian ini. Menurut Lyumbormirsky
dan Lepper (1999) mengklaim bahwa SHS mencerminkan kategori kesejahteraan
lebih luas dan lebih menyentuh psikologis secara keseluruhan. Skala happiness ini
tersusun atas empat item dengan pilihan jawaban yang memiliki rentang 1-7.
Namun dalam penelitian ini digunakan alat ukur yang telah diadaptasi, sehingga
rentang jawaban adalah 1-4.
Tabel 3.2
Blue Print Skala Happiness
Alat ukur
Dimensi
Item
Jumlah Fav Unfav
Happiness Penilaian subjectif dan global
dalam menilai diri sebagai
orang yang bahagia atau tidak
bahagia
1,2,3
4
4
Jumlah Item 3 1 4
3.4.2 Skala Humor Style
Pada skala ini, peneliti menggunakan skala yang ditemukan oleh Martin (2003)
yaitu Humor Style Questioner (HSQ). Skala ini mengukur empat dimensi humor
style, yaitu affiliative humor, self-enhancing humor, aggressive humor, self-
defeating humor. Skala ini berjumlah 32 item dengan masing-masing terdiri dari 8
item mengukur affiliative humor, 8 item mengukur self-enhancing humor, 8 item
mengukur aggressive humor, 8 item mengukur self-defeating humor. Adapun
pembagian item-item tiap dimensi dapat dilihat pada table 3.3 dibawah ini:
60
Table 3.3
Blue Print Skala Humor Style
Dimensi
Sub Indikator
Item
Jumlah Fav Unfav
Affiliative
humor
Menceritakan hal-hal lucu
Suka mengajak orang lain bercanda
Senang menghibur orang secara
sepontan
Menggunakan humor untuk
meningkatkan hubungan
intrapersonal
13, 21
5
17
1,9
25, 29
1
4
1
2
Self-
enhancing
humor
Mampu menertawakan pengalaman
buruk
Mengambil sisi lucu dari sebuah
fenomena
Humor menjadi coping stress
26
6,10,1
8,30
2,14
22
1
4
3
Aggressive
humor
Kurang berempati
Melontarkan sindiran/ejekan
Meremehkan orang lain
11
19
19, 27
15
7
31
23
2
2
4
Self-
defeating
humor
Melontarkan lelucon yang
menghina diri sendiri
Berusaha untuk menghibur orang
lain dengan menceritakan aib
Membiarkan dirinya dijadikan
bahan ejekan orang lain
8,20
12,28
4, 24,
32
16
3
2
3
Jumlah Item 21 11 32
3.4.3 Skala Self-esteem
Pada skala ini, peneliti menggunakan skala yang ditemukan oleh Rossenberg et al
(1995), yaitu Rossenberg Self-Esteem Scale (RSES). Skala ini terdiri dari satu
dimensi yang terdiri dari 10 item dapat berupa pernyataan positif terdiri 5 item dan
pernyataan negatif terdiri dari 5 item.
61
Tabel 3.4
Blue Print Skala Self-esteem
Alat ukur
Dimensi
Item
Jumlah Fav Unfav
Self-
esteem
Kemampuan individu
mengatur pikiran dan perasaan
tentang penilaian diri
1,3,4,7,10
2,5,6,8,9
10
Jumlah Item 5 5 10
3.4.4 Skala Religiusitas
Tabel 3.5
Blue Print Skala Religiusitas
Dimensi
Sub Indikator
Pernyataan
Jumlah Fav Unfav
Intellectual Berpikir tentang isu agama
Mengakui dan mempelajari
ajaran agama
Mencari informasi tentang
agama
1
7
14
1
1
1
Ideology Menerima dan mengakui ajaran
dalam agamanya
Mempertahankan kepercayaan
untuk selalu taat
Yakin akan adanya kekuatan
Tuhan
2
8
15
1
1
1
Public
practice
Tingkatan seseorang untuk
menunaikan kewajiban dalam
beribadah
Mengambil peran penting
dalam beribadah
Menjalankan kegiatan
komunitas keagamaan
3
9
16
1
1
1
Private
practice
Kewajiban untuk menjalankan
ibadah
Tingkatan melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan
agama
4, 5, 10, 11,
17, 18
6
Experience Mengetahui dan memahami
ajaran agama dari dasar
keyakinan, ritual, atau tradisi
dari kitab suci
6, 12, 13,
19
4
Jumlah Item 19 - 19
62
3.5 Uji Validitas Konstruk
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Happiness
Pada uji validitas konstruk happiness, peneliti menguji apakah 4 item yang ada
bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur satu variable saja yaitu
happiness. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor,
hasilnya ternyata fit, dengan Chi-Square = 5.62, df = 2, P-value = 0.06006, RMSEA
= 0.123. Oleh karena itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu happiness. Selanjutnya, peneliti melihat
apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu di drop atau tidak. Maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang kofisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
table 3.6 berikut:
Tabel 3.6
Muatan Faktor Item Happiness
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 1 1.42 0.39 3.67 √
ITEM 2 0.53 0.17 3.16 √
ITEM 3 0.23 0.11 2.09 √
ITEM 4 -0.05 0.06 -0.78 X
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Dari table 3.6 terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1.96 yaitu
pada item 4. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga item 4 tersebut
dinyatakan tidak valid.
63
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Humor Style
3.5.2.1 Uji validitas dimensi affiliative humor
Peneliti menguji apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar
hanya mengukur affiliative humor. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan
model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-Square = 23.95, df = 15, P-value =
0.06598, RMSEA = 0.071. Oleh karena itu, peneliti tidak perlu melakukan
modifikasi terhadap model.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu affiliative humor. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan
item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah
item tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7 berikut.
Tabel 3.7
Muatan Faktor Item Affiliative Humor
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 1 0.65 0.10 6.84 √
ITEM 5 0.55 0.09 6.39 √
ITEM 9 0.40 0.08 4.87 √
ITEM 13 0.51 0.10 5.20 √
ITEM 17
ITEM 21
ITEM 25
ITEM 29
0.57
0.16
0.54
0.60
0.10
0.11
0.10
0.09
5.83
1.42
5.52
6.96
√
X
√
√
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Dari table 3.7 terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1.96 yaitu
pada item 21. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga item 21
tersebut dinyatakan tidak valid.
64
3.5.2.2 Uji validitas dimensi self-enhancing humor
Peneliti menguji apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu self-enhancing humor. Dari
hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit,
dengan Chi – Square = 64.87 , df = 20 , P-value = 0.00000 , RMSEA = 0.137.
Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan pengukuran pada beberapa
item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi-Square = 20.85, df = 15, p-value = 0.14156, RMSEA = 0.057.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu self-enhancing humor. Selanjutnya, peneliti melihat apakah
signifikan item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8
Muatan Faktor Item Self-Enhancing Humor
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 2 0.71 0.09 7.90 √
ITEM 6 0.60 0.09 6.39 √
ITEM 10 0.68 0.09 7.40 √
ITEM 14 0.45 0.10 4.57 √
ITEM 18
ITEM 22
ITEM 26
ITEM 30
0.51
0.13
0.63
0.10
0.10
0.11
0.09
0.11
5.33
1.19
6.75
0.96
√
X
√
X
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
65
Berdasarkan tabel 3.8 diatas, terdapat item yang memiliki nilai koefisien t
< 1.96 yaitu item 22 dan 30. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga
item 22 dan 30 dinyatakan tidak valid.
3.5.2.3 Uji validitas dimensi aggressive humor
Peneliti menguji apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu aggressive humor. Dari hasil
awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit,
dengan Chi – Square = 112.40 , df = 20 , P-value = 0.00000 , RMSEA = 0.197.
Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan pengukuran pada beberapa
item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi-Square = 16,17, df = 14, p-value = 0.30320, RMSEA = 0.036.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu aggressive humor.
Tabel 3.9
Muatan Faktor Item Aggressive Humor
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 4 0.21 0.09 2.20 √
ITEM 8 0.52 0.09 5.66 √
ITEM 12 0.81 0.09 9.15 √
ITEM 16 0.65 0.09 7.59 √
ITEM 20
ITEM 24
ITEM 28
ITEM 32
0.17
0.50
-0.04
0.67
0.10
0.10
0.10
0.09
1.81
4.88
-0.38
7.60
X
√
X
√
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-
66
drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9.
Berdasarkan tabel 3.9 diatas, terdapat item yang memiliki nilai koefisien t
< 1.96 yaitu item 20 dan 28. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga
item 20 dan 28 dinyatakan tidak valid.
3.5.2.4 Uji validitas dimensi self-defeating humor
Peneliti menguji apakah 8 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu self-defeating humor. Dari
hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit,
dengan Chi – Square = 64.24 , df = 20 , P-value = 0.00000 , RMSEA = 0.136.
Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan pengukuran pada beberapa
item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi-Square = 22.59, df = 18, p-value = 0.20682, RMSEA = 0.046.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu self-defeating humor. Selanjutnya, peneliti melihat apakah
signifikan item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
tabel 3.10 berikut:
67
Tabel 3.10
Muatan Faktor Item Self-defeating Humor
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 3 0.63 0.13 4.71 √
ITEM 7 -0.06 0.12 -0.46 X
ITEM 11 0.15 0.12 1.27 X
ITEM 15 0.45 0.12 3.73 √
ITEM 19
ITEM 23
ITEM 27
ITEM 31
0.45
-0.10
0.32
-0.16
0.12
0.12
0.12
0.12
3.66
-0.87
2.62
-1.28
√
X
√
X
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.10 diatas, terdapat item yang memiliki nilai koefisien t
< 1.96 yaitu item 7, 11, 23 dan 31. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96)
sehingga item 7, 11, 23 dan 31dinyatakan tidak valid.
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Self-esteem
3.5.3.1 Uji validitas dimensi self-esteem
Peneliti menguji apakah 10 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak,
artinya apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu self-esteem. Dari
hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit,
dengan Chi – Square = 132.57 , df = 35 , P-value = 0.00000 , RMSEA = 0.153.
Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan pengukuran pada beberapa
item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi-Square = 41.27, df = 30, p-value = 0.08258, RMSEA = 0.056.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
faktor saja yaitu self-esteem. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item
68
tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11 berikut.
Tabel 3.11
Muatan Faktor Item Self-esteem
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 1 0.63 0.09 6.66 √
ITEM 2 0.53 0.09 5.58 √
ITEM 3 0.32 0.10 3.09 √
ITEM 4 0.48 0.09 5.11 √
ITEM 5
ITEM 6
ITEM 7
ITEM 8
ITEM 9
ITEM 10
0.54
0.65
0.29
0.04
0.66
0.13
0.09
0.09
0.10
0.10
0.09
0.10
5.76
7.18
3.00
0.38
7.26
1.25
√
√
√
X
√
X
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.11 diatas, terdapat item yang memiliki nilai koefisien t
< 1.96 yaitu item 8 dan 10. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga
item 8 dan 10 dinyatakan tidak valid.
3.5.4 Uji Validitas Konstruk Religiusitas
3.5.4.1 Uji validitas dimensi intellectual
Peneliti menguji apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu intellectual. Dari hasil awal
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata fit, dengan Chi –
Square = 0.00 , df = 0 , P-value = 1.00000 , RMSEA = 0.000. Oleh karena itu,
peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model.
Dari hasil tersebut menunjukkan p-value > 0.05 (tidak signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu
69
faktor saja yaitu intellectual. Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item
tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12 berikut.
Tabel 3.12
Muatan Faktor Item Intellectual
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 1 0.31 0.34 0.89 X
ITEM 7 -0.13 0.17 -0.77 X
ITEM 14 1.36 1.47 0.92 X
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.12 diatas, terdapat item yang memiliki nilai koefisien (t < 1.96)
yaitu item 1, 7, dan 14. Semua item tidak signifikan (t < 1.96) sehingga semua item
1, 7 dan 14 dinyatakan tidak valid.
Setelah dilakukan uji validitas, ditemukan bahwa semua item pada dimensi
intellectual tidak valid (t-value < 1.96), sehingga item pada dimensi intellectual
tidak dapat diikutkan dalam analisis perhitungan faktor skor.
3.5.4.2 Uji validitas dimensi ideology
Peneliti menguji apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu ideology. Dari hasil awal
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan
Chi – Square = 0.00 , df = 0 , P-value = 1.00000 , RMSEA = 0.000. Oleh karena
itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model.
Dari gambar 3.13, nilai Chi – Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh
70
item mengukur satu faktor saja yaitu ideology. Selanjutnya, peneliti melihat apakah
signifikan item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
tabel 3.13 berikut.
Tabel 3.13
Muatan Faktor Item ideology
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 2 0.70 0.09 7.75 √
ITEM 8 0.91 0.09 10.17 √
ITEM 15 0.66 0.09 7.32 √
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.13 diatas, terdapat item yang memiliki nilai koefisien t
< 1.96 yaitu item 1 dan 2. Sedangkan item lainnya signifikan (t > 1.96) sehingga
item 1 dan 2 dinyatakan tidak valid.
3.5.4.2 Uji validitas dimensi public practice
Peneliti menguji apakah 3 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu public practice. Dari hasil
awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata fit, dengan
Chi – Square = 0.00 , df = 0 , P-value = 1.00000 , RMSEA = 0.000. Oleh karena
itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model.
Dari gambar 3.9, nilai Chi – Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu public practice. Selanjutnya, peneliti melihat
apakah signifikan item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
71
menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
tabel 3.14 berikut.
Tabel 3.14
Muatan Faktor Item Public Practice
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 3 0.33 0.15 2.16 √
ITEM 9 1.55 0.58 2.67 √
ITEM 16 0.31 0.15 2..12 √
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.14 diatas, tidak terdapat item yang memiliki nilai
koefisien t < 1.96. Semua item lainnya signifikan (t > 1.96), sehingga semua item
dinyatakan valid.
3.5.4.3 Uji validitas dimensi private practice
Peneliti menguji apakah 6 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak, artinya
apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu private practice. Dari hasil
awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit,
dengan Chi – Square = 83.54 , df = 9 , P-value = 0.00000 , RMSEA = 0.264. Setelah
dilakukan modifikasi terhadap model, kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan nilai
Chi-Square = 11.27, df = 8, p-value = 0.18704, RMSEA = 0.059.
Dari gambar 3.10, nilai Chi – Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu private practice.
72
Tabel 3.15
Muatan Faktor Item Private Pactice
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 4
ITEM 5
ITEM 10
ITEM 11
ITEM 17
ITEM 18
0.19
0.34
0.48
0.29
0.67
1.09
0.08
0.09
0.13
0.09
0.10
0.13
2.32
3.72
3.75
3.27
6.42
5.83
√
√
√
√
√
√
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-
drop atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.15.
Berdasarkan tabel 3.14 diatas, tidak terdapat item yang memiliki nilai
koefisien t < 1.96. Semua item lainnya signifikan (t > 1.96), sehingga semua item
dinyatakan valid.
3.5.4.5 Uji validitas dimensi experience
Peneliti menguji apakah 4 item yang ada bersifat unidimensional atau tidak,
artinya apakah benar hanya mengukur satu variabel saja yaitu experience. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, hasilnya ternyata fit,
dengan Chi-Square = 1.09, df = 2, P-value = 0.57977, RMSEA = 0.000. Oleh karena
itu, peneliti tidak perlu melakukan modifikasi terhadap model.
Dari gambar 3.11, nilai Chi – Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh
item mengukur satu faktor saja yaitu experience. Selanjutnya, peneliti melihat
apakah signifikan item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus
73
y = a + b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8 +b9X9+e
menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Maka dilakukan
pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya
dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada
tabel 3.16 berikut.
Tabel 3.16
Muatan Faktor Item Experience
No item Lambda Standar Eror T-Value Signifikansi
ITEM 6 0.48 0.09 5.10 √
ITEM 12
ITEM 13
ITEM 19
0.51
0.79
0.84
0.09
0.09
0.09
5.43
8.68
9.32
√
√
√
Keterangan : tanda √ = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Berdasarkan tabel 3.16 diatas, nilai koefisien (t>1,96) pada setiap item
dikatakan signifikan, karena memiliki koefisien muatan faktor yang positif
sehingga dinyatakan valid.
3.6 Metode Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat pengaruh
yang signifikan variabel humor style, self-esteem dan religiusitas sebagai IV
terhadap happiness sebagai DV, serta untuk mengetahui berapa besar sumbangan
yang diberikan masing-masing IV terhadap DV maka peneliti menggunakan teknik
analisis regresi berganda (multiple regression analysis), yang penghitungannya
menggunakan bantuan program atau software SPSS 17.0 .
Dalam penelitian ini, terdapat satu variabel terikat (Dependent Variable) yaitu
happiness, dan 9 variabel bebas (Independent Variable), yang merupakan dimensi
dari humor style, self-esteem, dan religiusitas. Sehingga susunan persamaan garis
regresi penelitian adalah sebagai berikut:
74
Dimana:
y = dependent variable, yang dalam hal ini happiness
a = intercept (konstan)
b = koefisien regresi yang distandarisasikan untuk masing-masing X
X1 = independent variable dalam hal ini affiliative humor
X2 = independent variable dalam hal ini self-enhancing humor
X3 = independent variable dalam hal ini aggressive humor
X4 = independent variable dalam hal ini self-defeating humor
X5 = independent variable dalam hal ini self-esteem
X6 = independent variable dalam hal ini ideology
X7 = independent variable dalam hal ini public practice
X8 = independent variable dalam hal ini private practice
X9 = independent variable dalam hal ini experience
e = residu
Melalui regresi berganda ini dapat diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi
berganda antara happiness dengan humor style, self-esteem, dan religiusitas.
Besarnya kemungkinan happiness, yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah
disebutkan tadi ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R2. Fungsi R2
digunakan untuk melihat proporsi varians dari happiness yang dipengaruhi oleh
humor style, self-esteem, dan religiusitas. Untuk mendapatkan nilai R2, digunakan
rumus sebagai berikut:
𝑅2 =𝑆𝑆𝑟𝑒𝑔
𝑆𝑆𝑦
Uji R2 diuji untuk membuktikan apakah penambahan varians dari independent
variabel satu persatu signifikan atau tidak. Untuk membuktikan apakah regresi X
pada Y signifikan atau tidak, dilakukan dengan menggunakan rumus F, yaitu
sebagai berikut:
75
𝐹 =𝑅2/𝐾
(1 − 𝑅2)/(𝑁 − 𝑘 − 1)
Dimana K adalah jumlah variabel bebas dan N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji
F yang dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah independent variable yang diujikan
tersebut memiliki pengaruh terhadap dependent variable.
Kemudian untuk menguji apakah pengaruh yang diberikan variabel-variabel
independent signifikan terhadap dependent variabel, maka peneliti melakukan uji
t. Uji t yang dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar error dari b. Hasil uji t ini
akan diperoleh dari hasil regresi yang dilakukan peneliti. Analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program spss versi 17.0.
3.7 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini prosedur penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdiri dari
beberapa tahapan, yang penjabaran sebagai berikut:
1. Sebelum turun ke lapangan, peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti
kemudian menentukan variable yang akan diteliti yaitu happiness, humor style,
self-esteem dan religiusitas. Setelah itu mengadakan studi pustaka untuk
melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis. Setelah mendapatkan
teori-teori secara lengkap kemudian menyiapkan, membuat dan menyusun alat
ukur yang akan digunakan.
2. Menilai apakah pengklasifikasian item yang dilakukan sudah benar dan tepat
berdasarkan teori yang telah dipaparkan.
76
3. Menyesuaikan hasil yang telah dibuat, sehingga didapat pengklasifikasian item
yang tepat dan sesuai dengan dasar teori yang telah dikemukakan.
4. Menentukan sampel penelitian yaitu happiness yang sesuai dengan kriteria dan
lokasi yang telah ditetapkan yaitu Klinik Hemodialisa Muslimat NU Cipta
Husada I Jakarta. Setelah mendapatkan persetujuan dari Klinik hemodialisa
tersebut, selanjutnya peneliti membuat surat izin penelitian kepada pihak
fakultas psikologi dengan melampirkan surat persetujuan pembimbing dan alat
ukur penelitian untuk keperluan izin penelitian di Klinik Hemodialisa
Muslimat NU Cipta Husada I Jakarta.
5. Peneliti melaksanakan pengambilan data dengan cara menyebar angket kepada
subjek yang telah ditentukan..
6. Langkah terakhir setelah mendapatkan data yang diinginkan, peneliti
melakukan skoring terhadap hasil skala yang telah terkumpul, untuk
selanjutnya dilakukan pengolahan data dan pengujian dari hasil skala yang
sudah didapatkan dalam pengujian hasil, peneliti menggunakan spss 17.0.
77
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini, dipaparkan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis
deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil uji hipotesis dan proporsi
varians.
4.1 Gambaran Subjek Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai latar belakang subjek penelitian
maka pada subbab ini ditampilkan gambaran banyaknya subjek penelitian
berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Frequency Presentase
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Usia
18 tahun – 40 tahun
40 tahun – 60 tahun
60 tahun – 80 tahun
Total
Lamanya menjalani
hemodialisa
3 bulan – 1 tahun
1 tahun – 2 tahun
2 tahun – 3 tahun
> 3 tahun
Total
72
42
60.8%
39.2%
120
16
72
32
120
70
26
8
16
120
100%
11.2%
78.4%
30.4%
100%
78%
25.2%
3.6%
13.2%
100
78
Berdasarkan data pada tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah subjek yang
diikutsertakan berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini memiliki jumlah
sampel laki-laki sebanyak 72 orang (60.8%) dan sampel perempuan sebanyak 48
orang (39.2%)
Selanjutnya, subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 120
orang dengan penderita terbanyak yang menjalani hemodialisa berada pada usia 40
tahun – 60 tahun, sejumlah 72 orang atau (78.4 %). Penderita pada usia 60 tahun –
80 tahun sejumlah 32 orang atau (30.4%). Selanjutnya, pada usia 18 tahun – 40
tahun penderita yang menjalani hemodialisa sebanyak 16 orang atau (11.2%).
Jumlah subjek berdasarkan lamanya penderita menjalani hemodialisa
terbanyak pada awal menjalani hemodialisa dari 3 bulan - 1 tahun sebanyak 70
orang atau (78%). Dari 1 tahun - 2 tahun lamanya penderita menjalani hemodialisa
sebanyak 26 orang atau (25.2%). Selanjutnya dari 2 tahun - 3 tahun penderita
menjalani hemodialisa sebanyak 8 orang atau (3.6%). Lebih dari 3 tahun lamanya
menjalani hemodialisa sebanyak 16 orang atau (13.2%).
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian.
Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan maksimum, minimum, mean dan
standar deviasi variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor variabel
penelitian. Gambaran hasil analisis deskriptif ini dapat dilihat pada tabel 4.2.
79
Tabel 4. 2
Hasil Analisis Deskriptif
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Happiness 120 21.34 68.24 50.0000 9.99500 Affiliative 120 47.05 52.38 50.0000 .84793 Self-enhancing 120 31.08 71.71 50.0000 8.52695
Aggressive 120 28.34 65.86 50.0000 8.48363 Self-defeating 120 28.20 64.00 50.0000 7.88722 Self-esteem 120 20.77 65.80 50.0000 8.52450 Ideology 120 17.28 61.51 50.0000 8.63580
Public practice 120 23.72 62.90 50.0000 9.99500 Private practice 120 20.81 64.36 50.0000 9.12092
Experience 120 20.90 65.25 50.0000 8.72248 Valid N (listwise) 120
Berdasarkan data pada tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa subjek penelitian
sebanyak 120 orang dengan nilai minimum dari variabel happiness adalah 21.34
dengan nilai maksimum = 68.24, mean = 50,0000 dan sd = 9.99500. Kedua,
affiliative memiliki nilai minimum= 47.05, nilai maksimum = 52.38, mean =
50.0000 dan sd = 0.84793. Ketiga, self-enhancing memiliki nilai minimum = 31.08
dengan nilai maksimum = 71.71, mean = 50.0000 dan sd = 8.52695. Keempat,
aggressive memiliki nilai minimum = 28.34, nilai maksimum = 65.86, mean =
50.0000 dan sd = 8.48363. Kelima, self-defeating memiliki nilai minimum = 28.20,
nilai maksimum = 64.00, mean = 50.0000 dan sd = 7.88722. Keenam, self-esteem
memiliki nilai minimum = 20.77, nilai maksimum = 65.80 mean = 50,0000 dan sd
= 8.52450. Ketujuh, ideology memiliki nilai minimum =17.28, nilai maksimum =
61.51, mean = 50,0000 dan sd = 8.63580. Kedelapan, public practice memiliki
nilai minimum = 23.72, nilai maksimum = 62.90, mean = 50.0000 dan sd = 9.99500.
Kesembilan, private practice memiliki nilai minimum = 20.81, nilai maksimum =
80
64.36, mean = 50.0000 dan sd= 9.12092. Kesepuluh, experience memiliki nilai
minimum = 20.90, nilai maksimum = 65.25, mean = 50.0000 dan sd = 8.72248.
4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori yaitu, tinggi dan
rendah. Untuk mendapatkan norma kategorisasi tersebut, peneliti menggunakan
pedoman sebagai berikut
Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor
Kategori Rumus
Rendah X < Mean
Tinggi X ≥ Mean
Uraian mengenai gambaran kategorisasi skor variabel penelitian berdasarkan
rendah dan tingginya variabel happiness disajikan pada tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4.
Kategorisasi skor happiness
Laki-laki Perempuan
Frequency Dewasa
awal
Dewasa
Akhir
Dewasa
awal
Dewasa
akhir
Valid Rendah 22 46 tahun 66, 41 tahun 36 tahun 62 tahun
Tinggi 98 34 tahun 51, 53, 74 37 tahun 65 tahun
Total 120 Tahun
Berdasarkan data pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa sebanyak 22 penderita gagal
ginjal memiliki happiness yang rendah. Penderita gagal ginjal kronis yang
memiliki happiness rendah yang terdiri dari laki-laki pada dewasa awal berada pada
usia 46 tahun, pada dewasa akhir berada pada usia 66 tahun, 41 tahun. Sedangkan
81
pada penderita perempuan yang memiliki happiness rendah pada dawasa awal
berada pada usia 36 tahun dan pada dewasa akhir berada pada usia 62 tahun.
Selanjutnya, pada penderita gagal ginjal yang memiliki happiness tinggi
jumlahnya lebih banyak, yaitu sebesar 98 penderita gagal ginjal. Penderita gagal
ginjal kronis yang memiliki happiness tinggi terdiri dari laki-laki pada dewasa awal
berada pada usia 34 tahun, pada dewasa akhir berada pada usia 51 tahun, 53 tahun,
dan 74 tahun. Sedangkan pada penderita perempuan yang memiliki happiness tinggi
pada dewasa awal berada pada usia 37 tahun, pada dewasa akhir berada pada usia
65 tahun.
Selanjutnya pada tabel 4.5 adalah variabel skor kategorisasi secara
keseluruhan dari humor style.
Tabel 4.5.
Kategorisasi skor affiliative humor
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 58 48,3 48,5
Tinggi 62 51,7 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa 48,3% atau 58 penderita gagal
ginjal kronis memiliki kategorisasi affiliative humor yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi affiliative humor tinggi
jumlahnya lebih banyak, yaitu 51,7% atau 62 penderita gagal ginjal kronis.
Uraian selanjutnya, akan menjelaskan kategori skor variabel penelitian
berdasarkan tinggi dan rendahnya variabel self-enhancing humor disajikan pada
tabel 4.6 di bawah ini.
82
Tabel 4.6
Kategorisasi skor self-enhancing humor
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 59 49,2 49,2
Tinggi 61 50,8 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.6 dapat dilihat bahwa 49,2% atau 59 penderita gagal
ginjal kronis memiliki kategorisasi self-enhancing humor yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi self-enhancing humor
tinggi jumlahnya lebih banyak, yaitu 50,8% atau 62 penderita gagal ginjal kronis.
Selanjutnya, gambaran kategori skor variabel penelitian berdasarkan tinggi
dan rendahnya variabel aggressive humor disajikan pada tabel 4.7 di bawah ini.
Tabel 4.7
Kategorisasi skor aggressive humor
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 53 44,2 44,2
Tinggi 67 55,8 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.7 dapat dilihat bahwa 44,2 % atau 53 penderita gagal
ginjal kronis memiliki kategorisasi aggressive humor yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi aggressive humor tinggi
jumlahnya lebih banyak, yaitu 55,8% atau 67 penderita gagal ginjal kronis.
Uraian mengenai gambaran kategori skor variabel penelitian berdasarkan tinggi dan
rendahnya variabel self-defeating humor disajikan pada tabel 4.8 di bawah ini.
83
Tabel 4.8
Kategorisasi skor self-defeating humor
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 58 48,3 48,3
Tinggi 62 51,7 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.8 dapat dilihat bahwa 48,3% atau 58 penderita gagal
ginjal kronis memiliki kategorisasi self-defeating humor yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi self-defeating humor tinggi
jumlahnya lebih banyak, yaitu 51,7 % atau 62 penderita gagal ginjal kronis.
Selanjutnya, gambaran kategori skor variabel penelitian berdasarkan
tinggi dan rendahnya variabel self-esteem disajikan pada tabel 4.9 di bawah ini.
Tabel 4.9
Kategorisasi skor self-esteem
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 59 49,2 49,2
Tinggi 61 50,8 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.9 dapat dilihat bahwa 49,2 % atau 59 penderita
gagal ginjal kronis memiliki kategorisasi self-esteem yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi self-esteem tinggi
jumlahnya lebih banyak, yaitu 50,8,% atau 61 penderita gagal ginjal kronis.
Tabel selanjutnya adalah uraian mengenai gambaran kategori skor variabel
penelitian berdasarkan tinggi dan rendahnya variabel ideology disajikan pada tabel
4.10 di bawah ini.
84
Tabel 4.10
Kategorisasi skor ideology
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 59 49,2 49,2
Tinggi 61 50,8 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa 49,2 % atau 59 penderita
gagal ginjal kronis memiliki kategorisasi ideology yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi ideology tinggi jumlahnya
lebih banyak 50,8 % atau 61 penderita gagal ginjal kronis.
Selanjutnya, gambaran kategori skor variable penelitian berdasarkan tinggi
dan rendahnya variabel public practice disajikan pada tabel 4.11 di bawah ini.
Tabel 4.11
Kategorisasi skor public practice
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 77 64,2 64,2
Tinggi 43 35,8 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa 64,2% atau 77 penderita
gagal ginjal kronis memiliki kategorisasi public practice yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi public practice tinggi
jumlahnya lebih sedikit 35,8 % atau 43 penderita gagal ginjal kronis.
Tabel selanjutnya adalah uraian mengenai gambaran kategori skor variabel
penelitian berdasarkan tinggi dan rendahnya variable private practice disajikan
pada tabel 4.11.
85
Tabel 4.11
Kategorisasi skor private practice
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 77 64,2 64,2
Tinggi 43 35,8 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.12 dapat dilihat bahwa 64,2% atau 77 penderita
gagal ginjal kronis memiliki kategorisasi private practice yang rendah. Sedangkan
penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi private practice tinggi
jumlahnya lebih sedikit 35,8 % atau 43 penderita gagal ginjal kronis.
Tabel selanjutnya adalah uraian mengenai gambaran kategori skor variabel
penelitian berdasarkan tinggi dan rendahnya variable private practice disajikan
pada tabel 4.12.
Tabel 4.12
Kategorisasi skor experience
Frequency Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 81 67,5 67,5
Tinggi 39 32,5 100,0
Total 120 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.12 dapat dilihat bahwa 67,5 % atau 81
penderita gagal ginjal kronis memiliki kategorisasi experience yang rendah.
Sedangkan penderita gagal ginjal kronis yang memiliki kategorisasi experience
tinggi jumlahnya lebih sedikit 32,5 % atau 39 penderita gagal ginjal kronis.
4.3 Uji Hipotesis Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda
dengan menggunakan software SPSS 17. Dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu
86
melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians dependent
variable yang dijelaskan oleh independent variable, kedua apakah secara
keseluruhan independent variable berpengaruh secara signifikan terhadap
dependent variable, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien
regresi dari masing - masing independent variable.
Pengujian hipotesis dilakukan dilakukan dengan berapa tahapan. Langkah
pertama peneliti melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%)
varians dependent variable yang dijelaskan oleh independent variable.Selanjutnya
untuk tabel R square, dapat dilihat pada tabel 4.13.
Tabel 4.13 Model Summary Analisis Regresi
Model Summary
Model
R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1
.526a
.277
.218
8.84043
a. Predictors: (Constant), Experience, Self-esteem, Self-defeating, Affiliative, Public
practice, Aggressive, Ideology, Self-enhancing, Private practice
Berdasarkan data pada tabel 4.13 dapat dilihat bahwa perolehan R-square
sebesar 27,7% dijelaskan oleh independent variabel yaitu variabel humor style
(affiliative humor, self-enhancing humor, aggressive humor, self-defeating humor),
self-esteem, dan religiusitas (ideology, public practice, private practice,
experience) sedangkan 72,3% dari variabel yang lainnya. Artinya proporsi varian
dari happiness yang dijelaskan oleh semua dimensi humor style (affiliiative humor,
self-enhancing humor, aggressive humor, self-defeating humor), self-esteem, dan
dimensi religiusitas (ideology, public practice, private practice, experience) dalam
87
penelitian ini adalah sebesar 27,7%. Sedangkan 72,3% sisanya dipengaruhi oleh
variabel lain di luar penelitian ini. Langkah kedua peneliti menganalisis dampak
dari seluruh independent variable terhadap happiness. Adapun hasil uji F dapat
dilihat pada tabel 4.14 dibawah ini.
Tabel 4.14.
Tabel Anova Pengaruh Keseluruhan Independent Variable Terhadap Dependent
Variable ANOVA b
Model Sum of
Squares
Df
Mean Square F Sig
1 Regression 3334.508 9 370.501 4.765 .000a
Residual 8553.598 110 77.760
Total 11888.106 119
a. Predictors: (Constant), Experience, Self-esteem, Self-defeating, Affiliative, Public practice,
Aggressive, Ideology, Private practice, Self-enhancing
b. Dependent Variable: Happiness
Berdasarkan data pada tabel 4.14 paling kanan diketahui bahwa (p<0.05) atau
signifikan, maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang
signifikan seluruh independent variable terhadap happiness ditolak. Artinya, ada
pengaruh yang signifikan dari humor style (affiliative, self-enhancing, aggressive,
dan self-defeating), self-esteem, religiusitas (ideology, public practice, private
practice, dan experience) terhadap happiness.
Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi tiap independent
variable. Jika nilai (t> 1,96) maka koefisien regresi tersebut signifikan Hal ini
menunjukkan bahwa bahwa independent variabel tersebut memiliki dampak yang
signifikan terhadap happiness. Adapun penyajiannya ditampilkan pada table 4.15.
88
Tabel 4.15
Koefisien regresi
Model
Unstandardized
Coefficients Standardized
Coefficients
T
Sig B
Std. Error
Beta
1 (Constant) 10.088 54.542 .185 .854
Affiliative -.034 1.162 -.003 -.029 .977
Self-enhaning .117 .120 .099 .972 .333
Aggressive -.114 .111 -.096 -1.023 .308
Self-defeating -.037 .123 -.029 -.304 .762
Self-esteem
Ideology
.353
-.006
.105
.113
.301
-.005
3.361
-.056
.001
.955
Public practice .004 .092 .004 .043 .966
Private practice
Experience
.207
.309
.113
.106
.189
.270
1.826
2.929
.071
.004
a. Dependent Variable: Happiness
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.15 dapat disampaikan persamaan
regresi sebagai berikut, dengan tanda (*) yang artinya signifikan:
Happiness = 10.088 - 0.034 affiliative + 0.117 self-enhancing - 0.114
aggressive - 0.037 self-defeating + 0.353 *self-esteem - 0.006 ideology +
0.004 public practice + 0.207 private practice* + 0.309 *experience
Berdasarkan data pada tabel 4.15, untuk melihat signifikan atau tidaknya
koefisien regresi yang dihasilkan, kita cukup melihat nilai signifikan pada kolom
yang paling kanan (kolom ke-6) jika (p<0.05), maka koefisien regresi yang
dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap happiness dan sebaliknya. Dari hasil di
atas, koefisien regresi dari self-esteem dan experience dikatakan memiliki pengaruh
yang signifikan sedangkan sisa lainnya tidak signifikan.
Hal ini berarti bahwa dari delapan independent variabel hanya dua yang signifikan
yaitu self-esteem dan experience. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang
diperoleh pada masing-masing independent variabel adalah sebagai berikut:
89
1. Variabel affiliative : Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.034 dengan
signifikansi sebesar 0.977 (p >0.05). Hal ini menunjukkan bahwa variabel
affiliative tidak berpengaruh secara signifikan terhadap happiness.
2. Variabel self-enhancing: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.117
dengan signifikansi sebesar 0.333 (p >0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
variabel self-enhancing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
happiness.
3. Variabel aggressive: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.114 dengan
signifikansi sebesar 0.308 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa variabel
aggressive tidak berpengaruh secara signifikan terhadap happiness.
4. Variabel self-defeating: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.037
dengan siginifikansi sebesar 0.762 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
variabel self-defeating tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
happiness.
5. Variabel self-esteem: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.353 dengan
signifikansi sebesar 0.001 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa variabel self-
esteem berpengaruh positif secara signifikan terhadap happiness. Dapat
disimpulkan, semakin tinggi self-esteem maka semakin tinggi happiness.
6. Variabel ideology: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.006 dengan
signifikansi sebesar 0.955 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa variabel
ideology tidak berpengaruh secara signifikan terhadap happiness.
7. Variabel public practice: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.004
dengan signifikansi sebesar 0.966 (p>0.05). Hal ini menunjukan bahwa
90
variabel public practice tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
happiness.
8. Variabel private practice: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.207
dengan signifikansi sebesar 0.071 (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
variabel private practice tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
happiness.
9. Variabel experience: Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.309 dengan
signifikansi sebesar 0.004 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa experience
berpengaruh positif secara signifikan terhadap happiness. Dapat disimpulkan
semakin tinggi experience maka semakin tinggi happiness.
4.4 Proporsi Varian
Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana penambahan proporsi varians
dari masing-masing independent variable terhadap happiness. Pada tabel 4.16
kolom pertama adalah independent variable yang dianalisis secara satu per satu,
kolom kedua merupakan penambahan varians dependent variable dari tiap
independent variable yang dianalisis satu per satu tersebut. Kolom ketiga
merupakan nilai murni varians dependent variable dari tiap independent variable
yang dimasukkan secara satu per satu, kolom keempat adalah nilai F hitung bagi
independent variable yang bersangkutan, kolom DF adalah derajat bebas bagi
independent variable yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan
denumerator, kolom F tabel adalah kolom mengenai nilai independent variable
pada tabel F dengan DF yang telah ditentukan sebelumnya, nilai kolom inilah yang
akan dibandingkan dengan kolom nilai F hitung. Apabila nilai F hitung lebih besar
91
daripada F tabel, maka kolom selanjutnya, yaitu kolom signifikansi yang akan
dituliskan signifikan dan sebaliknya. Besarnya proporsi varians pada happiness
dapat dilihat pada table 4.16 berikut:
Tabel 4.16 Proporsi Varians untuk Masing–Masing Independent Variable (IV)
Model summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics
R Square Change F Change df1 df2
Sig.F Change
1 .167a
.028
.020
9.89668
.028
3.376
1
118
.069
2
.270b
.073
.057
9.70576
.045
5.688
1
117
.019
3 .274c
.075
.051
9.73569
.002
.282
1
116
.597
4 .279d
.078
.046
9.76246
.003
.365
1
115
.547
5 .383e
.147
.110
9.43187
.069
9.203
1
114
.003
6 .402f
.162
.117
9.39149
.015
1.982
1
113
.162
7 .410g
.168
.116
9.39764
.006
.852
1
112
.358
8 .470 h .220 .164 9.13727 .052 7.474 1 111 .007
9
.526i .277 .218 8.84043 .057 8.579 1 110 .004
a. Predictors: (Constant), Affiliative b. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing c. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive d. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive, Self-defeating e. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive, Self-defeating, Self-esteem f. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive, Self-defeating, Self-esteem, Ideology g. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive, Self-defeating, Self-esteem, Ideology,
Public practice h. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive, Self-defeating, Self-esteem, Ideology,
Public practice, Private practice i. Predictors: (Constant), Affiliative, Self-enhancing, Aggressive, Self-defeating, Self-esteem, Ideology,
Public practice, Private practice, Experience
Berdasarkan data pada tabel 4.16 dapat disampaikan informasi sebagai
berikut :
1. Variabel affiliative memberikan sumbangan varians sebesar 2.8% pada
happiness. Sumbangan tersebut tidak signifikan karena p > 0.05 dilihat
dari nilai sig. F change = 0.069. Nilai F = 3.376 serta df1=1 dan df 2=
118.
92
2. Variabel self-enhancing memberikan sumbangan varians sebesar 4.5 %
pada happiness. Sumbangan tersebut signifikan karena p < 0.05 dilihat
dari sig F Change = 0.019. Nilai F = 5.688 serta df1= 1 dan df2= 117.
3. Variabel aggressive memberikan sumbangan varians sebesar 0.2% pada
happiness. Sumbangan tersebut tidak signifikan karena p > 0.05 dilihat
dari nilai sig F change = 0.597. Nilai F = 0.282 serta df1=1 dan
df2=116.
4. Variabel self-defeating memberikan sumbangan varians sebesar 0.3%
pada happiness. Sumbangan tersebut tidak signifikan karena p > 0.05
dilihat dari sig F change = 0.547. Nilai F = 0.365 serta df1 = 1 dan df2=
115.
5. Variabel self-esteem memberikan sumbangan varians sebesar 6.9%
pada happiness. Sumbangan tersebut signifikan karena p < 0.05 dilihat
dari sig F change = 0.003. Nilai F = 9.203 serta df1=1 dan df2=114.
6. Variabel ideology memberikan sumbangan varians sebesar 1.5% pada
happiness. Sumbangan tersebut tidak signifikan karena p > 0.05 dilihat
dari sig F change = 0.162. Nilai F = 1.982 serta df1 = 1 dan df2= 113.
7. Variabel public practice memberikan sumbangan varians sebesar 0.6%
pada happiness. Sumbangan tersebut tidak signifikan karena p > 0.05
dilihat dari sig F change = 0.358. Nilai F = 0.852 serta df1=1 dan
df2=112.
93
8. Variabel private practice memberikan sumbangan varians sebesar 5.2%
pada happiness. Sumbangan tersebut signifikan kerena p > 0.05 dilihat
dari sig F change = 0.007. Nilai F = 7.474 serta df=1 dan df2 = 111
9. Variabel experience memberikan sumbangan varians sebesar 5.7% pada
happiness. Sumbangan tersebut signifikan karena p < 0.05 dilihat dari
sig F change = 0.004. Nilai F = 8.579 serta df1=1 dan df2= 110.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga variabel independen,
yaitu self-enhancing, self-esteem, private practice, dan experience yang signifikan
sumbangannya terhadap happiness jika dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan
dari sumbangan proporsi variabel yang diberikan.
94
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab lima peneliti akan memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah
dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian maka kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah: “ada pengaruh yang signifikan dari humor style (affiliative,
self-enhancing, aggressive, dan self-defeating), self-esteem, dan religiusitas
(ideology, public practice, private practice dan experience) terhadap happiness
pada penderita gagal ginjal kronis di klinik Hemodialisa Muslimat NU Cipta
Husada I Jakarta.
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang menguji signifikansi masing-masing
koefisien regresi R2 terhadap dependent variable, dari ke sembilan independent
variable dalam penelitian ini, yang diperoleh hanya dua koefisien regresi yang
signifikan mempengaruhi happiness yaitu variabel self-esteem dan experience pada
dimensi religiusitas.
Selain itu, dari kedua independent variable tersebut yakni self-esteem dan
experience yang memberikan pengaruh beta (β) paling besar terhadap happiness
adalah self-esteem. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pada penelitian ini, self-esteem memiliki kontribusi lebih besar terhadap
happiness penderita gagal ginjal kronis dibandingkan dengan experience.
95
5.2 Diskusi
Dari hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab 4, dapat disimpulkan
bahwa self-esteem dan experience secara konsisten mempengaruhi happiness.
Berdasarkan gambaran subjek penelitian dalam penelitian ini dapat membedakan
penderita gagal ginjal yang baru masuk atau yang sudah lama menjalani
hemodialisa. Berdasarkan gambaran umum subjek yang dijelaskan pada bab 4,
penderita yang baru menjalani hemodialisa dan yang baru masuk menjadi pasien
klinik hemodialisa berjumlah 70 orang yang dimana awalnya mengalami masa
denial atau penolakan terhadap penyakitnya sehingga membutuhkan waktu untuk
bisa menerima. Penderita yang sudah menjalani hemodialisa diatas 1 tahun sampai
>3 tahun merupakan penderita yang sudah dapat beradaptasi dan menerima
penyakitnya berjumlah 50 orang. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi self-esteem dan experience penderita, maka akan semakin tinggi happiness
penderita gagal ginjal kronis. Hal ini berarti bahwa penderita yang menjalani
hemodialisa lebih dari 1 sampai >3 tahun memiliki self-esteem dan experience yang
tinggi maka akan mengalami happiness dalam hidupnya serta dapat bertahan dan
menerima penyakit yang dideritanya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai
kategorisasi self-esteem, rata-rata penderita memiliki nilai kategorisasi self-esteem
yang tinggi.
Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Furham
(2000), menyatakan bahwa self-esteem sangat dominan sebagai prediktor
happiness. Didukung oleh penelitian Lyubomirsky, Tkach dan Dimatteo (2005)
menjelaskan self-esteem mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap happiness,
96
bahwa kebahagiaan dan harga diri memiliki kaitan yang erat. Dalam pengalaman
sehari-hari, orang berpikir baik tentang diri mereka sendiri cenderung merasa
bahagia. Orang yang tidak memiliki harga diri umumnya tidak bahagia. Bukti
empiris mendukung intuisi ini, mengungkapkan terdapat korelasi tinggi antara
pengukuran kebahagiaan dan harga diri. Hal ini dapat disimpulkan bahwa penderita
yang memiliki harga diri yang sehat merupakan penderita yang mampu mengenal
dirinya sendiri dengan segala keterbatasannya, mereka tidak malu atas keterbatasan
yang dimiliki, memandang keterbatasan sebagai suatu realitas dan menjadikan
keterbatasan itu sebagai tantangan yang berkembang. Oleh karena itu penderita
penyakit kronis yang merasa memiliki keterbatasan karena penyakit yang
dideritanya, bukanlah sesuatu penghalang bagi mereka, melainkan sebagai sumber
kekuatan dan tantangan untuk bertahan dan menuju kehidupan yang lebih baik.
Serta dapat memiliki gambaran positif tentang kelebihan yang dimilikinya sehingga
tercipta rasa berharga terhadap dirinya sendiri walaupun dalam keadaan sakit kronis
sekalipun untuk menuju kehidupan yang sehat dan bahagia.
Selanjutnya, dalam penelitian ini variabel religiusitas pada dimensi
experience terbukti secara signifikan berkontribusi mempengaruhi happiness yang
berarti bahwa experience memiliki pengaruh yang positif terhadap happiness.
Dalam hal ini sesuai dengan pernyataan Glock dan Stark (1967) yang menjelaskan
experience merupakan perasaan keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan
seperti merasa dekat dengan Tuhan, tenteram saat berdoa, tersentuh mendengar atau
membaca ayat-ayat kitab, merasa senang doanya dikabulkan, dan lain-lain. Setiap
agama memiliki penilaian yang berbeda-beda dan biasanya bersifat subyektif dalam
97
menilai feeling atau penghayatan yang pernah dirasakan oleh setiap orang. Hal ini
bisa saja terjadi, karena experience pada penderita gagal ginjal kronis kebanyakan
dari mereka berada pada usia dewasa, yang sudah mengalami banyak pengalaman
responsif terkait dengan keagamaan dan sudah dapat menarik kesimpulan atau
hikmah dibalik apa yang telah mereka alami. Dapat mengalami perasaan sangat
dekat dengan Tuhan setelah mengalami situasi terberat pada penyakitnya.
Dalam situasi-situasi tersebut membuat penderita gagal ginjal kronis merasa
tenang, optimis dalam menjalani hidupnya sebagai kekuatan untuk bisa bertahan
dengan penyakit yang dideritanya, dan bahagia, berpasrah diri dan menganggap
bahwa penyakit yang dideritanya merupakan kehendak yang kuasa. Oleh karena
itu, self-esteem dan religious experience sangat penting dipertahankan bagi para
penderita gagal ginjal kronis, agar dapat merasakan happiness dan dapat menikmati
hidup walaupun dengan sakit kronis sekalipun.
Dalam penelitian ini lima dimensi dari religiusitas, hanya dimensi
experience yang berpengaruh secara signifikan terhadap happiness. Pada dimensi
intellectual setelah dilakukan uji validitas, ditemukan bahwa semua item pada
dimensi intellectual tidak valid (t-value <1.96), sehingga dimensi intellectual tidak
dapat diikutkan dalam analisis perhitungan faktor skor. Selanjutnya, dimensi
ideology, public practice, private practice tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis.
Pada dimensi intellectual, public practice dan private practice dalam
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muslim dan Nashori
(2007) yang menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa pengetahuan (intellectual),
98
ritual agama (public practice dan private practice) mempengaruhi kebahagiaan
otentik. Karena intellectual, public practice, dan private practice tanpa disertai
dengan keyakinan yang kuat dan tidak dapat tercermin dalam perilaku (akhlak) di
kehidupan sehari-hari. Selain itu, intellectual, public practice dan private practice
tidak dijalankan sesuai dengan perintah serta larangan-Nya. Sementara itu, untuk
kegiatan public practice penderita gagal ginjal kronis tidak bisa sepenuhnya
melakukan kegiatan public religious disebabkan karena keterbatasan penyakitnya,
sehingga sudah jarang mengikuti pengajian, jarang kumpul dilingkungan sekitar
karena merasa tidak percaya diri, merasa diasingkan dengan persepsi masyarakat
mengenai penyakit gagal ginjal kronis.
Dalam hal ini, tidak signifikannya dimensi-dimensi religiusitas tersebut bisa
saja terjadi karena faktor internalisasi nilai-nilai agama dalam diri penderita belum
terinternalisasi dengan baik setelah didiagnosa, psikologis penderita mengalami
shock sehingga dimensi ideology, public practice, dan private practice tidak
memberikan pengaruh terhadap happiness penderita gagal ginjal kronis.
Selain itu, didapatkan pula bahwa dimensi-dimensi dari variabel humor
style yaitu affiliative humor, self-enhancing humor, aggressive humor, self-
defeating humor memiliki kontribusi terhadap happiness. Namun, dalam hal ini
menunjukkan bahwa humor style tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
happiness pada penderita gagal ginjal kronis.
Dalam penelitian ini ditemukan ada hal yang menarik berkaitan dengan
humor style. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kazarian &
Martin (2004) bahwa ada kaitan positif antara gaya humor adaptif dan happiness.
99
Pada penelitian terbaru yang dilakukan Ford, McCreight, Richardson (2014) bahwa
ada hubungan antara gaya humor adaptif atau dua humor style positif (affiliative
dan self-enhancing humor) terhadap happiness. Hal ini menunjukkan hasil dalam
penelitian ini bertentangan dengan penelitian terdahulu, yang dimana hasil
penelitian sebelumnya menjelaskan affiliative dan self-enhancing merupakan
adaptif humor (humor baik) yang memiliki pengaruh terhadap happiness,
sedangkan agrressive dan sel-defeating merupakan maladaptif (humor buruk) yang
tidak memiliki pengaruh terhadap happiness. Hasil penelitian lain yang dilakukan
oleh Liu (2012) ditemukan bahwa humor style pada dimensi affiliative dan self-
enhancing humor mempunyai hubungan yang signifikan terhadap happiness.
Namun hasilnya kontradiktif, karena hasil dalam penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya tidak sejalan.
Dalam penelitian sebelumnya menyatakan bahwa humor style merupakan
salah satu cara bagi individu untuk menciptakan hiburan untuk mengatasi
permasalahan dan penderitaan mereka, kerena secara keseluruhan humor menjadi
indikator kesehatan mental yang positif yang dapat menciptakan happiness (Liu,
2012). Sedangkan dalam penelitian ini humor style tidak mempengaruhi happiness
penderita gagal ginjal kronis. Hasil ini terkait bahwa humor style tidak secara efektif
dapat menciptakan hiburan dalam mengatasi permasalahan penderita gagal ginjal
kronis.
Pada variabel humor style, dan religiusitas terdapat tujuh dimensi yang tidak
berpengaruh terhadap happiness. Ketujuh dimensi tersebut yaitu affiliative, self-
enhancing, aggresive, self-defeating, ideology, public practice, private practice.
100
5.3 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis membagi saran menjadi dua,
yaitu saran metodologis dan saran praktis. Saran metodologis sebagai bahan
pertimbangan untuk perkembangan penelitian selanjutnya, dan saran praktis
sebagai bahan masukan bagi pembaca sehingga dapat mengambil manfaat dari
penelitian ini.
5.3.1 Saran Teoritis
1. Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan hanya satu klinik saja, yaitu klinik
hemodialisa Muslimat NU Cipta Husada 1. Saran bagi peneliti selanjutnya, agar
dapat menggunakan subjek tidak hanya dari satu tempat saja. Dengan demikian
bagi peneliti selanjutnya bisa mendapatkan wawasan yang lebih luas,
bagaimana happiness pada dua klinik yang berbeda.
2. Kepada peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji tentang happiness, diharapkan
untuk menambah variabel lain yang berpengaruh terhadap happiness, seperti
quality of life, kepercayaan diri, dukungan sosial. Hal tersebut, untuk
memperkaya hasil penelitian dan pengetahuan tentang happiness.
3. Penelitian menekankan pada penelitian kuantitatif. Maka akan lebih baik jika
pada penelitian selanjutnya, melengkapi data-data kuantitatif yang ada dengan
hasil dari penelitian kuantitatif. Dengan begitu akan mampu menjelaskan lebih
detail mengenai data pasien.
4. Kepada peneliti selanjutnya untuk memperhatikan strategi pemberian kuesioner
dan semua alat ukur yang akan digunakan untuk penderita penyakit kronis
dibuat singkat namun tetap menggali informasi yang hendak diukur
101
5.3.2 Saran Praktis
1. Untuk pihak klinik, sebaiknya mempertimbangkan untuk menambah tenaga
psikolog professional untuk mendampingi pasien dalam melakukan konseling
mengenai kondisi psikologis pasien, karena hal ini akan mempengaruhi keadaan
fisik dan psikologi penderita. Khususnya diperuntukkan bagi pasien yang baru
didiagnosa maupun yang baru masuk sebagai member. Hal ini untuk
meningkatkan sikap dan citra positif pasien terhadap kualitas pelayanan klinik.
2. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa self-esteem secara signifikan
mempengaruhi happiness penderita gagal ginjal kronis. Berdasarkan hasil
tersebut, disarankan bagi terapis dan management klinik untuk terus
memberikan dukungan positif kepada penderita serta mengsosialisasikan
mengenai pentingnya self-esteem bagi penderita gagal ginjal kronis. Serta
bagaimana penderita menjaga self-esteem agar tetap bagus dan merasa happy,
dengan begitu akan memberikan pengaruh positif sehingga dapat
mempengaruhi kondisi fisik dan psikologi penderita, serta dapat memberikan
semangat penderita dalam melakukan hemodialisa. Hal ini berarti dapat
meningkatkan citra positif di mata masyarakat bagi penderita maupun bagi
kualitas pelayanan klinik hemodialisa tersebut.
3. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa experience secara signifikan
mempengaruhi happiness penderita gagal ginjal kronis. Berdasarkan hasil
tersebut, disarankan bagi pihak management klinik untuk memfasilitasi sarana
dan prasarana untuk membuat support grup bagi penderita gagal ginjal kronis.
Khususnya diperuntukkan bagi pasien yang baru didiagnosa maupun yang baru
102
masuk sebagai member. Hal ini untuk meningkatkan sikap dan citra positif
pasien terhadap kualitas pelayanan klinik.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Khalek. A.M. (2006). Happiness, health, and religiosity: significant
relations. Journal mental health, religion and culture 9(1), 85-97, ISSN
1367-4676 print/ ISSN 1469-9737, doi: 10.1080/13694670500040625.
Taylor & Francis
Aghili & Kumar. (2008). Relationship between religious attitude and happiness
among profesional employees. Journal of the indian academy of applied
psychology, 34, 66-69
Alavi, H.R. (2007). Correlatives of happiness in the university student of iran (A
religious approach). Journal religion health 46, 480-499, DOI
10.1007/s10943-007-9115-4. Blanton-Pleale Institute
Allport & Ros. (1967). Religious orientation. Addisson-Wesley publishing
company
Baron & Byrne. (2004). Psikologi sosial edisi kesepuluh 1. Jakarta: Erlangga
Baumeister, Jennifer, Joachim, & Kathleen. (2003). Does high self-esteem cause
better performance, interpersonal success, happiness, or healthier
lifestyles?. Psychological science in the public interest, 4 (1), 1-44.
Branden, N. (1992). The power of self-esteem: An ispiring look at our most
ImPORTANT psychological resource. Florida: Health communications inc
Branden, N. (2011). The six pillars of self-esteem. Semarang: Dahara Prize
Brunner & Suddart, D. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta:
EGC, 8 (1) (Kuncara H, Hartono A, Ester M, Asih Y, terjemahan)
Carr, A. (2004). Positive psychology.London: Brunner-Routledge
Chaplin. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT: Raja Grafinda persada
Clemes, Bean, & Clark., (2012). Bagaimana meningkatkan harga diri remaja.
Tangerang: Binarupa aksara publiser
Colvy, J. (2010). Gagal ginjal, tips cerdas mengenali dan mencegah gagal ginjal.
Yogyakarta: CV. Solusi distribusi
Diener, E & Griffin., (1985). The satisfaction with life scale. Journal of
personality assessment. Fetzer institute, 49 (1), 71-75
104
Farzaee, N. (2012). Self-esteem and support vs. student happiness. International
research journal of appied and basic sciences ISSN 2251-838X/ 3 (9),
1908-1915. Science explorer publications
Fetzer, J.E. (1999). Measurement of religiousness/spirituality for use in health
research: A reportof the fetzer institute/national institute on aging working
group. MI: Fetzer Institute.
Flynn, Heather Kohler. (2003). Self-esteem theory and measurement: a critical
review. Volume Three Issue One, Issn 1495-8513.
Ford, McCreight, & Richardson. (2014). Affective style, humor styles and
happiness. Europe`s journal of psychology 10 (3), 451-463, DOI:
10.5964/ejop.v10i3.766
Franklin, K.J. (2008). Negative life events, religiosity and spiritality, and
depression among african americans. Thesis. University of georgia
Furham & Cheng. (2000). Perceived parental behaviour, self-esteem and happiness.
Social psychiater epidemiol, 35, 463-470
Ghufron, M.N & Rini, R. (2010). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz
media
Glock & Stark. (1967). American piety: the nature of religious commitment.
Barkeley & Los Angeles: University of california press
Haller & Hadler. (2006). How social relations and structures can produce happiness
and unhappiness: An international comparative analysis. Social Indicators
Research 75, 169-216, DOI 10.1007/s11205-004-6297-y. Spinger
Hasanat, N.U & Subandi. (1998). Pengembangan alat kepekaan terhadap humor.
Jurnal psikologi. 1, 17-25
Hills & Argyle .(2002). The oxford happiness questionnare: A compact scale for
the measurement of psychologycal well-being. Personality and individual
differences 33, 1073-1082
Hoppe, S. (2013). Chronic illness as a source of happiness. Health, culture and
society 5 (1), ISSN 2161-6590, DOI 10.5195/hcs.2013.138
Huber & Huber. (2012). The centrality of religiosity scale (CRS). Religions 3, 710-
124, DOI 10.3390/rel3030710, ISSN 2077- 1444
Jalaludin. (2010). Psikologi agama edisi ke-13. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada
105
Jarden, A. (2011). Positive psychological assessment: A practical introduction to
empirically validated research tools for measuring well-being,
http://www.aaronjarden.com/diunduh pada tanggal 24 November 2014
Kazarian & Martin. (2006). Humor styles, culture-related personality, well-being,
and family adjustment among Armenians in Lebanon. Humor 19-4, 405-
423, DOI 10.1515/humor.2006.020, 0933-1719/06/0019-0405. Walter de
Gruyter
Koening, H.G. (2005). Faith and mental health: Religious resources for healing.
USA: Templeton foundation press
Kubler-Rose, E. (1998). On death and dying (kematian sebagai bagian dari
kehidupan). Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama
Liu, Katy, W.Y. (2012). Humor styles, self-esteem and subjective happiness.
Discovery-ss student e-Journal 1, 21-41
Lyubomirsky & Lepper. (1999). A measure of subjective happiness: Preliminary
reliability and construct validation. Social indicators research 46, 137-155,
Kluwer academic publishers
Lyubomirsky, Tkach & Dimmateo. (2006). What are the difference between
happiness and self-esteem?.Social indicators research 78, 363-404 DOI
10.1007/s11205-005-0213-y. Springer
Martin, R.A. (2007). The psychology of humor: An integrative approach. London:
Elsevier inc. Academic press publications
Muslim, D.M & Nashori, F. (2007). Hubungan antara religiusitas dengan
kebahagiaan otentik (autentic happiness) pada mahasiswa. Skripsi.
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Powel, J. (2005). Self-esteem. US: Smart apple media
Priyanti. (2015). Dialife. Jakarta: Yayasan ginjal diatrans indonesia
Rahmanadji, D. (2007). Sejarah, teori, dan fungsi humor. Jurnal bahasa dan seni,
tahun 35, No. 2
Rossenberg et al. (1995). Global self-esteem and specific self-esteem: Different
concepts, differnt outcomes. American sosiological association 60 (1), 141-
156
106
Nawawi, Q. (2013). Populasi penderita gagal ginjal terus meningkat di 2013,
http://www.okezone.com/ diunduh pada tanggal 28 September 2013
Nurmalika, A. (2010). Hubungan antara self control dengan kecemasan pasien
gagal ginjal kronik di Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia. Skripsi. Jakarta.
Fakultas psikologi UIN
Pearch, E. (2009). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
pusaka utama (anggota IKAPI)
Prodjosudjadi, Wiguno. (2009). Penyakit ginjal kronik tak terdeteksi. Jakarta:
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)
Safa`a, A. (2006). Quality of life: Subjective description of challenges to patien
with end stage renal disease. Nephrology nursing journal 33 (3), Proquest
research library pg.285
Schultz, D. (2005). Psikologi pertumbuhan model-model kepribadian sehat.
Yogyakarta: Kanisius
Seligman, M. (2005). (Authentic happiness) menciptakan kebahagiaan dengan
Psikologi positif. Bandung: Mizan
Sheldon & Lyubomirsky. (2004). Achieving suistainable new happiness: prospects,
practices, and prescriptions. John Wiley & Sons, Inc, Hoboken, New Jersey
Supriyadi, Wagiyo, & Widowati. (2011). Tingkat kualitas hidup pasien gagal ginjal
kronik terapi hemodialisis. Semarang: Jurnal kesehatan Masyarakat 6 (2),
107-112
Susalit, E. (2009). Diagnosis dini penyakit ginjal kronik. Jakarta: PERNEFRI
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia)
Taylor, S.E. (2003). Health psychology. New York: The McGraw-Hill Companies,
Inc
109
Dengan hormat,
Saya mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sedang melakukan penelitian skripsi. Untuk itu, saya memohon kesediaan anda
berpartisipasi menjadi responden penelitian ini dengan mengisi kuesioner. Silahkan
isi setiap butir pernyataan sesuai dengan keadaan/kondisi diri anda yang
sebenarnya. Semua data anda akan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan
untuk keperluan penelitian ini.
Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Ana Arini Fauziah
DATA RESPONDEN
Nama/ Inisial : ________________________
Usia : _______ tahun
Berapa lama menjalani hemodialisa : __________
Stadium : _________
PETUNJUK PENGISIAN
Kuesioner ini terdiri dari sejumlah pernyataan. Anda diminta untuk
membaca dan memahami setiap pernyataan. Anda cukup mengemukakan
kesesuaian pernyataan dengan kenyataan sebenarnya. Berilah tanda (X) pada salah
satu dari empat pilihan yang tersedia, pada kolom sebelah kanan.
110
Tidak ada jawaban yang benar atau salah dalam setiap pernyataan. Jawaban
hanya merupakan penilaian dari diri masing-masing responden. Silahkan jawab
sesuai dengan keadaan diri anda saat ini. Teliti kembali jawaban saudara dalam
mengisi kuesioner ini, sehingga tidak ada pernyataan yang terlewati.
Jika jawaban anda tidak setuju, beri tanda silang (X) pada kolom tidak
setuju. Jika jawaban anda sangat tidak setuju, beri tanda (X) pada kolom sangat
tidak setuju. Jika jawaban anda setuju, beri tanda silang (X) pada kolom setuju.
Jika jawaban anda sangat setuju, beri tanda silang (X) pada kolom sangat setuju.
CONTOH PENGISIAN
Jika pernyataan di bawah ini menurut anda sesuai dengan diri anda, maka beri
tanda silang (X) pada kolom setuju.
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Saya menyukai warna merah X
Artinya : anda setuju dengan pernyataan “ saya menyukai warna merah”
UNTUK SKALA HAPPINESS
Untuk setiap pernyataan-pernyatan berikut, silahkan melingkari titik pada skala
yang anda merasa paling tepat dalam menggambarkan diri anda.
No. Pernyataan
1. Secara umum, saya
menganggap diri saya
Tidak
bahagia
Kurang
bahagia
Bahagia Sangat
bahagia
111
HAPPINESS
Untuk setiap pernyataan-pernyataan berikut, silahkan melingkari pada skala yang
anda merasa paling tepat dalam menggambarkan diri anda.
No. Pernyataan
1. Secara umum, saya menganggap
diri saya
Tidak
bahagia
Kurang
bahagia
Bahagia Sangat
bahagia
2. Dibandingkan dengan teman-
teman saya, saya menganggap
diri saya
Tidak
bahagia
Kurang
bahagia
Bahagia Sangat
bahagia
3. Beberapa orang umumnya sangat
bahagia. Mereka menikmati
hidup terlepas dari apa yang
sedang terjadi, mendapatkan
hasil maksimal dari segala
sesuatu. Sejauh mana
karakterisasi ini menggambarkan
diri anda
Sangat
tidak
setuju
Tidak
setuju
Setuju Sangat
setuju
4. Beberapa orang pada umumnya
merasa tidak bahagia. Meskipun
mereka tidak tertekan, mereka
tidak pernah tampak bahagia
seperti mereka mungkin. Sejauh
mana karakterisik ini
menggambarkan diri anda
Sangat
tidak
setuju
Tidak
setuju
Setuju Sangat
setuju
HUMOR STYLE
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Saya biasanya tidak bayak tertawa dan
bercanda dengan orang lain
2. Jika saya merasa tertekan, saya biasanya
menghibur diri dengan humor
3. Jika seseorang membuat sebuah kesalahan,
saya akan sering menggoda mereka tentang
hal itu
4. Saya membiarkan orang lain menertawai dan
mengejek diri saya secara berlebihan atau
lebih dari yang seharusnya
5. Saya tidak perlu bersusah payah untuk
membuat orang lain tertawa, saya sudah
tampak seperti orang humoris secara alami
112
6. Bahkan ketika saya sedang sendiri saya sering
tertawa atau terhibur dengan keabsudan hidup
7. Orang-orang tidak pernah tersiggung atau
merasa sakit hati karena selera humor saya
8. Saya akan sering menghina diri sendiri jika itu
membuat keluarga dan teman-teman saya
tertawa
9. Saya jarang membuat orang lain tertawa
dengan menceritakan cerita lucu tentang diri
saya sendiri
10. Jika saya merasa marah atau sedih, biasanya
saya mencoba untuk memikirkan suatu situasi
yang lucu untuk membuat saya merasa lebih
baik
11. Ketika menceritakan lelucon atau mengatakan
halhal yang lucu, saya biasanya tidak terlalu
khawatir tentang bagaimana orang lain
menanggapi itu
12. Saya sering mencoba untuk membuat orang
lain menyukai atau menerima saya dengan
cara mengatakan sesuatu yang lucu tentang
kelemahan, kesalahan atau kegagalan diri saya
13. Saya sering tertawa dan bercanda yang banyak
dengan orang lain
14. Penampilan humoris dalam keseharian saya,
menjaga saya dari kemarahan yang berlebihan
atau kesedihan tentang suatu hal
15. Saya tidak suka ketika orang lain
menggunakan humor sebagai cara untuk
mengkritik atau menjatuhkan seseorang
16. Saya tidak sering mengatakan hal-hal lucu
untuk menjatuhkan diri sendiri
17. Saya biasanya tidak suka menceritakan
lelucon atau menghibur orang
18. Jika saya sedang sendiri dan merasa sedih,
saya berusaha untuk memikirkan sesuatu yang
lucu untuk menghibur diri
19. Terkadang saya memikirkan sesuatu yang
sangat lucu, hingga diri saya tidak bisa
menahan untuk mengatakannya bahkan
disituasi yang tidak tepat
20. Saya sering berlebihan dalam menjatuhkan
diri sendiri ketika membuat lelucon atau
mencoba untuk menjadi lucu
21. Saya menikmati bisa membuat orang lain
tertawa
113
22. Jika saya merasa sedih atau marah, saya
biasanya kehilangan rasa atau selera humor
saya
23. Saya tidak pernah ikut menertawakan orang
lain bahkan jika semua teman saya
melakukannya
24. Ketika saya bersama teman atau keluarga, saya
sering terlihat menjadi orang yang dijadikan
lelucon
25. Saya tidak sering bercanda dengan teman-
teman
26. Dengan memikirkan beberapa kejadian lucu
dari sebuah situasi sering menjadi cara yang
efektif untuk mengatasi masalah
27. Jika saya tidak menyukai seseorang, saya
sering menggunakan humor atau ejekan untuk
menjatuhkannya
28. Jika saya mengalami masalah atau merasa
tidak bahagia, saya sering menutupinya
dengan bercanda. Sehingga teman terdekat
saya mengetahui apa yang sebenarnya saya
rasakan
29. Saya biasanya tidak bisa memikirkan hal yang
lucu untuk dikatakan ketika saya bersama
dengan orang lain
30. Saya tidak perlu bersama orang lain untuk
merasa terhibur. Saya biasanya bisa
menemukan hal-hal untuk ditertawakan
bahkan ketika sedang sendiri
31. Bahkan jika asa sesuatu yang benar-benar
lucu, saya tidak akan tertawa atau membuat
lelucon tentang hal tersebut bila seseorang
akan tersinggung
32. Membiarkan orang lain menertawai diri saya
adalah cara saya menjaga teman-teman saya
dan keluarga dalam semangat yang baik
SELF-ESTEEM
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Secara keseluruhan, saya puas dengan diri
saya
2. Terkadang saya merasa saya tidak baik sama
sekali
114
3. Saya merasa bahwa saya memiliki banyak
kualitas yang baik
4. Saya bisa melakukan sesuatu sebanyak orang
lain lakukan
5. Saya merasa tidak banyak yang bisa
dibanggakan
6. Saya pasti merasa tidak berguna sama sekali
7. Saya merasa bahwa saya adalah orang yang
berharga, dibandingkan dengan orang lain
8. Saya berharap saya bisa memiliki lebih
banyak rasa hormat untuk diri saya sendiri
9. Secara keseluruhan saya cenderung merasa
bahwa saya gagal
10. Saya berusaha untuk bersikap positif terhadap
diri saya
RELIGIUSITAS
Untuk setiap pernyataan-pernyataan berikut, silahkan melingkari titik pada skala
yang anda merasa yang paling tepat dalam menggambarkan diri anda.
1. Seberapa sering saya berpikir tentang isu-isu agama
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
2. Sejauh mana saya percaya bahwa Tuhan atau sesuatu yang ilahi itu ada
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
3. Seberapa sering saya mengambil bagian dalam ibadah keagamaan
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
4. Seberapa sering saya berdoa
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
5. Seberapa sering saya melakukan meditasi
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
6. Seberapa sering saya mengalami situasi dimana saya memiliki perasaan bahwa
Tuhan campur tangan dalam hidup saya
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
7. Sebarapa tertarik saya mempelajari lebih dalam tentang ilmu agama
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
115
8. Apakah saya percaya bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, seperti
kehidupan abadi setelah kematian
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
9. Sebarapa penting untuk saya mengambil bagian dalam ibadah keagamaan
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
10. Seberapa penting doa pribadi untuk saya
A. Tidak penting B. Kurang penting C. Penting D. Sangat
penting
11. Seberapa penting meditasi untuk saya
A. Tidak penting B. Kurang penting C. Penting D. Sangat
penting
12. Seberapa seringg saya mengalami sesuatu dimana saya memiliki perasaan
bahwa Tuhan ingin berkomunikasi atau mengungkapkan sesuatu kepada saya
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
13. Sebarapa sering saya mengalami situasi dimana saya memiliki perasaan
bahwa saya merasa tersentuh oleh kuasa Tuhan
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
14. Seberapa sering saya mencari informasi pertanyaan tentang agama melalui
radio, tv, surat kabar atau buku
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
15. menurut saya seberapa mungkin bahwa kekuatan yang lebih tinggi itu benar-
benar ada
A. Tidak mungkin B. Kurang mungkin C. Mungkin D. Sangat
mungkin
16. Seberapa penting bagi saya untuk terhubung ke sebuah komunitas agama
A. Tidak penting B. Kurang penting C. Penting D. Sangat
penting
17. Seberapa sering saya berdoa secara spontan ketika terinspirasi oleh situasi
sehari-hari
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
18. Seberapa sering saya mencoba untuk berdoa kepada ilahi secara spontan
ketika terinspirasi situasi sehari-hari
116
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
19. Seberapa sering saya mengalami situasi dimana saya merasa bahwa Tuhan
atau sesuatu yang ilahi hadir
A. Tidak pernah B. Jarang C. Sering D. Sangat sering
117
ITEM1-0.92
ITEM24.05
ITEM37.53
ITEM47.72
HAPPINES 0.00
Chi-Square=5.62, df=2, P-value=0.06006, RMSEA=0.123
3.67
3.16
2.09
-0.78
ITEM15.75
ITEM57.56
ITEM97.94
ITEM136.78
ITEM176.46
ITEM219.54
ITEM256.63
ITEM297.30
AFFILIAT 0.00
Chi-Square=23.95, df=15, P-value=0.06598, RMSEA=0.071
6.84
6.39
4.87
5.20
5.83
1.42
5.52
6.96
Path Diagram
Gambar 3.1 Analisis konfirmatorik faktor variabel happiness
Gambar 3.3 Analisis konfirmatorik faktor affiliative humor dari variabel
humor style
118
ITEM25.55
ITEM66.50
ITEM105.85
ITEM147.11
ITEM186.95
ITEM227.67
ITEM266.32
ITEM307.79
SELF-ENH 0.00
Chi-Square=20.85, df=15, P-value=0.14156, RMSEA=0.057
7.90
6.39
7.40
4.57
5.33
1.19
6.75
0.96
ITEM47.69
ITEM87.28
ITEM123.92
ITEM166.93
ITEM207.79
ITEM246.55
ITEM287.95
ITEM326.49
AGGRESSI 0.00
Chi-Square=16.17, df=14, P-value=0.30320, RMSEA=0.036
2.20
5.66
9.15
7.59
1.81
4.88
-0.38
7.60
Gambar 3.4 Analisis konfirmatorik faktor self-enhancing humor dari
variabel humor style
Gambar 3. 7 Analisis konfirmatorik faktor aggressive humor dari variabel
humor style
119
ITEM33.89
ITEM77.70
ITEM117.58
ITEM156.16
ITEM196.24
ITEM237.65
ITEM277.02
ITEM317.55
SELF-DEF 0.00
Chi-Square=22.59, df=18, P-value=0.20682, RMSEA=0.046
4.71
-0.46
1.27
3.73
3.66
-0.87
2.62
-1.28
ITEM16.93
ITEM27.01
ITEM37.81
ITEM47.22
ITEM57.06
ITEM66.31
ITEM77.56
ITEM87.71
ITEM96.25
ITEM107.72
SELF-EST 0.00
Chi-Square=41.27, df=30, P-value=0.08258, RMSEA=0.056
6.66
5.58
3.09
5.11
5.76
7.18
3.00
0.38
7.26
1.25
Gambar 3. 9 Analisis konfirmatorik faktor self-defeating humor dari variabel
humor style
Gambar 3. 11 Analisis konfirmatorik faktor dari variabel self-esteem
120
ITEM36.33
ITEM9-0.77
ITEM166.54
PUBLIC 0.00
Chi-Square=0.00, df=0, P-value=1.00000, RMSEA=0.000
2.16
2.67
2.12
ITEM13.88
ITEM77.44
ITEM14-0.21
INTELLEC 0.00
Chi-Square=0.00, df=0, P-value=1.00000, RMSEA=0.000
0.89
-0.77
0.92
ITEM26.51
ITEM80.31
ITEM155.93
IDEOLOGY 0.00
Chi-Square=0.00, df=0, P-value=1.00000, RMSEA=0.000
3.69
5.16
3.94
Gambar 3.10 Analisis konfirmatori faktor intellectual dari variabel
religiusitas
Gambar 3. 11 Analisis konfirmatorik faktor ideology dari variabel religiusitas
Gambar 3. 11 Analisis konfirmatorik faktor public practice dari variabel
religiusitas
121
ITEM47.77
ITEM57.63
ITEM105.63
ITEM117.75
ITEM174.77
ITEM18-0.72
PRIVATE 0.00
Chi-Square=11.25, df=7, P-value=0.12819, RMSEA=0.071
2.32
3.72
3.75
3.27
6.42
8.53
ITEM67.19
ITEM127.10
ITEM134.20
ITEM193.10
EXPERIEN 0.00
Chi-Square=1.09, df=2, P-value=0.57977, RMSEA=0.000
5.10
5.43
8.68
9.32
Gambar 3. 13 Analisis konfirmatorik faktor private practice dari variabel
religiusitas
Gambar 3. 15 Analisis konfirmatorik faktor experience dari veriabel
religiusitas
122
Lampiran Output Happiness
L I S R E L 8.70
BY
Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by
Scientific Software International, Inc.
7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100
Lincolnwood, IL 60712, U.S.A.
Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140
Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004
Use of this program is subject to the terms specified in the
Universal Copyright Convention.
Website: www.ssicentral.com
The following lines were read from file E:\Skripsi
ANA\FIX\HAPPINESS\HAPPY.spl:
uji validitas
DA NI=4 NO=120 MA=PM
LA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
PM SY FI=happiness.cor
MO NX=4 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
HAPPINESS
FR LX 1 -LX4
PD
OU SS TV MI
uji validitas
Number of Input Variables 4
Number of Y - Variables 0
Number of X - Variables 4
Number of ETA - Variables 0
Number of KSI - Variables 1
Number of Observations 120
123
uji validitas
Correlation Matrix
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
-------- -------- -------- --------
ITEM1 1.00
ITEM2 0.75 1.00
ITEM3 0.32 0.11 1.00
ITEM4 -0.09 -0.01 -0.22 1.00
uji validitas
Parameter Specifications
LAMBDA-X
HAPPINES
--------
ITEM1 1
ITEM2 2
ITEM3 3
ITEM4 4
THETA-DELTA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
-------- -------- -------- --------
5 6 7 8
uji validitas
Number of Iterations = 11
LISREL Estimates (Maximum Likelihood)
LAMBDA-X
HAPPINES
--------
ITEM1 1.42
(0.39)
3.67
124
ITEM2 0.53
(0.17)
3.16
ITEM3 0.23
(0.11)
2.09
ITEM4 -0.05
(0.06)
-0.78
PHI
HAPPINES
--------
1.00
THETA-DELTA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
-------- -------- -------- --------
-1.03 0.72 0.95 1.00
(1.11) (0.18) (0.13) (0.13)
-0.92 4.05 7.53 7.72
Squared Multiple Correlations for X - Variables
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
-------- -------- -------- --------
2.03 0.28 0.05 0.00
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 2
Minimum Fit Function Chi-Square = 5.75 (P = 0.056)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 5.62 (P = 0.060)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 3.62
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 14.82)
Minimum Fit Function Value = 0.048
125
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.030
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.12)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.12
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.25)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.11
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.18
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.15 ; 0.28)
ECVI for Saturated Model = 0.17
ECVI for Independence Model = 0.80
Chi-Square for Independence Model with 6 Degrees of Freedom = 87.51
Independence AIC = 95.51
Model AIC = 21.62
Saturated AIC = 20.00
Independence CAIC = 110.66
Model CAIC = 51.92
Saturated CAIC = 57.87
Normed Fit Index (NFI) = 0.93
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.86
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.31
Comparative Fit Index (CFI) = 0.95
Incremental Fit Index (IFI) = 0.96
Relative Fit Index (RFI) = 0.80
Critical N (CN) = 191.51
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.068
Standardized RMR = 0.068
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.98
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.88
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.20
uji validitas
Modification Indices and Expected Change
No Non-Zero Modification Indices for LAMBDA-X
No Non-Zero Modification Indices for PHI
Modification Indices for THETA-DELTA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
126
-------- -------- -------- --------
ITEM1 - -
ITEM2 5.53 - -
ITEM3 0.03 0.37 - -
ITEM4 0.37 0.03 5.53 - -
Expected Change for THETA-DELTA
ITEM1 ITEM2 ITEM3 ITEM4
-------- -------- -------- --------
ITEM1 - -
ITEM2 15.13 - -
ITEM3 -0.15 -0.20 - -
ITEM4 0.11 0.01 -0.21 - -
Maximum Modification Index is 5.53 for Element ( 4, 3) of THETA-DELTA
uji validitas
Standardized Solution
LAMBDA-X
HAPPINES
--------
ITEM1 1.42
ITEM2 0.53
ITEM3 0.23
ITEM4 -0.05
PHI
HAPPINES
--------
1.00
Time used: 0.031 Seconds